15 April 2007

Matius 1:1-6 : THE GENEOLOGY (1)

Ringkasan Khotbah Mimbar di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya tanggal 25 Januari 2004

The Geneology (1)

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.



Nats: Mat. 1:1-6






Adalah salah kalau orang menganggap bahwa silsilah yang tertulis dalam Alkitab tidaklah terlalu penting. Prinsip iman kristen menegaskan bahwa segala Firman Allah bersifat kebenaran. Allah tidak pernah mewahyukan Firman dengan sembarangan atau sia-sia. Matius membagi silsilah Kristus menjadi tiga bagian dimana setiap bagiannya terdiri dari 14 keturunan (Mat. 1:17). Sesungguhnya, ada nama-nama lain yang tidak tercantum maka kalau Matius hanya memilih 14 nama, berarti ada keistimewaan dari nama-nama tersebut yang patut kita teladani. Cara Matius menulis silsilah Yesus Kristus berbeda dengan Lukas. Matius meletakkan Abraham di urutan pertama kemudian turun sampai kepada Tuhan Yesus sedang Lukas terbalik, dari Tuhan Yesus terlebih dahulu sampai akhirnya ia menyimpulkan bahwa Yesus adalah anak Allah (Luk. 3:23-38).

Ada misi yang ingin Lukas sampaikan pada para pembacanya, yakni orang-orang non Yahudi bahwa keberadaan Yesus bukan secara tiba-tiba tetapi sudah direncanakan sejak kekekalan oleh Allah. Yesus bukan berasal dari dewa Venus, dewa Merkurius atau dewa-dewa Yunani lain tapi Dia berasal dari Allah Yehovah. Lukas menekankan hal ini karena pada jaman itu, orang selalu mengaitkan silsilah manusia dengan dewa-dewa Yunani. Berbeda dengan Matius, silsilah Yesus dimulai dari Abraham terlebih dahulu karena nama Abraham sangat terkait dengan orang Yahudi. Mereka mengetahui bahwa dari Abraham inilah Allah memilih umatNya untuk menggenapkan kerajaanNya di dunia. Tapi sayang, umat Israel gagal menggenapkan misi tersebut sehingga Allah mengalihkannya pada gerejaNya dengan Kristus sebagai raja.
Allah sangat mengasihi manusia meski manusia berulang kali mendukakan hati Tuhan. Ingat, Tuhan tidak menciptakan manusia untuk berdosa karena kehendak manusia sendirilah ia jatuh ke dalam dosa; manusia mulai melawan Allah, hidup mereka bergelimang dengan dosa. Puji Tuhan, Dia tidak melupakan janjiNya untuk menyelamat-kan manusia. Tuhan menghukum dunia dengan air bah dan menyelamatkan keluarga Nuh. Ironis, kejadian air bah tidak membuat manusia menjadi takut pada Tuhan; anak Nuh kembali berbuat dosa. Dunia selalu mengulang kesalahan yang sama dan jatuh kembali dalam dosa. Tapi Allah itu setia, Dia memilih Abraham untuk menggenapkan rencanaNya yang kekal.

Dan yang lebih mengherankan lagi, manusia mempunyai ide ingin sampai pada Tuhan dengan membangun menara Babel hingga ke langit. Padahal secara nalar semakin tinggi lapisan udara, oksigen akan semakin berkurang. Tuhan membenci kesombongan manusia sehingga Dia memporak porandakan bahasa mereka dan menara Babelpun gagal dibangun. Peristiwa Babel membuktikan bahwa bahasa bukanlah hasil budaya manusia melainkan sarana yang Allah berikan kepada manusia untuk berkomunikasi. Melalui bahasa pula, Allah ingin agar kita memuliakan Dia.

