22 February 2009

Roma 13:10: UTANG KASIH-2: Kasih yang Tidak Berbuat Jahat

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-12


Utang Kasih-2: Kasih yang Tidak Berbuat Jahat

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 13:10.



Setelah membahas tentang mengasihi sesama di ayat 9, Paulus menjelaskan arti yang lebih mendalam tentang mengasihi sesama manusia. Dunia mengerti bahwa mengasihi sesama berarti berbuat baik bagi sesama. Apakah hal ini salah? Tidak. Alkitab sendiri mengajar bahwa mengasihi sesama manusia berarti tidak berbuat jahat kepada sesama kita. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 10, “Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.” Apa artinya kasih tidak berbuat jahat? Terjemahan dari bahasa Yunaninya adalah tidak melakukan yang jahat/yang salah (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear, 2003, hlm. 867-868). International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Love never does anything that is harmful to its neighbor.” (= Kasih tidak pernah melakukan apa pun yang berbahaya bagi sesamanya.) Literal Translation of the Holy Bible (LITV) menerjemahkannya, “Love does not work evil to the neighbor.” (=Kasih tidak melakukan yang jahat kepada sesama.) New King James Version (NKJV) menerjemahkannya, “Love does no harm to a neighbor;” (=Kasih tidak membahayakan sesama;) English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “Love does no wrong to a neighbor;” (=Kasih tidak melakukan yang salah kepada sesama;) King James Version (KJV) menerjemahkannya, “Love worketh no ill to his neighbour:” (=Kasih tidak melakukan yang jahat kepada sesama.) Kata “jahat” dalam bahasa Yunaninya adalah kakos berarti worthless (tidak bernilai). Dengan kata lain, kasih yang tidak berbuat jahat adalah kasih yang tidak berbuat sesuatu yang tidak bernilai. Artinya, kasih sejati adalah kasih yang melakukan sesuatu yang bernilai kepada orang lain/sesamanya. Hal ini mirip dengan pengajaran Paulus di pasal dan ayat sebelumnya, yaitu di pasal 12 ayat 9, yaitu, di mana kasih menjauhi kejahatan. Dunia kita mengajarkan prinsip yang terbalik. Dunia kita memang mengajar bahwa kasih itu berarti memberikan yang baik atau berbuat baik bagi sesama. Tetapi apa konsep baik itu? Dunia kita tidak bisa mendefinisikan dengan tepat. Mereka beranggapan bahwa baik itu adalah yang menguntungkan, menggembirakan, dll, sedangkan yang tidak menguntungkan itu tidak baik. Alkitab mengajarkan konsep yang bertolak belakang dari konsep dunia, meskipun kelihatan mirip. Alkitab mengajar bahwa kasih itu melakukan sesuatu yang bernilai kepada sesama. Di sini, baik dikaitkan dengan bernilai. Apakah yang dimaksud dengan baik yang bernilai? Di ayat sebelumnya (13:9), Paulus telah membahasnya bahwa inti hukum Taurat adalah mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri dan Tuhan Yesus juga mengajar bahwa mengasihi Allah dahulu baru mengasihi sesama manusia (Mat. 22:37-40). Dari dua alasan ini, kita mendapatkan gambaran bahwa berbuat baik adalah berbuat sesuatu yang bernilai dan berbuat sesuatu yang bernilai adalah berbuat sesuai nilai kebenaran Allah. Ketika kita berbuat sesuatu sesuai nilai kebenaran Allah, maka tentu apa yang kita lakukan akan berbeda total dengan apa yang dunia ajarkan dan praktikkan. Ini diakibatkan karena konsep nilai kita didasarkan pada konsep nilai kekekalan, bukan kesementaraan. Seseorang yang memiliki konsep nilai kekekalan, dia pasti memiliki hati, motivasi, pola pikir, dan perbuatan baik yang mengutamakan prinsip-prinsip kekekalan, yaitu: kebenaran, kesucian, keagungan, kebajikan, keadilan, dll. Sedangkan orang yang tidak memiliki konsep nilai kekekalan, dia pasti mempraktikkan seluruh pola pikir dan tindakan yang berpusat pada nilai kesementaraan (antroposentris). Dari konsep ini, kita bisa membedakan sendiri antara kasih yang theosentris vs kasih yang antroposentris.


