29 May 2011

Resensi Buku-121: ANGER: Mengatasi Amarah Dengan Cara yang Sehat (Rev. Gary Chapman, Ph.D.)

Dunia kita adalah dunia yang marah, begitulah pendahuluan yang diketengahkan oleh Rev. Gary Chapman, Ph.D. di dalam buku ANGER ini. Di sekeliling kita, amarah menjadi “komoditi” yang laris. Teman, pasangan, orangtua, rekan, saudara, dan kita sendiri marah. Sebagai orang Kristen, bolehkah kita marah?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
ANGER:
Mengatasi Amarah Dengan Cara yang Sehat


oleh: Rev. Gary Chapman, Ph.D.

Penerbit: VISI Press, 2010

Penerjemah: Lily Endang Juliani





Rev. Gary Chapman, Ph.D. di dalam buku ANGER ini menjelaskan dasar presuposisi yang mengaitkan marah dengan Tuhan. Meskipun Allah adalah Mahakasih, namun Alkitab mencatat bahwa Dia juga Allah yang murka. Amarah Allah disebabkan karena ketidakadilan, ketidakjujuran, dll yang tidak sesuai dengan natur-Nya yang Mahakudus. Dari presuposisi ini, Rev. Gary Chapman mengarahkan para pembaca untuk mengerti amarah yang baik dan membawa kebaikan. Amarah itu disebutnya sebagai amarah definitif, yaitu amarah terhadap kesalahan yang BENAR-BENAR salah. Namun akibat dosa, amarah dipergunakan untuk hal-hal yang tidak baik atau salah. Amarah itu disebut oleh Rev. Gary Chapman sebagai amarah yang terdistorsi, yaitu amarah terhadap kesalahan yang DIANGGAP terjadi. Amarah ini nantinya juga mengakibatkan dua cara manusia mengungkapkan amarahnya yaitu: eksplosi (ke luar, misalnya dengan membanting pintu, mengata-ngatai, dll) dan implosi (ke dalam, misalnya: menarik diri, memendam, mendendam, dll). Bahkan juga amarah ini bisa berlangsung lama dari sejak kecil sampai seseorang berkeluarga/menikah. Lalu, bagaimana solusinya? Dengan bijak, Rev. Gary Chapman menawarkan solusinya yaitu pengampunan. Pengampunan didapat dari karya penebusan Kristus di kayu salib demi menebus dosa manusia. Pengampunan inilah yang harus diaplikasikan di dalam kehidupan kita khususnya tentang amarah. Dan hal ini diaplikasikan dengan jelas oleh Rev. Gary Chapman ketika mengaitkan pengampunan dengan amarah terhadap pasangan, mendidik anak menangani amarah, marah kepada Allah, marah kepada diri, dan menghadapi orang yang marah.

Keunikan buku ini adalah di dalam setiap babnya, Rev. Gary Chapman menampilkan suatu kesaksian nyata dari beliau sendiri maupun dari orang-orang yang beliau pernah layani di dalam konseling, sehingga ilustrasi-ilustrasi tersebut memberikan penjelasan praktis kepada kita khususnya menolong kita mengerti asal muasal marah, penyebab marah, akibatnya, dan solusi terhadap amarah berdasarkan Alkitab.





Profil Rev. Dr. Gary Chapman:
Rev. Gary Chapman, B.A., M.A., M.R.E., Ph.D. adalah Senior Associate Pastor di Calvary Baptist Church, Winston-Salem, North Carolina, U.S.A. Buku best-seller yang beliau tulis berjudul The Five Love Languages telah terjual lebih dari 5 juta kopi dan telah diterjemahkan ke lebih dari 36 bahasa. Beliau menempuh studi di University of North Carolina dalam bidang Philosophy of Education dan Comparative Education; kemudian di Duke University dalam bidang History of Education dan Educational Psychology. Beliau menyelesaikan studi Diploma dalam bidang Pastor’s Course di Moody Bible Institute; Bachelor of Arts (B.A.) dalam bidang Antropologi (minor: Alkitab) di Wheaton College; Master of Arts (M.A.) dalam bidang Antropologi di Wake Forest University; Master of Religion Education (M.R.E.) dalam bidang Education Administration dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang Adult Education di Southwestern Baptist Theological Seminary, U.S.A.

25 May 2011

Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Internasional

Sekolah Tinggi Theologi
Reformed Injili Internasional




Deklarasi Visi dan Misi
Pdt. Dr. Stephen Tong

Di permulaan abad ini, kita menghadapi suatu momen sejarah yang bersifat paradoks dan ditandai dengan krisis perubahan. Pengujian ketat atas ideologi warisan abad ke-19 mengakibatkan semakin lunturnya kepercayaan manusia akan positivism keilmuan, evolusi komunisme, maupun eksistensialisme. Seiring dengan kevakuman dan ketidakpastian abad ini, kebudayaan Timur mulai mengalami kekeringan tradisi feodalisme dan kegoncangan aksiologi moralitas kunonya. Mereka mulai terbangun dari ketakhayulan optimisme Marxisme. Memasuki era modernisasi, kebangunan spiritual ternyata tidak siap mengimbangi kebangunan ekonomi yang drastis. Selain itu, arus demokratisasi dan daya tarik teknologi Barat bagi kaum intelektual semakin menambah kerumitan momen sejarah abad ini.
Sejak abad Pencerahan, theologi Barat telah turut dicemari oleh semangat kepercayaan humanisme. Mereka menolak kedudukan wahyu dan metafisika, dan menaklukkan diri pada rasio dan sifat hati manusia yang berdosa.
Kepercayaan sedemikian mengalihkan fokus iman Kristen hanya kepada teladan moral Kristus dengan membuang keilahian-Nya. Mereka juga mewarisi metodologi yang didasarkan atas evolusi historis yang mengurung diri dalam relativisme dan membawa kepada jalan buntu tanpa kuasa penebusan Kristus. Keadaan ini semakin melumpuhkan Kekristenan untuk menangkis serangan dan tantangan arus dunia ini. Meskipun kaum Injili pernah menyatakan kesetiaannya dan membentuk gerakan yang tidak dapat diabaikan, namun semuanya itu segera diredupkan oleh doktrin yang dangkal dan arus sensasional gerakan Karismatik. Ketidakberdayaan ini semakin menjadi suatu fenomena global di akhir abad ke-20.
Mengamati seluruh gejala ini, kita dipanggil untuk menetapkan kembali kepercayaan yang teguh, akar iman yang berdasarkan wahyu Allah, theologi dan penginjilan yang setia pada Alkitab, dan semangat serta intisari apologetika orthodoks untuk mengarahkan, memimpin, dan menilai kebudayaan. Kita tidak dapat mengelakkan diri dari panggilan ini.



PROGRAM STUDI
STT Reformed Injili Internasional menyelenggakan 6 program jenjang gelar, yaitu:
1. Sarjana Theologi (S.Th.)
Program ini disediakan bagi lulusan SMU/sederajat yang menerima panggilan Tuhan untuk melayani purna-waktu. Mahasiswa program ini diperlengkapi dengan dua dasar studi, yaitu Biblika dan Theologi. Selanjutnya diarahkan dalam penekanan pada: Sistematika Theologi, Penggembalaan, Penginjilan, Hermeneutika, dan Apologetika.

2. Master of Divinity (M.Div.)
Program ini disediakan bagi lulusan Sarjana Umum (S-1) atau sederajat dan lulusan Sarjana Theologi yang menerima panggilan Tuhan untuk melayani purna-waktu. Program ini dirancang untuk pelayanan penggembalaan dan pertumbuhan gereja.

3. Master of Christian Studies (M.C.S.)
Program ini disediakan bagi lulusan Sarjana Umum (S-1) yang menerima panggilan Tuhan dalam pelayanan Mandat Budaya baik dalam gereja, pendidikan, maupun masyarakat. Program ini disediakan pula untuk lulusan Sarjana Theologi yang rindu mendalami pelayanan Mandat Budaya dalam keutuhannya dengan Mandat Injili.

4. Master of Arts in Evangelism (M.A.E.)
Program ini disediakan untuk memperlengkapi setiap mahasiswa dengan pemahaman iman yang benar sesuai dengan Theologi Reformed Injili serta pengetahuan yang luas meliputi aspek kebudayaan, filsafat, agama atau kepercayaan, strategi dan keterampilan yang relevan dan dinamis untuk menghadapi tantangan dalam pelayanan penginjilan secara pribadi maupun secara missal.

5. Master of Theology (M.Th.)
STT Reformed Injili Internasional bekerja sama dengan Westminster Theological Seminary, Philadelphia menawarkan program M.Th. tahun ini dalam bidang Sejarah Gereja dan Theologi Historikal (Church History and Historical Theology) dan tahun depan (2012) dalam bidang Theologi Sistematika (Systematic Theology) yang ditujukan kepada lulusan program magister (M.A./sederajat atau M.Div.). Program M.Th. ini dirancang sebagai program pascasarjana akademik mempersiapkan mahasiswa magister dengan studi metodologi dan riset theologi yang mendalam untuk terjun dalam berbagai pelayanan gerejawi, khususnya pelayanan pengajaran (teaching ministry), sekaligus persiapan studi lanjut doktoral.

6. Sarjana Musik Gerejawi (S.M.G.)
Program ini disediakan bagi mereka yang terpanggil untuk mendalami musik gerejawi, diperlengkapi dengan studi usik, theologi Reformed, filsafat dan kebudayaan, yang diarahkan ke dalam pelayanan musik gereja dan masyarakat, yang terbagi dalam jurusan: piano, organ pipa dan keyboard, alat musik gesek, vokal dan dirigen.


KERJASAMA DENGAN WESTMINSTER THEOLOGICAL SEMINARY, U.S.A.
STT Reformed Injili Internasional dan Westminster Theological Seminary, Philadelphia menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 24 April 2011 di Jakarta. Berkaitan dengan MoU ini, kedua institusi bertekad melakukan kerja sama dalam bidang akademis dan pelayanan, meliputi program studi M.Th., pertukaran dosen (faculty exchange), pertukaran mahasiswa (student exchange), serta kerja sama publikasi dan riset (joint publication and research projects).


PERSYARATAN PENDAFTARAN
Kami menyambut dan turut mendoakan kerinduan Anda untuk menjadi mahasiswa STT Reformed Injili International. Langkah awal terpenting Anda harus seorang yang telah lahir baru dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Selanjutnya Anda adalah seorang yang menyadari panggilan Tuhan untuk diperlengkapi bagi pelayanan sesuai dengan maksud dan pimpinan-Nya bagi Anda.

Langkah berikutnya, Anda memiliki kerinduan untuk diperlengkapi di STT Reformed Injili Internasional. Untuk itu Anda dapat mengisi formulir pendaftaran, kemudian melengkapi persyaratan rekomendasi, bahasa Inggris (nilai TOEFL minimal 500 atau 550 untuk M.Th.) dan administrasi sebagaimana tercantum dalam formulir pendaftaran.

Jikalau Anda masih memiliki pertanyaan sebelum mengirimkan Formulir Pendaftaran, silahkan menghubungi:
Sekretariat STT Reformed Injili Internasional
Gedung Kebudayaan Lt. VI
Reformed Millenium Center Indonesia
Jln. Industri Blok B-14 Kav. 1
Jakarta Pusat 10720
Telp.: (021) 65867809; Faks.: (021) 65867819
E-mail: admissions@stt-reformed-injili.ac.id

Jikalau Anda sudah melengkapi dan mengirimkan Formulir Pendaftaran, Anda akan segera diundang untuk wawancara dan mengikuti ujian masuk dalam bidang Pengetahuan Alkitab, Pengetahuan Umum, dan Pengetahuan Doktrinal.


POLA STUDI DAN FASILITAS
STT Reformed Injili Internasional berada di tengah-tengah kota Jakarta yang memungkinkan terjadinya interaksi aktif antara mahasiswa dan pengajar dngan dinamika barometer kota metropolitan dan masyarakat urban. Kesempatan ini menantang mahasiswa untuk membangun wawasan Kristen yang relevan dan berguna bagi bangsa dan negara serta menuntut komitmen belajar dan integritas kehidupan rohani. Untuk itu setiap mahasiswa dibimbing dan dituntut menggumuli secara khusus beban panggilannya melalui interaksinya dengan para pengajar dan ladang pelayanan.

Sebagai wujud dari visi dan misi Reformed Injili, STT Reformed Injili Internasional mendorong setiap mahasiswa untuk mengembangkan studi secara utuh baik dalam kelas, ladang pelayanan, kehidupan kampus, laboratorium komputer, perpustakaan (sampai saat ini tersedia 12.000 judul buku ditambah dengan jurnal), dan tutorial.

STT Reformed Injili Internasional, Jakarta berkaitan langsung dengan Reformed Institute for Christianity and the 21st Century yang diadakan di Amerika Serikat dan di beberapa kota besar Asia lainnya. Semuanya didirikan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai jawaban atas panggilan Tuhan di abad ke-21 ini.




STT REFORMED INJILI INTERNASIONAL
Didirikan oleh:
Sinode Gereja Reformed Injili Indonesia
bekerja sama dengan:
Reformed Institute for Christianity and the 21st Century
U.S.A.
(Stephen Tong Evangelistic Ministries International)

Pendiri dan Ketua Kehormatan:
Pdt. Stephen Tong, B.Th., D.L.C.E. (HC), D.D. (HC)
(Pendiri dan Ketua Sinode GRII; Bachelor of Theology—B.Th. dari Seminari Alkitab Asia Tenggara—SAAT Malang dan dianugerahi gelar kehormatan: Doctor of Leadership in Christian Evangelism—D.L.C.E. dari La Madrid International Academy of Leadership, Filipina dan Doctor of Divinity—D.D. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.)

