31 October 2014
Refleksi Reformasi 2014: "RENDAH HATI DAN TUNDUK PADA OTORITAS ALKITAB" (Denny Teguh Sutandio)
Refleksi
Reformasi 2014
“RENDAH
HATI DAN TUNDUK PADA OTORITAS ALKITAB”
oleh: Denny Teguh
Sutandio
“Orang-orang Yahudi
di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika,
karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari
mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar
demikian.”
(Kis. 17:11)
PENDAHULUAN
Ketika Paulus dan Silas sampai di Berea,
mereka mengunjungi rumah ibadat orang Yahudi (Kis. 17:10) dan dr. Lukas
mencatat bahwa orang-orang Yahudi lebih baik hatinya daripada orang-orang
Yahudi di Tesalonika di mana hal ini ditunjukkan dengan kesediaan mereka
menerima firman yang Paulus dan Silas sampaikan dengan kerelaan sambil tetap
menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui apakah yang Paulus dan Silas sampaikan
itu benar atau tidak (ay. 11). “Kitab Suci” di ayat 11 memang mengacu kepada
kitab-kitab Perjanjian Lama, karena pada waktu dr. Lukas mencatat peristiwa
ini, kitab-kitab Perjanjian Baru belum dikanonisasikan. Sikap ini mengakibatkan
banyak orang Yahudi menjadi percaya kepada Kristus (ay. 12).
SEMANGAT ORANG
YAHUDI DI BEREA DAN SEMANGAT REFORMASI
Menerima pengajaran firman dengan rela dan
mengujinya berdasarkan Kitab Suci bukan hanya semangat banyak orang Yahudi di
Berea, namun seharusnya merupakan semangat setiap orang Kristen. Pada hari ini
(31 Oktober 2014), kita memperingati hari Reformasi Gereja di mana Reformasi
ini ditegakkan oleh Dr. Martin Luther pada 31 Oktober 1517. Dengan salah satu
semboyan yang terkenal, “Sola Scriptura”
(hanya oleh Alkitab), maka Dr. Luther mengkritisi ajaran Katolik yang
bertentangan dengan Alkitab. Semangat ini diteruskan oleh para reformator
generasi kedua, salah satunya yang menonjol adalah Dr. John Calvin. Melalui Dr.
John Calvin, orang Kristen Reformed bukan hanya dididik oleh ajaran firman
Tuhan yang bermutu, namun juga diajar untuk mengaplikasikannya. Calvin bukan
hanya menjelaskan theologi yang rumit dalam bukunya yang terkenal “Institutes of the Christian Religion”,
namun juga mengajar cara mengaplikasikan theologi tersebut ke dalam kehidupan
sehari-hari. Ini berarti kita bukan hanya diajar untuk mengkritisi segala
sesuatu, tetapi juga harus taat pada otoritas Alkitab, menerima firman itu
dengan rela, dan tidak lupa untuk menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
DUA KETIMPANGAN
EKSTREM
Namun sayang semangat Reformasi dan
Reformed telah luntur di dalam Kekristenan dewasa ini. Ada dua ketimpangan
dalam Kekristenan berhubungan dengan menerima dan menguji, yaitu:
Pertama, menerima
pengajaran mimbar tanpa menguji. Banyak orang Kristen dari banyak gereja
kontemporer yang populer menerima semua pengajaran yang disampaikan di atas
mimbar gereja dengan rela, namun sayangnya mereka tidak meneladani semangat
banyak orang Yahudi di Berea yang menguji setiap pengajaran dengan Kitab Suci.