Kembali, lalu bagaimana kita bisa memiliki kasih yang berbuat sesuatu yang bernilai kepada orang lain/sesama kita?
Pertama, kasih yang menguatkan sesama. Kasih yang berbuat sesuatu yang bernilai itu adalah kasih yang menguatkan. Menguatkan di sini berarti memberikan kekuatan kepada sesama kita di kala sesama kita sedang bersedih atau lemah imannya. Bagaimana kita bisa menguatkan sesama? Ketika sesama/rekan kita sedang kesusahan karena ditinggalkan salah satu keluarganya, kita sering kali menghiburnya dengan mengutip rangkaian kata-kata mutiara dari Alkitab. Itu tidak salah, tetapi kurang tepat. Mengapa? Karena pertama, penghiburan bukan datang dari rangkaian kata-kata mutiara Alkitab yang kita kutip, tetapi dari kesungguhan hati kita bersimpatik kepadanya. Kedua, mungkin sekali orang yang sedang berduka menuding kita secara implisit bahwa kita bisa berkata demikian karena kita tidak mengalami musibah seperti dirinya. Di sini, kita perlu bijaksana untuk menguatkan sesama kita yang sedang berduka. Bagaimana dengan sesama kita yang lemah imannya? Kadang kala ketika kita mengetahui bahwa sesama kita imannya lemah, kita langsung melontarkan ratusan ayat Alkitab. Itu kurang tepat. Tindakan kita yang lebih bijaksana adalah mendengarkan apa yang dia utarakan mengenai kelemahan imannya dan alasannya. Di dalam mendengarkan, Ev. Agus Barlianto Sadewa, M.T.S. mengajarkan konsep pertamanya yaitu memperhatikan (attention). Artinya, di dalam mendengarkan, kita perlu memperhatikan teman/rekan kita yang bicara. Dengan terus memperhatikan, kita bisa mengetahui akar masalah mengapa sesama kita memiliki iman yang lemah. Misalnya, seorang teman saya yang Kristen kurang memiliki hati untuk Tuhan, mengapa? Karena dia sempat berkata bahwa dia banyak mengalami hal-hal yang dia tidak inginkan, misalnya HPnya dicuri waktu di mall, beberapa perhiasannya bisa hilang di rumah sendiri, dll. Saya mencoba mendengarkan apa yang dia alami, lalu saya mencoba mengurusi inti masalahnya, yaitu kadang kala Tuhan mengizinkan semuanya terjadi demi kebaikan kita, bukan karena Tuhan itu jahat. Saya sendiri pribadi mengalami hal itu, di mana apa yang saya inginkan tidak terjadi dan di situ Tuhan mengajar saya banyak hal tentang apa arti menyangkal diri. Hal inilah yang saya bagikan kepada teman saya ini. Jadi, bukan hanya teori saja yang kita paparkan, tetapi galilah dari pengalaman hidup kita sendiri untuk dibagikan kepada sesama kita yang memiliki iman yang lemah.


