03 May 2009

CORAT-CORET SEPUTAR FACEBOOK (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.)

CORAT-CORET SEPUTAR FACEBOOK

oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.)




Meminjam istilah dari Saudara Wie Khiong, saya tidak berpura-pura untuk mengetahui seluruh seluk beluk Facebook melalui tulisan ini. Lagipula orang yg ndak punya Facebook apa boleh melakukan corat-coretan tentang Facebook? Hmmm, setelah bergumul beberapa saat saya mengambil keputusan ... Boleh! Lho, ini seperti orang Arminianist tulis tentang theologi Calvin dong? Ya, tapi siapa yang bilang orang anti-Calvinism ndak boleh tulis tentang Calvin? Boleh saja, bahkan dari situ kita bisa belajar theological concern yang mereka teriakkan di dalam ketidak-setujuan tsb, dan mungkin, bisa menjadi kritik yang membantu (terlepas dari gambarannya karikatural atau tidak) untuk terus melakukan koreksi internal terhadap ketidak-sempurnaan theologi kita sendiri. Seperti sering dikatakan oleh seorang hamba Tuhan yang diurapi: kritik mungkin adalah bocoran penghakiman Tuhan yang diberikan kepada kita sebelum hari kiamat. Berbahagialah mereka yang tidak autis, karena merekalah yang empunya progresi terus-menerus dalam hidup ini. Hei Mr. K, tadi katanya mau tulis tentang Facebook, kok malah puter-puter di Arminianism - Calvinism lagi sih! Sabar dong Mr. B, ini kan baru introduksi dulu, prolegomena!
K : hmm, saya juga suka tuh mainan lego. Saya juga seorang pro lego, dan kalau saya lagi main, saya belajar untuk tidak semena-mena. Saya adalah seorang penganut prolegomena!
B : Ndak lucu Mr. K L OK, sekarang mari kita melakukan corat-coretan seputar Facebook. Boleh kan?
K : Ya, boleh saja, itu hak asasi Anda, asal ... tolong saya juga diajak ikut main ya. Jangan corat-coret sendiri. Nanti Anda bikin gambaran karikatur lagi.
B : Lho, emangnya kenapa kalau saya mau bikin gambaran karikatur? Boleh juga kan?
K : Ya, kalau Anda mempunyai bakat karikatur sih boleh saja, tapi kalau Anda tidak diberikan Tuhan bakat itu, maka ...
B : Maka apa?
K : Anda yang akan jadi karikaturnya, Mr. B!
B : Tapi kalau saya tidak keberatan dijadikan karikatur?
K : Hmmm, that's interesting. Ya, boleh juga J
B : Sekarang tentang Facebook. Facebook.
K : Ya, terusin aja, jangan bertele-tele!
B : Begini lho, setiap orang itu pada dasarnya narcis! Dia mau mukanya dilihat oleh orang lain.
K : That is a daring thesis, Mr. B!
B : Sudah gitu, dia berpura-pura jadi celebrity di situ, padahal tampang aja juga kagak kesampaian.
K : Mr. B?
B : Lalu dia menikmati ke-‘terkenalan’nya itu, secara autisme tentunya, dengan hyper GR-nya, bahwa semua orang pasti tertarik dengan foto-foto yang dipajangnya, termasuk juga cerita-cerita pribadinya yang dibuat seolah-olah adalah berita halaman utama di koran internasional.
K : Mr. B, Anda mulai keterlaluan di sini.
B : SEBENTAR TOH! BIARKAN SAYA SELESAI GAMBAR KARIKATUR INI DULU, nanti Anda boleh kasih komentar, OK?
K : Astaga, saya baru tahu ternyata Anda juga bisa teriak-teriak gitu ya.
B : Coba bayangkan kenapa namanya Facebook. Adakah DENGKULbook, atau JEMPOLKAKIbook?
K : Oh, Mr. B, I think you forget to drink your medicine today. O ... o ...
B : Mana ada orang yang mau join di DENGKULbook yg persyaratannya adalah tidak boleh mempertontonkan apa pun kecuali dengkul. Anda bisa bayangkan foto dengkul-dengkul dimasukkan ke dalam berbagai macam Album perdengkulan. Dengkul pada pagi hari, pada siang hari, dengkul sebelum tidur, dengkul setelah baru kecentok meja marmer, dengkul lagi diperban, dsb. Coba, siapa yang mau lihat hayo?
