12 January 2011

Resensi Buku-110: MEMERANGI KETIDAKPERCAYAAN (Rev. John Stephen Piper, D.Theol.)

...Dapatkan segera...
Buku
BATTLING UNBELIEF (MEMERANGI KETIDAKPERCAYAAN):
Mengalahkan Dosa Dengan Kuasa Anugerah


oleh: Rev. John Stephen Piper, D.Theol.

Penerbit: Pionir Jaya, 2010

Penerjemah: Grace P. Christian.





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Iman Kristen adalah iman yang berpusat kepada Kristus. Namun perjalanan iman Kristen bukanlah perjalanan yang mudah, tetapi perjalanan iman Kristen adalah sebuah proses yang panjang. Hal ini yang disebut proses pengudusan yang terus-menerus (progressive sanctification). Di dalam proses inilah, Rev. Dr. John S. Piper di dalam bukunya Memerangi Ketidakpercayaan mengajarkan bahwa kita perlu untuk memiliki iman yang mempercayai anugerah di masa depan. Artinya kita beriman pada karya Allah di masa dahulu yang telah memilih dan menebus kita melalui Kristus dan juga kita beriman pada janji-janji Allah yang menguatkan kita. Iman inilah yang membuat kita bisa memerangi segala ketidakpercayaan kepada Allah. Ketidakpercayaan kepada Allah itu dapat berbentuk: kekhawatiran, kecongkakan, rasa malu, ketidaksabaran, mengingini, kepahitan, kegalauan, dan hawa nafsu. Semua itu membuat kita makin tidak percaya kepada Allah. Nah, di dalam proses pengudusan terus-menerus inilah, kita dituntut untuk memerangi semua bentuk ketidakpercayaan itu dengan senjata iman yang mempercayai anugerah di masa depan.





Profil Rev. Dr. John S. Piper:
Rev. John Stephen Piper, B.A., B.D., D.Theol. adalah Pendeta Senior di Bethlehem Baptist Church dan seorang penulis yang sangat produktif dari perspektif Calvinis. Beliau menyelesaikan gelar Bachelor of Arts (B.A.) di Wheaton College, U.S.A.; Bachelor of Divinity (B.D.) di Fuller Theological Seminary di Pasadena, California pada tahun 1968-1971. John menyelesaikan studi doktoralnya (D.Theol.) di dalam bidang Perjanjian Baru di University of Munich, Munich, Jerman Barat pada tahun 1971-1974). Disertasinya, Love Your Enemies, diterbitkan oleh Cambridge University Press dan Baker Book House.

EKSPOSISI 1 KORINTUS 10:1-5 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 10:1-5

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 10:1-5


Pemunculan sapaan “saudara-saudara” di 10:1 menyiratkan perubahan pokok pikiran yang baru. Walaupun perubahan ini dengan mudah dideteksi, tetapi perubahan seperti apa yang dipaparkan Paulus dalam bagian ini tidaklah terlalu jelas. Persoalan ini semakin kentara karena di beberapa versi kata sambung gar (“karena”, NIV/NASB/ASV) tidak diterjemahkan (LAI:TB). Sebagian penafsir yang mengalami kesulitan dalam menemukan keterkaitan antara bagian ini dengan dua pasal sebelumnya berpandangan bahwa bagian ini diadopsi dari surat Paulus yang lain yang secara tidak tepat telah diletakkan di posisi yang sekarang.

Jika kita mengamati secara lebih teliti, maka kita pasti akan menemukan beberapa poin keterkaitan yang cukup jelas. Kegagalan bangsa Israel memiliki tanah perjanjian karena mereka menyembah berhala (10:5) merupakan contoh konkrit tentang bagaimana orang-orang yang dulu pernah memiliki pengalaman rohani bersama Tuhan (10:1-4) juga bisa gagal mencapai garis akhir. Cerita ini merupakan peringatan bagi jemaat Korintus. Tindakan mereka yang makan daging persembahan berhala di kuil (8:7-10) bukan hanya berpotensi membinasakan iman saudara seiman lain yang tidak berpengetahuan (8:11-12), tetapi juga bisa membuat mereka sendiri gagal mencapai garis akhir. Berbagai macam karunia rohani (pasal 12-14) dan pengetahuan (8:1, 7, 10) yang dimiliki mereka tidak menjamin kesuksesan rohani, sama seperti berbagai pengalaman rohani yang dialami bangsa Israel dulu pun tidak menjamin mereka sampai ke tanah perjanjian.

