28 December 2014

Resensi Buku-300: KUASA KATA-KATA DAN KEAJAIBAN ALLAH (editor: John S. Piper dan Justin Taylor)

Setiap manusia pasti berkata-kata di dalam hidupnya, tetapi mereka sering kali tidak menyadari dampak dari perkataan mereka terhadap orang lain. Banyak orang Kristen sendiri kurang memahami tentang perkataan ini, sehingga mereka sering berkata namun tidak memuliakan Allah. Lalu, bagaimana cara berkata sesuatu yang benar sesuai firman-Nya dan memuliakan-Nya?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
KUASA KATA-KATA DAN KEAJAIBAN ALLAH

diedit oleh: Rev. John S. Piper, D.Theol. dan Justin Taylor

Penerbit: Momentum Christian Literature, Surabaya, 2013

Penerjemah: Soemitro Onggosandojo



Di dalam bagian Pendahuluan, Justin Taylor sebagai salah satu editor umum buku ini menjelaskan bahwa setiap kita pasti berkata-kata dan Alkitab dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru mengajar kita tentang kata-kata. Namun masih banyak aspek perkataan yang perlu dibahas dan ini diuraikan oleh masing-masing kontributor di Bab 1 s/d 6. Di Bab 1, Prof. Paul David Tripp, D.Min. memaparkan poin penting bahwa masalah kata-kata adalah masalah hati yang berkaitan dengan Allah. Ketika hati kita berpaut pada Allah dan firman-Nya, maka kita menggunakan perkataan kita untuk memuliakan-Nya dan memperluas Kerajaan Allah, bukan kerajaan kita sendiri dengan cara mengasihi sesama. Namun kita juga harus berhati-hati terhadap bahaya lidah kita dan ini diuraikan oleh Rev. Prof. Sinclair B. Ferguson, Ph.D., D.D. di Bab 2 dengan menjelaskan Yakobus 3:1-12 tentang bahaya lidah seperti besi kendali, tali kekang, dan berkat. Jika lidah itu berbahaya, apakah di dalam Kekristenan tidak dikenal istilah kefasihan Kristen (atau fasih lidah)? Tidak. Di bab 3, Rev. John S. Piper, D.Theol. memaparkan fakta penting bahwa kefasihan Kristen itu tidak salah, namun harus memiliki tujuan utama yaitu meninggikan Kristus dan merendahkan manusia. Jika kefasihan Kristen ada, maka di bab 4, Rev. Mark Driscoll, M.A. memimpin kita untuk mengerti kata-kata tajam yang perlu kita ucapkan terhadap orang lain seperti yang Kristus dan para rasul-Nya katakan, namun dengan maksud kasih dan kebenaran. Karena kefasihan Kristen ada, maka di bab 5, Daniel Taylor mengarahkan kita untuk memahami cerita yang membentuk iman yaitu fungsi cerita dalam Alkitab di dalam pembentukan iman Kristen. Dan terakhir, kata-kata tidak bisa dilepaskan dari momen ketika kita memuji Tuhan di dalam nyanyian rohani. Hal inilah yang dipaparkan oleh Rev. Bob Kauflin di bab 6 yang menjelaskan bahwa lagu-lagu pujian bukan menggantikan firman, tetapi melayani firman dengan terus-menerus mengingatkan kita akan kedalaman firman Allah yang agung. Buku ini diakhiri dengan 2 apendiks yang berisi percakapan antara para kontributor berkenaan dengan 6 bab sebelumnya. Biarlah melalui buku ini, kita dipimpin-Nya untuk makin mengerti betapa pentingnya kata-kata yang kita ucapkan demi kemuliaan-Nya.



Endorsement:
“Sebuah buku yang luar biasa yang layak mendapatkan tempat di rak buku setiap komunikator Kristen.”
Rev. Max Lucado, M.A.
Penulis buku “You Are Special” dan seri Wemmicks dan pelayan senior di Oak Hills Church, Texas, U.S.A. yang menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) dalam bidang Komunikasi Massa di Abilene Christian University, Abilene, Texas, U.S.A. dan Master of Arts (M.A.) dalam bidang Biblical and Related Studies di Abilene Christian University, Abilene, Texas, U.S.A.)

“Sebuah cara pandang yang kaya, Alkitabiah, berpusatkan pada Kristus, menarik, dan sangat berguna.”
Rev. Dr. (HC) Randy T. Alcorn, M.A.
Pendiri Eternal Perspective Ministries (EPM) dan penulis buku “Heaven” dan “If God is Good” yang meraig gelar M.A. dalam bidang Studi Biblika di Multnomah University dan mendapatkan gelar Doktor Kehormatan dari Western Seminary di Portland, Oregon.

“Iman dan praktik secara indah diintegrasikan dalam buku kumpulan hikmat yang saleh ini.”
Rev. Prof. Michael S. Horton, Ph.D.
Profesor Theologi Sistematika dan Apologetika J. G. Machen di Westminster Seminary, California; Pendeta di the United Reformed Churches of North America; dan anggota dari the Oxford University Union Society, the Royal Institute of Philosophy, the American Academy of Religion, the American Theological Society, dan the Calvin Studies Society. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Biola University; M.A. di Westminster  Seminary California; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di University of Coventry and Wycliffe Hall, Oxford.

“Buku ini sangat diperlukan secara mendesak.”
Prof. R. Albert Mohler, Jr., Ph.D.
Presiden Southern Baptist Theological Seminary, U.S.A. dan salah satu pendiri Together for the Gospel bersama Ligon Duncan, Mark Dever, dan C. J. Mahaney. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Samford University, Alabama; Master of Divinity (M.Div.) dan Ph.D. dalam bidang Theologi Sistematika dan Historika di The Southern Baptist Theological Seminary.



Profil para kontributor:
Rev. Prof. Paul David Tripp, M.Div., D.Min. yang lahir di Toledo, Ohio dari orangtua: Bob dan Fae Tripp pada tanggal 12 November 1950 adalah Presiden dari Paul Tripp Ministries. Beliau lulus dari Columbia Bible College (sekarang: Columbia International University) dalam bidang Alkitab dan pendidikan Kristen, kemudian meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Philadelphia Theological Seminary (dulu: Reformed Episcopal Seminary) dan gelar Doctor of Ministry (D.Min.) dalam bidang Biblical Counseling dari Westminster Theological Seminary. Beliau juga adalah seorang profesor Theologi Praktika (Konseling) di Westminster Theological Seminary dan pembicara seminar yang terkenal dan telah menulis banyak artikel untuk Journal of Biblical Counseling dan buku Age of Opportunity: A Biblical Guide to Parenting Teens (terjemahan Indonesia: Masa Penuh Kesempatan: Suatu Bimbingan Alkitabiah bagi Orangtua Para Remaja). Dr. Tripp dan istrinya, Luella tinggal di Philadelphia dan memiliki empat orang anak, yaitu: Justin, Ethan, Nicole dan Darnay.