Ketua:
Pdt. Ir. Benyamin F. Intan, M.A.T.S., M.A.R., Ph.D.
(gembala sidang GRII Pondok Indah, Jakarta, Direktur Eksekutif dari Reformed Center for Religion and Society, dan salah satu The Board of Directors di World Reformed Fellowship; Insinyur—Ir. dari Universitas Kristen Petra, Surabaya; Master of Arts—M.A. in Theological Studies dari Reformed Theological Seminary; M.A. in Religion dari the Divinity School of Yale University; dan Doctor of Philosophy—Ph.D. in Social Ethics dari Boston College, U.S.A.)

Pembantu Ketua 1 (Bidang Akademis):
Pdt. Dr. Phil. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Th.M.
(gembala sidang GRII Jerman {Mimbar Reformed Injili Indonesia—MRII Berlin, Hamburg, Persekutuan Reformed Injili Indonesia—PRII München, dan Persekutuan Reformed Stockholm}; Diploma of Music—Dipl.Mus. dari Universitaet der Kuenste, Berlin; Master of Christian Studies—M.C.S. dari Institut Reformed {d/h STT Reformed Injili Internasional}, Jakarta; Doctor of Philosophy—Dr. Phil. dalam bidang Musikologi dan Master of Theology—Th.M. dari Universitaet Heidelberg, Jerman; dan sedang menyelesaikan studi Dr. Phil. dalam bidang Theologi Injili di Universitaet Heidelberg, Jerman)

Pembantu Ketua 2 (Bidang Keuangan):
Ev. Maria Q. Mazo, M.Div.
(hamba Tuhan di GRII Singapore; Master of Divinity—M.Div. dari Asian Theological Seminary, Filipina dan sedang menempuh studi Doctor of Ministry—D.Min. dalam bidang Christian Counseling di Westminster Theological Seminary, Philadelphia, U.S.A.)

Pembantu Ketua 3 (Bidang Kemahasiswaan dan Pelayanan):
Pdt. Liem Kok Han, S.Th.
(gembala sidang GRII Kelapa Gading, Jakarta; Sarjana Theologi—S.Th. dari SAAT Malang)

Bagian Admisi:
Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div.
(gembala sidang GRII Andhika, Surabaya dan Direktur: Momentum Christian Literature, Surabaya dan International Reformed Evangelical Correspondence Studies—IRECS; S.Th. dan M.Div. dari Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia—STTRII Jakarta)

Bagian Perpustakaan:
Pdt. Lay Hendra Widjaya, S.E., M.C.S.
(gembala sidang MRII Sunter, Jakarta; M.C.S. dari Institut Reformed {d/h STT Reformed Injili Internasional}, Jakarta)

Dosen Tetap:
1. Pdt. Ir. Agus Marjanto Santoso, M.Div.
(gembala sidang GRII Karawaci, Jakarta; Ir. dari Institut Teknologi Indonesia dan M.Div. dari STTRII Jakarta)

2. Pdt. Aiter, S.Kom., M.Div.
(hamba Tuhan di GRII Pusat, Jakarta; Sarjana Komputer—S.Kom. dari Universitas Bina Nusaantara, Jakarta dan M.Div. dari Institut Reformed, Jakarta)

3. Pdt. Ir. Andi Halim, S.Th.
(gembala sidang GRII Ngagel, Surabaya dan Ketua Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya—STRIS Ngagel; Ir. dari Universitas Kristen Satya Wacana dan S.Th. dari SAAT Malang)

4. Pdt. Ir. Benyamin F. Intan, M.A.T.S., M.A.R., Ph.D.
5. Pdt. Dr. Phil. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Th.M.
6. Pdt. Budy Setiawan, S.Th.
(gembala sidang GRII Melbourne; S.Th. dari STTRII Jakarta)

7. Ev. Diana Ruth Winoto, S.Sn., M.Div.
(Pembina Pemuda di GRII Pusat, Jakarta dan Wakil Pemimpin Redaksi Buletin PILLAR; Sarjana Seni—S.Sn. dari Universitas Trisakti, Jakarta dan M.Div. dari Institut Reformed, Jakarta)

8. Pdt. Effendi Susanto, S.Th.
(gembala sidang GRII Sydney, Australia; S.Th. dari SAAT Malang)

9. Ev. Elsa Veralien Pardosi, S.S., B.C.M.
(Sarjana Sastra—S.S. bidang Sastra Inggris di Universitas St Thomas Medan dan Bachelor of Church Music—B.C.M. dari Singapore Bible College)

10. Ev. Ester L. Gunawan Nasrani, M.A., M.Mus.
(Master of Music—M.Mus. dari Biola University, U.S.A.)

11. Eunice Tong Holden, B.A., M.Mus.
(Direktur Musik Paduan Suara GRII, pelatih Reformed Oratorio Society—ROS di Singapura, Paduan Suara GRII Singapura, Jakarta Oratorio Society—JOS Youth Chorale dan Associate Conductor dari JOS; Bachelor of Arts—B.A. dalam Piano Performance di bawah bimbingan Hyesook Kim dari Calvin College, U.S.A. M.Mus. dalam bidang conducting dari Westminster Choir College of Rider University, New Jersey, U.S.A.)

12. Pdt. Lay Hendra Wijaya, S.E., M.C.S.
13. Pdt. Hendry Ongkowidjojo, S.E., M.Div., M.Th.
(Manager Produksi dan Editor di Momentum Christian Literature; Sarjana Ekonomi¬—S.E. dari Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya; M.Div. dari Institut Reformed; dan Master of Theology—M.Th. dalam bidang Perjanjian Baru dari Trinity Evangelical Divinity School, Illinois, U.S.A.)

14. Indah Lestari Hertanto, B.Mus., M.Mus.
(melayani di Paduan Suara GRII, Jakarta Oratorio Society—JOS, dan JOS Youth Choir; Bachelor of Music—B.Mus. dan M.Mus. dalam bidang Piano Performance dari Towson University, Maryland, U.S.A. dan Professional Studies Certificate dalam Vocal Accompanying dari Manhattan School of Music)

15. Pdt. Ivan Kristiono, S.Sn., M.Div.
(Pembina Remaja di GRII Pusat, Jakarta dan Direktur Sekolah Kristen Calvin, Jakarta; S.Sn. dari Universitas Trisakti, Jakarta; M.Div. dari Institut Reformed, Jakarta; dan sedang studi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat—STF Driyarkara, Jakarta)

16. Pdt. Jusak Widjaja, S.E.Ak., M.B.A., M.Div.
17. Jusniaty Chitra, Dipl.Mus.
(solois piano, pianis di GRII Pusat, Jakarta; Diploma of Music—Dipl.Mus. dalam bidang Piano Performanc dari sekarang Universität der Künste, Berlin di bawah Prof. Elena Lapitzkaja)

18. Pdt. Liem Kok Han, S.Th.
(gembala sidang GRII Kelapa Gading, Jakarta; S.Th. dari SAAT Malang)

19. Lina Runtuwene
(organis di GRII Pusat, Jakarta; belajar orgel pipa pertama kali di bawah bimbingan Harry van Dop di Gereja Immanuel Jakarta, kemudian meneruskan belajar orgel pipa di Nederlands Instituut voor Kerkmuziek di Utrecht, Belanda selama lima tahun di bawah bimbingan Prof. Willem Tanke)

20. Ev. Maria Q. Mazo, M.Div.
21. Pdt. Michael Hsu, M.A.
(misionaris dari Taiwan dan gembala sidang Persekutuan Reformed Injili Indonesia—PRII Mandarin Kelapa Gading, Jakarta; Master of Arts—M.A. dari Tao-Sheng Theological Seminary, Taiwan)

22. Pdt. Nico Ong, B.A., M.C.S., M.Div.
(gembala sidang GRII/MRII Taiwan/RRT: Taipei, Taichung, Beijing, Shanghai, Xiamen, Guangzhou, dan Hong Kong; Bachelor of Arts—B.A. dari Tao Sheng Theological Seminary; M.C.S. dari China Reformed Theological Seminary; dan M.Div. dari Institut Reformed, Jakarta)

23. Rebecca Tong, B.A. in Mus.
(asisten conductor di Jakarta Simfonia Orchestra; B.A. dalam History of Music dengan konsentrasi pada Orchestra performance di bawah Robert Nordling di Calvin College dan belajar conducting di bawah Tiffany Engle dan choral conducting di bawah Joel Navarro)

24. Renata Lim, Dipl.Mus.
(pimpinan dari sekolah musik Academy of Networked Thinking In Music—ANTiM dan Jakarta Singing School dan solois di Jakarta Oratorio Society—JOS; Diploma of Music—Dipl.Mus. dari Universitaet der Kuenste, Berlin)

25. Pdt. Romeo Q. Mazo, B.S.B.A., M.Div.
(gembala sidang MRII Kuala Lumpur, Malaysia; B.S.B.A. dalam bidang Banking and Finance dari Divine Word College dan M.Div. dari Asian Theological Seminary, Filipina)

26. Pdt. Rudie Gunawan, S.Th.
(gembala sidang MRII Kuningan, Jakarta dan Ketua Sekolah Theologi Reformed Injili Jakarta—STRIJ; S.Th. dari SAAT Malang)

27. Stephen Cahyadi
28. Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div.
29. Pdt. Tumpal Hutahaean, S.Th., M.A.E.
(gembala sidang GRII Buaran dan GRII Cikarang; S.Th. dari STTRII Jakarta dan Master of Arts in Evangelism—M.A.E. dari Institut Injil Indonesia, Batu, Malang)

30. Ev. Yadi Sampurna Lima, M.Div.
(Pembina Pemuda di GRII Pondok Indah, Jakarta; D-3 Instrumentasi dari Fakultas MIPA Universitas Indonesia; M.Div. dari Institut Reformed, Jakarta; dan sedang studi filsafat di Vrije Universiteit, Amsterdam)


Dosen Tidak Tetap:
1. Pdt. Bambang Ruseno Utomo, S.Th., M.A., D.Th.
(Ketua dari Institut Pendidikan Theologi Balewiyata, Malang; S.Th. dari Sekolah Tinggi Theologi Duta Wacana, Yogyakarta; M.A. dari Islamic Study Center, Selly Oak College, The University of Birmingham, England; dan Doctor of Theology (D.Th./Th.D.) dari South East Asia Graduate School of Theology)

2. Ev. Ina E. Mulyono Hidayat, B.Th., M.T.S., M.Th.
(istri Ev. Paul S. Hidayat, M.Th.; Bachelor of Theology—B.Th. dari Institut Injil Indonesia; Master of Theological Studies—M.T.S. dan M.Th. dari Calvin Theological Seminary, U.S.A.)

3. Ev. Inawaty Teddy, B.Comm., M.Div., M.Th.
(Dekan Akademis di STTRII; Bachelor of Commerce—B.Comm. dari University of Toronto; M.Div. dan M.Th. dari Reformed Theological Seminary, U.S.A.)

4. Ev. Melanie Barlian, M.Div., M.Th.
(Dosen Perjanjian Lama di Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung—STTAA, Jakarta; M.Div. dan M.Th. dari Reformed Theological Seminary, U.S.A.)


Profesor Tamu:
1. Prof. Richard B. Gaffin, Jr., Th.D.
(Emeritus Professor of Biblical and Systematic Theology di Westminster Theological Seminary, U.S.A. dan teaching elder di Orthodox Presbyterian Church, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dari Calvin College; Bachelor of Divinity—B.D., Th.M., dan Doctor of Theology—Th.D. dari Westminster Theological Seminary; dan studi di Georg-August University of Göttingen)

2. Rev. Prof. Gerald Lewis Bray, B.A., M.Litt., D.Litt.
(Research Professor of Divinity, History and Doctrine di Beeson Divinity School dan pendeta di Church of England; B.A. dari McGill University; Master of Letters—M.Litt. dan Doctor of Letters—D.Litt. dari University of Paris-Sorbonne)

3. Prof. Andrew T. B. McGowan, B.D., S.T.M., Ph.D.
(Pendiri dan mantan Ketua Highland Theological College; B.D. dan Ph.D. dari University of Aberdeen; Master of Sacred Theology—S.T.M. dari Union Theological Seminary, New York, U.S.A.; dan dianugerahi gelar Profesor dalam Reformed Doctrine dari University of Aberdeen.)

4. Rev. Prof. Peter R. Jones, B.A., B.D., Th.M., Ph.D.
(Scholar in Residence and Adjunct Professor of Practical Theology di Westminster Seminary, California, U.S.A. dan direktur dari truthXchange; B.A. dari University of Wales; B.D. dari Gordon Divinity School; Th.M. dari Harvard Divinity School; dan Ph.D. dari Princeton Theological Seminary)

5. Prof. William Edgar, B.A., M.Div., D.Theol.
(Professor of Apologetics di Westminster Theological Seminary, U.S.A.; B.A. in Music dari Harvard University; M.Div. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Theologie—D.Theol. dari Université de Genève)

6. Rev. Prof. Peter A. Lillback, B.A., Th.M., Ph.D.
(Presiden dan Profesor Theologi Historika di Westminster Theological Seminary, Philadelphia, U.S.A. dan Presiden dari The Providence Forum; B.A. from Cedarville University in Ohio; Th.M. dari Dallas Theological Seminary, U.S.A.; dan Ph.D. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.)

7. Prof. James W. Skillen, B.A., B.D., M.A., Ph.D.
(mantan direktur dari the Center for Public Justice; B.A. dalam bidang Filsafat dari Wheaton College; B.D. dari Westminster Theological Seminary; studi filsafat di Free University of Amsterdam; M.A., dan Ph.D. dalam bidang political science di Duke University)

8. Prof. W. Andrew Hoffecker, B.A., M.Div., Ph.D.
(Emeritus Professor of Church History di Reformed Theological Seminary, U.S.A.; B.A. dari Dickinson College; M.Div. dari Gordon-Conwell Theological Seminary; dan Ph.D. dari Brown University)

9. Prof. Jeffrey K. Jue, B.A., M.Div., Ph.D.
(Associate Professor of Church History di Westminster Theological Seminary, U.S.A.; B.A. dari University of California, Irvine; M.Div. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.; Graduate Studies di University of Geneva; dan Ph.D. dari University of Aberdeen)

10. Prof. David B. Garner, B.S., Th.M., Ph.D.
(Associate Professor of Systematic Theology di Westminster Theological Seminary, U.S.A.; Bachelor of Science—B.S. dari University of North Carolina; Th.M. dari Dallas Theological Seminary, U.S.A.; dan Ph.D. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.)