Poin di atas sekaligus memberi pencerahan tentang keterkaitan antara bagian ini dengan pasal sebelumnya. Di bagian akhir pasal 9 Paulus sudah menggambarkan kehidupan rohani kita seperti seorang atlet yang harus menguasai diri dan berusaha sekeras mungkin untuk mencapai garis akhir (9:24-27). Paulus sendiri bahkan mendisiplin diri sedemikian rupa supaya ia pada akhirnya tidak didiskualifikasi (9:27). Nasehat ini dipertegas lagi dengan menampilkan contoh-contoh orang di PL yang gagal dan didiskualifikasi (10:5).

Alur berpikir Paulus di 10:1-5 tampaknya cukup mudah untuk diketahui, walaupun ada beberapa kesulitan dalam taraf detil. Melalaui sapaan “nenek moyang kita” (10:1a) Paulus meletakkan dasar theologis yang kuat bahwa jemaat Korintus merupakan kelanjutan dari umat Allah di PL, walaupun mereka bukan berasal dari etnis Yahudi. Selanjutnya Paulus memaparkan dua pengalaman rohani yang spektakuler yang dialami bangsa Israel di padang gurun (10:1b-4), yaitu pembebasan yang dasyat dari tangan Mesir dan perlindungan TUHAN yang ajaib (10:1b-2) serta pemeliharaan TUHAN yang luar biasa (10:3-4). Pada bagian akhir Paulus menyatakan sebuah situasi yang sangat ironis: walaupun semua orang Israel memiliki pengalaman rohani yang sama, tetapi sebagian besar dari mereka justru tidak berhasil mencapai garis akhir (10:5).


Pendahuluan Nasehat (10:1a)
Paulus memulai bagian ini dengan ungkapan “aku mau supaya kamu mengetahui”. Dalam kalimat Yunani yang ada, ungkapan ini secara hurufiah diterjemahkan “aku tidak mau supaya kamu tidak mengetahuinya”. Ungkapan yang muncul beberapa kali dalam tulisan Paulus ini (1Tes 4:13; 2Kor. 1:8; Rm. 1:13; 11:25) jelas berbeda dengan ungkapan “tidak tahukah kamu?” yang juga beberapa kali digunakan Paulus (Rm. 6:13; 1 Kor 3:16; 5:6; 6:2, 3, 9, 15, 16, 19; 9:13).

Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh para penafsir, ungkapan “aku tidak mau supaya kamu tidak mengetahuinya” berfungsi sebagai petunjuk bahwa suatu topik pikiran yang baru dan penting sedang diajarkan, karena itu tidak heran ungkapan ini selalu muncul bersama dengan sapaan “saudara-saudara”. Fungsi lain dari ungkapan ini adalah untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui oleh pembaca, tetapi makna dan implikasi dari hal tersebut belum sepenuhnya dipahami. Berdasarkan makna dalam ungkapan ini kita bisa mengetahui bahwa jemaat Korintus pun sudah terbiasa dengan cerita-cerita dalam PL. Mereka pasti mengetahui tersebut secara lisan dari khotbah para rasul atau membaca langsung kitab PL dalam versi Septuaginta (LXX).

Paulus selanjutnya menggunakan ungkapan lain yang tidak kalah menariknya. Ia memakai kata ganti “kita” dalam ungkapan “nenek moyang kita”. Sebagaimana kita dahulu sudah pelajari bersama, mayoritas jemaat Korintus adalah orang-orang non-Yahudi. Paulus seharusnya mengatakan “nenek moyang mereka” atau “nenek moyang bangsa Yahudi” Kenyataannya, Paulus tetap secara sengaja memakai ungkapan ini. Jika dibandingkan dengan salah satu tradisi kerabian Yahudi, cara Paulus di sini menunjukkan keunikan konsep kekristenan. Menurut salah satu tulisan para rabi, orang-orang non-Yahudi yang memeluk agama Yahudi (biasa disebut “proselit” atau “orang yang takut Tuhan”) tetap tidak diperbolehkan untuk menyebut para patriakh atau tokoh-tokoh PL sebagai nenek moyang mereka, karena secara etnis mereka bukan keturunan biologis dari tokoh-tokoh Israel di masa lampau.

