17 November 2008

Matius 11:28-30: PIKULLAH DAN BELAJARLAH (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah : 3 September 2006


PIKULLAH DAN BELAJARLAH

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.



Nats: Mat. 11:28-30



Abad 20 merupakan abad di mana filsafat posmodern berkembang dengan pesat. Hal ini terlihat jelas, banyak orang menegakkan otoritas diri. Machiavelli yang disebut juga bapak penguasa menyatakan untuk memerintah dunia haruslah dengan otoritas. Dari sini, orang berpikiran negatif tentang otoritas, orang mengontraskan konsep penguasa dengan konsep demokrasi dan menganggap konsep penguasa lebih kejam daripada konsep demokrasi. Pandangan yang keliru, kalau kita perhatikan, konsep penguasa dan konsep demokrasi ini sama-sama memaksakan kehendak dan bersifat diktator. Bedanya, konsep penguasa pemegang otoritasnya satu orang sedang konsep demokrasi pemegang otoritas banyak orang. Kedua konsep tiran ini menimbulkan kebencian dalam diri Michael Foucoult tetapi toh kebencian pada otoritas ini tidak menghilangkan konsep otoritas itu, ia mengalihkan otoritas itu ke dalam dirinya, dengan kata lain ia mau menyatakan bahwa hanya dirinyalah yang berotoritas dan di luar itu, orang mati. Sampai hari ini kebencian terhadap otoritas itu tidak hilang, hal ini ditandai dengan munculnya berbagai macam opini maupun aliran yang pro dan kontra. Pada saat yang sama, setiap orang ingin menegakkan otoritas dan tidak mau tunduk kepada orang lain karena ia menganggap diri itu adalah kebenaran. Akibatnya orang langsung bereaksi negatif ketika mendengar segala hal yang berbau perintah tak terkecuali dengan Firman Tuhan, orang langsung melawan apa yang menjadi perintah Tuhan.

Dalam Injil Matius, dengan jelas Tuhan Yesus memerintahkan: pikullah dan belajarlah (Mat. 11:29). Perintah untuk belajar di sini bukan belajar dalam hal materi. Tidak! Dunia selalu berpikir kalau belajar itu belajar apa? Salah! Konsep belajar yang Tuhan ajarkan adalah belajar siapa? Orang langsung bereaksi negatif ketika mendengar suatu perintah apalagi kalau perintah itu dikenakan atas dirinya. Pertanyaannya kenapa manusia sulit menerima perintah? Ada 3 aspek yang mendasari kenapa orang sulit menerima perintah dan hal ini sekaligus menjadi bahan evaluasi bagi kita, yaitu:
1. Paranoid
Paranoid merupakan salah satu penyakit jiwa di mana orang selalu merasa ketakutan dan tidak ada sebab-sebab pasti kenapa orang merasa takut. Ia selalu menganggap orang lain sebagai musuh yang akan mencelakakan dirinya. Pertanyaannya adalah apa yang menjadi penyebab orang menjadi paranoid? Dosa menyebabkan orang selalu takut, dan ketakutan ini sifatnya laten. Sesungguhnya, orang sadar kalau ia telah berbuat bersalah dan kesalahan itu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Orang mencoba melupakan hal ini dengan cara menekan setiap permasalahan ke dalam diri sendiri tapi hal itu malah menjadikan orang berbeban berat. Seorang anak yang berbuat salah tapi ia tidak mau mengakui perbuatannya karena takut kena marah dan dihukum ayahnya maka ia menyimpan dosa itu. Akibatnya, ia menjadi paranoid, ia takut terhadap siapa pun, ia takut kalau-kalau perbuatan dosanya diketahui orang lain. Penundaan hukuman justru memunculkan hukuman-hukuman lain di mana hal itu seharusnya tidak perlu kita alami. Sadarlah, kita tidak bisa lepas dari penghukuman sebagai akibat dari perbuatan dosa; keadilan Tuhan nyata nyata atas orang-orang berdosa, cepat atau lambat hukuman itu pasti tiba. Satu-satunya cara supaya orang lepas dari beban adalah orang harus kembali pada Tuhan, kita akan mendapatkan kelegaan kalau kita mengakui segala perbuatan dosa kita.

