oleh: Denny Teguh Sutandio
“Bolehkah pendeta berprofesi ganda selain menjadi pendeta?” Sebelum membahas hal ini, ada beberapa hal yang saya mau tekankan:
Pertama-tama, saya bukan seorang pendeta atau penginjil atau hamba Tuhan penuh waktu. Saya hanya seorang jemaat Kristen awam. Dengan kata lain, penilaian dan tinjauan yang saya buat di dalam artikel ini adalah dari perspektif jemaat Kristen awam dan juga melalui studi tentang hal ini di media internet.
Kedua, karena isu pendeta berprofesi ganda diperbolehkan atau tidak tidak ditemukan pengajarannya secara eksplisit di dalam Alkitab, maka saya menganggap bahwa isu ini BUKAN isu mutlak yang harus dibesar-besarkan, lalu menjadi ajang debat tidak karuan. Saya mencoba menyajikan perspektif yang cukup bijak terhadap pendeta yang berprofesi ganda dan saya tidak memaksakan perspektif saya. Para pembaca Kristen bisa mempertimbangkan dan menyetujui perspektif saya, namun juga bisa tidak menyetujuinya.
II. DEFINISI DAN SEJARAH
A. Definisi
Sebelum membahas tentang bolehkah pendeta berprofesi ganda, saya akan mencoba menjelaskan apa artinya. Dalam bahasa Inggris, pendeta berbisnis disebut sebagai bi-vocational pastor (atau pendeta yang memiliki 2 panggilan). Artinya, pendeta tersebut selain menjadi pendeta yang berkhotbah, menjalankan sakramen, dll juga seorang pekerja “sekuler”, misalnya: dokter, pemimpin perusahaan, dll. Pekerjaan “sekuler” yang dimaksud di sini TIDAK termasuk menjadi profesor/dosen theologi, karena menjadi dosen theologi berkaitan dengan pelayanan gerejawi. Hal ini TIDAK berarti saya mendualismekan antara sacred (kudus) atau spiritual (rohani) dengan secular (sekuler), karena segala profesi bagi anak-anak Tuhan termasuk hal rohani. Saya sengaja membedakannya, karena ini konteksnya HANYA untuk pendeta. Profesi ini (bi-vocational pastor) sering diidentikkan dengan part-time pastor (atau pendeta paruh waktu), namun menurut Ray Gilder, seorang koordinator nasional dari Bivocational And Small Church Leadership Network, bi-vocational pastor tidak bisa disebut part-time, karena seorang pendeta disebut part-time kalau ia hanya sekali atau 2 kali melayani/berkhotbah di gereja, padahal seorang pendeta yang memiliki 2 panggilan ini tetap seorang pendeta penuh waktu (full-time) yang berkhotbah setiap hari Minggu di gerejanya. (http://www.bivosmallchurch.net/)
B. Sejarah dan Perkembangannya
Menurut sejarah, secara khusus, pendeta/hamba Tuhan berbisnis atau juga bisa disebut tentmaking atau pembuat tenda (bdk. Kis. 18:3) merupakan metode khusus bagi penginjilan Kristen internasional di mana para misionaris bekerja “sekuler” sesuai dengan keahlian dan pendidikannya selain menerima dukungan biaya dari gereja. Bahkan William Carey (1761-1831) yang disebut sebagai bapak dari tokoh misi Kristen Injili modern selain menjadi misionaris di India juga menjadi pemilik pabrik dan profesor di universitas, karena di zaman Carey, misi internasional merupakan ide baru dan kontroversial di gereja. Para misionaris tent-making ini biasanya bekerja “sekuler”, karena mereka melayani di negara yang tertutup oleh pelayanan misi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Tentmaking) Kasus Carey adalah kasus khusus yang hampir tidak kita jumpai sekarang ini dan jangan memakai contoh Carey untuk mendukung bi-vocational ministry!
Bagaimana perkembangan pelayanan tentmaking ini? Uniknya, ketika Anda mencari Bivocational Ministry di Google, maka Anda akan menemukan 62.300 situs yang memuat masalah ini (Bivocational Pastors di Google ada 40.200 situs). Bahkan Clear Creek Baptist Bible College membuka program studi Bachelor of Arts (B.A.) in Bi-vocational Ministry (http://www.elearnportal.com/online-education/online-schools/clear-creek-baptist-bible-college/bachelor-of-arts-in-bi-vocational-ministry).
III. LATAR BELAKANG/MOTIVASI
Lalu, apa yang melatarbelakangi atau motivasi pendeta berprofesi ganda ini?
1. Suka
Menarik, survei yang dilakukan oleh Deborah A. Bruce, Research Services di Presbyterian Church (U.S.A.), Louisville, Kentucky adalah 53% bi-vocational pastors mencari profesi sambilan karena mereka ingin mengejar kesempatan karier lain dan 48% mengatakan bahwa mereka menyukai ide tentmaking atau bi-vocational ministry. (http://www.pcusatentmakers.org/) Dengan kata lain, bagi mereka yang menyukai tentmaking, istilah “panggilan” sebenarnya kurang pas karena mereka jelas-jelas berargumen bahwa mereka MENYUKAI profesi sambilan selain menjadi pendeta! Yang lebih mengejutkan, Deborah A. Bruce melaporkan kembali, “A majority (52 percent) would not return to full-time ministry if given the opportunity, although 29 percent said they might do so at some time in the future.” (=Mayoritas {52%} tidak akan kembali kepada pelayanan penuh waktu jika mereka diberi kesempatan, meskipun 29% mengatakan mereka akan melakukan hal itu pada waktu tertentu di kemudian hari.) Ini membuktikan tentmaking ministry bukan lagi suatu panggilan, tetapi suatu hobi. Sedangkan bagi mereka yang sungguh-sungguh terpanggil, itu tanggung jawab mereka di hadapan Tuhan kelak.