Rev. Prof. Sinclair B. Ferguson, Ph.D., D.D. yang lahir tahun 1948 adalah theolog Scottish terkenal di dalam lingkungan Kristen Reformed karena pengajaran, tulisan dan karya editorialnya. Beliau meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari University of Aberdeen dan telah melayani di Church of Scotland pada tahun 1971-2005. Beliau juga mendapat gelar Doctor of Divinity (D.D.) dari Erskine Seminary, U.S.A. Beliau telah melayani sebagai editor bersama the Banner of Truth Trust dan bekerja sebagai seorang pelayan Tuhan di St George's-Tron Church, Glasgow.
Ferguson adalah pelayan senior di First Presbyterian Church di Columbia, South Carolina dan Profesor Theologi Sistematika di Redeemer Seminary di Dallas. Beliau juga adalah anggota dewan dari Alliance of Confessing Evangelicals.
Ferguson adalah teman dari Dr. R. C. Sproul dan telah menjadi pembicara pada beberapa Sproul's Ligonier Conferences. Buku-buku yang telah ditulis, diedit atau disumbangkan oleh beliau antara lain:
John Owen: The Man and His Theology (2003), kontributor tentang John Owen
The Preacher's Commentary - Vol. 21 - Daniel (2002)
The Big Book of Questions & Answers about Jesus (2000)
The Grace of Repentance (Today's Issues) (2000)
Reformed Confessions Harmonized (1999), editor bersama Joel Beeke
Let's Study Mark (1999)
Let's Study Philippians (1998)
Big Book of Questions and Answers (1997)
The Holy Spirit (1997)
Heart for God (1996)
The Christian Life (1996)
Discovering God's Will (1996)
Sermon on the Mount (1996)
The Pundit's Folly (1996)
Grow in Grace (1989)
Children of the Living God (1989)
New Dictionary of Theology (Master Reference Collection) (1988), editor bersama David Wright and J. I. Packer
Daniel (Mastering the Old Testament, Vol 19) (1988)
John Owen on the Christian Life (1987)
Buku-buku beliau yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Momentum adalah: Bertumbuh Dalam Anugerah, Khotbah Di Bukit, Menemukan Kehendak Allah, Hati yang Dipersembahkan Kepada Allah, dan Kehidupan Kristen. Beliau menikah dengan Dorothy dan dikaruniai 4 orang anak yang sudah dewasa.

Rev. John Stephen Piper, B.A., B.D., D.Theol. adalah Pendeta Pengkhotbah dan Visi di Betlehem Baptist Church, Minneapolis, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) dari Wheaton College, U.S.A.; Bachelor of Divinity (B.D.) dari Fuller Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Theologie (D.Theol.) dari University of Munich, Munich, Jerman Barat. Disertasinya, Love Your Enemies, diterbitkan oleh Cambridge University Press dan Baker Book House. Beliau menikah dengan Noël dan dikaruniai 5 orang anak dan cucu-cucu yang terus bertambah.

Rev. Mark Driscoll, M.A. yang lahir di Grand Forks, North Dakota, 11 Oktober 1970 adalah Pendeta Pendiri dan pengkhotbah utama di Mars Hill Church, Seattle. Beliau adalah presiden Act 29 Church Planting Network (www.acts29network.org) dan pemimpin The Resurgence Missional Theology Cooperative (www.theresurgence.com). Beliau menyelesaikan studi Bachelor di bidang komunikasi di Washington State University dan Master of Arts (M.A.) dalam bidang Exegetical Theology di Western Seminary, U.S.A. Buku-buku yang beliau tulis, yaitu: “Vintage Jesus”; “Death by Love”; “Vintage Church”; dan “Religion Saves.” Beliau menikah dengan Grace dan dikaruniai 5 orang anak.

Prof. Daniel Taylor, Ph.D. adalah Profesor Literatur dan Kepenulisan di Bethel University, St. Paul, Minnesota sejak tahun 1977. Beliau juga adalah pendiri The Legacy Center (www.thelegacycenter.net) yang mendorong orang-orang dari organisasi untuk mengenali dan melestarikan nilai-nilai dan kisah-kisah yang telah membentuk hidup mereka. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Westmont College, Santa Barbara, California dan M.A. dan Ph.D dalam bidang Inggris di Emory University, Atlanta, Georgia. Beliau baru saja memproduksi bersama The Expanded Bible. Beliau menikah dengan Jay dan dikaruniai 4 orang anak dan 2 cucu perempuan. Beliau menulis beberapa buku, yaitu: “The Myth of Certainty”, “Letters to My Children”, “Tell Me A Story: The Life-Shaping Power of Our Stories”, “In Search of Sacred Places: Looking for Wisdom on Celtic Holy Islands”, dan “Creating a Spiritual Legacy: How to Share Your Stories, Values, and Wisdom”. Beliau telah menikah dan dikaruniai 4 orang anak.

Rev. Bob Kauflin adalah pendeta dan pemimpin ibadah di Covenant Life Church, U.S.A. Beliau juga adalah Direktur Pengembangan Ibadah di Sovereign Grace Ministries. Beliau dahulu bergabung dengan kelompok pemusik rohani GLAD sebagai penggubah lagu selama 8 tahun. Setiap dua tahun, beliau menjadi tuan rumah konferensi Worship God. Beliau menikah dengan Julie dan dikaruniai 6 orang anak dan banyak cucu. Mereka tinggal di Montgomery Village, Md.

Justin Taylor adalah Direktur editorial penerbit Crossway Books di Wheaton, Illinois. Beliau menulis artikel di blog setiap hari di Between Two Worlds. Beliau menikah dengan Lea dan dikaruniai 3 orang anak yang masih kecil.

24 December 2014

Renungan Natal 2014: PARA PEMIMPIN AGAMA DAN KELAHIRAN KRISTUS (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Natal 2014

PARA PEMIMPIN AGAMA DAN KELAHIRAN KRISTUS

oleh: Denny Teguh Sutandio


3Ketika raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem.
4Maka dikumpulkannya semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi, lalu dimintanya keterangan dari mereka, di mana Mesias akan dilahirkan.
5Mereka berkata kepadanya: "Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi:
6Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel."
(Mat. 2:3-6)


Ketika Kristus lahir, ada begitu banyak orang yang meresponinya, salah satunya adalah para pemimpin agama yang terdiri dari para imam kepala dan ahli Taurat. Sebelum kita menyelidiki siapa mereka, mari kita mengerti konteksnya. Injil Matius mencatat kelahiran Kristus begitu singkat yaitu di Matius 1:18-25. Kemudian mulai pasal 2, Matius mencatat 3 golongan orang yang menanggapi berita kelahiran Kristus itu yaitu para orang majus dari Timur, raja Herodes, dan para pemimpin agama. Pada ayat 1-2, Matius mencatat bahwa para majus dari Timur pergi ke Yerusalem dan bertanya-tanya di manakah raja Yahudi itu datang. Menanggapi pertanyaan mereka, Matius mencatat bahwa raja Herodes dan seluruh rakyat Yerusalem terkejut (ay. 3). Kemudian pada ayat 4, raja Herodes mengumpulkan semua imam kepala dan para ahli Taurat untuk meminta keterangan di mana Mesias dilahirkan. Menariknya di ayat 5-6, imam kepala dan para ahli Taurat menjawabnya dengan mengutip Mikha 5:1. Kemudian Herodes memanggil para orang majus dan menyuruh mereka untuk menyelidiki tempatnya agar ia dapat menyembah-Nya (ay. 7), namun itu tak pernah dilakukannya (ay. 16-18). Pertanyaannya siapakah imam kepala dan para ahli Taurat yang muncul di ayat 4-6 ini?

Kata “imam kepala” dalam ayat 4 dalam teks Yunaninya ρχιερες (archiereis) yang berasal dari kata ρχιερες (archiereus) yang berarti “para imam kepala” (bentuk jamak) yang merujuk pada “para anggota Sanhedrin yang termasuk keluarga imam kepala” (Mat. 2:4; Luk. 23:13; Kis. 4:23) dan imam kepala sendiri (bentuk tunggal) merupakan kepala agama Yahudi dan presiden Sanhedrin (Mrk. 14:60 dst, 63; Yoh. 18:19, 22, 24). Sanhedrin berasal dari kata “sun” yang berarti “bersama” dan “hendra” berarti “tempat duduk”. Sanhedrin, sebelum dan pada masa Kristus, merupakan nama bagi pengadilan Yahudi tertinggi yang terdiri dari 71 anggota, di Yerusalem, dan juga bagi pengadilan lebih rendah yang terdiri dari 23 anggota di mana di Yerusalem ada 2. Mereka bertugas mengadili seseorang dalam hal sipil maupun kriminal sesuai hukum Taurat.[1]

Lalu, siapakah ahli Taurat? Kata Yunani yang dipakai adalah γραμματες (grammateis) yang berasal dari kata γραμματες (grammateus) yang dalam konteks ini merujuk pada para ahli Taurat Yahudi. Mereka dapat membaca dan menulis, sehingga mereka bekerja sebagai guru dan panitera. Karena bagi orang Yahudi, Taurat begitu penting, maka para ahli Taurat ini sering menduduki posisi sebagai pemimpin.

