24 April 2011

RELIGIUS VS ROHANI: Bagaimana Menjadi Seorang Kristen yang Takut akan Tuhan? (Denny Teguh Sutandio)

RELIGIUS VS ROHANI:
Bagaimana Menjadi Seorang Kristen yang Takut akan Tuhan?


oleh: Denny Teguh Sutandio




Kita hidup di zaman yang menekankan perasaan lebih daripada rasio, sehingga kebenaran diukur dari subjektivitas masing-masing pribadi dan HAMPIR menyangkali kebenaran objektif. Tidak heran, makin banyak manusia yang cuek terhadap makna hidupnya, tidak terkecuali banyak orang Kristen. Namun di antara banyak orang Kristen yang cuek terhadap makna hidup apalagi imannya, ada sekelompok orang Kristen yang terkesan tidak demikian. Mereka tidak suka dugem (=dunia gemerlap), merokok, apalagi melakukan tindak asusila lainnya, sebaliknya mereka bahkan mungkin sekali seorang yang aktif mengikuti kebaktian (dan acara rohani lain) di gereja, bahkan rajin mencatat khotbah di dalam persekutuan pemuda di gerejanya. Tidak hanya itu, setiap malam, mereka juga aktif saat teduh dan mendengarkan lagu-lagu rohani (di mana dulu mereka tidak suka mendengarkan lagu rohani). Secara kasat mata, mereka tampak seolah-olah mereka berbeda dengan orang-orang dunia, namun pertanyaan lebih lanjut, apakah dari fenomena-fenomena demikian dapat dikatakan orang-orang tersebut adalah orang Kristen sejati yang memiliki kerohanian yang beres atau orang Kristen yang takut akan Tuhan? Fakta membuktikan TIDAK. Beberapa orang Kristen yang menunjukkan fenomena-fenomena seperti rajin mengikuti kebaktian, saat teduh, aktif mencatat khotbah, berdoa, mendengarkan lagu-lagu rohani, menulis artikel rohani baik di blog, dll, bahkan belajar theologi sekalipun TIDAK menunjukkan bahwa orang tersebut adalah seorang Kristen yang benar-benar takut akan Tuhan atau seorang yang rohani, tetapi itu semua hanya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki kehidupan religius yang baik.


Sejujurnya, seorang Kristen yang religius TIDAK membuktikan bahwa dia benar-benar takut akan Tuhan atau memiliki kerohanian yang beres. Tidak usah heran, makin seorang Kristen menunjukkan fenomena-fenomena religius, dirinya makin tidak beres. Coba bergaullah dengan orang-orang “Kristen” model ini dan periksalah kehidupan rohani dan kehidupan sehari-harinya. Meskipun tidak semua, kebanyakan orang “Kristen” religius hanya mau tampak religius, namun dalam dirinya belum ada pertobatan sungguh-sungguh, apalagi dilahirbarukan. Jangan heran, karena belum bertobat, maka diri dan prinsip hidupnya sendiri adalah kebenaran. Jangan kaget bergaul dengan orang ini, ia akan anti dengan teguran dari orang lain karena baginya, teguran orang lain terkesan mengatur dirinya! Jika ada orang Kristen yang keras kepala, namun terkesan religius, itu sama sekali TIDAK membuktikan dirinya benar-benar telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus, mengapa? Karena setan dan anak buahnya pun dapat meniru tindakan religius demikian! Ada orang Kristen religius yang aktif mencatat khotbah di persekutuan pemuda di suatu gereja dan tentunya sudah pernah mendengar bahwa uang itu bukan segala-galanya, namun dalam prinsip hidupnya, ia tetap saja mencari pasangan yang “mapan” alias tajir, kalau bisa tidak akan habis hartanya, supaya hasratnya yang suka shopping dipenuhi oleh si pasangan.