2. Sombong
Orang selalu merasa dirinya itu lebih dari segala-galanya dari orang lain; orang hanya mau memerintah tapi tidak mau diperintah. Itulah sebabnya, orang selalu melawan ketika ia diperintah. Bandingkan antara perintah Tuhan Yesus dan perintah dunia. Dunia memerintah dengan otoritas dan arogan bahkan kalau perlu dengan kekerasan sebaliknya, Kristus memerintahkan pada kita untuk kembali pada-Nya karena Dia lemah lembut dan rendah hati. Ketika manusia merasa diri lebih dari yang lain maka itu merupakan titik fatal, orang akan sulit mengerti dan menanggapi suatu perintah.

3. Egois
Manusia berdosa tidak suka dengan sesuatu yang benar, yang baik, yang adil, yang suci, dan yang mulia. Manusia hanya suka pada apa yang menyenangkan dirinya. Inilah yang menjadi konsep dasar egoisme. Orang egois selalu memperjuangkan apa yang menjadi keinginan dirinya, yakni bagaimana diri disenangkan. Jiwa utilitarianistik dan jiwa hedonis menjadi citra dalam diri mereka, ia selalu berpikir, bagaimana ia mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Pernahkah terpikir oleh kita kalau sesungguhnya kita telah mempengaruhi orang lain untuk berpikir sama seperti kita? Bayangkan, kalau setiap orang ingin mendapatkan keuntungan maka yang jadi korban pertama tentu saja, orang terdekatnya. Jelaslah bahwa jiwa hedonis menjadi dasar konsep utilitarian. Jiwa hedonis ini telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, itulah sebabnya kita sulit menyadarkan orang untuk kembali pada kebenaran sejati.

Perintah yang ditegakkan berdasarkan konsep paranoia, kesombongan, dan berjiwa hedonis dan egois menjadikan dunia semakin kacau. Dan yang lebih celaka, tanpa kita sadari kita terjebak masuk dalam perputaran otoritas sistem dunia. Ketika kita melihat perintah, kita melihat arogansi dan egois si pemberi perintah, itu membangkitkan kebencian dan arogansi dalam diri, tapi kita tidak dapat melawannya maka kitapun memerintah orang lain dengan arogansi yang sama maka itu menjadi putaran arogansi. Di satu sisi, kita tidak suka dengan perintah dan benci tetapi di sisi lain, ternyata kita berlaku sama seperti mereka. Betapa semakin kacau dan rusaknya dunia ini kalau perputaran perintah yang arogan ini terjadi dalam keluarga, gereja ataupun masyarakat.

Kalau kita perhatikan, orang tidak peduli dengan perintah yang berbentuk past karena sudah lewat, dan perintah yang berbentuk future sebab perintah tersebut belum berlaku. Orang hanya peduli pada perintah yang bentuknya present, perintah yang sedang berlaku hari ini. Tuhan Yesus memberikan perintah yang berbeda dengan dunia. Alkitab memberikan suatu tenses lain, yakni aorist tense (Yunani) artinya perintah tidak bergantung pada waktu dan subyeknya. Immanuel Kant menyebutnya sebagai categorical imperatif dan pada abad pencerahan, konsep Kant ini merupakan teori moral yang terbesar dibandingkan teori lain yang ia cetuskan. Bagi Kant, kalau saya berbuat baik, kenapa? maka tidak ada alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu sebab berbuat baik merupakan hakekat dasar yang bersifat mutlak dan tidak dapat ditiadakan. I do it because it is onthological absolute necessity. Jauh sebelumnya, Tuhan Yesus telah mengajarkan prinsip ini, sesuatu absolut harus kembali pada kekekalan dan kebenaran Allah. Kata perintah yang digunakan Kristus ini berbentuk auris imperatif artinya perintah ini diberikan kepada manusia bukan untuk menyusahkan manusia tapi demi kebaikan kita.