Nama Abraham yang tertulis dalam silsilah Yesus Kristus menunjukkan sifat Allah, yaitu:
I. Kedaulatan Allah. Abraham dipilih bukan karena kehebatannya tetapi mutlak karena kedaulatan Allah (Kej. 12). Melalui Abraham inilah konsep kerajaan Allah dan umat pilihan mulai dipahami oleh bangsa Israel. Karena itu, bangsa Israel sangat bangga akan status dirinya. Manusia tidak suka Allah yang berdaulat karena manusia ingin dirinya yang berdaulat dan mendirikan kerajaannya di dunia. Manusia mau mengatur segala sesuatu demi untuk kepentingan sendiri; konsep menara Babel tidak pernah hilang. Alkitab menegaskan kerajaan sejati bukanlah di tangan manusia karena manusia tidak berdaulat dan mempunyai kuasa menjadi Raja atas alam semesta. Konsep kerajaan Allah yang sejati akan kita mengerti kalau kita memahami Dia sebagai Raja yang berdaulat. Kerajaan Allah yang sejati menjadi ancaman tersendiri bagi umat Israel. Mereka tidak menyadari, hidup paling indah justru didapatkan kalau kerajaan Allah digenapkan di muka bumi.
Pengertian kedaulatan berbeda dengan kekuasaan akan tetapi kekuasaan merupakan bagian dari kedaulatan. Di dunia, orang yang mempunyai kekuatan dan kuasa besar seringkali hanya menjadi alat belaka; mereka tidak berdaulat untuk menentukan apapun. Dan, Allah kita adalah Allah yang berdaulat karena itu, manusia tidak suka akan konsep kedaulatan dan menggantinya dengan Allah berkuasa. Kitalah “tuan“ yang berdaulat dan Tuhan “budaknya“ sehingga kita dapat meminta apapun pada Allah yang berkuasa. Konsep ini sama seperti cerita Aladin dan lampu ajaibnya; kuasa jin tunduk dibawah kedaulatan Aladin. Alkitab menegaskan kitalah hamba dan Allahlah Tuhan, Tuan atas segala tuan yang berdaulat/berhak atas hidup kita.
Sebagai orang yang telah dipilih untuk menggenapkan kerajaanNya hendaklah kita bertekad untuk hidup benar dan bukan seperti orang fasik. Kita akan merasakan indahnya kalau kita hidup sebagai orang benar (Ams. 10:16-25). Kita tidak terikat dengan hal-hal duniawi yang menjerat hidup kita. Orang Yahudi sangat ingin membangun kerajaan Allah tapi dengan konsep manusia berdosa dimana manusialah yang berdaulat. Hati-hati, pada mereka yang mengajarkan bahwa suatu hari nanti kita sebagai orang benar akan berkuasa atas orang-orang fasik. Salah! Bayangkan, masalah seperti apa yang akan kita hadapi kalau seandainya kita “orang benar“ menjadi penguasa dan orang fasik sebagai rakyatnya. Bukankah itu akan menjadi kesusahan tersendiri dalam hidup kita?
Allah berdaulat memilih Abraham untuk menggenapkan kerajaanNya. Karena iman, Abraham taat dan meninggalkan segala milik kepunyaannya menuju tanah perjanjian. Matius ingin agar umat Israel meneladani kembali Abraham, nenek moyangnya. Sudahkah dan maukah anda menjadi seperti Abraham yang taat mutlak pada kedaulatan Allah tanpa mempedulikan harta, kedudukan maupun kekuasaan. Ingat, apa yang pikir manusia baik belum tentu baik bagi Tuhan justru di saat kita merasa diri nyaman, Tuhan panggil kita untuk pergi memberitakan Injil. Bersiapkah anda? Karena Allah mengasihi umat pilihanNya maka Dia akan menguji setiap kita untuk belajar taat perintahNya. Nama-nama yang dituliskan Matius dalam silsilah Yesus bukanlah orang istimewa dalam arti bukan orang yang berdosa. Tidak! Mereka juga manusia berdosa tetapi bedanya adalah mereka taat perintah Tuhan, mereka mencintai Tuhan dan mengerti kedaulatan Allah.

II. Kesetiaan Allah. Tuhan berjanji pada Abraham bahwa dari keturunannyalah akan lahir suatu bangsa yang besar dan banyaknya seperti pasir di laut dan bintang di langit. Secara manusia, hal ini dirasakan oleh Abraham dan Sarah mustahil sebab mereka sudah lanjut usia dan Sarah mandul; mereka mentertawakan janji Tuhan. Ingat, Tuhan tidak pernah berfirman sembarangan dan sia-sia; di balik setiap janji ada rencana indah yang Tuhan sediakan bagi kita dan ketahuilah janji Tuhan bukan untuk kepentingan diri kita sendiri tetapi menyangkut kepentingan orang lain. Jadi, anak yang dijanjikan Tuhan pada Abraham bukan demi untuk kepentingan keluarga Abraham semata. Justru dari keturunan yang dijanjikan inilah akan lahir suatu bangsa besar yang menjadi tempat perwakilan kerajaan Allah di dunia. Itulah sebabnya ketika Matius menuliskan silsilah Yesus Kristus dengan anak Daud, anak Abraham mereka langsung disadarkan bahwa dirinyalah umat pilihan tersebut, bangsa besar yang dijanjikan Allah pada Abraham.
Orang Kristen yang ada di dunia sekarang merupakan penggenapan dari janji Tuhan di Mat. 28:19-20. Kita inilah “Israel Baru“ dimana Allah akan menggenapkan kerajaanNya kembali. Sebagai umat Allah sudahkah kita mengakui Dia sebagai Raja di atas segala raja? Ataukah kita akan seperti umat Israel yang selalu melawan dan tidak percaya janji Allah. Apakah kita hanya memegang janji-janji Tuhan sejauh janji tersebut menguntungkan kita? Dan kita menjadi tidak percaya kalau janji tersebut berkaitan dengan penggenapan kerajaan Allah. Ingat, jangan selalu berpikir pragmatis bahwa setiap janji Tuhan hanya demi untuk kepentingan diri tetapi mulai sekarang cobalah untuk memahami ada rencana Tuhan yang indah dibalik janji tersebut yang Allah maksudkan demi untuk menggenapkan kerajaan Allah di dunia.
Karena ada Abraham maka Ishak, Yakub, Yehuda dan yang lain-lain ada hingga sampailah pada kelahiran Yesus Kristus. Silsilah sangat penting dan membuktikan bahwa Allah setia, Dia tidak melupakan janjiNya.

III. Pemeliharaan Allah. Allah sangat mengasihi umatNya, Dia memelihara perjalanan kerajaanNya sehingga tidak ada satu silsilah yang terputus. Padahal sejarah menunjukkan dari dulu hingga kini orang selalu ingin membinasakan umat Allah. Seperti, di jaman Musa, Ester, dan masih banyak lagi. Kalau hari ini orang kristen masih ada itu semua tidak lepas dari rencana kekal Allah. Sesuatu yang bersifat kekal tidak boleh berubah; ia tidak terkena proses waktu atau ruang. Allah kita adalah Allah yang kekal. Banyak orang yang mempertanyakan kekekalan Allah dan mengaitkannya dengan Hizkia. Kalau Allah kekal kenapa Allah bisa berubah ketika Hizkia meminta perpanjangan umur dalam doanya? Pertanyaan tersebut hanya membuktikan satu, yaitu orang tersebut tidak mengerti Firman. Ingat, doa tidak bisa merubah Tuhan. Kalau Tuhan bisa berubah berarti Dia tidak kekal.

