31 July 2007

Matius 4:1-11: START WITH THE WILDERNESS

Ringkasan Khotbah : 13 Juni 2004

Start with The Wilderness
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 4:1-11


Kita telah memahami bahwa Tuhan Yesus dibaptis karena Ia taat menjalankan kehendak Bapa-Nya. Manusia akan merasakan sukacita sejati kalau mau kembali pada tujuan awal Allah mencipta manusia, yaitu menggenapkan seluruh kehendak-Nya. Pada saat Yesus dibaptis, Allah Tritunggal menyatakan diri secara bersama-sama dan peristiwa ini merupakan satu-satunya di sepanjang sejarah Alkitab. Yesus telah mendapat perkenanan dari Allah Bapa dan pimpinan Roh Kudus; Yesus sudah siap memulai pelayanan-Nya di dunia namun Roh Tuhan malah membawa-Nya ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Pola ini sulit dimengerti logika manusia bahkan tidak pernah terlintas sedikit pun dalam pikiran manusia karena bertentangan dengan konsep manusia. Bukanlah hal yang mudah untuk mengubah paradigma atau cara berpikir manusia yang telah terpola dan mengakar kuat dalam diri. Hanya Roh Kudus saja yang dapat mengubahkan konsep berpikir kita yang salah. Padang gurun merupakan kunci kesuksesan sejati hidup manusia.
Dunia modern mengajarkan konsep knowing, being, and doing, yakni suatu konsep yang mengajarkan bahwa manusia harus tahu terlebih dahulu supaya ia dapat menjadi seperti yang diinginkan setelah itu barulah ditentukan langkah-langkah selanjutnya demi untuk mencapai tujuan tersebut. Alkitab justru mengajarkan being yang pertama barulah kemudian knowing and doing; bagaimana kita akan menjadi itulah yang menentukan seluruh pengetahuan apa yang hendak kita dapatkan barulah kemudian kita menentukan langkah selanjutnya. Ketika seseorang menetapkan untuk menjadi seorang atheis maka ia pasti akan memilah-milah pengetahuan yang masuk dalam dirinya; ia akan menolak seluruh pengetahuan yang berkaitan dengan Tuhan begitu pula kalau orang telah menetapkan diri untuk mau menjadi seorang materialis maka ia pasti akan mencari pengetahuan yang mendukung langkah berikutnya sebagai seorang materialis.
Berhati-hatilah kalau sejak dari awal kita salah menentukan being maka hidup kita akan berakhir dengan kehancuran. Hanya iman kepada Tuhan Yesus sajalah yang dapat membuat manusia dapat menetapkan being dengan tepat. Tapi sayang, dunia telah berhasil membentuk pola berpikir manusia sedemikian rupa dan menjadikan manusia humanis materialis. Manusia di dunia umumnya dibagi dalam dua wilayah besar, yaitu: 1) orang yang taat Allah dan Firman, 2) orang yang humanis-materialis. Adalah salah kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa ambisi mendorong orang untuk mempunyai semangat hidup. Ingat, semangat hidup itu bukan karena ambisi diri. Alkitab mengajarkan semangat hidup akan kita miliki kalau tujuan hidup kita untuk memuliakan Tuhan dan mau menjadi serupa Kristus. Celakanya, manusia mulai mencampur iman dengan ambisi pribadinya, akibatnya manusia akan kecewa asa bahkan ia tidak segan mengakhiri hidupnya kalau ambisinya tidak dapat terpenuhi. Betapa tragisnya hidup manusia kalau hanya berakhir dengan kebinasaan yang sia-sia.
I. The Guidance of The Holy Spirit
Hidup berada dibawah pimpinan Tuhan, tidak akan membuat kita kecewa pada-Nya, hal ini diungkapkan oleh Pdt. Stephen Tong di salah satu khotbahnya namun, ada orang yang tidak setuju dan berargumen: bukankah perasaan marah dan kecewa ada pada setiap manusia maka wajarlah kalau manusia juga menjadi marah dan kecewa pada Tuhan? Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah manusia berhak kecewa dan marah pada Tuhan yang memberikan hidup pada manusia? Keinginan/ambisi yang tidak terpenuhilah yang menyebabkan orang menjadi kecewa dan marah. Lalu kenapa Tuhan yang dipersalahkan? Seharusnya ambisi pribadi yang ada pada diri kita itulah yang patut dipersalahkan. Namun, orang lainlah yang justru dipersalahkan sedang diri sendiri tidak mau disalahkan dan ironisnya, setelah tidak ada orang lagi yang dapat disalahkan maka Tuhanlah yang disalahkan. Inilah sifat manusia berdosa. Kalau manusia tidak mau kembali pada Tuhan dan taat pimpinan Tuhan maka itulah dimulainya titik kehancuran. Tuhan ingin menunjukkan pada kita bagaimana Roh Kudus memimpin hidup seseorang yang dipanggil untuk melakukan pekerjaan baik yang telah dipersiapkan Allah sebelumnya, yaitu untuk menggenapkan rencana-Nya. Roh Kudus ingin menata hidup kita terlebih dahulu sebelum kita pergi mengerjakan tugas panggilan-Nya; kita harus taat mutlak untuk dibentuk sesuai kehendak Bapa. Hendaklah kita mencontoh teladan Abraham yang taat pada Bapa ketika Tuhan memerintahkan dia untuk keluar menuju tanah Perjanjian begitu juga ketika Tuhan meminta ia untuk mempersembahkan Ishak, anak Perjanjian; iman Abraham bukanlah iman yang fanatik oleh karena itu ia layak disebut sebagai Bapa orang beriman. Bagaimana dengan hidup beriman kita? Dasar iman Kristen adalah Alkitab, Firman Allah yang benar.
Jangan terjebak dengan konsep positive thinking, you believe it and you get it yang diajarkan dunia. Cara Tuhan memimpin setiap orang sangatlah unik. Tuhan memanggil Saulus untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel dan Tuhan sendiri akan menunjukkan kepadanya banyaknya penderitaan yang harus ditanggung (Kis. 9:15-16). Namun, Tuhan tidak langsung membawa Saulus untuk melakukan tugas panggilan-Nya; Tuhan mendidik dengan cara “mendiamkan“ Paulus selama 12 tahun supaya Paulus menaklukkan ambisi pribadinya terlebih dahulu. Hari ini, banyak orang yang setelah bertobat dan masih dengan semangat yang menggebu langsung ingin melayani. Celakanya, mereka tidak belajar teologi dengan benar tapi langsung mengabarkan Injil. Setelah bertobat jangan terburu untuk melayani, Tuhan ingin agar berdiam diri sejenak, menaklukkan semua ambisi pribadi kita dan belajar taat pada kehendak-Nya. Kesuksesan Paulus justru setelah Tuhan mendiamkannya selama 12 tahun, setiap pekerjaan yang dilakukan Paulus dicatat di sepanjang sejarah; hidup Paulus menjadi bermakna. Cara Tuhan memimpin terkadang sulit kita mengerti namun percayalah rencana-Nya adalah yang terbaik dalam hidup kita.

II. The Test from The Holy Spirit
Allah memimpin Yesus masuk ke padang gurun untuk berpuasa, masuk ke dalam titik pengujian yang paling berat. Allah ingin menguji kualitas Yesus sebelum Ia memulai pekerjaan-Nya di dunia sebagai Penebus umat manusia. Setiap orang pasti ingin mengerjakan pekerjaan besar dan sukses dalam hidupnya namun satu hal yang manusia sulit untuk menerima adalah proses panjang dan penuh tantangan yang harus dilalui. Ingat, setiap tantangan dan penderitaan yang Tuhan ijinkan untuk kita alami adalah demi untuk kebaikan kita, yaitu supaya kita semakin bertumbuh dalam iman dan kita tahu berjalan dalam pimpinan Tuhan kita merasakan sukacita sejati. Hati-hati dengan konsep Yin Yang yang mengajarkan bahwa penderitaan wajar dialami oleh setiap orang demi untuk kebaikan mereka sendiri, yaitu orang jadi mengerti akan arti kebahagiaan, orang harus merasakan berat terlebih dahulu supaya dapat mengerti apa itu ringan; hidup seperti roda yang berputar, terkadang manusia di atas dan terkadang di bawah.
Sepintas konsep Yin Yang ini baik karena menghibur dan memberikan pengharapan bagi orang yang sedang menderita. Namun, kelemahan konsep ini, yaitu: pertama, orang selalu berharap akan datang kebahagiaan suatu hari kelak tapi ketika kebahagiaan itu tak kunjung datang, akhirnya orang menjadi marah dan mempersalahkan Tuhan karena sepertinya Dia tidak menepati janji. Dan bagi mereka yang hidupnya sudah bahagia berarti kini hanya menunggu waktu giliran untuk hidup menderita, sesuai dengan konsep Yin Yang yang mengajarkan hidup manusia selalu berputar, hari ini kaya maka besok hidup miskin; kedua, konsep perbandingan Yin Yang ini membuat gap semakin dalam, manusia menjadi rusak karena orang tidak lagi membandingkan dirinya dengan yang lebih tingggi tapi mereka selalu membandingkan dengan sesuatu yang lebih rendah. Manusia terlarut dalam konsep passive negative, akibatnya orang hanya mau bergaul dengan mereka yang tingkatannya lebih rendah maka tidaklah heran kalau orang tidak menjadi semakin baik tapi justru semakin rusak karena orang merasa rendah diri kalau harus bergaul dengan mereka yang berkualitas.
Alkitab dengan tegas menyatakan kejahatan dengan kebaikan adalah dua hal yang berbeda dan saling bertentangan. Penderitaan yang kita alami seharusnya menjadi waktu bagi kita untuk mengevaluasi diri: pertama, apakah kita telah berbuat dosa sehingga Tuhan yang adil memberikan hukuman atas kita? Jikalau kita telah berbuat dosa maka sudah sewajarnya kalau kita menerima hukuman, punishment of God sebagai konsekuensi dari dosa yang kita lakukan. Manusia pasti akan berusaha dengan segala cara melepaskan diri dari penghukuman dunia namun ingat, manusia tidak bisa lepas dari keadilan Allah. Satu-satunya jalan supaya manusia dapat diampuni dosanya, yaitu manusia harus kembali pada Tuhan dan bertobat. Kedua, Tuhan ingin menguji sampai dimanakah ketahanan iman kita dengan penderitaan. Tuhan menguji iman Ayub, seorang yang hidup benar. Puji Tuhan, Ayub menang sehingga di sepanjang sejarah diingat dan menjadi kesaksian yang harum. Setiap orang Kristen, memang Tuhan perkenankan untuk melewati ujian supaya kita semakin bertumbuh dalam iman. Dari tanah liat, kita tidak hanya sekedar membuat kendi tapi dari bahan yang sama setelah dipanaskan dapat dihasilkan sebuah porselen yang indah. Kalau kita mau dipakai Tuhan menjadi perabot yang indah dan mulia maka kita harus melewati ujian terlebih dahulu. Cara Tuhan menguji setiap manusia berbeda, buah anggur yang tidak diperas tidak akan menjadi arak, buah zaitun yang tak ditekan takkan menjadi minyak. Tuhan mau mengembleng kita agar kita menjadi lebih murni.
Tuhan akan mempersiapkan setiap orang yang Tuhan panggil untuk menjadi hamba-Nya dengan cara yang unik. Seperti halnya, Pdt. Dr. Stephen Tong yang Tuhan persiapkan sedemikian rupa sejak masa mudanya sehingga dengan pengetahuan teologi yang benar dan kekuatan fisik sehingga detik ini, beliau sudah berkhotbah pada puluhan ribu orang di dunia. Manusia seringkali hanya menginginkan jalan pintas saja; manusia mau sukses tapi tidak mau melalui proses yang panjang berliku dan penuh tantangan. Kesuksesan tidak dapat dicapai dengan cara instant, manusia harus berproses untuk membuktikan kualitas hidup seseorang. Orang yang hidupnya tidak pernah diuji dan tidak teruji maka hidup itu tidak layak dihidupi seperti kata Socrates, unexcement live unworth living. Bukan tanpa maksud kalau Tuhan memimpin kita masuk ke dalam padang gurun. Tidak! Semua itu Tuhan maksudkan demi untuk kebaikan kita, Tuhan ingin menguji kualitas hidup kita. Jalan yang dipimpin Tuhan akan membawa kita pada pimpinan yang paling indah.

III. The Suffer of The Holy Spirit
Setelah Tuhan Yesus berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam maka laparlah Yesus. Pemikiran modern langsung menyimpulkan bahwa “lapar“ merupakan kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Hal ini juga diungkapkan oleh Abraham Maslow yang menggambarkan kebutuhan manusia seperti sebuah piramid dimana yang paling mendasar adalah: 1) kebutuhan jasmani, yakni kebutuhan akan makanan dan minuman, 2) kebutuhan akan cinta kasih, 3) kebutuhan estetika/keindahan, dan 4) kebutuhan aktualisasi diri. Kalau kebutuhan yang paling mendasar tidak terpenuhi maka manusia bisa menjadi gila. Inilah sifat humanis yang dikembangkan manusia. Orang yang hanya memikirkan lapar, tidak beda dengan binatang yang hanya punya keinginan naluriah. Celakalah hidup kita kalau kita memutlakkan apa yang seharusnya bukan kebutuhan menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi.
Di tengah dunia ada banyak kebutuhan yang bukan kebutuhan mutlak karena itu dibutuhkan bijaksana supaya kita dapat memilih dengan tepat kebutuhan yang mana dan yang bagaimana yang seharusnya dimutlakkan atau tidak. Orang yang dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan utama dan mana yang bukan maka ia akan menjadi orang yang berbahagia. Ketika Tuhan Yesus lapar maka Iblis berpikir hal itu adalah kesempatan emas bagi dia untuk mencobai Kristus. Yesus tahu apa yang seharusnya menjadi kebutuhan utama, manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Kunci utama adalah menyangkali diri, menyangkali semua yang hanya menjadi keinginan ambisi diri. Adalah hal yang wajar kalau setiap manusia mempunyai keinginan pribadi akan tetapi bisakah kita mengatakan “tidak“ pada setiap keinginan kita? Orang yang bisa mengatakan “tidak“ pada dirinya sendiri adalah orang yang peka akan pimpinan Tuhan. Banyak orang yang ingin mengerti pimpinan Tuhan tapi banyak orang yang tidak mau menyangkal diri. Biarlah kita mau hidup taat dipimpin oleh Roh Kudus maka kita akan merasakan sukacita; Tuhan akan membukakan cakrawala hidup kita. Tuhan tidak akan pernah mengecewakan kita kalau kita mau taat pimpinan-Nya. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Resensi Buku-15 : MELIHAT KEMULIAAN KRISTUS MELALUI CERMIN ALKITAB (Rev. Kris Lundgaard, M.Div.)