K : Wah, Anda benar-benar ngaco ngomongnya, sama sekali tidak aristokratis.
B : Seunik-uniknya dengkul manusia, dan meskipun tidak ada satu dengkulpun yang sama di dunia ini, saya jamin tetap nggak ada yang mau lihat, ya kan?
K : (silence)
B : Ya kan?
K : (repeated silence)
B : Mr. K. Hallloooo ..... Anybody there? OK, kalau begitu, nah sekarang kita berpindah kepada JEMPOLKAKIbook.
K : SUDAH, SUDAH! Tentang jempol kaki ndak usah dibahas lagi, saya kira-kira sudah tahu Anda mau bergerak ke mana. Bisakah kita ngomong sesuatu yang theologis, karena saya ini adalah seorang ‘ahli Taurat.’
B : Semua yang kita bicarakan tadi mempunyai makna theologis Mr. K, sesungguhnya kita ndak bisa membicarakan apa-apa secara benar tanpa perspektif theologis. OK. Sampai mana tadi? Oh ya, tentang jempol kaki.
K : Sudah saya bilang URUSAN JEMPOL KAKI SUDAH SELESAI!
B : OK, OK, OK. Kita juga bisa ngomongin yang lain kalau Anda ndak senang. Seperti tadi saya bilang, dengan Facebook, orang sebenarnya sedang memelihara narcistic spiritnya! Coba Anda juga lihat blog-blog itu, termasuk yang ditulis oleh orang-orang Kristen. Ah, mereka cerita apa saja, sampai kucingnya kesandung pun ditulis di blog coba! Totally autistic and narcistic! Who cares coba? Siapa yang peduli dengan kucingnya? Siapa hayo, siapa?
K : Orang-orang green peace?
B : Hah? Ada ya? Hmm. Gimana kalau saya panggil mereka ke rumah saya?
K : Ada apa ya?
B : Saya bisa memodali mereka untuk membuka peternakan kecoa. Di tempat saya banyak soalnya. Hmm, mudah-mudahan mereka mau ya.
K : Balik ke persoalan Facebook, Mr. B., apa Anda yakin bahwa semua pengguna Facebook adalah seperti yang Anda gambarkan tadi?
B : Tergantung pada kata “semua” itu, maksudnya di sini adalah semua dalam pengertian semua universal atau semua orang pilihan.
K : Hei, kita ndak sedang bahas itu sekarang! So incontext-sensible! OK, sekali lagi ya: Anda yakin tidak bahwa semua pengguna Facebook adalah seperti itu?
B : Saya boleh balik bertanya: Anda yakin tidak bahwa semua pengguna Facebook tidak ada yang punya kecenderungan seperti itu?
K : hmm, ndak tahu, saya belum melakukan perhitungan statistik. Lagipula, saya bukan penganut empirisisme.
B : Kalau begitu, biarlah kalimat itu berbicara. Kalau pun tidak ada yang begitu, ya itu adalah khotbah untuk you Mr. K!
K : gleg (menelan ludah) Tapi, masa Facebook hanya sekadar dimengerti sebagai pameran muka. Gambaran karikatur Anda agaknya terlalu reduktif. Bisakah bahas yang rada berpengharapan?
B : Hmm. Yang rada berpengharapan ya. Sebentar ya, saya natur orangnya pesimis sih. Hmm. Sebentar .... (tiba-tiba keluar lampu seperti pada Mr. Akal) Nah, ini nih! Kata seorang filsuf pertemuan dengan wajah itu membawa kita pada perjumpamaan dengan orang lain. Di situ kita keluar dari kurungan autisme diri sendiri, pecah dari kecenderungan egologi.
K : Egologi? Ekologi maksud Anda?
B : Bukan, egologi.
K : EKologi!!
B : Saya bilang: e g o l o g i.
K : Bukan! E K O L O G I.
B : Nah, ya ini yang namanya autis. Ya persis gini ini! Gak mau mendengarkan orang lain. Ngotot sendiri. Anda kesepian lho kalau hidup begini terus.
K : Kesepian, mengapa?
B : Karena Anda akan mengalami apa yang disebut “alienasi modern.”
K : Alien vs. Monster?
B : Ah, sudahlah! Saya mulai curiga, Anda ini autis atau malah sebenarnya budhek! Kita lanjutkan lagi: perjumpaan dengan wajah sesama itu menuntut suatu tanggung-jawab.
K : Wow, sounds so serious. Apa ini ajaran Kristen ya?