Doa Hizkia (2 Raj. 20:1-6) lebih indah dibandingkan dengan doa Yabes yang hari ini banyak dibicarakan. Untuk memahami doa Yabes maka kita harus mengerti konteksnya secara keseluruhan. Jawaban yang Tuhan berikan pada Yabes sangat unik; dia mengalami penderitan berat di situasi yang sulit karena itu Tuhan memberikan suatu timbal balik yang seimbang. Berbeda dengan Hizkia, justru dari vonis mati ini muncul doa yang indah dari Hizkia. Kita perlu mengevaluasi diri bisakah kita berdoa seperi Hizkia? Hizkia adalah seorang yang sangat mencintai Tuhan, ia seorang yang setia dan hidup dengan tulus hati. Di jaman sekarang ini, masih adakah seseorang yang menjelang ajalnya berani mengatakan bahwa seluruh hidupnya tidak tercemar dan telah melakukan apa yang baik di mata Tuhan? Mempunyai hidup yang berkenan di mata Tuhan bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan waktu yang panjang sehingga Hizkia dapat memberikan pertanggung jawaban yang baik pada Tuhan.

Tuhan berketetapan memberikan perpanjangan umur 15 tahun lagi pada Hizkia dan itu berarti ada rencana Tuhan yang indah, yakni kelahiran anaknya Manasye. Setelah melewati 3 tahun perpanjangan umur lahirlah Manasye dan ia menggantikan ayahnya menjadi raja di usia 12 tahun (2 Raj. 21:3). Jadi, perpanjangan umur tersebut sudah ada dalam rencana kekal Allah. Kalau umur Hizkia tidak diperpanjang maka tidak akan lahir Manasye, tidak akan ada Amon dan tentu saja tidak akan ada silsilah Yesus Kristus (Mat. 1:3). Manusia berulang kali mencoba menggagalkan rencana kekal Allah seperti di jaman Ester dimana Haman mencoba membinasakan seluruh bangsa Yahudi. Bayangkan, andai seluruh bangsa Yahudi binasa, tentu Kristus tidak akan lahir. Puji Tuhan, Dia memelihara kerajaanNya mulai dari dulu hingga kini. Seperti kita ketahui, kekristenan begitu dibenci orang di sepanjang sejarah; mereka berusaha membinasakan anak-anak Tuhan tapi Allah tidak pernah tinggal diam; Dia memelihara umatNya.

Bahkan providensia umum Allah masih menyertai bangsa Yahudi hingga kini. Tuhan tidak pernah melupakan jasa mereka sehingga Tuhan tidak membiarkan bangsa ini menjadi punah. Ingat, kalau sampai hari ini Tuhan masih berkenan memelihara hidup kita, itu karena Tuhan menginginkan agar kita menjadi saksiNya dan memuliakan namaNya. Jangan terjerat dengan janji-janji manis yang ditawarkan dunia; itu semua hanya tipuan kita. Hati-hati, ketika ketaatanmu pada dunia merusak relasimu dengan Tuhan maka itu berarti tanda bagi anda untuk menghentikan ketaatanmu pada dunia. Apapun yang kamu kerjakan, kerjakanlah semuanya itu demi untuk menggenapkan rencanaNya, yakni mendirikan Kerajaan Allah yang sejati di dunia. Tuhan ingin agar kita mengutamakan Dia dalam hidup kita dan itu semua adalah demi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber : http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2004/20040125.htm

Roma 1:14-15 : HAMBA KRISTUS : MENGASIHI JIWA dan MEMBERITAKAN INJIL

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hamba Kristus dan Fokus Injil-4