Kedua, kasih yang menegur sesama. Selain menegur, kasih yang berbuat sesuatu yang bernilai bisa diwujudnyatakan dengan menegur sesama. Apa, menegur sesama? Bukankah kita sering mendengar ucapan seorang “Kristen”, “Jangan menghakimi” kepada orang Kristen/hamba Tuhan yang menegur dosa orang lain? Benarkah itu? TIDAK! Alkitab mengajar bahwa kita perlu menegur dosa! (bdk. 2Tim. 4:2) Justru, Alkitab mengajar bahwa ketika kita menegur, kita menunjukkan kasih kepada orang yang kita tegur. Tetapi, apakah teguran selalu bermakna kasih? Ya dan tidak. Ya, ketika teguran itu dilandasi oleh motivasi kasih, cara kasih, dan tujuan kasih. Tidak, ketika teguran itu dilandasi oleh motivasi, cara, dan tujuan yang tidak beres (menjatuhkan). Dua pembeda inilah yang juga membedakan antara perkataan “Kau berdosa” yang dilontarkan oleh Tuhan Allah vs iblis. Mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong, ketika Allah berkata, “Kau berdosa” kepada kita, itu berarti Ia mengingatkan kita bahwa kita berdosa, lalu disambung dengan perkataan, “maka bertobatlah kamu, karena Anak-Ku sudah mati bagimu,” tetapi ketika setan berkata, “Kau berdosa” kepada kita, itu berarti iblis mengatakan, “kau berdosa, enak jadi anak buahku.” Itulah teguran yang harus kita bisa bedakan.

Teguran yang sejati adalah teguran yang:
Pertama, lahir dari motivasi kasih. Teguran yang lahir dari motivasi kasih adalah teguran yang membangun. Saya akan memberikan ilustrasi. Ketika kita mengetahui ada teman kita yang (maaf) resleting celananya terbuka, apa yang kita lakukan? Membiarkannya? TIDAK! Kita pasti menegur/mengingatkannya. Ketika kita mengingatkannya, kita pasti melakukannya dengan motivasi kasih, yaitu, supaya teman kita itu tidak malu, bukan dengan motivasi menjatuhkan dia. Bagaimana dengan kita? Apakah kita menegur sesama kita dengan motivasi kasih? Biarlah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

Kedua, dilakukan dengan cara kasih. Teguran bukan hanya bermotivasi kasih, tetapi juga dengan cara kasih. Artinya, kita menegur sesama kita dengan cara-cara yang sopan, halus, tetapi tidak berkompromi. Hal inilah yang diajarkan Paulus di dalam 2Tim. 4:2 yaitu menegur mereka dengan kesabaran dan segala pengajaran. Artinya, kita tetap menegur dengan mengajar orang yang kita tegur, tetapi itu kita lakukan dengan kasih, bukan untuk menjatuhkan. Misalnya, ketika orangtua mengetahui bahwa anaknya kurang mandiri, adalah tindakan yang bijaksana jika orangtua tersebut tidak meneror anaknya sebagai “kurang mandiri,” tetapi orangtua tersebut seharusnya memberikan teguran dan saran positif bagaimana supaya anaknya mandiri. Jika ada orangtua yang terus meneror anaknya sebagai “kurang mandiri,” itu tidak ada bedanya dengan iblis yang meneror manusia! Itu bukan teguran dengan cara kasih, tetapi teguran dengan cara menjatuhkan (meskipun orangtua itu akan memakai segudang argumentasi “logis” bahwa dia menegur seperti itu karena dia “mengasihi” anaknya) dan itu yang iblis pakai ketika meneror manusia. Berhati-hatilah, bedanya tipis sekali. Tetapi, apakah berarti dengan demikian, kita harus terus lemah lembut kepada semua orang yang kita tegur? Ya dan tidak. Itu tergantung pada pimpinan Roh Kudus kepada kita. Ketika Roh Kudus memimpin kita untuk menegur seseorang dengan keras, maka kita harus menegur orang itu dengan keras. Meskipun keras, teguran itu pasti berdampak baik pada orang yang kita tegur, karena itu dalam pimpinan Roh Kudus. Sebaliknya, ada orang yang imannya masih kanak-kanak perlu ditegur dengan cara yang halus, itu pun kita harus peka pada pimpinan Roh Kudus. Jadi, cara kasih bukan berarti mutlak harus dengan lemah lembut, dll! Itu bukan kemutlakan, tetapi hanya sebuah cara yang harus disesuaikan dengan kepekaan kita menerima pimpinan Roh Kudus ketika menegur seseorang. Contoh, Tuhan Yesus menegur Petrus dengan mengatakan bahwa dia setan (Mrk. 8:33), apakah berarti Ia tidak menggunakan cara kasih ketika Ia menegur Petrus? TIDAK! Ia tetap mengasihi Petrus, tetapi cara yang Ia pergunakan adalah cara yang keras yang hanya ditujukan kepada Petrus yang menghalangi cara kerja Allah.