B : Pemikiran itu sebenarnya banyak mengambil dari Perjanjian Lama. Kalau kita baca dari terang Perjanjian Baru di situ kita membaca bahwa kemuliaan Allah terpancar sempurna pada wajah Kristus (2Kor. 4:6). Perjumpamaan dengan wajah Kristus itu juga menuntut suatu tanggung-jawab yang besar: suatu keputusan yang harus diambil.
K : Keputusan apa itu?
B : Keputusan untuk menerima Dia sebagai Pribadi yang merefleksikan kemuliaan Allah secara sempurna atau autis dan tetap tidak mau mendengar apa yang dikatakan oleh-Nya.
K : Apa yang dikatakan oleh-Nya?
B : “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat. 11:28)
K : Kelegaan ... Saya letih dalam hidup ini, letih untuk membuktikan diri bahwa saya hebat dan patut dikagumi oleh banyak orang. Saya selalu berusaha untuk tampil sempurna, dengan harapan orang lain boleh menerima saya. Saya pajang foto-foto yang terbaik di Facebook supaya orang memberikan komentar-komentar yang menyanjung saya. Eh, saya malah dikritik kanan kiri, katanya fotonya kurang simetris lah, itu cahayanya datang dari arah yang salah, kenapa ada kucing di situ, dsb dsb. Oh .... mama! (sambil menangis)
B : Hei sudah-sudah. Kita belum selesai pembicaraan kita. Nah, Facebook itu bisa menjadi spiritual exercise.
K : SPIRITUAL EXERCISE? Anda ini memang orang ekstrem, tadi bilang narcis, sekarang spiritual exercise? Itu kontradiksi kan? Atau Anda mau bilang lagi-lagi PARADOX?
B : Bukan, itu bukan paradoks tapi kontradiksi memang. Artinya Anda harus memilih salah satu dan meninggalkan yg lainnya.
K : Saya akan memilih bagian yang baik kalau begitu dan meninggalkan pilihan yang jelek.
B : Kita bisa menggunakan Facebook itu bukan untuk memamerkan our own face, but to see other's face. Perhatikanlah wajah manusia itu, tidakkah itu memancarkan kemuliaan Allah juga?
K : Tergantung, kalau muka orang yang saya suka dan suka saya ya iya, tapi kalau orang yang saya gak suka, ya .... sulit ya membayangkan kemuliaan Allah di situ.
B : Kalau Anda belajar mengasihi orang lain sebagaimana apa adanya, Anda akan semakin melihat pancaran kemuliaan Allah dalam wajah sesama Anda.
K : Really?
B : Ya, bahkan ketika Anda belajar tidak hanya melihat wajah Anda di depan cermin yang sudah bosan melihat wajah Anda.
K : Hei ...
B : Dan mulai belajar untuk memperhatikan wajah sesama Anda beserta dengan segala pergumulan mereka, wajah Anda sendiri juga akan semakin memancarkan kemuliaan Allah.
K : Wow, aesthetically promising ...
B : Keindahan wajah seseorang tidak dinilai dari berapa hebat seseorang merias dirinya sendiri dan mempertontonkannya pada orang lain, melainkan dari berapa dalam dia menatap wajah sesamanya di dalam kasih Kristus. Orang yang mengasihi Allah dengan kasih yang tulus bahkan tidak memperhatikan wajahnya sendiri, dia tidak jaim, dia tidak ada waktu untuk itu karena dia lebih tertarik untuk memperhatikan wajah sesamanya. Dan pada akhirnya, dia sendiri akan diberi pahala untuk melihat kemuliaan Allah muka dengan muka (1Kor. 13:12). Itulah puncak dan akhir dari semua perjalanan rohani kita di dunia ini.
K : Mr. B, kemarin Anda bilang katanya harus ada kaitan antara limited atonement dan Facebook. Gimana itu?
B : Mr. K, limited atonement lain kali aja ya, sekarang sudah larut malam, kemarin I only had some limited sleep, so hari ini I should get some universal sl... I mean ... enough sleep. Lagipula besok adalah saat datang beribadah kepada Tuhan, kita semua akan mencicipi pemandangan wajah Tuhan melalui mata iman kita, let us prepare to enjoy God's special presence tomorrow. Solus Christus, Sola Gloria Dei.



Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE (Sabtu, 25 April 2009; Pkl. 21.25 WIB)




Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.) lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah menamatkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin pada tahun 1996 Pdt. Billy Kristanto melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory). Beliau melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Jakarta sejak Februari 1999 and pada tahun yang sama memulai studi theologi di Institut Reformed. Setelah lulus pada tahun 2002 dengan mendapatkan gelar Master of Christian Studies (M.C.S.) beliau menjabat sebagai Dekan School of Church Music di Institut Reformed Jakarta. Ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII di tahun 2005 beliau saat ini menggembalakan jemaat MRII Berlin, MRII Hamburg, PRII Munich, dan Persekutuan Reformed Stockholm. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi doktoral (Ph.D.–Cand.) di bidang musikologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianty Herawati dan dikaruniai dua orang anak, Pristine Gottlob Kristanto dan Fidelle Gottlieb Kristanto.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.



Sedikit catatan dari Denny Teguh Sutandio:
Artikel ini harus dicermati dengan bertanggungjawab oleh para pengguna Facebook. Lebih tajam lagi, para pengguna Facebook sebenarnya TIDAK berdosa jika memiliki account Facebook asalkan mereka benar-benar bertanggungjawab secara motivasi, bukan hanya asal nampang.

Roma 15:1-3: JEMAAT YANG SALING MENGUATKAN DAN MENYENANGKAN

Seri Eksposisi Surat Roma:
Menjadi Berkat Bagi Sesama-2


Jemaat yang Saling Menguatkan dan Menyenangkan

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:1-3.



Setelah menjelaskan bahwa anak Tuhan harus menjadi berkat dengan mengejar sesuatu yang mendatangkan damai dan saling membangun/menguatkan di pasal 14 ayat 19 s/d 23, maka Paulus melanjutkan pembahasannya pada aplikasi bagaimana jemaat bisa saling menguatkan. Mengapa saya mengatakan bahwa pasal 15 ayat 1-6 merupakan kelanjutan dari 14:19-23? Karena di ayat 1, Paulus menggunakan kata “Maka” dalam teks aslinya. Terjemahan Baru LAI menerjemahkannya, “Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.” Terjemahan Baru LAI ini tidak menunjukkan adanya kaitan tersebut. Beberapa terjemahan Inggris ada yang menerjemahkan dengan menambahkan kata then (kemudian), sedangkan beberapa terjemahan Inggris lainnya tidak menerjemahkannya. English Majority Text Version (EMTV), King James Version (KJV), Modern King James Version (MKJV), James Murdock New Testament, 1833 Webster Bible menerjemahkannya dengan menambahkan kata then (=kemudian). God’s Word menerjemahkannya dengan menambahkan kata So (=Oleh karena itu/Jadi). Kata Yunani yang dipakai adalah de bisa diterjemahkan tetapi, dan, dll (but, and, etc). Kata ini menurut struktur bahasa Yunaninya adalah sebuah kata sambung (conjunction) yang menghubungkan kalimat sebelum dan sesudahnya secara setara (coordinating, bukan subordinating). Dengan kata lain, kita mendapatkan pengertian bahwa setelah kita dituntut oleh Paulus untuk menjadi berkat bagi sesama dengan mengejar sesuatu yang mendatangkan kedamaian dan saling membangun, kita dituntut untuk mengaplikasikannya di dalam persekutuan jemaat. Kita yang mengaplikasikannya ini disebut Paulus sebagai orang yang kuat. Kata “kuat” di dalam bahasa Yunaninya adalah dunatos yang berarti berkuasa atau mampu (powerful, capable). Berarti, kita disebut oleh Paulus sebagai orang yang berkuasa atau mampu. Berkuasa dalam hal apa? Berkuasa/mampu dalam mengerti hal-hal rohani. Sesuai konteks, kita mengerti bahwa kata ini dipakai untuk mereka yang bebas makan makanan apa pun tanpa terikat. Nah, agar kita menjadi berkat bagi sesama dengan menguatkan mereka, maka Paulus mengatakan bahwa kita harus membatasi kebebasan kita demi sesama kita. Bagaimana caranya? Paulus membagikannya menjadi dua cara, yang saya sebut sebagai cara positif dan pasif negatif. Cara itu adalah:
Pertama, wajib menanggung kelemahan orang yang lemah. Kata “menanggung” dalam bahasa Yunani adalah bastazō bisa berarti mengangkat (to lift), menanggung/membawa (to bear), membawa (to carry), dll. Di dalam Perjanjian Baru, kata ini muncul sebanyak 27x dan bisa diterjemahkan memikul, mengusung, memberitakan, menahan (penderitaan), bahkan mencuri. (Hasan Sutanto, 2003, Konkordansi Perjanjian Baru Yunani-Indonesia, hlm. 148) Dalam struktur bahasa Yunaninya, kata kerja ini berbentuk present (terus-menerus) dan aktif. Lalu, kata “kelemahan” di sini dalam bahasa Yunaninya adalah asthenēma bisa berarti kelemahan (infirmity) atau keberatan hati nurani (a scruple of conscience). Kata ini hanya muncul satu kali di dalam Perjanjian Baru. Sesuai konteks, kelemahan di sini lebih tepat diterjemahkan seperti arti dari bahasa Yunaninya yaitu keberatan hati nurani, karena konteks menunjukkan bahwa ada jemaat Roma (khususnya yang masih berpegang ada adat-istiadat Yahudi) yang memiliki keberatan hati nuraninya kalau memakan sesuatu yang tidak halal. Dengan kata lain, kita yang kuat rohaninya dituntut oleh Paulus untuk terus-menerus ikut menanggung keberatan hati nurani sesama jemaat yang lemah hati nuraninya. Ikutnya kita bersama-sama memikul keberatan hati nurani sesama jemaat yang lemah membuktikan bahwa kita memperhatikan mereka dan kita sudah menjadi berkat bagi mereka. Bagaimana caranya ikut menanggung keberatan hati nurani jemaat yang lemah ini? Di dalam 1 Korintus 8:13, Paulus memberikan contoh konkritnya yaitu ia tidak akan makan daging selama-lamanya jika makanan tersebut menjadi batu sandungan bagi sesama jemaat. Kalau Paulus bisa mempraktikkan apa yang diajarkannya, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita siap ikut menanggung keberatan hati nurani sesama jemaat? Kalau di konteks Paulus, itu menunjuk kepada makanan, maka di zaman sekarang, itu bisa menunjuk kepada perbedaan doktrin secara sekunder. Kita tidak mau memahami kelemahan/keberatan jemaat lain yang mungkin belum mengerti doktrin-doktrin Alkitab secara mendalam seperti yang telah kita pelajari, tetapi sering kali kita menjadi sombong, lalu mengajar mereka yang tidak mengerti dengan istilah-istilah yang sulit. Ketika kita tahu bahwa ada jemaat yang kurang mengerti atau lemah imannya, bukankah kita yang lebih kuat imannya dipanggil menguatkan mereka, bukan sok jagoan mengajar mereka dengan istilah-istilah theologi yang rumit? Ini menjadi refleksi bagi kita yang sudah belajar theologi. Theologi yang kita pelajari sering membuat kita menjadi sombong di dalam mengajar dan berkhotbah, sehingga pendengar yang belum tentu semuanya berpendidikan tinggi diharuskan mengerti apa yang kita beritakan/ajarkan. Tugas Kekristenan dan theologi yang sehat adalah menjadikan theologi itu “mendarat” di bumi dengan istilah-istilah yang mudah dimengerti namun jelas, berisi, dan bertanggungjawab.