Hamba Kristus : Mengasihi Jiwa dan Memberitakan Injil

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 1:14-15

Mengapa di ayat-ayat sebelumnya (sebelum ayat 14), Paulus berkeinginan mengunjungi jemaat di Roma ? Alasannya terdapat di dalam ayat 14-15, yaitu, “Aku berhutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar. Itulah sebabnya aku ingin untuk memberitakan Injil kepada kamu juga yang diam di Roma.” Inilah citra diri seorang hamba Tuhan sejati, memiliki hati mengasihi jiwa. Bukan hanya memiliki hati yang mengasihi jiwa, Paulus pun sampai-sampai menyebutkan bahwa dirinya berhutang kalau tidak segera memberitakan Injil. Kata “hutang” di sini di dalam terjemahan King James Version maupun International Standard Version (ISV) sama-sama menggunakan istilah debtor. Di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari, kata “berhutang” diganti dengan kata “mempunyai kewajiban”. Hal ini identik dengan terjemahan English Standard Version (ESV) yang menerjemahkan, “under obligation” dan New International Version (NIV) menerjemahkannya, “I am obligated” (saya diharuskan/diwajibkan). Dari perbedaan istilah yang dipakai ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya Paulus merasa diri memiliki hutang yaitu suatu kewajiban yang harus diembannya sebagai hamba Kristus yaitu memberitakan Injil. Saya membagi dua tahap di dalam dua ayat ini.
Tahap pertama, Paulus berhutang. Sebelum memberitakan Injil, perasaan berhutang sudah dimiliki oleh Paulus. Ini berarti rasa mengasihi jiwa-jiwa yang berdosa sudah ada di dalam benak Paulus. Oleh karena itu, menjadi kerinduannya untuk mengunjungi jemaat Roma. Perasaan berhutang ini pun seharusnya menjadi perasaan kita di dalam mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat, sama sekali bukan suatu keterpaksaan yang memberatkan. Mungkin di dunia ini, kalau kita mengerti konsep hutang berarti mau tidak mau kita harus membayar hutang kita (otomatis dengan terpaksa). Tetapi konsep hutang demikian tidaklah diajarkan oleh Alkitab, karena hutang ini bukan lahir dari keterpaksaan, tetapi dari kerelaan hati yang siap tunduk kepada Allah sebagai Tuhan dan Pemilik hidup anak-anak-Nya. Mengapa bisa muncul sikap kerelaan hati ini ? Karena sebagai anak-anak Tuhan, kita telah dimerdekakan dari kutuk dosa, iblis dan maut oleh penebusan Kristus. Paulus mengungkapkan hal ini di dalam Kolose 2:13,14, “Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib:” Kata “surat hutang” memang tidak identik dengan yang dipaparkan di dalam Roma 1:14 tentang perasaan berhutang Paulus. Kata “surat hutang” ada yang diterjemahkan the record of debt (ESV), the charges (ISV), the handwriting of ordinances (KJV). Semuanya itu berarti Kristus telah mengampuni dosa kita dan menebus segala dosa dan pelanggaran yang membelenggu kita dengan memakukannya di kayu salib. Darah Kristus telah menghapus semua dosa kita, karena hanya darah Anak Domba Allah yang 100% suci yang mampu membersihkan kenajisan manusia yang berdosa. Sebagai umat tebusan Allah, sudah seharusnya hati yang berhutang atau mengasihi jiwa-jiwa harus kita miliki, karena itu bukti kita mencintai Allah. Seorang yang mencintai Allah tetapi tidak mencintai jiwa-jiwa yang berdosa, itu berarti mereka tidak pernah mencintai Allah. Mencintai jiwa-jiwa yang berdosa tidak sama dengan mencintai dosa-dosa mereka. Marilah kita belajar dari Tuhan Yesus yang mencintai manusia yang berdosa dan membenci dosa-dosa mereka. Dunia kita mengajarkan konsep mencintai dengan tidak ada aturan yang bertanggungjawab. Apa itu mencintai ? Mereka mendefinisikan bahwa mencintai itu setulus hati mencintai dan menerima apa adanya, bahkan kalau perlu menerima dosa-dosanya sekalian. Inikah cinta kasih Kristen ? Tidak. Cinta kasih memang harus tulus, tetapi tidak boleh dikompromikan. Ketika ada sesama kita yang berdosa, sebagai wujud cinta kasih, kita tidak boleh membiarkannya, tetapi menegurnya dengan kasih dan pengajaran, sehingga mereka boleh bertobat. Seorang yang mengatakan bahwa dirinya mengasihi tetapi membiarkan sesamanya hidup di dalam dosa, adalah seorang yang sebenarnya tidak pernah mengasihi, tetapi mengasihi apa yang dimiliki oleh sesamanya atau mengasihi kalau memerlukan sesuatu. Inilah kasih yang bersyarat. Kasih Kristen adalah seperti kasih Tuhan Yesus yang tidak bersyarat (unconditional love), kasih Agape yang tidak berarti mengkompromikan dosa, tetapi menghendaki manusia yang berdosa segera meninggalkan dosa-dosa mereka dan kembali kepada-Nya. Itulah wujud kasih Kristen yang sejati, sama seperti (beda secara kualitatif) seorang laki-laki yang mengasihi pasangannya (baik pacar maupun istrinya) adalah laki-laki tersebut akan menegur pasangannya jika ada yang kurang atau salah, misalnya mengumpat, dll, tujuannya agar pasangannya juga bisa hidup baik. Hal ini mengajarkan kepada kita untuk tidak egois. Sikap mengasihi jiwa adalah sikap yang tidak egois. Orang Kristen yang egois adalah orang Kristen yang hanya menginginkan dirinya saja yang selamat, lalu masa bodoh dengan orang lain yang belum selamat. Tetapi bukan itu yang Tuhan inginkan. Tuhan ingin kita menjadi saksi dan berkat bagi orang lain dengan mengasihi mereka. Mengasihi adalah tanda seseorang berani merelakan dirinya menjadi saluran berkat dan kasih bagi orang lain agar orang lain boleh diberkati.
