13 October 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:8-10 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:8-10

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:8-10



Bagian ini merupakan kelanjutan dari penjelasan Paulus tentang dasar bagi hak-hak para rasul. Hak ini bukan hanya didasarkan pada pertimbangan rasional dari kehidupan sehari-hari (ay. 7), tetapi juga dari Hukum Taurat (ay. 8-12). Alur berpikir Paulus di bagian ini sebenarnya sangat mudah untuk diikuti. Di ayat 8 ia memberikan kalimat transisi yang mengindikasikan perpindahan argumen. Di ayat 9-10 ia mengutip dan menafsirkan salah satu teks dari Hukum Taurat. Terakhir ia mengaplikasikan teks itu dalam konteks kerasulan (ay. 11-12a). Tidak lupa ia menambahkan bahwa sekalipun ia sangat berhak untuk menerima tunjangan dari jemaat, namun ia memutuskan untuk tidak mau menggunakan hak tersebut (ay. 12a).


Transisi Argumen (ay. 8)
Menurut sebagian penafsir cara Paulus berargumentasi di bagian ini menunjukkan bahwa ia sangat menguasai retorika Hellenis kuno. Sama seperti ahli retorika maupun filsuf Yunani waktu itu, Paulus memberikan dukungan bagi poin yang ia sampaikan dari realita kehidupan sehari-hari (dunia ketentaraan, pertanian, dan penggembalaan), lalu ia menggunakan sumber yang dianggap berotoritas (Hukum Taurat). Perpindahan dari argumen rasional ke argumen otoritatif seperti ini memang biasa ditemukan dalam retorika Yunani kuno.

Contoh lain yang dapat kita lihat adalah khotbah Paulus di depan para filsuf di Atena. Ia mula-mula mengajak mereka berpikir secara rasional bahwa konsep penyembahan berhala merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena Allah tidak dapat dibatasi oleh tempat dan Ia tidak membutuhkan apa pun dari manusia (Kis. 17:24-25). Setelah itu Paulus mengutip beberapa ajaran pujangga mereka yang dianggap otoritatif (Kis. 17:27-28). Jika ini memang benar, maka kita bisa melihat dengan jelas bahwa ketidakmauan Paulus untuk menyampaikan injil menurut hikmat dunia ini (1:18; 2:1-5) bukan disebabkan ia tidak menguasai retorika maupun filsafat. Ia sangat paham. Ia sengaja menghindari hal tersebut agar penerimaan injil tidak didasarkan pada kefasihan bicara maupun kepandaian pemberita, tetapi pada kekuatan Roh.

Paulus menyebut argumen di 1 Korintus 9:7 sebagai “pikiran manusia” (LAI:TB). Dalam teks Yunani kata yang dipakai adalah kata anthrōpon (“menurut manusia”). Frase ini beberapa kali muncul dalam tulisan Paulus. Makna yang dikandung bisa negatif (1Kor. 3:3), netral (1Kor. 15:32; Gal. 1:11) atau positif (Gal. 3:15). Penggunaan ini menunjukkan bahwa apa yang ada dalam realitas kehidupan manusia tidak selalu benar dan bisa dijadikan dasar bagi pandangan kita. Allah memang masih memberikan anugerah umum di dalam dunia sehingga kita masih bisa melihat kebenaran ilahi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi kita juga harus ingat bahwa dunia ini adalah dunia yang sudah tercemar dengan dosa. Ada banyak ketidakbenaran yang sedang berlangsung di dalamnya.

Penjelasan di atas sekaligus memberitahu kita bahwa orang Kristen tidak hanya puas dengan argumen rasional yang didasarkan pada realita di dunia. Kita harus memiliki dasar kebenaran dari firman Tuhan. Inilah yang ditekankan Paulus di ayat 8. Ia sengaja meletakkan kata “jangan” (mē) dan “menurut manusia” (kata anthrōpon) di bagian awal ayat 8 untuk memberikan penekanan (“bukan hanya pikiran manusia!...”). Paulus juga mendasarkan argumen pada Taurat (nomos). Kata ini muncul berkali-kali dalam tulisan Paulus. Arti yang diungkapkan juga sangat beragam. Nomos bisa merujuk pada seluruh PL (1Kor. 14:21), era keselamatan yang lama (Rm. 6:14) maupun tulisan Musa (1Kor. 9:8). Arti terakhir inilah yang dimaksudkan Paulus dalam bagian ini, sebagaimana tampak dari kutipan yang ada di ayat 9 (dari Ul. 25:4).