Kedua, tidak mencari kesenangan diri sendiri. Atau dalam terjemahan Yunaninya adalah jangan menyenangkan (KJV: please = menyenangkan) diri kita sendiri. Dalam struktur bahasa Yunaninya, kata kerja ini sama seperti kata kerja menanggung di poin pertama tadi, yaitu menggunakan keterangan waktu present (terus-menerus) dan aktif. Dengan kata lain, selain kita menanggung keberatan hati nurani sesama jemaat yang lemah, kita diperintahkan Paulus untuk secara negatif namun aktif untuk tidak terus-menerus menyenangkan diri kita sendiri. Mengapa? Karena bagi Paulus, orang yang terus-menerus menyenangkan dirinya sendiri adalah orang yang egois dan tidak memiliki kasih. Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih masa bodoh dengan keberatan hati nurani jemaat lain yang berbeda doktrin dengan kita? Biarlah poin ini menyadarkan kita untuk tidak egois. Orang yang egois tidak akan bisa menjadi berkat bagi sesama jemaat dan itu pun dibenci oleh Allah (bdk. ay. 3).


Setelah kita diajar untuk menanggung keberatan hati nurani orang lain dan tidak terus-menerus menyenangkan diri kita sendiri, lalu apa yang kita kerjakan selanjutnya? Di ayat 2, Paulus mengajarkan, “Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya.” Di ayat ini, kita diharuskan Paulus untuk menyenangkan sesama kita demi kebaikannya untuk membangun. Paulus sangat teliti memakai kalimat di ayat ini. Ia tidak mengajar bahwa kita harus mencari kesenangan sesama kita, lalu berhenti. Tetapi ia menyambung dengan mengatakan, “demi kebaikannya untuk membangunnya.” Tambahan perkataan ini sangat signifikan untuk kita pelajari. Kita menyenangkan sesama kita bukan untuk kepuasan sesama kita, tetapi demi kebaikannya. Apa bedanya demi kepuasannya dan demi kebaikannya? Jika kita menyenangkan sesama kita demi kepuasannya, itu dilatarbelakangi oleh kekesalan kita karena orang lain itu cerewet bukan main, maka kita menyenangkannya supaya dia merasa puas dan tidak cerewet. Tetapi jika kita menyenangkan sesama kita demi kebaikannya, berarti kita memperhatikan dan mengasihi jemaat tersebut. Ini dua motivasi dan tujuan yang berbeda. Bagaimana dengan kita? Ketika kita mencoba menyenangkan sesama kita, apa motivasi kita? Supaya dia puas dan tidak mengomel lagi ataukah kita benar-benar memperhatikan dan mengasihi mereka?

Cukupkah menyenangkan sesama kita hanya demi kebaikannya saja? TIDAK. Paulus mengatakan bahwa kita harus menyenangkan sesama kita untuk membangunnya. KJV menerjemahkan “membangun” sebagai edification (pendidikan moral atau pengajaran yang baik). Terjemahan dari bahasa Yunaninya adalah yang baik untuk pembinaan. (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 873) Dengan demikian, kita mengerti bahwa kita menyenangkan sesama kita tidak berarti kompromi, tetapi bertujuan untuk membina jemaat yang keberatan hati nurani itu supaya mereka bertobat dan kembali kepada pengajaran yang beres. Ujung-ujungnya, standarnya tetap adalah Kebenaran, bukan kompromi-isme seperti yang diilahkan oleh banyak orang postmodern. Bagaimana dengan kita? Apakah ketika kita menyenangkan sesama, kita mengkompromikan iman dan kebenaran hakiki? Ataukah ketika menyenangkan sesama kita, kita tetap bertujuan menuntun mereka kembali kepada kebenaran?


Mengapa kita harus menyenangkan sesama kita? Paulus memberikan dasar pijaknya yaitu teladan dari Kristus sendiri di ayat 3, “Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, tetapi seperti ada tertulis: "Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai aku."” Kata “mencari kesenangan” seperti di dua ayat di atas seharusnya diterjemahkan “menyenangkan.” Berarti, Kristus sendiri tidak menyenangkan diri-Nya sendiri. Kalau Kristus mau menyenangkan diri sendiri, itu tidak sulit bagi-Nya, karena Ia adalah Anak Allah, Ia bebas melakukan apa pun. Tetapi puji Tuhan, di dalam kebebasan-Nya, Ia “membatasi” kebebasan-Nya dengan rela menanggung semua hinaan manusia berdosa yang ditujukan kepada Bapa. Ia lebih memikirkan bagaimana menggenapi kehendak Bapa ketimbang memikirkan kesenangan diri. Saya mengganti “Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai aku."” dengan menanggung semua hinaan manusia berdosa yang ditujukan kepada Bapa, karena Mazmur 69:10b yang secara konteks menunjuk kepada Daud di dalam doa kesesakannya, sekarang dipakai Paulus untuk menjelaskan tentang Kristus dan itu memang benar. Mengapa Ia mau menanggung celaan manusia yang ditujukan kepada Bapa? Karena Ia mengasihi manusia berdosa. Seperti Kristus yang telah menjadi teladan bagi umat Tuhan dengan menanggung celaan yang dilontarkan manusia kepada Bapa dengan tujuan agar umat pilihan-Nya yang termasuk di dalamnya itu diperdamaikan dengan Bapa-Nya, bertobat, dan menerima-Nya, maka kita pun sebagai anak-Nya harus menanggung kelemahan/keberatan hati nurani jemaat lain dengan tujuan agar jemaat yang lemah imannya itu boleh dikuatkan dan diajar melalui perhatian dan kasih kita yang mengajar mereka. Sudahkah kita siap dipakai Tuhan menjadi berkat bagi sesama kita dengan menguatkan mereka yang lemah imannya?


Biarlah renungan dari 3 ayat ini menguatkan kita untuk terus-menerus menjadi saluran berkat bagi sesama kita dengan saling menguatkan dan menyenangkan sesama kita dengan standar kebenaran. Amin. Soli Deo Gloria.