Ketiga, bertujuan kasih. Kasih yang menegur adalah menegur dengan tujuan kasih. Ini adalah tujuan terakhir dari sebuah teguran. Ketika teguran hanya berakibat orang yang ditegur menjadi marah, maka tujuan akhir dari teguran itu gagal. Tetapi jika teguran itu berakibat orang yang kita tegur berubah dan menjadi baik, maka tujuan akhir teguran kita berhasil. Di atas semuanya, Roh Kuduslah yang paling berperan, karena Ia lah yang memakai teguran kita efektif atau tidak bagi orang yang kita tegur. Dari konsep ini, hendaklah kita JANGAN pernah mengatakan bahwa jika orang yang kita tegur bertobat, lalu itu adalah usaha kita! JANGAN pernah mengambil kemuliaan Allah! Ketika orang yang kita tegur menjadi bertobat, itu berarti anugerah Allah, sedangkan kalau orang yang kita tegur tidak mau bertobat, itu berarti ada waktu Allah yang tidak ketahui atau mungkin orang yang kita tegur bukan umat pilihan-Nya. Biarlah tujuan akhir dari teguran kita benar-benar berpusat pada Allah, bukan pada diri kita. Ingatlah, Alkitab mengajarkan satu prinsip tunggal: ANUGERAH ALLAH! Jangan pernah membanggakan jasa baik kita apa pun, tetapi muliakan Tuhan saja! Hanya Tuhan! Hanya Tuhan! Biarlah kita disadarkan akan konsep ini.


Lalu, mengapa kita bisa mengatakan bahwa kasih itu tidak berbuat jahat kepada sesama? Paulus menjelaskan alasannya yaitu karena kasih adalah kegenapan hukum Taurat. Kegenapan di sini berarti kasih menggenapi/menuntaskan seluruh hukum Taurat. Dengan kata lain, inti hukum (Taurat) adalah kasih. Kasih itu meliputi 2 hal: kasih kepada Allah dan sesama (bdk. Mat. 22:37-40). Jadi, kita bisa mengasihi sesama kita dengan tidak berbuat jahat kepada sesama sesudah kita mengasihi Allah terlebih dahulu. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi sesama dengan berbuat sesuatu yang bernilai kepada sesama kita?


Biarlah setelah merenungkan 1 ayat ini saja, kita ditegur dan diingatkan betapa pentingnya kasih yang disertai kebenaran, keadilan, kesucian, keagungan, dan kebajikan. Maukah hari ini kita berkomitmen mengasihi sesama kita dengan kasih Allah sejati? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 13:24-29: CONDITION OF THE KINGDOM (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 1 April 2007
Condition of the Kingdom
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 13:24-29


Kita telah memahami sebelumnya bahwa Kerajaan Sorga bukan bersifat duniawi atau materi melalui perumpamaan, Tuhan Yesus membukakan hal Kerajaan Sorga yang berkait erat dengan iman dan respon manusia terhadap iman. Pada perumpamaan kedua kembali Tuhan Yesus membukakan tentang hal Kerajaan Sorga khususnya tentang kondisi dan situasi Kerajaan Sorga.