Lalu, apakah berarti, kegiatan religius itu salah semua? Oh, tentu saja tidak, namun yang saya soroti adalah kegiatan religius tanpa hasrat kuat yang takut akan Tuhan. Di mata Tuhan, kegiatan religius tanpa iman dan takut akan Tuhan TIDAK berarti apa-apa! Alkitab mencatat, Allah sangat membenci perayaan religius bangsa Israel, karena mereka melakukannya tidak dengan hati yang takut akan-Nya. Tuhan berfirman di Yesaya 29:13, “Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,” (dikutip oleh Tuhan Yesus di Mat. 15:8-9) Dengan kata lain, di mata Tuhan, yang terpenting adalah hati yang dipersembahkan kepada-Nya dengan tulus dan murni, seperti yang pernah diucapkan oleh Dr. John Calvin, salah seorang reformator Protestan besar setelah Dr. Martin Luther. Mengapa? Karena mengutip perkataan Pdt. Yohan Candawasa, S.Th., agama Kristen bukan agama performa (kelihatan luar), tetapi agama HATI! Artinya, Kekristenan sangat menekankan HATI sebagai intinya, BUKAN pada performa religius dengan menjalankan syariat-syariat tertentu. Orang Kristen yang telah menyerahkan hatinya kepada Tuhan adalah seorang yang berkomitmen untuk mengaitkan segala sesuatu dengan Tuhan. Itu yang saya sebut sebagai orang Kristen rohani.


Apa saja yang menjadi ciri orang Kristen yang rohani dan sungguh-sungguh takut akan Tuhan?
Pertama, rindu akan Allah (Mzm. 63). Karena hatinya telah diserahkan kepada Allah, maka di dalam proses pengudusan, seorang Kristen rohani akan memiliki hasrat akan Allah. Seperti kerinduan Daud akan Allah di Mazmur 63, maka orang Kristen ini akan rindu akan Allah dengan terus mengingat akan kasih setia-Nya dan kedahsyatan kuasa-Nya. Ia akan menyadari bahwa tanpa Allah, hidupnya tak berarti seperti tanah yang kering dan tandus (Mzm. 63:2). Selain itu, di dalam hidupnya, ia terus mengaitkan dan memusatkan hidupnya pada Allah dan kehendak-Nya saja (Rm. 11:36), sehingga tidak ada satu inci kehebatan manusia yang dibanggakannya! Hal ini berbeda dengan orang “Kristen” yang religius di mana ia akan terus-menerus (eksplisit maupun implisit) menganggap bahwa diri dan prinsip diri adalah kebenaran dan orang lain (khusus pasangannya) harus percaya pada dia! Terus terang, bagi saya, jangan percaya pada orang “Kristen” religius model ini, karena tatkala kita percaya pada orang ini sebagai kebenaran, di saat itu, kita sedang berdosa, karena telah menjadikan manusia berdosa (bukan Allah) sebagai sumber kebenaran!