Dengan kata lain, tatkala raja Herodes bertanya kepada para imam kepala dan ahli Taurat tentang di mana kelahiran raja Yahudi, ia sedang bertanya kepada pemimpin agama Yahudi baik secara pengadilan maupun theologi. Jika mau diibaratkan di zaman sekarang (meskipun tidak sama persis), para imam kepala seperti para pendeta dan para ahli Taurat seperti para theolog Biblika yang berkutat dengan hal-hal seputar Alkitab secara mendetail. Bayangkan mereka yang menguasai hukum agama dan theologi sangat menguasai di mana kelahiran Mesias, raja Yahudi di mana mereka mengutip Mikha 5:1 sebagai dasarnya, namun apa respons mereka setelah mengetahui informasi tersebut? Injil Matius tidak mencatat reaksi apa pun dari mereka. Ini berarti bahwa mereka mengerti secara theologi dan Taurat bahwa Mesias akan lahir di Betlehem, namun mereka tidak menanggapi apa yang mereka mengerti. Mengapa saya tidak mengatakan bahwa mereka tidak menanggapi? Coba dramatisir konteks Matius 2:3-6.

Bayangkan Anda adalah orang Israel yang sedang dijajah oleh pemerintahan Romawi dan Anda menginginkan seorang Mesias yang akan membebaskan Anda. Kemudian datanglah para orang majus mengabarkan tentang ada bintang di langit di Israel yang memberi tahukan ada Mesias, raja Yahudi lahir. Lalu, raja Herodes yang ditanyai para orang Majus itu akhirnya memanggil para imam dan ahli Taurat untuk bertanya kepada mereka tentang lokasi kelahiran Mesias dan mereka sudah menjawabnya. Jika Anda menjadi para imam kepala dan ahli Taurat, apa yang akan Anda lakukan? Setelah Anda menjawab lokasinya dengan mengutip ayat di PL, bukankah Anda langsung berkata kepada Herodes atau para orang Majus itu agar Anda juga ikut ke Betlehem untuk menjumpai Mesias itu? Bukankah itu reaksi normal seorang yang benar-benar merindukan kedatangan Sang Pembebas Israel? Namun sayangnya mereka tidak melakukannya. Mengapa? Kita perlu mengerti konsep Yahudi tentang Mesias di zaman Tuhan Yesus.

Orang Israel di zaman Tuhan Yesus mengharapkan sosok Mesias sebagai pembebas politik, bukan Pembebas dari dosa. Di dalam pikiran mereka, mereka hanya memikirkan keuntungan jasmani yaitu kemakmuran, pembebasan, dll. Jangan heran, ketika Ia melakukan mukjizat memberi makan untuk 5000 orang, orang-orang Yahudi ingin mendudukkan-Nya sebagai raja (Yoh. 6:15). Dari konsep ini, maka tidak heran pula, para pemimpin agama Yahudi yang mencakup para imam kepala dan ahli Taurat yang mengerti Taurat tentang di mana Mesias dilahirkan tanpa memberi respons apa pun tentang Mesias.

Apa yang dapat kita pelajari dari respons para imam kepala dan ahli Taurat terhadap kelahiran Kristus? Mereka mengajar kita tentang respons yang buruk terhadap kelahiran Kristus. Mereka hanya pandai mengutip ayat dalam Perjanjian Lama tentang lokasi kelahiran Mesias, tetapi mereka tidak pernah datang sendiri kepada Mesias, bahkan mereka akhirnya menyalibkan-Nya. Ini berarti tidak semua orang yang menguasai theologi dan berjubah pemimpin agama benar-benar mengasihi Allah dan melayani-Nya. Saya tidak anti belajar theologi, karena belajar theologi itu sangat penting bagi pertumbuhan iman Kristen. Yang saya soroti adalah bahaya terlalu belajar theologi dan pandai mengutip ayat Alkitab sini sana, tetapi tidak benar-benar mengenal Kristus yang diberitakan dalam Alkitab. Saya teringat perkataan Prof. J. I. Packer, D.Phil. yang membedakan antara mengenal Allah vs mengenal tentang Allah. Beliau mengatakan bahwa banyak orang dapat mengetahui tentang Allah, tanpa benar-benar mengetahui/mengenal-Nya dan banyak orang dapat mengetahui banyak kesalehan tanpa benar-benar mengenal-Nya.[2] Mereka sangat memahami doktrin Allah, Alkitab, Kristus, Roh Kudus, dll dan sudah membaca Alkitab puluhan kali, namun sayangnya mereka hanya sebatas mengenal tentang Allah, bukan mengenal Allah. Artinya, Allah bukan menjadi Raja dan Pemimpin hidupnya, tetapi sebagai objek pengetahuan theologi semata.

Di Indonesia, hal yang sama juga menjadi pelajaran bagi kita. Ada sekelompok orang Kristen yang anti theologi, namun ada sekelompok orang Kristen yang tergila-gila dengan theologi. Mereka yang sangat menggemari theologi tentu tidak salah, namun bahayanya adalah mereka terlalu mengukur segala sesuatu, bahkan hal-hal yang sangat remeh sekalipun dari theologi. Tidak ada salahnya mengkritisi dunia, namun berhati-hatilah dalam mengkritisi: apa yang kita kritisi, sejauh mana kita memahami apa yang kita kritisi, dan apakah yang kita kritisi itu benar-benar signifikan untuk dikritisi atau semata-mata karena kita kurang kerjaan, maka kita menjadi tukang kritik sini sana. Mayoritas (tidak semua) orang yang suka kritik sini sana adalah orang yang tidak mau mengkritik diri. Sungguh sangat disayangkan. Tidak usah jauh-jauh, gejala ini sudah ada di zaman Tuhan Yesus, para ahli Taurat yang rajin menyelidiki Taurat mengkritik Yesus, namun ketika giliran mereka yang dikritik Kristus di Matius 23, mereka marah.

Sekarang, bagaimana dengan Anda yang membaca artikel ini? Apa respons Anda terhadap kelahiran Kristus? Apakah Anda meneladani sikap para pemimpin agama ini ataukah Anda meneladani sikap para orang majus yang tidak mengerti Taurat, namun memiliki fokus yang jelas yaitu menyembah Mesias (Mat. 2:2)? Biarlah Natal ini bukan hanya menjadi peringatan akan pengetahuan Alkitab kita tentang kelahiran Kristus, tanggal berapa Kristus lahir, dll, tetapi menjadi momen di mana kita benar-benar datang sendiri ke tempat Kristus dilahirkan itu yaitu dengan mengalami-Nya di dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Amin. Soli Deo Gloria.










[1] James Orr, M.A., D.D., The International Standard Bible Encyclopedia : 1915 Edition, ed. James Orr (Albany, OR: Ages Software, 1999).
[2] J. I. Packer, Knowing God: Tuntunan Praktis Untuk Mengenal Allah, terj. Johny The (Yogyakarta: ANDI, 2002), 15-6.

21 December 2014

Resensi Buku-299: BUKU WAJIB CARA MENANGKAL SEKTE DAN AGAMA BARU (Rev. Nigel Scotland, Ph.D.)

Di dunia ini terdapat berbagai macam sekte dan agama baru yang bermunculan. Apa saja sekte dan agama-agama baru tersebut? Dari mana mereka muncul? Bagaimana perkembangannya saat ini?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
BUKU WAJIB CARA MENANGKAL SEKTE DAN AGAMA BARU

oleh: Rev. Nigel Scotland, Ph.D.

Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2013

Penerjemah: Ester Yuliati Bunawolo



Di dalam buku ini, Rev. Nigel Scotland, Ph.D. menyebutkan 40 sekte dan agama baru baik yang berkaitan dengan Kekristenan maupun agama non-Kristen. Ke-40 sekte dan agama baru ini dijelaskan mulai dari awal munculnya, pendirinya, penyebarannya, lalu perkembangannya hingga sekarang termasuk jumlah pengikutnya, dan terakhir praktik dewasa ini. Penjelasan ke-40 sekte dan agama baru ini dibuat sesingkat dan sesederhana mungkin dengan pendekatan objektif. Artinya, pembaca disuguhi informasi tentang 40 sekte dan agama baru yang didasarkan pada sumber pertama, bukan karikatur atau salah tafsir terhadap sekte dan agama baru tersebut. Selain itu, pembaca juga disuguhi informasi bukan sekadar asal mula sekte dan agama baru tersebut, tetapi juga perkembangannya, sehingga pembaca dapat mengerti bahwa mungkin sekali suatu sekte pada awal munculnya dapat dikategorikan sesat, tetapi di dalam perkembangannya, sekte tersebut mulai kembali kepada ajaran yang benar. Biarlah buku yang menarik ini dapat mencerahkan pikiran kita tentang berbagai sekte dan agama baru.



Profil Dr. Nigel Scotland:
Revd. Nigel Scotland, L.Th., M.Div., M.A., PGCE, M.Litt., Ph.D. adalah pengajar bidang Sejarah Gereja di Trinity College, Bristol. Beliau menyelesaikan studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) di University of Aberdeen. Keahlian beliau di: Sejarah Gereja Inggris Abad XIX dan khususnya Evangelikalisme baik secara historis maupun kontemporer. Buku-buku yang beliau tulis meliputi:
Christianity Outside the Box (Eugene, OR: Pickwick, 2012)
Rome (Travel Through Guide; Day One Publications, 2011)
Apostles of the Spirit and Fire: American revivalists and Victorian Britain (Milton Keynes/Colorado Springs/Hyderabad: Paternoster, 2009)
Squires in the Slums: Settlements and Missions in Late-Victorian London(London: I.B. Tauris, 2007)
A Pocket Guide to Sects and New Religions (Oxford: Lion Hudson, 2005)
Evangelical Anglicans in a Revolutionary Age 1789-1901 (Carlisle/Waynesboro, GA: Paternoster, 2003)
Sectarian Religion in Contemporary Britain (Carlisle/Waynesboro, GA: Paternoster, 2000)
Charismatics and the New Millennium (Guildford: Eagle, 2000)

19 December 2014

MENCARI PASANGAN HIDUP YANG SEIMAN (Denny Teguh Sutandio)

MENCARI PASANGAN HIDUP YANG SEIMAN

oleh: Denny Teguh Sutandio


PENDAHULUAN
Bagi orang Kristen, kita percaya bahwa ada beberapa orang yang dikaruniai membujang (single) demi Kerajaan Allah (Mat. 19:12), namun ada yang tidak. Bagi yang tidak dikaruniai karunia membujang, maka tugas orang Kristen khususnya para muda/i Kristen adalah mencari pasangan hidup untuk menjadi suami/istri di kemudian hari. Masalahnya adalah kriteria utama apa yang harus dicari oleh muda/i Kristen dalam menemukan pasangan hidupnya?


DASAR ALKITAB BAGI MENCARI PASANGAN HIDUP YANG SEIMAN
 Sudah sering kita mendengar khotbah dan membaca buku dari berbagai penginjil dan pendeta bahwa kita diajar untuk mencari pasangan hidup yang seiman. Biasanya mereka mengutip 2 Korintus 6:14, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Konsep mencari pasangan hidup yang seiman itu sudah benar, namun pengutipan 2 Korintus 6:14 ini kurang tepat. Mari kita menyelidikinya. Frase “merupakan pasangan yang tidak seimbang” di ayat 14 ini dalam teks Yunaninya γνεσθε τεροζυγοντες (ginesthe heterozugountes) di mana kata “ginesthe” berasal dari kata “ginomai” yang berarti “menjadi” dan “heterozugountes” yang berasal dari kata “heterozugeō” berarti “unevenly yoked” (dikenakan kuk yang merata) atau “mismated” (pasangan yang tidak seimbang). New English Translation (NET) menerjemahkannya, “Do not become partners with those who do not believe;” Di sini, digunakan kata “partner” (rekan) dan sama sekali tidak menunjuk pada pasangan hidup. Lagipula, sesuai salah satu prinsip penafsiran Alkitab yang bertanggung jawab, satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks dekatnya, maka ayat 14 tidak dapat dilepaskan dari ayat-ayat sebelumnya yaitu mulai ayat 1, di mana Paulus sedang berbicara tentang pasangan dalam pelayanan, bukan pasangan hidup.

Karena 2 Korintus 6:14 kurang tepat dipergunakan sebagai referensi mencari pasangan hidup yang seiman, lalu apakah muda/i Kristen boleh mencari pasangan hidup sesuka hatinya tanpa memperdulikan iman? Tidak. Ada referensi ayat lain yang mengajar pentingnya mencari pasangan hidup yang seiman. Pasangan hidup yang kita cari nanti akan menjadi suami atau istri kita dan Paulus mengajar bahwa hubungan sunami-istri itu mirip seperti hubungan Kristus dan jemaat-Nya di dalam Efesus 5:22-30. Di dalam perikop ini, Paulus hendak mengajar kita bahwa istri harus tunduk pada suami karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat yang menyelamatkan tubuh (ay. 22-23) dan suami pun harus mengasihi istrinya sebaagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dengan menyerahkan diri-Nya bagi mereka untuk menguduskannya (ay. 25-26). Dengan kata lain, suami merupakan representasi Kristus dan istri sebagai representasi jemaat yang merupakan kumpulan umat pilihan Allah yang percaya kepada Kristus.

Pertanyaannya, jika istri diibaratkan seperti jemaat dan suami diibaratkan seperti Kristus, maka apa jadinya jika muda/i Kristen mencari pasangan hidup yang tidak seiman? Seorang cowok Kristen mencari seorang cewek yang tidak beriman, apalagi atheis untuk menjadi pacarnya. Seorang yang berpacaran pasti sebentar lagi siap untuk menikah. Nah, masalahnya adalah apakah si cewek ini layak merepresentasikan jemaat yang merupakan kumpulan umat pilihan Allah yang percaya kepada Kristus, padahal si pemudi ini bukan seorang yang beriman, bahkan atheis (baik praktis maupun teoritis)? Bagaimana sebaliknya jika ada seorang cewek Kristen yang sudah cukup umur akhirnya menerima cowok siapa pun yang membuat dirinya selalu senang, namun tidak peduli apakah ia beriman atau atheis? Apakah si cowok ini mereprentasikan Kristus yang mengasihi jemaat? Jelas tidak mungkin.


MAKNA “SEIMAN”
Apa artinya “seiman”? “Seiman” tidak berarti sama-sama Kristen atau yang lebih parah: satu gereja (segereja). Fakta mengatakan bahwa meskipun sama-sama segereja, tidak menjamin seseorang benar-benar beriman kepada Kristus. Ada beberapa orang yang rajin melayani, tetapi konsep imannya masih difokuskan pada berpikir positif ala Gerakan Zaman Baru, meskipun pendetanya sudah mengkritik ajaran-ajaran demikian. Dengan kata lain, orang-orang ini hanya mengerti theologi secara pikiran, namun tidak pernah menerimanya secara hati dan menjalankannya. Makin hari saya makin menyadari sekaligus mengintrospeksi diri saya, makin melayani, apakah kita benar-benar makin mengasihi Allah secara hati, pikiran, perkataan, dan tindakan? Ataukah makin melayani, kita makin tampak hebat dan sok sibuk?
“Seiman” juga bukan berarti sama-sama Kristen, karena fakta juga berkata bahwa sama-sama Kristen pun tidak menjamin imanya difokuskan kepada Allah. Ada orang Kristen yang imannya ditujukan pada kekayaan materi, dll.
Jika demikian, apa makna “seiman”? “Seiman” berarti sama-sama memiliki iman yang difokuskan pada Allah dan firman-Nya yang ditandai dengan:
1.             Allah Menjadi Pusat Kehidupannya
Seorang yang benar-benar beriman adalah orang yang menjadikan Allah sebagai pusat kehidupannya. Artinya, seluruh aspek kehidupannya baik hati, pikiran, perkataan, maupun tindakan diserahkan kepada Allah dan mengizinkan-Nya menguasainya. Jujur, secara teori, hal ini sangat mudah kita aminkan, tetapi sangat sulit kita jalankan, karena kita sering kali ingin diri kita yang menjadi tuan atas hidup kita sendiri. Tetapi masalahnya bukanlah apakah kita sudah sempurna menempatkan Allah sebagai pusat kehidupan kita, tetapi apakah kita rindu untuk terus-menerus diproses oleh-Nya untuk menempatkan-Nya sebagai pusat kehidupan kita.

2.             Taat Pada Firman-Nya
Seorang yang menjadikan Allah sebagai pusat kehidupannya adalah orang yang taat mutlak akan apa yang telah Ia wahyukan di dalam Alkitab. Ketaatan ini meliputi ketaatan dalam hal doktrin maupun praktik hidup. Ketika ia seorang Kristen memiliki serangkaian doktrin yang diajarkan gereja, ia akan memiliki kerinduan menguji doktrin tersebut apakah sesuai dengan Alkitab atau tidak. Jika doktrin yang dianut gerejanya tidak sesuai dengan Alkitab dengan penafsiran yang bertanggung jawab, maka ia akan rela melepaskan doktrin tersebut. Ia lebih taat pada Alkitab sebagai firman Allah ketimbang gereja jika gerejanya terbukti tidak mengajarkan Alkitab dengan bertanggung jawab. Di dalam hal praktik hidup, ia juga siap taat pada Alkitab, meskipun ketaatan itu membayar harga yang mahal.

3.             Memiliki Teachable Spirit
Terakhir, seorang yang sungguh-sungguh beriman juga adalah seorang yang memiliki kerendahan hati yang salah satunya ditunjukkan dengan siap dikritik oleh saudara seiman jika kita memang benar-benar salah. Ada kaitan antara no 1 dan 2 dengan no 3. Seorang yang memusatkan Allah dalam hidupnya dan taat pada firman-Nya menyadari bahwa dirinya adalah manusia berdosa dan bukan Allah. Seorang yang menyadari bahwa ia bukan Allah tentu adalah seorang yang dapat bersalah dan memerlukan teguran dari orang lain. Dengan kata lain, orang yang memiliki teachable spirit didahului oleh sikap hati yang memusatkan hidup pada Allah dan taat pada firman-Nya. Apalagi seorang yang melayani Tuhan di gereja entah itu sebagai singer, pemimpin pujian, penyambut jemaat, kolektan, guru sekolah minggu, pengurus komisi pemuda, majelis, maupun para pengkhotbah mimbar seharusnya memiliki kerinduan untuk ditegur jika bersalah. Saya sendiri yang melayani Tuhan di gereja sebagai penyambut jemaat, kolektan, pengurus komisi pemuda juga terus-menerus siap ditegur jika saya salah. Saya bersyukur kepada Tuhan karena telah mendapat bimbingan dari bapak dan ibu gembala (Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M. dan Ev. Nike Pamela, M.Th.) gereja saya yang terus mengoreksi saya agar saya makin dewasa baik dalam iman dan karakter. Ditegur memang tidak nyaman, tetapi itu merupakan proses di mana kita makin serupa dengan Kristus.
Namun sayangnya, saya menjumpai ada beberapa orang Kristen yang mengaku diri “melayani Tuhan” di gereja yang tidak memiliki semangat ingin ditegur jika mereka salah. Hal ini disebabkan karena ia tidak pernah menempatkan Allah sebagai pusat kehidupannya apalagi taat pada firman-Nya.


ALASAN BEBERAPA PEMUDA/I KRISTEN MENCARI PASANGAN HIDUP YANG TIDAK SEIMAN
Secara theologis dan konseptual, kita sebagai pemuda/i Kristen mengerti bahwa kita harus mencari pasangan hidup yang seiman, namun bagaimana praktik lapangan yang kita lihat dan alami? Jujur, saya menemukan beberapa cowok/cewek Kristen yang mengerti konsep mencari pasangan hidup yang seiman justru adalah mereka yang masa bodoh dengan iman. Ironis. Bagi mereka, tidak menjadi masalah mencari pasangan hidup yang tidak seiman bahkan atheis sekalipun, mengapa? Biasanya mereka selalu mengeluarkan jurus andalan mereka, “Nanti kan bisa diinjili.” Alasan ini sebenarnya adalah alasan yang mereka pakai untuk menutupi keinginan mereka sendiri yang melawan Alkitab dan saya jamin bahwa mereka tak akan mungkin memberitakan Injil kepada pacarnya. Atau ada pemuda/i Kristen yang berpikir pragmatis di mana nanti pasangannya akan ia ajak ke gereja dengan tujuan agar pasangannya “bertobat.”

Sebenarnya apa alasan beberapa cowok/cewek Kristen zaman ini lebih suka mencari pasangan yang tidak seiman? Paling tidak saya menemukan beberapa alasan, yaitu:
1.             Cowok/cewek yang Pertama Kali Disuka adalah Orang yang Tidak Seiman
Saya menjumpai ada cowok/cewek Kristen yang menemukan lawan jenis yang tidak seiman, kemudian berpacaran mengatakan bahwa lawan jenis yang pertama kali ia suka adalah lawan jenis yang tidak seiman. Ada berbagai alasan cowok/cewek Kristen ini suka dengan lawan jenis yang tidak seiman ini, yaitu: si lawan jenis ini cantik/tampan, baik, humoris, nyambung, dll. Artinya kriteria terpenting memilih lawan jenis tidak diperhatikan. Saya tidak mengatakan bahwa kriteria fisik, karakter, dll tidak perlu diperhatikan. Maksud saya adalah beberapa cowok/cewek Kristen lebih memperhatikan kriteria fisik, karakter, dll ketimbang kriteria iman sebagai kriteria terpenting.
Mengapa demikian? Saya menduga bahwa mereka tidak memperhatikan kriteria iman karena mereka sendiri tidak beriman. Upsss, maafkan saya, saya tidak sedang menghakimi siapa pun, tetapi saya sedang berbicara fakta. Seorang yang benar-benar beriman kepada Kristus akan memiliki hati, pikiran, emosi, perkataan, dll yang benar-benar berpusat pada-Nya dan menyenangkan-Nya, maka tidak heran, ia akan bertindak apa pun demi kemuliaan-Nya, termasuk mencari dan menemukan pasangan hidup. Seorang cowok/cewek yang sungguh-sungguh beriman kepada Kristus tidak akan sembarangan memilih lawan jenisnya, meskipun lawan jenis tersebut ia taksir. Jika ia menemukan lawan jenisnya tidak beriman, maka ia akan langsung menolak mendekati atau didekati. Ini adalah sikap seorang cowok/cewek yang benar-benar beriman kepada Allah.

