22 March 2009

Roma 14:4-6: KONSEP MENGHAKIMI-2: Alasan Jangan Menghakimi-1

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-15


Konsep Menghakimi-2: Alasan Jangan Menghakimi-1

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:4-6.



Setelah membahas mengenai dasar untuk jangan menghakimi di ayat 1-3, maka Paulus melanjutkan mengapa kita tidak boleh menghakimi hal-hal yang sekunder. Alasan ini akan kita uraikan dalam tiga bagian, di mana bagian pertama ini, kita akan membahas ayat 4-6.

Di ayat 4, Paulus mengingatkan alasan jemaat Roma untuk tidak menghakimi hal-hal yang sekunder, yaitu, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.” Di ayat ini, Paulus mengatakan, “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain?” Mengapa Paulus tidak mengatakan, “..., sehingga kamu menghakimi orang lain?” Apa signifikansi kata “hamba” di ayat ini? Kata Yunani yang dipakai untuk “hamba” bukan doulos, tetapi oiketēs yang bisa diartikan (household) servant (atau pembantu rumah tangga) Dengan kata lain, kita mendapatkan gambaran bahwa setiap orang dihubungkan dengan tuan yang memilikinya. Ambil contoh, bos X tidak bertanggungjawab atas karyawan bos Y, karena karyawan bos Y harus bertanggungjawab terhadap bos Y, bukan kepada bos X. Begitu juga dengan Allah kita. Allah memelihara setiap umat-Nya. Pemeliharaan umat-Nya ini digambarkan Paulus dengan kata “berdiri” dan “jatuh.” Seorang penafsir menafsirkan “berdiri” sebagai seorang yang melayani Tuhan, sedangkan “jatuh” sebagai orang yang telah keluar dari anugerah Allah. Dengan kata lain, di dalam kedaulatan-Nya, Ia membiarkan seseorang melayani-Nya (di dalam anugerah-Nya), di sisi lain, Ia juga membiarkan orang-orang tertentu keluar dari anugerah-Nya (reprobasi/tertolak). Siapa pun orang yang dipilih Allah untuk menjadi anak-Nya atau bukan itu tergantung pada kedaulatan Allah dan kita tidak punya wewenang untuk menghakimi seseorang sebagai orang yang tidak dipilih Allah hanya gara-gara orang lain tidak menganut doktrin seperti yang kita anut (doktrin sekunder). Bagaimana dengan kita? Kita terkadang terlalu mudah menghakimi orang lain bahkan gereja lain yang berbeda doktrin dalam hal-hal SEKUNDER. Bukan hanya menghakimi, kita dengan mudahnya menjatuhkan lagnat, fitnahan, bahkan kutukan kepada mereka yang tidak setuju dengan pemikiran kita. Ambil contoh, gereja-gereja tertentu langsung mengatakan bahwa baptisan bayi dan percik itu tidak “Alkitabiah,” hanya gara-gara gerejanya menjalankan penyerahan anak dan baptisan selam. Hal-hal sekunder ini biarlah tidak memancing perdebatan tanpa arah yang jelas. Sebisa mungkin, belajarlah untuk menerima ajaran gereja lain dalam hal-hal SEKUNDER. Jika dimungkinkan, marilah kita sama-sama belajar dari Alkitab tentang suatu ajaran. Jika salah satu pihak tidak mau menerima, ya, biarkan saja, karena itu hal-hal sekunder yang tidak perlu diributkan. Hal ini tidak berarti kompromi! Jangan pernah mengkompromikan doktrin-doktrin dasar iman Kristen orthodoks, tetapi kita boleh bersikap “agak fleksibel” untuk doktrin-doktrin sekunder dalam iman Kristen.