Kepada siapakah Paulus berhutang ? Saya kembali membagi obyek hutang Paulus ke dalam dua kategori. Pertama, orang Yunani maupun bukan orang Yunani. Orang-orang bukan Yunani diterjemahkan sebagai orang-orang barbar di dalam Alkitab terjemahan Inggris. Secara ras dan suku, Paulus tidak pernah membeda-bedakan orang. Paulus mengasihi jiwa-jiwa mereka tanpa membedakan ras dan suku. Kita sebagai pengikut dan hamba Kristus juga harus memiliki semangat ini, yaitu semangat untuk mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat tanpa memandang suku, ras dan agama mereka. Kalau kita mengerti mayoritas orang Yunani beragama Yunani dengan segala macam dewa-dewi dan pengaruh filsafat mereka baik dari Socrates, Plato, Aristoteles, dll. Demikian pula orang-orang yang non-Yunani atau pendatang juga memiliki agama dan kebudayaan mereka sendiri yang mungkin saja jauh dari pengenalan konsep yang benar tentang Allah yang benar. Paulus mengasihi mereka berdua, demikian pula kita harus mengasihi kedua golongan tersebut. Di Indonesia, mayoritas penduduknya beragama Islam. Sudah menjadi kewajiban kita dengan perasaan berhutang mengasihi jiwa-jiwa mereka yang tersesat tanpa memandang agama, suku dan ras mereka. Sekali lagi, ketika kita berbicara mengenai mengasihi jiwa-jiwa tanpa memandang agama, suku dan ras, itu TIDAK berarti kita mengkompromikan segala macam filsafat dan kebudayaan mereka lalu mengakui filsafat, agama dan kebudayaan mereka sebagai kebenaran yang setara dengan Alkitab. Ingatlah, mengasihi tidak berarti mengkompromikan segala sesuatu. Mengasihi tetaplah mengasihi. Mari kita belajar sedikit tentang mengasihi jiwa-jiwa (yang tanpa kompromi) konsep Paulus di dalam tugas apologetikanya di Atena di dalam Kisah Para Rasul 17:16-34. Di dalam pelayanan pemberitaan Injil, Paulus tidak pernah satu kali mengkompromikan Injil, tetapi mengkomunikasikan Injil dengan tepat dan bertanggungjawab. Di Atena, sebelum masuk ke dalam pemberitaan Injil, ia mengungkit sedikit mengenai kondisi keagamaan masyarakat Atena yang menyembah Allah yang tidak dikenalnya. Dari konsep unknown god, Paulus menceritakan dan mengajarkan tentang konsep Allah yang benar bukan dengan konsep penduduk Atena, tetapi dari konsep Injil Kristus (ayat 22-31). Kalau kita dengan teliti memperhatikan konsep apologia dan penginjilan Paulus ini, sebagai kata pengantar/pembukaan, ia tetap menghargai agama-agama mereka di tataran respon manusia terhadap wahyu umum Allah, lalu ia meneruskannya dengan berita Injil sebagai yang terutama di dalam penginjilan. Ini namanya mengasihi jiwa tanpa mengkompromikan Injil sedikitpun dengan orang-orang yang berbeda kepercayaan dengan kita. Tetapi rupa-rupanya para penganut social “gospel” tidak senang dengan hal ini, dan mengajarkan bahwa kita juga bisa “belajar” dari agama-agama lain, kalau perlu, Alkitab pun perlu ditambah dengan “kitab suci” agama lain. Mereka sudah mendegradasikan fungsi penginjilan dan esensi Injil sejati. Inilah wujud iblis yang menyamar sebagai malaikat terang, mereka sama sekali bukan hamba Kristus, tetapi jelas statusnya adalah hamba diri dan hamba setan. Setiap orang yang tidak memberitakan Kristus dan Injil-Nya, sama sekali bukan hamba Kristus, tetapi hamba diri dan hamba setan, apalagi yang suka memutarbalikkan dan menyelewengkan Injil Kristus dengan motivasi yang tidak beres. Kedua, terhadap orang-orang yang terpelajar dan tidak terpelajar. Kata “terpelajar” diterjemahkan wise atau bijaksana oleh Alkitab terjemahan Inggris dan kata “tidak terpelajar” diterjemahkan foolish atau bodoh/tolol oleh ESV dan ISV. Paulus tidak hanya memperhatikan masalah kebudayaan dan agama, tetapi juga memperhatikan rasio mereka. Paulus yang cerdas sangat memperhatikan konsep pikiran manusia berdosa. Ini terbukti dengan caranya berdialog dan memberitakan Injil di antara orang-orang Yahudi di Atena di dalam Kisah Para Rasul 17:16-34 tadi. Paulus juga mengasihi jiwa-jiwa baik yang berbijaksana atau mungkin yang benar-benar bodoh di mata masyarakat. Paulus menggunakan kata “berbijaksana” bukan kata “pintar”. Perbedaan kata ini bukan sekedar perbedaan kata, tetapi menyangkut perbedaan esensi. Seorang yang pintar bergelar Ph.D. sekalipun belum tentu bijaksana, karena orang yang berbijaksana adalah seorang yang terjun ke dalam masyarakat secara praktek, misalnya dalam mengambil keputusan. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang belajar dari sejarah, hidup orang lain, dll, terutama di dalam keKristenan, orang itu belajar dari Sumber Bijaksana itu sendiri yaitu Allah dan firman-Nya. Orang pintar berbeda, mereka mungkin bisa bergelar Ph.D. sebanyak 9 buah, tetapi mungkin sekali secara praktek, mereka tidak memiliki pengalaman bijaksana, sehingga mereka akan kacau dalam mengerjakan apapun meskipun pintar secara akademis. Itulah kegagalan banyak institusi pendidikan yang terlalu mementingkan pengetahuan (knowledge) tanpa memperhatikan kemampuan/keahlian dan hal-hal yang bersangkut paut dengan kehidupan sehari-hari apalagi menyangkut Tuhan. Di dalam kota Roma yang penduduknya juga banyak orang-orang Yunani yang mementingkan rasio, Paulus menyebut mereka bijaksana dengan pengetahuan mereka, tetapi mereka kurang satu hal yaitu kembali kepada Sumber Bijaksana, yaitu Allah dan firman-Nya. Mereka inilah yang perlu dikasihi jiwanya, karena mereka terlalu memuaskan diri dengan berbagai macam bijaksana cara dunia yang berbeda total dengan bijaksana versi Allah. Semua hal yang di dunia ini fana sifatnya dan tidak akan menemukan makna sejati jika tidak kembali kepada Sumber segala sesuatu yaitu Allah sendiri. Oleh karena itu, keinginan Paulus dan seharusnya juga merupakan keinginan kita untuk mengasihi jiwa-jiwa yang merasa puas diri untuk kembali kepada Kristus.
Tahap kedua, Paulus ingin memberitakan Injil. Wujud kasihnya kepada jiwa-jiwa yang tersesat, ternyata direalisasikan oleh Paulus dengan keinginannya untuk memberitakan Injil. Mengasihi jiwa itu harus, tetapi jika terhenti pada tahap itu saja dan tidak ada pewujudnyataannya, itu sia-sia. Mengasihi jiwa harus diwujudnyatakan dengan keinginan kita untuk memberitakan Injil. Kembali, mari kita lihat apa yang Alkitab catat mengenai perasaan dan keinginan Paulus di dalam Kisah Para Rasul 17:16-34. Ayat 16 di dalam Kis. 17, dr. Lukas mencatat, “Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat, bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala.” Perasaan mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat ada di dalam perasaan Paulus dengan perasaan kesedihan yang mendalam setelah melihat kota Atena yang penuh dengan patung-patung berhala. Tetapi apakah perasaan itu hanya berhenti sampai tahap mengasihi jiwa-jiwa saja ? Tidak. Paulus langsung berdiskusi dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Atena tentang Injil Kristus sambil memberitakan Injil. Inilah citra hamba Kristus sejati, yaitu hati yang mengasihi jiwa ditambah dengan pewujudnyataannya dengan memberitakan Injil. Pemberitaan Injil adalah wujud utama kita mengasihi jiwa, karena pemberitaan Injil sedang berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan spiritual yang paling urgent di dalam diri manusia. Mereka perlu Juruselamat yang memberikan kedamaian. Tetapi tidak berhenti sampai di sini, mereka juga perlu diajar oleh Injil untuk hidup bergantung dan bersandar mutlak di dalam penguasaan-Nya dan pimpinan-Nya (men-Tuhan-kan Kristus). Penginjilan Paulus di kota Atena ini sungguh unik dan berbeda total dengan penginjilan yang banyak diperdagangkan oleh banyak “hamba Tuhan” dari gereja kontemporer yang pop. Bedanya terletak pada berita Injil yang langsung disertai dengan berita murka-Nya yang mengadili dunia. Berita Injil yang sehat bukan hanya memberitakan penebusan Kristus atas dosa-dosa manusia, tetapi juga memberitakan tentang hukuman Allah kepada mereka yang tidak menerima Kristus. Itulah kedua sisi berita Injil sebagaimana yang dipaparkan di dalam Yohanes 3:16-21. Kasih Allah menyelamatkan umat pilihan-Nya yang percaya kepada-Nya, dan menghukum manusia yang tidak percaya kepada-Nya. Itulah keadilan Allah yang jarang dibicarakan oleh banyak gereja hari-hari ini. Pemberitaan Injil inilah yang Paulus jalankan dan itulah yang harus kita teladani, karena pemberitaan Injil bukanlah barang dagangan yang bisa dijual menurut kebutuhan manusia yang mendesak (hukum supply and demand), tetapi pemberitaan Injil adalah suatu pemberitaan Kabar Sukacita tentang jalan keluar dari dosa dan hidup benar di hadapan Allah. Injil berlaku untuk selama-lamanya dari zaman Adam sampai di akhir zaman, karena Injil itu, “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (Roma 1:16) Karena di dalam Injil ada kuasa Allah yang menyelamatkan, oleh karena itu, jangan sekali-kali mempermainkan Injil dengan tidak bertanggungjawab. Dengan mempermainkan Injil dengan cara memutarbalikkan atau menambahi atau mengubah arti Injil itu berarti mempermainkan kuasa Allah dan otomatis nama Allah sendiri, itu namanya menghujat Allah. Pemberitaan Injil harus kembali berfokus hanya di dalam Kristus, bukan yang lain dan bagi kemuliaan-Nya saja.
Sudahkah hari ini Anda mulai disadarkan akan kebenaran firman untuk mengasihi jiwa-jiwa dan memberitakan Injil Kristus kepada mereka yang tersesat sebagai realisasinya ? Amin.