Kedua, merindukan firman-Nya dengan mendengar, menerima, merenungkan, dan menaati firman-Nya (Mzm. 1:1-2; 119; Mat. 13:1-23; Yak. 1:21-25). Seorang yang sungguh-sungguh rindu akan Allah tentu juga seorang yang rindu akan firman-Nya. Seorang yang merindukan firman-Nya adalah seorang yang pertama-tama suka mendengar firman-Nya. Jangan percaya dengan orang Kristen yang berkata bahwa ia mencintai Yesus apalagi yang mengklaim “melayani Tuhan”, tetapi ketika disuruh mendengarkan khotbah yang benar-benar menyampaikan firman Tuhan, ia malah tidur! Orang “Kristen” yang di titik pertama tidak menghargai firman Tuhan adalah orang “Kristen” yang tidak beres!
Tidak cukup hanya mendengar firman, tetapi juga harus menerima firman itu dengan rendah hati (bdk. Yak. 1:21). Menerima firman berarti menerima pengajaran firman Tuhan tanpa banyak pertanyaan dan juga harus menerima firman entah itu yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan diri! Sayang, beberapa orang Kristen yang tampak rajin mencatat khotbah dari mimbar yang dikutip dari Alkitab bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan adalah orang “Kristen” yang sama yang tetap gemar shopping untuk membeli barang-barang yang sudah dimilikinya! Firman Tuhan yang didengarnya diibaratkan masuk melalui telinga kiri dan keluar lagi melalui telinga kiri alias tidak nyangkut sama sekali.
Tidak hanya menerima, orang Kristen juga harus mengertinya dengan merenungkan firman-Nya (Mzm. 1:1-2). Merenungkan firman berbicara mengenai kerohanian seseorang yang langsung merefleksikan firman itu ke dalam hidupnya sehari-hari. Ia bukan seorang yang gemar memakai ayat Alkitab untuk menyerang orang lain atau menunjukkannya kepada orang lain yang bersalah kepada dia, tetapi ia langsung mengaitkan setiap firman dengan dirinya sendiri, karena ia menyadari bahwa firman Tuhan yang dibacanya merupakan cara Tuhan mengoreksi hidupnya. Ia berkata seperti pemazmur, “Ya, peringatan-peringatan-Mu menjadi kegemaranku, menjadi penasihat-penasihatku.” (Mzm. 119:24; bdk. ay. 34)
Seorang yang mengerti dengan merenungkan firman-Nya mengakibatkan ia berkomitmen untuk menjalankan firman Tuhan dengan taat mutlak pada kehendak dan rencana-Nya (Yak. 1:22-25). Ketika firman Tuhan mengajar bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan (1Tim. 6:10), maka seorang anak Tuhan sejati menerima firman itu, merenungkannya, dan berkomitmen untuk menjalankannya dengan cara berusaha mengikis kebiasaan lamanya untuk shopping, berhenti dari menetapkan standar bahwa pasangannya harus seorang yang “mapan” alias tajir (khusus cewek), bekerja tidak terlalu keras sampai mengorbankan keluarga (bagi cowok), dll. Memang tidak mudah menjalankan firman Tuhan, namun tidak mudah bukan berarti tidak mungkin menjalankan firman. Kita bisa menjalankan firman karena Roh Kudus yang memimpin kita menjalankan firman. Oleh karena itu, ketika kita lemah dan sulit menjalankan firman, mintalah Roh Kudus memimpin kita. Biarlah kita berdoa seperti pemazmur, “Biarlah aku hidup menurut petunjuk perintah-perintah-Mu, sebab aku menyukainya. Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba.” (Mzm. 119:35-36) Doa yang dinaikkan dengan suatu hasrat yang mendalam merupakan suatu komitmen anak Tuhan sejati untuk berusaha menjalankan firman Tuhan, meskipun itu sulit! Allah melihat komitmen hati kita untuk terus berproses di dalam pengudusan yang Roh-Nya kerjakan di dalam kita, bukan hanya hasil akhirnya!
Seorang yang menjalankan firman-Nya mengakibatkan ia berbuah sesuai dengan kehendak-Nya (Mat. 13:23). Buah itu sama dengan menjadi berkat bagi orang lain di sekitarnya di mana melalui buah itu, banyak orang memuji Kristus dan mungkin sekali menjadi orang Kristen entah itu melalui penginjilan secara verbal/perkataan maupun melalui tindakan (mengasihi, mengampuni, dll). Dan ketika ia berbuah, ia juga menyadari bahwa hasilnya bukan karena kehebatannya sendiri, tetapi karena anugerah Allah saja (bdk. Flp. 2:12-13)