...Dapatkan segera...
Buku
THROUGH THE LOOKING GLASS : REFLECTIONS ON CHRIST THAT CHANGE US
(Melihat Kemuliaan Kristus melalui Cermin Alkitab : Perenungan akan Kristus yang Mengubahkan Kita)


oleh : Rev. Kris Lundgaard, B.A., M.Div.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2005

Penerjemah : Ina Elia.





“BUKU INI ADALAH MENGENAI KRISTUS,” tulis Lundgaard. “Buku ini akan membawa Anda melihat Kristus melalui cermin Alkitab, menikmati setiap aspek pribadi-Nya yang bisa kita ketahui, segenap keindahan dan keajaiban-Nya.”

“Buku ini adalah untuk orang-orang seperti saya yang sudah lama merasakan di dalam lubuk hati bahwa Kristus harus menjadi segalanya, sukacita, dan mahkota tertinggi – tetapi tidak pernah mampu menempatkan Dia sebagai pusat pikiran.”

“Buku ini adalah untuk ...
orang-orang yang ingin menyerupai Kristus dan telah mencoba segenap hati tetapi gagal...
orang-orang yang baru dilahirkan di dalam Kristus ...
orang-orang percaya yang telah suam dan redup ...
kaum skeptis yang penuh ingin tahu mengenai siapa Kristus sesungguhnya.”





Profil Rev. Kris Lundgaard :
Rev. Kris Lundgaard, B.A., M.Div. meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Oklahoma State University, USA dan Master of Divinity (M.Div.) dari Reformed Theological Seminary, Jackson, USA. Beliau pernah melayani selama 8 tahun sebagai pendeta pendamping di University Presbyterian Church in America, Las Cruces, New Mexico. Beliau juga penulis Musuh Dalam Diriku : Pembicaraan Terus Terang mengenai Kuasa dan Kekalahan Dosa, yang juga diterbitkan oleh Penerbit Momentum.

Roma 2:13 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH : ESENSI ATAU FENOMENA ?

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-11


Standar Penghakiman Allah : Esensi atau Fenomena ?

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.


Nats : Roma 2:13.

Setelah kita merenungkan standar penghakiman Allah bagi orang-orang Yahudi dan non-Yahudi berdasarkan Taurat, maka kita akan beralih kepada pembahasan mengenai di dalam penghakiman Allah, apakah yang menjadi standarnya, apakah sekedar fenomena keberagamaan atau esensi dari keberagamaan itu sendiri ? Untuk itulah, pada ayat 13, Paulus mengatakan, “Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.” Sebenarnya di dalam terjemahan King James Version, ayat 13-15 berada di dalam tanda kurung yang menunjukkan kemungkinan ketiga ayat ini tidak terdapat di dalam naskah asli Alkitab (terjemahan English Standard Version dan International Standard Version tidak memberikan tanda kurung kepada ketiga ayat ini) yang tetap mengajarkan alasan mengapa orang berdosa tetap harus dihukum dengan standar Taurat (yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa Taurat, sedangkan yang berdosa di bawah Taurat akan dihakimi menurut Taurat). Pada perenungan kali ini, saya hanya akan membahas ayat 13 dari ketiga ayat (13 s/d 15), yang merupakan intisari dari ketiga ayat itu. Ayat 13 menurut terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikan, “Sebab orang berbaik kembali dengan Allah, bukan karena orang itu sudah mengetahui hukum agama Yahudi, melainkan karena ia melakukan apa yang tercantum dalam hukum itu.” dan juga menurut King James Version, ayat ini diterjemahkan, “(For not the hearers of the law are just before God, but the doers of the law shall be justified.” Perhatikan kedua tindakan yang dipaparkan Paulus di dalam ayat 13 ini, yaitu mereka yang hanya mendengar (hearers/hear) Taurat dan mereka yang melakukan Taurat. Kata “mendengar” dalam ayat ini dalam bahasa Yunani akroatēs yang identik dengan listen (mendengar dengan seksama). Kata ini berasal dari akar kata Yunani akouō yang juga bisa berarti understand (mengerti). Dengan kata lain, Paulus ingin mengatakan bahwa bukan orang yang hanya mendengar sambil mengerti Taurat yang dibenarkan. Bagi Paulus, Taurat dan kebenaran firman Allah bukan hanya menguasai rasio dan pengertian saja, tetapi juga menguasai seluruh hidup manusia. Mendengar untuk mengerti tidaklah salah, karena Rasul Yakobus sendiri mengingatkan, “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;” (Yakobus 1:19). Kata “mendengar” yang dipakai di dalam Yak. 1:19 ini adalah kata Yunani akouō yang juga bisa berarti mengerti. Lalu, kata “cepat” bisa diterjemahkan segera/siap (ready) selain swift to (tangkas/cepat). Dengan kata lain, Yakobus ingin mengingatkan orang Kristen bahwa sebelum bertindak maupun berkata apapun, hendaklah kita harus cepat dan siap untuk mendengar. Mendengar apa ? Gosip atau fitnahan? TIDAK. Ayat 21 di dalam Yakobus 1 ini memberitahukan bahwa kita harus mendengar firman dengan menerimanya dengan lembut hati/kelembutan/kesabaran. Bahkan, Rasul Paulus sendiri berkata, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” (Roma 10:17). Kata “mendengar” (KJV / ESV : hearing ; ISV : listening) di dalam Roma 10:17 ini menggunakan kata Yunani akoē yang berarti tindakan atau pengertian atau sesuatu yang didengar (kata ini merupakan perluasan dari kata Yunani akouō). Iman sejati timbul dari mendengar (tentu mendengar sambil mengerti apa yang didengar), dan pendengaran ini didasarkan pada berita tentang Kristus (firman Kristus). Salomo juga pernah mengatakan perihal tentang pentingnya mendengar, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.” (Amsal 18:13). Dengan kata lain, dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, tindakan mendengar adalah sesuatu yang penting, karena mendengar adalah tindakan awal sebelum berkata-kata dan bertindak sesuatu. Mendengar ini tentu melibatkan unsur kognitif/pengetahuan. Ketika kita mendengar tanpa menggunakan rasio, maka kita hanya mendengar tanpa mengerti makna. Bahasa Inggris membedakan kedua kata di dalam satu arti “mendengar”, yaitu hear (mendengar tanpa mengerti atau mendengar sepintas lalu) dan kata kedua, listen (mendengar dengan seksama). Contoh untuk kata listen adalah Adi mendengarkan radio : Adi listens/is listening to the radio (tidak menggunakan : Adi hears/is hearing the radio), karena mendengarkan radio bukan dilakukan dengan sepintas lalu, tetapi dengan seksama. Mendengar firman tentu bukan sekadar mendengar sepintas lalu, tetapi mendengar sambil mengerti esensi firman. Tetapi cukupkah kita hanya mendengar dan mengerti firman ? Yang Tuhan perhatikan bukan pada rasio manusia, tetapi pada hati mereka. Kegagalan utama para ahli Taurat pada waktu itu adalah mereka mendengar Taurat sejak kecil dan menghafalkannya bahkan setelah menjadi dewasa mereka berani mengajarkan Taurat, tetapi yang patut disayangkan mereka masih belum mengerti esensi Taurat. Dengan kata lain, mendengar dan mengerti tidaklah cukup, oleh karena itu, Paulus mengajarkan bahwa orang yang melakukan Taurat itulah yang dibenarkan di hadapan Allah. Hal ini pula yang dipaparkan oleh Yakobus setelah membahas pentingnya mendengar Firman (ayat 19-21), yaitu pentingnya melakukan Firman, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” (Yakobus 1:22) Kata “pelaku” di dalam Yak. 1:22 maupun Roma 2:13 ini sama-sama menggunakan kata Yunani poiētēs yang berasal dari akar kata Yunani poieō yang bisa diartikan menyetujui, melaksanakan, dll. Dengan demikian, tindakan melakukan firman atau Taurat bukan hanya melakukan tanpa pengertian, tetapi melakukan dengan pengertian karena mereka melakukannya setelah menyetujuinya. Bagi Yakobus, mendengar tanpa melakukan itu sama saja dengan menipu diri sendiri, karena mereka yang mendengar hanya pintar beradu logika, tetapi tindakan mereka nol besar atau mereka tidak melakukan tindakan baik sesuai kehendak Allah. Hal ini dipaparkan Yakobus kembali di ayat 23-24 di dalam Yakobus 1, “Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.” Inilah yang Yakobus maksudkan dengan menipu diri sendiri, yaitu seorang yang setelah mengamati mukanya di depan cermin, lalu melupakannya. Demikian pula, seorang yang hanya mendengar Firman dan mengertinya, tetapi tidak melakukannya, sama saja orang ini tidak mengerti Firman, karena pengertiannya hanya berhenti di otak saja. Kita seringkali rindu belajar theologia dan Alkitab secara teliti dan mendalam. Hal ini tidak salah dan malah wajib bagi orang-orang Kristen yang menyebut diri sebagai pengikut Kristus yang ingin menyenangkan hati-Nya. Bagaimana kita bisa menyenangkan hati-Nya kalau kita tidak mengenal diri dan firman-Nya secara bertanggungjawab ? Tetapi hanya mengenal diri dan firman-Nya secara kognitif saja tidak cukup, orang-orang Kristen sejati harus melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya di dalam firman-Nya. Firman-Nya ini tercakup ke dalam perintah-perintah-Nya (Taurat) yang harus dikerjakan oleh anak-anak-Nya dengan kasih karena Kristus telah menebus kita dengan kasih-Nya sehingga kita dimampukan menaati hukum-hukum Allah (Taurat) bukan dengan terpaksa, tetapi dengan kasih. Banyak orang Kristen mengira bahwa setelah diselamatkan oleh karya penebusan Kristus, kita tidak perlu lagi menjalankan Taurat. Itu anggapan yang salah. Taurat tetap penting, karena bagi Calvin, Taurat itu pedoman yang menuntun perilaku kita sehari-hari. Kalau Taurat tidak penting, maka saat ini orang Kristen boleh membunuh, mencuri, berzinah, dll, padahal hal-hal itu dilarang di dalam Taurat. Tidak ada salahnya kita mematuhi Taurat, tetapi kita tidak mematuhi Taurat untuk diselamatkan, tetapi sebagai respon kita yang telah diselamatkan. Demikian halnya, kita berbuat baik bukan untuk diselamatkan, tetapi sebagai respon dan pertanggungjawaban kita setelah kita diselamatkan oleh karya penebusan Kristus. Itulah yang saya sebut sebagai melakukan Firman dengan pengertian yang bertanggungjawab. Lalu, kita menjalankan apa yang Taurat perintahkan dengan berbuat baik, dll sesuai kehendak Allah itu dengan rasa kasih, karena kita telah ditebus oleh Kristus dengan kasih-Nya. Kasih Kristus yang berkorban ini memampukan kita juga memiliki kasih di dalam menaati apa yang Tuhan perintahkan. Melakukan Taurat yang dimaksudkan di sini meliputi segala hal, yaitu, perkataan, tindakan dan cara pikir kita harus sesuai dengan maksud dan kehendak-Nya. Di dalam perkataan, misalnya, kita tidak boleh mengucapkan saksi dusta, atau berbicara sekehendak hatinya. Hal ini dipaparkan Yakobus di dalam ayat 26 di dalam Yak. 1, “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.” Lalu, di dalam pikiran, kita tidak boleh berpikiran yang jorok dan najis di hadapan-Nya. Kita harus memiliki pikiran yang dikuduskan (sanctified mind). Hal ini juga diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri tentang dosa pikiran, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Matius 5:28). Hal ini diungkapkan oleh Tuhan Yesus sebagai perluasan makna esensi dari kata “Jangan berzinah” (Mat. 5:27). Tuhan Yesus mereinterpretasi Taurat dengan pengertian-Nya, karena Ialah yang menciptakan Taurat itu dan Ia berhak menjelaskan ulang makna asli dari setiap perkataan Taurat. Di dalam tindakan, kita juga dilarang oleh Taurat untuk membunuh, mencuri, dll. Lebih lanjut, Allah sendiri berfirman alasan kita tidak boleh membunuh, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” (Kejadian 9:6). Ingatlah, semua perintah di dalam Taurat ini termuat di dalam satu esensi yang paling penting yang Tuhan Yesus sabdakan sendiri, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Matius 22:37-40). Inti hukum Taurat BUKAN keterpaksaan atau ancaman hukuman tetapi kasih. Melakukan Taurat dan Firman Allah harus dengan kasih dan kasih itu sudah diteladankan oleh Tuhan kita Yesus Kristus yang rela berkorban bagi kita. Itulah makna kasih sejati yang memungkinkan kita terus-menerus melakukan apa yang Allah inginkan dengan perasaan kasih bukan keterpaksaan. Oleh karena itu, di dalam Khotbah di Bukit, Tuhan Yesus pernah bersabda, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Matius 5:10-12). Anak-anak Tuhan yang dapat menerima aniaya dan penderitaan karena nama Kristus itulah bukti nyata bahwa mereka bukan hanya mengerti firman Tuhan secara kognitif tetapi menjalankannya dengan menerima resiko sambil bersyukur kepada Tuhan. Seorang yang tidak mau menyangkal diri dan memikul salib sambil mengikut-Nya bukanlah menunjukkan seorang Kristen sejati yang melakukan firman-Nya. Seorang “Kristen” yang selalu mengkompromikan berita Alkitab, pastilah mereka bukan orang Kristen yang mengerti Firman, karena mereka tidak melakukan apa yang Allah perintahkan untuk taat kepada-Nya dan menTuhankan Kristus.