Ironisnya, manusia menganggap Tuhan hendak memanipulasi manusia maka tidaklah heran kalau manusia selalu melawan perintah Tuhan, salah satunya perintah Kristus yang berbunyi: “Barangsiapa mau mengikut Aku, ia harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Aku” disikapi paranoia, orang langsung berpikir negatif tentang Kristus. Tidak sadarkah kita kalau musuh terbesar adalah diri sendiri, orang banyak berbuat dosa justru ketika ia tidak menyangkal diri. Jadi, menyangkal diri adalah demi kebaikan kita. Demikian juga halnya ketika Tuhan memerintahkan pada kita untuk memikul kuk dan belajar pada-Nya itu untuk kebaikan kita. Perintah Tuhan itu sifatnya absolute necessity, categorical imperatif – mutlak harus kita lakukan, tidak ada kemungkinan lain yang lebih baik kecuali orang kembali pada Tuhan dan perintah itu sifatnya kekal; kita harus lakukan perintah itu terus menerus. Namun dunia tidak suka dengan segala sesuatu yang “berbau“ perintah, orang hanya menjalankan perintah ketika ia diawasi sebaliknya, perintah itu akan langsung dilanggar ketika ia tidak berada dalam pengawasan. Di dunia modern ini jarang sekali kita temukan bahkan dalam diri orang Kristen yang mempunyai konsep: melakukan yang terbaik di manapun ia berada. Tuhan ingin kita melakukan perintah-Nya secara terus menerus dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan baik.

Perintah Tuhan seharusnya menyadarkan manusia akan kasih Allah. Segala sesuatu yang Tuhan kerjakan adalah untuk kebaikan kita dan ingat, Tuhan tahu apa yang terbaik untuk manusia daripada manusia itu sendiri. Allah adalah Baik, Dialah sumber segala kebajikan yang ada di dunia ini. Manusia yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah juga mempunyai semua kebajikan itu tapi sifatnya relatif dan derivatif (turunan). Dosa membuat konsep kebajikan menjadi rusak. Ironisnya, manusia masih berpikir kalau ia lebih baik dari Tuhan; manusia berpikir kalau kuk yang sekarang ditanggungnya lebih enak daripada kuk Tuhan. Salah! Memikul kuk Tuhan justru jauh lebih enak dan beban pun menjadi ringan. Terkadang kita tidak mengerti apa yang menjadi rencana Tuhan namun satu hal yang pasti, Tuhan tidak akan membawa anak-Nya menuju pada kebinasaan. Sangatlah sulit menjalankan kekuasaan, perintah dan demokrasi secara sinkron. Hal ini disadari oleh A. S. Hikam, tokoh politik sekaligus tokoh muslim yang mempertanyakan bagaimana caranya supaya orang bisa berjiwa asketik, jiwa rela berkorban. Dunia tidak akan berterima kasih ketika ada orang lain yang berkorban untuknya, orang selalu menginginkan lebih, dari sini muncullah peribahasa jawa berbunyi: diwenehi ati ngrogoh rempela. Namun Tuhan Yesus tidaklah demikian, Dia rela berkorban untuk manusia dan Dia tidak mengharapkan imbalan apa pun dari kita bahkan Ia memberi yang terbaik untuk kita, Ia merancangkan yang terbaik untuk kita. Tuhan tahu sampai di mana kapasitas dan kemampuan kita sehingga Dia tidak memberikan pada kita beban yang berlebih yang tidak dapat kita tanggung dan ingat, kuk yang Tuhan beri itu ringan. Bagaimana reaksi manusia mendengar tentang hal ini? Berterima kasihkah? Tidak! Manusia jahat, manusia ingin lebih, manusia pikir kalau Tuhan baik seharusnya Tuhan tidak memberikan kuk seharusnya Tuhan angkat kuk. Betapa jahatnya manusia, tidak pernah puas diri. Manusia tidak dapat melihat kebajikan Allah sebagai suatu kebajikan. Jiwa paranoid, egois, dan hedonis itu langsung nampak dan tercermin keluar. Hendaklah kita berserah sepenuh hidup kita pada-Nya karena Dia tahu apa yang terbaik untuk kita.Tuhan memerintahkan kepada kita supaya kita belajar pada-Nya karena Ia lemah lembut dan rendah hati. Konsep ini sangat berlawanan dengan konsep dunia. Dunia kalau memerintah haruslah ditunjang dengan otorisasi bahkan kalau perlu dengan kekerasan akibatnya orang balik melawan maka di sini terjadi adu otorisasi; siapa yang lebih berotoritas maka dia yang akan memerintah. Perputaran otoritas ini tidak pernah berhenti. Berbeda halnya dengan Kristus, Dia tidak memakai otorisasi sebab Ia lemah lembut dan rendah hati. Kristus mengajak kita keluar dari perputaran otorisasi dunia. Dunia tidak pernah memahami ajaran Kristus yang mengajarkan kalau kamu ditampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu (Mat. 5:39). Ajaran Kristus yang agung itu justru dianggap merugikan dan konyol. Dunia mengajarkan kejahatan harus dibalas dengan kejahatan bahkan pembalasan itu harus lebih kejam dari tindakan. Inilah sifat manusia berdosa. Pertanyaannya sekarang adalah kita mau mengikut pola siapa? Pola dunia yang berdosa ataukah pola Kristus yang agung? Ketika kita memutuskan tidak ingin menjadi sama seperti mereka maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana reaksi kita menghadapi orang-orang yang membenci kita? Apakah kita harus membalasnya dengan melakukan agresi ataukah seperti yang Kristus ajarkan, yaitu dengan lemah lembut dan rendah hati?