2. Tidak Mau Melepaskan Profesi Lama
Pada waktu seseorang dipanggil Tuhan menjadi pendeta, ia menjalankan bisnisnya entah itu memimpin perusahaan atau bekerja di sebuah perusahaan tertentu. Ia tidak mau melepaskan bisnisnya, karena ia berpikir bahwa dengan berbisnis pun, ia melayani Tuhan. Bahkan menurut Deborah A. Bruce, Research Services di Presbyterian Church (U.S.A.), Louisville, Kentucky mengatakan 21% bi-vocational pastors memilih pekerjaan sambilan karena mereka terbakar emosi ingin mengerjakan profesi mereka tersebut sebelum menjadi pendeta. (http://www.pcusatentmakers.org/)
3. Gereja yang Dilayaninya Tidak Mampu Membiayai Si Pendeta
Ada kasus di mana gereja yang digembalakan oleh si pendeta tidak mampu membiayai si pendeta, jangankan membiayai pendeta, membiayai operasional gereja (seperti: biaya listrik, air, dll) saja kurang mampu. Karena alasan inilah, maka pendeta tersebut mencari pekerjaan lain selain untuk mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarganya (jika sudah berkeluarga) dan juga untuk menjadi berkat di gereja misalnya dengan memberikan persembahan ekstra kepada gereja yang digembalakannya.
4. Ingin Kaya.
Motivasi terakhir seorang pendeta yang ingin berprofesi ganda (berbisnis) adalah si pendeta MUNGKIN ingin kaya. Saya tidak menghakimi motivasi si pendeta ini, saya hanya mengambil kesimpulan dari fakta yang ada. Artinya, si pendeta telah menggembalakan gereja yang cukup besar dengan jumlah jemaat yang banyak bahkan mencapai ribuan orang, lalu si pendeta ini masih menjadi presiden direktur sebuah perusahaan. Menurut aturan gereja yang digembalakannya yang termasuk gereja kontemporer yang pop, pendeta boleh mengambil sebagian besar persepuluhan jemaatnya. Menurut perkataan ayah saya, pendeta ini pernah berkata di atas mimbar bahwa persembahan jemaatnya sebanyak 10% dipersembahkan kepada Tuhan. Pertanyaan saya adalah yang 90% gimana ya? Ya, logikanya, jelas diambil oleh si pendeta. Dari logika ini, mari kita belajar menghitung keuntungan/profit si “pendeta”. Nah, coba Anda hitung, misalkan jumlah jemaatnya 1000 orang dan andaikata masing-masing jemaat memberikan persembahan (belum termasuk persepuluhan) minimal Rp 1.000, 00, maka dalam satu kali kebaktian, jumlah persembahannya minimal: Rp 1.000.000, 00 dan si pendeta mendapat keuntungan 90% dari persembahan itu (Rp 900.000, 00). Itu hanya satu kali kebaktian. Bagaimana kalau gereja itu mengadakan 5-6 kali kebaktian? Maka dalam satu hari Minggu, si pendeta mendapat “gaji” antara Rp 4.500.000, 00 – Rp 5.400.000, 00. Maka jika satu bulan ada 4 hari Minggu, maka dengan perhitungan 90% untuk “gaji” si pendeta, maka si pendeta mendapat “gaji” antara Rp 18.000.000, 00 – Rp 21.600.000, 00. Dengan gaji sebesar Rp 18.000.000, 00 (minimal), untuk apa si pendeta menjadi presiden direktur sebuah perusahaan miliknya? Apakah si pendeta ini masih kurang dengan gaji sebesar itu?
Jika masih kurang, yang menjadi problemnya itu bukan boleh atau tidak boleh pendeta berprofesi ganda, tetapi motivasi awal si pendeta berprofesi ganda (berbisnis) yaitu INGIN KAYA! Menjadi kaya tentu tidak salah, tetapi INGIN kaya bahkan INGIN sesuatu yang lebih dan lebih itulah yang berdosa. Dr. John Calvin pernah mengatakan, “The evil in our desires often lies not in what we want, but in the fact that we want it too much.” (=Dosa dalam keinginan kita bukanlah terletak pada apa yang kita inginkan, tetapi pada fakta bahwa kita menginginkannya terlalu banyak.) (diparafrasekan oleh Dr. David Powlison; seperti dikutip dalam Rev. C. J. Mahaney, Worldliness: Resisting the Seduction of a Fallen World, ed. C. J. Mahaney, p. 20) Dengan kata lain, kurangnya rasa cukup itulah dosa, karena sikap demikian bukanlah sikap seorang Kristen yang bersyukur atas anugerah-Nya.
IV. BERBAGAI RESPONS YANG MUNCUL
Berkenaan dengan isu pendeta apakah diperbolehkan berbisnis atau tidak, ada dua pendapat yang muncul:
1. Pendeta Tidak Boleh Berprofesi Ganda
Pendapat pertama muncul karena mereka percaya bahwa pendeta merupakan profesi mulia untuk melayani Tuhan penuh waktu. Mereka tidak mau mengerti pergumulan bi-vocational pastors yang menggembalakan gereja kecil, sementara mereka harus menghidupi keluarganya apalagi anak-anaknya yang sudah mulai bersekolah dan berkuliah yang tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mereka secara kaku berprinsip bahwa pendeta mutlak tidak boleh bekerja sampingan.