Kutipan dan Penafsiran (ay. 9-10)
Sebagaimana sudah disinggung di atas, Paulus mengutip dari Ulangan 25:4 “jangan memberangus mulut lembu yang sedang mengirik”. Pada jaman dahulu lembu merupakan binatang favorit untuk mengirik hasil ladang. Para petani biasanya melakukan pengirikan di tempat yang datar dan agak keras (berbatu). Mereka menancapkan sebuah tiang yang kuat persis di bagian tengah. Lalu beberapa ekor lembu yang sudah dipasang kuk diikat pada tiang tersebut. Lembu-lembu itu selanjutnya harus berjalan memutari tiang itu sambil menginjak hasil ladang yang diletakkan di bawah. Pengirikan ini bertujuan untuk melepas kulit dari suatu tanaman (misalnya biji gandum). Dalam budaya Indonesia mungkin bisa disamakan dengan pelepasan padi dari tangkainya (walaupun tidak terlau persis sama).

Poin yang ingin disampaikan Paulus dengan mudah dapat dilihat. Sebagaimana lembu yang mengirik diperbolehkan makan dari hasil adang yang mereka irik, demikian pula dengan para pekerja yang lain. Paulus ingin menegaskan bahwa semua pekerja (termasuk binatang sekalipun!) berhak mendapatkan upahnya. Problem pelik dalam penggunaan kutipan PL ini terletak pada cara Paulus memahami teks tersebut. Ayat 9b-10a seakan-akan menyiratkan bahwa di mata Paulus Ulangan 25:4 tidak berbicara tentang lembu, tetapi tentang para rasul. Kesan ini menjadi semakin kuat dalam beberapa versi Inggris yang menerjemahkan frase Yunani di’ hēmas pantōs di ayat 10a dengan “seluruhnya untuk kita” (ESV/RSV). Sebagian penafsir menganggap Paulus telah melakukan kesalahan di sini. Ia mungkin mengabaikan konteks asli dari Ulangan 25:4 atau ia mempraktekkan penafsiran alegoris yang berusaha mencari arti rohani di balik setiap kata.

Jika kita amati dengan teliti, maka kita memiliki alasan yang sangat memadai untuk meyakini bahwa Paulus tidak melakukan kesalahan dalam pengutipan ini.
(1) Kita perlu memahami bahwa kata pantōs memiliki banyak arti. Dalam konteks ini arti yang paling tepat adalah “sesungguhnya” (NIV “surely”). Dengan demikian Paulus tidak menolak bahwa Ulangan 25:4 memang berbicara tentang lembu (bdk. Ams. 12:10 “orang benar memeprhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam”). Ia hanya menarik makna yang sesungguhnya dari perintah tersebut yang dapat diaplikasikan pada kehidupan manusia.
(2) Konteks Ulangan 24-25 secara umum memang berbicara tentang kewajiban memberikan hak kepada pihak yang layak menerimanya, baik itu hak orang-orang miskin maupun binatang. Paulus hanya mengambil inti dari keseluruhan konteks ini dan menerapkannya pada konteks hak para rasul.
(3) Paulus memakai metode penafsiran yang umum di kalangan para rabi Yahudi, yaitu qal qahomer. Metode ini mengajarkan bahwa apa yang benar untuk hal-hal yang kurang penting pasti lebih benar lagi untuk hal-hal yang lebih penting. Yesus pun pernah memakai metode ini ketika Ia mengajarkan murid-murid untuk tidak kuatir tentang makanan, minuman, dan pakaian. Kalau burung di udara dan bunga di padang Allah pelihara, terlebih lagi orang-orang percaya pasti akan dipelihara oleh-Nya (Mat. 6:25-30).
(4) Apa yang dilakukan Paulus dapat dilihat sebagai perluasan aplikasi dari Taurat. Seperti kita ketahui, Alkitab tidak membahas tentang segala sesuatu. Alkitab bersifat cukup (sufficient), bukan lengkap. Alkitab tidak ditulis untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia, tetapi memberi tahu manusia apa yang mereka perlu ketahui. Dalam situasi yang berbeda diperlukan aplikasi yang berbeda, walaupun intinya tetap sama. Paulus dalam bagian ini bukan sedang menekankan what it meant (waktu di masa lampau), tetapi what it means (arti untuk masa kini dalam konteks yang spesifik).
(5) Paulus melihat Taurat dalam perspektif eskatologis orang Kristen. Taurat memang diberikan dalam konteks yang spesifik untuk orang percaya di PL, namun Taurat juga ditulis untuk orang-orang percaya di PB (1Kor. 10:11 “Semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup pada waktu, di mana zaman akhir telah tiba”).