11. Rev. Prof. Augustus Nicodemus Gomes Lopes, M.Div., Th.M., Ph.D.
(Pendeta di the Presbyterian Church of Santo Amaro, São Paulo, SP, Profesor Perjanjian Baru di Andrew Jumper Graduate Center sekaligus Chancellor of Mackenzie Presbyterian University di São Paulo, Brazil; M.Div. dari the Seminário Presbiteriano do Norte (North Presbyterian Seminary) in Recife, Brazil; Th.M. dari the Reformed University of Potchefstroom, South Africa; Ph.D. dari Westminster Theological Seminary; dan studi dalam bidang Perjanjian Baru di Kampen Theological School, Belanda)

12. Prof. Stephen T. Chan, B.D., M.A., Ph.D.
(Associate Professor of Theology and Religious Studies di Seattle University; Bachelor of Divinity—B.D. dari The Chinese University of Hong Kong; M.A. dan Ph.D. dari The Divinity School, the University of Chicago)

13. Rev. Prof. Samuel Ling, B.A., M.Div., Th.M., Ph.D.
(Pendeta di Presbyterian Church in America, Presiden dari China Horizon, dan Associate Professor of Systematic Theology di International Theological Seminary, El Monte, California, U.S.A.; B.A. dalam bidang intellectual history dari University of Pennsylvania; M.Div. dan Th.M. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.; dan Ph.D. in history dari Temple University)

14. Rev. Prof. Andrew McCafferty, M.Div., Ph.D.
(Dekan di China Reformed Theological Seminary, Taiwan dan Pendeta di Presbyterian Church in America; M.Div. dari Pittsburgh Theological Seminary, U.S.A. dan Ph.D. dari University of Pittsburgh)

15. Prof. Matthew Ebenezer, B.Th., B.D., M.Th., Ph.D.
(teaching elder di Reformed Presbyterian Church of India dan Professor of Church History di New Theological College, Dehra Dun, India; B.Th. dari Serampore University (Allahabad Bible Seminary); B.D. dari Serampore University (Union Biblical Seminary); M.Th. dalam bidang Practical Theology dari Korea Theological Seminary, Pusan, South Korea; dan Ph.D. dalam bidang Historical Theology dari Westminster Theological Seminary, Philadelphia, PA, USA)

16. Prof. Victor B. Cole, B.Th., Th.M., Ph.D.
(Chairman of the Department of Christian Education dan Professor of Education di Nairobi Evangelical Graduate School of Theology—NEGST, Consulting Editor bagi African Journal of Theology, dan salah satu anggota dari the Executive Board of the International Council for Higher Education; B.Th. dari Igbaja Theological Seminary; Th.M. dalam bidang Theologi Sistematika dari Dallas Theological Seminary; dan Ph.D. in Curriculum and Instruction dari Michigan State University)

17. Rev. Prof. Lee Ken Ang, B.Agr.Sc., M.A.R., Ph.D.
(mantan Resident Research Scholar/Lecturer di Malaysia Bible Seminary; Bachelor of Agricultural Sciences—B.Agr.Sc. dari Universiti Malaya; Master of Arts in Religion—M.A.R. dan Ph.D. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.)

18. Prof. Joseph T. Shao, A.B., M.Div., Th.M., M.Phil., Ph.D.
(Presiden dari Biblical Seminary of the Philippines; Bachelor of Arts—A.B. dari University of Philippines; M.Div. dari Asian Theological Seminary; Th.M. dari Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois, U.S.A.; Master of Philosophy—M.Phil. dan Ph.D. dari Hebrew Union College)

19. Rev. Prof. Jason H. K. Yeung, B.A., M.Div., Dipl.Ed., Th.M., M.Phil., Ph.D.
(Professor of Theological Studies di China Graduate School of Theology; B.A. dari Chung Chi College, Chinese University of Hong Kong; M.Div. dari Evangelical Lutheran Concordia Seminary; Diploma of Education—Dipl.Ed. dari Chinese University of Hong Kong; Th.M. dari The South East Asia Graduate School of Theology; M.Phil. dari King’s College, University of London; dan Ph.D. dari University of London)

22 May 2011

Resensi Buku-120: THE CROSS CENTERED LIFE (Rev. C. J. Mahaney)

“Christianity is Christ.” That is the brief statement of who Christians are. As Christians, we should focus on Christ in our daily life. Christ centered life is cross centered life. It means that our life focus on what Jesus Christ has done for us: redeems us in the cross. But, how can we focus on Christ in the cross? Many hindrances, such as legalism, condemnation, and subjectivism divert our focus apart from Christ. Therefore, we can’t life the Cross Centered Life.
So, how can we life in Christ-centered life? Find the answer in:

Book
THE CROSS CENTERED LIFE:
Keeping The Gospel The Main Thing


by: Rev. Charles Joseph (C. J.) Mahaney

Publisher: Multnomah Books, 2002




In his book, The Cross Centered Life, Rev. C. J. Mahaney leads us to focus on life which focus on the Cross of Christ with several practical ways to reject secular thought in our mind, such as how to break the rules of legalism, unload condemnation, and base your faith in Christ’s finished work at the Cross (rather than what we feel). Finally, he provides us several practical ways to center every day around the Cross. Let this simple teaching of the Cross at this book affect and remind us to focus on what Christ has done for us in the Cross of Calvary, so that we can experience the grace of God in Christ in our daily life.





Endorsement:
“Again and again, by his life and writing, C.J. Mahaney has summoned me to the centrality of the cross. I love Christ more because of this precious ministry.”
Rev. John Stephen Piper, D.Theol.
(Pastor for Preaching and Vision at Betlehem Baptist Church, Minneapolis, Minnesota, U.S.A. and author of The Dangerous Duty of Delight; B.A. from Wheaton College, U.S.A.; Bachelor of Divinity—B.D. from Fuller Theological Seminary, Pasadena, California, U.S.A.; and Doctor of Theologie—D.Theol. from University of Munich, Munich, West Germany)

“We never get beyond the message of the cross. C. J. Mahaney applies this truth in a powerful but winsome way. It is a book for every Christian, and I’m delighted to recommend it.”
Dr. Jerry Bridges
(has been on the staff of The Navigators since 1955 and currently serves as a resource person to the Navigators University Students Ministry in the United States and author of The Pursuit of Holiness and many other books)

“Every Timothy needs a Paul. C.J. Mahaney is mine...and this book contains his life-message. Read it yourself, and let God realign your life.”
Rev. Joshua Eugene Harris
(Senior Pastor of Covenant Life Church, U.S.A. and best-selling author)

“My friend C.J. Mahaney has a passion for Jesus and His people. He lives the cross centered life and is therefore qualified to talk about it. Let C. J. walk you through the transforming power of the gospel. You’ll be refreshed… and deeply thankful for God’s grace.”
Rev. Dr. Randy Alcorn
(the founder and director of Eternal Perspective Ministries—EPM, a nonprofit organization dedicated to teaching biblical truth and drawing attention to the needy and how to help them and author of Lord Foulgrin’s Letters and The Treasure Principle)

“This biblical, practical book written by a wise and godly man helped me, as it will help others, in overcoming harmful patterns of thinking about our daily lives as Christians and in focusing on the finished work of Christ on the cross.”
Prof. Wayne Grudem, Ph.D.
(Research Professor of Bible and Theology at Phoenix Seminary, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. from Harvard University; Master of Divinity—M.Div. from Westminster Theological Seminary; and the Doctor of Philosophy—Ph.D. from the University of Cambridge, U.K.)





Biography of the author:
Rev. Charles Joseph (C. J.) Mahaney is Founder and President of Sovereign Grace Ministries. He serves on the Council of the Alliance of Confessing Evangelicals and on the board of The Council on Biblical Manhood and Womanhood. He also serves on the Christian Counseling and Educational Foundation (CCEF). C. J.’s books include Humility: True Greatness; Living the Cross-Centered Life; and Sex, Romance, and the Glory of God: What Every Christian Husband Needs to Know. He also contributed to Dear Timothy: Letters on Pastoral Ministry, and to two additional volumes in the Foundations for the Family Series (Crossway).
He has also edited or coauthored four books in the Pursuit of Godliness book series, published by Sovereign Grace Ministries: Why Small Groups?, This Great Salvation, How Can I Change?, and Disciplines for Life. He is also coauthor of Preaching the Cross.
C. J. and his wife, Carolyn, have three married daughters and one son. They make their home in Gaithersburg, Maryland.

09 May 2011

KESATUAN DAN KERAGAMAN: Perspektif Iman Kristen Berdasarkan Studi Biblika (Denny Teguh Sutandio)

KESATUAN DAN KERAGAMAN:
Perspektif Iman Kristen Berdasarkan Studi Biblika


oleh: Denny Teguh Sutandio




Di dunia ini, kita mendapati begitu banyak keragaman: suku, agama, bangsa, bahasa, etnis, kebudayaan, status sosial, dll. Khususnya di Indonesia, secara dasar negara, meskipun terdiri dari beragam budaya, agama, dll, bangsa ini mengaku bahwa semuanya itu satu yaitu bangsa Indonesia (Bhinneka Tunggal Ika). Apa arti kesatuan dan keberagaman? Bagaimana iman Kristen menyikapi kesatuan di dalam keberagaman (unity in diversity)?

Mari kita menyelidiki apa kata Alkitab berkaitan dengan keragaman dan kesatuan sejati.
Kalau kita kembali ke Alkitab, khususnya dari kitab pertama yaitu Kejadian, kita telah mendapati adanya keragaman. Allah sendiri di dalam penciptaan menciptakan keberagaman itu: “Berfirmanlah Allah: "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi." Dan jadilah demikian.” (Kej. 1:11), “Maka Allah menciptakan binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.” (Kej. 1:21; bdk. ay. 24), dan terakhir tentunya Allah menciptakan manusia itu laki-laki dan perempuan. Kesemuanya itu membuktikan bahwa keberagaman itu adalah ide Allah sendiri. Bahkan perintah Allah sendiri kepada manusia pertama di Kejadian 1:28 menunjukkan bahwa Allah menyukai keberagaman, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Namun, manusia pertama bukannya menaati Allah, namun memberontak, sehingga mereka diusir dari Taman Eden. Dan sejak saat itulah, mereka membenci ide keragaman dan berusaha bersatu melawan Allah. Hal itu ditandai dengan rencana mereka membangun Menara Babel di Kejadian 11. Di sini, dosa mengakibatkan persatuan, namun persatuan itu melawan Allah. Namun Allah yang berdaulat menggagalkan rencana mereka, sehingga akhirnya mereka kembali terserak.

Di dalam Perjanjian Lama, kita mendapati bahwa Allah memilih umat-Nya pun bukan dari satu bangsa, tetapi dari beberapa bangsa. Nuh yang merupakan anak dari Lamekh (keturunan Adam) dipilih Allah untuk menjadi saksi-Nya ketika manusia di zamannya berdosa melawan Allah (Kej. 5:30). Abraham (dahulu bernama Abram) yang merupakan anak dari Terah yang tinggal di Ur-Kasdim (Kej. 11:27) dipanggil Allah untuk menerima perjanjian-Nya (Kej. 12:1-3). Dari keturunannya, lahirlah Ishak, Ishak melahirkan Yakub, dan dari Yakub, Allah menyebut Yakub sebagai Israel dan nama ini menjadi cikal bakal nama suatu bangsa (Kej. 32:28). Semenjak itulah, Allah memelihara umat Israel sebagai umat kepunyaan-Nya. Namun, umat Israel tidak sama dengan bangsa Israel, karena umat Israel merupakan umat khusus Allah yang TIDAK dibatasi oleh bangsa Israel atau lahir di Israel (bdk. Rm. 9:6). Selain itu, Tuhan Yesus langsung menjawab para orang Yahudi yang mengklaim bapanya adalah Allah dengan berfirman, “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku. Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku. Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta. Tetapi karena Aku mengatakan kebenaran kepadamu, kamu tidak percaya kepada-Ku. Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku? Barangsiapa berasal dari Allah, ia mendengarkan firman Allah; itulah sebabnya kamu tidak mendengarkannya, karena kamu tidak berasal dari Allah.” (Yoh. 8:42-47) Dengan kata lain, Ia hendak mengajar mereka dan kita bahwa umat Allah bukan dinilai dari orang yang lahir di Israel atau mengikuti syariat keagamaan, tetapi umat yang telah mendapat kovenan dari Allah atau dilahirkan dari Allah. Di sini, kita belajar yang namanya anak-anak Tuhan BUKANlah mereka yang menjadi anggota suatu gereja tertentu atau telah menerima sakramen tertentu, tetapi mereka yang sungguh-sungguh telah dipilih dan ditentukan-Nya dari semula (Rm. 8:29-30).

Lama-kelamaan, umat Israel bertambah banyak, namun apakah dengan semakin banyak umat Israel, mereka menjadi tanpa arah? TIDAK. Untuk mencegah hidup mereka yang tanpa arah, Allah yang telah mengeluarkan umat Israel dari Mesir memberikan 10 perintah untuk ditaati umat Israel (Kel. 20). Dasa titah itu merupakan dasar pemersatu umat Israel agar mereka yang beraneka ragam bisa bersatu menjalankan firman Allah. Di sini, kita belajar konsep kesatuan (Ing.: oneness; keseragaman) ala manusia berdosa di Menara Babel diruntuhkan oleh Allah dan diganti dengan konsep persatuan sejati (Ing. unity) yaitu bersatu di dalam Allah dan firman-Nya. Selain Dasa Titah, Allah juga memberitakan aturan baku di dalam kitab Imamat tentang tata cara ibadah dan kelakuan yang mengatur hidup umat Israel. Cara Allah memberikan dasar persatuan bagi umat-Nya ternyata tidak ditaati, bahkan mereka memberontak dan menginginkan seorang raja seperti bangsa-bangsa lain (1Sam. 8). Mereka berpikir bahwa dengan hadirnya seorang raja dunia, maka sang raja bisa memerintah sekaligus mempersatukan mereka, padahal mereka tidak menyadari bahaya dipilihnya seorang raja tersebut (1Sam. 8:10-18). Namun, meskipun sudah diberi tahu bahaya dipilihnya seorang raja, bangsa Israel tetap bersikeras minta raja (1Sam. 8:19). Kelakuan mereka secara tidak sadar hendak mengulang sejarah kelam Menara Babel yang menginginkan persatuan duniawi atau seseorang yang kelihatan yang mempersatukan mereka dengan menolak Allah dan pemerintahan-Nya.