Setelah kita merenungkan ayat 13 ini, sudahkah kita sadar bahwa pengertian ini barulah lengkap dan menyeluruh ketika kita mendengar, mengerti sambil melakukan firman Allah ? Lalu, sadarkah kita bahkan melakukan firman Tuhan ini harus dengan perasaan kasih dan hati yang menyenangkan Allah ? Ingatlah, Tuhan melihat hati manusia, bukan fenomena luar manusia. Amin. Soli Deo Gloria.

Tentang Calvinisme-3 : KEDAULATAN ALLAH : DASAR PRESUPOSISI IMAN YANG BERTANGGUNGJAWAB (Denny Teguh Sutandio, S.S.)

Tentang Calvinisme-3



KEDAULATAN ALLAH : DASAR PRESUPOSISI IMAN YANG BERTANGGUNGJAWAB

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.



Pada bagian ketiga ini, saya lebih menspesifikkan ke dalam area pembahasan inti doktrin Calvinis yaitu kedaulatan Allah yang berkaitan erat dengan konsep epistemologi dunia (bagaimana saya tahu apa yang saya ketahui). Di bagian ini, saya akan menyodorkan beragam epistemologi dunia yang human-centered dan kelemahan-kelemahannya, lalu saya akan membawa manusia melihat finalitas Kristus dan kedaulatan Allah sebagai satu-satunya dasar presuposisi iman yang bertanggungjawab.

Menurut
http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, epistemologi berarti cabang ilmu filsafat yang mempelajari natur dan cakupan pengetahuan. Kata “epistemologi” sendiri berasal dari bahasa Yunani, episteme yang artinya pengetahuan dan logos yang artinya kata (word/speeech). Atau lebih singkatnya, epistemologi itu adalah suatu studi mempelajari bagaimana kita tahu bahwa kita itu mengetahui sesuatu. Di dalam studi kita kali ini, saya hanya akan menyuguhkan dua macam cara berpikir manusia khususnya di dunia Barat yaitu apriori dan aposteriori serta pemikiran univocal dan analogical.

Para filsuf di dunia Barat selama berabad-abad membedakan dua macam pengetahuan yaitu a priori dan a posteriori :
F Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang didapat dari reason (akal sehat) saja, tanpa pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari pengalaman tertentu (di sini, pengalaman biasanya berarti penelitian/observasi dari dunia melalui persepsi pengertian/sense perception). Pdt. Sutjipto Subeno pernah menuturkan bahwa di dalam a priori, tidak ada yang mendahului artinya ia adalah satu-satunya dasar pijak pengetahuan (bersifat deduktif).
F Pengetahuan a posteriori adalah macam lain dari pengertian, yaitu pengetahuan pencapaian atau pembenaran yang mana mengharuskan referensi/keterangan/petunjuk terhadap pengalaman. Pdt. Sutjipto Subeno pernah menuturkan bahwa di dalam a posteriori, pengetahuan didapat setelah ada landasan pengetahuan (bersifat induktif).

Lalu, selain pengetahuan a priori dan a posteriori, di dunia Barat juga dikenal cara berpikir univocal dan analogical :
· Pengetahuan univocal berarti semua pengetahuan berasal dari sumbernya.
· Pengetahuan analogical berarti ada posisi derivatif pengetahuan (artinya : pengetahuan turunan/diturunkan).
(disarikan dari kuliah yang disampaikan oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Selain itu, mari kita akan menelusuri cabang-cabang dari epistemologi dan implikasinya yang ternyata masuk ke dalam keKristenan di zaman postmodern ini, lalu kita akan melihat kelemahan-kelemahannya dari kacamata theologia Reformed :
1. Rasionalisme
Rasionalisme adalah filsafat yang mengajarkan bahwa kita dapat mengetahui segala sesuatu jika sesuatu itu sesuai dengan pikiran kita. Filsafat ini berkembang dengan pesat pada abad pertengahan (medieval) di mana mulai munculnya semangat renaissance yang mencoba menggali budaya-budaya Barat (khususnya filsafat Barat) untuk membangun kembali rasio yang sudah lama ditinggalkan di zaman pramodernisme. Filsafat ini muncul dari pemikiran seorang filsuf Yunani yang bernama Plato yang mengajarkan bahwa rasio itu mengontrol keinginan melalui perasaan (MacKenzie, 2006, halaman 42). Tidak heran, salah satu pencetus rasionalisme (Bapak Rasionalisme), Rene Descartes berkata cogito ergo sum (I think, therefore I exist). Selain itu, para tokoh rasionalisme adalah
Julian Huxley, Gottfried Leibniz, Baruch de Spinoza, Nicolas Malebranche, dll (http://en.wikipedia.org/wiki/Rationalism). Otomatis, rasionalisme dipengaruhi oleh paham humanisme yang pada waktu itu berkembang pesat. Segala sesuatu yang diketahui yang tidak cocok dengan pengetahuan dianggap tidak benar, itu menurut rasionalisme. Pertanyaan selanjutnya, seberapa besarkah pikiran/rasio manusia sehingga mampu menampung segala sesuatu dan apakah cinta itu yang tidak bisa dipikirkan secara rasio tetapi dirasakan, juga tidak termasuk suatu pengetahuan/kebenaran ? Di sini kegagalan cara pikir rasionalisme. Ternyata bukan orang-orang dunia saja yang menggunakan cara pikir ini, keKristenan pun telah tercemar filsafat ini. Adolf von Harnack adalah bapak “theologia” liberal di dalam gereja, yang sekarang diikuti oleh banyak gereja-gereja Protestan mainline yang mungkin secara teori/doktrin menentang liberalisme, tetapi secara praktek dapat dilihat imbas dari “theologia” liberal. Misalnya, “Pdt.” Ioanes Rachmat dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) merelatifkan iman Kristen dan Alkitab (karena mengembangkan “theologia” religionum yang mengembangkan dialog “theologia” agama-agama yang sebenarnya bersumber dari “theologia” liberal), di samping itu dari sumber artikel Pdt. Budi Asali, M.Div., “Pdt.” Eka Darmaputera juga dari GKI pernah menuliskan bahwa Alkitab itu memang adalah Firman Allah, tetapi Firman Allah bukanlah Alkitab. Kebanyakan dari mereka tidak mempercayai mukjizat-mukjizat Allah yang sejati di dalam Alkitab, Tuhan Yesus adalah Tuhan dan satu-satunya Juru Selamat dunia, Alkitab adalah satu-satunya Firman Allah, dll.

2. Empirisisme
Filsafat dunia yang kedua adalah empirisisme yang mengajarkan bahwa segala sesuatu dapat diketahui atau disebut kebenaran jika dapat dialami atau melalui pengalaman. Dengan kata lain, manusia harus mengalami dahulu sesuatu, baru sesuatu itu dikatakan kebenaran. Pendiri dari filsafat ini adalah John Locke. Para tokoh empirisisme lainnya adalah David Hume, Ludwig A. Feuerbach, dll. Salah satu tokoh empirisisme ini, Ludwig A. Feuerbach mengajarkan bahwa agama itu feeling absolute dependency (perasaan kebergantungan mutlak). Dari pengertian ini, dapatlah disimpulkan bahwa hanya melalui pengalaman, kita baru dapat mengerti kebenaran dan agama identik dengan sebuah perasaan saja, bukan sebuah iman. Ternyata ada juga orang “Kristen” yang mentah-mentah mengadopsi pemikiran seperti ini. Misalnya, banyak “hamba Tuhan” di beberapa gereja kontemporer mengajarkan pentingnya mengalami hadirat Allah, tanpa perlu memahami dan mengenal Pribadi-Nya serta tunduk kepada-Nya. Yang penting bagi mereka, ketika berdoa dan menyembah, mereka mengalami kepenuhan dari Roh-Nya, lalu setelah itu, mereka membagikan pengalamannya kepada orang lain dan bahkan ada yang mengajarkan dengan mutlak bahwa jika tidak memiliki pengalaman seperti itu berarti tidak ada Roh Kudus. Kegagalan cara pemikiran empirisisme adalah perasaan dan pengalaman manusia pasti berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi (atau istilahnya mood). Adalah sangat berbahaya jika orang “Kristen” tiba-tiba mengklaim sedang mengalami hadirat Allah, padahal itu hanya halusinasinya saja (seperti onani, dan pemuasan hawa nafsu lainnya, dll).

3. Otoritarianisme
Ketiga, filsafat otoritarianisme mulai meracuni dunia kita dan khususnya keKristenan. Di dalam dunia, otoritarianisme mengajarkan pentingnya sebuah otoritas untuk mengklaim sebuah kebenaran. Misalnya, kalau ingin meyakinkan orang lain bahwa si A itu orangnya baik, maka X memakai sebuah otoritas yaitu kepala sekolah atau bapak presiden atau orang-orang yang berotoritas lebih tinggi, sehingga orang lain tidak bisa berkutik lagi. Celakanya, model filsafat ini ditiru dan diimport ke dalam keKristenan. Misalnya, seorang “pendeta” pernah mengaku sering naik turun “surga” lalu diajak minum kopi oleh “tuhan yesus”, kemudian sang “pendeta” ini kalau berkhotbah selalu menggunakan “otoritas”, “’Tuhan’ berkata kepadaku kemarin malam...” atau sejenisnya. Entah, Tuhan atau hantu yang berkata kepadanya, sungguh “membingungkan”. Sang “pendeta” ini menggunakan otoritas yang paling tinggi dan Kebenaran itu sendiri untuk meyakinkan jemaat-jemaatnya bahwa ajaran sang “pendeta” itu langsung dari Tuhan, sehingga jemaat-jemaatnya harus taat, jika tidak, maka para jemaatnya akan dicap tidak taat dan tidak beriman serta berdosa. Gejala seperti ini dulu pernah terjadi, misalnya, seorang “pendeta” gereja sesat, Jim Jones pernah menyuruh anggota jemaatnya minum racun dan bersama-sama turun ke jurang untuk membuktikan bahwa Allah itu berkuasa dan tidak meninggalkan umat-Nya, akhirnya banyak jemaatnya yang mati. Saya menyebutnya sebagai otoritas palsu. Jangan menganggap bahwa semua yang mengklaim menggunakan nama Allah itu pasti dari Allah, karena Tuhan Yesus sendiri telah berpesan di dalam Matius 7:21-23, bahwa di zaman akhir, banyak orang akan menyebut-Nya, “Tuhan, Tuhan”, tetapi Kristus tak pernah mengenal mereka, dan menyebut mereka sebagai pembuat kejahatan, mengapa ? Karena mereka tidak pernah diutus oleh Kristus untuk menjadi saksi-Nya, tetapi mereka memberanikan diri menggunakan otoritas Kristus. Itulah jahatnya manusia !

4. Subjektivisme
Filsafat keempat yang mempengaruhi dunia kita sekarang adalah subjektivisme yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu benar jika dinilai berdasarkan subjektivitas diri sendiri. Jadi, menurut filsafat ini, dirilah yang menjadi pusat kebenaran. Di luar dirinya, mutlak tidak ada yang benar. Celakanya, filsafat ini telah meracuni keKristenan. Pengalaman-pengalaman pribadi misalnya disembuhkan dari penyakit, dll, ternyata dijadikan doktrin dan diajarkan di dalam mimbar gereja dengan teriakan bahwa yang tidak disembuhkan dari penyakit, berarti kurang beriman, dsb. Bahkan subjektivisme telah menggerogoti iman Kristen dengan di“sembah”nya para pemimpin gereja seperti layaknya “Tuhan”, karena kebanyakan dari mereka menggunakan otoritas yang salah (berkaitan dengan otoritarianisme). Kelemahan filsafat ini adalah bahwa diri manusia tidak layak dijadikan subyek segala sesuatu, karena adanya realita dosa yang mencengkeram diri manusia.

5. Skeptisisme
Kelima, skeptisisme adalah suatu arus filsafat yang meragukan segala sesuatu. Di dalam filsafat ini, segala sesuatu diragukan. Filsafat ini muncul karena di dalam diri manusia tidak ada patokan dasar yang mampu mengarahkan hidup mereka. Filsafat ini mungkin sekali jarang dijumpai di kalangan keKristenan, tetapi saya menjumpai beberapa orang Kristen yang masih memegang filsafat ini. Saya menduga bahwa beberapa orang Kristen sampai menjadi skeptis karena ada dua alasan : pertama, tidak ada dasar iman yang kokoh ditambah yang kedua, kurangnya orang tersebut mempelajari Alkitab. Filsafat ini sedikit memiliki kelebihan yaitu para skeptis tidak sembarangan menerima segala sesuatu, tetapi kelemahan filsafat ini adalah bagi para skeptis, segala sesuatu diragukan, dan anehnya keraguannya sendiri tidak pernah diragukan benar atau tidaknya. Perhatikan, skeptisisme lama-kelamaan akan mengakibatkan timbulnya relativisme jika terus-menerus dibiarkan.

6. Relativisme
Filsafat keenam yang cukup banyak dianut oleh banyak orang di zaman postmodern ini adalah relativisme. Dari katanya saja dapat dimengerti bahwa filsafat ini mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah relatif. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah menuturkan bahwa seorang tokoh evolusi yang bernama Sir Herbert Spencer mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak di dunia (there’s nothing absolute in the world). Lalu, seorang pemuda bertanya kepada Spencer bahwa apakah dia (Spencer) mengakui teori secara mutlak, kemudian, Spencer diam termenung. Sungguh kontradiksi. Sangatlah tepat jika Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa semua filsafat yang melawan Alkitab akan berperang dengan dirinya sendiri (berkontradiksi). Benarkah tidak ada yang mutlak di dunia ini ? Kalau benar, secara otomatis, teori kerelatifan ini dipegang secara mutlak, karena barangsiapa yang melawan teorinya akan berhadapan dengan pemuja teori relativisme. Bukankah seharusnya seorang penganut relativisme akan diam saja jika ada orang lain yang mengajarkan kemutlakan ? Tetapi kenyataannya tidak. Setiap orang yang mengatakan bahwa semua itu sama saja, mereka akan marah bila ada orang lain yang mengklaim semua itu berbeda. Dengan demikian, penganut relativisme mengukur diri sebagai puncak kebenaran dan kebenaran itu tergantung masing-masing individu. Jadi, relativisme adalah bentuk turunan/derivatif dari skeptisisme yang brutal. Ternyata keKristenan juga sering mengadopsi filsafat ini. Pernahkah Anda mendengar bahwa semua gereja itu sama, yang penting bertumbuh atas firman-Nya ? Saya tanya, apa motivasi orang mengeluarkan pernyataan demikian ? Saya curiga dan ragu bahwa motivasinya adalah agar jemaat-jemaat di gereja yang sering menyanyikan lagu tersebut (gereja X) tidak berpindah ke gereja lain yang lebih beres dan bertanggungjawab (gereja Y) daripada gereja yang semula (gereja X), karena semua gereja itu sama saja, sebaliknya jemaat-jemaat gereja lain (gereja Q) yang belum ke gereja yang mengajarkan lagu tersebut (gereja X) diajak ikut ke gereja tersebut (gereja X) juga dengan alasan yang sama yaitu semua gereja itu sama saja sebagai tameng/topeng (dalam pengertian sesungguhnya, gerejaku lebih baik dari gereja lain). Problematika kelemahan fatal relativisme adalah tidak diakui kebenaran sejati dan otomatis tidak mengakui adanya Allah sebagai Sumber Kebenaran (mengarah kepada atheisme). Yang paling aneh para penyembah relativisme selalu beranggapan bahwa semua itu sama saja, tetapi herannya kalau memilih suami/istri tidak berani mengatakan bahwa semua laki-laki/perempuan itu sama saja, maka semua laki-laki/perempuan dapat dijadikan suami/istri (asal berlainan jenis).