2. Pendeta Boleh Berprofesi Ganda.
Dengan mengutip teladan Paulus yang juga seorang pembuat tenda (Kis. 18:3) dan Yesus yang bekerja sebagai tukang kayu (Mrk. 6:3), maka beberapa orang Kristen dan pendeta melegalkan pendeta boleh berbisnis. Bahkan mereka menambahkan ada beberapa keuntungan pendeta yang berbisnis, di antaranya: dapat bertemu dengan orang-orang non-Kristen sambil memberitakan Injil dan juga si pendeta berbisnis bisa hidup “nyata” di dunia dengan mengerti kesusahan orang lain yang hidup di dunia ini (tidak terkungkung di dunia gereja saja). (http://www.gci.org/church/ministry/bivocational) Ya, saya menyetujui beberapa poin mereka, namun sayangnya kebanyakan orang Kristen yang mendukung pandangan ini hanya melihat keuntungan alias sisi positif dari pendeta yang berprofesi ganda tanpa melihat kelemahannya, seolah-olah profesi ini paling benar, padahal ada beberapa kendala yang harus dihadapi oleh bi-vocational pastors. Tentang kelemahannya, akan dibahas di bagian berikutnya.
V. KELEMAHAN-KELEMAHAN BI-VOCATIONAL PASTORS
Seorang pendeta yang berprofesi ganda selain memiliki kelebihan, juga memiliki kelemahan. Kelemahan ini TIDAK berarti hal ini dosa atau bertentangan dengan firman Tuhan, karena Alkitab sekali lagi TIDAK mengajar apa pun tentang hal ini. Kelemahan di sini berarti kendala (berat) yang harus dihadapi bi-vocational pastors yaitu mereka kurang bisa berfokus pada pelayanan penuh waktu di gereja dan juga kelemahan contoh yang dipakai.
A. Kendala Fokus Pelayanan
Karena berprofesi sampingan entah itu sebagai dokter, pebisnis, dll, maka otomatis bi-vocational pastor mengalami kendala dalam hal fokus pelayanan penuh waktu di gereja yang meliputi:
1. Kendala Fokus Mempersiapkan Khotbah
Di satu sisi, mereka adalah seorang pendeta yang harus berkhotbah setiap hari Minggu dan perlu diketahui untuk berkhotbah dengan benar bukanlah hal mudah yang dengan mudahnya dipersiapkan hanya dalam waktu 1 hari, kecuali pendeta yang berkhotbah dengan modal pintar ngomong layaknya marketing obat atau jamu. Ketika si pendeta berkhotbah, ia tentu mengambil khotbahnya dari nas Alkitab dan ketika ia mengambil nas Alkitab, maka mau tidak mau pasti diperlukan suatu penafsiran. Oleh karena itu, untuk berkhotbah yang benar, diperlukan 2 “ilmu”: homiletika (ilmu berkhotbah) dan hermeneutika (ilmu menafsirkan Alkitab). Pdt. Dr. Bambang H. Wijaya sebagai Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB) di dalam salah satu artikelnya di sebuah majalah rohani pernah mengungkapkan satu poin penting yaitu bagaimana homiletika digabungkan dengan hermeneutika. Hermeneutika mencakup prinsip-prinsip bagaimana menafsirkan Alkitab (saya meminjam 3 istilah ini dari artikel Pdt. Ir. Andi Halim, S.Th.): tekstual (melihat ayat per ayat, kata per kata, dll), kontekstual (konteks dekat dan jauh dari nas Alkitab yang dibaca dan dikhotbahkan: ayat sebelum dan sesudahnya, kitab-kitab yang ditulis oleh penulis yang sama, kitab-kitab yang ditulis oleh penulis yang berbeda, dan keseluruhan PL dan PB), dan kontentual (isi teks sesuai dengan konteks ayat sebelum dan sesudahnya). (http://www.remove.or.id/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=29&Itemid=44) Saya juga menambahkan prinsip-prinsip lain menafsirkan Alkitab: grammatical (yaitu memperhatikan grammar atau bentuk kata yang dipakai dan artinya dalam bahasa asli yaitu Ibrani dan Yunani) dan practical (yaitu aplikasi praktisnya: berbicara tentang kaitan erat antara what it meant di dalam teks Alkitab tersebut dengan what it means sebagai aplikasinya). Untuk bisa berkhotbah dengan penafsiran Alkitab yang akurat, maka tentu saja diperlukan studi theologi yang mendalam yang menguasai Bahasa Ibrani, Bahasa Yunani, Pengantar Perjanjian Lama, Pengantar Perjanjian Baru, dll yang tentu tidak dipelajari hanya dari kursus beberapa bulan saja. Nah, masalahnya, kebanyakan (TIDAK semua) bi-vocational pastors di Indonesia bukanlah seorang pendeta yang mengerti semuanya itu dan hanya berbekal kursus Alkitab beberapa bulan saja dan pintar ngomong (bahasa Jawanya: nggombes), lalu ditahbiskan menjadi pendeta.