Tegar tengkuknya orang Israel ternyata menuai akibatnya sendiri. Saul yang dipilih sebagai raja pertama Israel ternyata juga tidak beres (1Sam. 13, 15), karena bukan dia yang Tuhan pilih, tetapi Daud (1Sam. 16:1-13). Daud memang menjalankan pemerintahannya dengan benar, namun dia tidak tahan dengan godaan dosa seksual, sehingga Batsyeba yang sedang mandi pun diincarnya untuk dijadikan istrinya. Cara licik pun dipakai Daud dengan membunuh Uria, istri Batsyeba untuk mempersunting Batsyeba (2Sam. 11). Sesudah Daud menjadi raja dan meninggal, maka Salomo menggantikannya. Salomo pada awalnya memang tulus yaitu meminta hikmat Tuhan untuk memerintah Israel, karena waktu itu usianya masih muda (1Raj. 3:6-9). Namun ketulusan hatinya berlangsung sebentar. Karena Salomo makin kaya dan terkenal, maka Salomo menjadi lupa diri. Ia jatuh ke dalam penyembahan berhala melalui banyak perempuan asing yang dinikahinya (1Raj. 11). Akibatnya, Tuhan murka dan membagi kerajaan Israel menjadi 2 (1Raj. 12). Penerusnya, Yerobeam dan Rehabeam juga tidak takut akan Tuhan. Kemudian, sejak 1 Raja-raja 15 hingga kitab 2 Raja-raja selesai, kita mendapati riwayat 2 kerajaan: Israel dan Yehuda bergantian diperintah oleh raja yang berganti-ganti: raja pertama takut akan Tuhan, penerusnya tidak (atau sebaliknya). Di sini, kita belajar bahwa ketika dasar persatuan sejati yaitu firman Allah ditolak, maka bangsa akan menjadi porak poranda. Kedegilan hati mereka mengakibatkan mereka dibuang oleh Allah ke Filistin, dll. Di masa intertestamental, Allah tidak berfirman apa pun kepada umat-Nya karena Ia akan mengutus Sang Mesias yaitu Kristus untuk benar-benar memberitakan Kabar Baik kepada umat-Nya.

Ketika Kristus datang, Ia memberitakan Injil kepada banyak orang tanpa melihat status sosial, etnis, dll. Keragaman kembali dimulai oleh Kristus, namun sekali lagi bukan tanpa dasar yang mempersatukan, karena yang diberitakannya adalah Injil yaitu Kabar Baik bahwa ada pengharapan di dalam Dia. Injil yang Kristus beritakan adalah dasar pemersatu keragaman manusia saat itu, sehingga manusia dari beragam status, etnis, dll dapat mendengar Injil tersebut. Setelah Ia mati disalib dan bangkit, maka sebelum Ia naik ke Sorga, Ia berfirman, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” (Mat. 28:18-19) dan “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis. 1:8) Kembali, Kristus menekankan pentingnya keragaman etnis, bangsa, dll dengan dasar pemersatu: Injil Kristus.

Bukan hanya Kristus, rasul Paulus pun menekankan hal ini. Di dalam 2 suratnya, Paulus mengajar tentang keragaman etnis, status, dll di dalam kesatuan: Kristus. Misalnya, di Galatia 3:28, Paulus mengajar, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” dan di Kolose 3:11, ia mengajar, “dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” Dua ayat ini TIDAK berarti semuanya seragam antara Yahudi dan Yunani, hamba dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, dll. TIDAK. Kesatuan di dalam Kristus TIDAK meniadakan keragaman, tetapi menghargai dan mempersatukan. Jika dua ayat ini ditafsirkan bahwa laki-laki dan perempuan itu seragam tanpa ordo/urutan, maka tentu saja Paulus tidak perlu mengajar bahwa istri tunduk kepada suami dan suami harus mengasihi istrinya (Ef. 5:22-33; Kol. 3:18-19). Bahkan untuk mengajarkan pentingnya kesatuan dalam keberagaman, maka Paulus mengajar bahwa setiap anak Tuhan diberikan karunia yang beraneka ragam, namun semuanya dipakai untuk membangun tubuh Kristus (1Kor. 12:5-10). Keragaman karunia itu dijelaskan Paulus di ayat 4 sebagai dasarnya yaitu, “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh.” Dengan kata lain, keragaman karunia rohani itu yang berasal dari satu Roh dan bertujuan untuk membangun tubuh Kristus seharusnya tidak membuat umat Tuhan bertengkar memperebutkan mana yang lebih penting, karena semuanya itu satu tubuh (bdk. 1Kor. 12:12-30) dan didasari oleh kasih sebagai dasar pemersatunya (1Kor. 12:31-13:13). Bahkan ia mengajar pentingnya kesatuan tubuh Kristus khusus di Filipi 2:1-11 dengan tujuan agar mereka yang bersatu di dalam Kristus tidak meninggikan diri mereka masing-masing, tetapi saling merendahkan diri seperti Kristus yang merendahkan diri-Nya untuk mati menebus dosa manusia.

Kesatuan di dalam keragaman juga ditandai dengan dicatatnya para pahlawan iman di dalam Ibrani 11:4-40. Mereka dipakai Tuhan secara berbeda-beda sesuai konteks panggilan mereka, namun intinya satu: IMAN kepada Allah dan kekuatan-Nya yang menguatkan mereka meresponi panggilan Allah tersebut.

Dari studi singkat Alkitab baik dari PL maupun PB, maka apa saja yang bisa kita pelajari tentang keragaman dan kesatuan?
Pertama, Tuhan adalah sumber keragaman sejati. Di titik pertama, di kitab Kejadian 1, kita telah membaca bahwa Allah menciptakan manusia, binatang, dan tumbuhan di dalam keanekaragaman. Diserakkannya para pembangun Menara Babel juga membuktikan Dia tidak mau manusia bersatu dengan tujuan melawan Allah dan perintah-Nya untuk memenuhi bumi. Di dalam PB, kita belajar bahwa Allah yang sama juga menghendaki keragaman melalui: Kristus yang memerintahkan para murid-Nya untuk memberitakan Injil sampai ke ujung bumi, diakuinya beragam karunia rohani dari anak-anak Tuhan, dll dengan tujuan agar masing-masing anak Tuhan dengan latar belakang berbeda dan karunia yang dimilikinya sama-sama memuliakan-Nya. Dengan kata lain, meskipun ada keragaman, tujuannya jelas yaitu untuk kemuliaan Allah, bukan keragaman tanpa arah!
Bagaimana dengan kita khususnya orang Kristen? Terkadang, saya pribadi menjumpai beberapa orang Kristen dengan pola pikir theologi tertentu (sangat) anti dengan keragaman. Dengan pola pikir generalisasi tanpa dasar yang jelas, keragaman dicap postmodernisme dan sesat, padahal Alkitab dari Kejadian 1 jelas-jelas mencatat adanya keragaman. Di dalam satu gereja, jika ada sedikit perbedaan ajaran secara sekunder antara satu jemaat dengan pendetanya (misalnya berkaitan dengan gaya ibadah: kuno/pakai liturgi vs modern, lagu-lagu rohani himne dan klasik vs kontemporer, dll), si pendeta dengan gegabah mungkin akan mencap jemaatnya sesat atau sudah menjadi sekuler/duniawi, padahal itu hanya perbedaan sekunder, bahkan tersier/tidak terlalu penting! Di dalam lingkup Kekristenan keseluruhan, ada pendeta yang percaya baptisan anak dengan tanpa mikir langsung mengatakan sesat bagi mereka yang tidak menjalankan baptisan anak. Perbedaan sekunder dianggap berasal dari setan, dll, padahal perbedaan itu bukanlah perbedaan inti. Saya benar-benar prihatin dengan kondisi Kekristenan khususnya yang ekstrem. Di dalam kehidupan sehari-hari, ada orang kaku yang dengan kolot menolak mentah-mentah keberbedaan dengan memaksakan cara pikir, sikap, dll dari si orang kaku ini dengan orang lain. Semua harus seragam dengan si orang kaku ini, jika ada yang tidak sama, orang kaku ini akan kebakaran jenggot.
Saya tidak mengatakan bahwa keragaman dalam segala sesuatu itu suci, karena memang saya mengakui bahwa dunia kita menganut banyak keragaman yang tanpa arah (alias suka-suka gue). Kalau Anda membaca paragraf di atas, yang saya soroti adalah keragaman dalam hal sekunder, bukan primer, sehingga jangan salah menafsirkan maksud saya!
Jika kita sebagai orang Kristen mengakui keragaman, maka sikap kita seharusnya terhadap keragaman itu adalah saling menghargai. Untuk hal-hal sekunder, misalnya perbedaan konsep akhir zaman, cara baptisan, dll, kita bisa menjelaskan tentang prinsip kepercayaan kita kepada saudara Kristen lain yang berbeda pandangan dengan kita, namun jika saudara Kristen kita itu tidak menerimanya, maka kita tidak usah lagi meributkannya dan kita perlu menghargai perbedaan konsep itu. Kalau untuk hal-hal tersier, misalnya perbedaan selera makanan, model pakaian, dll, kita tidak perlu menjelaskannya (kecuali kalau itu berhubungan dengan hubungan lawan jenis, entah itu pacaran maupun sudah menikah), karena penjelasan itu kurang berguna. Apa gunanya meributkan selera makanan atau selera berpakaian, karena Tuhan memberikan kepada kita masing-masing variasi selera yang beragam. Bayangkan jika semua orang Kristen memiliki selera warna pakaian yang sama, apakah itu indah? TIDAK. Di dalam hal doktrinal, perbedaan tersier, misalnya apakah X itu seorang Calvinis yang menganut infralapsarian Vs supralapsarian atau predestinasi tunggal (Allah hanya memilih beberapa manusia untuk diselamatkan) Vs predestinasi ganda (Allah hanya memilih beberapa manusia untuk diselamatkan dan membuang sisanya untuk dimasukkan ke dalam neraka), bagi saya, itu tidak usah diributkan.

Kedua, di dalam keragaman, Tuhan tetap menghendaki kesatuan. Di dalam keanekaragaman, Tuhan tidak membiarkan keragaman itu berjalan tanpa arah. Hal ini bisa kita lihat dari diwahyukannya Dasa Titah, diberitakan Injil, dan dikaruniakannya karunia-karunia Roh, dll sebagai dasar yang mempersatukan dan mengarahkan keragaman umat Tuhan di dalam hidup menjalankan panggilan-Nya. Dengan kata lain, kesatuan sejati (the true unity) TIDAK boleh dilepaskan dari Allah dan firman-Nya!
Bagaimana dengan kita? Di dunia ini, bahkan di dalam Kekristenan, kita terlalu banyak mendapati kata “persatuan”, namun sayang persatuan yang ditekankan kebanyakan mereka adalah persatuan tanpa arah. Mereka mau bersatu artinya mereka bukan bersatu di dalam firman Tuhan, tetapi maksudnya bersatu: tidak menekankan doktrin/ajaran theologi tertentu. Yang lebih memprihatinkan, seorang pendeta Reformed pernah berkata bahwa beliau diundang berkhotbah di dalam suatu persekutuan interdenominasi dan disuruh berkhotbah/mengajar dengan tema Predestinasi, namun si panitia memberikan “pesan sponsor” kepada si pendeta agar si pendeta tidak membicarakan doktrin tertentu. Cape dech Tema yang akan dibahas: Predestinasi (dipilih sebelum dunia dijadikan), tetapi tidak boleh membicarakan doktrin tertentu? Suatu ketidakmasukakalan! Dengan kata lain, di dalam suatu persekutuan yang bersifat interdenominasi, kalau mau konsisten, si panitia akan mengundang para pengkhotbah lintas denominasi: Protestan Injili, Karismatik, Methodist, Orthodoks Syria, bahkan Katolik. Pengkhotbah yang satu mengajar bahwa ikut Kristus pasti kaya, sehat, sukses, sedangkan pengkhotbah yang lain mengajar bahwa ikut Kristus harus menderita, yang lebih konyol pengkhotbah terakhir malah meragukan apakah Kristus itu Tuhan atau bukan. Silahkan pikir sendiri apa yang akan terjadi pada orang Kristen yang mengikuti persekutuan gado-gado ini. Tetapi sejujurnya, saya mengamati beberapa persekutuan yang mengaku bersifat interdenominasi, para pengkhotbah yang diundang mayoritas berasal dari gereja kontemporer yang pop, sedangkan sedikit sekali pengkhotbah berasal dari gereja Protestan Injili.
Saya tidak mengatakan bahwa interdenominasi itu salah, tetapi yang saya soroti adalah semangat di balik perkataan “interdenominasi.” Bagi saya, interdenominasi sejati adalah orang Kristen dari berbagai macam aliran gereja bersama-sama belajar firman Tuhan/Alkitab dengan prinsip penafsiran yang bertanggung jawab (memperhatikan teks asli: Ibrani dan Yunani, konteks dan latar belakang, perbandingan terjemahan, tafsiran, dll), lalu setelah itu, mereka diizinkan kembali ke gereja asal mereka masing-masing untuk membagikan berkat rohani yang telah didapatkannya itu. Yayasan Kristen atau seminari theologi yang bersifat interdenominasi bukanlah yayasan Kristen atau seminari yang tidak memiliki fondasi doktrin, tetapi memiliki fondasi doktrin yang kokoh, namun menerima pengurus, dosen, staf, dan mahasiswa dari berbagai denominasi gereja untuk melayani dan belajar firman Tuhan bersama dengan dasar yang jelas.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita benar-benar memaknai keragaman dan kesatuan sebagaimana yang diajarkan Alkitab? Biarlah kita makin hari makin bijak menyikapi keragaman dan kesatuan, lalu mengaitkannya di atas dasar Alkitab, sehingga kita tidak terjebak ke dalam sikap ekstrem: kompromi tanpa arah yang jelas (semua itu sama) atau eksklusif yang berlebihan. Amin. Soli DEO Gloria.