Memang tidaklah mudah untuk lemah lembut dan rendah hati pada orang yang membenci kita sebab melawan natur manusia berdosa. Tuhan Yesus tidak hanya sekadar memberikan perintah atau mengajar kebenaran. Tidak! Tuhan Yesus adalah kebenaran; Dia menjalankan kebenaran. Dalam suatu seminar, Stephen Chan menyatakan jangan samakan seorang politis teoritis dengan seorang politis praktis sebab seorang pembuat teori-teori politik belum tentu ia dapat menjadi seorang politikus sebaliknya seorang politikus kemungkinan tidak mengerti teori politik tetapi sehari-hari ia mempraktekkannya. Demikian juga halnya antara theolog dengan pendeta, theolog bisa berteori tentang Kekristenan tetapi ia tidak melayani jemaat. Dunia tidak dapat menggabungkan keduanya. Hanya Kristus satu-satunya yang dapat menggabungkan keduanya. He’s the truth. Inilah yang membedakan Kristus dengan pendiri agama yang lain. Pendiri agama hanya dapat berteori tetapi mereka bukanlah kebenaran. Kembali pada Kristus berarti kita kembali pada true wisdom. Pertanyaannya sekarang masihkah kita menaruh curiga pada-Nya saat Dia memerintahkan pada kita untuk memikul kuk yang dari Tuhan dan belajar pada-Nya? Sadarlah, siapakah manusia di hadapan Tuhan yang Maha Agung dan mulia sehingga kita berani menyombongkan diri di hadapan-Nya?

Di dunia terjadi banyak pertikaian otoritas dan setiap orang mengklaim kalau dirinyalah yang paling benar dan berotoritas. Ingat, pemegang otoritas tertinggi adalah Kristus, Dia adalah Raja di atas segala raja dan kita bukanlah siapa-siapa. Firman yang Hidup itu adalah kebenaran sejati dan tidak ada kebenaran lain di dunia maka kita mau datang pada-Nya untuk belajar kebenaran sejati itu dan memikul kuk Tuhan. Biarlah kita menjatuhkan si aku yang sedang duduk di kursi dan membiarkan Kristus duduk di kursi dan bertahta di dalam kerajaan hidup kita. Biarlah kita mengevaluasi diri, sudah berapa lamakah kita menjadi Kristen dan selama itu sudahkah kita men-Tuhankan Kristus dalam hidup kita? Sudahkah Kristus menjadi pusat hidup kita? Kalau selama ini kita banyak tahu tentang Kebenaran Firman, sudahkah kebenaran itu terimplikasi dalam setiap aspek hidup kita? Sudahkah kita menjadi saksi-Nya? Apalah artinya kebenaran kalau kebenaran itu hanya sekadar kita mengerti secara konseptual dan pengetahuan belaka? Merupakan suatu keindahan dan sukacita ketika kebenaran itu terimplikasi, kita akan merasakan kebahagiaan sejati ketika berjalan dalam pimpinan Tuhan.