Nah, bagian praktikal dalam hermeneutika itu dikaitkan dengan homiletika yang memperhatikan bagaimana berkhotbah yang benar, membangun, dan transformatoris dengan memperhatikan: teks Alkitab yang ketat, konsep theologis yang bertanggung jawab, makna kerohanian, ilustrasi dan cerita yang sesuai, lelucon segar, dan tantangan bagi para jemaat yang mendengarnya. Tentang homiletika yang Alkitabiah namun praktis, Anda bisa membaca buku 7 Langkah Menyusun Khotbah yang Mengubah Kehidupan yang ditulis oleh Pdt. Benny Solihin, M.Th. Saya mengakui mungkin ada pendeta yang berbisnis namun masih memiliki waktu lama untuk menggali Alkitab seperti di atas, namun kasusnya hanya sedikit. Kebanyakan (TIDAK SEMUA) pendeta yang berbisnis adalah pendeta yang malas belajar Alkitab dan hanya berpedoman mengutip perkataan pendeta lain atau mereka-reka sendiri arti Alkitab tanpa penafsiran yang bisa dipertanggungjawabkan (mencomot ayat Alkitab di luar konteks)!
2. Kendala Fokus Antara Hal-hal Gerejawi atau “Sekuler”.
Karena bekerja sekuler di samping menjadi pendeta, maka mungkin sekali banyak bi-vocational pastors yang kerepotan mengurus hal-hal gerejawi yang bertabrakan dengan pekerjaan sekulernya. Misalnya, jika di waktu yang sama, ada pelayanan penguburan di gereja dan juga rapat direksi di perusahaan yang dipimpinnya atau jadwal operasi pasien jika si pendeta juga merangkap sebagai dokter, maka apa yang harus diputuskan oleh seorang bi-vocational pastor? Pasti pusing tuh pendeta. Memang kondisi ini jarang terjadi, namun bukan berarti tidak ada kan? Kebanyakan kalau pendeta sekaligus dokter menghadapi kasus demikian, mereka lebih memilih mengurusi operasi pasien (dengan mempertimbangkan nyawa pasien lebih “penting”) dan menelantarkan pelayanan penguburan gereja dengan menghubungi rekan pendeta lain yang bisa melayani upacara tersebut. Bukankah pendeta demikian menjadi pendeta yang lebih mementingkan urusan “sekuler” ketimbang rohani (meskipun hal ini tidak berarti pendeta tidak boleh memperhatikan masalah sekuler)? Ada yang menyanggah bahwa pendeta itu bisa membagi waktu. Ya, puji Tuhan, kalau pendeta tersebut bisa membagi waktu, tetapi apakah kemampuannya membagi waktu juga bisa berarti mampu segala-galanya mengatur waktu sampai tidak ada waktu yang bertabrakan/bersamaan sama sekali antara tugas gerejawi dengan tugas sekuler yang dikerjakannya? Pertimbangkan hal ini dengan bijaksana. Saya TIDAK mengatakan bahwa menjadi pendeta berbisnis itu sesat atau berdosa, namun yang saya mau tekankan: pertimbangkanlah matang-matang sebelum Anda menjadi bi-vocational pastor.
B. Contoh yang Dipakai
Bi-vocational pastors selalu mendukung profesi mereka dengan memberi contoh bahwa Paulus juga seorang tukang temah (Kis. 18:3), demikian juga Yesus yang juga seorang tukang kayu, dan beberapa nabi di Perjanjian Lama. Ya, saya mengamini bahwa Paulus juga seorang tukang kemah dan ia bekerja demikian bukan supaya ia menjadi lebih kaya, tetapi untuk membiayai pelayanannya sendiri dan membantu pelayanan bagi jemaat-jemaat yang dilayaninya. Namun, Paulus adalah salah satu contoh rasul Kristus yang bekerja sambilan sambil melayani Tuhan, karena Petrus, Yohanes, dll tidak bekerja sambilan. Tuhan memanggil Paulus berbeda dari cara Tuhan memanggil Petrus, Yohanes, dll dan itu bisa kita maklumi. Namun jangan memakai alasan karena Paulus bekerja sambilan, maka yang mau jadi pendeta harus bekerja sambilan (hal ini sudah menjadi kebiasaan di gereja kontemporer pop zaman ini, sehingga saya jarang menemukan pendeta yang tidak bekerja sambilan di kalangan gereja kontemporer yang pop ini). O ya, satu lagi, teman gereja saya, Bp. Jimmy Sumendap, M.T. pernah menanggapi begini, kalau para bi-vocational pastor selalu mencontoh Paulus yang bekerja sambilan, seharusnya mereka juga harus mencontoh profesi sambilan Paulus, yaitu menjadi tukang kemah dan tidak bekerja yang lain, supaya lebih “Alkitabiah” gitu loh, hahaha (just kidding)
Kembali, dari contoh Paulus, seorang rekan saya pernah berkata bahwa hamba Tuhan/pendeta yang berbisnis lebih dihargai ketika memberitakan prinsip-prinsip etika berbisnis yang Alkitabiah ketimbang pendeta yang tak berbisnis, karena pendeta yang berbisnis sudah mengalaminya sendiri. Prinsip ini ada benarnya dan logis, namun tidak bisa dijadikan standar. Apakah berarti kalau begitu semua pendeta harus berbisnis supaya bisa mengajar jemaat tentang etika berbisnis? Bagaimana ketika pendeta cowok mengajar tentang cara menjadi istri yang taat pada suami? Apakah si pendeta cowok harus menjadi istri/cewek dulu? Apakah kalau mau mengajar jemaat tentang prinsip keadilan, maka si pendeta harus menjadi hakim terlebih dahulu? Bagaimana ketika pendeta cowok yang belum menikah yang berkhotbah eksposisi dari Surat Efesus, lalu tiba pada nas Efesus 5:22-33 tentang hubungan suami-istri? Apakah si pendeta jomblo ini akan berhenti khotbah, lalu mempersilahkan pendeta yang telah menikah untuk mengkhotbahkannya? Kita kembali ke Alkitab dan melihat sendiri contoh Paulus bahwa Paulus adalah rasul Kristus yang tidak menikah (1Kor. 7:7) dan uniknya Paulus yang tidak menikah adalah Paulus yang memberi nasihat tentang hubungan suami-istri di Efesus 5:22-33 dan Kolose 3:18-19. Jika demikian, apakah nasihat Paulus tidak berarti sama sekali hanya karena Paulus tidak menikah?
