24 February 2010

Eksposisi 1 Korintus 3:18-23 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 3:18-23

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 3:18-23



Bagian ini merupakan konklusi dari masalah perpecahan jemaat yang dibahas Paulus dari pasal 1:10 sampai 3:17. Sebagai sebuah konklusi, bagian ini menyatukan dua ide pokok yang beberapa kali sudah diterangkan sebelumnya, yaitu tentang hikmat dunia dan posisi para pemimpin rohani. Paulus ingin menasehati jemaat Korintus supaya tidak menganggap diri mereka berhikmat dan supaya memiliki perspektif yang benar tentang para pemimpin yang pernah melayani mereka.

Alur pemikiran Paulus di pasal 3:18-23 cukup mudah untuk diikuti. Pemunculan ungkapan “janganlah ada orang yang...” di ayat 18 dan 21 secara jelas membagi perikop ini menjadi dua bagian. Ayat 18-20 membahas tentang larangan untuk menipu diri sendiri dengan menganggap diri berhikmat, sedangkan ayat 21-23 berisi larangan untuk memegahkan diri pada manusia.


Jangan menipu diri sendiri (ay. 18-20)
NIV menerjemahkan ayat 18a dengan “janganlah menipu diri kalian sendiri” (do not deceive yourselves). Walaupun terjemahan ini terdengar lebih tegas, tetapi artinya kurang begitu tepat. Kalimat Yunani yang dipakai harus diterjemahkan “jangan ada seorang pun menipu dirinya” (LAI:TB/KJV/NASB/RSV). Berdasarkan terjemahan ini kita dapat menyimpulkan bahwa dalam bagian ini Paulus tidak “menyerang” semua jemaat yang sedang bertikai. Dia hanya memfokuskan teguran pada mereka yang mengagungkan hikmat duniawi (ay. 18b-20).

Kepada mereka Paulus menegur supaya jangan menipu diri sendiri. Mengapa tindakan mereka disebut menipu diri sendiri? Karena di bagian sebelumnya Paulus sudah menegaskan bahwa hikmat yang mereka miliki sebenarnya bukanlah hikmat yang benar (ps. 1-2). Dengan kata lain mereka sebenarnya tidak berhikmat. Di samping itu, sikap mereka juga tergolong tidak berhikmat jika dilihat dari resiko yang akan mereka hadapi. Tindakan mereka menyebabkan pekerjaan rohani yang mereka lakukan menjadi sia-sia (1Kor. 3:10-15) dan jika semakin memburuk hal itu bisa membinasakan mereka sendiri (1Kor. 3:16-17). Jika mereka sudah mengetahui semua ini tetapi tetap merasa diri berhikmat, maka pada dasarnya mereka telah menipu diri sendiri.

Paulus selanjutnya memberi solusi bagi mereka yang merasa diri berhikmat menurut dunia ini, yaitu supaya mereka menjadi bodoh (ay. 18b). Dari ungkapan yang dipakai di sini terlihat bahwa Paulus tidak sekadar menasehati agar mereka menganggap diri bodoh, tetapi memang menjadi bodoh. Ungkapan ini berarti bahwa mereka perlu mempercayai injil yang selama ini mereka anggap sebagai kebodohan (1:18). Mereka harus meninggalkan persandaran mereka pada hikmat duniawi. Jika mereka menjadi bodoh, maka mereka akan menjadi berhikmat. Hal ini adalah salah satu dari sekian banyak paradoks dalam kekristenan. Paulus sebelumnya sudah menyatakan bahwa apa yang dianggap bodoh oleh dunia justru dipakai Allah untuk mempermalukan yang berhikmat (1:27); para pemimpin rohani bukanlah pemilik jemaat tetapi para pelayan jemaat (2:5); jemaat Korintus tidak memiliki kelebihan apa pun (1:26) tetapi mereka memiliki segala sesuatu (3:21-22).

