06 April 2011

WHAT'S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-9: Eden dan Dosa-8: Menyembunyikan Diri

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-9:
Eden dan Dosa-8: Menyembunyikan Diri


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Kejadian 3:8




Setelah melihat diri mereka telanjang, maka saat itu Allah berjalan menemui mereka. Dan ketika mereka mendengar langkah Allah, maka Alkitab mencatat, “bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman.” (Kej. 3:8) Ayat ini hendak berbicara bahwa ketika Adam dan Hawa mendengar suara langkah Allah di Taman Eden, maka mereka menyembunyikan diri mereka dari Allah di antara pohon-pohonan. Dengan kata lain, selain malu melihat diri mereka yang telanjang, mereka juga takut, sehingga mereka menyembunyikan diri mereka dari hadapan Allah.

Dosa mengakibatkan manusia bukan hanya malu melihat realitas diri, namun juga takut, sehingga makin manusia berdosa, makin manusia menyembunyikan diri dari hadirat Allah. Menyembunyikan diri dari hadirat Allah ternyata dilakukan baik oleh manusia pertama maupun manusia di zaman sekarang. Bagaimana cara manusia berdosa menyembunyikan diri dari hadirat Allah?
1. Menyembunyikan Diri Secara Langsung
Cara pertama manusia menyembunyikan diri dari hadirat Allah adalah dengan cara langsung, yaitu langsung menyembunyikan diri ketika ada Allah. Hal ini mirip seperti seorang anak kecil yang bersalah, lalu setelah mendengar suara orangtuanya yang mencari dirinya, maka dia langsung bersembunyi (ngumpet) di bawah meja atau di tempat lain untuk menghindar dari orangtuanya. Dia tidak mau orangtuanya mengetahui apa yang telah dilakukannya. Apakah dengan si anak ngumpet, maka orangtuanya pasti tidak bisa menemukan keberadaan si anak? Tentu orangtuanya mengetahui, meskipun tetap perlu proses mencari, kalau si anak benar-benar bersembunyi di tempat yang benar-benar susah ditemukan Seperti itulah yang dilakukan oleh manusia pertama yang tidak ingin Allah mengetahui apa yang telah dilakukannya. Mereka tidak menyadari bahwa di mana pun mereka bersembunyi, Allah pasti mengetahui tempat persembunyian itu.

2. Menyembunyikan Diri Secara Tidak Langsung
Manusia bukan hanya bersembunyi dari hadirat Allah secara langsung, namun juga secara tidak langsung. Artinya, mereka berani berhadapan dengan kehadiran Allah, namun ketika Allah meminta dia bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, dia langsung “bersembunyi” dengan tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hal ini mirip seperti si anak yang bersalah namun tidak takut ketika didatangi orangtuanya, namun ketika orangtua menginterogasi si anak dengan meminta pertanggungjawabannya, si anak tidak mau bertanggung jawab, lalu menyalahkan orang lain atau membenarkan diri atau meminta orangtuanya mengasihani dirinya yang tidak tahu apa-apa. Manusia yang berdosa bukan sadar diri berdosa, namun “bersembunyi” dengan nekat membenarkan diri sendiri di hadapan Allah. Bahkan yang lebih parah, demi membenarkan diri sendiri, dia nekat mengutip ayat-ayat Alkitab (yang tentunya di luar konteks).