O ya, kalau bi-vocational pastors memakai Paulus sebagai teladan, pertanyaannya, mengapa yang diambil teladannya hanya urusan membuat tenda saja? Seharusnya mereka harus konsisten meneladani Paulus, dari prinsip theologi, penggembalaan, dan penginjilannya. Mereka juga harus meneladani Paulus yang sambil menjadi tukang kemah sanggup menggembalakan jemaat yang lebih dari satu dan memberitakan Injil ke negara yang jauh sampai di Roma. Apakah bi-vocational pastors sanggup melakukan hal itu? Kalau disuruh tent-making ala Paulus, banyak pendeta mau, namun kalau disuruh menggembalakan gereja lebih dari 1 apalagi memberitakan Injil sampai luar negeri yang belum mengenal Injil sama sekali seperti Paulus, banyak bi-vocational pastors langsung berkata, “Panggilan Paulus tidak sama dengan panggilan saya.” (catatan: panggilan di sini merupakan kamuflase dari arti yang sebenarnya: gue gak mau kayak Paulus) Ini artinya, mereka hanya mau mengerjakan apa yang mereka sukai dari teladan Paulus, sedangkan yang sulit, enggan mereka kerjakan. Konsisten dong.
Lalu, apakah untuk mengajar jemaat yang berbisnis, maka diperlukan pendeta yang berbisnis? Tidak selalu. Jika mungkin, itu baik, tetapi bukan suatu kemutlakan, karena setiap orang Kristen yang termasuk anak-anak Tuhan dipanggil oleh Kristus untuk menjadi garam dan terang bagi dunia di mana pun mereka berada (Mat. 5:13-16). Dengan kata lain, pendeta yang tidak berbisnis dapat memberikan tips etika Alkitabiah di dalam bisnis dan jemaat Tuhan yang terpanggil itulah yang menjalankannya. Di beberapa gereja Protestan, ketika ada acara seminar atau persekutuan yang membahas masalah bisnis, maka biasanya ada dua pembicara, yaitu: pendeta/hamba Tuhan yang mengajar konsep theologisnya dan pebisnis Kristen yang menjalankannya. Begitu juga dokter Kristen yang mengerti etika Kristen di bidang medis seharusnya berbagi berkat tentang etika Kristen di dalam medis kepada jemaat Kristen. Tentu saja pendeta yang mau mengajar jemaat tentang etika Kristen di bidang medis bukanlah pendeta yang harus menjadi dokter dahulu baru didengarkan nasihatnya (jika pendeta itu juga merangkap menjadi dokter itu tidak menjadi masalah, tetapi itu bukan suatu kemutlakan). Nah, kecenderungannya, ada dokter Kristen yang merangkap juga sebagai pendeta tidak menjalankan kedua profesi itu dengan baik. Saya menemukan fakta di Surabaya, ada seorang dokter Kristen yang merangkap menjadi pendeta di sebuah gereja terbesar di Surabaya yang melakukan kesalahan diagnosa terhadap seorang pasien (bahkan si pasien hampir meninggal akibat salah diagnosa tersebut) dan di dalam gereja tempat dia melayani, dia juga dipecat karena terbukti melecehkan perempuan. Kasus ini memang kasus khusus yang tidak boleh ditarik kesimpulan bahwa pendeta tidak boleh merangkap menjadi dokter, namun biarlah kasus khusus ini menyadarkan kita untuk kembali kepada panggilan Tuhan yang sungguh-sungguh di dalam hidup kita.
Bagaimana dengan contoh Yesus yang kerap kali dipakai untuk mendukung konsep bi-vocational pastor? Mereka mengutip Markus 6:3 sebagai dasar bahwa Yesus pun sambil melayani sambil menjadi tukang kayu, benarkah demikian? Alkitab tidak pernah mencatat bahwa sambil melayani dan memberitakan Injil, Kristus menjadi tukang kayu. Jika mau dipikir logis dari catatan Alkitab, Kristus sibuk memberitakan Injil dari kota ke kota beserta para rasul, mungkinkah setiap kali Ia memberitakan Injil di setiap kota, Ia juga menjadi tukang kayu? Alkitab TIDAK pernah mencatat bahwa ketika Yesus pergi ke Samaria untuk memberitakan Injil, lalu Ia mencari kayu yang hendak dipotong untuk dijadikan suatu barang, dll. Lalu, benarkah Yesus berprofesi sebagai tukang kayu? Ya, karena ayah-Nya, Yusuf seorang tukang kayu, tetapi Ia pernah menjadi tukang kayu mungkin sebelum Ia terjun ke pelayanan pemberitaan Injil lintas wilayah. Yang lebih tidak masuk akal, saya pernah membaca artikel dari Ev. Bedjo Lie, M.Div. yang pernah menuturkan bahwa ada seorang “pendeta” dari gereja kontemporer yang pop yang jelas-jelas menganut “theologi” kemakmuran menulis bahwa Yesus sebenarnya bukan tukang kayu, tetapi pengusaha mebel, wkwkwk Sejak kapan Yesus jadi bos besar? Padahal Alkitab dengan jelas mencatat bahwa Ia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20).