Alkitab membukakan bahwa Kerajaan Sorga itu tidak sama dengan yang dipikirkan oleh manusia. Banyak orang pikir Kerajaan Sorga itu gereja Tuhan dimana di dalamnya berisi orang-orang Kristen. Calvin pun ternyata pernah mempunyai pemikiran yang salah tentang Kerajaan Sorga. Calvin beranggapan Kerajaan Sorga itu adalah gereja dimana di dalamnya berisi anak-anak Tuhan yang baik dan taat maka untuk menjadikan seorang Kristen itu baik dan taat dibutuhkan pengajaran firman yang ketat dan benar. Perlu diingat, konteks Eropa pada jaman itu, sebagian besar orang sudah Kristen namun mereka tidak mendapat pengajaran Alkitab yang ketat dan benar. Calvin pun mulai mengajar setiap pagi tiap-tiap harinya, dia mengeksposisi ayat demi ayat dengan solid yang dapat kita jumpai sampai hari ini. Calvin beranggapan pengajaran yang salah itulah yang membuat orang Kristen tidak bertumbuh dan berbuah. Namun setelah sekian lama ia mengajar ternyata tidak ada perubahan dalam diri mereka sampai kemudian ia dibukakan akan perumpamaan tentang lalang dan gandum.
Pertama, Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladang-Nya. Benih yang baik itu seharusnya menghasilkan gandum yang baik akan tetapi ternyata, pada waktu semua orang tidur, datanglah musuh menaburkan benih lalang di antara gandum. Di tengah ladang itu kini, tumbuh lalang dan gandum; kedua tanaman ini kelihatan sama tetapi secara esensi berbeda. Jelaslah, bahwa yang dimaksud dengan Kerajaan Sorga itu bukanlah gereja. Kerajaan Sorga digambarkan dengan ladang dimana orang-orang di dalamnya digambarkan dengan gandum dan lalang. Calvin mulai menyadari ada dua esensi yang berbeda, yaitu: 1) gereja yang kelihatan, visible church, yakni gereja dengan papan nama dengan beberapa orang yang menjadi anggota jemaat. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua orang di dalamnya adalah warga Kerajaan Sorga? Jawabannya adalah belum tentu, tidak semua orang yang menjadi suatu anggota gereja maka ia termasuk warga Kerajaan Sorga maka, 2) gereja yang tidak kelihatan, invisible church, yakni gereja yang terdiri dari umat Allah yang sejati. Sejak itu, Calvin pun mulai menekankan penginjilan di dalam gereja disamping pengajaran yang ketat dan benar. Apalah artinya semua pengajaran yang baik kalau semua itu tidak mengubahkan hidup mereka.
Jangan campuradukkan invisible church dan visible church. Dalam gereja yang kelihatan, kita harus memilah antara lalang dan gandum. Secara esensi, gereja adalah umat Allah sejati. Kekristenan menekankan gandum haruslah dipelihara sedemikian rupa supaya menghasilkan buah yang baik dan membatasi lalang dengan demikian tidak bertumbuh dan berkembang. Dari perumpamaan ini, Matthew Henry menyadari pada saat gereja itu tertidur maka itulah waktunya iblis datang menabur benih lalang di dalamnya. Lain halnya kalau gereja itu setia dan waspada maka masuknya dan pertumbuhan lalang dapat dihambat. Hati-hati, si jahat tidak akan pernah tinggal diam; sewaspada apapun kita dan berjaga-jaga, iblis yang licik akan berusaha dengan segala cara memasukkan benih lalang dan mencemari ladang milik si tuan. Karena itu, hendaklah kita sadar dan janganlah tertidur sehingga iblis dengan bebas menebar benih lalang ke dalamnya. Ini menjadi salah satu kegagalan gereja saat ini yang tidak menjaga ladang gandumnya dengan baik.