Terkadang Tuhan membiarkan kita mengalami berbagai tantangan dan kesulitan namun percayalah, kalau Tuhan ijinkan semua itu terjadi atas hidup kita itu untuk kebaikan kita. Berbagai tantangan dan kesulitan itu merupakan tempat pembelajaran bagi kita; Tuhan Yesus ingin kita belajar seperti Dia yang lemah lembut dan rendah hati. Tuhan ingin kita menikmati kuk yang Dia pasangkan itu ringan dan beban pun menjadi ringan. Namun meski demikian toh manusia tetap melawan, orang tidak suka memakai kuk Tuhan. Memang, tidaklah mudah menjalankan semua perintah Tuhan, tidaklah mudah mewartakan kebenaran di tengah-tengah dunia berdosa; kita pasti mengalami banyak kesulitan, kita jatuh bangun dalam iman kita namun hati-hati, janganlah kita dikendalikan oleh kondisi di sekeliling kita tapi hendaklah kita berserah dan taat pada Tuhan dan membiarkan Tuhan yang bekerja dalam setiap aspek hidup kita.

Janganlah kita menjadi orang-orang yang hanya berteori saja atau menjadi orang yang mengerti kebenaran Firman tapi hanya sebatas pengetahuan tanpa kita pernah menjalankannya. Semua itu percuma. Jangan pernah berpikir karena kita sudah memiliki theologi sempurna maka hidup kita sudah sempurna. Tidak! Tuhan menuntut pada setiap kita yang mengaku sebagai warga Kerajaan Sorga untuk memikul kuk dan belajar pada-Nya karena Tuhan lemah lembut dan rendah hati. Hendaklah kita mencontoh teladan Kristus, Dia mengajarkan kebenaran dan sekaligus melakukannya. Biarlah kita semakin diubahkan untuk semakin serupa Dia dan menjadi saksi-Nya di tengah dunia berdosa. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)



Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2006/20060903.htm

Roma 11:28-32: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-20: Konsep Keselamatan dan Anugerah-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-18


“Israel” Sejati atau Palsu-20 (Penutup) :
Konsep Keselamatan dan Anugerah-2


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:28-32



Setelah menjelaskan tentang anugerah Allah bagi orang non-Yahudi dan nasihat Paulus agar mereka tidak berbangga diri di ayat 19 s/d 24, maka ia membukakan pengajaran tentang rahasia mengapa mereka tidak boleh berbangga diri mulai ayat 25. Alasan kedua terletak pada ayat 28-32.