Sebenarnya, apa yang sedang terjadi dengan manusia, sehingga mereka berani menyembunyikan diri dari hadapan-Nya? Apa sih inti permasalahannya? Bagi saya, inti permasalahannya adalah tidak mau jujur terhadap diri. Karena tidak mau jujur terhadap diri, maka tidak heran, sejak manusia berdosa di Taman Eden sampai sekarang, manusia paling suka menipu diri dengan tidak pernah melihat realitas tentang diri yang adalah ciptaan Allah yang lemah, terbatas, dan berdosa! Tiga hal negatif ini (lemah, terbatas, dan berdosa) dipandang sebagai aib bagi mereka yang perlu dihilangkan, sehingga tidak heran, sejak manusia pertama di Eden sampai sekarang, manusia berusaha untuk menjadi manusia super yang ingin menyamai Allah. Tidak heran, tren pengembangan diri melalui pelatihan motivasi dengan segala merk sedang laris di dunia postmodern ini demi mengembangkan potensi diri yang katanya hebat dan luar biasa. Berbagai yel-yel digembar-gemborkan, seperti: “Salam dahsyat”, “Sukses adalah hak saya”, “Salam sukses”, dll. Melalui yel-yel tersebut, mereka hendak mengindoktrinasi para pendengarnya untuk melupakan bahkan jangan pernah mengucapkan kata-kata: “gagal”, “miskin”, “melarat”, dll, karena apa yang mereka ucapkan pasti terjadi. Yang ironisnya adalah konsep ini juga diimpor ke dalam Kekristenan. Melalui berpikir positif (Positive Thinking dan Possibility Thinking) ala Norman Vincent Peale dan Robert H. Schuller, maka banyak orang Kristen diajar untuk selalu berpikir positif dengan selalu mengatakan hal-hal positif saja dan melarang berkata hal-hal negatif. Mereka mengimani bahwa apa yang mereka katakan pasti terjadi. Karena di dalam “kamus” mereka tidak ada hal-hal negatif, maka dosa didefinisikan sebagai tindakan yang merampas diri dari harga dirinya. Dan dilahirbarukan didefinisikan sebagai tindakan pemulihan gambar diri dari yang rendah diri menjadi percaya diri, dari negatif kepada positif, dll. Konsep-konsep ini nantinya mempengaruhi berkembangnya ajaran kemakmuran yang dianut oleh banyak gereja kontemporer sekarang yang mengajarkan bahwa percaya Yesus pasti kaya, sukses, berkelimpahan, sehat, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Jika ada orang Kristen yang masih miskin, para penganut ajaran kemakmuran langsung menghakimi bahwa itu tanda orang Kristen itu tidak beriman, karena orang beriman kepada Tuhan Yesus pasti kaya. Orang Kristen yang masih sakit-sakitan dihakimi sebagai orang Kristen yang tidak beriman, karena menurut mereka, Tuhan tidak membiarkan anak-anak-Nya sakit.

Selain itu, menipu diri juga bisa dilakukan dengan cara memperindah diri secara fisik, misalnya mempercantik diri dengan pergi ke salon, dll. Tentu tidak salah jika kita pergi ke salon ketika mau menghadiri pesta pernikahan, perayaan spesial, dll. Namun yang menjadi permasalahannya adalah ketika pergi ke salon menjadi budaya untuk membuat diri makin terlihat cantik, seksi, menawan, dll. Orang ini tidak mau terlihat jelek dan tak terawat, sehingga dia menyibukkan dirinya dengan pedicure, manicure, operasi plastik, dll.

Sejujurnya, makin seseorang menipu diri entah itu secara fisik maupun rohani/psikologi, makin dia hidup di dalam kemunafikan yang semakin parah dan kontradiksi yang ironis. Contoh, seorang cowok yang terpana dengan cewek yang berdandan wah dengan full make up mungkin akan terkesima sesaat, tetapi perhatikan wajah asli si cewek kalau nanti sudah menikah (tanpa make up), apakah wajah wah si cewek sama dengan wajah aslinya? Kebanyakan tidak. Hal ini tidak berarti cewek tidak perlu berdandan. Yang saya maksudkan adalah cewek perlu berdandan sewajarnya! Dan ironis yang lain adalah kebanyakan (tidak semua) cewek yang berdandan full make up bukanlah cewek yang beres! Perhatikan saja kasus baru-baru ini di mana sosok mantan manager senior sebuah bank yang berpenampilan wah dengan dandanan bak seorang “putri” dan harta melimpah menipu tabungan nasabahnya, namun tetap tidak mau mengakui perbuatannya. Seorang yang terus menipu diri bahwa diri sendiri hebat, pandai, kaya, dll suatu saat pasti mengalami kegagalan yang tak pernah disadarinya, lalu setelah gagal, dia baru menyadari bahwa dirinya tidak cukup hebat. Perhatikan saja beberapa pemimpin gereja yang mengajarkan bahwa percaya Yesus pasti kaya, sukses, dll selalu memiliki masalah dalam hal keuangan, misalnya: terlilit utang, dll. Bukankah seorang yang beriman bahwa percaya Yesus pasti kaya adalah orang yang tidak perlu lagi terlilit utang? Namun apa faktanya? Benar-benar suatu ironis yang memalukan.