Di suatu daerah, seorang pendeta muda dipercayai menggembalakan sekelompok jemaat di sebuah gereja namun karena beberapa faktor tertentu, membuatnya tidak dapat menjaga ladangnya dengan baik akibatnya berbagai pengajaran mulai masuk. Sementara waktu, secara kuantitas jumlah jemaat menjadi bertambah namun tidak secara kerohanian, kekacauan dan perpecahan mulai terjadi di dalam gereja. Sesungguhnya, jumlah jemaat yang bertambah palsu, mereka tidak pernah berhenti menuding yang salah demikian juga dengan para rasul, banyak itu tidak lebih hanyalah lalang belaka. Ketika si tuan itu membawa benih baik yang murni maka sudah menjadi tugas penjaga ladang untuk menjaga agar ladang itu tidak terkontaminasi dengan demikian gandum itu dapat menghasilkan buah berlipat ganda. Adalah menjadi tugas si penjaga ladang menghambat pertumbuhan lalang dan menjaga ladangnya. Itulah sebab, gereja reformed sangat ketat menjaga mimbar, setiap pengkhotbah haruslah mempunyai pengertian theologi yang benar dan ia harus diuji terlebih dahulu dengan demikian pertumbuhan lalang dapat dihambat. Perhatikan, menjaga ladang itu bukan hanya tugas seorang pendeta tetapi setiap anak Tuhan dipanggil untuk senantiasa waspada dan tidak menjadi terlelap. Perhatikan yang membawa ajaran sesat ke dalam gereja justru dilakukan oleh para jemaat itu sendiri dan jemaat tidak cukup waspada bahkan jemaat tidak memahami mana yang salah dan mana yang benar. Karena itu, jemaat harus menuntut diri sendiri untuk belajar selain mendapat pengajaran dari mimbar dan para pengajar juga melalui buku-buku yang benar yang ajarannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga ia bertumbuh dalam iman dengan demikian jemaat juga turut serta menjaga supaya ladang ini tidak diacak-acak oleh iblis. Biarlah gereja Tuhan itu hanya menjadi tempat dimana benih yang baik ditaburkan dan bertumbuh dan berbuah lebat dan berlipat ganda.
Kedua, Sepintas memang lalang dan gandum ini sangat mirip namun perhatikan, sesungguhnya si penjaga ladang itu dapat membedakan antara lalang dan gandum. Ia seorang yang ahli yang dapat membedakan antara lalang dan gandum. Berbeda halnya dengan orang awam yang tidak biasa bekerja di ladang akan sukar untuk membedakan antara lalang dan gandum. Demikian pula halnya di dalam gereja, kalau kita tidak peka sukar bagi kita membedakan antara palsu dan asli. Sebagai contoh, apakah karena semua mobil itu beroda empat, mempunyai satu kemudi dan ciri-ciri lain yang sama maka kita langsung menyimpulkan kalau semua mobil itu sama? Sepintas memang kelihatan sama tetapi seorang yang ahli di bidang permobilan langsung dapat membedakan bahkan dapat menyebutkan perbedaan dengan detail berbagai jenis mobil. Ini urusan di dunia materi pertanyaan bagaimana dengan hal Kerajaan Sorga? Hal Kerajaan Sorga adalah hal yang peka karena di situ ada dua unsur yang sangat mirip, yaitu gandum dan lalang dan hanya seorang ahli yang dapat membedakan diantara keduanya.
Kekristenan dipanggil untuk mempunyai ketajaman membedakan yang palsu dan asli. Kekristenan dipanggil untuk menyatakan kebenaran di tengah dunia berdosa. Seorang Kristen yang melihat ketidakadilan atau ketidakbenaran di tengah dunia tetapi ia tidak berani menyatakannya, ia hanya diam tidak peduli maka ia telah berdosa terhadap Tuhan, yakni dosa akan ketidakpedulian, dosa akan ketidakpekaan akan kebenaran. Tuhan ingin kita mempunyai kepekaan sehingga kita dapat membedakan antara lalang dan gandum. Hendaklah kita mengevaluasi diri apakah kita termasuk dalam jenis gandum ataukah lalang? Kalau seseorang itu gandum asli, ia pasti berasal dari benih gandum yang baik - benih firman yang ditaburkan oleh Kristus. Anak Tuhan sejati yang berasal dari benih yang baik akan nampak dari responnya, seberapa jauhkah ia bereaksi terhadap firman, seberapa jauhkah ia hidup dan bertumbuh dalam kebenaran firman? Seorang yang berasal dari benih yang buruk, ia akan menolak firman, ia tidak akan sejalan dengan firman sebaliknya, ia lebih suka dengan segala sesuatu yang palsu.