2.             Banyak Cowok/Cewek non-Kristen Lebih Baik dari Cowok/Cewek Kristen
Alasan kedua beberapa cowok/cewek Kristen memilih lawan jenis yang tidak seiman adalah karena banyak cewek/cowok non-Kristen lebih baik dari cewek/cowok Kristen. Mereka biasanya beralasan bahwa mereka sudah pernah berpacaran dengan lawan jenis Kristen dan mereka merasa dikecewakan, kemudian mereka “sengaja” mencari lawan jenis yang tidak Kristen, lalu keluarlah kata-kata “mutiara”nya, “Toh, yang penting berbuat baik, percuma ke gereja, tetapi mengecewakan orang.”
Lagi-lagi presuposisi dibalik alasan ini adalah perbuatan baik itu terpenting dan iman bukan hal penting. Seperti halnya alasan nomer 1, jika ada cowok/cewek Kristen yang mengeluarkan alasan seperti nomer 2 ini maka dapat dipastikan bahwa ia bukan seorang yang beriman. Saya mengerti sakit hatinya orang yang merasa telah dikecewakan oleh mantan pacar yang Kristen, namun sakit hati adalah sakit hati, jangan sampai sakit hati mendikte iman dan pikiran kita. Seorang yang beriman sungguh-sungguh bisa mengalami sakit hati, tetapi ia tidak akan berfokus pada sakit hati, kemudian mencari lawan jenis yang mendukakan hati-Nya. Ia akan lebih mengasihi Allah yang telah mencipta, memelihara, dan menebusnya dengan cara mencari lawan jenis yang menyenangkan hati-Nya ketimbang mengizinkan sakit hatinya memerintah hidupnya.
Kesalahan kedua dari beberapa cowok/cewek Kristen yang berkata bahwa cowok/cewek non-Kristen lebih “baik” dari mereka yang Kristen adalah mereka menduga bahwa cowok/cewek non-Kristen jauh lebih baik dari cowok/cewek Kristen. Mereka terkunci pada kata “Kristen”, padahal itu salah. Apakah seorang cowok/cewek Kristen menjamin ia seorang yang benar-benar beriman? Tidak. Saya percaya bahwa ada cowok/cewek non-Kristen yang lebih baik dari cowok/cewek Kristen, namun sekali lagi, fokusnya bukan pada “lebih baik”, tetapi pada iman! Lalu, apa arti “baik” sendiri? Jangan terlalu cepat mengobral kata “baik” dan menyebut lawan jenis tertentu “baik” tanpa kita mengerti makna “baik.” Seorang mantan rekan kerja saya yang berjenis kelamin perempuan pernah menyebut mantan pacarnya sebagai orang “baik”, mau tahu alasannya? Ia berkata bahwa mantan pacarnya itu baik karena mantan pacarnya sering membelikannya makanan. Baik karena menguntungkan saya? Itukah baik? Periksalah kosa kata kita tentang “baik” sebelum kita berani mengobral kata “baik” tanpa mengerti maknanya J
Meskipun mereka akhirnya menemukan lawan jenis yang tidak seiman, apakah menjamin bahwa kehidupan pernikahan mereka kelak pasti bahagia? Fakta berkata: “TIDAK”. Lihatlah berita para artis Kristen yang menikah dengan pasangan yang tidak seiman, apa kehidupan pernikahan mereka bahagia? Satu per satu, mereka bercerai. Ada sekelompok “Kristen” yang mengajarkan bahwa pernikahan perbedaan agama tidak menjadi masalah, asalkan saling menghormati, namun kita menjumpai tidak sedikit pasutri beda agama yang pada awalnya “harmonis” dan “saling menghormati”, tiba-tiba berpuluh tahun kemudian akhirnya bercerai.


PERGUMULAN MENCARI PASANGAN HIDUP YANG SEIMAN
Sesuai dengan pengajaran Alkitab di Efesus 5:22-30, maka sebagai generasi muda Kristen, kita harus lebih menaati firman Allah bukan hanya secara pikiran, tetapi secara hati dan tindakan, khususnya dalam mencari pasangan hidup yang seiman.

Tantangan-tantangan Dalam Mencari Pasangan Hidup yang Seiman
Saya harus mengakui bahwa ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi tatkala kita mencari pasangan hidup yang seiman. Ada beberapa tantangan, yaitu:
1.             Tantangan Superfisial
Tantangan pertama adalah tantangan superfisial yaitu tantangan yang nampak di depan mata. Jujur harus diakui, banyak cowok lebih mementingkan fisik seorang lawan jenis, sehingga tantangan terberat seorang cowok Kristen dalam mencari pasangan hidup yang seiman adalah banyak lawan jenis yang tidak seiman lebih cantik daripada mereka yang seiman. Saya sedang berbicara fakta, tidak sedang menghina cewek. Bagi cewek, ada beberapa cewek Kristen yang mendambakan cowok macho, tinggi, tampan, baik, humoris, charming, bahkan kalau perlu kaya (baca: pengusaha) dan mereka menjumpai kriteria tersebut pada banyak cowok yang tidak seiman. Lagi-lagi, saya tidak sedang menghina cowok Kristen, karena saya pun adalah seorang cowok Kristen.

2.             Tantangan Usia
Tantangan berikutnya adalah tantangan usia. Beberapa cowok atau cewek yang sudah berusia 30 tahun ke atas didesak oleh orang tuanya untuk segera mencari istri/suami, sehingga mereka akhirnya sembarangan memilih lawan jenis entah itu seiman atau tidak. Namun sayangnya orang tua yang mendesak adalah orang tua yang kurang menekankan pentingnya memilih lawan jenis yang seiman karena orang tua ini mungkin bukan orang tua Kristen atau orang tua yang asal rutin kebaktian di gereja tanpa mengerti esensi iman Kristen.

Jika ada tantangan, maka apa yang harus kita lakukan sebagai generasi muda Kristen yang takut akan Allah? Ada beberapa hal yang seharusnya kita lakukan, yaitu:
1.             Selidiki dan Perkuat Iman Kita
Sebelum kita masuk ke dalam berbagai tahap dalam mencari pasangan hidup yang seiman, syarat pertama yang harus kita lakukan adalah menyelidiki iman kita. Sebagai orang Kristen, belajarlah jujur terhadap diri dan iman kita sendiri, apakah kita benar-benar mengasihi-Nya? Saya tidak sedang bertanya: seberapa aktif Anda “melayani Tuhan” di gereja atau seberapa banyak Anda sudah mengonsumsi buku-buku theologi tingkat tinggi? Saya tidak bermaksud bahwa melayani dan belajar theologi tidak penting, tetapi penekanan saya adalah seberapa dalam Anda mengasihi-Nya? Orang yang “melayani Tuhan” dan belajar theologi tidak semata-mata membuktikan orang itu mengasihi Allah, namun jangan dibalik dan disalahtafsirkan: orang yang mengasihi Allah ditandai dengan anti theologi dan enggan melayani. Orang yang benar-benar mengasihi Allah nampak dari kerinduannya mengerti siapa Allah dan apa kehendak-Nya baginya melalui Alkitab dan makin berapi-api melayani-Nya baik dalam gereja maupun sikap hidup sehari-hari. Dengan kata lain, ada korelasi yang erat antara pengertian theologi dengan pelayanan di gereja dan aplikasi praktisnya. Saya kuatir dengan orang-orang yang rutin beribadah di gereja dan sering mendengar khotbah mimbar yang mengatakan bahwa kita harus mencari pasangan hidup yang seiman, namun mereka tidak pernah menjalankannya dengan segudang alasan yang dibuat-buat supaya nampak “rohani.”
Jika apa yang saya paparkan terkesan abstrak, maka saya akan mencoba mengilustrasikan konsep di atas. Kalau kita pernah berpacaran, maka kita mengetahui bahwa tanda kita mengasihi pacar kita adalah melakukan apa yang pacar kita sukai dan tidak melakukan apa yang pacar kita tidak sukai (tentunya dalam batas-batas firman Tuhan). Jika pacar kita tidak menyukai gaya rambut kita, sebisa mungkin kita mengubahnya. Kerinduan kita mengubah gaya rambut kita didasarkan pada kerinduan kita mengasihi pacar kita. Kembali ke konsep kita, mengapa untuk urusan pacar, kita sangat paham, tetapi untuk urusan rohani, kita tidak memahami dan menjalankannya? Bukankah ini membuktikan bahwa kita kurang mengasihi Allah? Silahkan kita menguji diri kita.
Setelah menyelidiki iman kita, kita perlu menguatkannya dengan cara berdoa dan membaca Alkitab. Disiplin-disiplin rohani ini kita lakukan bukan untuk memperkenan Allah, tetapi sebagai sarana kita mengenal-Nya dan ingin menjalankan kehendak-Nya. Jujur, makin saya menggali kebenaran Alkitab dan mendengarkan khotbah-khotbah yang benar-benar menggali kebenaran Alkitab, makin saya diberkati dan itu mendorong saya makin berusaha keras menjalankannya. Misalnya, kita diajar oleh Allah melalui firman-Nya di Efesus 5:22-30 tentang relasi suami-istri di dalam Kristus dan itu menjadi prinsip kita mencari pasangan hidup yang seiman, maka tugas kita bukan mengerti pengajaran Alkitab secara konseptual, tetapi jalankan.