Selanjutnya di ayat 19-20 Paulus memberi penjelasan atau alasan bagi pernyataannya di ayat 18: jemaat Korintus perlu menjadi bodoh dengan cara meninggalkan hikmat duniawi karena hikmat seperti ini adalah kebodohan. Bagaimana bisa? Hikmat duniawi adalah kebodohan apabila dilihat dari perspektif Allah sesuai firman-Nya dalam kitab suci. Ayat 19a menyatakan bahwa “hikmat dunia adalah kebodohan bagi Allah”. Kata “bagi Allah” di sini seharusnya lebih tepat diterjemahkan “di mata Allah” (NIV) atau “di hadapan Allah” (NASB). Pernyataan Paulus ini sedikit berbeda dengan apa yang dia sampaikan sebelumnya. Di pasal 1:18 dia menyinggung tentang apa yang dipikirkan orang tentang salib (hikmat Allah), sekarang dia memutar hal itu: bukan manusia yang menilai hikmat Allah, tetapi Allah yang menilai hikmat manusia. Jika Allah yang menilai, maka semua hikmat manusia tidak lebih daripada sebuah kebodohan.

Untuk meneguhkan pernyataan ini, Paulus menggunakan dua teks Alkitab. Di ayat 19b dia mengutip Ayub 5:13. Sesuai konteks yang ada, teks ini membicarakan tentang perlakuan berbeda yang ditunjukkan Allah kepada orang hina (ay. 11, 15) dan orang berhikmat (ay. 12-14). Allah menentang orang berhikmat. Dia menangkap mereka dalam kecerdikan mereka. Kata “menangkap” yang sering kali dipakai dalam konteks berburu ini menggambarkan situasi yang ironis: seorang pemburu merasa diri sangat cerdik dalam menyiapkan jebakan, tetapi ternyata dia sendiri yang masuk dalam jebakan itu. Begitulah keadaan jemaat Korintus yang membanggakan hikmat duniawi dan berusaha meruntuhkan kebenaran Allah.

Di ayat 20 Paulus mengutip Mazmur 94:11. Dalam teks ini disebutkan bahwa Allah bukan hanya mengetahui pikiran orang-orang berhikmat, tetapi Dia juga menyatakan hal itu sebagai kesia-siaan. Sesuai dengan konteksnya, pikiran orang berhikmat jeas tidak akan bisa melawan Allah karena Allah adalah “yang mengajarkan pengetahuan kepada manusia” (terutama ayat 10b). Begitu pula dengan jemaat Korintus yang mengandalkan hikmat mereka. Apa yang mereka rancang dengan hikmat mereka akan sia-sia: pekerjaan mereka akan hangus ketika diuji Tuhan (1Kor. 3:10-15) dan mereka sendiri bisa dibinasakan juga (1Kor. 3:16-17).


Jangan mengandalkan manusia (ay. 21-23)
Terjemahan LAI:TB untuk di ayat 21a “janganlah ada orang yang memegahkan dirinya atas manusia” dapat memberi kesan yang berbeda dengan maksud Paulus di sini. Terjemahan ini menyiratkan bahwa jemaat Korintus membanggakan diri mereka. Walaupun mereka benar-benar telah menjadi sombong, namun dalam ayat ini bukan diri mereka yang mereka sombongkan. Mereka sebenarnya sedang membanggakan para pemimpin rohani mereka: (1) dalam kalimat Yunani tidak ada kata “dirinya”; (2) ayat 22a menyinggung tentang para pemimpin rohani; (3) secara hurufiah ayat 21 berarti “janganlah seorang pun (tunggal) membanggakan atas manusia (jamak)”. Perbedaan tunggal dan jamak di ayat ini jelas menunjukkan bahwa yang membanggakan (subjek) dan yang dibanggakan (objek) adalah pribadi yang berbeda.

Kata sambung “sebab” di ayat 21b memberi petunjuk bahwa bagian ini adalah alasan mengapa mereka tidak boleh membanggakan para pemimpin. Mereka tidak boleh memegahkan para pemimpin karena segala sesuatu adalah milik mereka. Sebagian penafsir menganggap bahwa ayat 21b adalah sebuah sindiran, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Tafsiran seperti ini tidak sesuai konteks yang ada. Jika ayat 21b adalah sindiran, maka ayat 22 dan 23 juga sebuah sindiran. Dengan demikian, ayat 21-23 semuanya adalah sindiran. Hal ini jelas bertentangan dengan ayat 23 yang menyatakan bahwa jemaat Korintus adalah milik Kristus dan Allah. Kita sebaiknya menerima ayat 21b sebagai sebuah kebenaran yang ingin disampaikan Paulus.