07 May 2011

INTROSPEKSI DIRI: Bergumul Melihat Allah dan Diri Terlebih Dahulu (Denny Teguh Sutandio)

INTROSPEKSI DIRI:
Bergumul Melihat Allah dan Diri Terlebih Dahulu


oleh: Denny Teguh Sutandio



Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."
(Mat. 7:3-5)

“Tuhan sering kali menggunakan dosa-dosa orang lain untuk menyingkapkan kelemahan kita sendiri.”
(Rev. Bob Kauflin, Worship Matters, hlm. 382)




Injil Matius 7:1-5 merupakan salah satu khotbah Tuhan Yesus di bukit yang konteksnya berbicara tentang penghakiman. Jelas, 5 ayat tersebut bukan berarti bahwa Kristus melarang penghakiman sama sekali (karena di ayat 21-23, Ia pun sedang menghakimi), tetapi Ia mengajar 2 prinsip menghakimi: menghakimi dengan standar yang adil (Mat. 7:2) dan menghakimi diri sendiri terlebih dahulu (Mat. 7:3-5). Artinya, sebelum menghakimi orang lain, lebih baik lihatlah diri sendiri terlebih dahulu. Dengan kata lain, sebenarnya Kristus sedang mengajar prinsip penting tentang apa itu introspeksi diri. Apa arti introspeksi diri? Introspeksi diri berarti:
Pertama, melihat kaitan Allah dengan diri. Di titik pertama, kita harus menyadari bahwa introspeksi diri berarti berusaha mengaitkan perspektif Allah melihat setiap kita. Bagaimana caranya? Dengan merefleksikan segala sesuatu yang Allah ajarkan baik melalui Alkitab maupun khotbah yang benar-benar bertanggung jawab langsung pada diri kita. Dengan kata lain, kita berkata kepada Allah seperti Raja Daud, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24) Sering kali, kita lebih suka mengaitkan ayat Alkitab atau khotbah tertentu dengan orang lain dengan mengatakan, “Wah, khotbah ini cocok untuk si X.” Kita lupa satu hal bahwa khotbah dan Alkitab itu pertama-tama bertujuan untuk mengajar dan menegur kita agar kita hidup makin memuliakan Allah. Saya tahu hal ini tidaklah mudah, namun belajarlah mulai sekarang untuk selalu merefleksikan setiap ayat Alkitab dan khotbah langsung kepada diri kita dan berhenti untuk mengaitkannya dengan kesalahan orang lain.

Kedua, melihat diri terlebih dahulu. Setelah mempersilahkan Allah mengenal dan menguji kita, maka pengenalan kita akan Allah membawa kita untuk selanjutnya mengenal diri kita masing-masing terlebih dahulu. Sejujurnya, kita sebagai manusia paling mudah untuk melihat orang lain dan kelemahannya, bahkan sering kali kita mengingat kelemahan orang lain lebih daripada kelebihannya. Kita paling mudah mengungkit kelemahan orang lain dan menyebarluaskannya kepada orang lain. Bahkan ada yang sampai memalukan kelemahan orang lain (X) di depan saudara-saudaranya, lalu berdalih untuk menegur si X (demi kebaikan si X). Sampai titik ekstremnya, ada yang sampai setiap malam terus memikirkan kelemahan orang lain dan bahkan tidak pernah memikirkan kelemahan diri. Jujur, sebagai manusia berdosa yang diselamatkan melalui anugerah Allah pun, saya tidak luput dari kelemahan itu, namun dengan sekuat tenaga, saya terus berusaha untuk tetap melihat kelemahan sekaligus kelebihan orang lain, meskipun itu sulit. Melihat orang lain itu bukan tidak boleh, tetapi sebaiknya itu kita lakukan setelah kita melihat diri. Mengapa kita diperintahkan Kristus untuk tidak terus melihat (dan menghakimi/menilai) orang lain? Karena ketika kita terus-menerus melihat dan menghakimi orang lain, kita merasa diri seolah-olah lebih hebat, pandai, bijaksana, dll daripada orang yang kita lihat/hakimi tersebut dan itu lama-kelamaan mengakibatkan kita menjadi sombong. Dan kesombongan termasuk salah satu dosa yang Tuhan benci, karena itu berarti lebih mengandalkan diri ketimbang Allah, padahal diri sendiri yang terbatas dan berdosa tidak layak untuk diandalkan! Untuk mengobati kesombongan itu, Rev. Bob Kauflin dalam bukunya Worship Matters mengungkapkan, “Tuhan sering kali menggunakan dosa-dosa orang lain untuk menyingkapkan kelemahan kita sendiri.” (hlm. 382) Di sini, kita belajar bahwa ketika kita terus melihat kelemahan dan dosa orang lain, sebenarnya ada teguran Tuhan di situ bahwa hendaklah kita terlebih dahulu melihat kelemahan kita sendiri. Misalnya, kita sering kali melihat X itu munafik karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan imannya, namun sadarkah bahwa ketika kita melihat X itu munafik, sebenarnya Tuhan sedang menggunakan cara itu untuk menyadarkan kita bahwa kita sendiri seorang yang munafik? Jika demikian, adalah suatu hal yang bijak jika sebelum kita melihat dan menilai orang lain, hendaklah kita melihat diri kita sendiri terlebih dahulu. Benahi diri kita terlebih dahulu, baru kita melihat orang lain. Artinya, ketika kita berusaha menilai X itu munafik, apakah di saat yang sama, kita juga melihat diri kita juga sama-sama munafik? Kalau ya, biarlah kita tidak terus menilai orang lain itu munafik sebelum kita membenahi diri kita.

Ketiga, menuntut diri terlebih dahulu. Beberapa orang selain menilai orang lain, ternyata juga suka menuntut orang lain untuk memenuhi keinginannya. Di dunia ini, banyak sekali orang yang pandai menuntut orang lain (bahkan Allah), tetapi tak pernah menuntut diri terlebih dahulu. Contoh praktisnya adalah sebuah curhat seorang wanita di surat kabar Jawa Pos tanggal 4 Mei 2011 tentang suaminya yang suka mencemburuinya ketika si istri berdiskusi tentang pekerjaan dengan rekan bisnis lawan jenis. Si suami yang pencemburu ternyata sendiri juga akhirnya berselingkuh dengan wanita lain. Dengan kata lain, si suami paling jago menuntut si istri untuk setia dengannya, padahal si suami sendiri tidak setia dengan si istri. Bukankah si suami sendiri tidak fair? Di dalam Kekristenan, banyak pemimpin gereja kontemporer mengajar jemaatnya untuk menuntut Tuhan dengan ajaran, “Name it and claim it!” (Sebut dan Tuntutlah!) yang menyatakan bahwa klaimlah janji Tuhan yang memberkati anak-anak-Nya. Orang-orang ini hampir tidak pernah menuntut diri dan jemaatnya untuk benar-benar mengerjakan panggilan Tuhan dengan sungguh-sungguh, namun hanya mau menuntut (baca: menagih) janji Tuhan, seolah-olah Tuhan itu pelupa dan perlu diingatkan terus-menerus! Itu namanya menghina Tuhan! Di negara kita sering terjadi demonstrasi para buruh menuntut kenaikan gaji buruh, tetapi apakah mereka pernah menuntut diri mereka sendiri untuk bekerja lebih keras sesuai kenaikan gaji yang diidamkannya? Ternyata kebanyakan tidak. Mereka sambil berdemonstrasi menuntut hak asasi manusia (HAM) mereka sendiri, tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka pun sedang melanggar HAM orang lain yaitu atasan mereka, karena aksi demo tersebut sudah mengurangi jam kerja mereka (sudah mengurangi jam kerja, masih minta naik gaji? Cape dech)! Inilah wajah dunia kita yang suka menuntut orang lain, tetapi enggan menuntut diri. Kristus mengajar kita untuk menuntut diri terlebih dahulu. Ingatlah, ketika kita menilai X itu munafik, padahal kita sendiri munafik, maka panggilan kita bukanlah mengubah orang lain secara instan, tetapi menuntut kita terlebih dahulu untuk berusaha bertobat untuk tidak munafik. Inilah wujud kita membenahi diri. Ketika kita ingin pasangan hidup kita (dalam konteks: berpacaran dan menikah) setia, tuntutlah diri kita terlebih dahulu untuk setia dengan pasangan kita! Tentu kesetiaan kita ini bukan supaya kesetiaan kita dibalas oleh pasangan kita, tetapi itu merupakan langkah awal sebagai respons kita telah ditebus oleh Kristus. Sebagai orang yang telah ditebus Kristus, maka kita harus menjadi garam dan terang bagi dunia dengan berkomitmen untuk hidup sesuai firman Allah dan memuliakan-Nya, termasuk: suci, setia, jujur, tulus, dll.

Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Sudahkah kebenaran firman Allah benar-benar menjadi dasar dan standar kita untuk melihat Allah, melihat diri, dan menuntut diri terlebih dahulu ketimbang melihat dan menuntut orang lain? Saya mengetahui hal ini sangatlah sulit, tetapi dengan pertolongan Roh Kudus, bersediakah kita berkomitmen untuk melihat Allah, melihat diri, dan menuntut diri terlebih dahulu ketimbang melihat dan menuntut orang lain? Biarlah Roh Kudus terus-menerus menyadarkan kita untuk hidup bagi kemuliaan Allah. Amin. Soli Deo Gloria.

04 May 2011

Resensi Buku-119: HIDUP BUKAN HANYA SEKADAR HIDUP (Rev. Bill Hybels, D.D.)

…Dapatkan segera….


Buku
HIDUP BUKAN HANYA SEKADAR HIDUP:
Menerapkan Sepenuhnya Hikmat Tuhan dalam Hidup Anda


oleh: Rev. William (Bill) Hybels, D.D. (HC)

Penerbit: Metanoia, 2007

Penerjemah: Deasy Sinaga





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Manusia adalah makhluk ciptaan yang dicipta segambar dan serupa dengan-Nya yang diberikan nafas hidup agar mereka bisa hidup di dunia ini. Selain itu, agar mereka hidup, Tuhan juga memberinya akal budi yaitu hikmat untuk mengatur hidup. Masalahnya dosa telah menghancurkan setiap aspek kehidupan manusia termasuk akal budi, sehingga makin mengandalkan akal budi sendiri, manusia makin menjauh dari Allah, karena motivasi dan tujuannya bukan untuk memuliakan-Nya. Allah mengaruniakan dan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus untuk menebus dosa manusia termasuk mengembalikan manusia berdosa ke posisi aslinya sebelum rusak akibat dosa, yaitu setiap natur manusia memuliakan-Nya. Selain Kristus, Ia juga mewahyukan firman-Nya, Alkitab sebagai standar iman dan hidup bagi umat pilihan-Nya. Di dalam Alkitab, kita menemukan bahwa salah satu kitab yang berisi hal-hal tentang hikmat dalam hidup adalah Kitab Amsal. Rev. Bill Hybels di dalam bukunya Hidup Bukan Hanya Sekadar Hidup menguraikan kepada kita tentang prinsip-prinsip menerapkan hikmat Tuhan dalam Kitab Amsal ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebelum membahas hal-hal ini, Rev. Hybels menjelaskan sedikit pendahuluan/pengantar Kitab Amsal di bagian Pendahuluan. Kemudian disusul dengan bagaimana kita sebagai orang Kristen menerapkan hikmat Tuhan dalam Kitab Amsal tersebut untuk: mengejar hikmat tersebut, mengambil inisiatif, melakukan yang baik, mengembangkan disiplin, mengatakan kebenaran, memilih teman dengan bijaksana, menikah dengan baik, membangun keluarga yang sehat, mengembangkan belas kasihan, mengelola kemarahan, dan mempercayai Allah di dalam segala hal. Meskipun saya kurang menyetujui beberapa prinsip (doktrin) yang ada di dalam buku ini, namun secara mayoritas, buku ini layak Anda baca dan aplikasikan, karena mengandung bijaksana-bijaksana tersendiri sebagai aplikasi praktis dari firman Tuhan khususnya dari Amsal.





Profil Rev. Bill Hybels:
Rev. William (Bill) Hybels, D.D. (HC) adalah pendiri dan pendeta senior di Willow Creek Community Church di South Barrington, Illinois. Beliau juga pendiri dan ketua yayasan dari Willow Creek Association dan juga pencipta dari Global Leadership Summit. Beliau menamatkan studi Bachelor dalam bidang Studi Biblika di Trinity International University (TIU), dekat Chicago dan dianugerahi gelar Doctor of Divinity (D.D.) dari TIU’s Trinity Evangelical Divinity School, U.S.A.

02 May 2011

BOLEHKAH PENDETA BERPROFESI GANDA? (Denny Teguh Sutandio)

BOLEHKAH PENDETA BERPROFESI GANDA?

oleh: Denny Teguh Sutandio




I. PENDAHULUAN
“Bolehkah pendeta berprofesi ganda selain menjadi pendeta?” Sebelum membahas hal ini, ada beberapa hal yang saya mau tekankan:
Pertama-tama, saya bukan seorang pendeta atau penginjil atau hamba Tuhan penuh waktu. Saya hanya seorang jemaat Kristen awam. Dengan kata lain, penilaian dan tinjauan yang saya buat di dalam artikel ini adalah dari perspektif jemaat Kristen awam dan juga melalui studi tentang hal ini di media internet.