Semua penjelasan di atas membuktikan bahwa Allah juga memperhatikan lembu. Jangankan lembu, burung di udara pun Allah pelihara (Mat. 6:26; 10:29). Jika binatang saja Allah pelihara dan atur hidupnya sedemikian rupa, apalagi orang-orang percaya atau hamba-hamba-Nya. Allah pasti akan memperhatikan kita senantiasa.

Setelah Paulus mengutip Ulangan 25:4 dan menjelaskan bahwa teks itu juga untuk paa rasul, ia lalu menjelaskan bahwa pembajak dan pengirik harus melakukan semua itu dalam pengharapan (ay. 10b). Dari kalimat Yunani yang ada terlihat bahwa Paulus sedang menegaskan kata “dalam pengharapan” (ep’ elpidi). Kata ini muncul dua kali. Pemunculan pertama diletakkan sebelum “pembajak membajak” (ay. 10b, lit. “haruslah dalam pengharapan seorang pembajak membajak”).

Penggunaan kata “pembajak” (ho arotriōn) dan “pengirik” (ho aloōn) menyiratkan bahwa Paulus sedang memperluas aplikasi dari Ulangan 25:4. Ia tidak lagi membicarakan lembu secara khusus, tetapi pembajak dan pengirik secara umum. Pemakaian frase “dalam pengharapan” jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud Paulus dengan “pembajak” dan “pengirik” di sini bukanlah lembu. Perluasan aplikasi ini sesuai dengan poin yang akan ditekankan Paulus dalam bagian ini.

Untuk mempertegas hak para pembajak atau pengirik, Paulus memakai kata yang sangat tegas, yaitu opheilo (“harus”). Posisi kata ini di bagian awal ayat 10a (bahkan sebelum ep’ elpidi!) menunjukkan bahwa Paulus memberi penekanan khusus bagi kata ini (seolah-olah ia ingin mengatakan, “harus; tidak boleh tidak!”). Kekuatan dari kata ini juga terlihat apabila kita mengetahui bahwa kata ini sering kali dipakai untuk kewajiban atau keharusan dalam hal utang-piutang. Sebagaimana sebuah hutang wajib dibayar, demikian pula upah seorang pekerja juga harus dipenuhi. Pembajak bukan hanya “boleh” atau “berhak” mengharapkan dari yang ia kerjakan. Ia bahkan “harus” melakukan pekerjaannya dalam pengharapan.

Ketika jemaat memberikan sesuatu kepada hamba Tuhan, maka itu adalah sebuah keharusan ilahi. Tidak ada yang perlu dibanggakan dari tindakan ini, kecuali memegahkan anugerah Allah yang sudah memampukan orang itu untuk memberi. Pemberian kepada hamba Tuhan tidak boleh dilakukan dengan dasar keterpaksaan, belas-kasihan (melihat penderitaan hamba Tuhan) atau motivasi untuk menguasai hamba Tuhan tersebut. Pemberian kepada hamba Tuhan harus menjadi bentuk ketaatan terhadap firman Tuhan.

Bagi hamba Tuhan, teks ini meyakinkan kita terhadap pemeliharaan Tuhan. Apa pun kebutuhan untuk kehidupan dan pelayanan kita, Tuhan pasti akan menyediakan melalui anak-anak-Nya. Kita tidak perlu meminta kenaikan tunjangan hidup, menjadi pengemis di depan jemaat, atau bahkan sekadar memberi sinyal-sinyal tertentu kepada jemaat. Bukan jemaat yang memelihara hidup kita. Allah adalah pemelihara hidup kita, walaupun Ia sering kali melakukan itu melalui kemurahhatian jemaat. Soli Deo Gloria. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 24 Januari 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2009%20ayat%2008-10.pdf