Apa yang dimaksud dengan segala sesuatu dan apa maksud dari “sebab segala sesuatu adalah milikmu”? Ayat 22 menjelaskan bahwa segala sesuatu tidak berarti setiap hal yang ada di dunia. “Segala sesuatu” hanya terbatas pada segala hal yang berkaitan dengan keselamatan mereka. Para pemimpin rohani disebutkan lebih dahulu dalam daftar di ayat 22 karena memang merekalah yang sedang dibanggakan oleh jemaat Korintus (ay. 22a). Dengan memasukkan para pemimpin rohani Paulus ingin menegaskan bahwa mereka adalah milik jemaat Korintus. Maksudnya, jemaat Korintus lebih penting daripada para pemimpin rohani mereka. Para pemimpin ada untuk melayani mereka (bdk. 3:5). Para pemimpin disediakan Allah bagi mereka agar mereka dapat menerima keselamatan.

Daftar kedua yang termasuk “segala sesuatu” adalah “dunia” (ay. 22b). Poin ini perlu disebutkan karena dunia dulu adalah milik Allah yang dipercayakan pada manusia (Kej 1:26-28). Kegagalan Adam dan Hawa dalam menaati Allah membuat dunia ini menjadi tidak seindah dulu. Allah lalu masuk ke dalam dunia untuk memulihkannya. Dia yang tidak terbatas oleh waktu dan tempat bersedia menjadi manusia dan melakukan karya penebusan di atas kayu salib. Allah juga mengontrol semua sejarah dan mengarahkannya untuk merealisasikan rencana penebusan-Nya. Semua ini dilakukan untuk kepentingan orang percaya. Kalau dunia ada untuk kepentingan orang percaya, mengapa mereka justru menyerahkan diri pada dunia?

Daftar berikutnya adalah “hidup dan mati” (ay. 22c). Bagi orang Kristen, hidup atau mati sama-sama untuk kepentingan mereka. Mereka diberi hidup di dalam dunia supaya pilihan Allah terhadap mereka sejak dunia belum dijadikan (bdk. 1Kor. 2:7; Ef. 1:4) dapat dinyatakan. Ketika mereka mati, kematian itu justru akan menjadi jalan menuju kemuliaan yang sudah disiapkan Allah.

Yang terakhir, “segala sesuatu” di ayat 21b juga termasuk “waktu sekarang dan waktu yang akan datang” (ay. 22d). Dalam tulisan Paulus kata “waktu sekarang” (enistemi) berkaitan dengan situasi dunia yang tidak menyenangkan dan penuh tantangan (1Kor. 7:26; Gal. 1:4). Dalam situasi seperti ini orang percaya tidak perlu kuatir dengan keselamatan mereka. Allah selalu memastikan bahwa semua itu tidak akan menggagalkan keselamatan kita (Yoh. 10:28-29; Gal. 1:4). Sebaliknya, semua penderitaan zaman ini akan mengerjakan kebaikan bagi orang pilihan (Rm. 8:28). Bukan hanya itu, semua itu juga membawa kebaikan pada “waktu yang akan datang”. Penderitaan sekarang ini mengerjakan kemuliaan kekal (2Kor. 4:17).

Jika Allah telah menjadikan segala sesuatu untuk kebaikan orang percaya, apalah artinya para pemimpin rohani dalam rencana Allah yang besar ini? Para pemimpin tidak lebih dari sekadar instrumen yang melaluinya jemaat Korintus diselamatkan (1Kor. 3:5)! Mereka tidak selayaknya dipuja, apalagi samapai menganggap bahwa diri kita adalah milik mereka.

Supaya jemaat Korintus tidak terjebak pada kesombongan yang lain (menganggap diri mereka hebat karena memiliki segala sesuatu), Paulus menutup dengan pernyataan bahwa “mereka adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah” (ay. 23). Ayat ini berguna untuk mengingatkan jemaat bahwa mereka memiliki semuanya karena mereka lebih dahulu dimiliki oleh Kristus. Dalam 1 Korintus 15:22-25 dijelaskan bahwa segala sesuatu harus dikembalikan kepada Allah yang memiliki semuanya. Hal ini pasti terjadi dan harus dimulai dengan karya penebusan Kristus. Kristus adalah yang sulung dan semua orang percaya selanjutnya dipersatuan bersama dengan Dia untuk memerintah atas segala sesuatu.





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 15 Juni 2008