Kedua, karena isu pendeta berprofesi ganda diperbolehkan atau tidak tidak ditemukan pengajarannya secara eksplisit di dalam Alkitab, maka saya menganggap bahwa isu ini BUKAN isu mutlak yang harus dibesar-besarkan, lalu menjadi ajang debat tidak karuan. Saya mencoba menyajikan perspektif yang cukup bijak terhadap pendeta yang berprofesi ganda dan saya tidak memaksakan perspektif saya. Para pembaca Kristen bisa mempertimbangkan dan menyetujui perspektif saya, namun juga bisa tidak menyetujuinya.


II. DEFINISI DAN SEJARAH
A. Definisi
Sebelum membahas tentang bolehkah pendeta berprofesi ganda, saya akan mencoba menjelaskan apa artinya. Dalam bahasa Inggris, pendeta berbisnis disebut sebagai bi-vocational pastor (atau pendeta yang memiliki 2 panggilan). Artinya, pendeta tersebut selain menjadi pendeta yang berkhotbah, menjalankan sakramen, dll juga seorang pekerja “sekuler”, misalnya: dokter, pemimpin perusahaan, dll. Pekerjaan “sekuler” yang dimaksud di sini TIDAK termasuk menjadi profesor/dosen theologi, karena menjadi dosen theologi berkaitan dengan pelayanan gerejawi. Hal ini TIDAK berarti saya mendualismekan antara sacred (kudus) atau spiritual (rohani) dengan secular (sekuler), karena segala profesi bagi anak-anak Tuhan termasuk hal rohani. Saya sengaja membedakannya, karena ini konteksnya HANYA untuk pendeta. Profesi ini (bi-vocational pastor) sering diidentikkan dengan part-time pastor (atau pendeta paruh waktu), namun menurut Ray Gilder, seorang koordinator nasional dari Bivocational And Small Church Leadership Network, bi-vocational pastor tidak bisa disebut part-time, karena seorang pendeta disebut part-time kalau ia hanya sekali atau 2 kali melayani/berkhotbah di gereja, padahal seorang pendeta yang memiliki 2 panggilan ini tetap seorang pendeta penuh waktu (full-time) yang berkhotbah setiap hari Minggu di gerejanya. (http://www.bivosmallchurch.net/)

B. Sejarah dan Perkembangannya
Menurut sejarah, secara khusus, pendeta/hamba Tuhan berbisnis atau juga bisa disebut tentmaking atau pembuat tenda (bdk. Kis. 18:3) merupakan metode khusus bagi penginjilan Kristen internasional di mana para misionaris bekerja “sekuler” sesuai dengan keahlian dan pendidikannya selain menerima dukungan biaya dari gereja. Bahkan William Carey (1761-1831) yang disebut sebagai bapak dari tokoh misi Kristen Injili modern selain menjadi misionaris di India juga menjadi pemilik pabrik dan profesor di universitas, karena di zaman Carey, misi internasional merupakan ide baru dan kontroversial di gereja. Para misionaris tent-making ini biasanya bekerja “sekuler”, karena mereka melayani di negara yang tertutup oleh pelayanan misi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Tentmaking) Kasus Carey adalah kasus khusus yang hampir tidak kita jumpai sekarang ini dan jangan memakai contoh Carey untuk mendukung bi-vocational ministry!
Bagaimana perkembangan pelayanan tentmaking ini? Uniknya, ketika Anda mencari Bivocational Ministry di Google, maka Anda akan menemukan 62.300 situs yang memuat masalah ini (Bivocational Pastors di Google ada 40.200 situs). Bahkan Clear Creek Baptist Bible College membuka program studi Bachelor of Arts (B.A.) in Bi-vocational Ministry (http://www.elearnportal.com/online-education/online-schools/clear-creek-baptist-bible-college/bachelor-of-arts-in-bi-vocational-ministry).



III. LATAR BELAKANG/MOTIVASI
Lalu, apa yang melatarbelakangi atau motivasi pendeta berprofesi ganda ini?
1. Suka
Menarik, survei yang dilakukan oleh Deborah A. Bruce, Research Services di Presbyterian Church (U.S.A.), Louisville, Kentucky adalah 53% bi-vocational pastors mencari profesi sambilan karena mereka ingin mengejar kesempatan karier lain dan 48% mengatakan bahwa mereka menyukai ide tentmaking atau bi-vocational ministry. (http://www.pcusatentmakers.org/) Dengan kata lain, bagi mereka yang menyukai tentmaking, istilah “panggilan” sebenarnya kurang pas karena mereka jelas-jelas berargumen bahwa mereka MENYUKAI profesi sambilan selain menjadi pendeta! Yang lebih mengejutkan, Deborah A. Bruce melaporkan kembali, “A majority (52 percent) would not return to full-time ministry if given the opportunity, although 29 percent said they might do so at some time in the future.” (=Mayoritas {52%} tidak akan kembali kepada pelayanan penuh waktu jika mereka diberi kesempatan, meskipun 29% mengatakan mereka akan melakukan hal itu pada waktu tertentu di kemudian hari.) Ini membuktikan tentmaking ministry bukan lagi suatu panggilan, tetapi suatu hobi. Sedangkan bagi mereka yang sungguh-sungguh terpanggil, itu tanggung jawab mereka di hadapan Tuhan kelak.

2. Tidak Mau Melepaskan Profesi Lama
Pada waktu seseorang dipanggil Tuhan menjadi pendeta, ia menjalankan bisnisnya entah itu memimpin perusahaan atau bekerja di sebuah perusahaan tertentu. Ia tidak mau melepaskan bisnisnya, karena ia berpikir bahwa dengan berbisnis pun, ia melayani Tuhan. Bahkan menurut Deborah A. Bruce, Research Services di Presbyterian Church (U.S.A.), Louisville, Kentucky mengatakan 21% bi-vocational pastors memilih pekerjaan sambilan karena mereka terbakar emosi ingin mengerjakan profesi mereka tersebut sebelum menjadi pendeta. (http://www.pcusatentmakers.org/)

3. Gereja yang Dilayaninya Tidak Mampu Membiayai Si Pendeta
Ada kasus di mana gereja yang digembalakan oleh si pendeta tidak mampu membiayai si pendeta, jangankan membiayai pendeta, membiayai operasional gereja (seperti: biaya listrik, air, dll) saja kurang mampu. Karena alasan inilah, maka pendeta tersebut mencari pekerjaan lain selain untuk mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarganya (jika sudah berkeluarga) dan juga untuk menjadi berkat di gereja misalnya dengan memberikan persembahan ekstra kepada gereja yang digembalakannya.

4. Ingin Kaya.
Motivasi terakhir seorang pendeta yang ingin berprofesi ganda (berbisnis) adalah si pendeta MUNGKIN ingin kaya. Saya tidak menghakimi motivasi si pendeta ini, saya hanya mengambil kesimpulan dari fakta yang ada. Artinya, si pendeta telah menggembalakan gereja yang cukup besar dengan jumlah jemaat yang banyak bahkan mencapai ribuan orang, lalu si pendeta ini masih menjadi presiden direktur sebuah perusahaan. Menurut aturan gereja yang digembalakannya yang termasuk gereja kontemporer yang pop, pendeta boleh mengambil sebagian besar persepuluhan jemaatnya. Menurut perkataan ayah saya, pendeta ini pernah berkata di atas mimbar bahwa persembahan jemaatnya sebanyak 10% dipersembahkan kepada Tuhan. Pertanyaan saya adalah yang 90% gimana ya? Ya, logikanya, jelas diambil oleh si pendeta. Dari logika ini, mari kita belajar menghitung keuntungan/profit si “pendeta”. Nah, coba Anda hitung, misalkan jumlah jemaatnya 1000 orang dan andaikata masing-masing jemaat memberikan persembahan (belum termasuk persepuluhan) minimal Rp 1.000, 00, maka dalam satu kali kebaktian, jumlah persembahannya minimal: Rp 1.000.000, 00 dan si pendeta mendapat keuntungan 90% dari persembahan itu (Rp 900.000, 00). Itu hanya satu kali kebaktian. Bagaimana kalau gereja itu mengadakan 5-6 kali kebaktian? Maka dalam satu hari Minggu, si pendeta mendapat “gaji” antara Rp 4.500.000, 00 – Rp 5.400.000, 00. Maka jika satu bulan ada 4 hari Minggu, maka dengan perhitungan 90% untuk “gaji” si pendeta, maka si pendeta mendapat “gaji” antara Rp 18.000.000, 00 – Rp 21.600.000, 00. Dengan gaji sebesar Rp 18.000.000, 00 (minimal), untuk apa si pendeta menjadi presiden direktur sebuah perusahaan miliknya? Apakah si pendeta ini masih kurang dengan gaji sebesar itu?
Jika masih kurang, yang menjadi problemnya itu bukan boleh atau tidak boleh pendeta berprofesi ganda, tetapi motivasi awal si pendeta berprofesi ganda (berbisnis) yaitu INGIN KAYA! Menjadi kaya tentu tidak salah, tetapi INGIN kaya bahkan INGIN sesuatu yang lebih dan lebih itulah yang berdosa. Dr. John Calvin pernah mengatakan, “The evil in our desires often lies not in what we want, but in the fact that we want it too much.” (=Dosa dalam keinginan kita bukanlah terletak pada apa yang kita inginkan, tetapi pada fakta bahwa kita menginginkannya terlalu banyak.) (diparafrasekan oleh Dr. David Powlison; seperti dikutip dalam Rev. C. J. Mahaney, Worldliness: Resisting the Seduction of a Fallen World, ed. C. J. Mahaney, p. 20) Dengan kata lain, kurangnya rasa cukup itulah dosa, karena sikap demikian bukanlah sikap seorang Kristen yang bersyukur atas anugerah-Nya.


IV. BERBAGAI RESPONS YANG MUNCUL
Berkenaan dengan isu pendeta apakah diperbolehkan berbisnis atau tidak, ada dua pendapat yang muncul:
1. Pendeta Tidak Boleh Berprofesi Ganda
Pendapat pertama muncul karena mereka percaya bahwa pendeta merupakan profesi mulia untuk melayani Tuhan penuh waktu. Mereka tidak mau mengerti pergumulan bi-vocational pastors yang menggembalakan gereja kecil, sementara mereka harus menghidupi keluarganya apalagi anak-anaknya yang sudah mulai bersekolah dan berkuliah yang tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mereka secara kaku berprinsip bahwa pendeta mutlak tidak boleh bekerja sampingan.

2. Pendeta Boleh Berprofesi Ganda.
Dengan mengutip teladan Paulus yang juga seorang pembuat tenda (Kis. 18:3) dan Yesus yang bekerja sebagai tukang kayu (Mrk. 6:3), maka beberapa orang Kristen dan pendeta melegalkan pendeta boleh berbisnis. Bahkan mereka menambahkan ada beberapa keuntungan pendeta yang berbisnis, di antaranya: dapat bertemu dengan orang-orang non-Kristen sambil memberitakan Injil dan juga si pendeta berbisnis bisa hidup “nyata” di dunia dengan mengerti kesusahan orang lain yang hidup di dunia ini (tidak terkungkung di dunia gereja saja). (http://www.gci.org/church/ministry/bivocational) Ya, saya menyetujui beberapa poin mereka, namun sayangnya kebanyakan orang Kristen yang mendukung pandangan ini hanya melihat keuntungan alias sisi positif dari pendeta yang berprofesi ganda tanpa melihat kelemahannya, seolah-olah profesi ini paling benar, padahal ada beberapa kendala yang harus dihadapi oleh bi-vocational pastors. Tentang kelemahannya, akan dibahas di bagian berikutnya.