Semangat tidak menguji ini disebabkan karena banyak dari mereka buta Alkitab
dan lebih menekankan hal-hal supranatural yang tampak “wah.” Jangan heran,
ketika ada seorang pendeta yang turun naik “surga” dan “neraka”, mereka tanpa
pikir panjang langsung mengamini apa yang si pendeta katakan tanpa mengujinya
dengan Alkitab. Secara tidak sadar, mereka sedang menempatkan otoritas pendeta
di atas Alkitab. Di sisi lain, di dalam gereja yang berlabel Reformed
sekalipun, gejala ini juga dapat dijumpai. Beberapa jemaatnya dengan antusias
mendengarkan khotbah mimbar yang penuh dengan istilah filosofis-theologis biar
tampak “pandai”, namun mereka tidak pernah menguji khotbah yang rumit tersebut
dengan Alkitab. Jangan heran, ketika si pendeta mengajarkan bahwa orang Kristen
yang disunat itu berdosa, maka beberapa jemaatnya mengamininya tanpa pernah
mengujinya dengan Alkitab. Ironisnya adalah jika si pendeta ini ditegur
kesalahannya karena bertentangan dengan Alkitab, maka ada salah satu jemaatnya
(yang setia) malah terus-menerus membela si pendeta yang jelas salah. Jadi,
lagi-lagi: pendeta di atas Alkitab, tetapi berani menyandang nama “Reformed.”
Ironis.
Kedua, menguji tanpa mau
menerima firman dengan rela. Di sisi lain, ada tipe orang Kristen yang sudah
dididik dengan pengertian firman yang bertanggung jawab menjadi orang-orang
Kristen yang mudah mengkritik semua khotbah dari pendeta. Jika ada pendeta dari
gereja lain yang berkhotbah entah di gerejanya maupun di radio, maka orang ini
biasanya langsung memasang filter di pikirannya untuk menyaring ajaran benar
dan salah, namun mereka hampir tidak pernah menerima khotbah yang benar itu
dengan rela. Orang ini ke mana-mana “pekerjaan” dan “misi” utamanya adalah
mengkritik orang yang berbeda theologi dengannya, seolah-olah jika ia tidak
mengkritik satu orang, ia kurang memberitakan “kebenaran.” Namun ironisnya
adalah orang ini sendiri tidak mau ditegur jika ia salah. Dengan kata lain, ia
hanya mau menguji tanpa mau menerima firman dengan rela apalagi menjalankannya.
Ironis.
SOLUSI: MENERIMA KHOTBAH
SAMBIL MENGUJINYA DENGAN ALKITAB
Bagaimana sikap orang Kristen yang
bijaksana? Mari kita belajar dari nats kita di atas (Kis. 17:11). Nats kita berbicara
tentang dua hal, yaitu:
Pertama, menerima firman
dengan kesungguhan/semangat. Reaksi pertama banyak orang Yahudi di Berea
terhadap firman yang Paulus dan Silas beritakan adalah menerima firman itu
dengan kerelaan. “Menerima firman” yang dimaksud adalah menerima isi firman
yang berpusat pada Kristus yang tersalib dan bangkit demi menebus dosa
umat-Nya. Bukan hanya itu, mereka menerima firman itu dengan kerelaan. Teks Yunani
untuk “kerelaan” adalah προθυμίας (prothumias) yang berasal dari kata προθυμία (prothumia) yang dalam konteks ini bisa
berarti “readiness” (“keadaan siap”).
Beberapa Alkitab terjemahan Inggris seperti English Standard Version (ESV) dan Revised
Standard Version (RSV) menerjemahkannya, “eagerness”
(“hasrat” atau “keinginan”), namun ada juga yang menerjemahkannya “all readiness
of mind” (“seluruh kesiapan pikiran”) seperti Young’s Literal Translation
of the Holy Bible (YLT), American Standard Version (ASV), dan King James
Version (KJV). Karl
Heinrich Rengstorf menerjemahkannya, “zeal” (“semangat”).[1]
Hal ini berarti di titik pertama, mereka bukan mengkritik pemberitaan
Paulus dan Silas, tetapi justru menerima isi pemberitaan itu dengan semangat.
Luar biasa sikap ini. Mengapa? Karena si penerima ini adalah orang Yahudi. Kita
mengetahui bahwa orang-orang Yahudi sedang menantikan Mesias dan banyak dari
mereka justru menyalibkan Kristus, Sang Mesias Allah karena konsep mereka
tentang Mesias bersifat jasmani (pembebasan dari penjajahan Romawi) berbeda
dengan Mesias dalam konsep Allah yang bersifat rohani (pembebasan dari dosa).