VI. SIKAP ORANG KRISTEN
Bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen menyoroti pendeta berbisnis?
A. Presuposisi
Sebelum membahas sikap Kristen berkenaan dengan bi-vocational pastor, ada beberapa presuposisi yang harus kita benahi terlebih dahulu.
1. Siapakah Pendeta?
Sebelum membahas boleh atau tidak pendeta berbisnis, pertama-tama definisikan siapa pendeta. Pendeta adalah pemimpin gereja atau pelayan Tuhan yang melayani pekerjaan Tuhan penuh waktu di gereja yang bertugas: berkhotbah, menjalankan sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus), memimpin/mengadakan rapat gereja, menjalankan disiplin gerejawi, mengadakan pembesukan, dll. Beberapa orang Kristen menyanggah bahwa banyak pendeta sekarang tidak mengadakan pembesukan, dll, kalau masalah itu, biarkan saja. Fakta tidak berarti itu yang harus dilakukan.
2. Apa Arti Bekerja?
Bekerja di sini berarti menjalankan suatu bisnis, entah itu memimpin perusahaan, membuka pabrik/toko pribadi, bekerja di perusahaan orang lain, atau bekerja non bisnis, seperti: dokter, hakim, dll. Di dalam pekerjaan tersebut, Anda bisa menjalankan pekerjaan itu sendiri atau menyuruh orang lain mengurus pekerjaan kita.
3. Apa Arti Melayani Tuhan?
Menjadi pendeta dan usahawan (businessman) atau dokter, hakim, dll, manakah yang lebih melayani Tuhan? Jawabannya: dua-duanya, namun beda konteks. Usahawan dan profesi lainnya, seperti: dokter, hakim, dll melayani Tuhan di bidang masing-masing sesuai panggilan Tuhan yang unik bagi masing-masing pribadi. Di bidang tersebut, mungkin mereka bisa membagikan Injil kepada rekan bisnis atau pasien atau koleganya, namun fokusnya bukan pada hal-hal gerejawi. Sedangkan pendeta merupakan orang khusus yang Tuhan panggil untuk melayani-Nya sepenuh waktu yang tentunya bertugas untuk hal-hal gerejawi seperti: berkhotbah, menjalankan sakramen, menjalankan disiplin gerejawi, dll dan hal-hal tersebut tidak boleh dikerjakan oleh usahawan atau dokter, dll yang tidak ditahbiskan. Dengan adanya pembedaan konteks dalam melayani Tuhan, maka dokter Kristen yang beres yang ingin melayani Tuhan TIDAK perlu harus menjadi pendeta terlebih dahulu, tetapi layani Tuhan melalui diagnosa dan operasi yang teliti dengan keyakinan bahwa ia bekerja seperti untuk Tuhan (Kol. 3:23).
4. Apa Arti Panggilan?
Seorang yang melayani Tuhan tentunya juga seorang yang meresponi panggilan Tuhan yang unik. Ada yang dipanggil Tuhan untuk melayani-Nya penuh waktu sebagai penginjil atau pendeta; ada juga yang dipanggil Tuhan untuk melayani-Nya di bidang hukum, pendidikan, bisnis, ekonomi, sosial, medis, dll. Masing-masing anak Tuhan harus menggumulkan secara serius untuk menemukan dan meresponi panggilan Tuhan tersebut dalam hidupnya. Tidak ada seorang pun yang dapat memaksakan panggilan Tuhan itu. Namun perlu diwaspadai mengenai kata “panggilan”, karena kata agung ini telah dicemari oleh hal-hal yang tidak bertanggung jawab. Hal ini mirip seperti kata “beban” yang kerap kali dipakai oleh banyak orang Kristen hari-hari ini. Bagi mereka, “beban” diidentikkan dengan kesukaan pribadi, padahal definisi beban berarti sesuatu yang berat yang Tuhan perintahkan agar kita menjalankannya. Bagi G. I. Jeffey Siauw, M.Div., beban dikaitkan dengan orang (mengutip perkataan dari teman beliau) dan tujuan dari beban tersebut. Misalnya, orang yang katanya terbeban menggembalakan, perlu dipertanyakan, siapa yang digembalakan dan orang yang digembalakan tersebut dan yang digembalakan itu mau menjadi seperti apa? (http://jeffreysiauw.blogspot.com/2011/04/beban.html) Seperti kata beban yang sudah banyak diselewengkan, maka kata “panggilan” pun banyak diselewengkan. Misalnya ada yang berkata, “Saya terpanggil untuk menjadi pendeta sekaligus businessman.” Pertanyaan saya, benarkah ia dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi pendeta sekaligus businessman? Saya memang tidak berhak menghakimi motivasi orang itu, karena itu menjadi tanggung jawab pribadinya di hadapan Tuhan. Namun yang saya soroti adalah apakah orang Kristen yang berkata bahwa itu panggilan Tuhan benar-benar merupakan panggilan Tuhan ataukah ia hanya “merasa” dipanggil Tuhan, tetapi sejujurnya Tuhan tidak pernah memanggilnya menjadi pendeta? Benarkah mereka yang katanya bi-vocational pastor benar-benar dipanggil Tuhan untuk menjadi bi-vocational pastor ataukah istilah “panggilan” atau vocation itu hanya sekadar lip service untuk menutupi motivasinya yang ingin cepat kaya atau bahkan sebenarnya mereka menyukai tentmaking tersebut dan bukan karena benar-benar panggilan Tuhan atas dirinya? Sekali lagi, jangan salah mengerti, saya TIDAK sedang menghakimi motivasi orang, saya hanya menyajikan suatu refleksi saja untuk direnungkan bersama.