V. KELEMAHAN-KELEMAHAN BI-VOCATIONAL PASTORS
Seorang pendeta yang berprofesi ganda selain memiliki kelebihan, juga memiliki kelemahan. Kelemahan ini TIDAK berarti hal ini dosa atau bertentangan dengan firman Tuhan, karena Alkitab sekali lagi TIDAK mengajar apa pun tentang hal ini. Kelemahan di sini berarti kendala (berat) yang harus dihadapi bi-vocational pastors yaitu mereka kurang bisa berfokus pada pelayanan penuh waktu di gereja dan juga kelemahan contoh yang dipakai.
A. Kendala Fokus Pelayanan
Karena berprofesi sampingan entah itu sebagai dokter, pebisnis, dll, maka otomatis bi-vocational pastor mengalami kendala dalam hal fokus pelayanan penuh waktu di gereja yang meliputi:
1. Kendala Fokus Mempersiapkan Khotbah
Di satu sisi, mereka adalah seorang pendeta yang harus berkhotbah setiap hari Minggu dan perlu diketahui untuk berkhotbah dengan benar bukanlah hal mudah yang dengan mudahnya dipersiapkan hanya dalam waktu 1 hari, kecuali pendeta yang berkhotbah dengan modal pintar ngomong layaknya marketing obat atau jamu. Ketika si pendeta berkhotbah, ia tentu mengambil khotbahnya dari nas Alkitab dan ketika ia mengambil nas Alkitab, maka mau tidak mau pasti diperlukan suatu penafsiran. Oleh karena itu, untuk berkhotbah yang benar, diperlukan 2 “ilmu”: homiletika (ilmu berkhotbah) dan hermeneutika (ilmu menafsirkan Alkitab). Pdt. Dr. Bambang H. Wijaya sebagai Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB) di dalam salah satu artikelnya di sebuah majalah rohani pernah mengungkapkan satu poin penting yaitu bagaimana homiletika digabungkan dengan hermeneutika. Hermeneutika mencakup prinsip-prinsip bagaimana menafsirkan Alkitab (saya meminjam 3 istilah ini dari artikel Pdt. Ir. Andi Halim, S.Th.): tekstual (melihat ayat per ayat, kata per kata, dll), kontekstual (konteks dekat dan jauh dari nas Alkitab yang dibaca dan dikhotbahkan: ayat sebelum dan sesudahnya, kitab-kitab yang ditulis oleh penulis yang sama, kitab-kitab yang ditulis oleh penulis yang berbeda, dan keseluruhan PL dan PB), dan kontentual (isi teks sesuai dengan konteks ayat sebelum dan sesudahnya). (http://www.remove.or.id/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=29&Itemid=44) Saya juga menambahkan prinsip-prinsip lain menafsirkan Alkitab: grammatical (yaitu memperhatikan grammar atau bentuk kata yang dipakai dan artinya dalam bahasa asli yaitu Ibrani dan Yunani) dan practical (yaitu aplikasi praktisnya: berbicara tentang kaitan erat antara what it meant di dalam teks Alkitab tersebut dengan what it means sebagai aplikasinya). Untuk bisa berkhotbah dengan penafsiran Alkitab yang akurat, maka tentu saja diperlukan studi theologi yang mendalam yang menguasai Bahasa Ibrani, Bahasa Yunani, Pengantar Perjanjian Lama, Pengantar Perjanjian Baru, dll yang tentu tidak dipelajari hanya dari kursus beberapa bulan saja. Nah, masalahnya, kebanyakan (TIDAK semua) bi-vocational pastors di Indonesia bukanlah seorang pendeta yang mengerti semuanya itu dan hanya berbekal kursus Alkitab beberapa bulan saja dan pintar ngomong (bahasa Jawanya: nggombes), lalu ditahbiskan menjadi pendeta.
Nah, bagian praktikal dalam hermeneutika itu dikaitkan dengan homiletika yang memperhatikan bagaimana berkhotbah yang benar, membangun, dan transformatoris dengan memperhatikan: teks Alkitab yang ketat, konsep theologis yang bertanggung jawab, makna kerohanian, ilustrasi dan cerita yang sesuai, lelucon segar, dan tantangan bagi para jemaat yang mendengarnya. Tentang homiletika yang Alkitabiah namun praktis, Anda bisa membaca buku 7 Langkah Menyusun Khotbah yang Mengubah Kehidupan yang ditulis oleh Pdt. Benny Solihin, M.Th. Saya mengakui mungkin ada pendeta yang berbisnis namun masih memiliki waktu lama untuk menggali Alkitab seperti di atas, namun kasusnya hanya sedikit. Kebanyakan (TIDAK SEMUA) pendeta yang berbisnis adalah pendeta yang malas belajar Alkitab dan hanya berpedoman mengutip perkataan pendeta lain atau mereka-reka sendiri arti Alkitab tanpa penafsiran yang bisa dipertanggungjawabkan (mencomot ayat Alkitab di luar konteks)!

2. Kendala Fokus Antara Hal-hal Gerejawi atau “Sekuler”.
Karena bekerja sekuler di samping menjadi pendeta, maka mungkin sekali banyak bi-vocational pastors yang kerepotan mengurus hal-hal gerejawi yang bertabrakan dengan pekerjaan sekulernya. Misalnya, jika di waktu yang sama, ada pelayanan penguburan di gereja dan juga rapat direksi di perusahaan yang dipimpinnya atau jadwal operasi pasien jika si pendeta juga merangkap sebagai dokter, maka apa yang harus diputuskan oleh seorang bi-vocational pastor? Pasti pusing tuh pendeta. Memang kondisi ini jarang terjadi, namun bukan berarti tidak ada kan? Kebanyakan kalau pendeta sekaligus dokter menghadapi kasus demikian, mereka lebih memilih mengurusi operasi pasien (dengan mempertimbangkan nyawa pasien lebih “penting”) dan menelantarkan pelayanan penguburan gereja dengan menghubungi rekan pendeta lain yang bisa melayani upacara tersebut. Bukankah pendeta demikian menjadi pendeta yang lebih mementingkan urusan “sekuler” ketimbang rohani (meskipun hal ini tidak berarti pendeta tidak boleh memperhatikan masalah sekuler)? Ada yang menyanggah bahwa pendeta itu bisa membagi waktu. Ya, puji Tuhan, kalau pendeta tersebut bisa membagi waktu, tetapi apakah kemampuannya membagi waktu juga bisa berarti mampu segala-galanya mengatur waktu sampai tidak ada waktu yang bertabrakan/bersamaan sama sekali antara tugas gerejawi dengan tugas sekuler yang dikerjakannya? Pertimbangkan hal ini dengan bijaksana. Saya TIDAK mengatakan bahwa menjadi pendeta berbisnis itu sesat atau berdosa, namun yang saya mau tekankan: pertimbangkanlah matang-matang sebelum Anda menjadi bi-vocational pastor.

B. Contoh yang Dipakai
Bi-vocational pastors selalu mendukung profesi mereka dengan memberi contoh bahwa Paulus juga seorang tukang temah (Kis. 18:3), demikian juga Yesus yang juga seorang tukang kayu, dan beberapa nabi di Perjanjian Lama. Ya, saya mengamini bahwa Paulus juga seorang tukang kemah dan ia bekerja demikian bukan supaya ia menjadi lebih kaya, tetapi untuk membiayai pelayanannya sendiri dan membantu pelayanan bagi jemaat-jemaat yang dilayaninya. Namun, Paulus adalah salah satu contoh rasul Kristus yang bekerja sambilan sambil melayani Tuhan, karena Petrus, Yohanes, dll tidak bekerja sambilan. Tuhan memanggil Paulus berbeda dari cara Tuhan memanggil Petrus, Yohanes, dll dan itu bisa kita maklumi. Namun jangan memakai alasan karena Paulus bekerja sambilan, maka yang mau jadi pendeta harus bekerja sambilan (hal ini sudah menjadi kebiasaan di gereja kontemporer pop zaman ini, sehingga saya jarang menemukan pendeta yang tidak bekerja sambilan di kalangan gereja kontemporer yang pop ini). O ya, satu lagi, teman gereja saya, Bp. Jimmy Sumendap, M.T. pernah menanggapi begini, kalau para bi-vocational pastor selalu mencontoh Paulus yang bekerja sambilan, seharusnya mereka juga harus mencontoh profesi sambilan Paulus, yaitu menjadi tukang kemah dan tidak bekerja yang lain, supaya lebih “Alkitabiah” gitu loh, hahaha (just kidding)
Kembali, dari contoh Paulus, seorang rekan saya pernah berkata bahwa hamba Tuhan/pendeta yang berbisnis lebih dihargai ketika memberitakan prinsip-prinsip etika berbisnis yang Alkitabiah ketimbang pendeta yang tak berbisnis, karena pendeta yang berbisnis sudah mengalaminya sendiri. Prinsip ini ada benarnya dan logis, namun tidak bisa dijadikan standar. Apakah berarti kalau begitu semua pendeta harus berbisnis supaya bisa mengajar jemaat tentang etika berbisnis? Bagaimana ketika pendeta cowok mengajar tentang cara menjadi istri yang taat pada suami? Apakah si pendeta cowok harus menjadi istri/cewek dulu? Apakah kalau mau mengajar jemaat tentang prinsip keadilan, maka si pendeta harus menjadi hakim terlebih dahulu? Bagaimana ketika pendeta cowok yang belum menikah yang berkhotbah eksposisi dari Surat Efesus, lalu tiba pada nas Efesus 5:22-33 tentang hubungan suami-istri? Apakah si pendeta jomblo ini akan berhenti khotbah, lalu mempersilahkan pendeta yang telah menikah untuk mengkhotbahkannya? Kita kembali ke Alkitab dan melihat sendiri contoh Paulus bahwa Paulus adalah rasul Kristus yang tidak menikah (1Kor. 7:7) dan uniknya Paulus yang tidak menikah adalah Paulus yang memberi nasihat tentang hubungan suami-istri di Efesus 5:22-33 dan Kolose 3:18-19. Jika demikian, apakah nasihat Paulus tidak berarti sama sekali hanya karena Paulus tidak menikah?
O ya, kalau bi-vocational pastors memakai Paulus sebagai teladan, pertanyaannya, mengapa yang diambil teladannya hanya urusan membuat tenda saja? Seharusnya mereka harus konsisten meneladani Paulus, dari prinsip theologi, penggembalaan, dan penginjilannya. Mereka juga harus meneladani Paulus yang sambil menjadi tukang kemah sanggup menggembalakan jemaat yang lebih dari satu dan memberitakan Injil ke negara yang jauh sampai di Roma. Apakah bi-vocational pastors sanggup melakukan hal itu? Kalau disuruh tent-making ala Paulus, banyak pendeta mau, namun kalau disuruh menggembalakan gereja lebih dari 1 apalagi memberitakan Injil sampai luar negeri yang belum mengenal Injil sama sekali seperti Paulus, banyak bi-vocational pastors langsung berkata, “Panggilan Paulus tidak sama dengan panggilan saya.” (catatan: panggilan di sini merupakan kamuflase dari arti yang sebenarnya: gue gak mau kayak Paulus) Ini artinya, mereka hanya mau mengerjakan apa yang mereka sukai dari teladan Paulus, sedangkan yang sulit, enggan mereka kerjakan. Konsisten dong.
Lalu, apakah untuk mengajar jemaat yang berbisnis, maka diperlukan pendeta yang berbisnis? Tidak selalu. Jika mungkin, itu baik, tetapi bukan suatu kemutlakan, karena setiap orang Kristen yang termasuk anak-anak Tuhan dipanggil oleh Kristus untuk menjadi garam dan terang bagi dunia di mana pun mereka berada (Mat. 5:13-16). Dengan kata lain, pendeta yang tidak berbisnis dapat memberikan tips etika Alkitabiah di dalam bisnis dan jemaat Tuhan yang terpanggil itulah yang menjalankannya. Di beberapa gereja Protestan, ketika ada acara seminar atau persekutuan yang membahas masalah bisnis, maka biasanya ada dua pembicara, yaitu: pendeta/hamba Tuhan yang mengajar konsep theologisnya dan pebisnis Kristen yang menjalankannya. Begitu juga dokter Kristen yang mengerti etika Kristen di bidang medis seharusnya berbagi berkat tentang etika Kristen di dalam medis kepada jemaat Kristen. Tentu saja pendeta yang mau mengajar jemaat tentang etika Kristen di bidang medis bukanlah pendeta yang harus menjadi dokter dahulu baru didengarkan nasihatnya (jika pendeta itu juga merangkap menjadi dokter itu tidak menjadi masalah, tetapi itu bukan suatu kemutlakan). Nah, kecenderungannya, ada dokter Kristen yang merangkap juga sebagai pendeta tidak menjalankan kedua profesi itu dengan baik. Saya menemukan fakta di Surabaya, ada seorang dokter Kristen yang merangkap menjadi pendeta di sebuah gereja terbesar di Surabaya yang melakukan kesalahan diagnosa terhadap seorang pasien (bahkan si pasien hampir meninggal akibat salah diagnosa tersebut) dan di dalam gereja tempat dia melayani, dia juga dipecat karena terbukti melecehkan perempuan. Kasus ini memang kasus khusus yang tidak boleh ditarik kesimpulan bahwa pendeta tidak boleh merangkap menjadi dokter, namun biarlah kasus khusus ini menyadarkan kita untuk kembali kepada panggilan Tuhan yang sungguh-sungguh di dalam hidup kita.
Bagaimana dengan contoh Yesus yang kerap kali dipakai untuk mendukung konsep bi-vocational pastor? Mereka mengutip Markus 6:3 sebagai dasar bahwa Yesus pun sambil melayani sambil menjadi tukang kayu, benarkah demikian? Alkitab tidak pernah mencatat bahwa sambil melayani dan memberitakan Injil, Kristus menjadi tukang kayu. Jika mau dipikir logis dari catatan Alkitab, Kristus sibuk memberitakan Injil dari kota ke kota beserta para rasul, mungkinkah setiap kali Ia memberitakan Injil di setiap kota, Ia juga menjadi tukang kayu? Alkitab TIDAK pernah mencatat bahwa ketika Yesus pergi ke Samaria untuk memberitakan Injil, lalu Ia mencari kayu yang hendak dipotong untuk dijadikan suatu barang, dll. Lalu, benarkah Yesus berprofesi sebagai tukang kayu? Ya, karena ayah-Nya, Yusuf seorang tukang kayu, tetapi Ia pernah menjadi tukang kayu mungkin sebelum Ia terjun ke pelayanan pemberitaan Injil lintas wilayah. Yang lebih tidak masuk akal, saya pernah membaca artikel dari Ev. Bedjo Lie, M.Div. yang pernah menuturkan bahwa ada seorang “pendeta” dari gereja kontemporer yang pop yang jelas-jelas menganut “theologi” kemakmuran menulis bahwa Yesus sebenarnya bukan tukang kayu, tetapi pengusaha mebel, wkwkwk Sejak kapan Yesus jadi bos besar? Padahal Alkitab dengan jelas mencatat bahwa Ia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20).


VI. SIKAP ORANG KRISTEN
Bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen menyoroti pendeta berbisnis?
A. Presuposisi
Sebelum membahas sikap Kristen berkenaan dengan bi-vocational pastor, ada beberapa presuposisi yang harus kita benahi terlebih dahulu.
1. Siapakah Pendeta?
Sebelum membahas boleh atau tidak pendeta berbisnis, pertama-tama definisikan siapa pendeta. Pendeta adalah pemimpin gereja atau pelayan Tuhan yang melayani pekerjaan Tuhan penuh waktu di gereja yang bertugas: berkhotbah, menjalankan sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus), memimpin/mengadakan rapat gereja, menjalankan disiplin gerejawi, mengadakan pembesukan, dll. Beberapa orang Kristen menyanggah bahwa banyak pendeta sekarang tidak mengadakan pembesukan, dll, kalau masalah itu, biarkan saja. Fakta tidak berarti itu yang harus dilakukan.

2. Apa Arti Bekerja?
Bekerja di sini berarti menjalankan suatu bisnis, entah itu memimpin perusahaan, membuka pabrik/toko pribadi, bekerja di perusahaan orang lain, atau bekerja non bisnis, seperti: dokter, hakim, dll. Di dalam pekerjaan tersebut, Anda bisa menjalankan pekerjaan itu sendiri atau menyuruh orang lain mengurus pekerjaan kita.