Bukan hanya masalah “berdiri” dan “jatuh,” Paulus juga membahas tentang “berdiri,” yaitu “Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.” Seseorang dapat “berdiri” atau melayani Tuhan, itu semua adalah anugerah Allah, sehingga umat Tuhan yang saling melayani hendaklah saling bersekutu dan membangun, bukan menjatuhkan. Berapa banyak dari kita yang katanya melayani Tuhan, sebenarnya kita tidak melayani Tuhan, tetapi kita melayani diri kita sendiri. Kita melayani Tuhan sambil menjatuhkan sesama pelayan Tuhan lainnya dengan beribu alasan, salah satunya tidak sesuai dengan “konsep pelayanan” kita. Biarlah kita yang suka menjatuhkan orang lain di dalam pelayanan hari ini segera bertobat. Ingatlah, Tuhan yang memberi anugerah kepada kita untuk melayani-Nya. Biarlah kita melayani-Nya dengan bertanggungjawab, gentar, dan takut akan Tuhan.


Alasan kedua Paulus melarang jemaat Roma agar tidak terlalu cepat menghakimi hal-hal sekunder adalah karena setiap orang harus bertanggungjawab di hadapan Tuhan. Alasan ini diuraikan Paulus di ayat 5-6. Di ayat 5, Paulus membahas tentang perbedaan konsep tentang hari. Ada orang yang menganggap hari tertentu lebih penting dari hari yang lain, sedangkan orang yang lain menganggap semua hari itu sama saja. Perbedaan ini bagi Paulus tidaklah penting, yang terpenting adalah iman dari orang-orang yang percaya itu. Jika seseorang diyakinkan dalam hatinya bahwa hari tertentu lebih penting ketimbang hari lain, biarlah ia melakukannya untuk Tuhan. Bukan hanya tentang hari, di ayat 6, Paulus juga membahas tentang makan atau tidak makan (bdk. ay. 2) dalam hubungannya dengan sayur-sayuran atau tidak. Yang unik di ayat 6 adalah Paulus mengatakan bahwa mereka yang makan atau tidak makan semua jenis makanan, semuanya melakukan hal tersebut (makan) untuk Tuhan dan ia mengucap syukur kepada Allah (terjemahan NIV: karena ia mengucap syukur kepada Allah). Dengan kata lain, orang yang makan atau tidak makan, biarlah mereka melakukannya dengan tanggung jawab penuh kepada Allah, karena mereka bersyukur kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Kadang kita terlalu mempermasalahkan suatu cara baptisan, bahkan ada yang mengutuk bahwa baptisan percik itu tidak “Alkitabiah” dan barangsiapa yang dibaptis percik tidak selamat, sehingga harus dibaptis selam. Kedua ayat ini mengingatkan kita tentang sikap kita di dalam menghadapi doktrin-doktrin sekunder yang tidak perlu diperdebatkan. Ketika ada orang yang mempercayai baptisan selam, biarlah ia melakukannya untuk Allah dengan penuh tanggung jawab sebagai ungkapan syukur kepada-Nya, begitu juga dengan penganut baptisan percik. Penganut baptisan selam JANGAN memaksa orang Kristen dari gereja yang menganut baptisan percik untuk diselam lagi. Yang dipentingkan BUKAN cara baptisan, tetapi esensi baptisan, yaitu pengakuan iman di depan umum, bukan syarat keselamatan! Setiap penganut cara baptisan yang berbeda biarlah mempertanggungjawabkan masing-masing di hadapan Tuhan nanti. Begitu juga halnya dengan hal-hal sekunder lainnya.


Biarlah setelah kita merenungkan tiga ayat ini secara singkat, kita mendapatkan penjelasan tentang alasan jangan menghakimi orang lain di dalam hal-hal SEKUNDER. Sudahkah kita berkomitmen untuk lebih taat kepada Kebenaran Firman, ketimbang pada suatu denominasi/ajaran tertentu? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 13:51-53: THE RICHNESS OF THE TRUTH OF THE KINGDOM (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 13 Mei 2007

The Richness of the Truth of the Kingdom
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 13:51-53