Di ayat 28, Paulus mengatakan, “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang.” Kata “seteru” identik dengan musuh (enemies). Dengan kata lain, di dalam Injil, orang-orang Yahudi yang tidak dipilih Allah adalah seteru Allah oleh karena orang-orang non-Yahudi, tetapi mengenai pilihan, orang-orang Yahudi termasuk kekasih Allah oleh karena nenek moyang mereka. Di sini unik, Paulus mengemukakan dua standar yaitu Injil dan pilihan. Injil mengakibatkan orang-orang Yahudi yang tidak dipilih menjadi musuh Allah karena orang-orang non-Yahudi. Mengapa orang-orang Yahudi yang tidak dipilih ini disebut musuh Allah? Karena mereka menolak Kristus. Tuhan Yesus sendiri di dalam Injil Lukas 10:16 berfirman, “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku."” Kristus berani berfirman bahwa barangsiapa yang menolak Dia berarti menolak Bapa yang mengutus-Nya. Di sini ada kaitan antara Allah Bapa dan Allah Anak. Mengapa mereka menolak Tuhan Yesus Kristus, padahal mereka menantikan-nantikan datangnya Mesias atau Kristus itu? Mereka menolak Tuhan Yesus sebagai Kristus karena Kristus yang hadir di hadapan mereka tidak sesuai dengan keinginan mereka yang menginginkan Kristus bertakhta di Israel mengalahkan semua bangsa lain. Kristus membongkar semua kebusukan orang Yahudi yang tidak terpilih bahwa mereka tidak datang dari Allah. Di dalam Yohanes 8:37-59, Kristus membongkar kebusukan orang Yahudi tersebut dengan menuding mereka sebenarnya tidak berasal dari Allah, karena mereka tidak datang kepada Kristus (bdk. ay. 43-44, 47). Orang yang tidak datang kepada Kristus dan bahkan menentang-Nya, itulah tanda orang itu sebenarnya tidak berasal dari Allah, lebih tepatnya disebut antikristus (bdk. 1Yoh. 4:1-3). Ketidakpercayaan Israel mengakibatkan bangsa-bangsa non-Yahudi mendapat anugerah keselamatan. Di dalam bangsa pilihan (Israel) saja, ada yang tidak datang kepada Kristus, apalagi di dalam orang Kristen. Jangan mengira bahwa semua orang Kristen pasti beriman kepada dan di dalam Kristus. Secara fenomenal, mereka mungkin menyanyikan pujian kepada Kristus, tetapi jauh di dalam hati mereka, merekalah yang ingin dipuji. Apa bedanya orang Kristen sejati yang beriman kepada Kristus dengan yang tidak? Orang Kristen yang sungguh-sungguh beriman kepada Kristus adalah mereka yang meletakkan iman dan hidupnya total hanya kepada dan di dalam Kristus sebagai Tuhan dan Raja dalam hidup mereka. Sebaliknya, mereka yang secara esensi tidak pernah menTuhankan Kristus, mereka dapat disebut musuh Allah, meskipun secara aktivitas, mereka aktif melayani di gereja. Marilah kita menguji hati kita masing-masing? Sejauh mana Kristus bertakhta di dalam hidup kita? Apakah Kristus hanya menjadi objek rasio dan analisa theologi kita ataukah Kristus sungguh-sungguh kita rasakan dan benar-benar bertakhta di dalam hati dan seluruh keberadaan hidup kita? Jangan kira semua orang Kristen pasti selamat. Tuhan berkenan memakai orang-orang non-Kristen untuk diselamatkan ketika mereka kembali kepada Kristus melalui Roh Kudus. Kesemuanya ini membuktikan bahwa keselamatan itu merupakan anugerah Allah, bukan kehendak bebas manusia.
Kedua, mengenai pilihan, mereka adalah kekasih Allah karena nenek moyang mereka. Siapakah “mereka”? Mereka di sini saya tafsirkan sebagai orang-orang Yahudi yang dipilih Allah. Mengapa? Karena ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang membedakan dua macam orang: Israel secara jasmani vs Israel secara rohani. Israel secara jasmani telah dibahas dan disimpulkan bahwa mereka yang secara jasmani umat pilihan sebenarnya bukan umat pilihan secara pribadi, tetapi ada beberapa dari mereka yang dipilih (Israel rohani: Israel yang dipilih dan beberapa orang dari bangsa-bangsa non-Israel yang dipilih). Mereka yang TIDAK terpilih disebutkan di bagian pertama tadi, yaitu mereka adalah musuh Allah. Sedangkan mereka yang dipilih Allah inilah yang dimaksudkan Paulus bahwa mereka dipilih dan menjadi kekasih Allah karena nenek moyang mereka. Karena Allah telah mengadakan kovenan dengan Abraham, maka Ia yang adalah Allah yang Setia pasti memelihara kovenan-Nya pada umat Israel sejati secara rohani, sehingga Ia akan menuntun mereka kepada Injil Kristus. Ingatlah! Kita yang termasuk orang Kristen di Indonesia juga diselamatkan karena pemeliharaan kovenan Allah melalui Abraham dan Kristus, sehingga kita yang termasuk orang-orang non-Yahudi juga dimasukkan ke dalam umat pilihan Allah. Karena itulah, kita dapat disebut kekasih Allah atau orang yang dikasihi Allah. Disebut “kekasih” berarti kita itu dikasihi Allah, menjadi anak-anak-Nya yang meskipun memiliki hak, tetapi juga menerima disiplin dari Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Jangan pernah membayangkan bahwa ketika kita disebut “kekasih,” kita bisa berbuat apa saja, lalu mengklaim Allah. Itu ajaran tidak bertanggungjawab! Menjadi “kekasih” Allah, selain mendapat hak sebagai anak-anak Allah, kita juga harus menerima disiplin dari Allah dan menunaikan kewajiban kita sebagai anak-anak-Nya. Di dalam Wahyu 3:19, Allah justru berfirman bahwa tanda Allah mengasihi umat-Nya adalah dengan menegor dan menghajar mereka, oleh karena itu, marilah kita dengan rendah hati belajar dan bertobat jika ditegur dan dihajar-Nya. Di Roma 12:1-2 juga dijelaskan aplikasi praktis tentang kewajiban anak-anak Allah sebagai implementasi dari doktrin-doktrin yang sudah diajarkan Paulus dari pasal 1 s/d 11. Ini semua membuktikan bahwa menjadi “kekasih” Allah, bukan berarti kita menjadi manja, tetapi justru menjadi “kekasih” Allah berarti kita menjadi anak-anak Tuhan yang dewasa. Sudahkah kita layak disebut kekasih Allah? Marilah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