Alkitab menegaskan barangsiapa mengasihi Kristus, ia memegang perintah-Nya dan melakukannya; barangsiapa percaya pada Kristus maka ia adalah murid-Ku. Seorang murid sejati adalah seorang yang setia pada Firman dan mengerti kebenaran; dan orang yang berada dalam kebenaran maka kebenaran itu akan memerdekakan (Yoh. 8). Kalau seorang mengaku percaya kepada Kristus tetapi ia tidak hidup dalam firman, tidak mencintai firman, tidak setia dengan firman maka pertanyaan sesungguhnya, ia gandum atau lalangkah? Banyak orang yang beranggapan salah bahwa hanya dengan percaya Kristus maka manusia akan diselamatkan dan beroleh hidup kekal. Pernyataan itu tidak berhenti sampai di situ saja tetapi yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah percaya seperti apa? apakah hanya sekedar pernyataan kosong yang tidak ada makna? Ingat, meskipun kita telah menjadi Kristen dan ke gereja selama puluhan tahun namun kalau tidak ada perubahan dalam diri membuktikan kita bukan murid sejati; kita tidak lebih hanya lalang yang hanya memanipulasi firman demi memuaskan keinginan dan jiwa berdosa kita. Tuhan Yesus membukakan kebenaran kenapa orang tidak dapat mengerti firman karena sesungguhnya, mereka tidak lebih adalah anak iblis. Ironisnya dibukakan tentang hal ini tidak menjadikan mereka bertobat sebaliknya mereka melawan Tuhan Yesus bahkan mereka melempari Tuhan Yesus dengan batu dan bermaksud membunuh-Nya.
Adalah tugas setiap Kristen sejati menyatakan kebenaran di tengah dunia berdosa dan menyadarkan manusia akan dosa. Pada jaman Perjanjian Lama, para nabi dengan keras menyatakan mana sejati mana mereka dengan tegas menyatakan akan kesalahan. Hari ini, ketika orang dibukakan akan kebenaran orang tidak berterima kasih dan bertobat tetapi malah menuduh balik bahwa ia telah menghakimi. Perhatikan sikap si tuan pemilik ladang, ketika si penjaga ladang itu memberitahukan kepada tuannya tentang benih lain yang bercampur dengan gandum, si tuan tidak menyalahkan atau menuduh si penjaga ladang telah membuat tuduhan yang salah. Tidak! Perhatikan, ketika si penjaga meminta ijin supaya ia mencabut lalang ini, si tuan tidak mengijinkannya. Inilah yang dimaksud dengan menghakimi; ketika kita dapat memilah antara salah dan benar maka tindakan melakukan vonis bukan hak kita. Orang seringkali lebih ingin bertindak menurut keinginan kita. Si tuan tidak langsung mencabut lalang, disini kita melihat kesabaran anugerah Tuhan sekaligus spirit of the Kingdom. Cara kerja Tuhan berbeda dengan cara dunia.