7. Pragmatisme
Filsafat ketujuh yang mencengkeram hidup manusia adalah pragmatisme. Pragmatisme adalah sebuah kepercayaan akan pengajaran filsafat yang berasal dari Amerika Serikat pada akhir tahun 1800an dan digolongkan oleh desakan/permintaan yang tegas pada konsekuensi-konsekuensi/kepentingan-kepentingan, kegunaan dan hal yang praktis sebagai komponen-komponen vital akan pengertian dan kebenaran. Pragmatisme berkeberatan dengan pandangan bahwa konsep-konsep dan intelek (kemampuan memahami dan berpikir) manusia mewakili realita, dan oleh karena itu berdiri dalam perlawanan terhadap cabang-cabang filsafat dari formalis dan rasionalis. Selain itu, pragmatisme tidak menganggap bahwa segala sesuatu itu yang berguna atau praktis seharusnya dianggap sebagai benar, atau segala sesuatu yang menolong kita untuk bertahan hanya dalam waktu singkat ; para pragmatis (penganut paham pragmatisme) beralasan bahwa apa yang sebaiknya dianggap sebagai benar adalah apa yang paling banyak memberikan kontribusi (atau menyumbang) terhadap kebaikan manusia yang paling banyak selama/pada/melampaui arah/serangkaian yang terpanjang (over the longest course) (http://en.wikipedia.org/wiki/Pragmatism). Dengan kata lain, menurut paham pragmatisme, sesuatu yang bersumbangsih bagi hidup manusia itulah yang dianggap sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika sesuatu itu tidak bersumbangsih bagi hidup manusia, otomatis sesuatu itu bukan kebenaran. Sekilas pandangan ini agak benar, tetapi tahukah Anda berapa kalikah manusia di dunia menganggap bahwa sesuatu yang menurutnya berguna dan bersumbangsih bagi hidup manusia selama jangka waktu yang panjang tetapi itu sesungguhnya menyesatkan ?! Dan sebaliknya, berapa kalikah manusia di dunia menganggap bahwa sesuatu yang tidak bersumbangsih bagi hidupnya ternyata lebih benar dan bertanggungjawab ketimbang apa yang pernah dipikirkannya ?! Apakah wujud dari kedua pernyataan tersebut ? Pernyataan pertama yaitu apa yang menurut manusia dunia dianggap bersumbangsih bagi hidup manusia itu ternyata menyesatkan adalah filsafat-filsafat dunia yang melawan Alkitab, seperti berpikir positif, win-win solution, dll. Kelihatannya filsafat-filsafat tersebut bersumbangsih bagi hidup manusia, misalnya, berpikir positif, dapat “meningkatkan” kepercayaan diri manusia yang berdosa, tetapi itu semua palsu adanya. Berpikir positif yang salah itu meniadakan realita dan menganggap realita itu harus selalu positif di mata sang pemikir positif tersebut. Padahal realita terjadi berkebalikan dengan pemikiran para pemikir positif. Pernyataan kedua yaitu apa yang manusia dunia anggap tidak bersumbangsih bagi hidup manusia, seperti keKristenan yang berdasarkan Alkitab yang sesungguhnya adalah sesuatu yang lebih benar dan bertanggungjawab daripada pemikiran mereka yang berdosa. Mengapa sampai manusia dunia tidak menyadari hal ini ? Karena mereka pada intinya sudah jatuh ke dalam dosa, sehingga apa yang dianggap bernilai tidak sinkron dengan apa yang Tuhan anggap bernilai ! Nilai manusia dunia yang pragmatis ini lebih diletakkan pada hasil akhir yang kelihatan cocok dan menyenangkan. Ide di balik pragmatisme hampir sama dengan utilitarianisme (asas manfaat). Maklumlah manusia berdosa ingin memuaskan hasrat keberdosaan manusia ! Tidak heran, mengapa seminar-seminar dan berbagai macam training pengembangan pribadi seperti dari Andrie Wongso, Anthony Robbins, dll begitu laris bak kacang goreng ? Karena mereka memang perlu pelampiasan emosional sesaat tanpa Allah di dalamnya yang menjadi Pemilik hidup mereka ! Tahukah Anda, filsafat gila ini pun sudah masuk ke dalam keKristenan. Tidak heran, banyak gereja berlomba-lomba membangun gedung gereja yang super megah ditambah bersaing untuk menambah jumlah jemaat agar kelihatan ada “roh kudus”. Semua itu hanya fenomena saja, hanya kelihatan penuh secara kuantitas, sedangkan tidak berkualitas. Kalau mencari gereja, bukan mencari gereja yang lebih cocok dengan firman Tuhan, tetapi mencari gereja yang mengkhotbahkan hal-hal yang enak, penuh cerita-cerita lucu, kesaksian-kesaksian (entah itu asli atau palsu), dll, yang penting ke gereja, yang penting dapat manfaat dan kegunaan yang menurut mereka bersumbangsih bagi hidup mereka (memaksa Tuhan untuk menuruti permintaannya di dalam doa). Itulah gejala manusia Kristen yang pragmatis di abad postmodern ini : suka hal-hal yang fenomenal dan membuang rasio ! Kelemahan fatal filsafat ini adalah yang dianggap benar kembali bersifat subjektif dan kadang-kadang bisa sirna. Misalnya, kalau di suatu jangka waktu tertentu, gereja X dan pendeta A yang terkenal, maka semua gereja berlomba-lomba mengundang pendeta A dan mencontoh pola pertumbuhan gereja X. Sepuluh tahun berikutnya, gereja X akhirnya ditemukan banyak manipulasi dan pendeta A diisukan korupsi, maka gereja Y yang sekarang naik daun dan pendeta B yang terkenal, kemudian kembali gereja-gereja lain seperti orang gila berlomba-lomba mengundang pendeta B dan meniru pola pertumbuhan gereja Y, dst. Semakin lama, semakin orang Kristen dan gereja yang mengikuti gereja dan orang Kristen lain yang belum tentu benar, semakin mereka jatuh ke dalam fenomena-fenomena yang semakin jauh dari Alkitab. Tidak heran, mengapa tahun-tahun belakangan ini gejala seperti Toronto Blessing sudah menghilang, padahal pada akhir abad 20, gejala ini merajalela bahkan diimport di dalam banyak gereja di Indonesia ? Trendnya sudah ganti, dari Toronto Blessing berpindah ke Benny Hinn, City Harvest Church, Philip Mantofa, dll. Beberapa tahun lagi, fenomena-fenomena ini akan digantikan oleh hal-hal lain yang mungkin lebih parah.

8. Materialisme
Kedelapan, filsafat materialisme yang menganggap bahwa satu-satunya hal yang benar-benar dapat dikatakan berada adalah benda (matter) dan semua hal yang terdiri dari hal-hal material/jasmaniah dan semua fenomena adalah hasil dari interaksi jasmaniah. Concern dari materialisme adalah pada hal-hal material/jasmaniah dan itulah yang dianggap sebagai suatu kebenaran. Materialisme tidak hanya terbatas pada uang dan harta benda saja, tetapi pada segala sesuatu yang bersifat jasmaniah. Manusia dunia sekarang ini menganggap materi itu segala-galanya dan bahkan mereka mau berkorban tenaga, waktu dan segalanya demi mengejar sebuah materi, termasuk di dalamnya adalah sebuah ketenaran dan jabatan yang tinggi. Bahkan di dalam surat kabar Jawa Pos yang saya baca baru-baru ini (Jumat, 27 Juli 2007) ada iklan seminar yang salah satunya berbunyi, “Bagaimana uang dapat mengejar Anda?” Lalu, filsafat ini “dibaptis” dalam nama “yesus” ke dalam gereja. Tidak heran, khotbah-khotbah yang bertemakan materialisme, misalnya “Ditebus dari Kemiskinan”, “Menang, Sukses dan Berhasil”, dll menjadi bahan khotbah yang disenangi oleh banyak orang “Kristen” terutama para usahawan. Yang dikhotbahkan dan diajarkan bahwa menjadi orang “Kristen” pasti kaya, sukses, berhasil, dll, sehingga ada sebuah gereja yang memakai slogan di depannya Successful..., tetapi sang pemimpin gereja ini menyangkal bahwa dirinya mengajarkan “theologia” kemakmuran kepada jemaatnya. Selain itu, sang pemimpin gereja ini juga pernah berkhotbah bahwa pada hari ini jika ada jemaat yang masih naik roda dua, minggu depan pasti naik roda empat. Ide-ide kemakmuran materi, kelancaran hidup dan tidak adanya sakit-penyakit pada “anak-anak Tuhan” (bahkan ada yang mengajarkan bahwa tidak ada “anak Tuhan” yang sampai digigit nyamuk) itulah yang selalu didengang-dengungkan oleh banyak gereja kontemporer hari-hari ini, mengapa demikian ? Karena itulah yang cocok di telinga orang-orang postmodern. Kelemahan fatal filsafat ini adalah para penganut materialisme tidak sadar bahwa materi dan hal-hal jasmaniah lainnya itu fana sifatnya dan sebentar saja bisa sirna dimakan waktu. Jika materi-materi dan hal-hal jasmaniah lainnya diutamakan dan dijadikan kebenaran, dan pada suatu saat, hal-hal tersebut hilang, misalnya, dicuri oleh perampok, maka apakah berarti “kebenaran” itu juga hilang ? TIDAK !

9. Dualisme
Filsafat kesembilan yang hampir banyak dianut oleh manusia di abad postmodern ini adalah dualisme. Filsafat ini mengajarkan adanya pemisahan antara mind (pikiran/dunia ide) dan body (tubuh/dunia realita). Di dalam dunia Barat, filsafat ini dikembangkan oleh filsuf Yunani kuno, Plato. Plato mengembangkan ide dualisme ini untuk mengatasi pergolakan filsafat-filsafat Yunani pada waktu ia hidup yaitu antara pemikiran Heraclitus dan Parmenides (MacKenzie, 2006, halaman 40). Heraclitus mengajarkan bahwa realitas itu satu dan bisa berubah (becoming), sedangkan Parmenides mengajarkan bahwa sesuatu yang berada (being) itu tidak mungkin berubah (tetap). Selain itu, menurut Plato, jiwa ini baik dan tubuh ini jahat, tidak heran, dia (yang dipengaruhi oleh Socrates) pernah mengatakan bahwa kematian itu adalah pembebasan dan pemisahan jiwa dari tubuh, sehingga menurutnya, para filsuf itu hidup untuk mati. Filsafat Plato ini akhirnya merajalela, mempengaruhi kepercayaan Manikhaisme yang mengajarkan adanya dewa baik dan dewa jahat (sempat mempengaruhi rasio bapa gereja Augustinus), mempengaruhi juga kepercayaan Zoroasterianisme (mengajarkan adanya dewa baik/Ahura Mazda dan dewa jahat/Angro Mainyu) dan diterima di dalam dunia Barat sampai sekarang. Di dalam dunia Timur yang beridekan mistik, filsafat dualisme muncul dengan konsep Yin dan Yang (filsafat Taoisme). Konsep ini mengajarkan bahwa di dalam dunia ini pasti ada yang baik dan jahat, pria dan wanita, terang dan gelap, putih dan hitam, dll. Saya juga sempat heran bahwa ada seorang teman “Kristen” saya di kampus Petra mengatakan konsep ini dan otomatis dia mempercayainya. Filsafat dualisme ini ternyata masuk ke dalam keKristenan ditambah semangat antitheistik dan sekularisme yang “disembah” oleh banyak orang “Kristen” menggantikan posisi Allah. Tidak heran, banyak orang “Kristen” mengklaim diri mereka sebagai orang “Kristen” bahkan “melayani Tuhan” di gereja, tetapi sempat mengatakan bahwa agama dan science itu tidak berhubungan sama sekali. Inilah yang saya sebut sebagai penganut dualismenya Plato yang juga dipengaruhi oleh sekularisme dan semangat antitheistik. Pertanyaannya, apakah orang ini seorang Kristen sejati yang beriman kepada Kristus ?! Sama sekali, TIDAK ! Orang ini sama sekali bukan orang Kristen yang beriman kepada Kristus, tetapi mungkin sekali orang yang ber-KTP Kristen yang beriman kepada diri sendiri dan kemampuannya sendiri. Kelemahan fatal filsafat ini lebih bersifat tunggal yaitu menyangkal pribadi Allah di dalam kehidupan sehari-hari (atheisme praktis) dan akibatnya, semakin manusia menjauhi Allah, semakin manusia tidak merasakan damai sejahtera, mendapat hikmat sejati dan semakin rusak baik paradigma maupun moralitasnya.