Karena Allah berkenan memilih dan memanggil siapa pun, maka tidak ada kata “salah” dalam rencana Allah termasuk dalam pemilihan orang-orang Israel maupun non-Israel. Dengan dasar bahwa Allah itu tidak berubah di dalam rencana-Nya, maka di ayat 29, Paulus mengatakan, “Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya.” Dalam bahasa Yunani, kata “tidak menyesali” identik dengan tidak menarik kembali (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 861). Artinya, rencana-Nya di dalam memanggil dan memilih beberapa orang tidak pernah gagal. Ia adalah Allah yang setia, maka Ia memelihara setiap kovenan yang telah Dia tetapkan. Karena Allah itu setia dan tidak berubah, maka kita dapat mengamini setiap kovenan yang Dia berikan kepada kita. Tetapi seolah-olah kita melihat bahwa Allah mengubah rencana-Nya dari memilih Israel akhirnya memilih bangsa non-Israel, benarkah demikian? TIDAK. Dari awal, Allah memilih Israel bukan secara bangsa, tetapi secara individu. Kovenan Allah pada Abraham diteruskan kepada keturunan-keturunannya asalkan mereka beriman seperti Abraham kepada Allah Yahweh. Meskipun banyak orang Israel yang termasuk keturunan Abraham, mereka tidak semua disebut umat pilihan, karena mereka tidak semua beriman kepada Allah dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya secara lahiriah. Di dalam Perjanjian Baru, hal ini makin dibukakan sejak Tuhan Yesus yang mengatakan bahwa bapak orang Israel yang tidak dipilih adalah Iblis, lalu disambung dengan pengajaran Paulus di Surat Roma dan Galatia (bdk. Gal. 2:15-3:14). Di sini, kita melihat kekonsistenan Allah di dalam menyatakan kehendak dan rencana-Nya. Dari dahulu, Ia mengadakan kovenan kepada Abraham dan keturunan-keturunannya yang percaya kepada-Nya (individual), lalu Ia melanjutkan kovenan-Nya dengan membawa orang-orang pilihan-Nya untuk datang kepada Kristus dan diselamatkan melalui penebusan Kristus. Secara tidak langsung, ayat ini menyerang pandangan sesat dari Open-Theism yang mengajar bahwa Allah itu dapat mengubah rencana-Nya. Jika Allah dapat mengubah rencana-Nya, berarti Ia plin-plan, dan jika Ia plin-plan, masihkah Dia layak disebut Allah yang tidak berubah? Padahal, Alkitab berkali-kali dari PL sampai dengan PB mengajar bahwa Allah itu tidak berubah dan tidak ada rencana-Nya yang gagal (Ayb. 42:2; Ibr. 13:8). Kita bersyukur beriman kepada Allah yang setia dan tidak berubah ini di tengah kondisi dunia postmodern ini yang selalu berubah.