Pendahuluan
Injil Matius pasalnya yang kedua belas telah membukakan pada kita bahwa Kerajaan Sorga, Firman, dan Kristus – Firman yang hidup dan Sang Raja saling berkait erat dan tidak dapat dilepaskan. Hari ini sampailah kita pada bagian akhir sekaligus penutup dari keseluruhan perumpamaan tentang Kerajaan Sorga. Pada bagian penutup ini kembali Tuhan Yesus memberikan satu perumpamaan dimana perumpamaan ini sangat sulit dipahami maka perhatikan, janganlah sembarangan menafsir ayat. Orang sering melakukan kesalahan dalam penafsiran sebab mereka melepaskan ayat dari konteksnya secara keseluruhan. Setelah Tuhan Yesus memaparkan delapan perumpamaan tentang hal Kerajaan Sorga maka Dia pun bertanya, ”Mengertikah kamu semuanya itu?” Mereka menjawab: “Ya, kami mengerti.” Dan Tuhan Yesus pun kemudian memberikan satu perumpamaan tentang ahli Taurat yang menjadi murid dalam Kerajaan Sorga itu seperti seorang hartawan, land owner yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya. Perhatikan, respon orang Yahudi, mereka menolak Tuhan Yesus. Ironis, setelah orang memberikan pernyataan bahwa dia sudah mengerti tetapi di sisi lain, Dia ditolak di tempat asalnya sendiri.
I. Mengertikah Kamu?
Pertanyaan Tuhan Yesus “Mengertikah kamu semuanya itu?” bukanlah pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh dunia saat ini yang hanya menilai segala sesuatu dari aspek manajemen marketing dan menggunakan pendekatan psikologis untuk meraih keuntungan. Tidak! Ingat, rasio harus diletakkan pada posisi paling atas, dan emosi di posisi kedua dan kemudian kehendak terletak di posisi paling bawah. Dan Allah menciptakan pria yang selalu menggunakan rasio dalam berpikir untuk menjadi kepala, headship. Ini berarti rasio memimpin disertai dengan emosi yang benar akan menghasilkan kehendak yang tepat. Dunia humanistik yang berdosa mencoba memutar posisi ini akibatnya tentu saja, kehancuran. Kerusakan pertama yang membuat orang tidak dapat kembali pada kebenaran sejati karena kalimat ”mengertikah kamu semuanya ini?” tidak diselesaikan dengan tuntas. Pertanyaan Tuhan Yesus ini bukanlah pertanyaan yang mempertanyakan emosi kita. Tidak! Kebenaran sejati tidak mengabaikan aspek emosi tetapi emosi harus ditundukkan dibawah rasio.
Seorang kristen sejati harus mempunyai pengertian yang benar akan kebenaran sejati, memikirkan apa yang menjadi kehendak Allah. Namun sangatlah disayangkan, hari ini orang mudah sekali masuk dalam tipuan dunia salah satu penyebabnya adalah karena orang mudah sekali dibawa dan terlarut dalam emosi sehingga orang sulit berpikir dan membedakan mana yang benar dan yang salah. Emosi bukan terletak pada posisi utama sebab emosi sifatnya relatif. Sebagai contoh, satu orang berpendapat dia cantik tapi orang lain berkata tidak; orang suka warna biru namun tidak dengan orang lain maka kita melihat disini unsur emosi sukar diverifikasi. Emosi sifatnya relatif subyektif berarti tidak ada batasan yang dapat menguncinya. Hati-hati, ketika emosi sudah memuncak maka orang tidak rasional maka saat itulah manusia mudah sekali masuk dalam jebakan. Pertanyaan Tuhan Yesus menjadi evaluasi bagi kita, sudahkah kita mempunyai pengertian yang benar akan kebenaran sejati?
II. Ahli Taurat