3. Apa Arti Melayani Tuhan?
Menjadi pendeta dan usahawan (businessman) atau dokter, hakim, dll, manakah yang lebih melayani Tuhan? Jawabannya: dua-duanya, namun beda konteks. Usahawan dan profesi lainnya, seperti: dokter, hakim, dll melayani Tuhan di bidang masing-masing sesuai panggilan Tuhan yang unik bagi masing-masing pribadi. Di bidang tersebut, mungkin mereka bisa membagikan Injil kepada rekan bisnis atau pasien atau koleganya, namun fokusnya bukan pada hal-hal gerejawi. Sedangkan pendeta merupakan orang khusus yang Tuhan panggil untuk melayani-Nya sepenuh waktu yang tentunya bertugas untuk hal-hal gerejawi seperti: berkhotbah, menjalankan sakramen, menjalankan disiplin gerejawi, dll dan hal-hal tersebut tidak boleh dikerjakan oleh usahawan atau dokter, dll yang tidak ditahbiskan. Dengan adanya pembedaan konteks dalam melayani Tuhan, maka dokter Kristen yang beres yang ingin melayani Tuhan TIDAK perlu harus menjadi pendeta terlebih dahulu, tetapi layani Tuhan melalui diagnosa dan operasi yang teliti dengan keyakinan bahwa ia bekerja seperti untuk Tuhan (Kol. 3:23).

4. Apa Arti Panggilan?
Seorang yang melayani Tuhan tentunya juga seorang yang meresponi panggilan Tuhan yang unik. Ada yang dipanggil Tuhan untuk melayani-Nya penuh waktu sebagai penginjil atau pendeta; ada juga yang dipanggil Tuhan untuk melayani-Nya di bidang hukum, pendidikan, bisnis, ekonomi, sosial, medis, dll. Masing-masing anak Tuhan harus menggumulkan secara serius untuk menemukan dan meresponi panggilan Tuhan tersebut dalam hidupnya. Tidak ada seorang pun yang dapat memaksakan panggilan Tuhan itu. Namun perlu diwaspadai mengenai kata “panggilan”, karena kata agung ini telah dicemari oleh hal-hal yang tidak bertanggung jawab. Hal ini mirip seperti kata “beban” yang kerap kali dipakai oleh banyak orang Kristen hari-hari ini. Bagi mereka, “beban” diidentikkan dengan kesukaan pribadi, padahal definisi beban berarti sesuatu yang berat yang Tuhan perintahkan agar kita menjalankannya. Bagi G. I. Jeffey Siauw, M.Div., beban dikaitkan dengan orang (mengutip perkataan dari teman beliau) dan tujuan dari beban tersebut. Misalnya, orang yang katanya terbeban menggembalakan, perlu dipertanyakan, siapa yang digembalakan dan orang yang digembalakan tersebut dan yang digembalakan itu mau menjadi seperti apa? (http://jeffreysiauw.blogspot.com/2011/04/beban.html) Seperti kata beban yang sudah banyak diselewengkan, maka kata “panggilan” pun banyak diselewengkan. Misalnya ada yang berkata, “Saya terpanggil untuk menjadi pendeta sekaligus businessman.” Pertanyaan saya, benarkah ia dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi pendeta sekaligus businessman? Saya memang tidak berhak menghakimi motivasi orang itu, karena itu menjadi tanggung jawab pribadinya di hadapan Tuhan. Namun yang saya soroti adalah apakah orang Kristen yang berkata bahwa itu panggilan Tuhan benar-benar merupakan panggilan Tuhan ataukah ia hanya “merasa” dipanggil Tuhan, tetapi sejujurnya Tuhan tidak pernah memanggilnya menjadi pendeta? Benarkah mereka yang katanya bi-vocational pastor benar-benar dipanggil Tuhan untuk menjadi bi-vocational pastor ataukah istilah “panggilan” atau vocation itu hanya sekadar lip service untuk menutupi motivasinya yang ingin cepat kaya atau bahkan sebenarnya mereka menyukai tentmaking tersebut dan bukan karena benar-benar panggilan Tuhan atas dirinya? Sekali lagi, jangan salah mengerti, saya TIDAK sedang menghakimi motivasi orang, saya hanya menyajikan suatu refleksi saja untuk direnungkan bersama.

5. Apa Motivasinya?
Jika seorang pendeta yang berprofesi ganda memang sungguh-sungguh dipanggil Tuhan untuk bekerja “sekuler”, maka yang perlu dipertanyakan, apa motivasinya? Saya mengetahui ada 2 orang pendeta dari gereja kontemporer yang pop yang theologinya cukup beres yang juga seorang yang bekerja “sekuler”, karena mereka menganggap bahwa gereja yang mereka layani tidak mampu membiayainya dan salah satu dari mereka bekerja “sekuler” karena ingin menjadi berkat bagi gereja dan jemaat yang dilayaninya. Bagi saya, tentu motivasi ini tidaklah salah dan bisa dimaklumi. Namun, kalau si pendeta yang ingin berbisnis itu motivasinya ingin cepat kaya yang terlihat dari ambisinya memiliki dan mengembangkan banyak perusahaan, padahal ia sudah meraup “keuntungan” dari persepuluhan gerejanya yang berjumlah minimal Rp 18.000.000, 00 per bulan, maka hal itu tentu tidak dapat dibenarkan, karena motivasinya sudah jahat di mata Tuhan (bdk. uraian saya di bagian motivasi poin ketiga).

6. Gereja Model Apa yang Dilayaninya?
Keputusan untuk memperbolehkan atau melarang pendeta berprofesi ganda juga harus dikaitkan dengan gereja model/macam apa yang dilayaninya, mengapa? Karena masing-masing gereja memiliki kebijakan tersendiri. Ada gereja yang memiliki peraturan untuk menggaji pendeta secara langsung dari sinode, sedangkan ada gereja yang menetapkan bahwa pendeta digaji dari hasil persembahan jemaatnya. Nah, kebanyakan pendeta yang berprofesi ganda itu berasal dari gereja yang menetapkan bahwa pendeta digaji langsung dari hasil persembahan jemaatnya, meskipun tidak menutup kemungkinan dari gereja yang digaji dari sinode.

B. Aplikasi: Bijak Bersikap
Keenam dasar presuposisi di atas mengarahkan kita untuk mempertimbangkan bahwa pendeta boleh berprofesi ganda dengan catatan penting, yaitu:
1. Ujilah Motivasi dan Tujuan
Mengutip jawaban Ev. Yuzo Adhinarta, Ph.D. melalui SMS, pendeta boleh berprofesi ganda asalkan motivasi dan tujuan dasarnya adalah benar-benar memuliakan Tuhan dan bukan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Artinya, kalau si pendeta benar-benar berprofesi ganda, maka pikirkanlah statusnya sebagai pendeta di tempat kerja “sekuler”nya. Jangan sampai sebagai pendeta, Anda bekerja dengan tidak disiplin atau berkata kotor kepada pegawai atau customer Anda atau bahkan Anda menipu orang lain.

2. Pertimbangkan Secara Bijak Setiap Keputusan yang Anda Buat
Erick Underwood dalam artikelnya Should I Become a Bi-Vocational Pastor memberikan saran kepada bi-vocational pastors, “Think carefully about how the decision will impact you and your family” (=Berpikirlah hati-hati tentang bagaimana keputusan akan berdampak pada Anda dan keluarga Anda.) (http://www.parsonage.org/articles/ministry/A000000319.cfm) Oleh karena itu, seorang pendeta yang berprofesi ganda harus benar-benar mempertimbangkan waktu, tenaga, dan biaya yang dipakainya untuk urusan gerejawi, profesi sampingan, keluarga, dll. Diperlukan suatu kebijaksanaan dalam mengatur ketiga hal di atas.

3. Responilah Panggilan-Nya
Erick Underwood dalam artikelnya menyatakan bahwa jika ada pendeta yang benar-benar dipanggil untuk berprofesi ganda, maka responi panggilan Tuhan itu dengan kesadaran bahwa motivasinya bukan untuk mencari lebih banyak uang atau motivasi lain.

4. Pilihlah Pekerjaan yang Fleksibel
Erick Underwood juga menyarankan bi-vocational pastors untuk memilih pekerjaan yang bisa ditinggal sewaktu-waktu atau didelegasikan kepada orang lain, karena mengingat mereka juga adalah pendeta yang harus menjalankan tugas gerejawi.

5. Prioritaskan Mana yang Terpenting
Sebuah artikel di web Presbyterian Church of U.S.A. menjelaskan bahwa bagi bi-vocational pastors, urusan gerejawilah yang harus diprioritaskan lebih daripada pekerjaan lain. Konsep ini logis dan bisa dibenarkan, karena panggilan utamanya adalah menjadi pendeta, sedangkan panggilan sambilannya adalah bekerja sekuler. Jika panggilan utama digadaikan demi mengurusi panggilan sambilan, itu salah, karena bagaimana pun juga, hal-hal rohani lebih penting daripada hal-hal sekuler, meskipun hal-hal sekuler tetap perlu!

6. Persiapkan Khotbah Dengan Bertanggung Jawab
Seorang bi-vocational pastor yang memang terpanggil untuk berprofesi ganda yang berkomitmen untuk memprioritaskan urusan gerejawi harus juga berkomitmen untuk benar-benar mempersiapkan khotbah setiap hari Minggu dengan bertanggung jawab. Aturlah waktu seefektif dan sebijak mungkin untuk benar-benar membaca Alkitab, mempelajarinya dengan teliti dengan bantuan software penggalian Alkitab (seperti Bible Works, dll), Interlinear, buku-buku tafsiran Alkitab, dll, merenungkannya, dan menyusunnya di dalam sebuah khotbah yang benar-benar menggali Alkitab, namun tetap aplikatif.

7. Delegasikan Tugas Rutin Gerejawi Kepada Beberapa Jemaat
Erick Underwood kembali menyarankan bagi bi-vocational pastors untuk mendelegasikan tugas rutin gerejawi (seperti: visitasi jemaat, dll) kepada beberapa jemaat untuk mengurusnya. Atau mungkin dengan mempersiapkan beberapa jemaat untuk memimpin acara kecil di gereja, misalnya Persekutuan Doa, KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) atau cell-group, dll. Namun patut diperhatikan, meskipun ada pendelegasian tugas rutin gerejawi ini, pendeta tetap tidak boleh mengandalkan mereka 100%, karena ada beberapa tugas penting gerejawi yang harus dikerjakan. Sebisa mungkin, pendeta juga perlu ikut terjun ke dalam beberapa tugas gerejawi yang dianggap “sepele”, seperti visitasi/pembesukan, penginjilan, dll. Beberapa pendeta yang karena sibuk dengan berbagai administrasi gereja, dll akhirnya mengabaikan permintaan tolong jemaat untuk memberitakan Injil kepada saudaranya dan menyerahkan tugas tersebut kepada tim penginjilan yang sudah ada di gereja, padahal saudara si jemaat ini memang perlu diinjili oleh pendeta yang lebih mengerti theologi ketimbang jemaat biasa di dalam tim penginjilan. Visitasi adalah salah satu bentuk penggembalaan yang seharusnya digarap oleh seorang gembala sidang atau pendeta yang melayani di gereja. Harus diakui ada dua kecenderungan ekstrem gereja dewasa ini: gereja yang satu sangat memperhatikan persekutuan yang hangat (dan penggembalaan) tetapi mengabaikan doktrin yang penting (kebanyakan anti doktrin), namun di sisi lain ada gereja yang sangat menekankan pentingnya doktrin tetapi anti persekutuan (meskipun ada nama “persekutuan” di komisi pemudanya) dan masa bodoh dengan penggembalaan dengan dalih penggembalaan bisa didapat dari mimbar. Gereja seharusnya tidak ekstrem seperti di atas, tetapi berusaha menjalankan keduanya dengan seimbang. Saya melihat selama ini di Surabaya, gereja yang menjalankan pembinaan doktrin yang cukup ketat ditambah persekutuan yang hangat dan penggembalaan adalah Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus yang digembalakan oleh Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M.

8. Jangan Melupakan Waktu untuk Keluarga
Bagi bi-vocational pastors, Erick Underwood kembali mengingatkan agar mereka menyediakan waktu untuk keluarga, karena keluarga juga merupakan hal penting selain kedua profesi mereka. Adalah sangat memalukan jika ada pendeta yang sibuk berkhotbah dan berprofesi lain, namun keluarganya berantakan tidak karuan. Lebih memalukan, jika ada cucu dari pendeta besar di Surabaya yang hidupnya tidak karuan.

9. Bersekutu dengan Pendeta Lain yang Tidak Bekerja.
Bi-vocational pastors seharusnya tidak mengasingkan diri dari pendeta lain di gereja yang mereka melayani, tetapi harus bersekutu dengan pendeta lain khususnya yang tidak bekerja (atau non bi-vocational pastors). Interaksi demikian dimaksudkan untuk saling berbagi berkat di antara mereka untuk saling menguatkan dan menegur demi pertumbuhan mereka sebagai pendeta dan berkat bagi jemaat yang mereka layani.


VII. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Saya mengerti bahwa menjadi pendeta bukanlah pekerjaan mudah, apalagi menjadi pendeta dan gembala sidang di sebuah gereja dengan jumlah jemaat yang tidak terlalu banyak, namun kendala demikian bukanlah alasan bagi mereka yang terpanggil untuk menjadi pendeta untuk mundur dari panggilan pelayanan. Silahkan berprofesi ganda bagi mereka yang benar-benar terpanggil untuk itu, namun jangan menjadikan profesi sampingan itu sebagai prioritas dalam hidup seorang pendeta, karena prioritas hidup pendeta adalah pelayanan gerejawi. Bijaklah dalam mengambil keputusan. Kiranya Tuhan menolong kita untuk meresponi panggilan-Nya dengan sungguh-sungguh demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.