10. Pantheisme
Filsafat terakhir yang mempengaruhi orang dunia khususnya di abad postmodern ini adalah pantheisme. Pantheisme yang berasal dari bahasa Yunani : pan (berarti semua) dan theos (berarti Allah/God) adalah cabang filsafat yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah “Allah” (all is “god”) atau antara alam semesta, manusia dan Allah adalah sama/sederajat. Tidak heran, di zaman postmodern, semua ide di balik training pengembangan pribadi baik dari Andrie Wongso, Anthony Robbins, John Robert Powers, dll, adalah bermotifkan filsafat pantheisme, di mana di dalam diri manusia terkandung potensi ilahi (atau “allah” yang sedang tidur) yang harus dibangunkan dan dikembangkan. Yang paling celaka, sebuah kampus “Kristen” swasta di Surabaya gencar-gencarnya mengundang Andrie Wongso dan mengadakan training motivasi seperti Manage Your Mind to be Success untuk “meningkatkan” kepercayaan diri para mahasiswa (YANG BERDOSA). Filsafat ini telah meracuni keKristenan dalam dua bentuk. Pertama, adanya ajaran yang mengatakan bahwa manusia itu adalah ilah-ilah kecil (little gods) dan ajaran ini diajarkan oleh seorang pemimpin “gereja” di dunia Barat yang notabene penganut paham Word of Faith Movement (Gerakan Kata-kata Iman). Ajaran ini menitikberatkan bahwa apapun yang kita minta di dalam doa pasti dikabulkan oleh Tuhan (Sebut dan Tuntutlah/name it and claim it). Itulah yang mereka ajarkan sebagai “iman” dalam Gerakan Kata-kata Iman. Bentuk kedua dari filsafat yang sudah meracuni keKristenan ini adalah munculnya istilah-istilah baru yang belum pernah muncul di dalam keKristenan, misalnya, di dalam setiap benda atau aktivitas negatif itu ada roh/setannya, seperti roh zinah, roh ngantuk, roh mati lampu, roh guci, dll. Hal ini kerapkali diucapkan oleh banyak “hamba Tuhan” dari gereja-gereja kontemporer di abad postmodern ini. Mereka selalu mengatakan bahwa kalau ada jemaat yang mengantuk ketika mendengarkan khotbah di dalam gereja itu berarti ada setan/roh ngantuk, sehingga yang perlu diusir atau ditengking adalah setan/roh ngantuk. Lalu, kalau ada jemaat yang suka berzinah, anehnya, bukan si jemaat yang ditegur, tetapi setan/roh zinah yang diusir/ditengking. Tidak heran, mulai abad 20 muncullah “profesi baru” di dalam kalangan “hamba Tuhan” selain mengajar, memberitakan Injil dan menggembalakan, yaitu menengking roh/setan.




Lalu, bagaimana respon dan serangan keKristenan terhadap kesepuluh presuposisi epistemologi ini ? Jawabannya hanya ditemukan di dalam Alkitab dari perspektif theologia Reformed yang ketat, yaitu kedaulatan Allah. Berikut adalah definisi kedaulatan Allah yang memberikan jawaban sekaligus mengkritik dan menyerang kesepuluh paradigma dunia di atas (sebagai respon terhadap doktrin bahwa Allah menghakimi semua paradigma dunia berdosa).
Pertama, Allah yang Berdaulat adalah Allah Pencipta. Allah yang Berdaulat adalah Allah yang menciptakan segala sesuatu. Mengapa Pencipta disebut berdaulat dan di mana letak signifikansinya ? Mengutip pernyataan dari Pdt. Sutjipto Subeno tentang hukum relasi Pencipta—ciptaan : Allah yang menciptakan segala sesuatu berarti Allah yang pertama kali menetapkan tujuan penciptaan, kemudian merancang ciptaan, menjadikan ciptaan dan berdaulat menggunakan ciptaan itu untuk kemuliaan-Nya (Yesaya 43:7, “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!"”), itulah kedaulatan Allah. Oleh karena itu, sudah seharusnya sebagai ciptaan, kita sebagai manusia taat mutlak kepada perintah Allah sebagai Pencipta, khususnya kita yang telah ditebus oleh Kristus harus menaati perintah Allah di dalam Alkitab.

Konsep Allah sebagai Pencipta mengkritisi dan menghakimi konsep Gerakan Zaman Baru yang dipengaruhi oleh pantheisme bahwa manusia adalah “allah”. Di titik pertama, pantheisme tidak bisa membedakan antara ciptaan dengan Pencipta. Kalau pantheisme itu “benar” bahwa semua manusia adalah “allah” yang “hebat”, maka mengapa mereka perlu belajar ? Belajar adalah suatu proses yang tak diperlukan bagi Pencipta. Allah kita tak diikat oleh proses yang meliputi ruang dan waktu, tetapi manusia sebagai ciptaan sangat terikat oleh proses, oleh karena itu manusia perlu belajar. Tetapi kalau manusia sudah menjadi “allah”, perlukah ia belajar dan terikat di dalam proses ? Sungguh konyol ! Konsep Allah sebagai Pencipta juga menyerang konsep dualisme yang mengajarkan dikotomi/pemisahan mutlak antara hal-hal rohani dengan jasmani. Di titik pertama, “pemuja” dualisme sudah menyangkali bahwa Allah sebagai Pencipta yang berdaulat mutlak menggunakan apapun yang diciptakan-Nya untuk kemuliaan-Nya sendiri. Dengan kata lain, mereka ingin mengambil alih posisi “Pencipta” demi kemuliaan mereka sendiri. Itulah sebenarnya makna dosa, yaitu ketidaktaatan dan ingin menjadi seperti Allah.


kedua, Allah yang Berdaulat sebagai Sumber. Artinya, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang daripada-Nya segala sesuatu itu ada. Allah tak pernah bergantung pada siapapun dan apapun, karena Ia berada pada diri-Nya sendiri (self-dependence of God). Ini bukan hanya menyangkut masalah penciptaan, tetapi juga menyangkut masalah lain di dunia ini yang bersumber pada Allah. Misalnya, Allah yang Berdaulat adalah Sumber segala pengetahuan, sehingga Raja Salomo yang terkenal bijaksana menuliskan, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,…” (Amsal 1:7) Ketika kita mau belajar sungguh-sungguh tentang pengetahuan, kembalilah kepada Firman Allah, Alkitab, karena di situ kita dapat mempelajari sumber pengetahuan sejati. Hal ini tidak berarti Alkitab adalah buku pengetahuan, tetapi Alkitab memberikan dasar filosofis tentang pengetahuan sejati yaitu takut akan Tuhan. Ketika manusia enggan percaya kepada/di dalam Allah melalui Alkitab, mereka bukan saja dianggap bodoh, tetapi juga sia-sia (Amsal 1:7b).
Konsep Allah sebagai Sumber menyerang konsep berpikir rasionalisme. Di dalam rasionalisme, manusialah yang berperan sebagai sumber di dalam menentukan mana yang benar dan salah. Jika memang rasionalisme benar, para penganut rasionalisme pasti tidak dapat memahami sesuatu yang melampaui diri manusia, termasuk memahami cinta. Kalau rasionalisme “benar”, mengapa abad di mana rasionalisme berjaya ternyata diakhiri dengan Perang Dunia 1 dan 2 ? Bukankah secara rasio, mereka sebenarnya sadar bahwa perang itu tidak baik dan merugikan ? Di sini, letak kegagalan rasionalisme yang mencoba menggantikan Allah sebagai Sumber. Rasio memang adalah ciptaan Allah, tetapi ingatlah, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rasio manusia ikut dipolusi oleh dosa, sehingga rasio kita (ketika kita berdosa) bukan diperuntukkan untuk memuliakan Allah, tetapi untuk melayani diri dan yang lebih parah melayani setan. Sehingga, Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa iman adalah penundukkan rasio kepada Kebenaran. Dengan kata lain, orang Kristen sejati tidak boleh mengikuti/menganut rasionalisme, tetapi mereka tetap harus rasional, mengapa ? Karena orang Kristen diharuskan mengaktifkan rasio mereka semaksimal mungkin untuk ditundukkan dan dibawa kembali kepada Allah dan Alkitab. Selain itu, konsep Allah sebagai Sumber menghakimi konsep berpikir empirisisme dan subjektivisme. Empirisme adalah konsep yang menekankan pengalaman sebagai sumber. Konsep ini adalah konsep ekstrim kanan selain rasionalisme. Dunia terbagi menjadi dua ekstrim, yaitu di ekstrim kiri ada rasionalisme menekankan aspek rasio sebagai sumber, dan di ekstrim kanan muncul empirisisme yang menekankan aspek emosi/perasaan sebagai sumber. Di dalam iman Kristen, kedua konsep ini, khususnya empirisisme tidak benar, mengapa ? Karena perasaan masing-masing orang tidaklah sama (alias berbeda) dan tergantung mood. Kalau mood seseorang lagi baik, maka perasaannya pun baik dan ia pasti menganggap semua orang itu baik (meskipun berbuat jahat), sedangkan ketika mood seseorang lagi tidak baik, maka perasaannya pun tidak baik dan ia pasti menganggap semua orang itu jahat (meskipun orang yang dinilainya itu baik, misalnya memberitakan Injil kepadanya). Kalau perasaan dijadikan standar “kebenaran”, maka perasaan siapakah yang qualified dijadikan standar/sumber “kebenaran” ? Bukankah semua perasaan manusia juga berdosa ketika mereka jatuh ke dalam dosa ? Perasaan memang ditanamkan oleh Allah di dalam manusia, tetapi jangan pernah menjadikan perasaan sebagai sumber, karena itu amat berbahaya dan menyesatkan. Perasaan yang beres adalah perasaan yang dikembalikan/ditundukkan kepada Allah sebagai Sumber. Selain itu, Allah sebagai Sumber juga menyerang konsep subjektivisme yang berpusat kepada diri. Iman Kristen bukanlah iman yang subjektif, meskipun tetap ada unsur subjektif. Artinya, di dalam keKristenan yang beres, unsur subjektif tetap ada, misalnya pengalaman pribadi dengan Allah, tetapi unsur itu harus ditundukkan kepada unsur objektif yaitu Allah sebagai Sumber. Dengan kata lain, spiritualitas sejati diimplikasikan dari pemahaman doktrinal yang solid dan bertanggungjawab dari Alkitab, sehingga ketika ada “pengalaman rohani” yang tidak sesuai dengan Alkitab, kita harus membuang pengalaman itu (meskipun itu memakai kata “Tuhan”) dan tetap mempercayai Alkitab. Kemudian, konsep Allah sebagai Sumber menyerang konsep relativisme yang me“mutlak”kan bahwa segala sesuatu itu relatif. Memang aneh para pemuja relativisme di abad postmodern yang gila ini. Mereka mati-matian menyerukan freedom, semua itu relatif/sama saja, dll, tetapi di sisi lain, ketika ada orang yang menolak pandangan mereka, mereka pasti marah dan memusuhi orang itu. Kalau mau konsisten, para pemuja relativisme itu juga mau menerima pandangan orang lain yang bahkan menolak pandangannya, tetapi kenyataannya tidak demikian. Para pemuja relativisme juga harus mengatakan bahwa semua wanita itu cantik, semua obat itu sama, dll, lalu jadikan semua wanita itu istrinya dan makanlah semua obat (meskipun ada yang beracun), lalu lihatlah hasilnya. Kesemuanya ini membuktikan bahwa manusia semakin lama semakin menganggap diri “hebat”, “pandai”, dll, tetapi sebenarnya “nol besar” alias kosong/tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Konsep ini mempengaruhi skeptisisme yang meragukan segala sesuatu. Dari konsep bahwa segala sesuatu itu relatif, maka para relativis nantinya akan menjadi seorang skeptis yang meragukan semuanya kecuali dirinya. Bagaimana dengan iman Kristen ? Iman Kristen yang beres menolak relativisme dengan tegas, dan hanya “mengakui” relativisme/pluralisme di dalam hal bermasyarakat (mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Kita mengakui bahwa dunia kita dipenuhi oleh beragam agama dengan berbagai kepercayaan, tetapi kita TIDAK boleh ikut-ikutan mempercayai bahwa agama-agama itu juga “benar” dan “melengkapi” iman Kristen kita (seperti yang digembar-gemborkan oleh para pemuja “theologia” religionum/social “gospel”). Iman Kristen yang beres juga menghakimi skeptisisme. Meskipun Skeptisisme ada sedikit unsur positif yaitu belajar kritis/tidak mau menerima segala sesuatu, letak kelemahannya cukup fatal yaitu para skeptisis meragukan segala sesuatu, tetapi herannya mereka tak pernah sedikitpun meragukan keragu-raguannya apakah keragu-raguannya itu layak diragukan atau disandari. Keragu-raguan sejati harus segera dibereskan dengan konsep Allah sebagai Sumber yaitu Allah yang tak mungkin bersalah dan tidak ada kontradiksi (Ev. Ivan Kristiono di dalam National Reformed Evangelical Youth Convention 2006 mengajarkan : in God, there is no contradiction/di dalam Allah, tidak ada kontradiksi). Mengapa Allah tidak berkontradiksi ? Karena hanya Dia saja yang setia, bertanggungjawab, jujur, berada pada diri-Nya dan kekal. Di dalam hidup manusia (khususnya para skeptisis), jawaban satu-satunya hanya di dalam Allah yang tak perlu lagi diragu-ragukan. Ketika manusia mulai meragukan Allah, maka hidup orang itu pasti tidak mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Materialisme juga harus dihakimi dengan konsep Allah sebagai Sumber, mengapa ? Karena materialisme menjadikan materi sebagai tolok ukur “kebenaran”, padahal Allah menciptakan materi itu untuk dikuasai oleh manusia. Materialisme membalik posisi ini (manusia dikuasai materi) dan itu tetap adalah dosa. Konsep Allah sebagai Sumber juga mengkritisi pandangan otoritarianisme yang menjadikan manusia sebagai sumber (otoritas manusia). Layakkah manusia dijadikan standar kebenaran/otoritas yang sah ? TIDAK. Mengapa ? Karena manusia adalah makhluk yang menurut Pdt. Dr. Stephen Tong ada dalam tiga kondisi : dicipta (created), terbatas (limited) dan terpolusi oleh dosa (polluted). Sebagai manusia yang dicipta, manusia harus taat dan tunduk kepada Sang Pencipta ; sebagai manusia yang terbatas, manusia memiliki unsur-unsur kefanaan sehingga harus bergantung kepada Allah yang Kekal ; dan sebagai manusia yang berdosa, manusia sudah jatuh ke dalam dosa dan lemah sehingga membutuhkan Allah yang menebus dosa-dosa mereka di dalam Kristus Yesus. Ketiga kondisi ini membuktikan bahwa manusia harus membutuhkan Allah sebagai Sumber, karena diri mereka tidak dapat disandari ! Otoritas sejati bukan di tangan manusia, tetapi di tangan Allah sebagai Sumber, karena hanya Dia satu-satunya sebagai : Pencipta, Penebus dan Pengwahyu serta Penyempurna segala sesuatu. Konsep Allah sebagai Sumber juga menghakimi konsep berpikir dualisme yang mengajarkan bahwa hal-hal rohani tidak berhubungan dengan hal-hal jasmani. Dualisme itu jelas-jelas salah di titik pertama, mengapa ? Karena selain menyangkali Allah sebagai Pencipta, para penganut dualisme juga menyangkali Allah sebagai Sumber yang dari-Nya segala sesuatu itu berasal. Ketika Allah disebut Sumber, berarti Dia adalah Pusat yang tanpa-Nya tak mungkin ada manusia, benda-benda materi, binatang, tumbuhan, dll. Selain itu, sebagai Sumber, Allah juga berada/bergantung pada diri-Nya sendiri (self-reliance/self-dependence of God) yang tak memerlukan pribadi lain sebagai penopang diri-Nya (tak bergantung pada siapa dan apapun). Kalau dualisme itu “benar”, maka di titik pertama, mereka sudah menolak bahwa Allah sebagai Pusat segala sesuatu dan “beriman” bahwa diri manusia adalah pusat segala sesuatu yang sanggup mengatakan bahwa hal-hal rohani tak berhubungan dengan hal-hal jasmani. Kedua, para penganut dualisme menghina Allah sebagai Sumber dengan meletakkan Allah sebagai Pribadi yang hanya “sanggup” berkuasa di dalam area rohani, dan tidak di dalam area sekuler. Konsep ini sudah sesat luar biasa, mengapa ? Karena Allah sebagai Sumber adalah Allah yang berkuasa atas segala sesuatu dan segala sesuatu harus berpusatkan kepada diri-Nya yang layak disandari. Sehingga hal-hal jasmani seperti ilmu politik, sains, ekonomi, sosial, hukum, dll harus berpusat pada Allah dan Firman-Nya (Alkitab). Dengan demikian, orang Kristen yang beres pasti dan harus mengerjakan mandat budaya yaitu membawa seluruh kebudayaan manusia berdosa kembali kepada Kristus (untuk ditundukkan kepada Kebenaran Allah di dalam Kristus dan Alkitab).