2.             Berdoa
Setelah menguji iman kita, kita harus berdoa meminta Tuhan memberi pasangan hidup bagi kita. Doa berarti kita menundukkan diri di bawah kehendak-Nya yang berdaulat dan mengizinkan-Nya bertindak sesuai kehendak-Nya. Tatkala kita berdoa dengan berserah pada kehendak-Nya yang berdaulat mutlak, maka kita akan mengalami begitu banyak cara kerja Allah yang benar-benar mengagumkan dan di luar pikiran manusia. Jujur, secara konseptual, hal ini mudah diaminkan, tetapi sangat sulit dijalankan. Saya sendiri mengalami hal ini, namun puji Tuhan, Ia terus mengasihi saya dengan melindungi saya dari lawan jenis yang tidak sungguh-sungguh beriman. Paman saya yang beragama Katolik pernah mengingatkan saya bahwa ketika saya mengasihi Tuhan, Ia akan mengasihi dan memelihara saya dengan menjauhkan saya dari lawan jenis yang tidak beres. Mungkin pernyataan ini nampak ekstrem, tetapi saya sendiri mengalami apa itu namanya berserah kepada Allah dan melihat cara kerja Allah yang luar biasa mengagumkan. Allah yang saya percayai adalah Allah yang mengasihi umat-Nya dan menginginkan umat-Nya mendapatkan pasangan hidup yang benar-benar beriman kepada-Nya.

3.             Bertindak Secara Hati-hati
Kita bukan hanya harus berdoa ketika hendak mencari pasangan hidup yang seiman, kita juga harus bertindak secara hati-hati. Artinya kita juga berusaha aktif mencari pasangan hidup itu dengan cara memperbanyak relasi kita baik di dalam gereja maupun dengan saudara seiman lain dari gereja lain. Di dalam relasi tersebut, kita pasti menemukan salah satu lawan jenis yang pas di hati. Masalahnya, apa kriteria kita menemukannya? Kembali ke poin terpenting yaitu iman. Selidikilah apakah lawan jenis tersebut benar-benar iman? Jika poin iman sudah lulus sensor, maka kita baru boleh memperhatikan aspek lain seperti fisik, karakter, dll. Apa yang saya uraikan ini bukan teori saja, tetapi saya jalankan. Bagi saya, fisik bukan segalanya karena iman adalah hal yang terpenting, tetapi bukan berarti fisik tidak perlu diperhatikan. Saya masih hidup di dunia, sehingga saya masih tetap memperhatikan aspek fisik lawan jenis. Jujur, ketika berelasi dengan teman-teman lawan jenis, saya biasanya tertarik dengan fisik dan wajah lawan jenis, itu wajar bagi banyak (tidak semua) cowok, namun ketertarikan saya tidak berarti saya cepat-cepat mencintainya. Saya tetap akan menyelidiki iman si cewek itu, kalau ia adalah seorang atheis atau tidak percaya kepada Kristus, saya berani tidak mendekatinya. Bagi saya, wajah cantik, tubuh langsing, tetapi atheis itu sia-sia, namun jangan berpikir sebaliknya, yang terpenting adalah iman, maka wajah dan tubuh tidak beraturan tidak menjadi masalah. Ingatlah, kita bukan malaikat. Kalau ada cowok Kristen yang sama sekali tidak memperhatikan fisik dan wajah, saya tidak menjadi masalah, namun jangan memutlakkan konsep yang tidak mutlak itu kepada semua orang seolah-olah itu adalah kebenaran Alkitab. Hal ini tidak berarti saya keras kepala. Setiap orang memiliki preferensi masing-masing yang relatif berkenaan dengan fisik dan wajah lawan jenis.
Setelah mengincar lawan jenis, jangan lupa doakan kembali pilihan kita, apakah orang itu sesuai dengan kehendak-Nya atau tidak. Jika itu tidak sesuai dengan kehendak-Nya, maka percayalah, Ia akan berusaha memisahkannya dan kita harus taat meskipun kita mengalami patah hati. Bagaimana caranya kita mengetahui bahwa lawan jenis tertentu sesuai dengan kehendak-Nya atau tidak? Ya balik lagi kepada makna seiman yang telah saya paparkan sebelumnya. Jika orang itu tidak memenuhi ketiga makna seiman itu, maka ia bukan pasangan yang Allah kehendaki. Mungkin sekali ada orang yang sudah memenuhi ketiga makna seiman, namun ia tetap tidak dikehendaki Allah, karena Allah menghendaki pasangan yang lebih sepadan dengan kita. Tugas kita adalah taat mutlak.


KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Mengerti prinsip mencari pasangan hidup yang seiman bukan hanya secara konseptual, tetapi juga secara praktis. Artinya setelah kita benar-benar mengerti prinsip mencari pasangan hidup yang seiman, maka tugas kita adalah menjalankannya dengan semangat dan hati yang benar-benar mengasihi Allah dengan tulus dan murni, bukan supaya tampak “rohani” di hadapan orang tua atau teman-teman gereja. Sudah siapkah kita mengasihi-Nya dengan memilih dan menemukan pasangan hidup yang sungguh-sungguh beriman kepada-Nya? Kiranya Allah menolong kita menjalankan hal tersebut. Amin. Soli Deo Gloria.



14 December 2014

Resensi Buku-298: KINGDOM CALLING (Prof. Amy L. Sherman, Ph.D.)

Banyak orang Kristen sering berlaku munafik, mulai dari hari Senin s/d Jumat, berlaku kotor (suka menipu orang, tidak adil, dll), sedangkan hari Minggu, berlaku alim. Mengapa demikian? Karena mereka tidak mengaplikasikan kebenaran firman Tuhan di dalam setiap aspek kehidupan sehari-harinya, termasuk dunia kerja. Mereka berpikir iman Kristen tak berkaitan dengan dunia kerja. Benarkah demikian? Bagaimana mengintegrasikan iman Kristen dengan dunia kerja?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
KINGDOM CALLING: 
Penatalayanan Vokasi Untuk Kebaikan Bersama

oleh: Prof. Amy L. Sherman, Ph.D.