Makin seorang berdosa dengan menipu dan membius diri, sejujurnya makin membukakan fakta bahwa manusia itu memang benar-benar: lemah, terbatas, dan berdosa. Daripada terus-menerus membius diri, lebih bijaksana jika kita berani jujur tentang diri di hadapan Allah. Caranya?
1. Jujurlah bahwa Allah itu Kebenaran dan Sumber Segala Sesuatu
Beranilah jujur terhadap diri dan katakan kepada diri kita sendiri bahwa saya BUKAN kebenaran, tetapi Allah itulah Kebenaran sejati dan sumber segala sesuatu. Karena Ia adalah Kebenaran sejati dan sumber segala sesuatu, maka tentu saja Ia berotoritas dan berdaulat atas segala sesuatu. Pengakuan tulus dan jujur tentang otoritas Allah mengakibatkan kita menyadari bahwa kita harus memusatkan segala sesuatu kepada-Nya dengan mengaitkan segala sesuatu dengan Allah dan firman-Nya. Pendidikan, politik, ekonomi, sosial, hukum, dll yang seolah-olah tak berkaitan dengan hal-hal religius tetap harus dikaitkan kepada Allah, karena Allah adalah Kebenaran sekaligus Sumber segala sesuatu! Sengaja melepaskan Allah dari hal-hal yang tampak “tak religius”, seperti: politik, ekonomi, pendidikan, dll sebenarnya merupakan dosa karena membatasi ruang kerja Allah hanya pada wilayah kerohanian!

2. Jujurlah bahwa Kita Bergantung Pada Anugerah-Nya
Karena Allah itu berotoritas dan berdaulat, maka sudah seharusnya kita sebagai umat-Nya menyadari bahwa tanpa Allah dan anugerah-Nya, kita tak mungkin bisa hidup dan hidup di dunia ini, karena nafas dan keseluruhan hidup ini adalah milik Allah yang diberikan kepada kita untuk kita pertanggung jawabkan. Oleh karena itu, respons yang wajar dari umat-Nya adalah terus-menerus menggantungkan dan menyerahkan hidup kita kepada Allah dan anugerah-Nya. Seorang yang terus memusatkan hidupnya pada anugerah-Nya adalah seorang yang menyadari bahwa Allah itu adalah Pribadi yang paling berharga dan paling dikasihinya. Lalu, orang ini akan mempertanggungjawabkan anugerah Allah ini dengan bekerja keras melayani-Nya demi memuliakan-Nya sambil tetap menyadari bahwa responsnya ini tetap merupakan anugerah-Nya, sehingga tak ada satu inci perbuatan baiknya yang patut dibanggakan!

3. Jujurlah bahwa Kita: Lemah, Terbatas, dan Berdosa
Seorang yang terus hidup bergantung pada anugerah-Nya adalah seorang yang juga menyadari bahwa tanpa anugerah-Nya, dia bukanlah siapa-siapa dan tak mampu berbuat apa-apa. Dia pun juga menyadari bahwa meskipun ada anugerah Allah, dia pun tetap adalah ciptaan Allah yang lemah, terbatas, dan berdosa. Dengan kata lain, orang Kristen yang hidup bergantung pada anugerah Allah mengakibatkan dirinya terus memandang ke atas kepada Allah yang paling berharga dan terus mengintrospeksi diri untuk menyesuaikan kehendak diri dan kehendak Allah. Seorang yang mengintrospeksi diri tentu juga seorang yang rela dan rendah hati ketika ditegur oleh saudara seiman lain di dalam proses pertumbuhan dan pengudusan. Sebaliknya orang yang tidak hidup di dalam anugerah Allah adalah orang yang keras kepala yang terus berpikir dirinya sendiri adalah kebenaran!


Bagaimana dengan kita? Masihkah kita sebagai orang Kristen terus-menerus menipu diri dengan cara fisik maupun rohani/psikologi? Sadarlah bahwa ketika kita makin menipu diri, kita makin hidup di dalam kemunafikan yang tak pernah selesai. Mulai sekarang, bertobatlah dan kembalilah jujur terhadap diri bahwa Allah itu Kebenaran sejati dan hidup kita bergantung mutlak pada anugerah-Nya sambil mengakui kelemahan, keterbatasan, dan keberdosaan kita.