ketiga, Allah yang Berdaulat adalah Pemelihara. Bukan hanya sebagai Pencipta dan Sumber, Ia juga sebagai Pemelihara segala sesuatu. Konsep deisme mengajarkan bahwa setelah Allah menciptakan segala sesuatu, maka Ia “cuek” dan meninggalkan ciptaan-Nya itu. Hal ini tidak diajarkan oleh Alkitab, karena Alkitab sendiri mengajarkan bahwa Ia memelihara ciptaan-Nya. Buktinya, kalau Allah tidak memelihara alam semesta ciptaan-Nya, maka jarak antara bumi dan matahari bisa bergeser menjadi 130 juta km yang mengakibatkan kita bisa terbakar (gosong) atau bergeser menjadi 200 juta km yang mengakibatkan kita bisa membeku (menjadi es). Tetapi puji Tuhan, Ia memelihara ciptaan-Nya, bahkan manusia pilihan-Nya. Rasul Paulus di dalam Efesus 1:4-5 mengajarkan bahwa Allah memilih kita di dalam Kristus sebelum dunia dijadikan menurut kerelaan kehendak-Nya. Bukan hanya memilih, Ia jugalah yang : merencanakan keselamatan bagi umat pilihan-Nya, menggenapkan keselamatan itu di dalam pribadi Kristus dan menyempurnakannya sampai akhir melalui karya Roh Kudus, sehingga Calvinisme berani mengajarkan bahwa keselamatan umat pilihan-Nya (anak-anak Tuhan) mutlak tidak bisa hilang (baca : Yohanes 6:37, 39-40 ; 10:27-30). Mengapa Calvinisme berani menyimpulkan hal ini ? Bukankah Arminianisme atau separuh Calvinisme (termasuk salah satunya, sebagian besar Katolikisme) mengajarkan bahwa keselamatan di dalam Kristus bisa hilang karena orang “Kristen” tersebut yang sudah “diselamatkan” murtad ? TIDAK ! Calvinisme berani menyimpulkan hal ini karena Calvinisme mempercayai kedaulatan Allah di mana Allah yang telah memulai rencana keselamatan Allah, Ia pulalah yang pasti akan menyempurnakannya kelak melalui karya Roh Kudus. Menolak paham ini bukan hanya menolak pandangan Calvinisme tetapi menolak berita Alkitab yang mengajarkan bahwa Allah itu tidak pernah berubah atau kekal dan juga menjunjung tinggi manusia lebih daripada Allah (seolah-olah Allah “kewalahan” ketika manusia ingin murtad ; dengan kata lain, Arminianisme dan kroni-kroninya menghina Allah dan meletakkan posisi manusia di atas Allah). Jika Arminianisme menghina Allah, layakkah ajaran/theologia ini dianut oleh orang Kristen yang beres dan bertanggungjawab ? Silahkan pikirkan sendiri.

Konsep Allah sebagai Pemelihara mengkritisi pandangan rasionalisme. Rasionalisme yang mengajarkan bahwa rasio adalah tolok ukur “kebenaran” sebenarnya sudah salah, mengapa ? Karena para rasionalis menganggap bahwa hanya rasio manusia yang dapat mengatur segala sesuatu, padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa abad rasionalisme diakhiri dengan Perang Dunia 1 dan 2 (1942-1945). Ini adalah kegagalan rasionalisme mengatur sejarah, sebaliknya orang Kristen sejati harus kembali kepada Allah sebagai Pemelihara yang memelihara ciptaan-Nya khususnya umat pilihan-Nya yang telah ditebus oleh Kristus sampai kepada tahap kesempurnaan kelak. Sejarah adalah bukti bahwa Allah memelihara ciptaan-Nya. Ada suatu istilah yang bagus yaitu : History (=sejarah) adalah His-story (kisah-Nya). Belajar dari sejarah adalah belajar bahwa Allah memelihara segala sesuatu. Orang yang tak pernah belajar sejarah adalah orang yang konyol, karena biasanya orang yang sama mengulangi kesalahan yang sudah pernah terjadi pada abad-abad sebelumnya, misalnya para pemuja unitarianisme yang mati-matian membela bahwa Allah itu hanya satu pribadi (mereka membangun doktrin gila ini agar menurut mereka, “iman” Kristen dapat menjadi “berkat” bagi orang-orang Islam/motivasinya untuk dialog antar agama), sebenarnya konsep mereka sudah ditentang dan dinyatakan sebagai bidat (ajaran sesat) oleh para bapa gereja. Selain itu, otoritarianisme dunia harus dihakimi dengan konsep Allah sebagai Pemelihara. Sungguh aneh, otoritarianisme yang mengajarkan bahwa pentingnya otoritas bukan direferensikan kepada Allah, tetapi kepada manusia dan segala atribut berdosanya, lalu mereka berpikir bahwa mereka bisa mengatur segala sesuatu. Kenyataannya ? Nihil ! Manusia bukan saja tidak bisa mengatur segala sesuatu, bahkan banyak manusia malahan merusak segala sesuatu yang telah diciptakan Allah, sehingga bencana alam (seperti banjir, dll) sering terjadi. Ini membuktikan otoritas manusia dan atribut-atributnya itu palsu dan marilah kita sebagai orang Kristen kembali kepada otoritas sejati yaitu Allah sebagai Pemelihara yang memelihara ciptaan-Nya. Ketika kita beriman di dalam Allah yang memelihara, maka hidup kita akan tenang meskipun menghadapi marabahaya sekalipun. Mengapa ? Karena kita percaya di dalam pemeliharaan (providensia) Allah yang akan menuntun dan memimpin anak-anak-Nya menghadapi kesulitan ujian hidup. Kemudian, konsep Allah sebagai Pemelihara mengkritisi pandangan dualisme. Dualisme jelas-jelas salah karena mereka menganggap Allah tidak sanggup (lebih tepatnya : “kewalahan”) memelihara ciptaan-Nya, sehingga mereka berpikir bahwa mereka dan hukum alam lah yang mengatur semuanya. Pandangan ini mirip dengan deisme (lihat penjelasannya di atas). Allah yang mencipta tentu adalah Allah yang memelihara, karena Ia adalah Allah yang setia dan bertanggungjawab, tidak seperti manusia yang omong besar tetapi hasilnya nol besar (alias tidak setia plus tidak bertanggungjawab, lalu menggunakan dalih “hak asasi manusia”) !


keempat, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang Mahakuasa. Dengan sangat bijaksana, hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong mengaitkan konsep ini. Seringkali, banyak gerakan/“theologia” Karismatik/Pentakosta selalu menekankan bahwa Allah itu Mahakuasa, maka Ia menyembuhkan segala penyakit, memberikan kemakmuran, dll. Itu tidak salah, tetapi salah motivasi. Tuhan bisa menyembuhkan segala penyakit, memberikan kemakmuran, dll, tetapi ingatlah, semua itu dilakukan berdasarkan kedaulatan kehendak-Nya. Dengan kata lain, meskipun Ia pasti mampu menyembuhkan penyakit, memberikan kemakmuran, dll, tetapi Ia juga bisa tidak mau menyembuhkan penyakit, dll, karena itu tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Meniadakan kedaulatan Allah dan hanya menekankan ke“Mahakuasa”an Allah yang diselewengkan artinya bisa berakibat fatal, yaitu menjadikan Tuhan sebagai “pembantu/budak” kita (padahal kita lah pembantu/budak Allah). Selain itu, Pdt. Dr. Stephen Tong juga mengajarkan bahwa Allah yang Mahakuasa seringkali dimengerti sebagai Allah yang bisa melakukan segala sesuatu, tetapi beliau mengingatkan bahwa hanya ada satu hal yang tak bisa dilakukan oleh Allah, yaitu berdosa (karena Allah itu Mahakudus tak mungkin berbuat dosa). Dengan kata lain, beliau mengajarkan bahwa Allah yang Mahakuasa adalah Allah yang rela membatas diri-Nya sendiri agar sesuai dengan Firman-Nya. Jadi, adalah salah jika banyak pemimpin gereja Karismatik/Pentakosta mengatakan bahwa di zaman ini ada “wahyu-wahyu” baru yang “melengkapi” Alkitab ! Mengapa ? Karena Allah sejati rela membatas diri-Nya dengan Firman Tuhan/Alkitab (2 Tim. 3:16-17) dan barangsiapa yang berani menambahi ayat-ayat Alkitab, kepadanya akan diberikan lagnat (baca : Wahyu 22:18-19).

Konsep Allah sebagai Allah yang Mahakuasa menghakimi beberapa filsafat dunia berdosa, di antaranya : pertama, rasionalisme. Rasionalisme menganggap bahwa rasio lah yang menjadi tolok ukur kebenaran. Dengan kata lain, sesuatu yang tidak masuk akal tidak dapat disebut kebenaran. Fakta dari Alkitab membuktikan bahwa terlalu banyak hal-hal di luar sana yang kelihatannya tidak masuk akal, sebenarnya masuk akal dan kebenaran, mengapa ? Karena apa yang dipikir manusia sebenarnya terbatas dan sudah jatuh ke dalam dosa dan kebenaran-kebenaran di luar akal manusia itu lah kebenaran sejati dari Allah di dalam Alkitab. Misalnya, tentang mujizat. “Theologia” liberal (dipengaruhi rasionalisme) tidak mempercayai adanya mujizat, karena bagi mereka, mujizat itu tidak masuk akal (irasional), tetapi kenyataannya bukan demikian. Mujizat sejati bukan irasional, tetapi supra-rasional (melampaui akal). Dengan kata lain, mujizat sejati merupakan bukti intervensi Yang Kekal (Allah) pada dunia materi/ciptaan yang bersifat fana, dan intervensi Allah ini tidak memerlukan persetujuan dari manusia berdosa ! Contoh lainnya yaitu cinta. Bagi orang rasionalis, cinta itu tidak masuk akal, karena tidak bisa diselidiki di dalam laboratorium. Padahal secara tidak sadar, para rasionalis ini memiliki cinta yaitu cinta pada hal-hal yang dipikirkannya. Cinta sejati bersumber dari Allah yang Mahakuasa yang rela mengasihi dunia berdosa dengan mencipta mereka dan menebus umat pilihan-Nya serta menyempurnakan mereka. Itu semua adalah bukti kasih Allah yang Mahakuasa. Kedua, empirisisme. Empirisisme yang meletakkan pengalaman sebagai tolok ukur kebenaran mungkin sedikit memiliki signifikansi di dalam Kristen yaitu bagaimana mengalami Allah, tetapi sayangnya mengalami Allah tidak sama dengan mengalami dan mempercayai keMahakuasaan Allah. Apa bedanya ? Mengalami Allah adalah mengalami hadirat dan penyertaan-Nya, mungkin juga mengalami keMahakuasaan Allah, tetapi sayangnya banyak orang “Kristen” yang mengklaim mengalami Allah (bahkan keMahakuasaan Allah) tidak mau menaklukkan diri di bawah-Nya. Dengan kata lain, empirisisme jatuh ke dalam presuposisi pengalaman tanpa adanya otoritas Allah di dalamnya. Ini yang mengakibatkan empirisisme dunia maupun yang sudah masuk ke dalam keKristenan menjadi kacau dan membingungkan. Sudah saatnya orang Kristen kembali kepada presuposisi iman yang bertanggungjawab yaitu beriman di dalam Allah yang Mahakuasa lalu merelakan diri taat dan tunduk mutlak kepada-Nya serta mengalami penyertaan, hadirat dan pimpinan-Nya setiap saat. Pengalaman sejati tanpa disertai dengan otoritas iman yang bertanggungjawab akan mengakibatkan pengalaman itu tanpa arah yang jelas, karena pengalaman itu subjektif, sedangkan iman adalah anugerah Allah yang objektif dan bertanggungjawab. Ketiga, otoritarianisme. Otoritarianisme dunia menganggap bahwa manusia dan atribut-atributnya yang memegang kendali sebagai kebenaran, sehingga mereka menggeser segala sesuatu di luar dirinya yang layak dijadikan otoritas. Misalnya, para pemimpin dunia yang kejam, dari Adolf Hitler, dan para penguasa komunis di Rusia, Tiongkok, dll adalah manusia-manusia yang merasa layak menjadi otoritas “tertinggi” yang mengatur dunianya, tetapi sayangnya Allah yang Mahakuasa sebagai Pemilik Otoritas yang tentu lebih besar dan agung menghancurkan otoritas mereka. Di Tiongkok, meskipun asasnya adalah komunisme, tetapi sebagian besar komunisme sudah hilang (masih ada sedikit remah-remah komunisme di Tiongkok). Hal ini terbukti dengan masuknya agama-agama di Tiongkok. Di Rusia dan negara-negara yang bekas komunis, keKristenan dan misionaris masuk dan memberitakan Injil. Itu semua membuktikan bahwa otoritas manusia itu dangkal, sedangkan Allah yang Mahakuasa adalah Allah yang berkuasa mutlak pada dunia, sehingga hanya Dia saja yang layak dijadikan otoritas absolut. Keempat, materialisme. Para materialis menganggap bahwa materi itu segala-galanya. Bahkan di dalam buku Robert T. Kiyosaki, orang dituntut untuk sesegera mungkin pensiun dini, pensiun kaya (Retired Young, Retired Rich). Benarkah materi itu segala-galanya? Sekali lagi, Allah yang Mahakuasa menyatakan diri bahwa materi itu bukan segala-galanya dengan cara mengambil materi itu. Contoh di dalam Alkitab, Ayub adalah seorang yang kaya tetapi puji Tuhan, ia tak menyandarkan diri pada materi, tetapi pada Allah, sehingga ketika Allah mengujinya dengan mengambil seluruh harta dan bahkan anak-anaknya serta megnizinkan ia memiliki penyakit, ia tetap berharap dan beriman pada Allah. Iman di dalam Ayub merupakan teladan bagi kita bagaimana kita tidak mendasarkan hidup pada materi yang dapat binasa, tetapi di dalam dan hanya pada Allah yang Mahakuasa. Kelima, dualisme. Menurut dualisme, “Allah” seolah-olah hanya berkuasa di dalam dunia religius/rohani, dan tidak pada dunia materi. Hal ini dilatarbelakangi oleh presuposisi Gnostisisme dan berakar pada filsafat Plato yang mendikotomikan antara hal-hal jasmani yang jahat dan hal-hal rohani yang baik. Alkitab dengan tegas menolak paham atheis ini dan mengajar bahwa tubuh dan jiwa adalah sama-sama ciptaan Allah. Lalu, ciptaan Allah ini membuktikan bahwa Allah itu Mahakuasa sehingga mampu memakai tubuh yang dipandang manusia sebagai jahat untuk menggenapi kehendak-Nya. Contohnya, inkarnasi Kristus membuktikan bahwa Allah yang Mahakuasa yang tidak terbatas berkuasa untuk membatas diri-Nya dengan menggunakan tubuh sebagai sarana untuk menyelamatkan manusia. Dengan kata lain, dualisme gagal di titik pertama. Keenam, pantheisme. Menurut pantheisme, manusia itu juga adalah “allah”, tetapi benarkah demikian ? Kalau manusia adalah “allah”, berarti mereka juga “mahakuasa”, tetapi kenyataannya di dalam banyak hal, manusia bukan saja tidak “mahakuasa”, malahan manusia sangat banyak memiliki kelemahan. Contohnya, tidak ada seorangpun yang mampu menyelesaikan perang antara Israel dan Palestina. Demikian juga, lumpur LAPINDO di Porong tak ada yang mampu menyelesaikannya. Tidak usah terlalu jauh, ketika tsunami datang, manusia yang selalu menganggap diri “allah yang mahakuasa” ternyata juga mati diterjang air ini. Semua itu membuktikan bahwa manusia tidak pernah “mahakuasa” dan mereka pasti membutuhkan Allah yang Mahakuasa !


kelima, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang transenden sekaligus imanen. Allah yang transenden berarti Allah yang jauh di sana, yang tak terjangkau oleh manusia, sedangkan Allah yang imanen adalah Allah yang dekat dengan kita/manusia. Agama-agama dan filsafat-filsafat dunia selalu tidak seimbang dalam menekankan bagian ini. Mengutip pernyataan dari Prof. Dr. Abraham Kuyper di dalam bukunya “Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Lectures on Calvinism)”, ada tiga macam agama/posisi doktrinal yang besar yang mewakili penyimpangan-penyimpangan ketidakseimbangan konsep antara ketransendenan dan keimanenan Allah, yaitu pertama, Paganisme atau agama kafir/tradisional yang mencari Allah di dalam ciptaan. Paganisme meliputi kepercayaan Animisme, Dinamisme, Pantheisme, Hinduisme dan Buddhisme. Hal ini nantinya mempengaruhi Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) di abad postmodern yang gila ini yang mengajarkan bahwa manusia itu adalah “allah” kecil (little gods). Konsep pikir ini sama sekali absurd, karena Allah dan ciptaan adalah sesuatu yang berbeda (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya : perbedaan kualitatif/qualitative difference). Kalau Allah identik dengan ciptaan, maka apa gunanya ciptaan menyembah Allah, kalau toh Allah yang disembah itu adalah manusia/ciptaan juga. Hal ini menggenapi apa yang filsuf Ludwig Feuerbach ajarkan bahwa “Allah” diciptakan menurut peta teladan manusia (bukannya manusia yang diciptakan menurut peta teladan Allah). Agama kedua adalah Islam. Di dalam Islam, Dr. Kuyper mengatakan bahwa Allah diisolasi dari ciptaan. Artinya, Allah itu transenden dan tidak imanen. Sehingga, kalau mau menghampiri “Allah”, mereka harus berteriak keras dahulu, baru “Allah”nya mendengar seruan mereka. Sungguh amat sangat mengasihankan. Konsep mereka persis seperti para nabi Baal yang ditantang oleh Nabi Elia di dalam 1 Raja-raja 18:22-41. Mari kita simak kisah ini. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Ahab yang tidak takut akan Tuhan yang tidak mempercayai perkataan Elia, lalu menantang Elia dengan mengirimkan 450 nabi Baal. Elia menantang 450 nabi Baal, “biarlah kamu memanggil nama allahmu dan akupun akan memanggil nama TUHAN. Maka allah yang menjawab dengan api, dialah Allah!” (1 Raj. 18:24). Maka, 1 Raja-raja 18:26 mencatat tentang tindakan para nabi Baal, “Mereka mengambil lembu yang diberikan kepada mereka, mengolahnya dan memanggil nama Baal dari pagi sampai tengah hari, katanya: "Ya Baal, jawablah kami!" Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab. Sementara itu mereka berjingkat-jingkat di sekeliling mezbah yang dibuat mereka itu.” Bukankah ini persis seperti yang dilakukan oleh kerabat “dekat” kita yang sering pergi ke Mekkah itu ? Apa jawab Elia ? Perhatikan ayat 27 dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Berdoalah lebih keras! Ia ilah, bukan? Mungkin ia sedang melamun, atau ke kamar kecil. Boleh jadi juga ia sedang bepergian! Atau barangkali ia sedang tidur, dan kalian harus membangunkan dia!” Lalu, para nabi Baal itu “berdoa lebih keras lagi. Dan seperti yang biasanya mereka lakukan, mereka menggores-goresi badan mereka dengan pedang dan tombak sampai darah bercucuran. Begitulah mereka terus-menerus sampai petang hari seperti orang kesurupan. Tetapi tidak ada yang menjawab, tidak ada yang memperhatikan.” (1 Raj. 18:28-29 ; BIS) Kemudian, Elia berkata, “Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini. Jawablah aku, ya TUHAN, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali.” (1 Raj. 18:36-37) Lalu, ayat 38 mencatat, “Lalu turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya.” Bagaimanakah respon rakyat dan Elia setelah melihat kejadian itu ? Ayat 39-40 mencatat, “Ketika seluruh rakyat melihat kejadian itu, sujudlah mereka serta berkata: "TUHAN, Dialah Allah! TUHAN, Dialah Allah!" Kata Elia kepada mereka: "Tangkaplah nabi-nabi Baal itu, seorangpun dari mereka tidak boleh luput." Setelah ditangkap, Elia membawa mereka ke sungai Kison dan menyembelih mereka di sana.” Bukankah konsep agama kedua ini sangat mengasihankan karena manusia yang sudah diciptakan Allah ternyata tidak mengetahui dan mengenal siapa Allahnya. Agama ketiga yang tidak seimbang menekankan konsep ini adalah Katolik Roma yang mengajarkan bahwa Allah dapat bersekutu dengan ciptaan melalui sarana hubungan pengantara yang mistis, yaitu Gereja (lembaga yang kelihatan dan nyata). Dengan kata lain, Gereja adalah pengantara Allah yang bersekutu dengan umat-Nya. Permasalahannya adalah ketika gereja berbuat salah atau mengajarkan doktrin yang kacau/salah, maka bukankah umat-Nya akan menganggap Allah itu juga kacau/salah. Tidak ada jalan lain, hanya theologia Reformed/Calvinisme yang berani menerobos problematika tersebut dengan menekankan keseimbangan antara Allah yang transenden dan imanen. Dr. Kuyper mengaitkan keseimbangan ini sebagai syarat pertama bagi satu sistem kehidupan yang nyata. (Kuyper, 2005, pp. 15-16) Konsep ini dapat diimplikasikan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita menyadari bahwa Allah kita transenden sekaligus imanen, hal ini mengakibatkan kita semakin takut menghampiri hadirat-Nya sekaligus bersukacita karena kita telah ditebus oleh Kristus. Ibadah/kebaktian yang beres harus memadukan dua unsur ini, tidak boleh berat sebelah.

Allah yang transenden sekaligus imanen jelas melampaui pandangan rasionalisme. Rasionalisme yang mengilahkan rasio tak mungkin dapat memikirkan konsep bahwa Allah itu transenden (nun jauh di sana) sekaligus imanen (yang dekat dengan umat-Nya). Dengan kata lain, konsep ini jauh melampaui pandangan manusia berdosa, tetapi sangat berarti. Allah yang tidak transenden tetapi imanen mengakibatkan Allah dan manusia tidak ada bedanya, sedangkan Allah yang transenden tetapi tidak imanen mengakibatkan Allah terkesan “angker”, menakutkan, dll. Konsep ini berdampak pada kehidupan sehari-hari yaitu adanya kesetaraan dan kebertingkatan. Dalam dunia ini, semua mau sama, yaitu antara bos dan karyawan memiliki hak yang sama. Tetapi mungkinkah ? TIDAK. Karena bos adalah bos yang harus dilayani, sedangkan karyawan adalah orang yang melayani bos. Ordo tetap adalah ordo/urutan, tetapi ordo tidak hanya berhenti pada ordo, melainkan ada kesetaraan. Artinya, meskipun bos lebih tinggi dari karyawan, bos tidak boleh mempermainkan karyawan seperti binatang, karena bos dan karyawan sama-sama manusia. Bos yang baik meskipun tetap mempertahankan jabatan tetapi ia bisa turun dan berbaur dengan pegawainya (tanpa harus mengorbankan jabatannya). Begitu indahnya konsep transenden dan imanen dari Allah kita. Selain rasionalisme, Allah yang transenden sekaligus imanen jauh melampaui konsep empirisisme. Empirisisme di dalam keKristenan diwakili oleh banyak gerakan Kristen kontemporer yang pop, sehingga yang dipentingkan adalah mengalami hadirat Allah. Padahal Alkitab jelas mengatakan bahwa mengalami Allah harus berangkat dari pengenalan akan Allah yang Mahakudus. Raja Daud berani menuliskan pengalaman pribadinya dengan Allah di dalam kitab Mazmur, setelah ia mengenal kekudusan dan kebenaran-Nya. Ayub berani bersyukur kepada-Nya karena ia telah mengenal dan mengalami pimpinan, kebenaran, kehendak dan kekudusan-Nya di dalam setiap pencobaan yang dialaminya. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa otoritas yang membuktikan bahwa Allah itu transenden tidak boleh dilepaskan dari imanensi Allah. Melepaskan kedua hal ini berarti menghina Allah yang berdaulat. Dalam hal ini, otoritarianisme juga dikritik oleh pandangan Allah yang transenden dan imanen. Otoritarianisme selalu menuntut otoritas. Memang tidak salah ketika otoritas ditegakkan, tetapi ada bahaya jika terlalu mengilahkan otoritas. Misalnya, di dalam tradisi Tiongkok, seorang istri diperlakukan sebagai warga kelas dua, sehingga (mengutip pengajaran dari Pdt. Dr. Stephen Tong) di dalam tradisi filsafat Kong Hu Cu, jika ada seorang istri yang tidak bisa melahirkan anak bagi sang suami, adalah salah satu penyebab sang suami boleh menceraikan istrinya (selain ada sebab-sebab lain suami boleh menceraikan istri, misalnya istri cerewet, dll). Ketika otoritas diberhalakan, maka tidak ada lagi etika, cinta kasih dan kebertanggungjawaban. Hal ini ditentang oleh konsep Allah yang transenden sekaligus imanen. Allah yang transenden dan imanen adalah Allah yang tetap memberikan perintah kepada umat-Nya untuk ditaati tetapi Ia juga lah yang memimpin mereka melalui kuasa Roh Kudus di dalam hati umat pilihan-Nya untuk menjalankan perintah-Nya. Tidak ada filsafat, agama, ilmu, dll yang seindah dan seagung iman Kristen ! Puji Tuhan !



keenam, Allah yang Berdaulat adalah Allah Pengwahyu. Allah yang Berdaulat bukan hanya transenden dan imanen, tetapi juga menyatakan diri-Nya sebagai wujud imanensi Allah. Di dalam theologia Reformed, Allah menyatakan diri-Nya di dalam dua sarana, yaitu wahyu umum yang diwahyukan kepada semua manusia tanpa kecuali melalui hati nurani dan alam (diresponi oleh manusia dengan menciptakan agama dan kebudayaan), dan wahyu khusus yang diwahyukan hanya kepada umat pilihan-Nya melalui sarana Tuhan Yesus Kristus (tak tertulis) dan Alkitab (tertulis). Maksud dari pewahyuan ini agar manusia mengenal Allah, tetapi wahyu umum Allah yang diresponi manusia ternyata tak sanggup mengenal siapa Allah sesungguhnya (karena adanya bibit dosa di dalam manusia yang akhirnya mempengaruhi respon manusia terhadap wahyu umum Allah), sehingga Allah harus mewahyukan diri-Nya secara khusus hanya kepada umat pilihan-Nya di dalam Kristus. Di dalam Calvinisme, wahyu khusus selalu dimengerti sebagai wahyu tertinggi dan mutlak yang melampaui semua respon terhadap wahyu umum Allah, sehingga di dalam segala hal, Alkitab dan Kristus dipandang sebagai penentu, penghakim dan sumber dari semua agama, ilmu, kebudayaan, dll. Menolak konsep ini sama dengan menolak Alkitab dan Kristus, serta menolak Allah yang telah mewahyukan diri-Nya.

Konsep Allah sebagai Pengwahyu mengkritik dan menghakimi beberapa pandangan dunia : pertama, rasionalisme. Rasionalisme di titik pertama jelas menolak konsep pewahyuan/penyataan diri Allah, karena bagi para rasionalis, wahyu adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Sebenarnya bukan tidak masuk akal, hanya akal manusia saja yang tak sanggup menampungnya. Justru ketika Allah menyatakan diri-Nya, di saat itu pula kita mengenal sumber dari rasio kita yaitu Allah. Kedua, otoritarianisme. Otoritarianisme dunia selalu menempatkan diri manusia dan materi sebagai otoritas tertinggi. Padahal Allah yang menyatakan diri-Nya lah yang patut menjadi otoritas tertinggi. Mengapa ? Karena sumber kebajikan, keadilan, kejujuran, dll datang dari Allah yang menyatakan diri sebagai Sumber Kasih, Kebajikan, Keadilan, Kebenaran, Kejujuran, dll hanya di dalam Alkitab. Sehingga adalah sangat layak ketika Allah Pengwahyu diletakkan sebagai Otoritas sejati yang mengalahkan segala otoritas palsu duniawi. Ketiga, skeptisisme. Skeptisisme adalah filsafat yang meragukan segala sesuatu, tetapi herannya tidak pernah meragukan keragu-raguannya. Orang bisa meragukan segala sesuatu karena berbagai alasan, salah satunya tidak mengerti. Tetapi tidak ada alasan bagi orang Kristen untuk menjadi seorang skeptis, mengapa ? Karena orang Kristen sejati yang merupakan umat pilihan-Nya telah menerima penyataan diri Allah secara khusus melalui Kristus dan Alkitab, sehingga tak boleh ada keragu-raguan di dalam hidupnya. Meragukan Kristus dan Alkitab sama artinya dengan meragukan dan menghina Allah yang telah menyatakan diri. Keempat, relativisme. Relativisme yang bisa dilatarbelakangi oleh skeptisisme mempercayai bahwa segala sesuatu itu relatif/sama. Bagi orang Kristen, hal ini salah, mengapa ? Karena kita beriman bahwa kita telah menerima penyataan diri Allah secara khusus di dalam Kristus dan Alkitab yang membedakan iman Kristen dengan iman lainnya. Bukan hanya membedakan dari iman agama lain, iman Kristen adalah satu-satunya iman yang bersumber dari anugerah Allah yang agung di dalam Kristus, sehingga kita boleh beriman bahwa di luar iman Kristen di dalam Kristus mutlak tidak ada keselamatan dan jalan keluar dari dosa. Orang Kristen bahkan “pemimpin gereja” yang masih memuja relativisme sebenarnya belum mengenal dan mengerti wahyu khusus Allah, melainkan masih meraba-raba di dalam wahyu umum Allah (hati nurani dan alam semesta), sehingga orang ini tidak layak disebut Kristen/pengikut Kristus. Kelima, pragmatisme. Pragmatisme selalu berpusat pada tujuan yang mengenakkan manusia. Konsep ini TIDAK boleh menjadi “iman” bagi orang Kristen sejati, karena konsep ini sudah salah, mengapa ? Karena bagi seorang pragmatis, kalau sesuatu tidak menguntungkan, maka sesuatu itu dianggap tidak benar. Misalnya, ketika ada seorang yang menegur dirinya, dia langsung marah, karena itu tidak menguntungkan dirinya, tetapi kalau ada orang yang menyanjung dirinya, dia langsung gembira, karena itu menguntungkan dirinya. Padahal teguran dari seseorang yang beres mengakibatkan kebaikan bagi orang yang ditegur. Misalnya, ketika seseorang ditegur untuk tidak boleh merokok, otomatis, orang yang menegur ini mengerti bahwa merokok mengakibatkan penyakit kanker, impotensi, dll. Orang yang normal pasti mematuhi orang yang menegur ini. Bagi orang Kristen, teguran yang berdasarkan Firman Allah membawa kita semakin mendekat kepada Allah dan mengenal-Nya dan firman-Nya. Apalagi ketika Alkitab menegur kita, itu membuktikan Firman Allah sangat mengasihi kita sehingga kita tidak tersandung pada hal-hal yang membuat kita menjauh dari-Nya. Keenam, materialisme. Materialisme selalu berpusat pada materi dan hal-hal duniawi. Konsep ini lemah, karena menurut wahyu Allah, sebenarnya materi itu dikuasai oleh manusia dan manusia dikuasai Allah. Dan benar ketika kita taat pada wahyu Allah di dalam Alkitab, hidup kita semakin lama semakin bersukacita. Sedangkan bagi mereka yang tidak taat bahkan menghina Alkitab, hidup mereka bukan tambah bersukacita, malahan mereka pasti tambah menderita dan bahkan teraniaya, karena yang menjadi pusat hidupnya adalah uang dan materi. Ketujuh, dualisme. Dualisme selalu mendikotomikan antara hal-hal jasmani dan rohani. Padahal, Allah sebagai Pengwahyu adalah dasar dan sumber dari semua hal, sehingga bidang-bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, hukum, dll harus kembali kepada Allah. Ketika seorang “Kristen” memegang dualisme dengan meniadakan aspek iman di dalam semua bidang kehidupan, percayalah, orang tersebut pasti gagal dan mengalami jalan buntu dari keterbatasan ilmu dan otak manusia. Tetapi ketika seorang Kristen menolak dualisme dan menjalankan mandat budaya dengan menjadikan iman Kristen dan Alkitab sebagai sumber kebenaran bagi semua bidang kehidupan, maka orang tersebut akan bersukacita dan memberikan pengaruh. Mengapa Dr. Abraham Kuyper, seorang theolog Reformed/Calvinis berhasil menjadi perdana menteri Belanda (meskipun hanya beberapa saat) ? Karena beliau adalah seorang Calvinis yang menjalankan mandat budaya. Mengapa negara-negara/daerah-daerah yang dipengaruhi oleh Calvinisme dan Reformasi, seperti Jerman, Belanda, Swiss, Geneva, dll memproduksi barang-barang yang bermutu tinggi, seperti arloji Rolex, mobil Mercedes Benz, dll ? Karena mereka menjalankan mandat budaya dengan mengerjakan segala sesuatu seperti untuk Tuhan. Justru ketika seorang bertheologia Reformed yang mempercayai wahyu khusus Allah, kita dapat membawa sebanyak mungkin orang Kristen bahkan orang dunia untuk membenahi apa yang salah dengan dasar sesuatu yang benar (sebenarnya). Kedelapan, pantheisme. Allah yang mewahyukan diri-Nya tidak mungkin dapat diselami oleh seorang pantheis yang meniadakan perbedaan antara Allah dan manusia. Kalau pantheisme “benar”, maka dunia ini bakal kacau, mengapa ? Karena semua adalah “allah”, maka semua mengerjakan apa yang dianggap baik, padahal apa yang dianggap baik oleh A belum tentu dianggap baik oleh B, C, dll. “Allah” seperti ini bakal kacau dan memukul diri sendiri. Tetapi puji Tuhan, Allah kita adalah Allah yang menyatakan diri-Nya yang berbeda total dari manusia sebagai ciptaan-Nya yang mulia sekaligus berdosa. Penyataan diri Allah membuat kita sadar bahwa diri kita lemah, terbatas dan berdosa, sehingga kita membutuhkan Allah. Tanpa adanya wahyu, kita bisa tersesat dan merasa diri hebat, padahal tidaklah demikian.


ketujuh (terakhir), Allah yang Berdaulat adalah Allah Trinitas. Wujud penyataan diri secara khusus dari Allah kepada umat pilihan-Nya selain Kristus dan Alkitab adalah Allah Trinitas, yaitu 1 esensi Allah yang memiliki tiga oknum yang berbeda, yaitu Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus yang menggenapkan satu tujuan ultimat Allah. Agama mayoritas di Indonesia dan kaum unitarian (percaya pada ketunggalan Allah/Allah yang hanya satu pribadi ; salah satunya diwakili oleh Frans Donald) menyanggah doktrin Trinitas dengan mengajukan argumentasi konyol, misalnya : Allah itu harus satu, tidak ada yang mengajarkan bahwa Allah memiliki anak, dll. Argumentasi-argumentasi ini saya katakan konyol, karena sama sekali tidak berdasar. Apalagi yang berani mengajukan argumentasi ini adalah orang “Kristen” unitarian, bagi saya, tambah konyol. Memang di dalam Alkitab, tidak ada pernyataan eksplisit tentang Trinitas, tetapi secara implisit, pasti ada. Matius 28:19 jelas menunjukkan konsep Trinitas, “...baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” Bagi mereka yang mengerti bahasa Inggris, di dalam terjemahan Inggris (baik itu King James Version, International Standard Version, dll), kata “nama” menggunakan bentuk tunggal (name) dan masing-masing pribadi Allah diselipkan kata the yang menunjukkan pribadi Allah yang berbeda. Perhatikan terjemahan King James Version pada ayat 19 ini, “baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Ghost:” Seharusnya, kalau ada tiga pribadi, Alkitab memakai bentuk jamak pada kata “name”, tetapi herannya terjemahan Alkitab Inggris menggantinya dengan bentuk tunggal, ini membuktikan bahwa Allah itu memiliki tiga pribadi yang masing-masing berbeda tetapi tetap satu esensi. Allah Trinitas memang tidak bisa dimengerti secara logika manusia yang terbatas (meskipun selalu dianggap “hebat”, “pintar”, dll), tetapi Allah Trinitas dimengerti melalui iman yang bersumber pada Kebenaran Allah (Truth) yang menuntun sekaligus menundukkan rasio. Atau menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, iman adalah penundukkan/pengembalikan rasio kepada Kebenaran. Lalu, apakah Alkitab tidak mengajarkan bahwa Allah memiliki Anak ? Jelas, Alkitab mengajarkannya, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” (Mazmur 2:7). Mazmur ini disebut Mazmur Mesianik. Kalau mereka mengatakan bahwa Allah itu tidak mungkin tiga pribadi tetapi tetap satu, berarti mereka secara tidak sadar sedang mengkotakkan/membatasi Allah yang tidak terbatas dan Berdaulat adanya. Allah yang Berdaulat adalah Allah yang mampu melakukan apa saja yang tidak melawan natur-Nya. Untuk itu, manusia tak memiliki hak sedikitpun untuk mengkomplain kedaulatan Allah. Ketika manusia berani meragukan Allah, itu sudah berdosa. Perhatikanlah kisah Adam dan Hawa sebelum mereka akhirnya jatuh ke dalam dosa, di mana ketika setan membalikkan perkataan Allah lalu mengatakan bahwa semua buah dari pohon ini tidak boleh dimakan, kecuali buah pohon pengetahuan baik dan jahat, Hawa mulai meragukan perkataan Allah meskipun menyanggah perkataan setan. Lalu, keraguan Hawa mulai bertambah ketika setan memberitahukan bahwa ketika makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, ia tak akan mati, tetapi akan sama seperti Allah, tahu yang baik dan jahat. Keraguan dua tahap ini lah mengakibatkan Hawa akhirnya berdosa. Hal yang sama juga terjadi ketika manusia dunia mulai mencoba meragukan Allah yang seharusnya tidak perlu diragukan. Allah Trinitas adalah Allah yang layak dipercaya, oleh karena itu berimanlah di dalam-Nya, dan jangan meragukannya.

Konsep Allah Trinitas menyerang pandangan rasionalisme. Di dalam hal ini, rasionalisme mempengaruhi unitarianisme yang mempercayai bahwa Allah itu hanya satu pribadi karena bagi mereka, Allah yang esa dan berpribadi tiga itu tidak masuk akal. Kembali, kata “tidak masuk akal” muncul untuk mengisolasi dirinya dari kebenaran Alkitab. Memang jika dipikir secara nalar rasional, Allah Trinitas sungguh aneh, tetapi sebenarnya tidak aneh, hanya karena otak kita yang terbatas, maka kelihatan aneh. Ibarat matematika dapat dipakai : ~ + ~ + ~ = ~ (bukan 3~). Tetapi ibarat ini tidak 100% sempurna, karena tidak ada satu ibarat dalam dunia ini yang sanggup menyamai Allah. Itu sebabnya Trinitas bukan tidak masuk akal, tetapi melampaui akal (suprarasional).




Setelah kita merenungkan ketujuh jawaban dari perspektif theologia Reformed dalam menyerang kesepuluh pandangan filsafat dunia, maukah kita dibangunkan dan diubah konsep berpikir kita bahwa segala sesuatu harus berpusat kepada kedaulatan Allah dan BUKAN pada ambisi manusia ?! Semoga artikel ini mencerahkan, menegur dan mengoreksi semua pemikiran kita yang salah serta membawa kita semakin mengenal kebenaran Alkitab dan bukan “kebenaran” manusia berdosa yang terbatas dan menyesatkan. Soli Deo Gloria. Sola Scriptura. Sola Gratia. Sola Fide. Solus Christus. Amin.