Penerbit: Literatur Perkantas, Jakarta, 2013

Penerjemah: Lily Endang Joeliani



Mengawali bukunya, di bagian Pendahuluan, Prof. Amy L. Sherman, Ph.D. mengarahkan pembacanya untuk merenungkan Amsal 11:10a, “Bila orang benar mujur, beria-rialah kota,” Dari ayat ini, Dr. Sherman menjelaskan bahwa seharusnya orang Kristen yang cinta Tuhan menghadirkan Kerajaan Allah dengan menjadi berkat bagi lingkungan sekitarnya, sehingga lingkungan itu dapat bersukacita. Dengan kesadaran akan hal ini, Dr. Sherman menulis buku ini dan membagi buku ini menjadi tiga bagian, yaitu bagian theologis yang menjadi dasar kita menjadi penatalayan Kerajaan Allah, bagian praktis yaitu pentingnya menjadi murid di dalam menjalankan panggilan hidup, dan bagian praktis berikutnya bagi para pemimpin gereja untuk mendorong jemaatnya berpartisipasi di dalam mengintegrasikan iman dan pekerjaan.
Di bagian theologis, di bab 1, Dr. Sherman menguraikan frase “beria-rialah kota” di mana kota itu bersukacita bukan hanya karena orang benar mujur, tetapi juga karena orang fasik yaitu sebagai pelaku ketidakadilan dan ketidaksetaraan itu binasa. Ini berarti bahwa saat orang benar mujur, maka keadilan berlaku. Keadilan mencakup tiga dimensi, yaitu pembebasan, kesetaraan, dan pemulihan. Keadilan dengan 3 dimensi ini adalah wujud shalom Allah. Shalom ini mencakup damai dengan Allah, diri sendiri, sesama, dan ciptaan di mana damai dengan Allah mempengaruhi damai dengan diri sendiri, sesama, dan ciptaan.
Di bab 2, Dr. Sherman mengkhususkan perenungan Amsal 11:10a pada frase “orang benar mujur.” Orang yang benar dalam bahasa Ibraninya tsaddiq ini menurut Dr. N. T. Wright, bukan hanya benar secara makna dasar, tetapi juga pendirian dan perilaku yang benar/adil. Orang benar ini memiliki dimensi kebenaran ke atas yang berorientasi pada Allah, penuh kerendahan hati, melihat segala sesuatu dari perspektif Allah, kemudian melihat ke dalam (kekudusan pribadi, mempraktikkan buah Roh, murah hati, dan berbelas kasihan), dan terakhir melihat ke luar yang meliputi keadilan sosial bagi lingkungan sekitar. Kemudian di bagian akhir bab ini, Dr. Sherman memberi contoh para tsaddiq di zaman modern ini dengan panggilan hidupnya.
Lalu, mengapa banyak orang Kristen tidak menjadi berkat/pengaruh di dunia sekitarnya? Alasannya dijelaskan Dr. Sherman di bab 3, yaitu karena banyak pemimpin gereja sibuk memberitakan Injil yang terus berfokus pada hubungan pribadi (saya dengan Kristus) tanpa memedulikan lingkungan sosial. Injil yang terlalu sempit ini akhirnya mengakibatkan banyak orang Kristen sibuk mengurusi hal-hal rohani dan masa bodoh dengan aplikasi praktis iman Kristen ke dalam dunia kerja. Akibatnya, banyak orang Kristen tidak mengerti kaitan iman Kristen dengan dunia kerja yang mereka hidupi.
Berbeda dari banyak Injil yang diberitakan di zaman sekarang yang hanya mengurusi saya dan Kristus, maka Injil Kerajaan Allah seharusnya menumbuhkan orang-orang yang benar agar menjadi murid-Nya dengan menggarami dan menerangi dunia sekelilingnya. Sebagai pemimpin InterVarsity (di Indonesia dikenal sebagai: Perkantas), James Choung menerbitkan diagram baru sederhana tentang Injil Kerajaan ini yang meliputi 4 aspek, yaitu: aspek penciptaan (dirancang untuk kebaikan), aspek dosa (dirusak oleh kejahatan), aspek penebusan (diutus bersama untuk menyembuhkan), dan aspek penyempurnaan (dipulihkan untuk lebih baik). Melalui diagram ini, kita diajar untuk memikirkan aspek rohani dan jasmani dari penebusan Kristus yang meliputi: pengudusan, penginjilan, dan misi. Dari pola pikir ini, maka kita mengerti bahwa “injil Kerajaan Allah mengajarkan bukan hanya dari apa kita diselamatkan, tetapi juga untuk apa kita diselamatkan.”
Di bagian 2, Dr. Sherman mulai masuk ke dalam pembahasan praktis tentang integrasi iman dan pekerjaan di mana integrasi ini bukan saja secara teoritis, tetapi juga aplikatif yang menyentuh segala aspek, baik integrasi dalam penginjilan, moral, dll. Oleh karena itulah, diperlukan suatu theologi kerja yang Alkitabiah yang memandang kerja itu sebagai panggilan Allah sejak penciptaan, kemudian munculnya dosa, dan penebusan Kristus memulihkan semuanya, sehingga kita dapat bekerja dengan baik dengan mengoptimalkan kreativitas, pemeliharaan, keadilan, belas kasihan, dll di dalam dunia kerja. Demi mencapai tujuan tersebut, di bab 7, Dr. Sherman mengarahkan kita untuk menemukan karunia rohani plus talenta, keahlian, pengaruh, keterampilan, dll yang dapat kita pakai untuk bersaksi di dalam dunia kerja. Dan yang terpenting, penemuan itu harus dibarengi dengan usaha pembentukan dengan cara mengembangkan 3 karakter, yaitu: kepelayanan, tanggung jawab, dan kerendahan hati di dalam dunia kerja.
Lalu, apa yang dapat dilakukan para pemimpin gereja untuk membangkitkan daya vokasi bagi jemaat-jemaatnya? Di bagian III, Dr. Sherman menjawabnya dengan memberikan 4 jalan, yaitu: mempromosikan Kerajaan Allah di dalam dan melalui pekerjaan jemaat sehari-hari melalui khotbah, dll; mendorong jemaat untuk menadi relawan yang menggunakan talenta vokasi mereka di luar pekerjaan sehari-hari; meluncurkan suatu upaya sosial; dan terakhir menantang mereka untuk berpartisipasi di dalamnya.
Biarlah buku yang dilengkapi dengan berbagai contoh praktis dapat memperlengkapi orang-orang Kristen untuk menjadi berkat bagi sesamanya di lingkungan kerja demi kemuliaan Allah Trinitas. Amin. Soli Deo Gloria.



Endorsement:
“Bagi saya, buku ini berada pada inti pemahaman akan kehidupan di dalam kerajaan Allah dan keterlibatan sosial Kristiani. Jika gereja-gereja di Barat memahami hal ini, kita akan melihat transformasi yang skalanya tidak terbayangkan. Theologi yang kokoh, kisah-kisah yang bagus, dan banyak aplikasi yang praktis.”
Rev. Bob Roberts, Jr., D.Min.
Pendiri dan Pendeta Senior di North Wood Church yang menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Baylor University; Master of Divinity (M.Div.) di Southwestern Baptist Theological Seminary; dan Doctor of Ministry (D.Min.) di Fuller Theological Seminary.

“Kingdom Calling menangkap dan menambahkan ‘cara’ untuk memperlengkapi dan memobilisasi yang telah kami temukan di Redeemer dan rindu membagikannya kepada gereja-gereja di seluruh dunia.”
Katherine Leary Alsdorf, M.B.A.
Pendiri dan Direktur Eksekutif Center of Faith and Work di Redeemer Presbyterian Church, New York City yang menyelesaikan studi B.A. dalam bidang Psikologi dan Pendidikan di Wittenberg University dan Master of Business Administration (M.B.A.) di The Darden School, University of Virginia



Profil penulis:
Prof. Amy L. Sherman, Ph.D. adalah Senior Fellow di the Institute for Studies of Religion di Baylor University dan the Sagamore Institute for Policy Research. Beliau juga melayani sebagai Direktur Editorial untuk FASTEN (the Faith and Service Technical Education Network). Beliau adalah anggota aktif di Trinity Presbyterian Church di Charlottesville, Virginia dan juga melayani sebagai Senior Fellow bagi the International Justice Mission. Beliau menyelesaikan pendidikan undergraduate dalam bidang Sains Politik di Messiah College dan menyelesaikan studi Master of Arts (M.A.) dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di University of Virginia.