Pdt. Drs. Thomy Job Matakupan, S.Th., M.Div. (Pendeta di GRII Andhika, Surabaya)

Pdt. Drs. Thomy J. Matakupan, S.Th., M.Div.

Pdt. Drs. Thomy Job Matakupan, S.Th., M.Div. dilahirkan di Jakarta pada tahun 1966. Mengambil keputusan menjadi hamba Tuhan pada tahun 1984. Setelah menyelesaikan pendidikan S-1 Umum (Drs.) pada tahun 1989, melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teologia Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta tahun 1991. Gelar Sarjana Theologia (S.Th.) diperoleh pada tahun 1995. Gelar Master of Divinity (M.Div.) diperoleh juga dari Institusi yang sama pada tahun 2001.

Pada tahun 1995-1996 menggembalakan jemaat di Mimbar Reformed Injili Surabaya, sekaligus mengajar sebagai dosen di Sekolah Teologia Reformed Injili, baik yang berada di Surabaya maupun Malang.

Pada bulan Oktober 1996 dipercayakan menjadi Kepala Perwakilan Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) perwakilan Yogyakarta dan Gembala Sidang Mimbar Reformed Injili (MRI) Yogyakarta sebagai bagian dari pengembangan pelayanan Gerakan Reformed Injili di Indonesia.

Semenjak bulan Februari 2000 kembali melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII), Andhika Surabaya serta menjadi dosen di Sekolah Teologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika, dan International Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS).

Menikah dengan Ev. Mercy Grace Prealy Putong, S.Th. pada tahun 1998 dan telah dikaruniai seorang putri, Nikita Ilona Putri Matakupan. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta pada Paskah 2005 bersama Pdt. Billy Kristanto, M.C.S.

Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D. (Rektor STTRII)

Pdt. Yakub B. Susabda, M.C.E., M.Th., Ph.D.

Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D. dilahirkan di Grabag, Magelang tahun 1946. Beliau mendapatkan gelar Sarjana Theologia (S.Th.)nya di Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta pada tahun 1971. Kemudian melayani sebagai pembantu pendeta dalam bidang PAK di GKI Panglima Polim, Kebayoran Baru, Jakarta (1971-1974). Setelah itu dengan beasiswa dari WARC (World Alliance of Reformed Churches), beliau melanjutkan studi dalam bidang Pastoral Counseling di Union Theological Seminary, Richmond, Virginia, USA. Kemudian studinya dilanjutkan di Reformed Theological Seminary di Jackson, Missisippi untuk gelar Master dalam Christian Education (1975-1977) dan Trinity Evangelical Divinity School di Deerfield, Illinois untuk gelar Master of Theology dalam Psychology dan Counseling (1977-1979). Pada tahun 1985-1987, beliau studi di BIOLA University untuk program Ph.D. (Doctor of Philosophy) Pada tahun 1988, beliau berhasil mempertahankan disertasi yang merupakan hasil dari suatu studi empiris dengan tema "The Relationship between Religiousity, the Male-Female Love Ralationship, and the Church Teaching Ministry among Evangelical Christians in California".

Beliau diteguhkan ke dalam jabatan pendeta (untuk mengajar di seminari) di First Presbitarian Church, Jackson, Missisippi pada tahun 1978 dan menjadi dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang (1979-1989). Bersama-sama dengan Pdt. Dr. Stephen Tong dan Pdt. Caleb Tong, beliau mendirikan Lembaga Reformed Injili Indonesia (1986). Buku-buku yang telah ditulisnya adalah Administrasi Gereja, Pastoral Konseling, Teologi Modern, Kaum Injili, Pengantar ke dalam Teologi Reformed dan buku-buku untuk pembinaan keluarga Kristen. Saat ini (sejak tahun 2006) beliau menjabat sebagai Rektor di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia (STTRII)

Pdt. Nico Ong, M.Div. (MRII Taiwan/China)

Pdt. Nico Ong, M.Div.

Dari situlah tergeraklah pemuda ini untuk merintis persekutuan bagi orang Indonesia dengan pengajaran yang tepat yaitu teologi Reformed. Hingga pada satu kesempatan SPIK Pdt. Dr. Stephen Tong di World Trade Center. Taipei dengan tema Roh Kudus, Doa dan Kebangunan Rohani. Pemuda ini memberanikan diri untuk menuliskan surat pribadinya kepada beliau. di luar dugaan dan rencana, beliau juga terbeban dan menyetujui perintisan persekutuan Reformed. Maka terbentuklah PRII Taipei pada tahun 1996, dan pada saat yang bersamaan seorang hamba Tuhan dari GRII Pusat ditugaskan untuk mengembalai jemaat mula-mula. Pada tahun 1997, sang pemuda memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan di Reformed Institute dan Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII).

Awal Januari 1998, Persekutuan Reformed Injili Indonesia (PRII Taipei) bubar karena hamba Tuhan yang ditugaskan harus kembali ke Indonesia. Namun pada tgl 12 Januari 1998 atas tantangan Pdt. Dr. Stephen Tong dan visi awal perintisan, Pdt. Nico Ong pun kembali berangkat ke Taipei untuk menggembalakan jemaat setempat. Perintisan PRII Taipei kembali dimulai berawal dari 2 orang dalam persekutuan doa dan berkembang sampai 5 orang dan akhirnya memberanikan diri menyewa tempat di Hakka Church. Dan Tuhan memberkati dengan jumlah jemaat yang semakin bertambah. Keseriusan serta komitmen jemaat dan pengurus juga semakin terlihat dalam penginjilan dan financial independence.

Dengan komitmen ini serta kemurahan Tuhan maka kami dapat mneyewa gedung sendiri sebagai sekretariat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Taipei. Pada tahun yang sama, gerakan Reformed Injili di kota Taichung juga dirintis. Awal Mei 2000 merintis gerakan Reformed Injili di Guangzhou - China. Juni 2000 di Beijing. Tahun 2002 di Shanghai. Tahun 2003 di Hongkong dan Tahun 2004 di Xiamen.

(alm.) Pdt. Ir. Amin Tjung, M.Div., M.Th.

Pdt. Ir. Amin Tjung, M.Div., M.Th.
(alm.) Pdt. Ir. Amin Tjung, M.Div., M.Th. dilahirkan pada 9 Februari 1966. Setelah menyelesaikan Sarjananya di STMIK "Budi Luhur" Jakarta, dengan gelar S.Kom., maka beliau melanjutkan di Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII) untuk mengambil gelar Sarjana Theologia (S.Th.), dan kemudian lulus Master of Divinity (M.Div.) pada tahun 1997 di sekolah yang sama. Selain itu, beliau juga pernah mengambil kuliah pasca sarjana Filsafat di Universitas Indonesia selama 1 tahun.

Dalam kiprahnya di dunia komputer, sebelum menjadi hamba Tuhan penuh waktu, beliau pernah turut membuat buku untuk kursus komputer dan sekaligus juga menjadi dosen di almamater, STMIK "Budi Luhur." Menjadi asisten dosen th. 1987, lalu menjadi dosen 1988-1991, menjadi guru komputer di SMU IPEKA Jakarta 1988-1989, kerja di ASTRA Group bidang komputer (1988-1989), membuat program dan melayani di Persekutuan Pembaca Alkitab Jakarta selama 6 bulan di tahun 1990, menjadikan beliau cukup banyak berkecimpung di dunia komputer.

Mulai terlibat dalam pelayanan di Lembaga Reformed Injili pada tahun 1990-1991. Sebelumnya, beliau melayani di Gereja Kristen Baptis Jakarta, menjadi guru sekolah minggu dan pemimpin PA (sejak 1984), sie kerohanian (1986), ketua pemuda dan tim penyusun AD/ART Sinode (1987-1989), dan mulai membawakan renungan di remaja, khususnya di cabang sejak 1988.

Dalam pelayanan kampus dan umum, beliau terlibat dalam memimpin Kelompok Kecil di kampus dan KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) di Perkantas (1985), mulai menjadi pengurus PMK di kampus (1986-1988). Sejak 1986 mulai banyak berkhotbah di persekutuan kampus, kelompok kecil atau memimpin berbagai seminar, lokakarya dan juga Kebaktian Kebangunan Rohani. Tahun 1989 mulai memegang persekutuan PMKJB bersama Perkantas.

Beliau juga banyak mengikuti pembinaan di Perkantas, Univ. Trisakti, PPA, Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) dari Pdt. Dr. Stephen Tong, dan masuk Sekolah Theologia Reformed Injili Jakarta th.1988 (selesai kuliah).

Beliau menikah dengan Ev. Dra. Lita K. Handaya dan dikaruniai tiga putra, Ezra (1993), Paul (1994) dan Kharis (1997).

Beliau meraih gelar Master of Theology (M.Th.) dalam bidang Pendidikan Kristen dari Universitas Kristen Indonesia. Selain menggembalakan Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Singapura dan mengepalai Institut Reformed di Singapura, beliau menjadi wakil ketua Yayasan SETIA (ketua : Pdt. Dr. Matheus Mangentang).

Resensi Buku-4 : THE SOVEREIGNTY OF GOD/KEDAULATAN ALLAH (oleh : Arthur Walkington Pink)

Buku
THE SOVEREIGNTY OF GOD (Kedaulatan Allah)

oleh : Arthur Walkington Pink

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2005

Penerjemah : The Boen Giok.








“Kita sangat membutuhkan pengajaran tentang kemahakuasaan Allah,” tulis A. W. Pink. Pada zaman di mana manusia semakin diagungkan, kebebasan untuk mempercayai allah-allah ciptaan manusia sendiri semakin ditekankan, dan gereja yang membuang ajaran Alkitab yang ketat untuk menggantikannya dengan pragmatisme semakin banyak, kita melihat betapa mendesaknya kebutuhan untuk mengajarkan dengan tegas tentang kemutlakan kedaulatan Allah, Pencipta langit dan bumi.

Arthur W. Pink menyajikan kembali kebenaran-kebenaran mendasar yang Alkitabiah tentang kedaulatan Allah atas segala sesuatu di dalam penciptaan, providensi (pemeliharaan), dan khususnya di dalam keselamatan kekal kaum pilihan-Nya. Pink juga membahas secara ketat topik yang selalu menjadi perdebatan theologis : kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia ; dan hubungan antara kedaulatan Allah dan doa.

Kedaulatan Allah akan menjadi bacaan yang mengoreksi kesalahan konsepsi yang telah terjadi begitu lama, makanan rohani yang menguatkan iman dan merendahkan hati, serta memberikan suatu jaminan yang pasti bagi kita karena mengetahui bahwa Allah kita berdaulat atas segalanya dan di dalam segala sesuatu Dia berkarya demi kemuliaan-Nya dan kebaikan kita.






Profil A. W. Pink :
Arthur Walkington Pink lahir di Inggris pada tahun 1886, bermigrasi ke Amerika Serikat untuk menjalani studi di Moody Bible Institute. Dia menggembalakan jemaat di Colorado, California, Kentucky, dan South Carolina sebelum menjadi penginjil keliling pada tahun 1919. Dia kembali ke Inggris pada tahun 1934 dan menetap di Pulau Lewis, Skotlandia, mulai tahun 1940 sampai dia meninggal dua belas tahun kemudian. Sebagian besar tulisannya diterbitkan pertama kali sebagai artikel dalam Studies in the Scriptures, yang beredar dari tahun 1922 sampai 1952. Beberapa tulisan Pink termasuk : Attributes of God ; The Doctrine of Justification ; The Antichrist ; The Patience of God ; Eternal Security ; Christmas ; The Total Depravity of Man ; The Sovereignty of God ; The Christian Sabbath ; he Decrees of God ; The Atonement ; Practical Christianity ; The Doctrine of Reconciliation.
Pink meninggal di Stornoway, Skotlandia pada bulan Juli 1952. Setelah kematian Pink, karyanya diterbitkan oleh The Banner of Truth Trust.