5. Apa Motivasinya?
Jika seorang pendeta yang berprofesi ganda memang sungguh-sungguh dipanggil Tuhan untuk bekerja “sekuler”, maka yang perlu dipertanyakan, apa motivasinya? Saya mengetahui ada 2 orang pendeta dari gereja kontemporer yang pop yang theologinya cukup beres yang juga seorang yang bekerja “sekuler”, karena mereka menganggap bahwa gereja yang mereka layani tidak mampu membiayainya dan salah satu dari mereka bekerja “sekuler” karena ingin menjadi berkat bagi gereja dan jemaat yang dilayaninya. Bagi saya, tentu motivasi ini tidaklah salah dan bisa dimaklumi. Namun, kalau si pendeta yang ingin berbisnis itu motivasinya ingin cepat kaya yang terlihat dari ambisinya memiliki dan mengembangkan banyak perusahaan, padahal ia sudah meraup “keuntungan” dari persepuluhan gerejanya yang berjumlah minimal Rp 18.000.000, 00 per bulan, maka hal itu tentu tidak dapat dibenarkan, karena motivasinya sudah jahat di mata Tuhan (bdk. uraian saya di bagian motivasi poin ketiga).
6. Gereja Model Apa yang Dilayaninya?
Keputusan untuk memperbolehkan atau melarang pendeta berprofesi ganda juga harus dikaitkan dengan gereja model/macam apa yang dilayaninya, mengapa? Karena masing-masing gereja memiliki kebijakan tersendiri. Ada gereja yang memiliki peraturan untuk menggaji pendeta secara langsung dari sinode, sedangkan ada gereja yang menetapkan bahwa pendeta digaji dari hasil persembahan jemaatnya. Nah, kebanyakan pendeta yang berprofesi ganda itu berasal dari gereja yang menetapkan bahwa pendeta digaji langsung dari hasil persembahan jemaatnya, meskipun tidak menutup kemungkinan dari gereja yang digaji dari sinode.
B. Aplikasi: Bijak Bersikap
Keenam dasar presuposisi di atas mengarahkan kita untuk mempertimbangkan bahwa pendeta boleh berprofesi ganda dengan catatan penting, yaitu:
1. Ujilah Motivasi dan Tujuan
Mengutip jawaban Ev. Yuzo Adhinarta, Ph.D. melalui SMS, pendeta boleh berprofesi ganda asalkan motivasi dan tujuan dasarnya adalah benar-benar memuliakan Tuhan dan bukan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Artinya, kalau si pendeta benar-benar berprofesi ganda, maka pikirkanlah statusnya sebagai pendeta di tempat kerja “sekuler”nya. Jangan sampai sebagai pendeta, Anda bekerja dengan tidak disiplin atau berkata kotor kepada pegawai atau customer Anda atau bahkan Anda menipu orang lain.
2. Pertimbangkan Secara Bijak Setiap Keputusan yang Anda Buat
Erick Underwood dalam artikelnya Should I Become a Bi-Vocational Pastor memberikan saran kepada bi-vocational pastors, “Think carefully about how the decision will impact you and your family” (=Berpikirlah hati-hati tentang bagaimana keputusan akan berdampak pada Anda dan keluarga Anda.) (http://www.parsonage.org/articles/ministry/A000000319.cfm) Oleh karena itu, seorang pendeta yang berprofesi ganda harus benar-benar mempertimbangkan waktu, tenaga, dan biaya yang dipakainya untuk urusan gerejawi, profesi sampingan, keluarga, dll. Diperlukan suatu kebijaksanaan dalam mengatur ketiga hal di atas.
3. Responilah Panggilan-Nya
Erick Underwood dalam artikelnya menyatakan bahwa jika ada pendeta yang benar-benar dipanggil untuk berprofesi ganda, maka responi panggilan Tuhan itu dengan kesadaran bahwa motivasinya bukan untuk mencari lebih banyak uang atau motivasi lain.
4. Pilihlah Pekerjaan yang Fleksibel
Erick Underwood juga menyarankan bi-vocational pastors untuk memilih pekerjaan yang bisa ditinggal sewaktu-waktu atau didelegasikan kepada orang lain, karena mengingat mereka juga adalah pendeta yang harus menjalankan tugas gerejawi.