Ahli taurat hidup berkutat dengan firman, orang yang belajar firman terus menerus. Setiap orang Kristen harusnya memiliki jiwa ini, yakni belajar firman dan emosi menyertai di belakangnya. Ingat, jangan lepaskan pikiran dari emosi atau sebaliknya. Jadi, mengerti Firman adalah hal yang paling utama dengan demikian kita tidak mudah digoyahkan oleh tipuan iblis yang menyerang dari sisi emosional. Iman kristen bukanlah iman yang membabi buta atau fanatik. Tidak! Hal inilah yang membedakan dengan Kekristenan dengan kepercayaan lain. Kekristenan tidak pernah takut dengan pengajaran lain yang mencoba memfitnah Kekristenan karena semua itu akan hancur dengan sendirinya. Kebenaran sejati tidak bersifat emosional; kebenaran sejati akan memberikan pengertian pada kita. Hal ini membukakan pada kita satu hal, ketika Tuhan Yesus mempertanyakan: mengertikan kamu dengan semuanya ini? Merupakan topik yang paling sentral di dalam misi kehadiran-Nya. Dengan kata lain orang yang mengaku sebagai murid-Nya tetapi kita tidak mengerti kebenaran sejati maka dia bukanlah murid sejati. Kristen tidak cukup hanya rutin ke gereja setiap Minggu. Tidak! Kristen sejati dituntut untuk belajar dan mengerti Firman dan ketika Tuhan Yesus bertanya: ”Mengertikah kamu semuanya itu?” kita dapat menjawab: “Ya, kami mengerti.” Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apa yang kau mengerti?
Ahli Taurat adalah seorang yang hidupnya sehari-hari belajar firman namun ironis, ketika Firman itu datang mereka tidak mengenal Dia dan menolak-Nya. Ahli taurat merasa dirinya sudah ahli namun sesungguhnya tidaklah demikian sebab mereka tidak mengerti perumpamaan tentang hal Kerajaan Sorga. Tuhan Yesus mengajar dengan perumpamaan bukan supaya orang mengerti. Tidak! Hal ini dipaparkan supaya mereka yang melihat tidak dapat melihat, mereka yang mendengar tidak mendengar dan tidak mengerti. Jadi, sungguh merupakan suatu anugerah kalau orang dapat mengerti firman.
Ketika seseorang sudah masuk dalam penilaian yang bersifat subyektif maka itu menjadi titik awal dari kehancuran. Pertanyaan apakah kita berhak menilai diri sendiri atau orang lain? Lalu siapakah yang berhak menentukan semua nilai yang ada di dunia? Jawabnya hanya satu, yakni Allah; semua harus dikembalikan pada obyektifitas Allah. Ketika seorang ahli Taurat mengunci dirinya sendiri lalu ia merasa dia tahu maka itulah titik awal kehancuran. Karena itu, sebelum orang melakukan diskusi theologis, kedua belah harus sepakat kalau kedua belah pihak bisa salah barulah kemudian kita mengambil langkah berikutnya, yakni menundukkan diri di bawah penilaian obyektif. Dengan kata lain, orang berpotensi besar untuk salah maka segala sesuatu tidak bisa menurut diri kita sendiri, kita harus kembali pada Firman, kebenaran sejati yang sifatnya obyektif, kita mau menjadi murid Kerajaan Sorga. Orang yang mengaku ahli justru membuktikan sebaliknya ia bukan seorang yang ahli. Seorang ahli tidak membutuhkan pengakuan tetapi pembuktian. Celakalah hidup kita kalau kita mengikut pada seorang yang mengaku ahli padahal ia bukan seorang ahli. Seorang ahli sejati tidak takut diuji.
III. Menjadi Murid
Terjemahan yang tepat untuk ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Sorga… adalah ahli Taurat yang sudah menjadi murid-Nya Kerajaan Sorga. Kata murid atau matetheo (bahasa Yunani) telah hilang dalam terjemahan Indonesia. Yang dimaksud murid disini bukan sekedar status tetapi orang yang mempunyai keinginan untuk terus menerus belajar. Melalui perumpamaan tentang ahli taurat ini, Tuhan Yesus ingin menyadarkan akan kebodohan mereka yang selama ini merasa diri sudah ahli. Perhatikan, hafal taurat dan mengerti taurat merupakan dua hal yang berbeda sebab orang bisa hafal tanpa dia mengerti. Namun celakanya, mereka tidak mengerti maksud Tuhan Yesus malahan mereka menjawab: ya, kami mengerti. Benarkah kedua belas murid itu sudah mengerti? Tidak! Tuhan Yesus telah berulang kali mengajarkan tentang hal Kerajaan Sorga tapi terbukti, sampai Tuhan Yesus naik ke sorga pun mereka masih bertanya, ”Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kis. 1:6).