Ketiga, melayani-Nya. Seorang anak Tuhan yang rindu akan Allah dan firman-Nya mengakibatkan ia rajin melayani-Nya di mana pun Tuhan menyuruhnya untuk melayani-Nya entah itu di gereja, dll. Teladanilah Rasul Paulus. Ia bukan saja seorang Yahudi yang mengerti Taurat sekaligus filsafat Yunani dan juga memiliki pengalaman rohani bersama Tuhan, ia juga seorang yang rajin melayani Tuhan dengan berapi-api (Rm. 12:11). Makin saya mempelajari beberapa surat-surat Paulus di dalam Perjanjian Baru, saya makin kagum dengan sosok Paulus yang adalah seorang: theolog, penginjil, sekaligus gembala (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong), dan saya menambahkan: hamba Tuhan yang benar-benar berjiwa pelayan/hamba. Dengan kata lain, seharusnya, orang Kristen yang melayani Tuhan harus didahului oleh seorang yang sungguh-sungguh merindukan Allah dan firman-Nya, bukan dibalik apalagi dipisahkan dengan berprinsip: melayani Tuhan tidak berkaitan dengan belajar firman, dll. Namun fakta hari ini, seorang “Kristen” yang katanya “melayani Tuhan” adalah orang yang bukan hanya tidak mengerti apa-apa tentang firman Tuhan, ia ternyata malas membaca Alkitab! Mengenaskan, bukan? Lalu, apa motivasi dia melayani Tuhan? Sebenarnya sambil melayani Tuhan, orang ini sambil menghina Tuhan, karena ia hanya mau seolah-olah “membantu” Allah, padahal Allah TIDAK perlu dibantu!


Aktivitas-aktivitas religius tentu tidak salah, yang salah adalah inti di baliknya. Jangan salah mengerti. Seorang Kristen yang rohani adalah orang yang hatinya diserahkan kepada Tuhan dan tentunya mengakibatkan ia melakukan tindakan-tindakan rohani, seperti: berdoa, membaca Alkitab, saat teduh, dan melayani Tuhan dalam berbagai bidang, namun itu dilakukannya sebagai respons atas anugerah-Nya. Tuhan tidak melihat aktivitas-aktivitas religius yang kita pertontonkan di hadapan orang banyak, IA melihat hati Anda, hati saya, dan hati kita semuanya ketika melakukannya. Biarlah renungan singkat ini boleh menyadarkan kita untuk memiliki hati yang murni di hadapan-Nya sambil tetap merindukan-Nya, firman-Nya, dan juga melayani-Nya dengan rendah hati! Ingatlah: jangan merebut kemuliaan Tuhan! Amin. Soli DEO Gloria.

Resensi Buku-118: TENTU SAJA SAYA PERCAYA, ... LALU BAGAIMANA?: Belajar dari Kitab Yakobus (Rev. James Montgomery Boice, D.Theol., D.D.)

...Dapatkan segera...



Buku
TENTU SAJA SAYA PERCAYA, … LALU BAGAIMANA?:
Belajar dari Kitab Yakobus


oleh: Rev. James Montgomery Boice, D.Theol., D.D.

Penerbit: Yayasan ANDI, 2004

Penerjemah: T. Wahyuni





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Kitab Yakobus merupakan satu-satunya kitab dalam Alkitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan Kekristenan. Dr. Martin Luther menyebutnya sebagai surat jerami. Diikuti oleh beberapa orang Kristen yang mengaku menyukai hal-hal praktis, namun enggan membaca Kitab Yakobus. Mengapa demikian? Bagi Rev. Dr. James M. Boice, penyebabnya adalah Kitab Yakobus berisi hal-hal yang menyentuh aspek kehidupan praktis secara personal dari orang Kristen di mana banyak orang Kristen enggan untuk dikritik. Aspek kehidupan praktis secara personal tersebut meliputi: menggunakan kekayaan Anda, mengendalikan lidah Anda, meretas kekhawatiran, dan membangun persahabatan. Hal-hal inilah yang dibahas oleh Rev. Dr. James M. Boice dalam bukunya Tentu Saja Saya Percaya, … Lalu Bagaimana? Dalam bukunya tentang studi Kitab Yakobus ini, Dr. James M. Boice menguraikan secara praktis seluruh pasal dalam Kitab Yakobus dengan bahasa yang sederhana dan “mendarat” (aplikatif), sehingga orang Kristen dapat memahami Kitab Yakobus dengan lebih baik. Setelah menguraikan seluruh pasal dalam Kitab Yakobus dalam 10 bab, beliau menambahkan 10 bab lagi sebagai pertanyaan untuk direnungkan. Biarlah buku ringan ini boleh menyadarkan dan mengoreksi kerohanian kita di dalam bertumbuh dalam pengenalan akan firman-Nya.





Rekomendasi:
“Almarhum mentor dan rekan kerja saya, James Montgomery Boice, memiliki talenta yang tak ada duanya dalam mengajarkan Alkitab. Tafsirnya terhadap Surat Yakobus merupakan bukunya yang sangat praktis dan memiliki relevansi yang abadi bagi para pria dan wanita Kristen masa kini. Para pembaca akan memperoleh pemahaman yang semakin kaya tentang makna memiliki iman yang benar-benar bekerja.”
Rev. Philip Graham Ryken, D.Phil.
(Pendeta Senior di Tenth Presbyterian Church, Philadelphia, U.S.A. yang menyelesaikan studi Bachelor of Arts—B.A. di Wheaton College, Illinois, U.S.A.; Master of Divinity—M.Div. di Westminster Theological Seminary, Philadelphia, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy—D.Phil. di Oxford University, U.K.)

“James Boice adalah salah satu guru Alkitab terbesar di abad kedua puluh. Tafsirannya terhadap Surat Yakobus merupakan suatu tuntunan yang luar biasa, menunjukkan pemikiran Boice yang tajam dalam gaya penulisan yang mudah dibaca. Dengan senang hati saya merekomendasikan buku ini bagi para pendeta dan para mahasiswa theologi lainnya.”
Rev. Eric J. Alexander, M.A., B.D.
(Pendeta yang melayani di Church of Scotland yang menyelesaikan studi Master of Arts—M.A. dan Bachelor of Divinity–B.D. di University of Glasgow)





Profil Rev. Dr. James Montgomery Boice:
Rev. James Montgomery Boice, D.Theol., D.D. (7 Juli 1938–15 Juni 2000) adalah pendeta di Tenth Presbyterian Church, Philadelphia, U.S.A. sejak tahun 1968. Beliau juga pernah menjadi ketua International Council on Biblical Inerrancy selama lebih dari 10 tahun dan anggota pendiri dari the Alliance of Confessing Evangelicals. Beliau menyelesaikan studi Diploma di The Stony Brook School (1956); Bachelor of Arts (A.B.) di Harvard University (1960); Bachelor of Divinity (B.D.) di Princeton Theological Seminary, U.S.A. (1963); Doctor of Theologie (D.Theol.) di the University of Basel di Switzerland (1966); dan Doctor of Divinity (D.D.) di the Theological Seminary of the Reformed Episcopal Church (1982).

Renungan Paskah 2011: EASTER-CENTERED LIFE (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Paskah 2011



EASTER-CENTERED LIFE:
Menghidupi Paskah Di Dalam Kehidupan Sehari-hari


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: 1 Korintus 15:1-10




Setiap manusia yang dilahirkan ke dalam dunia ini, entah itu filsuf, raja/presiden, pemerintah, orang “suci”, rakyat jelata, dll pasti suatu saat meninggal dunia. Setelah meninggal, mereka pasti masuk ke dalam dunia lain. Namun ada sosok pribadi yang setelah meninggal, pada hari ketiga, Pribadi itu bangkit dari kematian. Siapakah itu? Meskipun Ia bernatur manusia seperti kita, Ia juga adalah Allah. Dialah Tuhan Yesus Kristus! Bahkan kematian dan kebangkitan Kristus pun telah dinubuatkan di dalam Perjanjian Lama bahkan dinubuatkan oleh Kristus sendiri (Mat. 17:22-23; 20:19)! Tetapi, pertanyaan banyak orang non-Kristen maupun “Kristen” yang liberal adalah benarkah Kristus bangkit? Apakah waktu itu para wanita yang hendak pergi ke kuburan Kristus tidak salah kuburan? Ataukah memang Kristus tidak pernah mati di salib? Semua tuduhan dan fitnahan tersebut TIDAK berdasarkan FAKTA sejarah sekaligus tidak masuk akal, karena fakta sejarah mengajar kita bahwa Tuhan Yesus mati disalib dan bangkit pada hari yang ketiga! Saya tidak akan mengatakan di mana ketidakmasukakalannya, karena banyak buku dari para sarjana Injili yang percaya pada kematian dan kebangkitan Kristus secara historis telah membahas hal itu. Saya hendak mengatakan bahwa kebangkitan Kristus adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa diganggu gugat. Dari mana kita mengetahuinya? Alkitab jelas memberi tahu kita. Bacalah 1 Korintus 15:5-8, di situ dikatakan Kristus yang bangkit menampakkan diri kepada: Kefas (alias Simon Petrus), ke-12 murid-Nya, 500 saudara seiman yang kebanyakan masih hidup pada waktu itu (beberapa telah meninggal), Yakobus, semua rasul, dan terakhir kepada Rasul Paulus. Mungkin ada yang menyanggah, mungkin saja mereka semua berhalusinasi karena sedih memikirkan Yesus yang disalib. Coba dipikir: Pertama, masuk akalkah 500 orang lebih berhalusinasi secara bersamaan? Kedua, jika mereka berhalusinasi, pasti itu terjadi sesaat, namun fakta membuktikan setelah penampakan Kristus yang bangkit itu, mereka semua memberitakan fakta kebangkitan Kristus kepada banyak orang di seluruh pelosok dunia. Apakah halusinasi mengakibatkan orang giat dan berapi-api bekerja keras demikian? Jika ada yang berani meragukan fakta kebangkitan Kristus dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, tantanglah mereka untuk memberikan bukti sejarah yang mendukung tuduhan mereka itu, dijamin mereka tidak akan pernah bisa, karena fakta sejarah tetap adalah fakta sejarah! Mereka yang enggan percaya pada fakta kebangkitan Kristus sebenarnya adalah orang yang menghina sejarah masa lalu, lalu dengan arogannya membuat “fakta sejarah” rekaan mereka supaya cocok dengan nafsu mereka yang menghina kebangkitan Kristus!

Kebangkitan Kristus bukan hanya sekadar fakta sejarah, tetapi saya menyebutnya sebagai sebuah fakta transformatoris. Artinya, fakta kebangkitan Kristus membawa dampak dahsyat bagi pribadi-pribadi yang mendapat penampakan kebangkitan Kristus tersebut. Rasul Petrus yang dahulu menyangkal Kristus sebanyak 3x pada waktu Kristus dianiaya oleh penguasa Romawi, namun setelah mendapat penampakan kebangkitan Kristus dan dipenuhi Roh Kudus, ia menjadi salah satu rasul Kristus yang berani. Hal ini ditunjukkannya ketika ia berkhotbah dengan berani pada saat Pentakosta (Kis. 2:14-36) dan Alkitab mencatat bahwa pada waktu itu, ada 3000 orang yang bertobat (Kis. 2:41)! Dan ada rasul Kristus yang lain yang berdampak dahsyat setelah menerima penampakan kebangkitan Kristus, yaitu Rasul Paulus yang menuliskan Surat 1 Korintus ini. Paulus menerima penampakan kebangkitan Kristus pada saat ia hendak menganiaya jemaat Tuhan di Damsyik (Kis. 9:1-9). Setelah peristiwa itu, ia langsung sadar bahwa ia tidak layak. Perhatikan kesaksian pribadinya di 1 Korintus 15:9, “Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.” Kata “paling hina” dalam ayat ini dalam bahasa Yunani seharusnya berarti paling kecil. Beberapa Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkan least (=terkecil/paling kecil). Mengapa ia menyebut diri sebagai yang paling kecil dari semua rasul? Karena ia telah menganiaya Jemaat Allah. Ia menyadari dosanya dahulu terlalu besar. Di sini, kita belajar poin pertama tentang dampak kebangkitan Kristus di dalam diri Paulus yaitu ia menyadari ketidaklayakannya. Ia tidak pernah membanggakan diri sebagai rasul yang paling hebat, pandai, dll. Ia sadar bahwa tidak ada satu pun yang baik dari dirinya yang patut dibanggakan, karena apa yang telah diperbuatnya dahulu. Kebangkitan Kristus seharusnya membuat umat-Nya menyadari bahwa mereka tidak layak dan berdosa. Ingatlah akan status kita dahulu sebagai hamba dosa dan musuh/seteru Allah (bdk. Rm. 3:10-23; 5:10). Makin kita menyadari status kita dahulu sebagai musuh Allah, kita akan makin sadar betapa tidak layaknya diri kita di hadapan Allah. Ingatlah, tanpa Kristus yang mati dan bangkit pada hari yang ketiga demi menebus dan menyelamatkan kita yang termasuk umat pilihan-Nya yang berdosa, kita tetap manusia berdosa yang pasti binasa kelak karena upah dosa adalah maut/kematian (Rm. 6:23)

Paulus bukan hanya berhenti dengan “merenungi nasibnya” yang dahulu sebagai penganiaya jemaat, namun ia melihat pada anugerah Allah. Di ayat 10a, Paulus berkata, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang” Di ayat ini, ia sadar bahwa dahulu ia berdosa dengan menganiaya jemaat Allah, namun anugerah-Nya melalui kebangkitan Kristus yang dinyatakan kepadanya membuatnya bertobat, menerima Kristus, dan melayani-Nya sambil bersyukur. Kebangkitan Kristus seharusnya membuat umat-Nya bukan hanya melihat masa lalu sebagai pengingat, tetapi juga masa kini seraya terus bersyukur atas anugerah-Nya. Karena Kristus telah bangkit, maka kita yang termasuk umat pilihan-Nya tidak lagi dihukum oleh karena dosa-dosa kita, tetapi dibenarkan dan diselamatkan-Nya (Rm. 8:1).

Cukupkah Paulus dengan mensyukuri anugerah-Nya saja? TIDAK. Di ayat 10b, ia melanjutkan, “dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua;” Bersyukur atas anugerah-Nya tidak cukup bagi Paulus, karena itu ia berkata bahwa anugerah-Nya itu dipertanggung jawabkannya dengan mengerjakan kehendak-Nya. Dengan mengerjakan kehendak-Nya, maka ia berani berkata bahwa anugerah-Nya tidaklah sia-sia. Bagaimana ia mengerjakan kehendak-Nya? Ia berani berkata bahwa dibandingkan para rasul lain, ia bekerja atau berjerih lelah lebih keras (menurut kata Yunaninya, seharusnya diterjemahkan: lebih banyak). Dengan kata lain, anugerah-Nya melalui kebangkitan Kristus mengakibatkan ia bekerja keras lebih banyak dan giat daripada para rasul lain yaitu memberitakan Injil dan melayani Tuhan. Apa yang Paulus katakan ternyata benar. Di dalam seluruh kitab dalam Perjanjian Baru, Paulus lah yang paling banyak menulis surat (1 dan 2 Korintus, Roma, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1 dan 2 Tesalonika, 1 dan 2 Timotius, Titus, dan Filemon). Di samping itu, Paulus saja yang bekerja keras memberitakan Injil ke negara yang jauh di daratan Eropa, seperti: Roma, Filipi, dll. Cukup? TIDAK. Di dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus (menurut kanonisasi Alkitab yang kita miliki sekarang; kemungkinan Surat 2 Korintus ini merupakan surat Paulus yang keempat kepada jemaat di Korintus), ia bercerita secara lengkap tentang jerih lelahnya, “Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian,” (2Kor. 11:23-27) Tidak ada satu rasul Kristus bahkan hamba Tuhan sekarang yang bekerja lebih keras dan banyak daripada Paulus. Itu semua dilakukannya demi Injil Kristus! Paulus tidak takut pada penderitaan, penganiyaan, dll di dalam melayani-Nya, karena ia percaya pada kebangkitan Kristus yang terus-menerus menguatkan semangatnya. Kebangkitan Kristus yang telah membangkitkan semangat Paulus untuk memberitakan Injil dan melayani-Nya dengan berapi-api kiranya dapat membangkitkan semangat kita juga yang termasuk umat-Nya, sehingga kita pun juga dibakar untuk berapi-api memberitakan Injil dan melayani-Nya dengan rendah hati. Kita mengetahui bahwa di dalam melayani-Nya, pasti ada penderitaan dan penganiayaan, namun percayalah, kebangkitan Kristus menjamin kita untuk menang menghadapinya, meskipun itu tidak berarti penderitaan itu akan sirna dengan sendirinya.

Mungkin dari kita akan menyangka Paulus itu sombong karena ia membanggakan diri karena ia lebih banyak bekerja keras dari semua rasul. Benarkah demikian? TIDAK. Untuk menjawabnya, maka Paulus menambahkan di ayat 10b, “tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.” Semua jerih lelah Paulus diakuinya sendiri BUKAN karena dia yang hebat dan pandai, tetapi karena anugerah Allah yang menolongnya. Dengan kata lain, anugerah Allah memimpin dan menolong kita untuk menggenapkan kehendak-Nya bagi kita. Di sini, kita belajar 2 poin sekaligus dari Paulus bahwa anugerah Allah memimpin kita untuk bekerja keras bagi-Nya sambil menyadari bahwa kerja keras kita pun atas anugerah-Nya. Saya menyebutnya sebagai: from grace to grace (dari anugerah kepada anugerah). Itulah theologi Paulus! Theologi Paulus ini hendaknya juga menjadi theologi kita yang termasuk umat-Nya, di mana kita seharusnya menyadari bahwa karena kita telah diselamatkan oleh anugerah Allah melalui karya Kristus yang mati dan bangkit bagi kita, maka kita harus meresponinya dengan bersyukur sambil bekerja keras bagi-Nya dengan memberitakan Injil dan melayani-Nya sepenuh hati, dan kita pun harus tetap menyadari bahwa sambil bekerja keras bagi-Nya, kita pun harus melihat anugerah Allah yang memungkinkan kita bertindak demikian. Dengan pola pikir ini, maka jangan pernah membanggakan jasa baik kita di mata Allah. Jangan pernah merasa diri melayani Tuhan, lalu arogan dengan berkata (eksplisit maupun implisit) bahwa tanpa kita, semua pekerjaan Tuhan akan rusak! Hindari motivasi demikian! Melayani Tuhan TIDAK membuat kita menjadi sombong, tetapi justru seharusnya membuat kita rendah hati dan mawas diri, karena kita bisa melayani-Nya pun itu pun karena anugerah-Nya saja!

Setelah merenungkan perubahan dahsyat pada pribadi Paulus, apa yang menjadi respons kita tatkala memperingati Paskah tahun ini? Adakah respons dan kerinduan Paulus juga menjadi respons dan kerinduan kita di dalam melayani-Nya dengan berapi-api sambil terus berpusat pada anugerah-Nya untuk menyadarkan kita agar kita tidak sombong dan merasa diri berjasa? Biarlah Paskah tahun ini menjadi momen Paskah yang transformatoris yang menyadari, “segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36) Amin. Soli DEO Gloria.


Selamat hari Paskah 2011. Selamat merenungkan kebangkitan Kristus dan mengaplikasikannya demi hormat dan kemuliaan nama Allah Trinitas. Amin.