Dalam theologi Paulus sendiri kesatuan antara umat Allah di PL dan PB merupakan hal yang cukup sering kita temukan. Bagi Paulus, gereja adalah Israel yang baru (Rm. 2:26-29; 4:12, 16; 11:17-24; Gal. 3:6-9, 29; 6:16; Flp. 3:3), walaupun gereja terdiri dari etnis yang sangat variatif. Theologi semacam ini didasarkan pada pemahaman Paulus bahwa yang disebut Israel bukanlah secara etnis atau biologis (Rm. 9:6). Dari sejak zaman dahulu kala, sebutan “umat Allah” adalah berdasarkan pilihan, bukan kelahiran. Walaupun Ismael keturunan bilogis dari Abraham dan Esau adalah anak kandung Ishak, tetapi yang disebut “Israel” adalah Ishak dan Yakub (Rm. 9:7-13). Di bagian lain Surat Roma Paulus memberikan argumen dari perspektif yang sedikit berbeda. Ia menunjukkan bahwa Abraham dibenarkan karena iman, sebelum ia bersunat (Rm. 4:2, 10-11). Abraham juga menerima janji Allah sebagai bapa dari bangsa yang besar berdasarkan iman, bukan ketaatan kepada Taurat (Rm. 4:13-16). Bertolak dari fakta ini, maka semua orang yang beriman kepada Allah Abraham adalah keturunan Abraham.

Dengan menegaskan keterkaitan theologis di atas, Paulus ingin menunjukkan kesamaan antara bangsa Israel dan jemaat Korintus. Mereka sama-sama umat Allah. Mereka memiliki kitab suci yang sama. Mereka mempnyai pengalaman rohani yang luar biasa dari Allah. Kesamaan inilah yang membuat nasehat dan peringatan di 10:1-5 menjadi lebih relevan bagi jemaat Korintus.


Pengalaman Rohani yang Luar Biasa (10:1b-4)
Di bagian ini Paulus menjelaskan beberapa pengalaman rohani yang luar biasa yang pernah dialami bangsa Israel selama di padang gurun. Apa saja pengalaman yang spektakuler tersebut?
Pembebasan dari Mesir dan perlindungan di padang gurun (10:1b-2)
Dalam hal ini, bangsa Israel mengalami 3 hal yang luar biasa: di bawah perlindungan awan, melewati laut, dan menjadi pengikut Musa. Mari kita melihat tiga hal ini satu persatu. Pertama, di bawah perlindungan awan. Terjemahan LAI:TB di sini sudah merupakan penafsiran. Dalam teks Yunani hanya disebutkan “berada di bawah awan” (versi Inggris “under the cloud”). Awan yang dimaksud dalam bagian ini jelas bukan awan biasa. Awan ini adalah tiang awan yang menyertai mereka (Kel. 13:21, 22; 14:19; 33:9-10). Persoalannya, tiang awan selalu terletak di depan mereka (Kel. 13:21, 22). Pada waktu mereka melintasi Laut Teberau, tiang awan ada di belakang mereka (Kel. 14:19). Tiang awan tidak pernah berada di atas mereka! Jadi, bagaimana Paulus bisa mengatakan bahwa mereka di bawah awan?

Kunci untuk persoalan ini adalah dengan memahami fungsi ganda dari tiang awan: sebagai tuntunan dalam perjalanan (Kel. 13:21; Mzm. 78:14) dan perlindungan dari terik matahari (Mzm. 105:39). Dalam hal ini Paulus hanya menyoroti fungsi yang terakhir, karena itu ia merasa bebas untuk menyinggung aspek perlindungan ini dengan menggambarkan seolah-olah bangsa Israel berada di bawah awan.

Kedua, melewati laut. Peristiwa ini merujuk pada kejadian spektakuler ketika TUHAN mengeringkan Laut Teberau sehingga bangsa Israel dapat berjalan melewati daratan yang kering (Kel. 14:21–22; Mzm. 78:13). Begitu hebatnya kejadian ini, sampai-sampai bangsa-bangsa lain pun menjadi gentar terhadap bangsa Israel (Yos 2:9-10).

Ketiga, menjadi pengikut Musa. Terjemahan LAI:TB “untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut” dalam hal ini juga sudah melibatkan unsur penafsiran. Dalam kalimat Yunani tidak ada kata “untuk menjadi pengikut”. Teks asli hanya berbunyi, “dan mereka semua dibaptis ke dalam Musa dalam awan dan dalam laut”. Apakah maksud “dibaptis ke dalam Musa”? Bukankah selama perjalanan di padang gurun tidak ada cerita apa pun tentang Musa yang membaptis mereka?

Paulus tampaknya sedang menceritakan peristiwa di PL dengan menggunakan ungkapan di PB. Sebagaimana semua orang percaya di PB dibaptis ke dalam Yesus, demikian pula orang percaya di PL dibaptis ke dalam Musa. Mengapa Yesus dibandingkan dengan Musa dalam bagian ini? Dalam tradisi Yahudi memang sudah dikenal sebuah pengharapan mesianis bahwa Mesias merupakan Musa yang baru (Ul 18:18). Salah satu peranan Mesias adalah sama dengan Musa, yaitu memimpin bangsa Israel. Berdasarkan tradisi inilah, Paulus menyandingkan Musa dan Yesus. Makna yang ingin disampaikan adalah sisi kepemimpinan mereka, karena itu LAI:TB dengan tepat memberi tambahan “untuk menjadi pengikut Musa”. Peristiwa bangsa Israel melintasi Laut Teberau dan orang-orang percaya dibaptis memang memiliki kesamaan. Keduanya jelas melibatkan unsur air. Lebih jauh lagi, kedua peristiwa ini merupakan titik balik perubahan status umat Allah. Sebelum melewati Laut Teberau status bangsa Israel masih sebagai budak, setelah itu mereka baru menjadi umat Allah dalam arti yang sesungguhnya. Baptisan juga begitu. Sebelum dibaptis orang-orang percaya dianggap masih berada dalam status yang lama (walaupun dari sisi iman mereka sudah berubah di hadapan Allah).

Pemeliharaan di padang gurun (10:3-4)
Pemberian manna (Kel. 16; Mzm. 78:23–29) dan air minum melalui batu karang (Kel. 17:1–7; Bil. 20:2–13; Mzm. 78:15–16; 105:41; 114:8) merupakan peristiwa yang sangat akrab bagi kita. Ketika mereka tidak mungkin untuk bercocok tanam maupun memiliki suatu sungai atau sumber air secara permanen, TUHAN memelihara mereka secara ajaib dengan cara memberi roti dari sorga dan air minum dari gunung.

Penyebutan dua peristiwa ini di 10:3-4 sangat problematis. Pertama, apa maksud “rohani” pada ungkapan “makanan dan minuman rohani”? Sebagian penafsir menganggap Paulus sedang melihat manna dan air semacam perjamuan kudus di PL. Pandangan ini tampaknya hanya bersifat dugaan semata, karena tidak didukung oleh petunjuk apa pun dalam teks. Kita sebaiknya memahami “rohani” di bagian ini dalam konteks sumbernya dari Allah dan tujuannya bersifat rohani (Kel. 16:4, 15). Manna adalah roti dari sorga yang diberikan supaya bangsa Israel bersandar pada dan menaati TUHAN. Kenyataannya, mereka justru serin bersungut-sungut dan meninggalkan TUHAN yang sudah memelihara mereka.

Kedua, apa maksud “batu karang yang mengikuti mereka”? Sebagian penafsir meyakini bahwa Paulus sedang mengadopsi legenda Yahudi yang menceritakan bahwa batu karang sebagai sumber air bangsa Israel benar-benar mengikuti bangsa Israel ke manapun mereka pergi. Mereka meyakini bahwa dua batu karang di Keluaran 17:1–7 dan Bilangan 20:2–13 adalah sama. Teori seperti ini jelas tidak masuk akal. Selain itu, seandainya bangsa Israel sudah memiliki sumber air yang permanen dari batu karang yang selalu mengikuti mereka, untuk apa TUHAN masih memerintahkan Musa untuk mengeluarkan air dari batu karang itu lagi? Kita sebaiknya memahami bahwa yang dipentingkan Paulus di sini bukanlah batu karang itu, tetapi Allah sebagai Pemberi air. Dengan pemahaman seperti ini, maka ungkapan “batu karang yang mengikuti mereka” sebenarnya berarti “Allah selalu mengikuti dan memberi mereka air”. Hal inilah yang selanjutnya dijadikan dasar bagi Paulus untuk menyatakan bahwa batu karang itu adalah Kristus.

Ketiga, apakah penafsiran “batu karang itu adalah Kristus” menunjukkan bahwa Paulus menggunakan metode penafsiran alegoris? Penafsiran alegoris adalah bentuk penafsiran yang meyakini bahwa dalam setiap kata selalu ada makna rohani tambahan. Metode ini sangat subyektif, karena tidak ada standar yang jelas. Paulus tidak menggunakan metode ini. Penafsiran Paulus di 10:4 harus dilihat dari konteks pemahaman theologis bangsa Israel sendiri. Bagi mereka, batu karang yang memberi minum tidak lain adalah TUHAN sendiri (Ul 32:4, 15, 18, 30-31). Allah yang memberi mereka minum, bukan batu karang itu. Berdasarkan pemahaman seperti ini, Paulus dengan mudah dapat mengebangkannya sebagai berikut: batu karang = TUHAN = Kristus. Jadi, ini bukan penafsiran alegoris.


Hasil yang Kontras (10:5)
Dalam ayat ini Paulus memberikan beberapa penekanan. Ia memakai kata sambung alla (“tetapi”) yang memuat makna kontras yang lebih kuat daripada kata de. LAI:TB dengan tepat mengekpresikan dalam kalimat “tetapi sungguh pun demikian”. Penekanan lain terletak pada posisi kata “tidak” (ouk) di awal kalimat. Melalui posisi seperti ini Paulus seolah-olah ingin menegaskan bahwa Allah sungguh-sungguh tidak berkenan kepada bangsa Israel. Penggunaan kata “bagian yang terbesar dari mereka” menampilkan sebuah ironi yang menyedihkan. Pada bagian sebelumnya kata “semua” muncul berkali-kali. Mereka semua memiliki pengalaman spektakuler yang sama. Bagaimanapun, yang akhirnya mencapai garis akhir adalah sangat sedikit (bdk. Bil. 14:29–32; 26:65). Allah hanya berkenan pada Yosus dan Kaleb.

Kata sambung “karena” (gar) di 10:5b berfungsi sebagai penjelasan atau bukti. Ketidakberkenanan Allah terhadap bangsa Israel dinyatakan melalui kematian mereka di padang gurun. Dalam hal ini Paulus memakai ungkapan yang jauh lebih kuat daripada sekadar “menewaskan” (LAI:TB). Allah menyerakkan mereka! (NIV). Bahasa yang tegas ini sangat mungkin berasal dari Bilangan 14:16 yang menggambarkan kematian mereka dengan ungkapan “TUHAN menyembelih”, walaupun dalam kenyataannya mereka tidak disembelih. Ungkapan yang sangat keras ini dimaksudkan untuk memperingatkan jemaat Korintus. Jemaat Korintus pasti dengan mudah menangkap ketegasan dalam peringatan Paulus di bagian ini. Mereka dalam taraf tertentu bahkan sudah mengalami kejadian serupa. Banyak di antara mereka yang berdosa dan akhirnya dihukum Tuhan dengan penyakit, kelemahan, bahkan kematian (11:30). Jadi, mereka tidak boleh merasa diri kuat dengan berbagai karunia dan pengetahuan rohani mereka, karena mereka justru bisa jatuh (10:12). #



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 26 September 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%2010%20ayat%2001-05.pdf