Konsep sekularisme itu begitu melekat dalam pemikiran para murid dan orang Yahudi. Agama sifatnya spiritual; agama adalah sesuatu tentang esensi kekekalan. Lawan kekekalan adalah kesementaraan namun sampai hari ini, hampir semua agama termasuk Kristen membawa kekekalan masuk dalam kesementaraan. Semua pemikiran agama disekularisasi. Banyak orang yang beragama karena ia ingin mendapat kesembuhan, berkat jasmani, dan lain-lain yang diukur secara duniawi. Hal ini masih kita jumpai hari ini, orang masih beranggapan bahwa dunia kekekalan itu sama seperti di dunia sekarang yang bersifat materi. Hal yang sama juga terjadi pada para murid, celakanya, ketika Tuhan Yesus menanyakan, mengertikah kamu semuanya itu? Mereka menjawab: ya, kami sudah mengerti padahal mereka tidak mengerti sama sekali.
Tuhan Yesus datang dan mengajarkan mereka akan Kerajaan Sorga supaya mereka bertobat dan pemikiran mereka diubahkan dan dibentuk oleh Kristus Yesus sendiri. Seorang murid adalah seorang yang mau belajar dan tidak mencari pembenaran diri ketika ia ditegur tetapi sebaliknya teguran itu justru membuatnya semakin belajar dan dibentuk semakin indah. Orang yang sudah merasa diri benar, selamanya ia tidak akan pernah belajar apapun. Orang yang sudah bisa memberikan alasan, alasan itu diterima berarti kita mendapatkan pembenaran, kita telah menempatkan diri pada suatu posisi tertentu dan tidak mau menerima pembelajaran apapun. Memang, bukanlah hal yang mudah bagi manusia egois untuk mengalahkan konsep pemikiran kita sendiri, mengakui kesalahan dan kembali pada Firman. Namun ingat, sebagai murid dari Kerajaan Sorga kita harus menanggalkan segala pemikiran duniawi kita untuk dibentuk oleh-Nya. Maukah anda?
Dunia modern sulit memahami konsep Kerajaan Sorga sebab dunia telah terbiasa membangun keyakinan diri, membangun apa yang dianggap benar dan tidak mau ditundukkan pada kebenaran Firman. Percayalah, hidup kita akan melimpah dengan sukacita ketika kita kembali pada kebenaran dan berada dalam pimpinan Tuhan. Hari ini, orang selalu bertanya-tanya bagaimana mengerti kehendak Tuhan? Benarkah orang mau mengerti kehendak Tuhan atau sesungguhnya, mereka hendak mencari pembenaran diri saja? Orang yang mau mengerti kehendak Tuhan maka di titik pertama seharusnya sudah melepaskan semua konsep pemikirannya namun celakanya, orang mau kehendak dirinyalah yang jadi dengan kata lain orang mencari persetujuan dari Tuhan maka tidaklah heran kalau orang selalu mengemukakan berbagai alasan untuk melawan Tuhan untuk mencari pembenaran diri.
Bukanlah hal yang mudah untuk mengubah paradigma berpikir yang telah sekian lama terbentuk apalagi konsep kerajaan Daud yang telah melekat dalam pikiran mereka bahkan sampai hari ini mereka terus menanti-nantikan Kerajaan Daud. Sangatlah disayangkan, orang Yahudi dan orang Kristen pada hari inipun masih terus berpikir bahwa Kerajaan Sorga itu bersifat duniawi. Tidak! Kerajaan Sorga itu bersifat spiritual dan seumpama biji sesawi, ia akan bertumbuh menjadi sebuah pohon yang besar mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8). Seorang murid sejati adalah seorang yang mau belajar Firman dengan sungguh-sungguh dan taat pada kebenaran sejati.
IV. Kekayaan Kebenaran
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Tuhan Yesus menggambarkan setiap ahli Taurat atau dalam bahasa aslinya seorang murid Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah, land owner yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya? Seorang anak Tuhan sejati yang belajar Firman dengan sungguh bukan hanya sekedar belajar Firman secara duniawi dimana Firman sekedar menjadi pengetahuan saja tetapi seorang murid sejati yang taat dan tunduk mutlak pada kebenaran sejati maka hidupnya penuh berlimpah anugerah. The richness of the truth, kekayaan