Di antara banyak orang Yahudi di tempat lain selain Berea yang menghina Injil
dan para rasul, namun justru di Berea, banyak orang Yahudi lebih terbuka dengan
menerima isi pemberitaan yang Paulus dan Silas sampaikan dengan semangat. Jika
saya boleh menganalogikan menerima firman dengan semangat ini seperti seorang
yang begitu semangat dan gembira menerima hadiah yang diimpikannya. Orang yang
menerima hadiah yang sudah lama diimpikannya tentu saja menerimanya dengan
sukacita dan bahkan dengan sukacita yang “ekstrem” misalnya menari-nari,
melompat, dll. Ketika ia menuju ke tempat pengambilan hadiah inipun, ia sudah
bersemangat luar biasa. Jika biasanya setiap hari ia selalu bangun agak siang (sekitar
Pkl. 06.30 atau 07.00) dan sering kali telat pergi ke kantor atau tempat kuliah,
namun ketika pada hari ia akan menerima hadiah itu, ia akan bangun lebih pagi
bahkan ia sudah bangun jam 5 pagi, lalu segera bersiap diri (mandi, sikat gigi,
makan, ganti baju, dll).
Sayang, semangat ini sudah jarang muncul di banyak orang Kristen. Mengapa
banyak orang Kristen tidak bersemangat mendengarkan pemberitaan firman? Ada dua
penyebab, yaitu: Pertama, banyak pengkhotbah tidak menguraikan Alkitab dengan
jelas dan aplikatif. Saya turut prihatin dengan banyak gereja khususnya
Protestan di mana banyak pengkhotbah hanya mencuplik satu ayat Alkitab, lalu
langsung mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak
mendidik jemaat untuk mengerti kedalaman isi Alkitab, sehingga banyak orang
Kristen buta Alkitab dan hanya mengingat beberapa ayat Alkitab favorit yaitu
Yohanes 3:16 dan ayat-ayat “berkat jasmani”. Di sisi lain, ada juga pengkhotbah
yang bahkan tidak percaya otoritas Alkitab, sehingga yang diberitakannya mirip
pelatihan motivasi atau pidato politik, ekonomi, sosial, dll (tentu hal ini
tidak salah, namun bukan satu-satunya pekenanan dalam khotbah). Jika kondisinya
demikian, maka yang perlu “bertobat” adalah para pengkhotbah. Mari para
pengkhotbah, dedikasikan keseluruhan hidup Anda kepada Allah dan ingatlah tugas
Anda untuk memberitakan firman Tuhan dengan setia. Ajarkan jemaat Anda untuk
mengerti betapa dalam Alkitab itu dan jangan lupa mengaplikasikannya. Kedua,
jemaat malas. Meskipun pemberitaan firmannya sudah bagus, namun tetap saja
beberapa orang Kristen malas mendengarkan khotbah. Mereka tidak rindu bertumbuh
dan diajar oleh firman. Kerohanian mereka stagnan.
Lalu, bagaimana cara kita menerima pemberitaan firman dengan semangat?
Caranya adalah tanamkan kepada diri kita bahwa kita terus-menerus lapar dan haus
akan firman-Nya. Ingatlah apa yang Kristus katakan, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka
akan dipuaskan.” (Mat. 5:6) Ketika kita terus-menerus lapar dan haus akan
firman, maka kita akan dipuaskan-Nya dengan terus-menerus menikmati berkat
kedalaman firman Allah yang melampaui akal budi manusia. Saya sendiri mengalami
hal ini. Ketika gembala sidang gereja saya, Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M.
menguraikan teks Alkitab secara detail namun sederhana (dan tetap aplikatif),
saya makin bersyukur atas kedalaman isi firman-Nya dan itu makin mendorong saya
makin rendah hati dan rindu menjalankan firman-Nya meskipun sangat sulit.
Setiap hari Minggu adalah momen sukacita bagi saya untuk bersekutu dengan
saudara seiman dan mendengarkan uraian firman Tuhan yang makin menumbuhkan dan
mengoreksi saya dan iman saya. Adakah gairah ini muncul dalam diri Anda?
Kedua, menguji isi khotbah dengan Kitab Suci. Bukan
hanya menerima isi pemberitaan Paulus dan Silas dengan semangat, banyak orang
Yahudi di Berea juga menyelidikinya apakah yang Paulus dan Silas sampaikan
sesuai dengan Kitab Suci. Kata Yunani untuk “menyelidiki” adalah ἀνακρίνοντες (anakrinontes) yang berasal dari kata ἀνακρίνω (anakrinō)
yang berarti “examine” (“memeriksa”
atau “menguji”). Ini berarti banyak orang Yahudi di Berea bukan hanya menerima
pemberitaan Paulus dan Injil dengan semangat, tetapi juga mengujinya apakah
yang diberitakan itu sesuai dengan Kitab Suci. Memeriksa atau menguji isi
firman merupakan suatu sikap di mana seseorang membandingkan apa yang
diberitakan dengan Kitab Suci yang tertulis. Hal ini persis seperti seorang
hakim di Indonesia yang memeriksa satu kasus kejahatan dan membandingkannya
dengan kitab Undang-undang Dasar (UUD) atau kitab hukum lainnya atau seperti
seorang guru atau dosen yang memeriksa hasil ujian seorang siswa atau mahasiswa
dengan membandingkannya apakah sesuai dengan buku teks yang dipegang oleh si
guru/dosen. Untuk dapat memeriksa atau menguji sesuatu, maka seseorang harus terlebih
dahulu menguasai sumber yang dipakai sebagai dasar untuk memeriksa atau menguji
tersebut. Misalnya, seorang hakim di Indonesia harus menguasai terlebih dahulu
semua pasal dalam UUD atau kitab hukum lainnya sebelum ia menjatuhkan hukuman
pada terdakwa atau seorang guru/dosen juga harus menguasai buku teks yang ia
ajarkan agar nantinya dapat menilai apakah jawaban siswa/mahasiswa itu benar
atau salah.
Jika di dalam dunia umum, hal ini lumrah dan
hampir tidak ada seorang terdakwa atau siswa/mahasiswa yang dapat menyalahkan
si hakim atau guru/dosen atas tindakan penilaian benar atau salah, namun
ternyata di dunia rohani, hal ini tabu. Banyak orang Kristen tidak menguji
khotbah mimbar dengan Alkitab dengan berbagai alasan, misalnya: Pertama, menguji
khotbah dengan Alkitab sama dengan tindakan menghakimi, padahal Tuhan Yesus
melarang kita untuk menghakimi orang lain (Mat. 7:1). Pengutipan Matius 7:1
merupakan pengutipan yang tidak memperhatikan konteks dekatnya. Matius 7:1-5
tidak sedang mengajar bahwa kita tidak boleh menghakimi, tetapi melalui kelima
ayat ini, Kristus mengajar kita agar kita menghakimi dengan standar yang benar
(ay. 2) sambil tetap menghakimi diri sendiri terlebih dahulu (ay. 3-5). Jika
Matius 7:1 ditafsirkan sebagai larangan Kristus untuk menghakimi orang lain,
maka mengapa pada pasal yang sama namun di ayat 15-23, Kristus sendiri
menghakimi para penyesat? Apakah Ia tidak konsisten? Tentu tidak. Yang salah
adalah penafsiran banyak orang Kristen terhadap Matius 7:1 yang tidak
memperhatikan konteks dekatnya. Kedua, “jangan mengusik orang yang diurapi Tuhan.”
Pernyataan yang pernah saya dengar dari seorang Kristen yang enggan menguji isi
khotbah dengan Alkitab adalah kita jangan mengusik orang yang diurapi Tuhan.
Dengan kata lain, pendeta siapa pun dengan ajaran salah (bahkan sesat)
sekalipun adalah orang yang diurapi Tuhan, sehingga jangan sekali-kali mengusik
apalagi mengkritiknya. Konsep ini lebih mirip konsep mistik ketimbang konsep
Alkitab. Di dalam dunia mistik, para pemimpin agama dianggap titisan Tuhan yang
tak bersalah, sehingga ketika umatnya berani mengkritik para pemimpin agama, ia
akan menerima hukuman dari Tuhan. Konsep ini bukan hanya salah, namun juga
bertentangan dengan Alkitab. Tuhan Yesus sendiri menghakimi para penyesat (Mat.
7:15-23), Paulus pun berani menegur kemunafikan Petrus (Gal. 2:11-14), Paulus
juga mengajar agar kita menguji segala sesuatu dan memegang yang baik (1Tes.
5:21), dan Yohanes mengajar kita untuk menguji roh apakah roh itu berasal dari
Allah atau bukan (1Yoh. 4:1-4).
Alkitab dengan jelas mengajar kita agar tidak
mempercayai segala bentuk pengajaran yang melawan kebenaran Alkitab. Oleh
karena itu, sebagai orang Kristen, sebelum kita menguji khotbah mimbar dengan Alkitab,
kita harus sudah membaca Alkitab dari Kejadian s/d Wahyu minimal 1x. Dengan
membaca Alkitab, kita diperlengkapi untuk menguji segala sesuatu dengan
firman-Nya. Saya pun telah mempraktikkan hal ini. Ketika ada pendeta yang berkhotbah
bahwa orang Kristen yang disunat itu berdosa, maka saya langsung teringat pada
Kisah Para Rasul 16:2-3,
2Timotius ini dikenal baik oleh saudara-saudara di Listra
dan di Ikonium,
3dan Paulus mau, supaya dia menyertainya dalam perjalanan.
Paulus menyuruh menyunatkan dia karena orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab
setiap orang tahu bahwa bapanya adalah orang Yunani.
Jika ada orang Kristen yang disunat itu
berdosa, maka Timotius pun juga berdosa. Lebih tajam lagi, Paulus yang menyuruh
Timotius disunat pun ikut berdosa. Jika Paulus dan Timotius berdosa, mengapa si
pendeta tersebut membaca dan menafsirkan Surat Galatia yang ditulis Paulus?
Tidak konsisten bukan?
Ketiga, menerima sambil
mengujinya dengan Alkitab. Hal pertama dan kedua bukanlah hal terpisah, namun
saling menyatu. Oleh karena itu, di poin ketiga, saya menggabungkan poin
pertama dan kedua agar kita dapat mengerti sikap orang Kristen yang bijaksana
terhadap khotbah. Pendeta siapa pun dengan ajaran apa pun tetap perlu kita
dengarkan isi khotbahnya. Isi khotbah si pendeta yang sesuai dengan Alkitab
kita perlu dengarkan, resapi, dan jalankan, sedangkan isi khotbah si pendeta yang
jelas tidak sesuai bahkan melawan Alkitab, kita perlu dengarkan juga, tetapi
tidak kita amini dan tentu saja tidak kita jalankan. Berhentilah dari sikap
paranoid theologi yang langsung mencap pendeta dari kalangan tertentu sebagai
salah, lalu kita tidak mau mendengarkannya sama sekali atau mengkarikaturkan
pendeta tertentu sebagai pendeta yang mengajar theologi yang salah karena si pendeta
melayani di sebuah denominasi gereja yang mengajar theologi yang salah. Pendeta
yang melayani di sebuah denominasi gereja yang salah belum tentu menganut
theologi yang salah tersebut, maka saya mengingatkan kita untuk TIDAK paranoid
dan TIDAK seenaknya sendiri mengkarikaturkan orang lain. Ingatlah: tindakan
mengkarikaturkan orang lain identik dengan memfitnah dan itu pun termasuk dosa
yang sering tidak sadari dan kita anggap “baik” demi alasan “memberitakan
kebenaran.”
KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Kita telah belajar dari sikap banyak orang
Yahudi di Berea tentang menerima firman dengan semangat dan mengujinya dengan
Kitab Suci, lalu apa respons kita? Apakah kita masih keras kepala dengan konsep
kita yang enggan dikoreksi oleh firman Tuhan atau kita gemar mengkritik orang
lain, namun enggan mengkritik diri? Kedua sikap ini jelas bertentangan dengan
Alkitab. Alkitab PL dan PB mengajar kita untuk bersikap rendah hati terhadap
pemberitaan firman, namun tetap kritis. Adakah itu juga menjadi sikap Anda?
Biarlah Roh Kudus mendorong kita untuk makin giat membaca, merenungkan, dan
menjalankan firman Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin. Soli Deo
Gloria.
[1] Theological Dictionary of the
New Testament, Vols. 5-9 Edited by Gerhard Friedrich. Vol. 10 Compiled by
Ronald Pitkin, ed. Gerhard Kittel, Geoffrey William Bromiley and Gerhard
Friedrich, electronic ed. (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1964-c1976), 6:699.
Subscribe to:
Posts (Atom)