Allah yang tidak menarik kembali anugerah dan panggilan-Nya adalah Allah yang menyatakan anugerah-Nya kepada manusia dengan bebas dan tanpa syarat. Ini dijelaskan Paulus di ayat 30-31, “Sebab sama seperti kamu dahulu tidak taat kepada Allah, tetapi sekarang beroleh kemurahan oleh ketidaktaatan mereka, demikian juga mereka sekarang tidak taat, supaya oleh kemurahan yang telah kamu peroleh, mereka juga akan beroleh kemurahan.” Kedua ayat ini merupakan pengulangan Paulus di ayat 11-12 dengan perspektif agak berbeda. Jika di ayat 11-12, Paulus mengingatkan orang-orang non-Yahudi agar mereka tidak sombong, maka di ayat 30-31, Paulus mengaitkan tegurannya dengan anugerah Allah yang tidak berubah (bdk. ay. 29 di atasnya). Karena adanya anugerah Allah yang tidak dapat ditarik kembali, maka sebagai orang yang termasuk umat pilihan-Nya baik orang Yahudi maupun non-Yahudi, mereka sudah seharusnya bersyukur. Kita pun demikian. Dahulu kita adalah seteru Allah, tetapi karena anugerah Allah di dalam Kristus, kita dimampukan untuk datang kepada Kristus, taat kepada-Nya, dan hidup bagi-Nya. Sungguh suatu anugerah Allah jika kita yang dahulu tidak taat, lalu menjadi taat. Inilah mukjizat yang sesungguhnya secara esensial.

Untuk menjelaskan lebih tajam lagi tentang anugerah dan kemurahan Allah, Paulus mengemukakan hal ini di ayat 32, “Sebab Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua.” Anugerah dan kemurahan Allah ditunjukkan-Nya dengan membuat manusia sadar bahwa mereka itu tidak ada apa-apanya tanpa-Nya. Cara membuat mereka sadar adalah dengan mengurung mereka di dalam ketidaktaatan. Kata “mengurung” di dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan “menahan” (ibid., hlm. 861). Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikan ayat ini, “Sebab Allah sudah membiarkan seluruh umat manusia dikuasai ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan belas kasihan-Nya kepada mereka semuanya.” Artinya, cara membuat sadar manusia akan keterbatasan dan kelemahan mereka adalah dengan menunjukkan bahwa mereka itu adalah hamba dosa dan dosalah (=ketidaktaatan) yang memerintah hidup mereka. Jika mereka adalah hamba dosa, mustahil mereka bisa keluar dari jeratan dosa dengan sendirinya tanpa anugerah Allah berlaku bagi umat pilihan-Nya yang menarik mereka keluar dari kegelapan menuju kepada terang-Nya yang ajaib di dalam Kristus. Di sini, kita kembali melihat pengajaran Paulus yang Theosentris yang memusatkan segala sesuatunya pada anugerah Allah yang mahadahsyat. Jika bukan karena anugerah Allah, usaha manusia itu nihil. Bagaimana dengan kita? Seberapa dalam dan jelas kita memahami anugerah Allah yang mahadahsyat itu? Anugerah Allah seharusnya BUKAN menjadi teori yang berkutat di dalam rasio kita saja, tetapi kita implementasikan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Anugerah Allah memungkinkan kita di dalam menjalankan mandat dari Allah selalu bergantung pada anugerah-Nya dan tidak memegahkan diri. Ketika kita terus bergantung pada anugerah-Nya, di saat itulah, kita mendapatkan kemurahan-Nya. Luar biasa. Kemurahan Allah dapat kita rasakan terus pada saat kita terus bergantung pada anugerah-Nya. Sudahkah kita bergantung pada anugerah-Nya sekarang?

Dari perenungan kelima ayat ini, kita disadarkan kembali akan pentingnya konsep anugerah Allah. Inti berita Alkitab bukan pada rumitnya doktrin, tetapi hanya satu, yaitu anugerah Allah yang dikaitkan dengan kedaulatan Allah. Allah yang berdaulat adalah Allah yang memberikan anugerah, dan Allah yang memberikan anugerah adalah Ia yang berdaulat memberi anugerah keselamatan kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan. Sungguh suatu anugerah yang mahadahsyat jika kita boleh mengerti konsep agung ini, lalu kita implementasikan dengan cara kita memberitakan Injil Kristus kepada mereka yang belum percaya. Maukah kita berkomitmen menjalankan mandat Injil ini? Amin. Soli Deo Gloria.