5. Prioritaskan Mana yang Terpenting
Sebuah artikel di web Presbyterian Church of U.S.A. menjelaskan bahwa bagi bi-vocational pastors, urusan gerejawilah yang harus diprioritaskan lebih daripada pekerjaan lain. Konsep ini logis dan bisa dibenarkan, karena panggilan utamanya adalah menjadi pendeta, sedangkan panggilan sambilannya adalah bekerja sekuler. Jika panggilan utama digadaikan demi mengurusi panggilan sambilan, itu salah, karena bagaimana pun juga, hal-hal rohani lebih penting daripada hal-hal sekuler, meskipun hal-hal sekuler tetap perlu!
6. Persiapkan Khotbah Dengan Bertanggung Jawab
Seorang bi-vocational pastor yang memang terpanggil untuk berprofesi ganda yang berkomitmen untuk memprioritaskan urusan gerejawi harus juga berkomitmen untuk benar-benar mempersiapkan khotbah setiap hari Minggu dengan bertanggung jawab. Aturlah waktu seefektif dan sebijak mungkin untuk benar-benar membaca Alkitab, mempelajarinya dengan teliti dengan bantuan software penggalian Alkitab (seperti Bible Works, dll), Interlinear, buku-buku tafsiran Alkitab, dll, merenungkannya, dan menyusunnya di dalam sebuah khotbah yang benar-benar menggali Alkitab, namun tetap aplikatif.
7. Delegasikan Tugas Rutin Gerejawi Kepada Beberapa Jemaat
Erick Underwood kembali menyarankan bagi bi-vocational pastors untuk mendelegasikan tugas rutin gerejawi (seperti: visitasi jemaat, dll) kepada beberapa jemaat untuk mengurusnya. Atau mungkin dengan mempersiapkan beberapa jemaat untuk memimpin acara kecil di gereja, misalnya Persekutuan Doa, KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) atau cell-group, dll. Namun patut diperhatikan, meskipun ada pendelegasian tugas rutin gerejawi ini, pendeta tetap tidak boleh mengandalkan mereka 100%, karena ada beberapa tugas penting gerejawi yang harus dikerjakan. Sebisa mungkin, pendeta juga perlu ikut terjun ke dalam beberapa tugas gerejawi yang dianggap “sepele”, seperti visitasi/pembesukan, penginjilan, dll. Beberapa pendeta yang karena sibuk dengan berbagai administrasi gereja, dll akhirnya mengabaikan permintaan tolong jemaat untuk memberitakan Injil kepada saudaranya dan menyerahkan tugas tersebut kepada tim penginjilan yang sudah ada di gereja, padahal saudara si jemaat ini memang perlu diinjili oleh pendeta yang lebih mengerti theologi ketimbang jemaat biasa di dalam tim penginjilan. Visitasi adalah salah satu bentuk penggembalaan yang seharusnya digarap oleh seorang gembala sidang atau pendeta yang melayani di gereja. Harus diakui ada dua kecenderungan ekstrem gereja dewasa ini: gereja yang satu sangat memperhatikan persekutuan yang hangat (dan penggembalaan) tetapi mengabaikan doktrin yang penting (kebanyakan anti doktrin), namun di sisi lain ada gereja yang sangat menekankan pentingnya doktrin tetapi anti persekutuan (meskipun ada nama “persekutuan” di komisi pemudanya) dan masa bodoh dengan penggembalaan dengan dalih penggembalaan bisa didapat dari mimbar. Gereja seharusnya tidak ekstrem seperti di atas, tetapi berusaha menjalankan keduanya dengan seimbang. Saya melihat selama ini di Surabaya, gereja yang menjalankan pembinaan doktrin yang cukup ketat ditambah persekutuan yang hangat dan penggembalaan adalah Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus yang digembalakan oleh Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M.
8. Jangan Melupakan Waktu untuk Keluarga
Bagi bi-vocational pastors, Erick Underwood kembali mengingatkan agar mereka menyediakan waktu untuk keluarga, karena keluarga juga merupakan hal penting selain kedua profesi mereka. Adalah sangat memalukan jika ada pendeta yang sibuk berkhotbah dan berprofesi lain, namun keluarganya berantakan tidak karuan. Lebih memalukan, jika ada cucu dari pendeta besar di Surabaya yang hidupnya tidak karuan.
9. Bersekutu dengan Pendeta Lain yang Tidak Bekerja.
Bi-vocational pastors seharusnya tidak mengasingkan diri dari pendeta lain di gereja yang mereka melayani, tetapi harus bersekutu dengan pendeta lain khususnya yang tidak bekerja (atau non bi-vocational pastors). Interaksi demikian dimaksudkan untuk saling berbagi berkat di antara mereka untuk saling menguatkan dan menegur demi pertumbuhan mereka sebagai pendeta dan berkat bagi jemaat yang mereka layani.
VII. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Saya mengerti bahwa menjadi pendeta bukanlah pekerjaan mudah, apalagi menjadi pendeta dan gembala sidang di sebuah gereja dengan jumlah jemaat yang tidak terlalu banyak, namun kendala demikian bukanlah alasan bagi mereka yang terpanggil untuk menjadi pendeta untuk mundur dari panggilan pelayanan. Silahkan berprofesi ganda bagi mereka yang benar-benar terpanggil untuk itu, namun jangan menjadikan profesi sampingan itu sebagai prioritas dalam hidup seorang pendeta, karena prioritas hidup pendeta adalah pelayanan gerejawi. Bijaklah dalam mengambil keputusan. Kiranya Tuhan menolong kita untuk meresponi panggilan-Nya dengan sungguh-sungguh demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.
No comments:
Post a Comment