anugerah Allah yang melimpah itu akan terus menerus terpancar keluar dan tidak akan pernah habis. Perumpamaan ini membukakan pada kita bahwa orang yang mengerti Kerajaan Sorga maka ia akan mengerti dua hal sekaligus, yakni harta yang lama sekaligus harta yang baru. Harta yang lama dan harta yang baru ini mewakili Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kekayaan terbesar adalah ketika seseorang dapat membagikan kekayaan kebenaran yang tidak pernah habis dari alam semesta ini seperti halnya sebuah sumber mata air yang tidak pernah kering yang terus melimpah keluar.
Perhatikan, ketika Tuhan Yesus mengatakan tentang harta lama dan harta baru, hari itu Perjanjian Baru belum ada bahkan konsep tentang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itupun tidak ada sebab pada jaman itu, orang hanya tahu satu, yakni Kitab Suci atau Taurat. Harta baru yang dimaksud Tuhan Yesus disini adalah Kerajaan Sorga dimana hal Kerajaan Sorga ini seharusnya bukanlah hal yang baru lagi bagi orang Yahudi sebab dalam Kitab Suci sudah diungkapkan tentang hal ini namun para ahli Taurat tidak mengerti akibatnya mereka kehilangan keduanya, harta yang lama maupun harta yang baru. Seseorang belum dapat dikatakan kaya karena ia mempunyai separuh harta. Seseorang barulah dikatakan kaya ketika ia mendapatkan harta secara keseluruhan. Sangatlah disayangkan, banyak orang yang tidak mengerti konsep ini.
Perhatikan, tanpa Perjanjian Baru (PB), kita tidak akan pernah mengerti Perjanjian Lama (PL). PB merupakan standar untuk kita dapat memahami PL. Alkitab menegaskan bahwa secara prinsip kita harus berdasarkan dari kitab para rasul dan para nabi. Sebagai kesimpulan, untuk mendapatkan kekayaan PL maka kita harus melihat dari PB dan kita akan mendapat kedua-duanya. Itulah kaya yang sejati, kekayaan akan kebenaran itu tidak akan pernah habis. Semakin kita mengeluarkan dan membagi kekayaan kebenaran itu maka kita akan mendapatkan kebenaran dengan berkelimpahan. Tuhan Yesus mau membukakan betapa hidup kita berlimpah dengan anugerah ketika kita hidup berpaut dengan Kerajaan Sorga. That is the great heritages. Faktanya, banyak orang yang melewatkan anugerah indah ini. Orang membuang anugerah dengan begitu saja. Merupakan suatu anugerah besar dan limpah kalau orang Yahudi hari itu dapat hidup sejaman dengan Tuhan Yesus; mereka mendapatkan pengajaran langsung dari Sang Kebenaran sejati namun amatlah disayangkan, mereka justru menolak Tuhan Yesus.
Orang tidak mengerti betapa mahal dan betapa bernilainya kalau kita mendapatkan harta yang terpendam, harta yang lama dan harta yang baru. Inilah manusia berdosa.yang bebal yang tidak meletakkan suatu nilai dengan tepat, tidak dapat menghargai sesuatu yang sangat bernilai. Sebagai anak Tuhan sejati, hendaklah kita peka akan setiap momen yang datang pada kita. Jangan lewatkan momen yang indah itu. Hal ini menjadi evaluasi bagi kita, sudahkah kita menghargai anugerah Tuhan dengan memakai segala kesempatan yang ada untuk belajar firman dan dibentuk oleh-Nya? Memang tidaklah mudah untuk kita diproses dan dididik, kita akan merasa sakit tapi ingatlah, semua itu justru menjadikan kita lebih indah. Kita telah diberikan anugerah yang berlimpah, kita diberikan kekayaan akan kebenaran maka jangan sia-siakan anugerah itu. Kerajaan Sorga itu lebih bernilai dari segala harta yang ada di dunia.
Penutup
Kiranya bagian penutup ini menyadarkan dan membukakan kita akan konsep berpikir kita yang salah selama ini dan kita mau diproses dan dirubah untuk menjadi murid Kerajaan Sorga sehingga ketika Tuhan Yesus bertanya: “Mengertikah kamu semuanya itu?” maka kita dapat menjawab: “Ya, saya mengerti.” Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: