30 June 2007

Tentang Calvinisme-2 : MENGAPA SAYA SEORANG REFORMED/CALVINIS ?-2 (Denny Teguh Sutandio)

Tentang Calvinisme-2



MENGAPA SAYA SEORANG REFORMED/CALVINIS ?-2

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S. (Cand.)



Pada bagian pertama dari pengajaran “Tentang Calvinisme”, saya telah memberikan sedikit kesaksian/sharing tentang bagaimana saya menjadi seorang Reformed/Calvinisme di dalam perjalanan hidup saya, maka pada bagian kedua ini, saya akan menguraikan sedikit kelebihan theologia Reformed/Calvinisme dibandingkan dengan aliran theologia di dalam keKristenan maupun di luar Kristen, di mana penjelasan detail tentang hal ini akan dibahas pada bagian-bagian selanjutnya.

Sejak pertama kali mengenal dan mempelajari theologia Reformed/Calvinisme secara mendalam kira-kira pada akhir tahun 2004, saya semakin tertarik dengan pemahaman theologia ini yang berintikan kedaulatan Allah. Lalu, semakin saya mengikuti kuliah theologia secara part-time di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika maupun Persekutuan dan Pembinaan Pemuda GRII Andhika, Surabaya yang dilayani oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., saya mulai membentuk paradigma berpikir secara esensial atau melihat segala sesuatu dari sudut pandang kedaulatan Allah. Dalam hal ini, saya bersyukur kepada Tuhan karena Ia telah mengirimkan hamba-hamba-Nya, antara lain Pdt. Dr. Stephen Tong (yang menguatkan iman Kristen saya pertama kali dan sedikit memperkenalkan theologia Reformed), Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. (gembala sidang GRII Andhika yang banyak mengajar saya tentang pembentukan paradigma di dalam perspektif theologia Reformed yang ketat baik melalui mimbar eksposisi Matius di GRII Andhika maupun di Persekutuan dan Pembinaan Pemuda GRII Andhika dan juga di STRIS Andhika) dan juga kepada Pdt. Billy Kristanto, M.C.S. (gembala sidang MRII/PRII Jerman yang berkhotbah di National Reformed Evangelical Convention—NREC 2004 s/d 2006 dan bukunya berjudul, “Ajarlah Kami Bertumbuh” sudah saya baca dan sangat menguatkan dan menegur saya di bidang kerohanian dan tentang pelayanan). Bagi saya, ketiga hamba Tuhan inilah yang telah, sedang dan akan menguatkan saya melalui khotbah-khotbah dan pengajaran-pengajarannya.

Apa saja yang saya pelajari tentang Calvinisme dan mengapa saya menjadi seorang Reformed/Calvinisme? Berikut akan saya paparkan.
Pertama, Calvinisme/theologia Reformed adalah satu-satunya theologia Kristen yang melihat Alkitab dari kacamata kedaulatan Allah (Boettner, 2000, p. 11). Artinya inti dari theologia Reformed adalah kedaulatan Allah. Allah adalah Allah yang Berdaulat dan Mahakuasa. Ada beberapa makna yang terkandung di dalam pernyataan kedaulatan Allah, yaitu :
pertama, Allah yang Berdaulat adalah Allah Pencipta. Allah yang Berdaulat adalah Allah yang menciptakan segala sesuatu. Mengapa Pencipta disebut berdaulat dan di mana letak signifikansinya ? Mengutip pernyataan dari Pdt. Sutjipto Subeno tentang hukum relasi Pencipta—ciptaan : Allah yang menciptakan segala sesuatu berarti Allah yang pertama kali menetapkan tujuan penciptaan, kemudian merancang ciptaan, menjadikan ciptaan dan berdaulat menggunakan ciptaan itu untuk kemuliaan-Nya (Yesaya 43:7, “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!"”). Itulah kedaulatan Allah. Oleh karena itu, sudah seharusnya sebagai ciptaan, kita sebagai manusia taat mutlak kepada perintah Allah sebagai Pencipta, khususnya kita yang telah ditebus oleh Kristus harus menaati perintah Allah di dalam Alkitab.

kedua, Allah yang Berdaulat sebagai Sumber. Artinya, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang daripada-Nya segala sesuatu itu ada. Allah tak pernah bergantung pada siapapun dan apapun, karena Ia berada pada diri-Nya sendiri (self-dependence of God). Ini bukan hanya menyangkut masalah penciptaan, tetapi juga menyangkut masalah lain di dunia ini yang bersumber pada Allah. Misalnya, Allah yang Berdaulat adalah Sumber segala pengetahuan, sehingga Raja Salomo yang terkenal bijaksana menuliskan, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,…” (Amsal 1:7) Ketika kita mau belajar sungguh-sungguh tentang pengetahuan, kembalilah kepada Firman Allah, Alkitab, karena di situ kita dapat mempelajari sumber pengetahuan sejati. Hal ini tidak berarti Alkitab adalah buku pengetahuan, tetapi Alkitab memberikan dasar filosofis tentang pengetahuan sejati yaitu takut akan Tuhan. Ketika manusia enggan percaya kepada/di dalam Allah melalui Alkitab, mereka bukan saja dianggap bodoh, tetapi juga sia-sia (Amsal 1:7b).

ketiga, Allah yang Berdaulat adalah Pemelihara. Bukan hanya sebagai Pencipta dan Sumber, Ia juga sebagai Pemelihara segala sesuatu. Konsep deisme mengajarkan bahwa setelah Allah menciptakan segala sesuatu, maka Ia “cuek” dan meninggalkan ciptaan-Nya itu. Hal ini tidak diajarkan oleh Alkitab, karena Alkitab sendiri mengajarkan bahwa Ia memelihara ciptaan-Nya. Buktinya, kalau Allah tidak memelihara alam semesta ciptaan-Nya, maka jarak antara bumi dan matahari bisa bergeser menjadi 130 juta km yang mengakibatkan kita bisa terbakar (gosong) atau bergeser menjadi 200 juta km yang mengakibatkan kita bisa membeku (menjadi es). Tetapi puji Tuhan, Ia memelihara ciptaan-Nya, bahkan manusia pilihan-Nya. Rasul Paulus di dalam Efesus 1:4-5 mengajarkan bahwa Allah memilih kita di dalam Kristus sebelum dunia dijadikan menurut kerelaan kehendak-Nya. Bukan hanya memilih, Ia jugalah yang : merencanakan keselamatan bagi umat pilihan-Nya, menggenapkan keselamatan itu di dalam pribadi Kristus dan menyempurnakannya sampai akhir melalui karya Roh Kudus, sehingga Calvinisme berani mengajarkan bahwa keselamatan umat pilihan-Nya (anak-anak Tuhan) mutlak tidak bisa hilang (baca : Yohanes 6:37, 39-40 ; 10:27-30). Mengapa Calvinisme berani menyimpulkan hal ini ? Bukankah Arminianisme atau separuh Calvinisme (termasuk salah satunya, sebagian besar Katolikisme) mengajarkan bahwa keselamatan di dalam Kristus bisa hilang karena orang “Kristen” tersebut yang sudah “diselamatkan” murtad ? TIDAK ! Calvinisme berani menyimpulkan hal ini karena Calvinisme mempercayai kedaulatan Allah di mana Allah yang telah memulai rencana keselamatan Allah, Ia pulalah yang pasti akan menyempurnakannya kelak melalui karya Roh Kudus. Menolak paham ini bukan hanya menolak pandangan Calvinisme tetapi menolak berita Alkitab yang mengajarkan bahwa Allah itu tidak pernah berubah atau kekal dan juga menjunjung tinggi manusia lebih daripada Allah (seolah-olah Allah “kewalahan” ketika manusia ingin murtad ; dengan kata lain, Arminianisme dan kroni-kroninya menghina Allah dan meletakkan posisi manusia di atas Allah). Jika Arminianisme menghina Allah, layakkah ajaran/theologia ini dianut oleh orang Kristen yang beres dan bertanggungjawab ? Silahkan pikirkan sendiri.

keempat, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang Mahakuasa. Dengan sangat bijaksana, hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong mengaitkan konsep ini. Seringkali, banyak gerakan/“theologia” Karismatik/Pentakosta selalu menekankan bahwa Allah itu Mahakuasa, maka Ia menyembuhkan segala penyakit, memberikan kemakmuran, dll. Itu tidak salah, tetapi salah motivasi. Tuhan bisa menyembuhkan segala penyakit, memberikan kemakmuran, dll, tetapi ingatlah, semua itu dilakukan berdasarkan kedaulatan kehendak-Nya. Dengan kata lain, meskipun Ia pasti mampu menyembuhkan penyakit, memberikan kemakmuran, dll, tetapi Ia juga bisa tidak mau menyembuhkan penyakit, dll, karena itu tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Meniadakan kedaulatan Allah dan hanya menekankan ke“Mahakuasa”an Allah yang diselewengkan artinya bisa berakibat fatal, yaitu menjadikan Tuhan sebagai “pembantu/budak” kita (padahal kita lah pembantu/budak Allah). Selain itu, Pdt. Dr. Stephen Tong juga mengajarkan bahwa Allah yang Mahakuasa seringkali dimengerti sebagai Allah yang bisa melakukan segala sesuatu, tetapi beliau mengingatkan bahwa hanya ada satu hal yang tak bisa dilakukan oleh Allah, yaitu berdosa (karena Allah itu Mahakudus tak mungkin berbuat dosa). Dengan kata lain, beliau mengajarkan bahwa Allah yang Mahakuasa adalah Allah yang rela membatas diri-Nya sendiri agar sesuai dengan Firman-Nya. Jadi, adalah salah jika banyak pemimpin gereja Karismatik/Pentakosta mengatakan bahwa di zaman ini ada “wahyu-wahyu” baru yang “melengkapi” Alkitab ! Mengapa ? Karena Allah sejati rela membatas diri-Nya dengan Firman Tuhan/Alkitab (2 Tim. 3:16-17) dan barangsiapa yang berani menambahi ayat-ayat Alkitab, kepadanya akan diberikan lagnat (baca : Wahyu 22:18-19).

kelima, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang transenden sekaligus imanen. Allah yang transenden berarti Allah yang jauh di sana, yang tak terjangkau oleh manusia, sedangkan Allah yang imanen adalah Allah yang dekat dengan kita/manusia. Agama-agama dan filsafat-filsafat dunia selalu tidak seimbang dalam menekankan bagian ini. Mengutip pernyataan dari Prof. Dr. Abraham Kuyper di dalam bukunya “Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Lectures on Calvinism)”, ada tiga macam agama/posisi doktrinal yang besar yang mewakili penyimpangan-penyimpangan ketidakseimbangan konsep antara ketransendenan dan keimanenan Allah, yaitu pertama, Paganisme atau agama kafir/tradisional yang mencari Allah di dalam ciptaan. Paganisme meliputi kepercayaan Animisme, Dinamisme, Pantheisme, Hinduisme dan Buddhisme. Hal ini nantinya mempengaruhi Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) di abad postmodern yang gila ini yang mengajarkan bahwa manusia itu adalah “allah” kecil (little gods). Konsep pikir ini sama sekali absurd, karena Allah dan ciptaan adalah sesuatu yang berbeda (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya : perbedaan kualitatif/qualitative difference). Kalau Allah identik dengan ciptaan, maka apa gunanya ciptaan menyembah Allah, kalau toh Allah yang disembah itu adalah manusia/ciptaan juga. Hal ini menggenapi apa yang filsuf Ludwig Feuerbach ajarkan bahwa “Allah” diciptakan menurut peta teladan manusia (bukannya manusia yang diciptakan menurut peta teladan Allah). Agama kedua adalah Islam. Di dalam Islam, Dr. Kuyper mengatakan bahwa Allah diisolasi dari ciptaan. Artinya, Allah itu transenden dan tidak imanen. Sehingga, kalau mau menghampiri “Allah”, mereka harus berteriak keras dahulu, baru “Allah”nya mendengar seruan mereka. Sungguh amat sangat mengasihankan. Konsep mereka persis seperti para nabi Baal yang ditantang oleh Nabi Elia di dalam 1 Raja-raja 18:22-41. Mari kita simak kisah ini. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Ahab yang tidak takut akan Tuhan yang tidak mempercayai perkataan Elia, lalu menantang Elia dengan mengirimkan 450 nabi Baal. Elia menantang 450 nabi Baal, “biarlah kamu memanggil nama allahmu dan akupun akan memanggil nama TUHAN. Maka allah yang menjawab dengan api, dialah Allah!” (1 Raj. 18:24). Maka, 1 Raja-raja 18:26 mencatat tentang tindakan para nabi Baal, “Mereka mengambil lembu yang diberikan kepada mereka, mengolahnya dan memanggil nama Baal dari pagi sampai tengah hari, katanya: "Ya Baal, jawablah kami!" Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab. Sementara itu mereka berjingkat-jingkat di sekeliling mezbah yang dibuat mereka itu.” Bukankah ini persis seperti yang dilakukan oleh kerabat “dekat” kita yang sering pergi ke Mekkah itu ? Apa jawab Elia ? Perhatikan ayat 27 dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Berdoalah lebih keras! Ia ilah, bukan? Mungkin ia sedang melamun, atau ke kamar kecil. Boleh jadi juga ia sedang bepergian! Atau barangkali ia sedang tidur, dan kalian harus membangunkan dia!” Lalu, para nabi Baal itu “berdoa lebih keras lagi. Dan seperti yang biasanya mereka lakukan, mereka menggores-goresi badan mereka dengan pedang dan tombak sampai darah bercucuran. Begitulah mereka terus-menerus sampai petang hari seperti orang kesurupan. Tetapi tidak ada yang menjawab, tidak ada yang memperhatikan.” (1 Raj. 18:28-29 ; BIS) Kemudian, Elia berkata, “Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini. Jawablah aku, ya TUHAN, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali.” (1 Raj. 18:36-37) Lalu, ayat 38 mencatat, “Lalu turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya.” Bagaimanakah respon rakyat dan Elia setelah melihat kejadian itu ? Ayat 39-40 mencatat, “Ketika seluruh rakyat melihat kejadian itu, sujudlah mereka serta berkata: "TUHAN, Dialah Allah! TUHAN, Dialah Allah!" Kata Elia kepada mereka: "Tangkaplah nabi-nabi Baal itu, seorangpun dari mereka tidak boleh luput." Setelah ditangkap, Elia membawa mereka ke sungai Kison dan menyembelih mereka di sana.” Bukankah konsep agama kedua ini sangat mengasihankan karena manusia yang sudah diciptakan Allah ternyata tidak mengetahui dan mengenal siapa Allahnya. Agama ketiga yang tidak seimbang menekankan konsep ini adalah Katolik Roma yang mengajarkan bahwa Allah dapat bersekutu dengan ciptaan melalui sarana hubungan pengantara yang mistis, yaitu Gereja (lembaga yang kelihatan dan nyata). Dengan kata lain, Gereja adalah pengantara Allah yang bersekutu dengan umat-Nya. Permasalahannya adalah ketika gereja berbuat salah atau mengajarkan doktrin yang kacau/salah, maka bukankah umat-Nya akan menganggap Allah itu juga kacau/salah. Tidak ada jalan lain, hanya theologia Reformed/Calvinisme yang berani menerobos problematika tersebut dengan menekankan keseimbangan antara Allah yang transenden dan imanen. Dr. Kuyper mengaitkan keseimbangan ini sebagai syarat pertama bagi satu sistem kehidupan yang nyata. (Kuyper, 2005, pp. 15-16) Konsep ini dapat diimplikasikan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita menyadari bahwa Allah kita transenden sekaligus imanen, hal ini mengakibatkan kita semakin takut menghampiri hadirat-Nya sekaligus bersukacita karena kita telah ditebus oleh Kristus. Ibadah/kebaktian yang beres harus memadukan dua unsur ini, tidak boleh berat sebelah.

keenam, Allah yang Berdaulat adalah Allah Pengwahyu. Allah yang Berdaulat bukan hanya transenden dan imanen, tetapi juga menyatakan diri-Nya sebagai wujud imanensi Allah. Di dalam theologia Reformed, Allah menyatakan diri-Nya di dalam dua sarana, yaitu wahyu umum yang diwahyukan kepada semua manusia tanpa kecuali melalui hati nurani dan alam (diresponi oleh manusia dengan menciptakan agama dan kebudayaan), dan wahyu khusus yang diwahyukan hanya kepada umat pilihan-Nya melalui sarana Tuhan Yesus Kristus (tak tertulis) dan Alkitab (tertulis). Maksud dari pewahyuan ini agar manusia mengenal Allah, tetapi wahyu umum Allah yang diresponi manusia ternyata tak sanggup mengenal siapa Allah sesungguhnya (karena adanya bibit dosa di dalam manusia yang akhirnya mempengaruhi respon manusia terhadap wahyu umum Allah), sehingga Allah harus mewahyukan diri-Nya secara khusus hanya kepada umat pilihan-Nya di dalam Kristus. Di dalam Calvinisme, wahyu khusus selalu dimengerti sebagai wahyu tertinggi dan mutlak yang melampaui semua respon terhadap wahyu umum Allah, sehingga di dalam segala hal, Alkitab dan Kristus dipandang sebagai penentu, penghakim dan sumber dari semua agama, ilmu, kebudayaan, dll. Menolak konsep ini sama dengan menolak Alkitab dan Kristus, serta menolak Allah yang telah mewahyukan diri-Nya.

ketujuh (terakhir), Allah yang Berdaulat adalah Allah Trinitas. Wujud penyataan diri secara khusus dari Allah kepada umat pilihan-Nya selain Kristus dan Alkitab adalah Allah Trinitas, yaitu 1 esensi Allah yang memiliki tiga oknum yang berbeda, yaitu Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus yang menggenapkan satu tujuan ultimat Allah. Agama mayoritas di Indonesia dan kaum unitarian (percaya pada ketunggalan Allah/Allah yang hanya satu pribadi ; salah satunya diwakili oleh Frans Donald) menyanggah doktrin Trinitas dengan mengajukan argumentasi konyol, misalnya : Allah itu harus satu, tidak ada yang mengajarkan bahwa Allah memiliki anak, dll. Argumentasi-argumentasi ini saya katakan konyol, karena sama sekali tidak berdasar. Apalagi yang berani mengajukan argumentasi ini adalah orang “Kristen” unitarian, bagi saya, tambah konyol. Memang di dalam Alkitab, tidak ada pernyataan eksplisit tentang Trinitas, tetapi secara implisit, pasti ada. Matius 28:19 jelas menunjukkan konsep Trinitas, “...baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” Bagi mereka yang mengerti bahasa Inggris, di dalam terjemahan Inggris (baik itu King James Version, International Standard Version, dll), kata “nama” menggunakan bentuk tunggal (name) dan masing-masing pribadi Allah diselipkan kata the yang menunjukkan pribadi Allah yang berbeda. Perhatikan terjemahan King James Version pada ayat 19 ini, “baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Ghost:” Seharusnya, kalau ada tiga pribadi, Alkitab memakai bentuk jamak pada kata “name”, tetapi herannya terjemahan Alkitab Inggris menggantinya dengan bentuk tunggal, ini membuktikan bahwa Allah itu memiliki tiga pribadi yang masing-masing berbeda tetapi tetap satu esensi. Allah Trinitas memang tidak bisa dimengerti secara logika manusia yang terbatas (meskipun selalu dianggap “hebat”, “pintar”, dll), tetapi Allah Trinitas dimengerti melalui iman yang bersumber pada Kebenaran Allah (Truth) yang menuntun sekaligus menundukkan rasio. Atau menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, iman adalah penundukkan/pengembalikan rasio kepada Kebenaran. Lalu, apakah Alkitab tidak mengajarkan bahwa Allah memiliki Anak ? Jelas, Alkitab mengajarkannya, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” (Mazmur 2:7). Mazmur ini disebut Mazmur Mesianik. Kalau mereka mengatakan bahwa Allah itu tidak mungkin tiga pribadi tetapi tetap satu, berarti mereka secara tidak sadar sedang mengkotakkan/membatasi Allah yang tidak terbatas dan Berdaulat adanya. Allah yang Berdaulat adalah Allah yang mampu melakukan apa saja yang tidak melawan natur-Nya. Untuk itu, manusia tak memiliki hak sedikitpun untuk mengkomplain kedaulatan Allah. Ketika manusia berani meragukan Allah, itu sudah berdosa. Perhatikanlah kisah Adam dan Hawa sebelum mereka akhirnya jatuh ke dalam dosa, di mana ketika setan membalikkan perkataan Allah lalu mengatakan bahwa semua buah dari pohon ini tidak boleh dimakan, kecuali buah pohon pengetahuan baik dan jahat, Hawa mulai meragukan perkataan Allah meskipun menyanggah perkataan setan. Lalu, keraguan Hawa mulai bertambah ketika setan memberitahukan bahwa ketika makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, ia tak akan mati, tetapi akan sama seperti Allah, tahu yang baik dan jahat. Keraguan dua tahap ini lah mengakibatkan Hawa akhirnya berdosa. Hal yang sama juga terjadi ketika manusia dunia mulai mencoba meragukan Allah yang seharusnya tidak perlu diragukan. Allah Trinitas adalah Allah yang layak dipercaya, oleh karena itu berimanlah di dalam-Nya, dan jangan meragukannya.



Kedua, Calvinisme sebagaimana yang diajarkan juga oleh theologia Reformasi dari Dr. Martin Luther mengajak orang Kristen untuk kembali kepada Alkitab, Sumber Kebenaran (Sola Scriptura), bukan kepada otoritas-otoritas bahkan otoritas gereja yang juga adalah manusia biasa yang sangat mungkin bersalah. Meskipun theologia Reformed tidak berani mengklaim bahwa hanya theologia Reformed yang Alkitabiah, tetapi theologia Reformed memiliki pemahaman yang komprehensif yang mendekati Alkitab. Tidak ada satu theologia pun yang identik dengan Alkitab atau Alkitabiah, yang ada hanyalah mendekati Alkitab. Jika demikian, adalah suatu tugas theologia Reformed dan theologia-theologia Kristen lainnya untuk terus-menerus berubah sesuai dengan prinsip kebenaran Firman Tuhan (Alkitab), sesuai prinsip gereja-gereja Reformed, yaitu Ecclesia Reformata Semper Reformanda Est yang berarti gereja-gereja Reformed mau di-Reformed-kan sesuai dengan Alkitab. Tetapi sayangnya, semboyan ini diselewengkan oleh para “theolog” religionum atau social “gospel” yang notabene ada yang dari gereja-gereja yang mengaku dari Presbyterian/Reformed, di mana mereka mengatakan bahwa semboyan ini berarti gereja-gereja “Reformed” tidak boleh lagi menginjili secara verbal, karena itu bisa menyinggung atau menodai agama-agama lain, lalu alasan lain adalah karena Alkitab tidak memerintahkan kita untuk menginjili. Sudah saatnya, semua semangat humanisme atheis dibabat habis dan kebenaran Alkitab harus ditegakkan. Semangat Reformed adalah semangat yang agung yang mau dikoreksi oleh pemahaman yang God-centered akan Alkitab (God-centered knowledge of the Bible), bukan oleh pemahaman humanisme atheis akan Alkitab (men-centered knowledge of the Bible). God-centered knowledge of the Bible selalu dimulai dari apa yang Allah inginkan bagi manusia untuk dilakukan, tetapi men-centered knowledge of the Bible selalu berangkat dari presuposisi apa yang manusia inginkan agar Allah mengabulkannya. Posisi pertama jelas dipegang oleh Calvinisme, sedangkan posisi kedua jelas dipegang oleh : Islam, Buddhisme, Hinduisme, Paganisme, Katolik Roma, Arminianisme (yang melahirkan Anabaptisme, mayoritas Injili, mayoritas Baptis, mayoritas Methodist, mayoritas Karismatik/Pentakosta, mayoritas “theolog” religionum/social “gospel”).



Terakhir, Calvinisme mengajak orang Kristen untuk menjadi garam dan terang bagi dunia (mandat budaya dan mandat Injil). Bukan hanya kembali kepada Alkitab, Calvinisme mengajak orang Kristen dari berbagai denominasi gereja untuk menjadi saksi Kristus di tengah-tengah kegelapan dunia postmodern. Bagaimana menjadi saksi Kristus ? Theologia Reformed (khususnya Gerakan Reformed Injili) mengajak orang Kristen untuk mengerjakan mandat budaya dan mandat Injil. Mandat budaya berarti orang Kristen yang telah ditebus Kristus harus menebus semua kebudayaan (redeeming the culture) dari pemikiran dunia yang menyesatkan. Artinya, orang Kristen sejati harus membawa dan menundukkan semua kehidupan baik menyangkut politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, bisnis, dll di bawah Kebenaran Kristus dan Alkitab. Sehingga dari mandat budaya, keluarlah pemahaman integrasi iman Kristen dan ilmu. Menolak mandat budaya sebenarnya bukan menolak Calvinisme, tetapi menolak Alkitab dan tentunya Allah. Beberapa kelemahan orang yang menolak mandat budaya : pertama, orang yang menolak mandat budaya adalah orang yang di titik pertama TIDAK mengakui otoritas Allah yang tak terbatas. Mengapa ? Karena bagi orang yang mati-matian mengatakan bahwa agama dan ilmu tidak ada hubungannya, Allah itu hanya penting/perlu untuk agama saja, dan bukan bagi ilmu. Bukankah ini berarti bahwa Allah hanya menguasai lingkup agama dan “tak sanggup” menguasai bidang-bidang kehidupan lain, seperti pendidikan, ilmu, politik, ekonomi, dll ? Esensi di balik pernyataan ini sebenarnya adalah penolakan Allah secara praktis (ateis praktis). Filsafat dualisme ini sebenarnya diimpor dari pemikiran dualisme dari filsuf ateis Yunani, Plato yang mengajarkan bahwa tubuh ini jahat dan jiwa itu baik, lalu filsafat ini menghasilkan Gnostikisme yang juga akhirnya mempengaruhi keKristenan baik secara filsafat teoritis (Gnostik “Kristen”) maupun secara implikatif (dualisme/pemisahan antara hal-hal supranatural/rohani dengan natural/jasmani). Kelemahan kedua adalah orang yang menolak mandat budaya adalah orang yang juga menolak mentah-mentah konsep bahwa Kristus itu bernatur Allah sekaligus manusia (meskipun orang ini mengaku diri “Kristen” bahkan “melayani ‘tuhan’”) ! Mengapa ? Karena dwi natur Kristus mengindikasikan bahwa Kristus yang adalah Allah Pribadi Kedua tidak menganggap tubuh itu jahat, tetapi harus ditebus, sehingga Ia rela memakai tubuh manusia berdosa (tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) untuk menebus dosa manusia. Jika Kristus tidak bernatur manusia, Ia tak mungkin dapat menebus dosa manusia, karena Allah tidak dapat mati. Demikian juga, jika Kristus tak bernatur Allah, Ia tak mungkin dapat menebus dosa manusia, karena yang dapat menebus dosa manusia hanya Allah saja. Sungguh suatu keagungan tersendiri ketika kita memahami Trinitas dan dwi-natur Kristus, serta suatu kekonyolan jika ada yang menyangkali kedua doktrin agung di dalam Alkitab ini. Kembali, karena menegakkan mandat budaya, maka negara-negara yang dipengaruhi Calvinisme atau setidaknya Reformasi Luther pasti menghasilkan etos kerja yang tinggi dan barang-barang bermutu tinggi. Mengapa ? Karena mereka bekerja dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah memberikan contoh tentang arloji Rolex BUKAN dibuat di Arab, Irak, Iran, atau bahkan Indonesia, tetapi di negara Swiss yang dipengaruhi oleh Calvinisme. Mobil Mercedez Benz bukan dibuat di Thailand, Filipina, dll, tetapi di negara Jerman yang dipengaruhi oleh Reformasi Luther. Arsitektur bangunan/gedung di Eropa sangat bagus dan rapi dibandingkan dengan arsitektur di Indonesia yang kacaunya tidak karuan. Ini semua membuktikan bahwa sumbangsih Calvinisme begitu besar dan bertanggungjawab, dibandingkan dengan sumbangsih agama-agama di luar Calvinisme yang hanya bisa menteror dan membunuh orang saja !


Selain mandat budaya, Calvinisme yang Injili mengajak orang Kristen untuk memberitakan Injil baik dalam perbuatan maupun perkataan/verbal. Para penganut golongan social “gospel” jelas menolak mentah-mentah ide penginjilan verbal, karena bagi mereka, itu dapat menyinggung agama lain, tetapi Alkitab sendiri tidak sungkan-sungkan mengajarkan bahwa kita harus menjadikan semua bangsa menjadi murid Kristus atau dengan kata lain memberitakan Injil (Matius 28:19). Matius 28:19 seringkali diajarkan oleh para penganut social “gospel” dengan mengatakan bahwa itu hanya berlaku bagi keduabelas rasul Kristus, dan bukan bagi kita. Sehingga, mereka berkata bahwa kita harus “mengkontekstualisasikan” Injil. Seperti paparan Pdt. Sutjipto Subeno, saya juga merinding sendiri ketika istilah “kontekstualisasi” muncul menggantikan konsep teks dan esensi. Mengapa ? Karena istilah “kontekstualisasi” bahkan yang mengklaim “kontekstualisasi ‘injil’” adalah kontekstualisasi palsu/sesaat yang mencoba mendegradasi makna Injil supaya bisa diterima oleh orang-orang non-Kristen. Tidak usah heran, seorang “pendeta” (Abuna) besar yang dahulu dikabarkan mantan Islam sekarang berani mengajarkan bahwa iman Kristen harus menjadi “berkat” bagi Islam, agar mereka juga dapat menerima Kristen. Aneh, bukan ? Alkitab mengajarkan kita harus menjadi berkat, BUKAN iman kita yang menjadi “berkat”. Itu adalah ajaran yang konyol ! Kembali kepada mandat Injil, kita diperintahkan untuk memberitakan Injil. Orang Kristen yang tak menginjili tak layak disebut orang Kristen, karena orang Kristen yang tak menginjili membuktikan bahwa ia tak mengerti iman Kristennya dan finalitas Kristus, lalu apakah orang seperti ini masih layak disebut “Kristen” ? Suatu tanda tanya yang sangat besar.

Setelah kita merenungkan ketiga poin tentang keunikan Calvinisme, maukah kita dibangunkan dan diubah konsep berpikir kita bahwa segala sesuatu harus berpusat kepada kedaulatan Allah dan BUKAN pada ambisi manusia ?! Semoga artikel ini mencerahkan, menegur dan mengoreksi semua pemikiran kita yang salah serta membawa kita semakin mengenal kebenaran Alkitab dan bukan “kebenaran” manusia berdosa yang terbatas dan menyesatkan. Soli Deo Gloria. Sola Scriptura. Sola Gratia. Sola Fide. Solus Christus. Amin.

28 June 2007

Matius 3:7-12 : THE PROBLEM OF FAITH

Ringkasan Khotbah : 2 Mei 2004

The Problem of Faith

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Nats: Mat. 3:7-12


Tugas Yohanes Pembaptis adalah menjadi pembuka jalan untuk Tuhan Yesus dan mewartakan berita pertobatan; dan sebagai tanda pertobatan yaitu mereka dibaptis dengan air. Baptisan Yohanes menyadarkan manusia untuk hidup dalam kebenaran. Yohanes Pembaptis membaptis dengan air tetapi Ia, Yesus akan datang dan membaptis engkau dengan Roh Kudus dan dengan api (ay. 11). Dilihat dari konteksnya berita kedatangan Kristus ini seharusnya menggentarkan setiap manusia karena manusia harus berhadapan dengan kematian. Ironisnya, orang berpikir hal ini justru sebagai suatu kenikmatan, berarti telah terjadi penyimpangan iman manusia.
Beribu-ribu orang dari segala penjuru datang untuk dibaptis tak terkecuali orang Parisi dan orang Saduki, orang yang katanya “rohani“. Namun, bukannya pujian yang diterima oleh mereka, Yohanes Pembaptis malah mengatai mereka dengan ular beludak. Kalimat ini sangat menusuk hati setiap orang yang mendengarnya karena ular beludak menggambarkan kemunafikan dan kejahatan. Ular beludak, vipers mempunyai warna kulit yang sangat indah akan tetapi racunnya sangat mematikan. Yohanes Pembaptis tidak mudah terkecoh dengan tampilan luar yang indah karena dia tahu, di mata Tuhan hal itu justru kejijikan. Dalam hal ini Yohanes Pembaptis mewakili suara Tuhan dan menegaskan bahwa manusia boleh menyanjung dan menghormati namun Tuhan tidak memandang semuanya, karena tampilan luar tidak lebih hanya seperti seekor ular beludak yang penuh dengan kemunafikan.
Kalau kita tidak masuk dalam esensi iman yang sejati maka kita mudah terkecoh dengan segala bentuk tampilan luar yang bagus. Dan celakanya, diri sendiri juga terkecoh sehingga masuk dalam jebakan yang sama; kita memproses “kerohanian“ kita dengan cara yang tidak rohani. Kita akan sulit membedakan orang-orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Yohanes Pembaptis bukan tanpa alasan menuduh orang Parisi dan orang Saduki sebagai ular beludak. Ia tahu bahwa tugasnya adalah mewartakan kebenaran karena itu ia harus membukakan realita tentang siapakah diri mereka yang sesungguhnya. The problem of faith seseorang kenapa tidak mempunyai iman yang sejati adalah:
Pertama, Manusia menegakkan kebenaran di atas sesuatu yang sifatnya belum pasti, yakni hanya perkiraan saja. Janganlah mengira...(ay. 9) merupakan konsep apologia dan epistemologi yang dibangun oleh dunia. Manusia seharusnya mempunyai akal budi dan hikmat lebih tinggi dari binatang, mempunyai cara pikir dan analisa yang lebih hebat dari binatang. Manusia mempunyai konsep sebab akibat yang tidak dipunyai binatang, manusia mempunyai semua kapasitas untuk menjadi lebih bijaksana. Namun, kita justru melihat hal yang sebaliknya, manusia tidak mempunyai bijak yang dari “sana“ melainkan bijak yang dari “sini“ (diri sendiri). Bijak yang sejati bukan berasal dari diri melainkan berasal dari luar diri dan diberikan ke dalam diri. Hari ini banyak orang yang merasa diri bijaksana namun sesungguhnya bukan bijak yang dari “sana“ melainkan bijak yang dari “sini“ maka tidaklah heran kalau dunia semakin hari semakin rusak.
Alkitab menegaskan bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Rm. 11:36). Orang humanis tidak suka sehingga mereka memutar balik konsep tersebut, yakni manusialah yang menjadi tolak ukur untuk segala sesuatu, homo men sura. Kehancuran dunia dimulai dari ketika manusia mengira dirinya hebat, dia kira dia tahu segala hal, dan dia kira dia benar. Tidak! Justru semua perkiraan tersebut akan menghancurkan diri mereka karena semua perkiraan tersebut sifatnya belum pasti. Do not think that, jangan pernah kau pikir bahwa...! Inilah sifat manusia berdosa, yakni membangun kebenaran berdasar pada dirinya sendiri. Dan ketika bangunan kebenaran yang didirikan tersebut mulai dipertanyakan, maka ia menjadi marah karena kita meragukan kebenaran yang dia pikirkan, hal itu sama dengan mencurigai dan menghancurkan dirinya.
Bukan hal yang mudah bagi seseorang untuk mengubah dasar bangunan yang telah berdiri sekian lama; dia harus rela membongkar hati dan semua hal yang tersembunyi. Pada umumnya, manusia tidak suka dan tidak mau disadarkan dari kesalahannya. Manusia sudah mencapai titik kebekuan yang fatal. Hal ini dialami oleh orang Parisi dan orang Saduki, mereka tidak menyadari kalau mereka telah berada pada jalur yang salah. Orang Yahudi berjuang keras demi untuk menjadi orang Parisi maupun orang Saduki supaya dihormati. Mereka berjuang keras menghafal seluruh aturan Taurat dan menjalankannya. Namun sayang, semua usaha keras tersebut hanyalah sekedar ritual belaka.
Orang Yahudi tidak pernah tahu bahwa semua usaha yang mereka lakukan tersebut salah dan sia-sia. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai pra asumsi atau menetapkan terlebih dahulu bahwa semua hal yang mereka pikir dan mereka lakukan sebagai suatu kebenaran. Apa yang menjadi standar ukuran tertinggi suatu kebenaran? Dan siapa yang menetapkan suatu kebenaran? Darimana orang tahu bahwa sesuatu yang dianggap benar itu benar? Manusia berdosa pasti menjawab: diri saya sendiri. Maka tidaklah heran manusia menjadi marah jika dirinya diusik. Bukanlah hal yang mudah bagi manusia untuk mempunyai konsep bahwa segala hal yang ditetapkan diri sendiri itu belum tentu benar karena itu berarti melampaui pikiran manusia berdosa. Segala sesuatu yang sifatnya belum pasti, yakni hanya perkiraan saja dapatlah dikatakan bukan sebagai kebenaran.
Seseorang barulah menyadari bahwa yang dianggap benar ternyata salah setelah dia dihancurkan, mengalami berbagai hal yang tidak menyenangkan. Adalah tugas setiap anak Tuhan untuk menyadarkan manusia bahwa kebenaran sejati hanya ada dalam Kristus dan hanya anugerah Tuhan kalau orang mau bertobat dan kembali pada kebenaran sejati. Logika manusia tidak akan dapat mengerti cara Roh Kudus yang dapat membuat orang mengakui segala perbuatan dosanya. Hal ini terjadi di negeri Cina pada saat John Sung berkhotbah. Para polisi yang ditugaskan untuk mengawasi segala gerak gerik John Sung menjadi heran karena banyak orang yang mengakui dosanya padahal untuk membuat seseorang mengakui dosanya tidaklah mudah. Jadi, semua hanya karena anugerah.
Yohanes Pembaptis tahu beda antara iman sejati dan iman yang palsu karena itu ia menegur dengan keras orang Parisi dan orang Saduki. Mereka sepertinya memperjuangkan kepentingan Tuhan namun sesungguhnya tidaklah demikian, sesungguhnya mereka hanya mementingkan kepentingan duniawi. Janganlah terkecoh dengan segala penampilan luar. Aktivitas rohani yang dilakukan selama bertahun-tahun bukanlah jaminan bagi seseorang bisa mempunyai iman sejati. Keagamaan dan kerohanian menyangkut hidup kita, sekali kita menentukan basis salah maka semua tingkah laku kita akan salah dan akibatnya kematian. Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api (Mat. 3:10). Manusia mempunyai iman sejati kalau ia mau taat pada perintah Tuhan.
Kedua, merasa diri sebagai keturunan Abraham dan menjalankan segala ritual agama Kristen. Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami (Mat. 3:9). Yohanes Pembaptis tahu apa yang menjadi pikiran mereka dan hal ini pun diulang kembali oleh orang Yahudi ketika mereka berdebat dengan Tuhan Yesus (Yoh. 8). Orang seringkali mempunyai konsep yang salah; mereka merasa diri sudah “Kristen“ karena:
1) Dilahirkan dari keluarga Kristen, I am Christian by born. “Bapa kami adalah Abraham“ merupakan kebanggaan orang Yahudi bahkan kalimat ini seringkali diucapkan. Mereka mengira bahwa mereka adalah umat pilihan maka pasti selamat. Salah! Perhatikanlah, daerah-daerah dimana orang menjadi Kristen sejak lahir justru mengalami kehancuran karena mereka merasa diri dari keturunan Kristen. Kita tidak mengerti apa yang menjadi rencana dan maksud Tuhan tapi kita tahu pasti kalau Tuhan mengijinkan hal ini terjadi pasti demi untuk kebaikan anak-anakNya. Tuhan ingin menguji iman mereka, apakah mereka sungguh beriman sejati? Sebab, orang yang berasal dari keluarga Kristen belum tentu punya iman sejati. Alkitab menegaskan bahwa menjadi keturunan Abraham bukanlah jaminan keselamatan karena Tuhan dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu (Mat. 3:9). Hal ini berarti batu lebih berharga dibandingkan dengan keturunan Yahudi. Celakanya, hari ini banyak orang Kristen yang tidak menjadi saksi dan berkat namun justru mempermalukan nama Tuhan. Ingat, Kerajaan Tuhan bukan didirikan atas fenomena.
2) Sudah melakukan segala macam ritual agama. Orang Parisi sudah merasa “rohani“ karena telah menjalankan semua tradisi nenek moyang dan menjalankan Taurat. Tradisi sudah menjadi kebiasaan yang harus dijalankan turun temurun. Alkitab menegaskan iman Kristen bukan karena kita menjalankan ritual justru dampak iman sejatilah yang membuat kita menjalankan segala ritual ibadah dengan sungguh-sungguh. Jadi, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh dan melakukan berbagai macam “pelayanan“ belum dapat disimpulkan sebagai orang Kristen sejati. Iman sejati akan mengeluarkan buah yang sesuai pertobatan. Dengan tajam dan keras Yohanes Pembaptis menegur orang Parisi bahwa segala ritual dan kebanggaan mereka sebagai keturunan Abraham bukanlah jaminan; hal itu justru menghancurkan mereka. Persembahan uang yang kita berikan pun tidak identik dengan iman sejati. Iman Kristen menekankan kesucian dan tingkat hidup moral yang tinggi. Iman sejati seharusnya mendorong kita untuk melayani Tuhan dengan lebih baik, tidak menjadikan diri kita egois.
Orang Kristen harus menjadi saluran berkat. Apakah kita mempunyai iman yang sejati? Ingat, jika hanya menjadi seorang Kristen ritual maka kita pasti ditebang dan dibuang ke dalam api (Mat. 3:11). Orang Parisi mempunyai semangat tinggi dalam melayani bahkan berani berkorban, seperti Saulus. Agama digunakan untuk membunuh orang beragama. Puji Tuhan, anugerahNya menyadarkan Paulus bahwa tanpa pertobatan semua perjuangan keras kita hanyalah sia-sia belaka; itu bukan iman sejati tapi ritual yang merupakan ekspresi dari arogansi keegoisan manusia. Biarlah cinta Tuhan di kayu salib yang berkenan menyelamatkan kita menyadarkan setiap anak Tuhan untuk mau melayani dan menjadi saluran berkat; menjadi saksi Kristus sehingga orang lain menjadi percaya dan bertobat.
Ketiga, Kita tidak asal percaya tapi mengkritisi diri sendiri sehingga kita terbuka untuk melihat kebenaran Firman lebih tajam, kita berproses dalam iman. Kata “api“ diulang sebanyak tiga kali, yakni di ayat 10, 11, dan 12 berarti ada hal yang serius dan bermakna yang harus kita perhatikan. Yohanes Pembaptis ingin menunjukkan pada orang Parisi bahwa apa yang selama ini mereka pikir baik dan benar ternyata salah! Orang yang sudah menaruh iman kepercayaannya pada sesuatu, misalnya uang maka ia pasti tidak akan pernah memikirkan resiko yang harus dihadapi, what’s the risk in my faith? Orang yang menjadikan uang sebagai “tuhan“ akan sulit disadarkan akan bahayanya uang; mereka tidak dapat menerima konsep Alkitab yang menegaskan bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan (1Tim. 6:10).
Sebagai orang Kristen, setiap orang hendaklah mengkritisi imannya sendiri. Dan hanya teologi reform yang mengajarkan dan berani diuji. Iman sejati menuntut pengujian sebaliknya iman dunia tidak mau diuji. Iman Kristen dapat dipertanggung jawabkan dan diuji termasuk oleh diri sendiri. Caranya yaitu ketika kita mempunyai konsep, ujilah dengan Firman; jangan mencari ayat yang mendukung konsep kita tapi justru carilah ayat yang melawan, self critic. Diri sendiri tidak berhak mengkritisi diri sendiri karena jika demikian maka hanya kebenaran diri yang kita dapatkan. Libatkan saudara seiman kita karena mungkin sekali kita mengira tidak ada ayat yang melawan dan kemudian bersama-sama mencoba menguji konsep tersebut. Ingat, dengan rendah hati kita harus menghancurkan konsep kita yang salah dan membiarkan Kristus membangunnya kembali. Inilah self critic.
Reformed is always to be re reformed. Ingat, kapak ada di akar maka kalau kita tidak mempunyai iman sejati, kita pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Biarlah kita mau menuntut diri untuk belajar dan belajar sehingga iman kita dibangun bukan berdasar fanatisme tapi kita tahu pasti mengapa kita beriman Kristen sehingga di dunia yang makin kacau ini kita tidak takut menghadapi serangan tapi malah membuat iman kita semakin kokoh. Hendaklah setiap orang Kristen menuntut dirinya sendiri untuk belajar memahami Firman, semakin mengenal dan taat pada Allah dengan demikian bersama-sama bertumbuh dalam iman. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber :

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2004/20040502.htm

Roma 2:3-4 : MURKA ALLAH TERHADAP KEBEBALAN MANUSIA DAN PENTINGNYA PERTOBATAN

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-7


Murka Allah Terhadap Kebebalan Manusia dan Pentingnya Pertobatan


oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:3-4

Pada ayat sebelumnya (ayat 1-2), manusia yang berdosa yang sudah mengetahui hukuman Allah tetap menghakimi mereka sebagai orang berdosa. Mereka menyangka dengan menghakimi sesamanya, mereka kelihatan hebat, dan bisa terlepas dari murka Allah. Mereka secara tidak sadar sedang menyombongkan diri, padahal apa yang mereka hakimi terhadap orang lain, mereka melakukannya sendiri. Dengan kata lain, mereka munafik. Bagi Paulus, orang yang munafik tidak pernah akan lolos dari murka Allah, seperti yang dikatakannya pada ayat 3, “Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?” Sejarah Israel membuktikan bahwa mereka membangkang di hadapan Tuhan, tetapi mereka tidka sadar sadar lalu mereka menghakimi orang-orang di luar Israel sebagai orang kafir, padahal mereka sendiri kafir dengan menyembah berhala-berhala di luar Allah. Kitab Raja-raja membuktikan hal ini di dalam kedua kerajaan yaitu Israel dan Yehuda, kalau seorang raja memerintah dengan baik dan sesuai kehendak Allah, maka seluruh umat menyembah Allah, tetapi jika raja penggantinya memerintah dengan melawan Allah, maka seluruh umat kembali menyembah ilah-ilah lain. Bukankah ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya munafik, menghakimi orang lain sebagai orang kafir (karena tidak memiliki Taurat), tetapi di sisi lain, mereka sendiri juga kafir dengan menyembah ilah-ilah lain. Kepada mereka yang munafik, Paulus menantang mereka, apakah mereka akan luput dari hukuman Allah ? Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Mengingat surat ini juga ditujukan kepada orang Kristen, maka surat ini juga harus menjadi pelajaran bagi setiap kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen gemar menghakimi orang lain sebagai penghuni neraka karena mereka telah berbuat dosa yang begitu keji, sedangkan kita sendiri tidak jauh bedanya dengan mereka ? Berwaspadalah, dosa bukan sekedar dalam bentuk perbuatan, melainkan esensi dosa adalah pemberontakan terhadap Allah. Bagi kita jugalah tersedia murka Allah yang berupa penghakiman-Nya yang adil.

Apakah wujud penghakiman dan murka Allah itu ? Paulus mendeskripsikannya pada ayat 4, “Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Atau kalian pandang enteng kemurahan Allah dan kelapangan hati serta kesabaran-Nya yang begitu besar? Pasti kalian tahu bahwa Allah menunjukkan kebaikan hati-Nya karena Ia mau supaya kalian bertobat dari dosa-dosamu.” Perhatikan. Paulus langsung menghakimi jemaat di Roma bahwa mereka terkesan memandang rendah (merendahkan)/tidak menghargai atau membenci (KJV : despise ; Yunani : kataphroneō) kekayaan kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati-Nya. Mengapa bisa demikian ? Karena menurut mereka, Allah itu Mahakasih dan panjang sabar, maka Ia tidak akan pernah menghukum (bandingkan ayat 3). Ini pulalah yang diajarkan di dalam keKristenan abad postmodern ini. Allah yang diajarkan hanya berfokus kepada Allah yang Mahakasih, Maha Memberi, panjang sabar, Maha Pengampun, dll, lalu tidak heran banyak orang Kristen hari-hari ini “mempermainkan” Allah yang diajarkan seperti ini dengan “menodong” Allah agar mengabulkan apa yang dimintanya. Bagi mereka, Allah adalah “pembantu” mereka yang bisa disuruh dengan dalih “Mahakuasa”, “Mahakasih”, dll. Sehingga, Allah yang Mahakasih secara tidak sengaja “dihina” habis-habisan sampai-sampai Ia bukan lagi sebagai Allah, tetapi “Pemenuh” kebutuhan hasrat/nafsu birahi manusia berdosa. Percuma sajalah mereka beribadah, menyembah Allah di dalam gereja (bahkan mengangkat tangan, dll), padahal paradigma mereka telah diracuni oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggungjawab yang diklaim dari “Allah” dan mereka sebenarnya sedang menghina dan merendahkan Allah. Lalu, apa sebenarnya maksud dari Allah yang Mahakasih ini ? Paulus mengajarkan bahwa Allah yang Mahakasih adalah Allah yang kaya akan kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati. Kata “kekayaan” di dalam ayat ini dalam bahasa Yunani ploutos yang identik dengan wealth (kekayaan), richness (kekayaan), abundance (kelimpahan), valuable bestowment (hadiah yang berharga), dll. Dengan demikian, Allah yang Mahakasih adalah Allah yang memiliki suatu kekayaan atau suatu hal yang berharga yang tak mungkin bisa ditandingi oleh Pribadi yang lain akan kemurahan, kesabaran dan kelapangan hati.

Ada 3 bentuk kekayaan yang dimiliki oleh Allah yang Mahakasih ini, yaitu, pertama, kemurahan Allah. Kata ini identik dengan kebaikan (KJV : goodness). Albert Barnes menafsirkan kata ini sebagai kindness (=kebaikan hati, keramahan, perbuatan baik, kasih sayang) dan benignity yang artinya penuh dengan belas kasih, baik hati, anugerah, mementingkan kepentingan orang lain (altruisme), dll. Dalam bahasa Yunani, kata ini diterjemahkan sebagai chrēstotēs berarti usefulness, that is, moral excellence (in character or demeanor) : - gentleness, good (-ness), kindness (=manfaat, yaitu kebaikan moral dalam hal karakter atau pembawaan diri) : kelemah-lembutan, kebaikan, kebaikan hati). Jadi, Allah yang penuh dengan kemurahan berarti Allah yang mengasihi umat-Nya, Allah yang lemah lembut, baik hati dan selalu memberikan anugerah. Hal ini diajarkan sejak dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Kasih setia Allah dicurahkan kepada umat-Nya, Israel, meksipun mereka terus berdosa. Ketika Allah harus menghukum Israel karena kebebalan hati mereka yang terus menyembah berhala, Ia tetap mengasihi mereka, sehingga setelah mereka bertobat Allah tetap mengasihi dan memulihkan keadaan mereka. Kasih setia Allah selalu berbarengan dengan keadilan Allah. Di dalam penebusan Kristus pun, Allah juga menunjukkan kasih sayang-Nya kepada manusia (hanya umat pilihan-Nya) (Yohanes 3:16-18a) dan menunjukkan juga keadilan dan kemarahan-Nya berupa hukuman-Nya kepada mereka yang menolak percaya kepada Kristus (Yohanes 3:18b,19). Kemurahan Allah selalu berkaitan dengan kekerasan-Nya. Hal ini ditunjukkan Paulus di dalam Roma 11:22, “Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamupun akan dipotong juga.” Allah yang bermurah hati akan menyelamatkan umat pilihan-Nya, dan di sisi lain Ia yang Maha Pemurah itu juga pasti menghukum mereka yang tidak taat. Selain itu, kebaikan atau kemurahan Allah berkenaan dengan keselamatan umat pilihan-Nya. Hal ini diajarkan oleh Titus di dalam Titus 3:4-5, “Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus,” Allah yang murah hati adalah Allah yang menyelamatkan umat-Nya bukan berdasarkan perbuatan baik mausia, tetapi atas belas kasihan dan kedaulatan-Nya saja dengan rela mengorban Putra Tunggal-Nya, Kristus Yesus, Tuhan kita untuk mati menebus dosa-dosa manusia. Kemurahan hati Allah dalam hal ini berkaitan dengan pengorbanan. Kedua, kesabaran Allah. Kata “kesabaran” ini dari bahasa Yunani anochē yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai forbearance (=kesabaran) atau bisa berarti tolerance (=toleransi). Apa arti kesabaran ini ? Mari kita lihat apa yang Paulus katakan di dalam Roma 3:25, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.” Kesabaran-Nya pada bagian ini berkaitan dengan waktu Allah yang “sengaja” membiarkan dosa manusia terjadi, sampai pada waktu yang Ia telah tetapkan di mana Kristus harus inkarnasi untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. Pembiaran terhadap dosa ini tidak membuktikan dan mendorong kita untuk terus-menerus berbuat dosa, tetapi seharusnya mendorong kita untuk segera bertobat. Ketiga, kelapangan hati-Nya. Kata “kelapangan hati” dalam King James Version (KJV) diterjemahkan longsuffering dan dalam bahasa Yunaninya makrothumia identik dengan kesabaran (patience, forbearance). Kata ini dipakai oleh Paulus di dalam Roma 9:22, “Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan” Mengapa Allah tetap bersabar dan tetap menahan murka-Nya agar tidak menimpa orang-orang yang layak dibinasakan ? Ayat 23-24 di dalam Roma 9 ini, Ia berfirman melalui Paulus, “justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain,” Jadi, dalam kekekalan Allah, Ia telah menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan di dalam Kristus, dan bagi merekalah (perhatikan pernyataan, “benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya”), Ia menunjukkan kemuliaan-Nya yang melimpah, sedangkan sebagian orang yang tidak Ia pilih, secara otomatis, Ia tolak. Ini disebut Paulus sebagai, “benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan” Jadi, apa yang diajarkan oleh theologia Reformed mengenai predestinasi (pemilihan Allah sebelum dunia dijadikan) MUTLAK tidak salah, karena bagian Roma 9 ini telah mengajarkannya dengan jelas dan teliti !

Lalu, apakah motivasi dari kemurahan-Nya yang berlimpah ini ? Paulus berkata, “maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan” Kata “kemurahan” yang dipakai di sini adalah wujud pertama dalam kasih-Nya yaitu kebaikan atau kebaikan hati-Nya. Jadi, Allah yang baik hati (terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari) bermaksud BUKAN agar kita terus berkanjang di dalam dosa, tetapi untuk menuntun kita supaya bertobat. Kata “menuntun” dalam KJV diterjemahkan lead artinya memimpin. Jadi, kebaikan hati-Nya bukan langsung membuat kita menjadi bertobat dan kudus 100% secara instan, tetapi memimpin kita secara bertahap kepada pertobatan. Saya dapat membagi dua macam pertobatan. Pertobatan bisa terjadi secara langsung, misalnya Roh Kudus bekerja langsung mempertobatkan salah seorang umat pilihan ketika mendengarkan Injil sekali, atau bisa juga pertobatan terjadi secara bertahap, artinya melalui pendengaran Injil beberapa kali. Itu semua tergantung pada kedaulatan-Nya melalui pencerahan Roh Kudus. Kata “pertobatan” dalam ayat ini dari bahasa Yunani metanoia berarti compunction (=perasaan bersalah, menyesal, termasuk reformasi/perubahan radikal) atau reversal (of [another’s] decision) (=perubahan dari keputusan seseorang). Jadi, pertobatan meliputi tiga hal, yaitu :
Pertama, perasaan bersalah dan mengaku diri bersalah. Pertobatan terjadi dahulu mulai dari perasaan bersalah. Tanpa ada perasaan bersalah/dosa, maka mustahil terjadi pertobatan. Perasaan bersalah bukan sekedar perasaan manusia yang bersalah melakukan tindakan-tindakan yang salah, tetapi lebih ke arah esensi, yaitu perasaan manusia yang bersalah karena telah berdosa dan melawan Allah. Ingatlah, Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajarkan bahwa manusia itu adalah makhluk yang dicipta (created), terbatas (limited) dan terpolusi dosa (polluted). Karena ada tiga status manusia ini, manusia seharusnya sadar bahwa dirinya hanya debu tanah yang mudah rapuh. Renungkanlah apa yang dikatakan oleh Raja Daud, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” (Mazmur 8:4-6). Raja Daud juga mengajarkan, “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu. Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. Tetapi kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya.” (Mazmur 103:13-18) Manusia itu makhluk yang mudah rapuh, lemah, terbatas, berdosa, meskipun mereka telah dikaruniai mahkota kemuliana dan hormat dari Allah, sehingga akhirnya mereka tidak taat kepada perintah Allah yang melarang mereka memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Akibat ketidaktaatan manusia terhadap perintah-Nya, Allah terpaksa harus membuang mereka dari Taman Eden. Itulah dosa, suatu tindakan yang bukan melawan perintah manusia, tetapi melawan perintah Allah. Kalau di abad postmodern, orang-orang dunia (bahkan orang-orang “Kristen” yang masih indekos di dalam gereja) menganggap bahwa manusia itu hebat, superman, pintar, berintelek, cerdas, lalu menganggap diri tidak mungkin berdosa lagi, karena telah menganggap dirinya identik dengan “allah”, maka bagaimana dengan anak-anak Tuhan sejati ? Biarlah kita tidak ikut-ikutan dengan arus zaman yang semakin menggila ini. Akuilah dosamu sebagai prinsip dasar pertobatan. Caranya ? Jika Firman Tuhan baik melalui perenungan/khotbah maupun Alkitab mengoreksi dosa yang telah kita perbuat, maka segera mengakui dosa-dosa tersebut, jangan menutup-nutupinya dengan beribu alasan, misalnya khilaf, dll !
Kedua, perasaan dan sikap menyesal. Setelah mengakui dosa, benarkah itu sudah cukup? TIDAK. Perasaan dan pengakuan dosa harus dilanjutkan dengan sikap menyesal. Penyesalan bukan sekedar suatu perasaan tetapi juga sebuah sikap. Sikap penyesalan ini bisa ditandai dengan menangisi dosa, sedih terhadap dosa, dll. Tetapi ekspresi menangis tidak boleh dimutlakkan lalu kalau tidak menangis, dicap sebagai orang yang tidak mau menyesali dosa. Kebangunan rohani yang dipimpin oleh Jonathan Edwards di Amerika pada abad 18 pun ditandai dengan sikap penyesalan terhadap dosa oleh jemaat-jemaat yang hadir setelah mereka mendengarkan khotbah Jonathan Edwards yang berintikan murka Allah terhadap dosa. Mungkin sekali sikap penyesalan terhadap dosa menimbulkan kita yang melakukannya akan dicap sebagai orang bodoh, sok rohani, dll, karena bagi orang dunia, hal itu tak perlu dilakukan. Lalu, apa sikap kita ? Kita sebagai anak-anak Tuhan sejati tidak perlu menghiraukan ide-ide gila dari orang-orang dunia yang juga ikut-ikutan gila di abad postmodern ini. Kalau Roh Kudus menggerakkan dan mendorong kita untuk bertobat, sesalilah dosa-dosa kita.
Cukupkah hanya menyesali dosa ? TIDAK. Pertobatan mencakup hal terakhir/ketiga, yaitu berubah total. Kata Yunani, metanoia bukan sekedar berarti perubahan tingkah laku, tetapi perubahan radikal yang mencakup segala sesuatu, pertama-tama dari hati, pikiran, perkataan, sifat, tingkah laku sampai perbuatan kita. Hal ini saya sebut sebagai holistic reformation (perubahan radikal secara menyeluruh). Yohanes Pembaptis menegur orang-orang Farisi dan Saduki yang ingin dibaptis dengan mengatakan, “Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan.” (Matius 3:8). Yohanes mengerti prinsip pertobatan yang berkaitan dengan buah/hasil. Pertobatan jika hanya diucapkan di dalam mulut saja, itu adalah hal yang sia-sia, tetapi pertobatan harus diwujudnyatakan di dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya perubahan hati dan pikiran yang memimpin perubahan perilaku, perkataan, sifat dan tindakan kita. Paulus menasehatkan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2). KJV menerjemahkan ayat ini dengan lebih teliti, “And be not conformed to this world: but be ye transformed by the renewing of your mind, that ye may prove what is that good, and acceptable, and perfect, will of God.

Biarlah setelah mendengarkan perenungan Firman Tuhan ini, kita semakin disadarkan pentingnya pertobatan atas dosa-dosa kita sebelum Tuhan menimpakan murka-Nya kepada kita. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-11 : THEOLOGIA ABU-ABU, PLURALISME AGAMA (Pdt. DR. STEVRI INDRA LUMINTANG)

...Dapatkan Segera...

Buku
THEOLOGIA ABU-ABU, PLURALISME AGAMA (EDISI REVISI)
Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini


oleh : Pdt. Stevri Indra Lumintang, M.Th., D.Min., Th.D. (Cand.)

Penerbit : Gandum Mas, Malang (2004)

Prakata :

Prof. Joseph Tong, Ph.D. (President of International Theological Seminary, Los Angeles, USA)

Teologi Abu-abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itupun dianggap sebagai mitos. Dari perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini. Inilah teologi abu-abu yang dengan bangga ditawarkan oleh kaum pluralis, sebagai teologi yang sempurna dan sangat tepat untuk menjawab persoalan fenomena pluralitas agama dan budaya di dunia. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama. Kaum pluralis sedang bermimpi untuk mengulangi keindahan taman Eden, dan membangun kembali menara Babel (Utopia), namun sayang teologi mereka yang abu-abu tersebut hancur bersama hancurnya menara Babel.







Profil Pdt. Dr. Stevri I. Lumintang :
Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang dilahirkan di Kanonang, Minahasa, Sulawesi Utara tahun 1965, anak ketiga dari empat bersaudara dalam pernikahan Bapak Herny Lumintang dengan Ibu Sherly Paendong. Pada tahun 1991, beliau menikah dengan Danik Astuti, M.Div. dan dikaruniai tiga orang putri yang bernama : Shendy Carolina Lumintang, Sheren Angelina Lumintang, Sheline Feranda Lumintang.

Pada tahun 1999, beliau ditahbiskan sebagai pendeta di Gereja Keesaan Injil Indonesia, anggota PGI dan melayani sebagai dosen bidang theologia sistematika, theologia reformasi, apologetika dan filsafat dan Institut Injil Indonesia, baik program Sarjana maupun Pascasarjana. Beliau juga mengajar di beberapa Sekolah Tinggi Theologia di Indonesia.

Beliau menyeleesaikan studi theologia dengan gelar Sarjana Theologia (S.Th.) pada tahun 1991 di Institut Injil Indonesia, Batu. Pada tahun 1996, beliau menyelesaikan studi program S-2 dengan gelar Master of Divinity (M.Div.) di Institut yang sama. Pada tahun 1999, beliau menyelesaikan Master of Theology (M.Th.) in Systematic Studies di International Theological Seminary, Los Angeles, USA. Pada tahun 2003, beliau menyelesaikan studi doktoral di ITS Los Angeles, USA dengan mempertahankan disertasi yang berjudul, “A Study of the Doctrine of Divine Sovereignty in Reformed Perspective and Spiritual Formation of Evangelical Semianry Students in Indonesia,” dengan gelar Doctor of Ministry (D.Min.). Sejak tahun 2001, beliau juga memulai program Doctor of Theology in Mission (Th.D.) di Consortium for Graduate Program in Christian Studies (CCS) dan sekarang sedang dalam tahap tutorial penulisan disertasi (tahun 2004).

23 June 2007

Tentang Calvinisme-1 : MENGAPA SAYA SEORANG REFORMED/CALVINIS ?-1 (Denny Teguh Sutandio)

Tentang Calvinisme-1



MENGAPA SAYA SEORANG REFORMED/CALVINIS ?-1

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S. (Cand.)




Pada bagian pertama dari pengajaran “Tentang Calvinisme”, saya tidak akan membahas mengenai doktrin-doktrin di dalam Calvinisme/Reformed, tetapi saya akan memberikan sedikit kesaksian/sharing tentang bagaimana saya menjadi seorang Reformed/Calvinisme di dalam perjalanan hidup saya (akan dibahas dua kali/bagian). Kesaksian/sharing ini bukan membicarakan masalah mimpi, penglihatan, dan hal-hal “supranatural” lainnya, tetapi berupa pencerahan Roh Kudus baik melalui membaca Alkitab dan buku-buku theologia/rohani yang bertanggungjawab tentang Calvinisme. Semoga kesaksian/sharing ini bermanfaat dan mencerahkan.

Saya lahir dari seorang ayah yang sudah menjadi Kristen (dulu jemaat Gereja Kristen Tionghoa—GKT {sekarang menjadi Gereja Kristus Tuhan} Jalan Bakmi, Surabaya) dan ibu yang pada waktu itu masih memeluk agama Buddha. Dari kecil, karena tidak mendapat pendidikan kerohanian yang beres, akhirnya saya diganggu setan, akibatnya saya sering sakit dan ibu saya sendiri sempat “takut” ketika saya mulai menunjuk kepada ujung tembok tertentu sebagai tanda ada setan. Pada saat itu, ibu saya berusaha mencari jalan keluar dari penyakit kerasukan ini, mulai dari mencari dukun, paranormal (atau abnormal?), dll. Akhirnya, paman saya dari Banjarmasin yang bukan Kristen (dan masih belum Kristen sampai saat ini juga) tiba-tiba mengenalkan ibu saya dengan seorang pendeta gereja Karismatik, karena kata orang, pendeta ini dapat mengusir setan. Ibu saya percaya dengan apa yang dikatakan paman saya dan akhirnya saya dibawa kepada pendeta ini lalu didoakan, dan benar, setan dapat diusir. Sambil mendoakan saya, si pendeta ini menginjili ibu saya dan akhirnya, ibu saya bertobat. Karena pendeta ini melayani di gereja Karismatik, maka pendeta ini menyarankan ibu saya untuk beribadah di Gereja Bethany (sekarang Gereja Bethany Indonesia), karena gereja ini “cocok” untuk orang Kristen awam/baru bertobat. Tetapi pada waktu itu, ayah saya yang sudah mendapat pengajaran ketat dari keluarga Protestan yang taat mengeraskan hati tidak mau pergi ke “gereja” itu. Meskipun demikian, ayah saya “terpaksa” ikut ke gereja Bethany karena ibu saya memaksa. Sedikit pelajaran tentang hal ini. Hai, para suami/pria, jangan pernah mengalah kepada istri/wanitamu ketika berkenaan dengan masalah kebenaran. Suami sejati bukan “membeo” kepada istri, tetapi taat kepada Allah dan memimpin sang istri belajar taat kepada-Nya. Kembali ke kisah saya, di Gereja Bethany Indonesia, saya diajar mengenai Alkitab di sekolah minggu. Di tempat ini, saya “bertumbuh” bukan makin mengenal Firman, tetapi cepat dalam membuka Alkitab saja. Sehingga ketika saya sekolah di SMP dan SMU, saya selalu cepat membuka Alkitab, meskipun tidak mengerti dengan benar apa yang diajarkan oleh Alkitab. Sungguh ironis memang.

Mulai beranjak agak remaja, kira-kira SMP-SMU, ayah saya mulai mengajar saya tentang iman Kristen yang beres dengan meminjamkan kaset-kaset khotbah dari hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong (khususnya Seminar Pembinaan Iman Kristen—SPIK) untuk didengarkan. Pada saat itu, saya menyetujuinya dan langsung mendengarkan kaset-kaset tersebut. Sejujurnya, apa yang Pdt. Dr. Stephen Tong ajar dan paparkan sangat menguatkan iman saya khususnya ketika beliau menguraikan tentang wahyu umum dan wahyu khusus (akan dibahas pada bagian/edisi selanjutnya). Di situ, saya baru belajar tentang keunikan dan finalitas keKristenan yang tak pernah saya pelajari di Gereja Bethany. Setelah mendapatkan pengajaran dari beliau, saya juga semakin rajin membeli dan membaca buku-buku rohani BUKAN dari gerakan/gereja Karismatik, tetapi gereja Protestan. Pada waktu itu, karena saya belum mengerti adanya racun pluralisme/“theologia” religionum (social “gospel”) di dalam Protestantisme, saya membeli buku-buku dari (alm.) “Pdt.” Dr. Eka Darmaputera (GKI) dan “Pdt.” Yohanes Bambang Mulyono, S.Th. (GKI) Dan puji Tuhan, meskipun hanya membaca sedikit bagian dari buku-buku tersebut, saya tidak tertipu oleh gerakan social “gospel” ini. Ketika sekolah (dari SD sampai dengan SMU), sejujurnya, saya masih diajari oleh ibu saya, karena dulu pernah diganggu setan, sehingga daya tangkap saya terhadap pelajaran agak lamban. Tetapi puji Tuhan, Ia menuntun dan memimpin saya terus menuju kebenaran sejati. Ketika saya SMP kelas 2, saya merasa Tuhan memanggil saya menjadi hamba-Nya.

Setelah lulus SMU, lagi-lagi karena belum ada guru “Kristen” satupun yang mengarahkan saya untuk peka terhadap panggilan dari Tuhan di dalam hidup, maka saya tidak tahu mau mengambil jurusan apa di kampus mana. Pertama-tama, saya bertekad untuk masuk sekolah theologia, tetapi ibu saya memberikan pengertian kepada saya untuk tidak langsung sekolah theologia, karena saya pada waktu itu belum mengerti apa-apa, misalnya hal-hal tentang hidup, kelicikan dunia, dll. Atas anjuran ibu saya, saya masuk ke Universitas “Kristen” Petra, Surabaya dan mengambil dua jurusan pilihan : Sastra Inggris dan Teknik Informatika, tetapi yang diterima adalah jurusan Sastra Inggris. Sejak kuliah, saya juga sempat membaca buku-buku rohani, dan khususnya karena ayah saya sering membeli buku-buku di Toko Buku Momentum, Surabaya, maka saya juga meminjamnya untuk membacanya. Pada semester awal, di perpustakaan, saya menemukan suatu buku rohani/theologia yang membahas mengenai “theologia” religionum dengan judul “Theologia Abu-abu : Pluralisme Iman” yang ditulis oleh Pdt. Stevri Indra Lumintang, M.Th., lalu saya meminjam buku tersebut dan membaca buku itu sedikit. Baru setelah sekilas membaca buku tersebut, saya baru sadar bahwa di dalam Protestantisme yang dulu pernah saya “agung”kan, ternyata ada racun pluralisme yang masuk ke dalam kubu ini. Sejak itu, saya berkomitmen kepada Tuhan untuk tidak lagi membaca buku-buku dari para penganut pluralisme, misalnya dari Jusuf Roni, Eka Darmaputera, Yohanes Bambang Mulyono, dll. Ketika di dalam perkuliahan, saya juga masuk ke dalam wadah UKM Bina Iman dan mau mendaftarkan diri di dalam Pelayanan Mahasiswa (Pelma), meskipun pada waktu itu, saya belum mengerti iman Kristen yang dalam. Pada waktu itu, saya masih belum mengerti bahwa penebusan Kristus hanya bagi umat pilihan-Nya, umat pilihan Allah di dalam Kristus tidak mungkin bisa hilang, dll. Tetapi puji Tuhan, saya membaca buku Iman Reformed/Reformed Faith yang ditulis oleh Dr. Loraine Boettner, D.D. dan di buku itu, saya menemukan prinsip-prinsip Calvinisme tentang penebusan Kristus hanya bagi umat pilihan-Nya, keselamatan di dalam Kristus tidak bisa hilang, dll. Pertama saya agak meragukan buku itu, tetapi lama-kelamaan Tuhan mencerahkan pikiran saya dan akhirnya saya menerima pengajaran tersebut (hal ini akan saya uraikan pada edisi berikutnya). Pada waktu saya kuliah di semester awal, saya sudah pindah dari Gereja Bethany dan berbakti di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Alfa Omega, Surabaya, karena ibu saya tertarik dengan Jusuf Roni yang mantan Islam dan menjadi “pendeta” (sekarang, mau meng“Islam”kan keKristenan dengan menolak doktrin Trinitas dan menggantinya dengan Tauhid-nya Islam/Allah itu satu pribadi). Jujur saya, daripada Gereja Bethany, GBI Alfa Omega masih lebih beres sedikit, meskipun doktrinnya masih kacau, karena di gereja ini, yang diundang untuk berkhotbah bukan hanya dari kalangan Karismatik, tetapi juga ada dari Protestan/Reformed (Pdt. Bigman Sirait, S.Th.). Tetapi karena yang diundang juga bukan hanya dari Protestan, tetapi dari Gereja Orthodox Syria, seperti Efraim Barnabba Bambang Noorsena, S.H., maka gereja ini menjadi kacau doktrinnya. Kira-kira satu setengah tahun saya berbakti di gereja ini. Pada bulan Agustus 2004, setelah sedikit memaksa ibu saya, saya akhirnya ikut Persekutuan dan Pembinaan Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya pada setiap hari Jumat setelah saya mencari informasi tentang GRII Andhika dan setelah saya berkenalan dengan gembala sidang GRII Andhika, Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. Meskipun demikian, pada hari Minggu, saya tetap ke GBI Alfa Omega. Sekali-sekali saya juga mengikuti kebaktian umum di GRII Andhika kalau di GBI Alfa Omega, yang khotbah mengantukkan. Pada waktu itu, ibu saya yang fanatik dengan Bethany, akhirnya mulai dicerahkan setelah mendengarkan khotbah dari Pdt. Sutjipto Subeno (thanks God and thanks to Rev. Sutjipto for this). Lalu, ibu saya sendiri mulai “bingung” setelah mendengar khotbah dari Pdt. Sutjipto dan khotbah-khotbah di GBI Alfa Omega, Surabaya (beda doktrin). Dan kira-kira tepat satu minggu sebelum hari Reformasi Protestan, 31 Oktober 2004, setelah pulang dari kebaktian di GBI Alfa Omega, saya sedikit memaksa ibu saya untuk pindah saja langsung ke GRII Andhika. Puji Tuhan lagi, ibu saya mulai berubah dan persis di hari Reformasi, 31 Oktober 2004, saya sekeluarga pindah ke GRII Andhika, Surabaya. Sebelumnya, saya kuliah theologia part-time di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika, mengambil mata kuliah Doktrin Alkitab (Bibliologi) yang diajar oleh Ev. Solomon Yo, S.Th., M.Div. Pada awal 2005, saya mengikuti katekisasi untuk baptisan dewasa (karena di Gereja Bethany, saya tidak dibaptiskan anak, tetapi diserahkan, karena gereja-gereja Karismatik/Pentakosta yang dipengaruhi oleh Arminianisme dan Anabaptisme mengajarkan bahwa anak tidak boleh dibaptis soalnya anak-anak tersebut belum dapat beriman). Dan pada tanggal 10 Juli 2005, saya dibaptiskan secara dewasa di GRII Andhika oleh Pdt. Sutjipto Subeno. Sejak saat itu pula, saya aktif kuliah theologia part-time di STRIS Andhika bersama keluarga (ayah dan ibu) saya.

Pada saat ini (2007), saya sudah mengambil 9 mata kuliah di STRIS Andhika (Doktrin Alkitab, Doktrin Allah, Doktrin Roh Kudus, Doktrin Akhir Zaman, Kitab Mazmur, Penafsiran Alkitab/Hermeneutika, Bidat-bidat Kristen, Contemporary Approaches to Christian Education, Integrasi Theologia dan Filsafat Kristen di dalam Pendidikan) dan saya juga telah membaca buku-buku rohani/theologia dari perspektif theologia Reformed kira-kira 20 buah buku. Saya juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan di gereja saya sendiri, seperti Program Intensif (Progsif) STRIS Andhika, KKR, Seminar, dll untuk menumbuhkan iman dan pengetahuan saya akan Alkitab. Semua ini saya lakukan, karena saya ingin terus belajar Firman Tuhan/Alkitab secara lebih mendalam.

Di bagian kedua sharing saya nanti, saya akan menguraikan mengapa saya mempercayai theologia Reformed di dalam keKristenan dan bukan arus “theologia” lain atau bahkan agama lain. Semoga sharing singkat ini dapat membangun. Kiranya Tuhan Yesus memberkati... Soli Deo Gloria...

JALAN DAMASCUSKU (Kesaksian Pribadi dari Fransisco Lacueva, seorang pastor Katolik yang bertobat)

JALAN DAMASCUSKU


Kesaksian pribadi dari :
Fransisco Lacueva, seorang pastor Katolik yang bertobat.




Saya dilahirkan dalam keluarga Katolik, pada tanggal 28 September 1911, di kota San Celoni, di propinsi Barcelona, Spanyol.

Ayah saya meninggal pada tahun 1918 pada usia yang masih muda oleh karena adanya epidemi influenza yang menyerang banyak penduduk di daerah kami. Pada saat itu saya baru berumur 6 tahun dan ibu saya harus bekerja keras karena ayah saya tidak meninggalkan banyak kekayaan ketika ia meninggal.

Dua tahun kemudian, teman keluarga kami menawarkan pekerjaan sebagai pembantu pada suatu susteran/biara Conceptionist-Fransiscan, di kota Tarazona di daerah Aragon, di propinsi Zaragosa. Suster-suster di biara tersebut mau menerima ibu saya untuk bekerja, namun sebagai syaratnya saya harus masuk sekolah untuk menjadi pastor Katolik, oleh karena biara tersebut tidak bisa menerima anak laki-laki untuk tinggal di situ jika ia kelak tidak akan sekolah di seminari.

Jadi pada usia 8 tahun, saya berkomitmen pada suatu tujuan di kemudian hari yang sebenarnya saya tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Para biarawati itu memberi pengaruh yang sedemikian memaksa, sehingga selama karir saya di Seminari, meskipun saya berkali-kali mengatakan kepada ibu saya bahwa saya tidak menginginkan pekerjaan yang menuntut saya untuk hidup selibat (tidak menikah), ibu mengancam saya untuk mengirim saya ke panti asuhan Civil Guard yang dia gambarkan sebagai tempat yang sangat mengerikan.

Ketika saya berumur 10 tahun, saya memasuki sekolah seminari di Tarazona untuk belajar sebagai pastor Katolik. Selama sekolah di seminari, saya tidak belajar dengan sungguh-sungguh kecuali pada tingkat lanjut. Tapi walaupun begitu setiap ujian saya selalu mendapatkan nilai tertinggi. Saya merasa hal ini sebagai kompensasi saya atas kesombongan saya sebagai balasan terhadap daya tarik pekerjaan normal, yang jika seandainya saya masuki maka saya akan bisa memenuhi keinginan saya untuk membangun rumah tangga.

Saya ditahbiskan sebagai pastor Katolik pada tanggal 10 juni 1934 oleh Dr. Goma, Uskup untuk daerah Toledo. Selama 15 tahun pelayanan, saya melayani gereja, belajar, mengejar di kelas seminari dan pribadi, dan tentu saja memimpin upacara penguburan, pembabtisan, pernikahan, dan upara keagamaan lainnya.

Di bulan September 1948, saya dipromosikan oleh Uskup saya untuk mengepalai bagian Teologi Dogmatik Spesial, pada Seminari Diosesan Tarazona di Aragon. Satu tahun kemudian saya juga dipromosikan untuk menjadi Magister Canon, Pengkhotbah resmi di Katedral. Sampai saat itu, saya selalu berhasil menekan semua keraguan dan kebingungan yang saya miliki terhadap banyak doktrin di Gereja Katolik Roma, yang dengan tekun diajarkan dan wajib dipercayai. Keberhasilan tersebut juga disebabkan oleh karena ketaatan yang tanpa syarat, di bawah ancaman ekskomunikasi, terhadap Paus.

Sampai suatu hari saya membaca artikel di majalah Biblical Culture, sebuah majalah Roma Katolik, tentang nama seorang pendeta injili Kristen dari Spanyol yang bernama Don Samuel Vila. Pendeta ini dikritik oleh karena tulisan yang dia tulis pada bukunya yang berjudul: “To the Fountain of Christianity” (Menuju Sumber Kekristenan), yang merujuk kepada murid-murid Yesus. Sampai bertahun-tahun saya selalu ingat akan nama pendeta Injili tersebut. Kemudian saya mencari alamatnya di daftar telepon dan menulis surat kepadanya yang berisi tentang banyak keraguan dan kebingungan saya mengenai masalah-masalah rohani.

Pendeta Villa membalas dengan sepucuk surat yang penuh pengertian, penjelasan, ketulusan, dan kuasa Roh Kudus, di mana beliau menjelaskan kebenaran fundamental dari Firman Tuhan, yang tentu saja sangat menakjubkan saya, berlawanan dengan segala hal yang saya mengerti sebelumnya. Mr. Vila tidak meminta saya untuk menjadi Kristen Protestan, tetapi dengan penuh hikmat menjelaskan kepada saya, bahwa solusi dari masalah spiritual saya tidaklah dengan berpindah agama dari agama satu ke agama lainnya melainkan dengan pertobatan yang sejati kepada Allah. Hal tersebut menjadi kejutan yang pertama buat saya, dan bukan hanya itu. Mr. Vila menambahkan bahwa keselamatan saya bergantung pada respos sederhana, oleh iman, kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi dan bahwa saya harus memandang kehidupan Kekristenan saya sebagai hubungan rohani dengan Allah. Hal ini sangatlah luar biasa bagi saya.

Saya terus berkorespondensi dengan pendeta Vila, dan pendeta Vila mengirimkan banyak literatur Injili terpilih kepada saya. Saya akan selalu mengingat kesan yang saya dapat ketika saya membaca buku karangan Mr. Vila: To the Fountain of Christianity. Di buku tersebut saya menemukan eksposisi yang logis dari solusi takut-takut dari riset pribadi saya, yang diperhadapkan dengan dogma-dogma Katolik Roma. Mengapa sebelumnya saya tidak melihat hal tersebut dengan jelas dan dalam? Hal tersebut disebabkan oleh karena saya tidak memilki pengetahuan Alkitab yang lengkap dan sejarah yang lengkap, seperti yang telah terbukti dimiliki oleh pendeta Vila.Oleh karena itu, saya memutuskan untuk melakukan studi yang dalam dan meditasi yang sungguh-sungguh akan Firman Tuhan, dibarengi dengan banyak doa dimana saya meminta kehadiran yang penuh dari Roh Kudus untuk menemukan kebenaran yang sejati sebagaimana ketika Ia menuliskanNya, untuk menyimpannya dalam ingatan dan hati saya, untuk menghidupi Firman itu dalam kehidupan saya, dan untuk mengkomunikasikan kebenaran itu dengan mulut saya. Dalam satu tahun kemudian saya membaca seluruh Alkitab sebanyak 2 kali dan berulang kali perjanjian baru. Saya juga mempelajari komentari-komentari terbaik dari Katolik Roma maupun Protestan.

Saya kemudian menikmati buah dari tugas yang menyenangkan ini. Para mahasiswa saya sering tercengang oleh karena kekayaan referensi Alkitab yang saya pakai ketika menjelaskan masalah teologi. Tetapi diatas semuanya, saya melihat dengan jelas, untuk pertama kalinya, kesalahan doktrin di Gereja Roma Katolik, yaitu dalam hal iman. Mengapa saya tidak mengetahui sebelumnya? Alasan mudahnya adalah oleh karena saya tidak pernah berusaha untuk mempelajari Firman Tuhan secara detail dan menyeluruh. Itulah sebabnya mengapa mayoritas orang Roma Katolik tetap berada pada doktrin yang salah ini, tanpa mau membuka matanya terhadap kemurnian kebenaran Injil yang sejati.

Walaupun terang telah memasuki hati saya sejak Januari 1961, bahkan saya juga yakin tentang kesalahan-kesalahan Roma Katolik, saya secara pribadi tetap belum diselamatkan. Saya memutuskan untuk bergabung dengan Gereja Injili. Saya sangat dikuatkan pada tahap pertobatan saya ini, oleh kunjungan pribadi saya kepada Pendeta Samuel Vila di Tarrasa (Barcelona) pada bulan Mei tahun itu. Kegairahan dan kesungguhan di dalam cara dia berbicara kepada saya, khususnya ketika dia berdoa kepada Tuhan bersama-sama dengan saya dan iparnya Don Jose M. Martinez, sangat berkesan dan menggugah hati saya.

Saya mengikuti saran Pendeta Vila untuk menguji Tuhan dalam masa-masa kesulitan saya yang besar, dan hasilnya sangatlah memuaskan.

Akhirnya, pada tanggal 16 Oktober 1961 yang mulia, dan di tengah-tengah suatu cobaan yang mengurung saya seperti seekor Bateng sungguhan dari Bashan, saya mengangkat mata dan hati saya ke Surga dan memutuskan untuk memberikan hati saya kepada Kristus sekali untuk selamanya, untuk membuka lembaran baru, meninggalkan hidup saya yang penuh dosa, dan menyerah tanpa syarat kepada Kristus, siap untuk memikul SalibNya dan mengikuti langkah-langkahNya dengan setia, tidak bersandar pada kekuatan saya sendiri, tapi yakin pada kekuatan anugerah Tuhan, yang menuai kemenangannya yang terbesar dalam kelemahan dan ketidak mampuan manusia.
“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna”. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku”. (II Kor 12:9).

Sejak saat itu saya melihat dengan cukup jelas bahwa saya telah dilahirkan dalam kehidupan baru. Setiap hari saya berdoa supaya Roh Kudus membuat saya terus siap sedia, untuk mentaati kehendakNya termasuk dalam hal-hal kecil, dan agar saya dapat menjadi alat di bawah pimpinanNya yang penuh kuasa. Dari Oktober 1961 sampai Juni 1962, teman-teman, murid-murid, dan orang-orang yang terdekat dengan saya dapat melihat perubahan yang telah terjadi dalam diri saya. Khotbah-khotbah saya memiliki api keyakinan yang tidak pernah ada dalam kotbah-kotbah sebelumnya. Hati saya dipenuhi dengan semangat, dan sukacita yang dari dalam, kebahagiaan yang tiada tara, dan kegairahan saya yang terbesar adalah dalam berdoa dan dalam pembacaan dan belajar Alkitab secara kontinu. Saya mulai membaca Alkitab dengan metode, dan saya memberi banyak Alkitab dan Kitab Perjanjian Baru kepada teman-teman pada hari ulang tahun dan hari libur mereka.

Setelah beberapa saat saya menyadari, bahwa dengan keadaan saya yang baru tidak mungkin untuk terus berada dalam Gereja Roma Katolik. Pada tanggal 21 Juni 1962 saya menulis beberapa surat kepada Presiden dari Canonical Council of the Cathedral di Tarazona, kepada siapa saya telah tergabung selama 13 tahun sebagai Canon Magister. Dalam surat-surat itu saya melepaskan semua tanda jasa dan jabatan saya dan mengatakan kepada mereka bahwa saya keluar dari Gereja Roma Katolik. Saya mengatakan kepada Uskup bahwa saya tidak ingin untuk jatuh ke dalam kutuk seperti yang tertulis dalam Galatia 1:8-9,
“Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepad kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia.”

Di dalam pandangan keyakinan saya terhadap banyak kekeliruan di dalam Roma Katolik, saya menambahkan bahwa pada Hari Penghakiman, Dia tidak akan menyesali keyakinan yang telah ditempatkanNya dalam diri saya.

Pada hari yang sama tanggal 21 Juni itu saya melewati perbatasan Perancis-Spanyol di Port-Bou, dan pada siang hari tanggal 22 Juni, kapal saya mendarat di pelabuhan Newhaven, di pantai selatan Inggris, di mana saya telah dinanti dengan tangan terbuka oleh hamba Tuhan itu dan temannya Mr. Luis de Wirtz.

Saya tidak ingin melupakan, bahwa pada hari Minggu 17 Juni, untuk pertama kalinya saya mengikuti suatu pertemuan Penginjilan di sebuah gereja di Barcelona, dan berbicara pada suatu kebaktian sore di sebuah kapel yang lain di Tarrasa. Lalu saya menikmati keramahtamahan dan kebaikan pembimbing rohani saya Don Samuel Vila.

Saya tidak akan mengakhiri tanpa memberikan kesaksian saya yang bersemangat tentang pertobatan saya kepada Yesus Kristus. Dengan sukacita yang besar saya telah melepaskan jabatan yang tinggi yang sebelumnya menjadi milik saya di dalam Gereja Roma Katoilk dan hidup nyaman yang menyertainya. Saya mengikuti dengan penuh keyakinan di bawah tuntunan dari Bapa Surgawi saya, kepada tujuan yang pasti dari keselamatan saya. Sejak meninggalkan Gereja Roma Katolik saya dapat melihat dengan cukup jelas, bahwa untuk mendapatkan semuanya perlu untuk lebih dulu menyerahkan semuanya.
________________________________________
Kepada kalian, mantan teman-teman saya di dalam kepastoran, saya berkata dengan sepenuh hati saya:
“Saya sangat bahagia dengan hidup baru yang telah saya peroleh di dalam Kristus dan InjilNya, saya ingin agar kalian semua disentuh oleh anugerah yang sama yang telah disediakan sejak dulu kala. Saya tidak akan melupakan kalian di dalam doa-doa saya dan saya percaya saya memiliki tempat di antara semua orang yang mencari kebenaran dengan tulus dan sungguh hati. Yakinlah bahwa keselamatan adalah masalah pribadi antara Tuhan dengan masing-masing kalian. Keselamatan tidak terletak pada keanggotaan dalam suatu gereja, atau praktek-praktek kesalehan, pelayanan, doa rosario, pesan-pesan Fatima, dsb. Jelas keliru untuk mempercayai bahwa seseorang dapat diselamatkan dengan cara menghormati “Jumat pertama” atau “Sabat pertama”. Hanya penerimaan kita secara pribadi oleh iman kepada satu-satunya fakta Penebusan oleh Kristus Yesus dapat menyelamatkan jiwa kita, karena kita “semua adalah orang berdosa dan membutuhkan kemuliaan Tuhan”.

Ini bukan hanya doktrin Protestan, ini adalah doktrin Paulus dalam Kitab Roma. Pelajarilah Alkitab dan engkau akan dituntunnya kepada Kebenaran. Hati-hatilah supaya tidak mengikuti jalan yang salah. Pikirkan hal ini hari ini juga, karena besok mungkin terlambat.


22 June 2007

Memakai Terjemahan yang Tepat untuk Menyampaikan Berita yang Benar (Pdt. Cornelius Kuswanto, Th.D.)

Memakai Terjemahan yang Tepat untuk Menyampaikan Berita yang Benar

oleh : Pdt. Cornelius Kuswanto, Th.D.



PENDAHULUAN
Apakah saudara percaya bahwa Ayub menegur isterinya dengan sebutan "perempuan gila"? Apakah saudara yakin kalau Ayub membalas ketiga teman yang sudah menyusahkan hatinya dengan menyebut mereka (maaf untuk pemakaian kata yang "sopan" ini) "penghibur sialan kamu semua?" Saya percaya dan yakin kata-kata ini akan diucapkan oleh seorang jagoan dalam cerita komik. Tetapi saya tidak percaya dan tidak yakin kalau Ayub, seorang yang saleh, jujur dan takut akan Allah (Ayb. 1:1), akan mengucapkan kata-kata "sopan" seperti demikian.

Ternyata "ungkapan sopan" tersebut ada dalam Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia Terjemahan Baru milik saudara dan saya. Dalam artikel yang singkat ini saya mengajak saudara untuk memperhatikan beberapa bagian Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang perlu kita teliti terjemahannya sebelum kita sampaikan beritanya.

Sebagai hamba Tuhan kita dipanggil untuk menyampaikan berita yang benar. Untuk menyampaikan berita yang benar, hamba Tuhan perlu memakai terjemahan Alkitab yang tepat. Orang-orang Kristen di Indonesia mempunyai Alkitab LAI Terjemahan baru (LAI TB 1974) yang merupakan LAI Terjemahan Lama (LAI TL 1965) yang diperbaharui, dan Alkitab dalam Bahasa Indonesia sehari-hari (BIS 1995). Sebelum menyampaikan firman Tuhan, hamba Tuhan perlu melakukan pekerjaan rumah dengan membandingkan lebih dahulu beberapa terjemahan LAI di atas. Alangkah baiknya jika perbandingan versi LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) ini dibandingkan juga dengan beberapa versi bahasa Inggris, umpamanya New International Version (NIV) dan New King James Version (NKJV). Disamping itu, untuk memastikan arti dari beberapa terjemahan di atas, maka hamba Tuhan perlu melihat langsung dari Teks Masoret (TM) untuk Perjanjian Lama dan Alkitab Yunani untuk Perjanjian Baru. Jadi, memilih terjemahan yang tepat bukan sebuah pekerjaan yang mudah dan untuk menyampaikan berita yang benar seorang hamba Tuhan harus berani membayar harganya. Dalam halaman berikut, saya mencoba membandingkan beberapa ayat dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang perlu kita analisa terjemahannya. Saya memakai LAI TL**1, LAI TB dan BIS sebagai teks utama, NIV dan NKJV sebagai teks pembanding, TM dan Alkitab Yunani sebagai teks penuntun.


BEBERAPA AYAT PL YANG PERLU DIKOREKSI TERJEMAHANNYA
A. ADA "BAJINGAN" (IBR. 'ASAPSUP) DI ANTARA ORANG-ORANG ISRAEL YANG KELUAR DARI MESIR) ?
Mari kita perhatikan catatan Bilangan 11:4 dalam beberapa versi di bawah ini:
LAI Terjemahan Lama (TL) : “Maka bangsa kacauan, yang di antara mereka itu, beringin- inginlah lalu pulang...”
LAI Terjemahan Baru (TB) : "Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus..."
BIS : "Dalam perjalanan orang-orang Israel itu ada juga orang- orang asing yang ikut."
NIV : “The rabble with them began to crave other food.”
NKJV : "Now the mix multitude who were among them yielded to intense raving."

Ketika bangsa Israel mengembara di padang belantara, 'asapsup yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus. Kata yang dipakai di Bilangan 11:4 hanya dipakai satu kali dalam PL, jadi kata ini merupakan sebuah "hapax legomenon"**2. Bagaimana menerjemahkan kata Ibrani 'asapsup ini? Dari konteks Bilangan 11:4, kata 'asapsup mengacu kepada sekelompok orang yang ada di antara bangsa Israel. Kelompok orang yang bagaimana mereka ini? Untuk mengerti arti dari kata Ibrani ini, mari kita membandingkan referensi paralel dari Keluaran 12:38 di mana kelompok orang-orang ini (Ibr. 'ereb**3 rab) disebut sebagai:
LAI TL : “Dan lagi suatu tentara besar dari pada pelbagai bangsa itupun berangkat dengan mereka...”
LAI TB : "Banyak orang dari berbagai-bagai bangsa turut dengan mereka"
BIS : "... Sejumlah besar orang asing juga ikut"
NIV : “Many other people went up with them...”
NKJV : “A mixed multitude went up with them also...”

Dari Keluaran 12:38 kita mengetahui bahwa di antara orang Israel yang keluar dari Mesir, ada sekelompok orang asing yang bergabung dengan dengan bangsa Israel. Keluaran 12:38 tidak memberitahu kita bagaimana mentalitas kelompok ini, apakah mereka orang baik-baik atau kelompok preman atau bajingan. Kata benda Ibrani 'ereb hanya berarti "mixture, mixed company, heterogenous body" yang bukan bangsa Israel. LAI TL memberikan pengertian yang berlebihan untuk kata 'ereb, karena istilah "tentara besar" tidak tercakup dalam kata 'ereb.

Dalam Bilangan 11:4 dicatat bahwa kelompok orang asing ini merasa tidak puas dengan makanan manna yang mereka makan tiap hari. Keluhan mereka menyebabkan orang Israel ikut mengeluh dengan manna yang dianggap membosankan. Kata "bajingan" yang dipakai di LAI TB adalah sebuah kata bernada keras yang mungkin diambil dari kata "sapsup" yang digunakan di Pentateukh orang Samaria**4. Karena Pentateukh orang Samaria menghilangkan 'alep dari kata 'asapsup, maka penggunaan kata 'asapsup di Teks Masoret sepatutnya dipertahankan.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa istilah "bajingan" yang dipakai oleh LAI TB untuk menerjemahkan 'asapsup adalah tidak tepat. "Bangsa kekacauan" yang digunakan oleh LAI TL juga kurang cocok. istilah 'asapsup hanya mengacu kepada sekelompok orang asing. Jadi, menurut Bilangan 11:4 dan ditambah dukungan dari Keluaran 12:38, tidak ada bajingan di antara orang Israel. Yang ada adalah sekelompok orang asing yang ikut keluar dari Mesir bersama orang Israel.


B. ORANG GIBEON: LICIK ATAU BIJAKSANA?
Orang Gibeon mengetahui bahwa orang Israel di bawah pimpinan Yosua sudah menaklukkan Yerikho dan Ai. Mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat melawan orang Israel. Yosua 9:4 mencatat bagaimana tindakan mereka untuk menghadapi orang Israel.
LAI TL : “maka dipakainya akal, pura-pura mereka itu utusan...”
LAI TB : "maka merekapun bertindak dengan memakai akal: mereka pergi menyediakan bekal..."
BIS : "Lalu mereka memutuskan untuk mengelabui Yosua..."
NIV : “they resorted to a ruse”
NKJV : "they worked craftily..."

LAI TL dan LAI TB menerjemahkan kata Ibrani be'orma (preposisi be- dan kata benda 'orma) dengan konotasi positif "akal." Tetapi BIS ("mengelabui"), NIV ("they resorted to a ruse") dan NKJV ("they worked craftily") memberikan konotasi negatif.

Istilah Ibrani "be'orma" yang dipakai dalam Yosua 9:4 juga dipakai pada Keluaran 21:14 :
LAI TL : “Tetapi jikalau barang seorang telah membunuh temannya dengan sengajanya...”
LAI TB : "Tetapi apabila seseorang berlaku angkara terhadap sesamanya, hingga ia membunuhnya dengan tipu daya (be'orma)...."
BIS : "Tetapi jikalau seseorang naik darah dan dengan sengaja membunuh orang lain ..."
NIV : “kills another man deliberately ...”
NKJV : "to kill him by treachery..."

Dalam Keluaran 21:14, LAI TB ("dengan tipu daya") dan konotasi negatif yaitu be'orma. Terjemahan LAI TL ("dengan sengaja"), BIS ("dengan sengaja") dan NIV ("deliberately") menjelaskan motif membunuh seseorang yang negatif, yaitu be'orma juga.
BDB, TWOT dan NIDOTTE**5 menjelaskan kata benda Ibrani 'orma dengan dua macam arti. Arti pertama mempunyai konotasi positif, yaitu "akal" atau "kebijaksanaan." Penggunaan kata 'orma di kitab Amsal 1:4 berkonotasi positif. Arti kedua berkonotasi negatif, yaitu "tipu muslihat" atau "kelicikan." Pemakaian kata 'orma di Keluaran 21:14 dan Yosua 9:4 berkonotasi negatif.

Dari penjelasan BDB, TWOT dan NIDOTTE di atas, maka 'orma di Yosua 9:4 seharusnya diterjemahkan dengan konotasi negatif. Konteks dekat ayat tersebut juga mendukung pengertian demikian. Kesimpulannya orang Gibeon memakai "tipu daya" untuk mengatasi orang Israel. Jadi, penggunaan kata "akal" di Yosua 9:4 LAI TL dan LAI TB seharusnya diterjemahkan dengan kata "tipu daya" untuk mengatasi orang Israel. Jadi, penggunaan kata "akal" di Yosua 9:4 LAI TL dan LAI TB seharusnya diterjemahkan dengan kata "tipu daya" sebagaimana LAI TB menerjemahkan kata Ibrani 'orma di Keluaran 21:14. Judul perikop Yosua 9 dan LAI TB juga seharusnya "Tipu Daya Orang Gibeon," bukan "Akal Orang Gibeon."


C. RUT SAMPAI DI LADANG BOAS: KEBETULAN ATAU PENGATURAN TUHAN ?
Kehidupan Rut setelah ia dan Naomi sampai di Betlehem dikisahkan dalam Rut 2:3 sebagai berikut :
LAI TB : "Pergilah ia [Rut], lalu sampai di ladang dan memungut jelai di belakang penyabit-penyabit; kebetulan ia berada di tanah milik Boas...."

LAI TL memakai kata "untung" bagi kata "kebetulan" yang terdapat di
"Maka pergilah ia lalu sampai ke bendang, dipungutnya mayang di belakang orang pemotong, maka dengan untungnya didapatnya akan sepotong bendang milik Boaz...."

BIS mengikuti pemakaian kata "kebetulan" dari
BIS : "Maka pergilah Rut ke ladang dan memungut gandum mengikuti para penuai. Kebetulan ia pergi ke ladang milik Boas."

NIV : "As it turned out, she found herself working in a field belonging to Boaz."
NIV tidak memakai "doktrin kebetulan" dalam Rut 2:3.

NKJV : "And she happened to come to the part of the field be longing to Boaz."

Yang menjadi fokus perhatian kita pada ayat ini ialah frasa Ibrani "wayyiqer miqreah"**6 yang diterjemahkan menjadi "kebetulan" (LAI TB dan BIS) atau "untung" (LAI TL). Frasa Ibrani miqreh dipakai oleh pengarang kitab Samuel untuk menyatakan kepercayaan para imam dan petenung Filistin. Mereka percaya kepada hal-hal yang terjadi secara kebetulan. Misalnya, dua induk lembu yang baru melahirkan dan mau menarik kereta baru berisi tabut ke arah Bet-Semes dianggap sebuah peristiwa kebetulan (1 Sam. 6:9 "...kebetulan saja hal itu terjadi kepada kita" [LAI TB]).

Frasa Ibrani "wayyiqer miqreah" melukiskan apa yang terjadi pada diri Rut saat itu, ia berada di ladang milik Boas**7. Meskipun menurut perkiraan manusia, Rut datang ke ladang Boas kelihatannya seperti sebuah kebetulan, namun sebenarnya langkah Rut dipimpin oleh pengaturan Tuhan. Tuhan campur tangan sepenuhnya atas rencana masa depan Rut. Michael Grisanti mengemukakan arti kata miqreh dalam Rut 2:3 dengan tepat, "In fact, the expression constitutes hyperbolic understatement to stress divine, rather than human involvement." **8

Kesimpulannya Rut datang ke ladang Boas bukan terjadi secara kebetulan melainkan pengaturan Tuhan sehingga kelak ia menjadi nenek moyang Juru Selamat melalui pernikahannya dengan Boas. Terjemahan yang tepat untuk Rut 2:3 ialah: "Dan terjadilah padanya (ternyata) ia berada di tanah milik Boas...."

Mari kita melihat satu ayat lagi dari kitab Rut di mana kata "kebetulan" dipakai di LAI TB. "Boas telah pergi ke pintu gerbang dan duduk di sana. Kebetulan lewatlah penebus yang disebutkan Boas itu" (Rut 4:1). LAI TL mengganti pemakaian kata "kebetulan" dengan "maka sesungguhnya": "Arakian, maka Boazpun pergilah ke pintu gerbang, lalu duduklah di sana, maka sesungguhnya penebus yang telah dikatakan Boaz itupun lalu dari sana." Dalam Rut 4:1 kata "kebetulan" dari LAI TB adalah terjemahan dari partikel Ibrani "hinneh"**9," lalu diikuti oleh subjek (Ibr. Hago'el: "penebus") dan kata kerja partisip (Ibr. 'ober. "lewat"). partikel Ibrani "hinneh" biasa dipakai untuk menekankan pentingnya sebuah peristiwa yang terjadi (akan terjadi), setelah kata "hinneh" dipakai. Penulis kitab Rut menekankan pentingnya penebus yang lewat di pintu gerbang di mana Boas duduk. Lewatnya penebus di pintu gerbang menurut penulis kitab Rut bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi merupakan campur tangan atau pengaturan Tuhan.

Sintaks "hinneh" + subjek + kata kerja partisip seperti pada Rut 4:1 dipakai juga di Kejadian 24:15 dan diterjemahkan oleh LAI TB dengan tepat: "Sebelum ia (hamba Abraham) selesai berkata, maka (Ibr. "hinneh") datanglah Ribka...." (dalam bahasa Ibrani: hinneh + Ribka + datanglah). LAI TL memberikan terjemahan TM secara harfiah dengan baik,".....bahwa sesungguhnya keluar Ribkah...." NIV tidak menerjemahkan pemakaian "hinneh" di Kejadian 24:15 "Before he had finished praying, Rebekah came out...," NKJV menerjemahkan "hinneh" dengan kata behold: **10: "... before he had finished speaking, that behold, Rebekah...came out..."

Sebagaimana lewatnya Ribka di depan hamba Abraham bukan suatu kebetulan (Kej. 24:15), demikian juga lewatnya penebus di pintu gerbang kota Betlehem bukan kebetulan (Rut 4:1). Kesimpulannya, kata "kebetulan" di Rut 4:1 LAI TB sebaiknya diganti dengan "maka/maka sesungguhnya/bahwa sesungguhnya," sehingga kalimatnya akan berbunyi: "Boas telah pergi ke pintu gerbang dan duduk disana. Maka lewatlah penebus yang disebutkan Boas itu."


D. HAMAN DAN ANAK-ANAKNYA: DISULA ATAU DIGANTUNG ?
Akar kata "sula" (LAI TB) merupakan sebuah Leitwort dalam kitab Ester dan dipakai sembilan kali dalam kitab ini (Est. 2:23; 5:14; 6:4; 7:9,10; 8:7; 9:13,14,25). Terjemahan kata "sula" berasal dari kata Ibrani "tlh". Kata ini pertama kali dipakai sebagai hukuman terhadap para pengkhianat yang diketahui oleh Mordekhai (2:23). Kemudian dalam peristiwa lain yakni ketika istri Haman mengusulkan agar Mordekhai disulakan (5:14 LAI TB). Ironisnya, justru Haman dan anak-anaknyalah yang disula di atas tiang yang dibuatnya (7:10; 9:25 LAI TB).

Orang yang disula ialah seseorang yang dihukum mati pada tongkat yang runcing atau tajam ujungnya. **11 Hukuman "sula" hanya dicatat satu kali dalam Alkitab, yaitu terhadap orang yang melanggar perintah raja Darius, "Selanjutnya telah dikeluarkan perintah olehku, supaya setiap orang yang melanggar keputusan ini, akan dicabut sebatang tiang dari rumahnya, untuk menyulakannya**12 pada ujung tiang itu...." (Ezr. 6:11).

Pertanyaan kita ialah, apakah benar terjemahan kata "sula" untuk kata Ibrani "tlh"? Akar kata "tlh" dalam bahasa Ibrani berarti "menggantung (to hang)." Baik NIDOTTE maupun BDB menerjemahkan "tlh" dengan kata "menggantung"**13. Di luar kitab Ester, kata kerja ini juga dipakai untuk menggantung benda. Umpamanya, orang-orang Israel yang hidup di pembuangan di Babilon menggantung kecapi-kecapi mereka di pohon-pohon gandarusa (Mzm. 137:2); penduduk Tirus menggantung perisai- perisai mereka di tembok-tembok kota mereka (Yeh. 27:10, 11).

Kesimpulannya, LAI TL dan BIS**14 memberikan terjemahan yang tepat untuk kata "tlh" dalam kitab Ester, yaitu "menggantung." Jadi LAI TB sepatutnya juga menerjemahkan seluruh kata "tlh" di kitab Ester dengan kata "menggantung." Raja Ahasyweros mengeluarkan undang-undang di Susan untuk menggantung Haman dan anak-anaknja (Est.9:14, 25). Haman dan anak-anaknya bukan disula, tetapi digantung.


E. APAKAH AYUB SEORANG YANG SUKA BICARA KOTOR ?
Mari kita melihat dua peristiwa dalam kehidupan Ayub untuk menjawab pertanyaan di atas:
a. Teguran Ayub kepada isterinya sebagai 'ahat hannebalot di Ayub 2:10 diterjemahkan:
LAI Terjemahan Lama (TL) : “Katamu ini seperti kata perempuan yang sangat gila.”
LAI Terjemahan Baru (TB) : "Engkau berbicara seperti perempuan gila."
Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) : "Kau bicara seperti orang dungu."
New International Version (NIV) : "You are talking like a foolish woman."
New King James Version (NKJV) : "You are talking like a foolish woman."
b. Frasa Ibrani 'ahat hanebalot terdiri dari "ahat" (bentuk feminin konstruk untuk nominal satu) dan "hannebalot" (definitif article dan kata sifat feminin plural dari "nabal"). Frasa Ibrani ini sebenarnya mudah untuk diterjemahkan. Terjemahan harfiahnya seperti NKJV "one of the foolish women" atau "seorang dari wanita-wanita bodoh/bebal."
c. Kata sifat Ibrani "nabal" (dalam bentuk maskulin tunggal) dipakai di Perjanjian Lama sebanyak 15 kali, sedangkan "hanebalot" (dalam bentuk feminin plural) hanya dipakai satu kali yaitu di Ayub 2:10. BDB menerjemahkan "nabal" dengan pengertian "bodoh atau dungu"**15, yaitu orang yang bodoh bukan secara intelek tetapi secara moral dan etika.
d. Kata Ibrani "nabal" dipakai pertama kali di Ulangan 32:6 "Demikianlah engkau mengadakan pembalasan terhadap Tuhan, hai bangsa yang bebal..." (LAI TB). Di kitab Mazmur, kata "nabal" dipakai misalnya di: Mazmur 14:1 "Orang bebal berkata dalam hatinya: 'Tidak ada Allah'" (LAI TB); 39:9 "Lepaskanlah aku dari segala pelanggaranku, jangan jadikan aku celaan orang bebal" (LAI TB); 74:22 "Bangunlah, ya Allah, lakukanlah perjuangan-Mu! Ingatlah akan cela kepada-Mu dari pihak orang bebal sepanjang hari" (LAI TB). Agaknya penerjemah LAI TB untuk kitab Mazmur berbeda dengan penerjemah LAI TB untuk kitab Ayub, sedangkan kata "nabal" di kitab Ayub diterjemahkan dengan kata "gila" oleh penerjemah LAI TB. Terjemahan LAI TL lebih menyimpang lagi dari LAI TB.
e. Kesimpulannya, terjemahan yang baik untuk Ayub 2:10 ialah "Engkau berbicara seperti perempuan bebal," atau seperti terjemahan BIS, "Engkau seperti perempuan dungu."
f. Jawab Ayub kepada Elifas, Bildad dan Zofar - ketiga temannya yang menuduh Ayub sudah berdosa kepada Tuhan - sebagai penghibur 'amal (Ayb. 16:2). Perhatikanlah perbandingan terjemahan 'amal di bawah ini:
LAI Terjemahan Lama (TL) : “maka kamu ini penghibur yang tiada tertahan.”
LAI Terjemahan Baru (TB) : " Penghibur sialan kamu semua."
Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) : " penghiburanmu hanyalah siksaan"
NIV dan NKJV : "... miserable comforters are you all...”
g. Jawaban Ayub kepada ketiga temannya menurut LAI TL, BIS, NIV dan NKJV tidak sekeras atau sekotor LAI TB. Apakah yang dimaksud dengan kata Ibrani "'amal" di Ayub 16:2? NIDOTTE menjelaskan "'amal" sebagai "trouble, misery, adversity,"**16 dan menurut BDB "'amal" berarti "trouble, labour, toil."**17 TWOT**18 memberikan 16 macam arti untuk "'amal" di mana pada dasarnya "'amal" berhubungan dengan "unpleasant factors of work and toil." Kata benda ini dipakai 53 kali di PL, kebanyakan di kitab Pengkhotbah (22 kali), Mazmur (13 kali) dan Ayub (8 kali).
h. Perbandingan terjemahan kedelapan kata "'amal" di kitab Ayub menurut LAI TB ialah:
3:10 : "...tidak disembunyikannya kesusahan dari mataku...."
4:8 : "...orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga..."
5:6 : "...bukan dari tanah tumbuh kesusahan."
5:7 : "...melainkan manusia menimbulkan kesusahan bagi dirinya..."
7:3 : "...malam-malam penuh kesusahan."
11:16 : "...Bahkan engkau akan melupakan kesusahanmu..."
15:35 : "Mereka (orang-orang fasik) menghamilkan bencana..."
16:2 : "...Penghibur sialan kamu semua."
i. Beberapa contoh terjemahan dari kata "amal" di kitab Mazmur menurut LAI TB ialah:
10:4 : "... engkaulah yang melihat kesusahan.."
25:18 : "tiliklah...kesukaranku..."
73:5 : "... mereka tidak mengalami kesusahan manusia..."
j. Dalam kitab Pengkhotbah, "'amal" di LAI TB diterjemahkan dengan "usaha atau jerih payah," contoh: "Aku membenci segala usaha yang kulakukan ..." (2:18); "... aku mulai putus asa terhadap segala usaha yang kulakukan..." (2:20); "...tak diperolehnya dari jerih payahnya suatupun yang dapat dibawa dalam tangannya," (5:14).
k. Dari beberapa contoh terjemahan "'amal" yang ada di kitab Ayub, Mazmur dan Pengkhotbah, ternyata LAI TB menerjemahkan "'amal" dengan pengertian "kesusahan," "kesukaran," "usaha," "jerih payah." Arti ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh NIDOTTE dan BDB. Tidak ada satu pun pengertian yang berkonotasi kasar atau kotor dalam kata "'amal".
l. Kesimpulannya, memang Ayub menegur ketiga temannya yang telah menuduh dia sebagai orang berdosa, tetapi Ayub bukan menegur dengan kata-kata yang kotor atau kasar. Kita perlu mengingat sekali lagi bahwa Ayub tidak membiarkan mulutnya berbuat dosa dengan mengucapkan sumpah serapah (Ayb. 2:10; 31:30). Teguran Ayub kepada ketiga temannya ialah: "Penghibur yang menyusahkan kamu semua."


F. SAPAN ITU PELANDUK, KELINCI ATAU MARMOT ?
Amsal 30:24-28 mencatat tentang empat binatang kecil**19 di bumi yang sangat bijaksana**20. Salah satu dari keempat binatang kecil yang sangat bijaksana itu ialah sapan (Ams. 30:26). Perhatikan perbedaan terjemahan sapan dalam versi bahasa Indonesia dan Inggris di bawah ini:
LAI Terjemahan Lama (TL) : "Kelinci itu suatu bangsa yang lemah, maka diperbuatkannya juga sarangnya dalam batu gunung."
LAI Terjemahan Baru (TB) : "Pelanduk bangsa yang lemah, tetapi yang membuat rumahnya di bukit batu."
Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) : "Pelanduk binatang yang lemah, tetapi membuat rumahnya di bukit batu."
New International Version (NIV) : "Coneys are creatures of little power, yet they make their home in the crag."
New King James Version (NKJV) : "The rock badgers are a feeble folk, yet they make their homes in the crags."

Hewan sapan hanya dipakai empat kali di PL, yaitu di Imamat 11:5; Ulangan 14:7; Mazmur 104:18 dan Amsal 30:26. Mari kita memperhatikan perbandingan terjemahan LAI TL, LAI TB, BIS, NIV dan NKJV untuk hewan sapan di keempat bagian Alkitab tersebut :
i) Imamat 11:15
LAI TL : Kelinci
LAI TB : pelanduk
BIS : pelanduk
NIV : coney**21
NKJV : rock hyrax

ii) Ulangan 14:7
LAI TL : kelinci
LAI TB : marmot
BIS : marmot
NIV : coney
NKJV : rock hyrax

iii) Mazmur 104:8
LAI TL : pelanduk
LAI TB : pelanduk
BIS : pelanduk
NIV : coneys
NKJV : rock badgers**22

iv) Amsal 30:26
NIV : coneys
NKJV : rockbadgers

Istilah sapan dalam bahasa Ibrani mengacu kepada "coney/rock badger/hyrax"**23. Terjemahan kata Ibrani sapan di keempat bagian Alkitab di atas jelas tidak tepat untuk pelanduk. Pelanduk termasuk jenis rusa yang tidak termasuk hewan kecil sebagaimana disebut di Amsal 30:24. Kelinci boleh termasuk hewan kecil, tidak berkuku belah, tetapi kelinci bertelinga panjang. Pengertian sapan di NIV dan NKJV, "coney, rock badger, hyrax" mengacu kepada hewan kecil seukuran kelinci tetapi bertelinga pendek dan tidak berkuku belah.

Binatang sapan memang tidak ada di Indonesia, tetapi "marmot" cukup menjelaskan istilah sapan. Gambar yang dicantumkan dalam BIS halaman 156 untuk menjelaskan sapan di Imamat 11:5 sudah tepat, yaitu "marmot." Sayangnya BIS menerjemahkan sapan di Imamat 11:5; Mazmur 105:18 dan Amsal 30:26 dengan "pelanduk." Terjemahan "pelanduk" dari BIS di Imamat 11:5 tidak cocok dengan gambar yang ada.
Kesimpulannya, sapan pada Imamat 11:5; Ulangan 14:7; Mazmur 104:18 dan Amsal 30:26 dapat diterjemahkan dengan "marmot."


G. APAKAH ADA SEBUTAN NAMA TUHAN DALAM KITAB KIDUNG AGUNG ?
Kidung Agung 8:6b merupakan ayat yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini. Mari kita perhatikan perbandingan beberapa terjemahan dari ayat ini di mana kecemburuan dilambangkan seperti "salhebtya" :
LAI Terjemahan Lama (TL) : "....nyalanya seperti nyala api, seperti halilintar Tuhan."
LAI Terjemahan Baru (TB) : "....nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan."
Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) : "Nyalanya seperti nyala api yang berkobar dengan dahsyat."
New International Version (NIV) : "It burns like blazing fire, like a mighty flame."
New King James Version (NKJV) : "Its flames are flames of fire, a most vehement flame."

Dari perbandingan terjemahan di atas, ternyata terjemahan LAI TL dan LAI TB memasukkan nama Tuhan (LAI TL)/TUHAN (LAI TB), sedangkan terjemahan BIS, NIV dan NKJV tidak memasukkan nama Tuhan. Mengapa dapat terjadi perbedaan seperti demikian? Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam menerjemahkan suku kata -ya di akhir kata "salhebetya".
Akhiran -ya dalam bahasa Ibrani dapat diterjemahkan sebagai kependekan dari nama Yahweh, nama dari TUHAN Perjanjian. Misalnya: (i) Azarya berarti: "Tuhan sudah menolong"; (ii) Yesaya berarti: "Tuhan sudah menyelamatkan."
Ternyata LAI TL dan LAI TB menerjemahkan suku kata -ya dari "salhebetya" dengan arti "Tuhan." Tetapi perlu diketahui bahwa akhiran -ya dalam bahasa Ibrani juga dapat diterjemahkan untuk pengertian superlatif**24. Umpamanya, frasa Ibrani "'eres mapelya" dalam Yeremia 2:31 diterjemahkan oleh LAI TL, LAI TB dan BIS dengan pengertian superlatif:
"...Sudahkah Aku menjadi padang gurun bagi Israel atau tanah yang gelap gulita?" (LAI TB)"...Adakah pernah Aku bagi orang Israel seperti padang tekukur atau seperti tanah yang gelap gulita?" (LAI TL)"...Pernahkah Aku seperti padang gurun bagimu atau seperti tanah yang gelap gulita?"

NIV juga memberikan pengertian superlatif untuk frasa Ibrani ini:
"Have I been a desert to Israel or land of great darkness?" Frasa "tanah gelap" sebenarnya sudah cukup menjelaskan bahwa tanah itu gelap. Dengan memakai kata majemuk "gelap gulita" berarti bahwa tanah itu amat gelap.

Dari penjelasan di atas ternyata kita melihat bahwa: (i) Suku kata terakhir -ya tidak selalu harus diterjemahkan untuk kependekan dari nama Tuhan; (ii) Suku kata terakhir -ya dapat diterjemahkan dengan pengertian superlatif. Jadi, kata "salhebetya" di Kidung Agung 8:6 dapat diterjemahkan dengan pengertian superlatif. Pengertian kedua ini juga mempunyai dukungan dari isi kitab ini. Dalam kitab Kidung Agung tidak ada ajaran tentang doa, persembahan, ibadah, pengakuan dosa atau pertobatan. Pokok utama kitab ini ialah tentang kasih di antara seorang wanita dengan seorang pria.

Kesimpulannya, terjemahan dengan pengertian superlatif untuk kata Ibrani "salhebetya" di Kidung 8:6b ialah: "nyalanya seperti nyala api yang dahsyat." Bandingkan NIV: "It burns like blazing fire, like a mighty flame," **25 Bandingkan NKJV: "It flames are flames of fire."




BEBERAPA AYAT PB YANG PERLU DIKOREKSI TERJEMAHANNYA
A. ZAKHEUS MEMANJAT POHON ARA ATAU POHON ARA HUTAN ?
Versi-versi Alkitab untuk Lukas 19:4 memberikan jawab yang berbeda:
LAI TL : "Maka berlarilah ia dahulu, lalu memanjat sepohon ara hendak melihat Yesus..."
LAI TB : "Maka berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat, pohon ara untuk melihat Yesus..."
BIS : "Jadi ia berlari mendahului orang-orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus.."
NIV : "So he ran ahead and climbed a sycamore fig tree (pohon ara hutan) to see him..."
NKJV : "So he ran ahead and climbed up into a sycamore tree (pohon ara hutan) to see Him..."

LAI TL dan LAI TB memberitahukan jenis pohon yang dipanjat oleh Zakheus yaitu pohon ara. BIS tidak memberitahukan jenis pohon yang dipanjat oleh Zakheus, BIS hanya menyebut Zakheus memanjat sebatang pohon. Yang menarik perhatian kita ialah meskipun BIS tidak menyebut jenis pohon yang dipanjat oleh Zakheus dalam ayat 4, tetapi BIS (h. 153) memberikan gambar setangkai pohon ara yang berbuah tetapi tanpa penjelasan untuk gambar yang dipakai terse PENUTUPsi bahasa Inggris, NIV dan NKJV mencatat Zakheus memanjat sycamore tree (pohon ara hutan).
Sebelum kita mengambil kesimpulan tentang pohon ara yang dipanjat Zakeus, mari kita lebih dahulu memeriksa catatan Lukas tentang jenis pohon ara dalam Injilnya. Lukas membedakan dua macam pohon ara:
i. Pohon ara (fig tree; Yunani: suke; Latin: Ficus carica; Ibrani: te'ena). Jenis ponon ara ini yang dikutuk oleh Yesus (Luk 13:6,7; lih. juga 21:29).
ii. Pohon ara hutan (sycamore tree; Yunani: sukomorea; Latin: Ficus sycomorus; Ibrani: siqma)
Jenis pohon ara yang dicatat di Lukas 19:4 ialah sukomorea atau pohon ara hutan. Dalam Perjanjian Baru sebutan pohon ara hutan hanya disebut satu kali, yaitu di Lukas 19:4. Di Perjanjian Lama, pohon ara hutan dicatat sebanyak tujuh kali**26. Perbedaan istilah pohon ara dengan pohon ara hutan dapat kita ketahui dengan membandingkan Amos 4:9 dengan 7:14. LAI TB di kedua bagian kitab Amos ini dengan jelas membedakan pohon ara dengan pohon ara hutan:
iii. Amos 4:9 "... pohon-pohon ara (Ibr. te'enim [jamak]; NIV: fig tree) dan pohon-pohon zaitunmu dimakan habis oleh belalang..." BIS memberikan terjemahan yang serupa dengan LAI TB: "pohon-pohon ara dan pohon-pohon zaitunmu telah habis dimakan belalang."
iv. Amos 7:14 mencatat bahwa Amos adalah pemungut buah ara hutan (Ibr. siqma; NIV: sycamore-fig tree). Di Amos 7:14 BIS hanya mencatat: "...aku pemetik buah ara."

Apa sebenarnya perbedaan antara pohon ara (fig tree) dengan pohon ara hutan (sycamore tree)? Pohon ara adalah pohon yang rimbun dan tingginya lebih kurang 5 meter. Di Perjanjian Lama, pohon ara (Ibr. te'ena) dicatat sebanyak 37 kali. Dalam Alkitab pohon ini disebut untuk pertama kalinya dalam Kejadian 3 ketika Adam dan Hawa makan buah pengetahuan baik dan jahat, "maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat" (Kej. 3:7). Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus melihat Natanael yang berteduh di bawah pohon ara dan berkata kepadanya: "Sebelum Filipus memanggil engkau, aku telah melihat engkau di bawah pohon ara" (Yoh. 1:48).

Pohon ara hutan juga rimbun, tetapi lebih tinggi dari pohon ara. Pohon ara hutan dapat mencapai ketinggian sampai lebih kurang 10 meter. Jadi, pohon ara hutan hampir dua kali lebih tinggi dari pohon ara biasa. Kelebihan pohon ara hutan dari pohon ara ialah kayu pohon ara hutan lebih keras dari pohon ara sehingga dapat dipakai untuk membuat perabot rumah. Sedangkan kelebihan pohon ara dari pohon ara hutan ialah buahnya lebih manis dari pada pohon ara hutan.

Yang selalu kita ingat adalah kalau Alkitab memberikan istilah yang spesifik tentang sesuatu hal, jangan kita berikan arti yang general. Sebaliknya, kalau Alkitab memakai istilah general jangan kita berikan arti yang spesifik. Kesimpulannya, sebagaimana TM, NIV dan NKJV membedakan antara fig tree dan sycamore tree, maka kita juga harus membedakan antara pohon ara dengan pohon ara hutan. Zakheus memanjat pohon ara hutan, bukan pohon ara biasa. Ia harus bersusah payah memanjat pohon ara hutan untuk melihat Yesus. Pertobatannya tidak mudah. Ia berani bayar harga.


B. MARKUS: KEMENAKAN ATAU SAUDARA SEPUPU BARNABAS ?

LAI TL, LAI TB dan BIS memberikan catatan berbeda tentang hubungan keluarga antara Markus dengan Barnabas (Kol. 4:10).
LAI TL : "... Markus yang sepupu dengan Barnabas..."
LAI TB : "Markus, kemenakan Barnabas..."
BIS : "Markus, saudara sepupu Barnabas..."
NIV dan NKJV : "...Mark the cousin of Barnabas..."
Dari perbandingan di atas ternyata LAI TB berdiri sendiri dengan memberikan data bahwa Markus adalah kemenakan Barnabas. Data dari LAI TL, BIS, NIV dan NKJV sama, yaitu Markus adalah saudara sepupu Barnabas. Kalau kita menyampaikan firman dari Kolose 4:10 hanya bersandar pada LAI TB, maka kita akan memberitakan bahwa Markus adalah kemenakan Barnabas. Manakah yang lebih tepat, kemenakan atau sepupu Barnabaskah Markus itu sebenarnya? Untuk mengetahui jawabnya, mari kita melakukan pekerjaan rumah dengan melihat kata Yunani 'anepsios yang dipakai di Kolose 4:10. Menurut Arndt-Gingrich dan Rienecker, kata Yunani 'anepsios berari cousin (sepupu) bukan nephew (kemenakan) **27. Contoh hubungan saudara sepupu lain di Alkitab ialah antara Mordekhai dengan Ester, hanya saja Mordekhai mengangkat Ester sebagai anak (Est. 2:15). Jadi, Markus adalah sepupu dan bukan kemenakan Barnabas. LAI TL meskipun "lebih tua" dari LAI TB, tetapi memberi terjemahan lebih tepat. Memang perbedaan terjemahan kemenakan dengan sepupu tidak mempengaruhi doktrin keselamatan, tetapi alangkah baiknya bila hamba Tuhan memakai terjemahan yang tepat sehingga berita yang disampaikan juga benar.




PENUTUP
Tidak ada terjemahan Alkitab yang sempurna, karena penerjemah Alkitab adalah manusia yang tidak sempurna. Oleh karena itu, sebelum menyampaikan berita, bandingkanlah dahulu beberapa macam terjemahan. Dengan cara demikian kita akan melihat kekurangan dan kelebihan terjemahan tertentu. Waktu kita mempelajari teks PL, mari kita juga memakai Alkitab bahasa Ibrani. Waktu kita mempelajari teks PB, mari kita memakai juga Alkitab bahasa Yunani. Semoga kerja keras yang dilakukan melalui perbandingan terjemahan-terjemahan Alkitab akan menghasilkan terjemahan yang tepat sehingga berita yang kita sampaikan adalah berita yang benar.


Footnote
**1. LAI TL yang saya pakai adalah LAI TL dengan ejaan baru.
**2. BDB 63. Sebenarnya ada dua macam hapax legomenon, yaitu hapax legomenon absolut dan hapax legomenon non absolut. Kata Ibrani 'asapsup adalah hapax legomenon non-absolut. Untuk mengetahui perbedaan hapax legomenon absolut dan hapax legomenon non-absolut, lih. Cornelius Kuswanto, "Absolute Hapax legomenon in the Book Song of Song and Their Translations into the Indonesian Language" (Th.D. diss., South East Asia Graduate School of Theology, 1999) 35.
**3. Di dalam Nehemia 13:1-3 dicatat adanya kelompok dari keturunan orang Amon dan orang Moab yang hidup diantara orang Israel yang kembali dari pembuangan. Karena nenek moyang mereka dilarang untuk bersekutu dengan orang Israel, maka kelompok gabungan orang-orang asing ini (Ibr.'ereb) harus dipisahkan dari komunita Israel.
**4. Louis Grabiel Zelson, " A Study of Hapax Legomenon in the Hebrew Pentateuch" (Ph. D. diss., University of Wisconsin, 1924)119.
**5. BDB 791; TWOT II.697; NIDOTTE 3.541.
**6. Untuk penjelasan yang baik dari dua kata Ibrani ini, lih. Robert L. Hubbard, Jr., The Book of Ruth (Grand Rapids: Eerdmands, 1988)140- 141.
**7. Melalui kontak e-mail (21 Juli 2000) dengan T. Muraoka, saya memperoleh pandangan beliau tentang terjemahan Rut 2:3 "... What was allocated to her hapened to be the plot of land belonging to Boaz.
**8. "qrh" dalam NIDOTTE 3.984.
**9. Untuk pejelasan lebih lengkap tentang hinneh, lih. T.O. Lambdin, Introduction to Biblical Hebrew (London: Darton, Longman & Todd, 1973) 169-170.
**10. Paul Jouon, A Grammar of Biblical Hebrew 1.105 d.
**11. Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi kedua; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Jakarta: Balai Pustaka, 1996)971.
**12. Bagian Alkitab Ezra ini dicatat dalam bahasa Aramaik dengan kata zeqap yang merupakan hapax legomenon (Holladay 404; BDB 1091).
**13. NIDOTTE 4.294-2298; BDB 1067-1068.
**14. Terjemahan BIS dalam Ester 9:13, 14 tentang objek yang digantung kurang tepat. Menurut BIS, yang digantung di tiang gantungan adalah mayat anak-anak Haman. Seharusnya, yang digantung di tiang gantungan bukanlah mayat anak-anak Haman, tetapi anak-anak Haman yang masih hidup.
**15. BDB 614.
**16. NIDOTTE 436.
**17. BDB 765.
**18. Untuk penjelasan ke-16 arti dari "amal, lih. TWOT II. 675.
**19. LAI TB menerjemahkan dengan pengertian superlatif "terkecil," padahal tidak demikian di TM (qetaney 'ares).
**20. LAI TB: "sangat cekatan," TM: hakamim mehukamim: "sangat bijaksana."
**21. Pada catatan kaki NIV (The NIV Study Bible 988) terdapat penjelasan: "That is the hyrax or rock badger."
**22. Catatan pinggir di NKJV adalah rock hyrax.
**23. NIDOTTE 2.113; TWOT II.951; BDB 1050-1051.
**24. D. W. Thomas, "A Consideration of Some Unusual Ways of Expressing the Superlative in Hebrew," VT3 (1953)209-227, khususnya 221.
**25.Tambahan di catatan kaki NIV Study Bible: "Or/like the very flame of the LORD."
**26. Ketujuh catatan tentang pohon ara hutan (dalam bahasa Ibrani semuanya dalam bentuk jamak) ialah: (i) 1Raj 10:27 [LAI TB "pohon ara," BIS "kayu ara biasa"]; (ii) 1Taw 27:28; (iii) 2Taw 1:15 [LAI TB "pohon ara" BIS "kayu ara biasa"]; (iv) 2Taw 9:27; (v) Mzm 78:47 [LAI TB=BIS "pohon-pohon ara"]; (vi) Yes 9:9 [LAI TB=BIS "pohon-pohon ara"]; (vii) Am 7:14 [LAI TB "buah ara hutan"].
**27. A Greek English Lexicon of the New Testament66; Fritz Rienecker, A Linguistic Key to the Greek New Testament 584.

Sumber :
Jurnal Teologi dan Pelayanan "Veritas" yang diterbitkan oleh Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT).


Disarikan dari : http://www.sabda.org/e-reformed


Profil Pdt. Dr. Cornelius Kuswanto :
Pdt. Cornelius Kuswanto, Th.M., Th.D. adalah dosen Perjanjian Lama di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Theology (B.Th.) di SAAT Malang. Kemudian, beliau menyelesaikan studi Master of Divinity (M.Div.) di Reformed Theological Seminary, USA, Master of Theology (Th.M.) di Calvin Theological Seminary, USA dan gelar Doctor of Theology (Th.D.) di Southeast Asia Graduate School of Theology, Filipina.