Di dunia tidak mengenal toleransi, orang langsung menindak menurut caranya sendiri sebaliknya, Tuhan masih berbelas kasih, Tuhan masih panjang sabar memberikan kesempatan pada kita untuk bertobat. Karena itu, jangan sia-siakan anugerah Tuhan. Tuhan punya cara dan waktu tersendiri untuk menentukan vonis. Tuhan tidak membiarkan kita yang melakukan vonis karena alasan yang sangat signifikan, yakni ketika mencabut lalang, kemungkinan gandum ikut tercabut juga. Ketahuilah, Tuhan Yesus tahu kalau ia mempunyai bendahara yang tidak jujur meskipun para murid yang lain tidak tahu dan perlu diingat, bukan Tuhan yang memilih Yudas untuk jadi bendahara; Tuhan memilih dia menjadi murid. Dalam cinta kasih Tuhan, Dia berkali-kali memperingatkan Yudas melalui berbagai pengajaran bahkan di detik terakhir yakni pada perjamuan terakhir, Tuhan Yesus langsung menunjuk: dialah yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya, dia yang menyerahkan Aku namun toh peringatan keras itu tidak menjadikan Yudas bertobat. Yudas masuk dalam kebinasaan kekal.
Hendaklah kita belajar dari sejarah, kalau Tuhan berpanjang sabar pada bangsa Israel maka itu Tuhan masih memberikan kesempatan untuk bertobat namun mereka tidak sadar sampai akhirnya Tuhan murka dan menghukum mereka dalam kebinasaan. Ketika kita melihat cinta kasih Tuhan, seberapa jauhkah hal itu menyadarkan kita untuk bertobat?
Ketiga, Alkitab membukakan sekalipun banyak lalang yang tumbuh, hal itu bukan menjadi halangan gandum untuk bertumbuh. Kerajaan Sorga itu akan tetap bertumbuh namun pada titik terakhir pasti akan datang penghakiman Tuhan. Jangan pernah berpikir akan ada pengecualian buat anak Tuhan. Tidak! Tuhan menuntut kita untuk berbuah, tidak ada alasan yang membuat kita tidak berbuah. Banyak orang Kristen yang berdalih segala macam alasan karena ia tidak mau berbuah. Jangan pernah berpikir karena Tuhan cinta dan penuh anugerah maka lalang dapat masuk ke dalam lumbung Tuhan. Tidak! Ingat, lalang akan dibakar, pohon yang tidak menghasilkan buah harus dipotong. Allah sejati tidak berkompromi dengan dosa. Allah telah memilih dan menetapkan kita supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap.
Warga Kerajaan Sorga sejati adalah orang yang menghasilkan buah dan orang seperti inilah yang akan menjadikan Kerajaan Sorga ini besar seperti sebuah pohon sehingga burung dapat bernaung dalamnya. Orang yang mengaku Kristen tetapi ia tidak pernah berbuah, ia hanya menanti kebajikan dan belas kasihan Tuhan tanpa pernah berbuat apa-apa maka ia bukanlah anak Tuhan sejati; ia tidak lebih hanya lalang yang harus dibakar. Tidak ada kemungkinan lain selain dibuang. Alkitab berulang kali menegaskan kalau garam itu menjadi tawar maka ia akan diinjak dan dibuang; pohon anggur yang tidak berbuah harus dipotong, dibuang dan dibakar. Hal ini seharusnya menyadarkan manusia bahwa Kedaulatan Allah tidak dapat dipermainkan. Biarlah kita mengevaluasi diri sudahkah kita menghasilkan buah? Adalah tugas dan tanggung jawab setiap anak Tuhan untuk membesarkan seluruh pekerjaan Tuhan. Inilah inti dari perumpamaan lalang dan gandum yang Tuhan mau coba gambarkan melalui perumpamaan Kerajaan Sorga.
Dunia semakin hari semakin menuju pada kehancuran biarlah kita dipakai Tuhan dan berani menyatakan kesalahan dan membawa mereka pada kebenaran sejati. Tuhan panggil kita menjadi alat-Nya yang menerangi dunia yang gelap dan menjadi garam yang mengasinkan dunia yang hambar dengan demikian kita dapat menghasilkan buah dan buah kita lebat. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: