27 February 2009

JODOH: Di Tangan Tuhan atau Manusia? (Denny Teguh Sutandio)

Jodoh: Di Tangan Tuhan atau Manusia?
(Analisa Theologis dan Biblika Terhadap Masalah Pasangan Hidup)


oleh: Denny Teguh Sutandio




PENDAHULUAN
Problematika mengenai jodoh atau pasangan hidup bukanlah perkara mudah untuk dipecahkan. Ada banyak kasus orang yang sudah menikah dan berpikir bahwa pasangannya adalah pasangan hidupnya, tetapi akhirnya bercerai juga dengan alasan tidak cocok. Mengapa tidak cocok? Mengapa pada saat mengenal dan berpacaran, mereka tidak saling mengenal sungguh-sungguh? Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, salah satunya, yaitu: kalau waktu berpacaran, kebiasaan negatif tidak ditunjukkan, sedangkan waktu menikah, segala sesuatunya tampak nyata. Ketidakcocokan yang terjadi ini sering kali mengakibatkan seseorang frustasi lalu mengatakan bahwa jodohnya dahulu bukan dari Tuhan. Benarkah jodoh di tangan Tuhan ataukah di tangan manusia mutlak ataukah dua-duanya? Ada beragam pandangan mengenai hal ini yang disertai dengan presuposisi dan akibat konsep-konsep tersebut. Selanjutnya, kita akan mengkritisinya dari perspektif Alkitab dan menunjukkan bahwa pasangan hidup itu sebenarnya dipimpin oleh Allah dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia.




JODOH DI TANGAN TUHAN
Pertama, jodoh di tangan Tuhan. Ada orang Kristen yang berpandangan bahwa jodoh di tangan Tuhan.

Presuposisi
Apa yang melatarbelakangi pemikiran ini? Konsep ini didasari oleh pemikiran theologi Reformed bahwa apa pun di dunia ada dalam pemeliharaan (providensia) Allah. Allah adalah Allah yang memelihara segala sesuatu. Itulah wujud kedaulatan Allah. Jika Ia berdaulat atas segala sesuatu, mengapa untuk masalah jodoh dikecualikan dari kedaulatan Allah? Meskipun ajaran ini benar, tetapi penganut konsep pertama ini mengekstremkannya. Jika ditelusuri, konsep ini mirip dengan pandangan Hiper-Calvinisme (http://en.wikipedia.org/wiki/Hyper-Calvinism) yang meniadakan konsep tanggung jawab manusia dan terlalu menekankan kedaulatan Allah. Tidak heran, juga seorang Hiper-Calvinis tulen akan “konsisten” menjalankan konsepnya baik di dalam doktrin maupun aplikasi hidup, meskipun bertentangan dengan ajaran Alkitab. Seorang Hiper-Calvinis yang tidak mempercayai tanggung jawab manusia akan malas memberitakan Injil (karena bagi mereka sudah ada predestinasi dari Allah, buat apa memberitakan Injil) dan juga malas mencari pasangan hidup sendiri.

Presuposisi kedua yang melatarbelakangi konsep ini adalah konsep “cuek.” Ini yang lebih parah. Orang yang mengatakan bahwa jodoh di tangan Tuhan dilatarbelakangi oleh kecuekan dirinya memikirkan tentang pasangan hidup. Artinya, mereka malas mencari sendiri pasangan hidup, lalu menyerahkan tanggung jawabnya ini kepada Tuhan Allah.


Akibat dan Analisa Theologis (dan Filosofis)
Lalu, apa akibat konsep ini? Konsep ini mengakibatkan seseorang di titik pertama tidak bertanggungjawab mencari pasangan hidupnya yang beres sesuai kriteria Alkitab. Kalau orang ini seorang cowok, ia akan menunggu sampai cewek itu yang memberi respons kepada si cowok. Setelah bertemu dengan pasangan hidup yang cocok tersebut, orang ini berpacaran dan menikah, karena ia menganggap itu adalah jodohnya. Tetapi sayangnya, setelah menikah beberapa bulan bahkan tahun, mereka bercerai, lalu dengan mudahnya mengatakan bahwa pasangannya dahulu bukan jodohnya. Kemudian, ia akan marah kepada Tuhan dan menyalahkan-Nya. Logika ini sungguh lucu. Jadi, para penganut konsep ini hendak mengatakan bahwa jodohnya itu mutlak di tangan Tuhan (dan manusia tidak bertanggungjawab sama sekali), lalu setelah mereka bertemu dengan jodohnya, namun tidak cocok bahkan bercerai, yang disalahkan adalah Allah! Padahal Alkitab mengajarkan kita untuk mencari pasangan hidup yang seiman dan sepadan.




JODOH DI TANGAN MANUSIA
Kedua, jodoh di tangan manusia. Ini adalah satu konsep yang melawan konsep pertama. Dengan kata lain, orang yang memegang konsep ini sebenarnya sedang berpikir either…or (kalau tidak ini, ya yang satunya).

Presuposisi
Apa yang melatarbelakangi konsep ini? Konsep ini didasari oleh suatu kehendak diri yang ingin meniadakan Allah di dalam masalah pasangan hidup. Orang yang memegang konsep ini adalah orang yang berpikir bahwa Allah tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah pasangan hidup, lalu ia mengatakan bahwa biarlah ia sendiri yang bertanggungjawab mencari pasangan hidup. Konsep ini sebenarnya mirip dengan konsep dualisme iman-ilmu yang memisahkan secara tajam antara iman Kristen dan integrasinya di dalam kehidupan sehari-hari. Bagi para dualis ini, Allah tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka sehari-hari dan Ia hanya ada (berkuasa) di lingkungan gereja saja.

Lebih celakanya, ada yang mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab mencari dan memilih pasangan hidup, nanti Tuhan tinggal merestuinya. Orang ini mengatakan bahwa pada saat memilih pasangan hidup ini pun ada di dalam pemeliharaan Allah. Benarkah konsep ini? Bukankah konsep ini hendak menurunkan derajat Allah hanya sebagai Pribadi yang melegitimasi apa yang kita pilih atau lebih ekstremnya hendak mengatakan Allah sebagai pembantu kita? Konsep ini tidak ada bedanya dengan konsep beberapa (atau bahkan banyak) ajaran Karismatik yang mengajarkan bahwa kita minta apa saja, Tuhan tinggal dan pasti mengabulkan. Lebih tajam lagi, ini adalah konsep Arminian yang menekankan tanggung jawab manusia melebihi kedaulatan Allah. Bagi seorang Arminian, dirinya bertobat, meskipun adalah anugerah Allah, tetap adalah jasa manusia. Bagi seorang Arminian juga, keselamatan bisa hilang, karena orang “Kristen” murtad dan Allah tidak berdaya apa pun. Sungguh mengasihankan “Allah” seperti ini, “Allah” yang kalah dengan kehebatan manusia.

Terakhir, lebih celaka lagi, jika konsep ini diajarkan oleh orangtua yang mengklaim diri “Kristen” kepada anak-anak mereka di dalam memilih jodoh. Artinya, orangtua “Kristen” bisa mengajar atau bahkan menyetujui konsep bahwa jodoh di tangan manusia, karena di titik pertama, mereka hendak mematok standar tertentu bagi calon pasangan anaknya. Memang baik (Pdt. Sutjipto Subeno pernah mengatakan bahwa baik belum tentu benar) jika ada orangtua yang menetapkan (lebih tepatnya: memberikan saran/menyarankan) kriteria-kriteria yang baik bagi pasangan anak mereka, tetapi penetapan itu BUKANlah penetapan mutlak seperti penetapan Allah! Barangsiapa yang memutlakkan standar tertentu, ia hendak menyamakan dirinya dengan Allah, dan itu adalah dosa. Mengapa? Karena dosa bukan dimengerti secara fenomena, misalnya: membunuh, mencuri, dll, tetapi dosa adalah melawan Allah atau lebih tepatnya mengutip perkataan Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of the Faith (1955), dosa adalah inisiatif manusia menggantikan standar nilai Allah dengan standar nilai diri mereka yang berdosa untuk menafsirkan segala sesuatu. (hlm. 15) Jika ada orangtua “Kristen” (apalagi mengaku “Reformed”—lebih tepatnya, bukan Reformed sejati, tetapi aktif ikut kebaktian di gereja Reformed saja) lalu dengan cepat menyetujui konsep bahwa jodoh itu di tangan manusia, berhati-hatilah! Jika mereka sampai menyetujui konsep ini dengan cepat (tanpa pikir panjang), dapat dipastikan bahwa mereka sebenarnya hendak membuang standar Allah dan menetapkan standar orangtua secara mutlak bagi pasangan anak mereka, meskipun ada yang secara mulut (bahasa Jawanya: mbasahi lambe—tanda orang yang tidak pernah tulus jika berkata apa pun) mengakui partisipasi Tuhan di dalamnya. Itulah dosa!


Akibat dan Analisa Theologis (dan Filosofis)
Lalu, apa akibatnya?
Pertama, orang yang memegang konsep ini secara konsisten akan memilih pasangan hidupnya sendiri yang diklaim “sesuai prinsip Alkitab”, tetapi sayangnya tidak meminta pimpinan Tuhan di dalamnya. Mengapa? Karena orang ini akan takut dan kuatir (bahkan mungkin saja bisa marah) jika sampai Allah mengatakan TIDAK atas pilihannya. Sebenarnya, problem utama penganut konsep ini adalah orang ini tidak mau diganggu (bahkan oleh Allah sendiri) ketika memilih pasangan hidup. Jika si cowok mengatakan bahwa dirinya cocok dengan seorang cewek dan begitu juga sebaliknya, mereka akan langsung berpacaran dan menikah. Padahal mungkin sekali di mata Allah, mereka tidak cocok secara esensi, karena apa yang kita pandang dan anggap baik, belum tentu dipandang dan dianggap baik dan benar oleh Allah!

Kedua, orang lain (dalam hal ini, khususnya orangtua) ikut menentukan standar memilih pasangan hidup. Karena memegang dengan teguh konsep bahwa jodoh di tangan manusia, ada beberapa orangtua “Kristen” yang ikut-ikutan menentukan jodoh/pasangan hidup anaknya. Ketika disebut seperti ini, spontan saja, orangtua “Kristen” ini tidak mau dikatakan “menentukan” pasangan hidup anaknya, tetapi “menyarankan.” Jika mau ditelusuri lebih tajam, apa bedanya “menyarankan” dengan “menentukan/memaksa”? Dua kata ini jelas berbeda, tetapi berusaha dikaburkan oleh orang postmodern ini. “Menyarankan” berarti orangtua “Kristen” ini hanya memberi saran yang baik kepada anaknya tentang kriteria pasangan hidup yang berkaitan dengan pandangan-pandangan umum (respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah yang berupa: kebudayaan dan ilmu/sains). Hasil akhirnya BUKAN lagi ada pada orangtua ini, tetapi pada kebebasan anaknya yang bertanggungjawab untuk memilih atau menolak beberapa atau semua konsep orangtuanya sesuai dengan prinsip respons manusia terhadap wahyu umum Allah dan wahyu khusus Allah, yaitu: ALKITAB! Sedangkan “menentukan/memaksa” berarti orangtua bukan hanya memberi saran, tetapi ikut menilai calon pasangan hidup anaknya, meskipun penilaian ini pun kadang-kadang sangat fenomenal dan tidak bertanggungjawab sama sekali. Misalnya, ada orangtua “Kristen” bahkan mengaku diri “Reformed” (padahal sih, cuma aktif ikut kebaktian di gereja Reformed) tetapi masih mempercayai shio sebagai standar menentukan/memaksa anaknya dalam memilih pasangan hidupnya (meskipun katanya, ini hanya lelucon, tetapi bagi saya, ini adalah lelucon yang tidak berarti sama sekali). Contoh, ketika sang anak mengetahui bahwa pasangan hidupnya shio kuda, maka dengan cepat, sang orangtua ini mengatakan bahwa orang yang shionya kuda itu keras, dll. Bukankah ini adalah suatu kelucuan yang tidak masuk akal, bodoh, dan menghina Allah sendiri ketika ada orang (bahkan menyebut diri “Kriten”) yang mengukur orang lain dari shio yang dilambangkan dengan binatang?! Jika ada orangtua “Kristen” yang sampai menentukan pasangan hidup bagi anaknya, biarlah dirinya sendirilah yang menikah, bukan anaknya!




JODOH: DIPIMPIN TUHAN DAN DIPERTANGGUNGJAWABKAN OLEH MANUSIA
Jika konsep pertama dan kedua adalah konsep yang tidak menyeluruh dan tidak seimbang, maka bagaimana pandangan Alkitab yang konsisten sesuai dengan theologi Reformed tentang jodoh? Benarkah jodoh itu mutlak di tangan Tuhan atau mutlak merupakan tanggung jawab manusia? Secara konsisten dengan Alkitab dalam perspektif theologi Reformed yang seimbang dan menyeluruh, maka konsep yang benar mengenai jodoh bahwa jodoh itu dipimpin oleh Tuhan dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia.

Presuposisi
Apa dasar pikir dari konsep terakhir ini? Konsep ini didasarkan pada berita Alkitab mengenai penciptaan manusia. Mari kita analisa secara cermat. Setelah menciptakan segala sesuatunya selama 5 hari, maka Allah menciptakan manusia di hari ke-6 (Kej. 1:26-27). Di situ, dengan jelas, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Lalu, Allah memberkati ciptaan itu dan menyebutnya sungguh amat baik (Kej. 1:31). Kemudian, Ia menyadari bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, maka Ia akan menjadikan seorang penolong yang sepadan dengan dia—Adam (Kej. 2:18). Ayat ini dilanjutkan dengan ayat 19 yang mengatakan bahwa Allah membawa semua binatang hutan dan burung kepada manusia untuk melihat, lalu Adam memberi nama kepada semua binatang. Setelah mengamat-amati ciptaan Tuhan (binatang) itu, maka Adam menyadari bahwa tidak ada penolong yang sepadan dengan dia, maka di ayat 21, Allah menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan dengan Adam. Dari kisah ini, apa yang bisa kita pelajari? Ada yang menafsirkan bahwa kisah ini merupakan bukti bahwa jodoh merupakan tanggung jawab manusia. Konsep ini diajarkan karena si penafsir hanya membaca ayat 19-20. Meskipun tidak sepenuhnya salah, konsep ini tetap kurang tepat. Mari kita analisa kekurangtepatan tafsiran ini.

Pertama, kisah ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa pria dan wanita adalah sama-sama ciptaan Allah. Karena merupakan ciptaan Allah, maka tentu saja natur mereka ditentukan BUKAN oleh mereka sendiri atau ilmu-ilmu yang manusia ciptakan, tetapi oleh Allah sebagai Pencipta mereka. Sungguh suatu ketidakmasukakalan jika ingin mengetahui natur manusia dari manusia dan ilmu-ilmu yang diciptakan oleh manusia berdosa! Allah yang menciptakan mereka adalah Allah yang menetapkan natur bagi mereka. Allah yang sama juga adalah Allah yang mengerti totalitas manusia yang diciptakan-Nya, entah itu karakter, dll. Di dalam karya penebusan dan pengudusan terus-menerus, Allah yang sama, yaitu Roh Kudus yang memurnikan iman, karakter, dan spiritualitas anak-anak-Nya agar kita makin serupa dengan Kristus, Kakak Sulung kita. Kembali, Allah ikut terlibat di dalam setiap inci kehidupan kita. Dari konsep ini, kita bisa belajar bahwa jodoh BUKAN hanya merupakan tanggung jawab manusia yang lepas dari pimpinan Tuhan! Bagaimana dengan integrasi keduanya, yaitu kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia? Kita akan membahasnya di poin kedua.

Kedua, jika kita membaca dengan jelas Kejadian 2:18-25, kita akan melihat dengan jelas bahwa di titik pertama, di ayat 18, Allah sudah mengetahui bahwa Adam tidak bisa hidup sendiri tanpa seorang penolong yang sepadan dengan dia. Allah tentu SUDAH mengetahui bahwa penolong yang sepadan tentu bukanlah binatang, tumbuhan, dll, tetapi manusia. Lalu, mengapa di ayat 19-20, Ia membawa binatang kepada manusia untuk dinamai, lalu manusia mengatakan bahwa itu semua tidak sepadan dengan dia? Apakah Allah ingin bermain-main dengan manusia? Ataukah Allah tidak tahu dan spontan “kaget” kalau apa yang dikatakan manusia di ayat 19-20 itu bertolak belakang dengan rencana-Nya? TIDAK! Allah sudah mengetahui segala sesuatu karena Ia adalah Allah. Tetapi, Allah yang Mahatahu tidak mematikan tanggung jawab manusia! Sehingga, meskipun Allah tahu, Ia tetap menuntut pertanggungjawaban manusia. Saya berani menafsirkan bahwa pertanggungjawaban manusia sebagai umat pilihan-Nya ini adalah reaksi terhadap anugerah Allah. Alkitab mengajar dua paradoks ini dan itulah yang dipegang oleh theologi Reformed yang seimbang dan menyeluruh, meskipun rasio manusia tidak akan pernah mengerti semuanya secara sempurna. Misalnya, penyaliban Tuhan Yesus itu merupakan tindakan Allah atau manusia? Jawabannya: Allah dan manusia. Pada waktu pencurahan Roh Kudus di hari Pentakosta, Rasul Petrus ketika dipenuhi Roh Kudus berkhotbah kepada orang-orang yang berkumpul di Yerusalem, “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.” (Kis. 2:23) Di ayat ini, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa penyaliban Kristus terjadi menurut maksud dan rencana-Nya sekaligus tindakan manusia. Tidak ada pertentangan antara kehendak Allah dan kehendak manusia. Di dalam Alkitab, itu semua menjadi satu. Dari sini, kita pun belajar juga bahwa seluruh aspek kehidupan manusia juga ada di dalam rencana Allah yang berdaulat dan tetap menuntut pertanggungjawaban manusia. Contoh, tentang kebiasaan atau tindakan buruk yang kita lakukan. Kita sering terlambat mengajar atau pergi kuliah, lalu jangan memakai dan memberikan alasan kepada anak didik atau dosen bahwa keterlambatan kita pun ditetapkan oleh Allah! Itu dosa, karena melemparkan tanggung jawab kita kepada Allah. Memang, Tuhan mengetahui keterlambatan kita dan mungkin sekali Tuhan mengizinkan hal itu terjadi supaya kita belajar sesuatu, tetapi tidak berarti, Tuhan yang harus dipersalahkan ketika kita terlambat. Keterlambatan kita TETAP adalah tanggung jawab kita. Tuhan hanya mengizinkannya terjadi (tidak berarti Ia menetapkan)!

Kalau kita terapkan konsep ini di dalam konsep tentang jodoh, maka kita akan mengerti dua hal:
Pertama, Allah memberikan kepada kita pasangan hidup yang tepat. Sebagai umat pilihan-Nya, kita harus mengetahui bahwa segala sesuatu ada di dalam rencana kekal Allah yang berdaulat, termasuk jodoh kita pun, karena Ia yang menciptakan dan memelihara kita, tentulah Ia yang sama mengenal pribadi kita jauh lebih dalam daripada kita atau orangtua atau siapa pun yang mengenal kita (mengutip perkataan seorang hamba Tuhan di dalam sebuah acara tanya jawab di sebuah siaran radio rohani di Surabaya). Karena Ia telah mengenal kita, Ia akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan dengan kita. Penolong yang sepadan itu adalah penolong yang saling melengkapi kita untuk saling bertumbuh di dalam Kristus. Saling melengkapi ini TIDAK harus diterjemahkan bahwa kita harus memberi (altruistik) kepada pasangan kita. Saling melengkapi juga bisa berarti saling belajar satu sama lain. Mengapa? Karena ketika kita hidup di dunia tidak ada yang namanya orang sempurna yang hanya bisa memberi, tanpa mau belajar dari orang lain. Kita semua sebagai anak-anak-Nya harus terus bertumbuh di dalam Kebenaran Firman menuju ke arah kesempurnaan di dalam Kristus, Kakak Sulung kita. Perhatikanlah, orang yang terus menekankan (dan mendengarkan) pengajaran bahwa kita harus saling memberi tanpa mau saling belajar adalah orang yang sombong dan egois, suka mencari kejelekan dan kelemahan orang lain, tetapi ketika dirinya ditegur, dia akan memakai segudang argumentasi (bahkan argumentasi “theologis” dan filosofis) untuk menutupi kelemahannya. Ya, itulah realitas manusia berdosa: suka melihat kejelekan orang lain, tetapi tidak suka kejelekannya dinyatakan. Sudah saatnya, orang Kristen sejati yang beres tidak meniru logika orang dunia yang berdosa, tetapi kembali kepada Kristus, siap dan rendah hati menerima teguran dari orang lain yang membangun.

Kedua, Allah memimpin kita di dalam memilih pasangan hidup yang telah Ia tetapkan. Kembali, setelah kita mengerti bahwa Ia yang mencipta kita dan Ia akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan, lalu, apakah berarti kita diam saja tidak berbuat apa-apa dalam memilih jodoh? TIDAK! Ingatlah, kedaulatan Allah tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Meskipun Ia telah mengetahui dengan siapa kita berjodoh, Ia tidak mematikan tanggung jawab manusia. Malahan Ia berpartisipasi aktif memimpin kita di dalam memilih pasangan hidup yang telah ditetapkan-Nya. Bukan tugas kita untuk menghakimi standar penilaian-Nya atas pasangan hidup kita, tetapi yang diperlukan oleh seorang anak Tuhan sejati adalah percaya dan taat mutlak akan pimpinan Tuhan di dalamnya. Saya pernah bertanya langsung tentang masalah pasangan hidup ini kepada Prof. John M. Frame, D.D. melalui Facebook dan beliau menjawab pertanyaan saya dengan jawaban sebagai berikut:
Certainly God predestines everything that happens (Eph. 1:11), including who we love and marry. Some people believe that each of us has a "soulmate," a kind of ideal marriage partner. I don't know that that is true. Since this is a fallen world, I think all people have problems, and therefore no relationship or marriage can ever be problem-free. But of course some people make better marriage partners than others, and single people should pray that God will lead them to a person who can complement them and lead them to fulfill their God-given potential.
That means that marriage is a human choice, and we should make it wisely. It is a choice predestined by God, but that does not detract from the importance of our choice. God's sovereignty and man's responsibility do not compromise one another, according to Scripture.
(=Tentu saja Allah mempredestinasikan segala sesuatu yang terjadi (Ef. 1:11), termasuk kepada siapa kita mencintai dan menikah. Beberapa orang percaya bahwa setiap kita memiki seorang “pasangan hidup,” semacam pasangan pernikahan yang ideal. Saya tidak tahu bahwa itu benar. Karena dunia ini adalah dunia berdosa, saya pikir semua orang memiliki masalah-masalah, dan oleh karena itu tidak ada hubungan lawan jenis atau pernikahan yang bisa bebas dari masalah. Tetapi tentu saja beberapa orang memilih pasangan hidup yang lebih baik dari orang lain, dan orang yang masih lajang harus berdoa supaya Allah memimpin mereka kepada orang yang sepadan dengan dia dan memimpin mereka menggenapi potensi yang Allah berikan kepada mereka. Itu berarti bahwa pernikahan itu adalah pilihan manusia, dan kita harus mengusahakannya dengan bijaksana. Itu adalah pilihan yang dipredestinasikan oleh Allah, tetapi itu tidak mengurangi pentingnya pilihan kita. Kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia tidak dapat dikompromikan satu dengan yang lain, sesuai dengan Alkitab.)

Pandangan yang hampir sama juga dipaparkan oleh Pdt. Binsar A. Hutabarat, S.Th., M.C.S. ketika saya bertanya kepada beliau tentang pasangan hidup ini melalui chatting:
Jodoh yang ditentukan Allah hanya terjadi pada pristiwa perjumpaan Adam dan Hawa. Dalam orang-orang percaya lainnya tidak ada. Memang dalam mencari pasangan hidup orang percaya harus mengikuti aturan Tuhan, dan jika telah mengikuti apa yang ditentukan Tuhan kita boleh percaya bahwa Tuhan membawa kita pada pasangan yang tepat. Karena itu dalam mencari pasangan hidup, manusia harus aktif namun dengan cara yang benar. Bebas, aktif, terbatas. Misalnya tidak boleh yang tidak seiman ini kriteria utama, jika tidak seiman, itu bukan pernikahan Kristen.
Orang yang mengatakan Jodoh itu dari Tuhan juga melaksanakan usaha-usaha tersebut. Jadi dapat disimpulkan, perbedaannya hanya pada pengertian apa itu "jodoh". Karena orang yang meyakini jodoh dari Tuhan pun tidak akan berani menghapuskan usaha manusia untuk menemukan teman hidup.


Jika kita sudah mengerti bahwa jodoh itu dipimpin Tuhan dan dipertanggungjawabkan oleh manusia, apakah jika demikian, kita tidak perlu memiliki standar di dalam memilih lawan jenis bagi calon pasangan hidup kita? Tentu TIDAK! Kita boleh dan perlu menentukan standar di dalam memilih lawan jenis bagi calon pasangan hidup kita. Terlebih lagi, kita juga perlu mempertimbangkan saran dan petuah yang baik dari orangtua, teman, dll. Tetapi di atas semuanya, kita TIDAK boleh memberhalakan standar apa pun baik dari diri, orangtua, teman, dll. Kita harus menjadikan standar Allah sebagai standar yang paling penting dan mutlak di dalam memilih lawan jenis bagi calon pasangan hidup kita. Dengan kata lain, kita harus terbuka pada setiap gerakan pimpinan Roh Kudus yang kadang kala mendadak/tiba-tiba yang melampaui rencana dan pemikiran yang telah kita standarkan tersebut. Berarti, di dalam memilih calon pasangan hidup kita pun, ada dinamika hidup yang dipimpin Roh Kudus. Untuk lebih jelasnya, silahkan membaca buku atau/dan kaset Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) dari Pdt. Dr. Stephen Tong yang berjudul Dinamika Hidup dalam Pimpinan Roh Kudus. Jika Tuhan sudah memimpin kita dengan lawan jenis tertentu sebagai calon pasangan hidup kita, sudah seharusnya kita berani menyangkal diri dengan pilihan yang kita anggap baik (tetapi tidak baik dan tidak benar menurut kehendak Allah) dan mencoba mendekati dengan lawan jenis tersebut. Jangan mencoba-coba melawan kehendak-Nya, karena melawan kehendak-Nya berarti dosa. Pekalah terhadap seluruh pimpinan Roh Kudus di dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk memilih calon pasangan hidup.

Semua aplikasi praktisnya akan kita pelajari di poin setelah ini.


Aplikasi dan Akibatnya
Jika kita telah mempelajari dua konsep di atas, bagaimana kita mengaplikasikannya? Apa pula akibatnya?

Setelah kita mengerti bahwa jodoh itu adalah dipimpin Allah dan tetap dipertanggungjawabkan manusia, maka ada beberapa aplikasi praktis yang harus kita perhatikan:
1. Bina Hubungan Pribadi Anda dengan Allah Melalui Firman, Doa, dan Pengalaman Pribadi
Konsep pertama mengaplikasi konsep terakhir ini adalah konsep membangun hubungan pribadi kita dengan Allah. Jika kita ingin mengerti kehendak dan rencana Allah di dalam hal jodoh, tidak ada jalan lain, kecuali kita harus secara teratur membangun hubungan pribadi dengan Allah. Tentu, motivasinya bukan supaya kita mengerti pimpinan Allah di dalam hal jodoh saja, tetapi hal ini kita harus lakukan setiap hari. Ketika kita terus membangun hubungan pribadi dengan Allah, kita akan semakin mengenal kehendak dan pimpinan-Nya yang terbaik. Membangun hubungan pribadi dengan Allah bisa dilakukan dengan tiga sarana, yaitu: Alkitab, doa, dan mengalami-Nya. Melalui Alkitab, kita mengerti apa yang dikehendaki-Nya, yaitu: kekudusan, kebenaran, kemurnian/ketulusan, cinta kasih, keadilan, kejujuran (bukan kemunafikan), dan kesungguhan hati. Melalui doa, kita makin mengenal Allah dan kehendak-Nya dengan terus bercakap-cakap dengan-Nya. Jangan pernah berpikir bahwa doa itu hanya satu arah komunikasi, yaitu kita yang terus berkata-kata dengan Allah. Di dalam doa, harus ada dua arah komunikasi, yaitu kita berbicara kepada Allah dan Allah berbicara dengan kita. Di dalam doa itulah, kita merasakan hadirat Allah yang nyata. Sayang, gereja-gereja Protestan arus utama tidak merasakan hangatnya bersekutu dengan Allah yang hidup. Mereka hanya tahu liturgi, liturgi, dan liturgi, tetapi tidak menghidupi Firman. Dan terakhir, kita membina hubungan pribadi dengan Allah melalui pengalaman hidup sehari-hari. Ketika kita sudah memakai sarana pertama dan kedua, kita mulai mengalami-Nya di dalam hidup kita sehari-hari. Ini bukan sekadar teori, saya sudah mengalaminya langsung. Roh Kudus yang telah mewahyukan Alkitab adalah Roh Kudus yang sama telah mencerahkan hati dan pikiran saya tentang banyak hal, khususnya mengenai pengenalan akan Allah. Jangan biarkan iman Kristen hanya merupakan sekumpulan doktrin mati, tetapi hidupilah iman Kristen melalui Alkitab dan pengalaman kita bersama-Nya setiap hari. Ketika kita terus hidup mengalami-Nya sesuai Firman-Nya, hidup kita akan dipenuhi dengan limpahan sukacita yang tak terhingga.

2. Biarkanlah Alkitab dan Roh Kudus Memimpin Anda dalam Mencari Pasangan Hidup Melalui Hubungan yang Akrab Terlebih Dahulu
Setelah kita membina hubungan pribadi dengan Allah, kita harus dengan rendah hati, membiarkan apa yang telah kita lakukan itu memimpin hidup kita. Apa yang telah kita pelajari melalui Alkitab, doa, dan pengalaman hidup bersama Roh Kudus melalui pimpinan-Nya hendaklah memimpin hidup kita terutama ketika kita mencari dan menemukan pasangan hidup. Sebelum masuk ke dalam mencari dan menemukan pasangan hidup, biasakanlah memiliki kepekaan Roh di dalam melihat lawan jenis. Kepekaan Roh yang saya maksudkan bukanlah seperti yang diajarkan oleh mistisisme “Kristen,” tetapi kepekaan Roh di sini adalah kepekaan yang Roh Kudus berikan di dalam mengenal lawan jenis. Apa yang saya paparkan di sini bukan hanya teori kosong. Saya sendiri mengalaminya, meskipun sampai sekarang belum menemukan pasangan hidup yang cocok.
Roh Kudus terus memimpin saya banyak hal untuk peka melihat lawan jenis dan menetapkan standar memilih pasangan hidup. Ketika saya masih sekolah di SMA “Kristen” di Surabaya, saya mulai tertarik dengan cewek. Karena masih SMA, saya masih seperti anak-anak yang menyukai cewek cantik menjadi pacar/pasangan hidup. Dulu sempat saya mendekati adik kelas waktu SMA, tetapi gara-gara kesalahan saya yang terlalu terburu-buru, akhirnya saya gagal. Roh Kudus terus memimpin saya kembali pada waktu kuliah khususnya memimpin cara pikir saya di dalam memilih pasangan hidup. Saya memiliki banyak teman ketika saya berkuliah di sebuah kampus “Kristen” di Surabaya. Roh Kudus terus memberikan kepekaan yang tajam untuk membentuk saya di dalam menjalin hubungan dengan teman lawan jenis. Kepekaan itu ditunjukkan dengan sikap dan reaksi saya memandang teman lawan jenis. Beberapa teman lawan jenis saya cukup cantik, tetapi entah mengapa Roh Kudus tidak memberikan sedikit rasa tertarik kepada beberapa teman lawan jenis itu (meskipun tidak semua). Jujur, waktu kuliah dulu, saya sempat menaksir seorang teman lawan jenis satu jurusan yang saya pikir dia itu baik, cantik, manis, dan cinta Tuhan (terpenting: saya melihat dia adalah orang yang dapat diajar/teachable/rendah hati). Cewek ini bukan hanya sekadar Kristen, tetapi ia adalah orang Kristen yang melayani Tuhan sambil terus belajar Firman Tuhan. Saya sudah mengenal dia (meskipun belum 100% sempurna) karena sering duduk di dekat dia dan berkomunikasi dengannya di dalam setiap kelas selama beberapa semester. Tetapi sayangnya, saya belum berani mengungkapkan hal itu kepadanya dan mungkin sekali dia hanya menganggap saya teman baik. Mungkin di balik itu, Roh Kudus kurang berkenan akan hal itu.

3. Libatkanlah Allah di dalam Segala Proses Pendekatan yang Kita Lakukan
Setelah kita (cowok) menjalin hubungan dengan lawan jenis (cewek), kita baru mulai mendekati lawan jenis yang kita sukai. Di dalam proses pendekatan ini, kembali, jangan pernah lupa untuk terus melibatkan Allah di dalam segala proses pendekatan kita. Kita tetap mendekati lawan jenis yang kita sukai. Kita harus mengupayakannya dengan berbagai cara yang etis, sopan, dan tidak mengganggu. Tetapi jangan pernah berpikir bahwa karena kita telah berusaha keras, maka ketika kita berhasil atau pun gagal, itu semua karena usaha kita sendiri. Jangan pernah memuji usaha kita sendiri di dalam segala sesuatu! Libatkanlah Allah! Berdoalah kepada Allah dan mintalah bijaksana-Nya untuk menentukan apakah dia adalah pasangan hidup kita sesuai kehendak-Nya. Bagaimana caranya? Belajarlah peka akan pimpinan Roh Kudus ketika sedang menjalin hubungan dekat dengan satu lawan jenis baik melalui komunikasi langsung (bertemu langsung) maupun komunikasi tidak langsung (melalui telepon, SMS, chatting, e-mail, dll). Roh Kudus akan memimpin (dalam arti: memberi bijaksana) kita menilai lawan jenis yang kita dekati ini, sampai sejauh mana lawan jenis ini mencintai Tuhan. Utamakan unsur cinta Tuhan! Jangan pernah menganggap bahwa karena lawan jenis yang kita dekati berada di gereja yang sama dengan kita membuktikan bahwa dia juga cinta Tuhan. Cinta Tuhan TIDAK diukur dari aktif pergi ke gereja. Cinta Tuhan diukur dari kerelaan, kerendahan, dan kemurnian hati di dalam mengasihi dan melayani-Nya. Mengasihi dan melayani-Nya ditandai dengan kemurnian, kesungguhan, dan kerendahan hati kita menempatkan Allah sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup kita dan juga melayani-Nya seumur hidup kita. Jangan pernah tertipu oleh fenomena! Orang yang mengasihi Allah adalah orang yang mencintai Firman-Nya yang tentunya adalah orang yang sudah membaca Alkitab dari Kejadian s/d Wahyu dan berusaha menghidupi Firman yang telah ia baca (1Yoh. 5:2).
Bagaimana jika di dalam proses pendekatan ini, lawan jenis yang kita dekati ternyata sudah memberikan tanda-tanda bahwa ia tidak menyukai kita? Kembalikanlah itu semua kepada Allah dan kehendak-Nya. Jika Roh Kudus benar-benar memantapkan kita dengan lawan jenis yang kita sukai tersebut, maka kita harus mencoba bersabar mendekati si cewek itu, meskipun pada awalnya si cewek kurang responsif. Jangan pernah berputus asa. Tetapi jika Roh Kudus tidak memantapkan kita, jangan sekali-kali memantap-mantapkan diri kita sendiri (self-confidence/percaya diri), lalu terus mencoba mengejar cewek yang tidak diinginkan Allah.

4. Bergumullah di Hadapan Allah Di Dalam Menerima Reaksi Lawan Jenis yang Kita Dekati
Jika kita (cowok) telah mendekati lawan jenis (cewek) yang kita sukai dengan cara-cara yang tepat, sopan, etis, dan tidak mengganggu, maka percayalah bahwa hasil dari pendekatan kita, apakah si lawan jenis itu menerima atau menolak cinta kita adalah kehendak Allah. Jika lawan jenis yang kita sukai ternyata sudah lebih dari satu kali menolak kita secara implisit (misalnya, ketika kita mengirim SMS atau menelpon dia, dia berkata bahwa dia sedang “sibuk”—bukan sibuk sungguhan), maka jangan pernah memaksa terus untuk mendekati dia. Mungkin saja, Allah tidak berkenan ketika kita mendekati lawan jenis yang kita anggap baik itu. Belajarlah peka akan hal itu dan percayalah bahwa kegagalan dan keberhasilan kita di dalam hasil setelah kita mendekati lawan jenis itu berada di dalam koridor pemeliharaan-Nya. Kalaupun lawan jenis yang kita dekati/sukai menolak cinta kita, percayalah Allah sudah dan sedang menyediakan bagi kita pasangan hidup yang lebih baik bagi kita, meskipun kadang-kadang tidak kita sukai secara fenomena. Tetapi apakah selalu berarti bahwa jawaban TIDAK dari si cewek menandakan bahwa Allah melarang kita berhubungan dengannya? TIDAK selalu. Di sini, kita harus peka. Jika kita yakin bahwa cewek yang kita pilih dan dekati ini adalah benar-benar dipimpin oleh Allah, maka kita terus berusaha mendekati dia meskipun dia sempat menolak cinta kita pertama kalinya. Lawan jenis yang telah Ia berikan kepada kita mungkin menolak pada kesempatan pertama, tetapi percayalah Roh Kudus akan membuka hatinya untuk menerima cinta kita, jika memang kita dan lawan jenis kita adalah pasangan yang dikehendaki-Nya.
Bagaimana jika lawan jenis kita menerima cinta kita? Bukankah ini suatu kecocokan? Apakah itu berarti Tuhan menyetujui hubungan kita dengan lawan jenis yang kita pilih? Mungkin ya, mungkin tidak. Gumulkan hal ini kembali di hadapan Tuhan, benarkah Allah menyukainya? Jika ya, teruskan hubungan kita dengan lawan jenis ini. Jika tidak, meskipun si cewek menerima cinta kita, taatlah kepada Tuhan dan pimpinan-Nya, jangan meneruskan hubungan sebelum kita menuai akibat yang tidak diinginkan.

Sebagai contoh nyata dari konsep ini adalah contoh yang saya ambil dari buku Rev. (Pdt.) Joshua Harris yang berjudul “Saat Cowok Ketemu Cewek” (Boy Meets Girl). Di buku ini, Rev. Joshua menceritakan pengalaman hidupnya sendiri dalam mengaplikasikan konsep ini. Dulu, waktu bekerja di gereja, beliau sempat menaksir seorang cewek, teman kantor gerejanya yang sudah lahir baru (sebut saja inisialnya: A). Pada suatu hari Minggu, di gerejanya, ada kesaksian dari seorang cewek yang baru bertobat (sekarang menjadi istrinya Shannon). Pada waktu itu, beliau tidak memiliki perasaan apa-apa, karena menurut pemikiran beliau, seorang yang baru bertobat belum bisa menjadi pasangan hidup bagi dirinya. Beliau bisa berpikiran begitu karena beliau ingin mendekati cewek A, teman kantor gerejanya tersebut. Tetapi selang beberapa lama, akhirnya Rev. Joshua mengetahui bahwa cewek A ternyata sudah memiliki pacar. Lalu, Allah membawanya untuk lama-lama mengenal Shannon ini, mencoba mendekatinya, berpacaran, dan akhirnya beliau menikah.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa pasangan hidup BUKAN merupakan partisipasi kita 100% saja, tetapi juga merupakan partisipasi Allah di atas segalanya. Biarlah kita makin mengalami pimpinan Allah di dalam realitas mencari dan menemukan pasangan hidup sambil kita tetap berusaha sesuai dengan prinsip-prinsip Firman Tuhan.
Semua hal di atas adalah hal yang dilakukan seorang cowok yang aktif, bagaimana dengan reaksi cewek yang didekati? Cewek Kristen seharusnya adalah cewek yang lebih taat kepada Tuhan dan pimpinan Roh Kudus ketimbang perasaan diri mereka sendiri yang bisa saja salah. Ada beberapa hal yang harus cewek Kristen pertimbangkan ketika didekati oleh cowok Kristen?
1. Berdoalah dan Minta Pimpinan Roh Kudus
Mayoritas cewek (atau mungkin bahkan semua) akan mengetahui bahwa jika ada seorang cowok yang mengirimkan SMS atau menelpon dirinya lebih dari satu kali secara teratur (misalnya: 1 minggu bisa 2-3x) itu berarti si cowok ada “hati” atau menaksir dirinya. Nah, beberapa (kebanyakan) cewek, apalagi banyak cewek postmodern (tidak semua) adalah cewek yang pragmatis, yang hendak memandang fenomena luar si cowok sebagai standar apakah si cewek juga suka atau tidak suka dengan si cowok. Jika si cewek suka dengan ketampanan si cowok, maka begitu si cowok mendekati dirinya, dia langsung meresponi, tetapi ketika si cewek ditaksir oleh cowok yang biasa-biasa, maka dia tidak meresponinya, bahkan menolak mentah-mentah. Cewek Kristen yang cinta Tuhan HARUS membuang semua unsur fenomena tersebut dan melihat esensinya. Tetapi hal ini TIDAK berarti cewek Kristen menerima semua cowok yang menaksirnya. Inti yang harus diperhatikan adalah bukan hal-hal fenomena, seperti, tampan, kaya, dll, tetapi hati. Untuk itulah, maka di titik pertama, saya mengatakan bahwa cewek yang didekati oleh seorang cowok harus berdoa meminta hikmat dan pimpinan Roh Kudus apakah cowok yang mendekatinya adalah cowok yang dikehendaki Allah atau tidak. Cewek Kristen sejati adalah cewek yang hatinya untuk Tuhan melihat segala sesuatu dari perspektif Allah, sehingga setiap keputusan yang dibuatnya bukan berdasarkan perasaan sesaat, tetapi berdasarkan kehendak dan rencana-Nya yang berdaulat.

2. Belajar Saling Mengenal (dan Dikenal)
Setelah berdoa dan meminta pimpinan Roh Kudus, cewek Kristen harus belajar saling mengenal dan dikenal. Artinya, cewek Kristen sejati adalah cewek yang hatinya terbuka, baik untuk mengenal cowok yang mendekatinya dan juga ia sendiri terbuka apa adanya tentang dirinya terhadap cowok yang mendekatinya itu. Di sini, kita melihat adanya hubungan saling mengenal (cowok mengenal cewek dan cewek mengenal cowok) yang dibangun bahkan sejak di dalam proses pendekatan. Saling mengenal adalah saling mengenal seluruh pribadi masing-masing, saling belajar, saling memberi masukan/nasihat, dll yang kesemuanya berdasarkan standar kebenaran Firman Tuhan. Jika di dalam proses pendekatan ini, banyak hal boleh terbuka, maka ketika berpacaran dan menikah kelak, perbedaan pola pikir, kebiasaan, dll bukan menjadi halangan yang berarti. Kecenderungan anak muda zaman sekarang adalah ketika mendekati lawan jenis, mereka tidak saling terbuka, akibatnya tidak heran, jika suatu saat mereka berpacaran dan menikah, mereka akan terkaget-kaget dengan kebiasaan lawan jenisnya yang berbeda dari apa yang sudah mereka ketahui pada waktu pendekatan.

3. Putuskan Segala Sesuatunya Berdasarkan Pimpinan Roh Kudus yang Jelas
Jika di dalam proses pendekatan tersebut, kalian mendapati karakter si cowok ada yang kurang beres, apa yang harus kalian lakukan? Menolaknya mentah-mentah? TIDAK! Adalah suatu keputusan yang bijaksana jika para cewek: Pertama, mengklarifikasi standar karakter tersebut, apakah dari standar Allah atau standar umum (atau bahkan standar kebiasaan keluarga kalian)? Jika memang karakter si cowok tetap berada di dalam koridor kebenaran Alkitab, tetapi agak asing bagi kita yang mungkin belum terbiasa, biasakan kalian belajar dari si cowok. Jika karakter si cowok kurang beres di dalam hal-hal sepele (misalnya, mudah marah untuk hal-hal yang tidak penting, dll), biasakan juga menerima kekurangan si cowok sambil berusaha mengoreksinya. Nah, si cowok harus dengan rela hati dikoreksi. Tetapi jika karakter si cowok benar-benar tidak beres di dalam hal-hal esensial, si cewek harus menegurnya. Tetapi jika si cowok menolak teguran itu pertama kalinya, mintalah pimpinan Roh Kudus apakah kalian harus tetap meneruskan hubungan dengan si cowok ini atau segera menyudahinya. Mengapa harus meminta pimpinan Roh Kudus? Bukankah kita bisa langsung memutuskan hubungan saja dengan si cowok? TIDAK BISA! Jangan mengambil keputusan berdasarkan emosi sesaat! Biasakan melibatkan Allah di dalam mengambil keputusan. Mungkin saja, si cowok pertama kalinya sungkan atau tidak mau menerima teguran dari si cewek, karena cowok tersebut gengsi. Adalah tugas si cewek membukakan pola pikir si cowok untuk menerima kekurangannya sambil mengoreksinya dengan ketulusan dan kemurnian berdasarkan Firman Tuhan. Dan juga, si cewek pun harus berani rela dikoreksi jika si cowok mengoreksi dirinya. Jika si cowok ini merupakan pasangan hidup kalian kelak, maka Roh Kudus akan membuka hati dan pikiran si cowok ini pelan-pelan, sehingga si cowok dan kalian saling bertumbuh di dalam Kebenaran Firman.
Dari prinsip di atas, ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan di dalam proses pendekatan, baik cewek maupun cowok harus saling menghormati perbedaan yang fenomenal (sekunder) dan tidak saling memaksa. Perbedaan fenomenal/sekunder ini biasanya meliputi perbedaan cara berpikir, karakter, kerohanian, dll. Jika pada waktu pendekatan, cowok dan cewek saling menghormati perbedaan sekunder ini, maka mereka tidak akan menghadapi percekcokan kelak pada waktu berpacaran dan menikah. Percekcokan yang tidak berarti sering kali terjadi pada pasangan suami istri, misalnya perbedaan cara menggosok gigi, makan, kombinasi warna pakaian (baju dan celana/rok), dll. Mengapa bisa demikian? Karena dari tahap pendekatan, mereka tidak bisa saling menghormati satu sama lain, yang sering terjadi adalah si cewek yang kebanyakan mengatur si cowok bahkan untuk hal-hal sepele! Cewek Kristen harus bertobat dari kebiasaan buruk ini, belajarlah untuk tidak terlalu cerewet untuk hal-hal yang TIDAK PENTING!
Nah, setelah tahap pengenalan, maka si cowok pasti akan “menembak” si cewek yang didekatinya suatu saat. Sekarang, keputusan berada di tangan cewek. Adalah suatu hal yang bijaksana jika si cewek memberikan keputusan tersebut dengan bersandar pada hikmat dan pimpinan Roh Kudus, yaitu: menerima atau menolak si cowok yang mendekati kalian. Atau dengan kata lain, berdoalah meminta hikmat-Nya ketika hendak memberikan keputusan pada saat si cowok “menembak” kalian. Jika semuanya dilakukan sesuai dengan pimpinan Roh Kudus dan prinsip Alkitab, maka tentunya cewek Kristen tidak lagi memakai standar-standar yang mereka bangun sendiri (misalnya, cowok ini “antik”, padahal antik yang kalian mengerti adalah antik dalam hal-hal sepele, tetapi kalian tidak mau mengerti mengapa dia antik dan mencoba mengubah keantikannya).

Lalu, apa akibat dari konsep terakhir ini? Karena kita percaya bahwa jodoh itu dipimpin Tuhan dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia, kita tidak perlu kuatir bahwa kita akan salah jalan. Mengapa? Karena kita percaya bahwa Ia selalu memberikan kepada anak-anak-Nya pilihan yang terbaik bagi kemuliaan-Nya, meskipun itu kelihatan “tidak baik” menurut kita. Iman inilah yang mengakibatkan kita tetap berusaha mencari dan mendekati lawan jenis sambil tetap berserah kepada Allah dan pimpinan-Nya. Ia memberikan kita bijaksana di dalam memilih pasangan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip firman-Nya, di sisi lain Ia menuntut kita berserah total akan pimpinan Allah di dalam pemilihan pasangan hidup itu. Itulah tandanya kita mengerjakan apa yang menjadi bagian kita dan menyerahkan apa pun yang melampaui bagian kita kepada Allah yang Berdaulat mutlak. Dan lihatlah bagaimana Allah bertindak dengan luar biasa dahsyat bagi kehidupan pernikahan kita kelak di mana nama Tuhan dipermuliakan selama-lamanya. Sudahkah Anda mengalaminya?




KESIMPULAN DAN TANTANGAN BAGI KITA
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyerahkan hidup kita termasuk masalah pasangan hidup kepada Allah yang telah mencipta, memelihara, dan memberikan kepada kita pasangan hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya? Sekali lagi, Ia telah memberikan pasangan hidup yang sepadan kepada kita, namun Ia memimpin kita dengan memberi hikmat dan bijaksana-Nya kepada kita di dalam mencari dan menemukan pasangan hidup itu. Kesemuanya itu bertujuan hanya untuk kemuliaan Allah saja. Amin. Soli Deo Gloria.


“Knowledge of God involves trust and reverence”
(=Pengenalan akan Allah melibatkan kepercayaan dan kepatuhan)
– Dr. John Calvin; Institutes of the Christian Religion, I.II.2, hlm. 41 –



Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.
(Kol. 2:8)

22 February 2009

Roma 13:10: UTANG KASIH-2: Kasih yang Tidak Berbuat Jahat

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-12


Utang Kasih-2: Kasih yang Tidak Berbuat Jahat

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 13:10.



Setelah membahas tentang mengasihi sesama di ayat 9, Paulus menjelaskan arti yang lebih mendalam tentang mengasihi sesama manusia. Dunia mengerti bahwa mengasihi sesama berarti berbuat baik bagi sesama. Apakah hal ini salah? Tidak. Alkitab sendiri mengajar bahwa mengasihi sesama manusia berarti tidak berbuat jahat kepada sesama kita. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 10, “Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.” Apa artinya kasih tidak berbuat jahat? Terjemahan dari bahasa Yunaninya adalah tidak melakukan yang jahat/yang salah (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear, 2003, hlm. 867-868). International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Love never does anything that is harmful to its neighbor.” (= Kasih tidak pernah melakukan apa pun yang berbahaya bagi sesamanya.) Literal Translation of the Holy Bible (LITV) menerjemahkannya, “Love does not work evil to the neighbor.” (=Kasih tidak melakukan yang jahat kepada sesama.) New King James Version (NKJV) menerjemahkannya, “Love does no harm to a neighbor;” (=Kasih tidak membahayakan sesama;) English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “Love does no wrong to a neighbor;” (=Kasih tidak melakukan yang salah kepada sesama;) King James Version (KJV) menerjemahkannya, “Love worketh no ill to his neighbour:” (=Kasih tidak melakukan yang jahat kepada sesama.) Kata “jahat” dalam bahasa Yunaninya adalah kakos berarti worthless (tidak bernilai). Dengan kata lain, kasih yang tidak berbuat jahat adalah kasih yang tidak berbuat sesuatu yang tidak bernilai. Artinya, kasih sejati adalah kasih yang melakukan sesuatu yang bernilai kepada orang lain/sesamanya. Hal ini mirip dengan pengajaran Paulus di pasal dan ayat sebelumnya, yaitu di pasal 12 ayat 9, yaitu, di mana kasih menjauhi kejahatan. Dunia kita mengajarkan prinsip yang terbalik. Dunia kita memang mengajar bahwa kasih itu berarti memberikan yang baik atau berbuat baik bagi sesama. Tetapi apa konsep baik itu? Dunia kita tidak bisa mendefinisikan dengan tepat. Mereka beranggapan bahwa baik itu adalah yang menguntungkan, menggembirakan, dll, sedangkan yang tidak menguntungkan itu tidak baik. Alkitab mengajarkan konsep yang bertolak belakang dari konsep dunia, meskipun kelihatan mirip. Alkitab mengajar bahwa kasih itu melakukan sesuatu yang bernilai kepada sesama. Di sini, baik dikaitkan dengan bernilai. Apakah yang dimaksud dengan baik yang bernilai? Di ayat sebelumnya (13:9), Paulus telah membahasnya bahwa inti hukum Taurat adalah mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri dan Tuhan Yesus juga mengajar bahwa mengasihi Allah dahulu baru mengasihi sesama manusia (Mat. 22:37-40). Dari dua alasan ini, kita mendapatkan gambaran bahwa berbuat baik adalah berbuat sesuatu yang bernilai dan berbuat sesuatu yang bernilai adalah berbuat sesuai nilai kebenaran Allah. Ketika kita berbuat sesuatu sesuai nilai kebenaran Allah, maka tentu apa yang kita lakukan akan berbeda total dengan apa yang dunia ajarkan dan praktikkan. Ini diakibatkan karena konsep nilai kita didasarkan pada konsep nilai kekekalan, bukan kesementaraan. Seseorang yang memiliki konsep nilai kekekalan, dia pasti memiliki hati, motivasi, pola pikir, dan perbuatan baik yang mengutamakan prinsip-prinsip kekekalan, yaitu: kebenaran, kesucian, keagungan, kebajikan, keadilan, dll. Sedangkan orang yang tidak memiliki konsep nilai kekekalan, dia pasti mempraktikkan seluruh pola pikir dan tindakan yang berpusat pada nilai kesementaraan (antroposentris). Dari konsep ini, kita bisa membedakan sendiri antara kasih yang theosentris vs kasih yang antroposentris.


Kembali, lalu bagaimana kita bisa memiliki kasih yang berbuat sesuatu yang bernilai kepada orang lain/sesama kita?
Pertama, kasih yang menguatkan sesama. Kasih yang berbuat sesuatu yang bernilai itu adalah kasih yang menguatkan. Menguatkan di sini berarti memberikan kekuatan kepada sesama kita di kala sesama kita sedang bersedih atau lemah imannya. Bagaimana kita bisa menguatkan sesama? Ketika sesama/rekan kita sedang kesusahan karena ditinggalkan salah satu keluarganya, kita sering kali menghiburnya dengan mengutip rangkaian kata-kata mutiara dari Alkitab. Itu tidak salah, tetapi kurang tepat. Mengapa? Karena pertama, penghiburan bukan datang dari rangkaian kata-kata mutiara Alkitab yang kita kutip, tetapi dari kesungguhan hati kita bersimpatik kepadanya. Kedua, mungkin sekali orang yang sedang berduka menuding kita secara implisit bahwa kita bisa berkata demikian karena kita tidak mengalami musibah seperti dirinya. Di sini, kita perlu bijaksana untuk menguatkan sesama kita yang sedang berduka. Bagaimana dengan sesama kita yang lemah imannya? Kadang kala ketika kita mengetahui bahwa sesama kita imannya lemah, kita langsung melontarkan ratusan ayat Alkitab. Itu kurang tepat. Tindakan kita yang lebih bijaksana adalah mendengarkan apa yang dia utarakan mengenai kelemahan imannya dan alasannya. Di dalam mendengarkan, Ev. Agus Barlianto Sadewa, M.T.S. mengajarkan konsep pertamanya yaitu memperhatikan (attention). Artinya, di dalam mendengarkan, kita perlu memperhatikan teman/rekan kita yang bicara. Dengan terus memperhatikan, kita bisa mengetahui akar masalah mengapa sesama kita memiliki iman yang lemah. Misalnya, seorang teman saya yang Kristen kurang memiliki hati untuk Tuhan, mengapa? Karena dia sempat berkata bahwa dia banyak mengalami hal-hal yang dia tidak inginkan, misalnya HPnya dicuri waktu di mall, beberapa perhiasannya bisa hilang di rumah sendiri, dll. Saya mencoba mendengarkan apa yang dia alami, lalu saya mencoba mengurusi inti masalahnya, yaitu kadang kala Tuhan mengizinkan semuanya terjadi demi kebaikan kita, bukan karena Tuhan itu jahat. Saya sendiri pribadi mengalami hal itu, di mana apa yang saya inginkan tidak terjadi dan di situ Tuhan mengajar saya banyak hal tentang apa arti menyangkal diri. Hal inilah yang saya bagikan kepada teman saya ini. Jadi, bukan hanya teori saja yang kita paparkan, tetapi galilah dari pengalaman hidup kita sendiri untuk dibagikan kepada sesama kita yang memiliki iman yang lemah.


Kedua, kasih yang menegur sesama. Selain menegur, kasih yang berbuat sesuatu yang bernilai bisa diwujudnyatakan dengan menegur sesama. Apa, menegur sesama? Bukankah kita sering mendengar ucapan seorang “Kristen”, “Jangan menghakimi” kepada orang Kristen/hamba Tuhan yang menegur dosa orang lain? Benarkah itu? TIDAK! Alkitab mengajar bahwa kita perlu menegur dosa! (bdk. 2Tim. 4:2) Justru, Alkitab mengajar bahwa ketika kita menegur, kita menunjukkan kasih kepada orang yang kita tegur. Tetapi, apakah teguran selalu bermakna kasih? Ya dan tidak. Ya, ketika teguran itu dilandasi oleh motivasi kasih, cara kasih, dan tujuan kasih. Tidak, ketika teguran itu dilandasi oleh motivasi, cara, dan tujuan yang tidak beres (menjatuhkan). Dua pembeda inilah yang juga membedakan antara perkataan “Kau berdosa” yang dilontarkan oleh Tuhan Allah vs iblis. Mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong, ketika Allah berkata, “Kau berdosa” kepada kita, itu berarti Ia mengingatkan kita bahwa kita berdosa, lalu disambung dengan perkataan, “maka bertobatlah kamu, karena Anak-Ku sudah mati bagimu,” tetapi ketika setan berkata, “Kau berdosa” kepada kita, itu berarti iblis mengatakan, “kau berdosa, enak jadi anak buahku.” Itulah teguran yang harus kita bisa bedakan.

Teguran yang sejati adalah teguran yang:
Pertama, lahir dari motivasi kasih. Teguran yang lahir dari motivasi kasih adalah teguran yang membangun. Saya akan memberikan ilustrasi. Ketika kita mengetahui ada teman kita yang (maaf) resleting celananya terbuka, apa yang kita lakukan? Membiarkannya? TIDAK! Kita pasti menegur/mengingatkannya. Ketika kita mengingatkannya, kita pasti melakukannya dengan motivasi kasih, yaitu, supaya teman kita itu tidak malu, bukan dengan motivasi menjatuhkan dia. Bagaimana dengan kita? Apakah kita menegur sesama kita dengan motivasi kasih? Biarlah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

Kedua, dilakukan dengan cara kasih. Teguran bukan hanya bermotivasi kasih, tetapi juga dengan cara kasih. Artinya, kita menegur sesama kita dengan cara-cara yang sopan, halus, tetapi tidak berkompromi. Hal inilah yang diajarkan Paulus di dalam 2Tim. 4:2 yaitu menegur mereka dengan kesabaran dan segala pengajaran. Artinya, kita tetap menegur dengan mengajar orang yang kita tegur, tetapi itu kita lakukan dengan kasih, bukan untuk menjatuhkan. Misalnya, ketika orangtua mengetahui bahwa anaknya kurang mandiri, adalah tindakan yang bijaksana jika orangtua tersebut tidak meneror anaknya sebagai “kurang mandiri,” tetapi orangtua tersebut seharusnya memberikan teguran dan saran positif bagaimana supaya anaknya mandiri. Jika ada orangtua yang terus meneror anaknya sebagai “kurang mandiri,” itu tidak ada bedanya dengan iblis yang meneror manusia! Itu bukan teguran dengan cara kasih, tetapi teguran dengan cara menjatuhkan (meskipun orangtua itu akan memakai segudang argumentasi “logis” bahwa dia menegur seperti itu karena dia “mengasihi” anaknya) dan itu yang iblis pakai ketika meneror manusia. Berhati-hatilah, bedanya tipis sekali. Tetapi, apakah berarti dengan demikian, kita harus terus lemah lembut kepada semua orang yang kita tegur? Ya dan tidak. Itu tergantung pada pimpinan Roh Kudus kepada kita. Ketika Roh Kudus memimpin kita untuk menegur seseorang dengan keras, maka kita harus menegur orang itu dengan keras. Meskipun keras, teguran itu pasti berdampak baik pada orang yang kita tegur, karena itu dalam pimpinan Roh Kudus. Sebaliknya, ada orang yang imannya masih kanak-kanak perlu ditegur dengan cara yang halus, itu pun kita harus peka pada pimpinan Roh Kudus. Jadi, cara kasih bukan berarti mutlak harus dengan lemah lembut, dll! Itu bukan kemutlakan, tetapi hanya sebuah cara yang harus disesuaikan dengan kepekaan kita menerima pimpinan Roh Kudus ketika menegur seseorang. Contoh, Tuhan Yesus menegur Petrus dengan mengatakan bahwa dia setan (Mrk. 8:33), apakah berarti Ia tidak menggunakan cara kasih ketika Ia menegur Petrus? TIDAK! Ia tetap mengasihi Petrus, tetapi cara yang Ia pergunakan adalah cara yang keras yang hanya ditujukan kepada Petrus yang menghalangi cara kerja Allah.

Ketiga, bertujuan kasih. Kasih yang menegur adalah menegur dengan tujuan kasih. Ini adalah tujuan terakhir dari sebuah teguran. Ketika teguran hanya berakibat orang yang ditegur menjadi marah, maka tujuan akhir dari teguran itu gagal. Tetapi jika teguran itu berakibat orang yang kita tegur berubah dan menjadi baik, maka tujuan akhir teguran kita berhasil. Di atas semuanya, Roh Kuduslah yang paling berperan, karena Ia lah yang memakai teguran kita efektif atau tidak bagi orang yang kita tegur. Dari konsep ini, hendaklah kita JANGAN pernah mengatakan bahwa jika orang yang kita tegur bertobat, lalu itu adalah usaha kita! JANGAN pernah mengambil kemuliaan Allah! Ketika orang yang kita tegur menjadi bertobat, itu berarti anugerah Allah, sedangkan kalau orang yang kita tegur tidak mau bertobat, itu berarti ada waktu Allah yang tidak ketahui atau mungkin orang yang kita tegur bukan umat pilihan-Nya. Biarlah tujuan akhir dari teguran kita benar-benar berpusat pada Allah, bukan pada diri kita. Ingatlah, Alkitab mengajarkan satu prinsip tunggal: ANUGERAH ALLAH! Jangan pernah membanggakan jasa baik kita apa pun, tetapi muliakan Tuhan saja! Hanya Tuhan! Hanya Tuhan! Biarlah kita disadarkan akan konsep ini.


Lalu, mengapa kita bisa mengatakan bahwa kasih itu tidak berbuat jahat kepada sesama? Paulus menjelaskan alasannya yaitu karena kasih adalah kegenapan hukum Taurat. Kegenapan di sini berarti kasih menggenapi/menuntaskan seluruh hukum Taurat. Dengan kata lain, inti hukum (Taurat) adalah kasih. Kasih itu meliputi 2 hal: kasih kepada Allah dan sesama (bdk. Mat. 22:37-40). Jadi, kita bisa mengasihi sesama kita dengan tidak berbuat jahat kepada sesama sesudah kita mengasihi Allah terlebih dahulu. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi sesama dengan berbuat sesuatu yang bernilai kepada sesama kita?


Biarlah setelah merenungkan 1 ayat ini saja, kita ditegur dan diingatkan betapa pentingnya kasih yang disertai kebenaran, keadilan, kesucian, keagungan, dan kebajikan. Maukah hari ini kita berkomitmen mengasihi sesama kita dengan kasih Allah sejati? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 13:24-29: CONDITION OF THE KINGDOM (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 1 April 2007
Condition of the Kingdom
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 13:24-29


Kita telah memahami sebelumnya bahwa Kerajaan Sorga bukan bersifat duniawi atau materi melalui perumpamaan, Tuhan Yesus membukakan hal Kerajaan Sorga yang berkait erat dengan iman dan respon manusia terhadap iman. Pada perumpamaan kedua kembali Tuhan Yesus membukakan tentang hal Kerajaan Sorga khususnya tentang kondisi dan situasi Kerajaan Sorga.
Alkitab membukakan bahwa Kerajaan Sorga itu tidak sama dengan yang dipikirkan oleh manusia. Banyak orang pikir Kerajaan Sorga itu gereja Tuhan dimana di dalamnya berisi orang-orang Kristen. Calvin pun ternyata pernah mempunyai pemikiran yang salah tentang Kerajaan Sorga. Calvin beranggapan Kerajaan Sorga itu adalah gereja dimana di dalamnya berisi anak-anak Tuhan yang baik dan taat maka untuk menjadikan seorang Kristen itu baik dan taat dibutuhkan pengajaran firman yang ketat dan benar. Perlu diingat, konteks Eropa pada jaman itu, sebagian besar orang sudah Kristen namun mereka tidak mendapat pengajaran Alkitab yang ketat dan benar. Calvin pun mulai mengajar setiap pagi tiap-tiap harinya, dia mengeksposisi ayat demi ayat dengan solid yang dapat kita jumpai sampai hari ini. Calvin beranggapan pengajaran yang salah itulah yang membuat orang Kristen tidak bertumbuh dan berbuah. Namun setelah sekian lama ia mengajar ternyata tidak ada perubahan dalam diri mereka sampai kemudian ia dibukakan akan perumpamaan tentang lalang dan gandum.
Pertama, Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladang-Nya. Benih yang baik itu seharusnya menghasilkan gandum yang baik akan tetapi ternyata, pada waktu semua orang tidur, datanglah musuh menaburkan benih lalang di antara gandum. Di tengah ladang itu kini, tumbuh lalang dan gandum; kedua tanaman ini kelihatan sama tetapi secara esensi berbeda. Jelaslah, bahwa yang dimaksud dengan Kerajaan Sorga itu bukanlah gereja. Kerajaan Sorga digambarkan dengan ladang dimana orang-orang di dalamnya digambarkan dengan gandum dan lalang. Calvin mulai menyadari ada dua esensi yang berbeda, yaitu: 1) gereja yang kelihatan, visible church, yakni gereja dengan papan nama dengan beberapa orang yang menjadi anggota jemaat. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua orang di dalamnya adalah warga Kerajaan Sorga? Jawabannya adalah belum tentu, tidak semua orang yang menjadi suatu anggota gereja maka ia termasuk warga Kerajaan Sorga maka, 2) gereja yang tidak kelihatan, invisible church, yakni gereja yang terdiri dari umat Allah yang sejati. Sejak itu, Calvin pun mulai menekankan penginjilan di dalam gereja disamping pengajaran yang ketat dan benar. Apalah artinya semua pengajaran yang baik kalau semua itu tidak mengubahkan hidup mereka.
Jangan campuradukkan invisible church dan visible church. Dalam gereja yang kelihatan, kita harus memilah antara lalang dan gandum. Secara esensi, gereja adalah umat Allah sejati. Kekristenan menekankan gandum haruslah dipelihara sedemikian rupa supaya menghasilkan buah yang baik dan membatasi lalang dengan demikian tidak bertumbuh dan berkembang. Dari perumpamaan ini, Matthew Henry menyadari pada saat gereja itu tertidur maka itulah waktunya iblis datang menabur benih lalang di dalamnya. Lain halnya kalau gereja itu setia dan waspada maka masuknya dan pertumbuhan lalang dapat dihambat. Hati-hati, si jahat tidak akan pernah tinggal diam; sewaspada apapun kita dan berjaga-jaga, iblis yang licik akan berusaha dengan segala cara memasukkan benih lalang dan mencemari ladang milik si tuan. Karena itu, hendaklah kita sadar dan janganlah tertidur sehingga iblis dengan bebas menebar benih lalang ke dalamnya. Ini menjadi salah satu kegagalan gereja saat ini yang tidak menjaga ladang gandumnya dengan baik.
Di suatu daerah, seorang pendeta muda dipercayai menggembalakan sekelompok jemaat di sebuah gereja namun karena beberapa faktor tertentu, membuatnya tidak dapat menjaga ladangnya dengan baik akibatnya berbagai pengajaran mulai masuk. Sementara waktu, secara kuantitas jumlah jemaat menjadi bertambah namun tidak secara kerohanian, kekacauan dan perpecahan mulai terjadi di dalam gereja. Sesungguhnya, jumlah jemaat yang bertambah palsu, mereka tidak pernah berhenti menuding yang salah demikian juga dengan para rasul, banyak itu tidak lebih hanyalah lalang belaka. Ketika si tuan itu membawa benih baik yang murni maka sudah menjadi tugas penjaga ladang untuk menjaga agar ladang itu tidak terkontaminasi dengan demikian gandum itu dapat menghasilkan buah berlipat ganda. Adalah menjadi tugas si penjaga ladang menghambat pertumbuhan lalang dan menjaga ladangnya. Itulah sebab, gereja reformed sangat ketat menjaga mimbar, setiap pengkhotbah haruslah mempunyai pengertian theologi yang benar dan ia harus diuji terlebih dahulu dengan demikian pertumbuhan lalang dapat dihambat. Perhatikan, menjaga ladang itu bukan hanya tugas seorang pendeta tetapi setiap anak Tuhan dipanggil untuk senantiasa waspada dan tidak menjadi terlelap. Perhatikan yang membawa ajaran sesat ke dalam gereja justru dilakukan oleh para jemaat itu sendiri dan jemaat tidak cukup waspada bahkan jemaat tidak memahami mana yang salah dan mana yang benar. Karena itu, jemaat harus menuntut diri sendiri untuk belajar selain mendapat pengajaran dari mimbar dan para pengajar juga melalui buku-buku yang benar yang ajarannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga ia bertumbuh dalam iman dengan demikian jemaat juga turut serta menjaga supaya ladang ini tidak diacak-acak oleh iblis. Biarlah gereja Tuhan itu hanya menjadi tempat dimana benih yang baik ditaburkan dan bertumbuh dan berbuah lebat dan berlipat ganda.
Kedua, Sepintas memang lalang dan gandum ini sangat mirip namun perhatikan, sesungguhnya si penjaga ladang itu dapat membedakan antara lalang dan gandum. Ia seorang yang ahli yang dapat membedakan antara lalang dan gandum. Berbeda halnya dengan orang awam yang tidak biasa bekerja di ladang akan sukar untuk membedakan antara lalang dan gandum. Demikian pula halnya di dalam gereja, kalau kita tidak peka sukar bagi kita membedakan antara palsu dan asli. Sebagai contoh, apakah karena semua mobil itu beroda empat, mempunyai satu kemudi dan ciri-ciri lain yang sama maka kita langsung menyimpulkan kalau semua mobil itu sama? Sepintas memang kelihatan sama tetapi seorang yang ahli di bidang permobilan langsung dapat membedakan bahkan dapat menyebutkan perbedaan dengan detail berbagai jenis mobil. Ini urusan di dunia materi pertanyaan bagaimana dengan hal Kerajaan Sorga? Hal Kerajaan Sorga adalah hal yang peka karena di situ ada dua unsur yang sangat mirip, yaitu gandum dan lalang dan hanya seorang ahli yang dapat membedakan diantara keduanya.
Kekristenan dipanggil untuk mempunyai ketajaman membedakan yang palsu dan asli. Kekristenan dipanggil untuk menyatakan kebenaran di tengah dunia berdosa. Seorang Kristen yang melihat ketidakadilan atau ketidakbenaran di tengah dunia tetapi ia tidak berani menyatakannya, ia hanya diam tidak peduli maka ia telah berdosa terhadap Tuhan, yakni dosa akan ketidakpedulian, dosa akan ketidakpekaan akan kebenaran. Tuhan ingin kita mempunyai kepekaan sehingga kita dapat membedakan antara lalang dan gandum. Hendaklah kita mengevaluasi diri apakah kita termasuk dalam jenis gandum ataukah lalang? Kalau seseorang itu gandum asli, ia pasti berasal dari benih gandum yang baik - benih firman yang ditaburkan oleh Kristus. Anak Tuhan sejati yang berasal dari benih yang baik akan nampak dari responnya, seberapa jauhkah ia bereaksi terhadap firman, seberapa jauhkah ia hidup dan bertumbuh dalam kebenaran firman? Seorang yang berasal dari benih yang buruk, ia akan menolak firman, ia tidak akan sejalan dengan firman sebaliknya, ia lebih suka dengan segala sesuatu yang palsu.
Alkitab menegaskan barangsiapa mengasihi Kristus, ia memegang perintah-Nya dan melakukannya; barangsiapa percaya pada Kristus maka ia adalah murid-Ku. Seorang murid sejati adalah seorang yang setia pada Firman dan mengerti kebenaran; dan orang yang berada dalam kebenaran maka kebenaran itu akan memerdekakan (Yoh. 8). Kalau seorang mengaku percaya kepada Kristus tetapi ia tidak hidup dalam firman, tidak mencintai firman, tidak setia dengan firman maka pertanyaan sesungguhnya, ia gandum atau lalangkah? Banyak orang yang beranggapan salah bahwa hanya dengan percaya Kristus maka manusia akan diselamatkan dan beroleh hidup kekal. Pernyataan itu tidak berhenti sampai di situ saja tetapi yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah percaya seperti apa? apakah hanya sekedar pernyataan kosong yang tidak ada makna? Ingat, meskipun kita telah menjadi Kristen dan ke gereja selama puluhan tahun namun kalau tidak ada perubahan dalam diri membuktikan kita bukan murid sejati; kita tidak lebih hanya lalang yang hanya memanipulasi firman demi memuaskan keinginan dan jiwa berdosa kita. Tuhan Yesus membukakan kebenaran kenapa orang tidak dapat mengerti firman karena sesungguhnya, mereka tidak lebih adalah anak iblis. Ironisnya dibukakan tentang hal ini tidak menjadikan mereka bertobat sebaliknya mereka melawan Tuhan Yesus bahkan mereka melempari Tuhan Yesus dengan batu dan bermaksud membunuh-Nya.
Adalah tugas setiap Kristen sejati menyatakan kebenaran di tengah dunia berdosa dan menyadarkan manusia akan dosa. Pada jaman Perjanjian Lama, para nabi dengan keras menyatakan mana sejati mana mereka dengan tegas menyatakan akan kesalahan. Hari ini, ketika orang dibukakan akan kebenaran orang tidak berterima kasih dan bertobat tetapi malah menuduh balik bahwa ia telah menghakimi. Perhatikan sikap si tuan pemilik ladang, ketika si penjaga ladang itu memberitahukan kepada tuannya tentang benih lain yang bercampur dengan gandum, si tuan tidak menyalahkan atau menuduh si penjaga ladang telah membuat tuduhan yang salah. Tidak! Perhatikan, ketika si penjaga meminta ijin supaya ia mencabut lalang ini, si tuan tidak mengijinkannya. Inilah yang dimaksud dengan menghakimi; ketika kita dapat memilah antara salah dan benar maka tindakan melakukan vonis bukan hak kita. Orang seringkali lebih ingin bertindak menurut keinginan kita. Si tuan tidak langsung mencabut lalang, disini kita melihat kesabaran anugerah Tuhan sekaligus spirit of the Kingdom. Cara kerja Tuhan berbeda dengan cara dunia.
Di dunia tidak mengenal toleransi, orang langsung menindak menurut caranya sendiri sebaliknya, Tuhan masih berbelas kasih, Tuhan masih panjang sabar memberikan kesempatan pada kita untuk bertobat. Karena itu, jangan sia-siakan anugerah Tuhan. Tuhan punya cara dan waktu tersendiri untuk menentukan vonis. Tuhan tidak membiarkan kita yang melakukan vonis karena alasan yang sangat signifikan, yakni ketika mencabut lalang, kemungkinan gandum ikut tercabut juga. Ketahuilah, Tuhan Yesus tahu kalau ia mempunyai bendahara yang tidak jujur meskipun para murid yang lain tidak tahu dan perlu diingat, bukan Tuhan yang memilih Yudas untuk jadi bendahara; Tuhan memilih dia menjadi murid. Dalam cinta kasih Tuhan, Dia berkali-kali memperingatkan Yudas melalui berbagai pengajaran bahkan di detik terakhir yakni pada perjamuan terakhir, Tuhan Yesus langsung menunjuk: dialah yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya, dia yang menyerahkan Aku namun toh peringatan keras itu tidak menjadikan Yudas bertobat. Yudas masuk dalam kebinasaan kekal.
Hendaklah kita belajar dari sejarah, kalau Tuhan berpanjang sabar pada bangsa Israel maka itu Tuhan masih memberikan kesempatan untuk bertobat namun mereka tidak sadar sampai akhirnya Tuhan murka dan menghukum mereka dalam kebinasaan. Ketika kita melihat cinta kasih Tuhan, seberapa jauhkah hal itu menyadarkan kita untuk bertobat?
Ketiga, Alkitab membukakan sekalipun banyak lalang yang tumbuh, hal itu bukan menjadi halangan gandum untuk bertumbuh. Kerajaan Sorga itu akan tetap bertumbuh namun pada titik terakhir pasti akan datang penghakiman Tuhan. Jangan pernah berpikir akan ada pengecualian buat anak Tuhan. Tidak! Tuhan menuntut kita untuk berbuah, tidak ada alasan yang membuat kita tidak berbuah. Banyak orang Kristen yang berdalih segala macam alasan karena ia tidak mau berbuah. Jangan pernah berpikir karena Tuhan cinta dan penuh anugerah maka lalang dapat masuk ke dalam lumbung Tuhan. Tidak! Ingat, lalang akan dibakar, pohon yang tidak menghasilkan buah harus dipotong. Allah sejati tidak berkompromi dengan dosa. Allah telah memilih dan menetapkan kita supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap.
Warga Kerajaan Sorga sejati adalah orang yang menghasilkan buah dan orang seperti inilah yang akan menjadikan Kerajaan Sorga ini besar seperti sebuah pohon sehingga burung dapat bernaung dalamnya. Orang yang mengaku Kristen tetapi ia tidak pernah berbuah, ia hanya menanti kebajikan dan belas kasihan Tuhan tanpa pernah berbuat apa-apa maka ia bukanlah anak Tuhan sejati; ia tidak lebih hanya lalang yang harus dibakar. Tidak ada kemungkinan lain selain dibuang. Alkitab berulang kali menegaskan kalau garam itu menjadi tawar maka ia akan diinjak dan dibuang; pohon anggur yang tidak berbuah harus dipotong, dibuang dan dibakar. Hal ini seharusnya menyadarkan manusia bahwa Kedaulatan Allah tidak dapat dipermainkan. Biarlah kita mengevaluasi diri sudahkah kita menghasilkan buah? Adalah tugas dan tanggung jawab setiap anak Tuhan untuk membesarkan seluruh pekerjaan Tuhan. Inilah inti dari perumpamaan lalang dan gandum yang Tuhan mau coba gambarkan melalui perumpamaan Kerajaan Sorga.
Dunia semakin hari semakin menuju pada kehancuran biarlah kita dipakai Tuhan dan berani menyatakan kesalahan dan membawa mereka pada kebenaran sejati. Tuhan panggil kita menjadi alat-Nya yang menerangi dunia yang gelap dan menjadi garam yang mengasinkan dunia yang hambar dengan demikian kita dapat menghasilkan buah dan buah kita lebat. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

18 February 2009

SEKOLAH THEOLOGI AWAM REFORMED (STAR) di Surabaya

SEKOLAH THEOLOGI AWAM REFORMED (STAR)



Latar Belakang Pendirian
Dalam gereja-gereja sekarang ini ada dua fenomena ekstrim:
(1) jemaat awam kurang terlibat secara signifikan dalam pelayanan;
(2) jemaat awam sangat aktif dalam pelayanan yang krusial tetapi kurang dibekali dengan pengetahuan firman Tuhan yang memadai.
Kondisi ini sangat berbeda dengan situasi pada masa reformasi gereja abad ke-16. Salah satu aspek penting yang didengungkan para reformator dan telah memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan gerakan reformasi gereja adalah keterlibatan semua orang percaya dalam penyelidikan Alkitab dan pelayanan. Tuhan memang memakai kaum intelektual, tetapi Dia tidak pernah mengabaikan orang-orang awam.

Situasi modern dan catatan historis inilah yang telah menginspirasi dan memotivasi pendirian STAR. Dengan anugerah Tuhan Yesus Kristus, kami berkomitmen untuk menghidupkan kembali slogan “Sola Scriptura” (Hanya Kitab Suci Saja), mendorong jemaat awam untuk menikmati keindahan firman Tuhan yang mendalam, melakukan dan mengajarkan kebenaran itu. Kami percaya bahwa jika setiap jemaat awam dibekali dengan pengetahuan firman Tuhan yang mendalam dan didorong untuk memberitakan kebenaran, maka Kerajaan Allah di bumi akan diperluas secara efektif dan efisien.

STAR bersifat interdenominasi. Artinya, STAR dikelola oleh pengurus dan didukung oleh dewan penyantun yang berasal dari berbagai gereja. STAR juga menerima mahasiswa dari berbagai aliran gereja dan theologi. Di samping itu, setiap mahasiswa diharapkan dapat kembali dan memberikan kontribusi bagi gereja masing-masing.




Visi
To Put “The Priesthood of All Believers” Back on Its Proper Place (Meletakkan kembali “Keimaman Seluruh Orang Percaya” pada tempat yang semestinya)




Misi
1. Melengkapi jemaat awam dengan penyelidikan Alkitab yang mendalam dan berguna bagi pertumbuhan rohani dan pelayanan.
2. Memperlengkapi jemaat sebagai penyampai firman Tuhan di kebaktian, persekutuan maupun kelompok kecil yang setia terhadap teks Alkitab dan memahami konteks modern.
3. Mendidik jemaat awam menjadi mobilisator misi di gereja masing-masing.




Motto
PASSION FOR TRUTH, LIVING FOR IT (Berhasrat untuk kebenaran dan hidup untuk kebenaran itu)




Pengakuan Iman
STAR memegang teguh sistem theologi yang diajarkan dalam Pengakuan Iman Westminster, Katekismus Besar dan Kecil Westminster, Katekismus Heidelberg, Kanon Dort, Pengakuan Iman Helvetic Kedua dan Pengakuan Iman Belgia. Berkaitan dengan Alkitab, STAR menerima semua poin dalam Pernyataan Chicago Tentang Ketidakbersalahan Alkitab.




Keunikan STAR
Kami sangat bersyukur karena Tuhan telah memakai berbagai sekolah theologi awam lain dengan kekhususan mereka masing-masing. Kami hanya ingin melakukan apa yang selama ini masih belum dikerjakan secara optimal, yaitu STUDI BIBLIKA dan MISI. Bidang studi lain (doktrin, praktika, sejarah gereja, apologetika, etika) hanya akan ditawarkan sebagai matakuliah pilihan (tidak wajib). Sebagai tambahan, STAR sangat menghargai dan menekankan pentingnya pertumbuhan rohani, karena itu selama menempuh studi di STAR setiap mahasiswa wajib mengikuti kelas Spiritual Formation sebanyak 6 kali, walaupun kelas ini bersifat non-SKS.




Kurikulum
Pendidikan di STAR dibagi menjadi 3 (tiga) tahap. Mahasiswa yang telah menyelesaikan masing-masing tahap akan diberi sertifikat. Jumlah total SKS yang harus diambil untuk menyelesaikan seluruh perkuliahan adalah 108 SKS.

Tahap I (48 SKS)
Hermeneutika (6 SKS)
Pengantar Perjanjian Lama (6 SKS)
Pengantar Perjanjian Baru (6 SKS)
Eksposisi Kitab Kejadian (6 SKS)
Eksposisi Injil Yohanes (6 SKS)
Theologi Misi (2 SKS)
Sejarah Misi dalam Tradisi Reformed (2 SKS)
Pekabaran Injil Pribadi (2 SKS)
Bibliologi (2 SKS)
TULIP (2 SKS)
Bahasa Ibrani: Pengantar & Penggunaan Tools (2 SKS)
Bahasa Yunani: Pengantar & Penggunaan Tools (2 SKS)
Matakuliah Pilihan (4 SKS)
Spiritual Formation 1 & 2 (non-SKS)

Tahap II (36 SKS)
Eksposisi Kitab Mazmur (4 SKS)
Eksposisi Kitab Pengkhotbah (2 SKS)
Eksposisi Kitab Yesaya (6 SKS)
Eksposisi Surat Roma (6 SKS)
Eksposisi Surat 1 Korintus (6 SKS)
Pemuridan (2 SKS)
Misi Lintas Budaya (2 SKS)
Misi dan Gereja Lokal (2 SKS)
Tokoh-tokoh Penting dalam Dunia Misi (2 SKS)
Matakuliah Pilihan (4 SKS)
Spiritual Formation 3 & 4 (non-SKS)

Tahap III (24 SKS)
Eksposisi Kitab Habakuk (2 SKS)
Eksposisi Kitab Maleakhi (2 SKS)
Eksposisi Kitab Wahyu (6 SKS)
Homiletika (6 SKS)
Isu Kontemporer dalam Dunia Misi (2 SKS)
Perbandingan Agama (4 SKS)
Matakuliah Pilihan (2 SKS)
Spiritual Formation 5 & 6 (non-SKS)


Matakuliah pilihan: (mahasiswa wajib memilih 10 SKS)
Pengantar Apologetika (2 SKS)
Apologia Terhadap Isu-isu Kontemporer (2 SKS)
Studi Masa Intertestamental (2 SKS)
Sejarah Gereja Umum (2 SKS)
Alkitab dan Ilmu Pengetahuan (2 SKS)
Mission Trip (misi singkat di pedesaan/pedalaman, 2 SKS)
Doktrin Tritunggal (2 SKS)
Bidat (4 SKS)
Dogmatika (8 SKS)




Dosen Pengajar:
Ø Abigael Susanna, D.Th.
Ø Andhika Gunawan, B.Sc., M.A.
Ø Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.
Ø Pdt. Cornelius Kuswanto, D.Th.
Ø Ev. Harry Limanto, M.Div.
Ø Pdt. Kornelius A. Setiawan, D.Th.
Ø Nike Pamela, M.A.
Ø Pdt. Sia Kok Sin, D.Th.
Ø Pdt. Stevri Indra Lumintang, D.Min., D.Th.
Ø Toni Budi Santoso, S.Th.
Ø Veronica Elbers, Ph.D.
Ø Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.
Ø Yusak Pramudya, S.Th.





Persyaratan, Prosedur Pendaftaran & Biaya Studi
Persyaratan
· Pendidikan minimum SMP/sederajat
(bagi yang tidak memiliki ijazah SMU harap menghubungi Yusak Pramudya (031-7107-3600) atau Ev. Yakub Tri Handoko (031-7095-0100)
· Percaya kepada Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat
· Usia minimum 17 tahun

Prosedur Pendaftaran
· Mengisi formulir pendaftaran (formulir dapat diambil di sekretariat STAR Jalan Nginden Intan Timur 2/5 Surabaya atau download di http://www.gkri-exodus.org/content.php?idc=43)
· Menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan (daftar berkas yang diperlukan sudah tertera pada formulir pendaftaran)
· Mengirimkan formulir pendaftaran dan semua berkas yang ada ke sekretariat STAR paling lambat akhir bulan Januari atau akhir Juli.
· Mengikuti ujian tertulis Pengetahuan Alkitab dan Doktrin Dasar Kristiani (ujian ini bukan penentu diterima/tidaknya mahasiswa, tetapi dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman mahasiswa terhadap Alkitab dan Kekristenan, sehingga STAR dapat mengarahkan pemilihan matakuliah dari mahasiswa yang bersangkutan)




Biaya Studi
Setiap mahasiswa dipersilahkan untuk memberikan persembahan per bulan atau per semester sesuai dengan kerinduan dan kemampuan masing-masing.




Sekretariat:
Jln. Nginden Intan Timur II/5, Surabaya
Telp.: (031) 5998458
E-mail: star_exodus@yahoo.com




Contact Persons:
Lusiana (0811-336-077)
Slamet (031-5998458 / 031-7107-2600)
Budi S. G. (0811-379-959 / 031-7061-4568)




Jadwal Kuliah 24 Februari – 16 Juni 2009

Pengantar Perjanjian Baru (2 SKS)
Dosen: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.
Kamis, Pkl. 18.00-19.30 WIB

Kelas ini memberikan penjelasan umum tentang latar belakang historis, kultural, dan religius yang diperlukan untuk memahami kitab-kitab PB (penjelasan detil akan diberikan dalam mata kuliah Studi Masa Intertestamental). Proses penulisan, transmisi, dan kanonisasi PB juga akan dibahas dalam kelas ini. Setelah semua pengantar umum ini, PPB 1 selanjutnya membahas Injil Matius-Efesus secara khusus. Pembahasan akan difokuskan pada identitas penulis, penerima, tahun dan tempat penulisan, tujuan penulisan, karakteristik kitab, theologi/tema yang ditekankan, struktur kitab, dan isu terbaru tentang suatu kitab.


Pengantar Perjanjian Lama 1 (2 SKS)
Dosen:
Nike Pamela, M.A. dan Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.
Selasa, Pkl. 19.30-21.00 WIB

Hampir sama dengan PPB 1, kelas ini memberikan gambaran umum tentang dunia kuno pada masa PL. Sejarah umum bangsa Yahudi mulai dari Abraham sampai pasca pembuangan juga menjadi porsi dari kelas ini. Tidak lupa, kelas ini juga membahas kanonisasi PL. Pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada pengantar setiap kitab, mulai Kejadian-2 Raja-raja. Pembahasan akan difokuskan pada identitas penulis, penerima, tahun dan tempat penulisan, tujuan penulisan, karakteristik kitab, theologi/tema yang ditekankan, struktur kitab, dan isu terbaru tentang suatu kitab.


Bahasa Ibrani: Pengantar dan Penggunaan Tools (2 SKS)
Dosen: Abigael Susana, D.Th.
Selasa, Pkl. 18.00-19.30 WIB

Dalam kelas ini mahasiswa tidak dituntut untuk menghafal tata bahasa Ibrani. Sebaliknya, mereka akan diperlengkapi dengan berbagai prinsip penting seputar Bahasa Ibrani yang berguna pada saat mereka menggunakan tools. Jadi, mereka lebih dituntut untuk memahami daripada menghafal. Fokus pembahasan dalam kelas ini terletak pada cara membaca, urutan abjad, transliterasi, dan pemahaman dasar tentang sintaks bahasa Ibrani. Bagian terakhir dari kelas ini merupakan praktik langsung bagaimana memanfaatkan berbagai tools yang ada.


Bibliologi (2 SKS)*
Dosen: Yusak Pramudya, S.Th.
Kamis, Pkl. 19.30-21.00 WIB

Kelas ini akan membahas tentang inspirasi, iluminasi, kanonisasi (secara theologis), karakteristik, keunikan, inerrancy and infallibility, penjelasan umum tentang proses penulisan sampai terjemahan modern. Pada bagian akhir kelas akan dipaparkan berbagai sanggahan modern terhadap Alkitab dan bagaimana kita memberikan jawaban terhadap semua tantangan tersebut.

* bagi yang sudah mengambil mata kuliah ini di sekolah theologi atau sekolah tinggi theologi dapat langsung mengambil ujian di awal semester. Jika lulus dengan hasil memuaskan, maka mahasiswa tidak perlu mengambil lagi mata kuliah ini.




PENGUMUMAN

PENDAFTARAN
Terakhir pada hari Rabu, tanggal 18 Februari 2009.

PRETEST
1. Doktrin
Dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 19 Februari 2009, pukul 19.00, di Sekretariat STAR Jl. Nginden Intan Timur 2/5 Surabaya.
Catatan: Tes ini bukan untuk menentukan diterima atau tidaknya mahasiswa, tetapi bertujuan untuk bahan/bekal mengarahkan mahasiswa pada pengambilan Mata Kuliah Pilihan.

KEBAKTIAN PEMBUKAAN
Kebaktian Pembukaan akan dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 22 Pebruari 2009, Pkl. 17.00 di Jln. Nginden Intan Timur 2/5 Surabaya.

Informasi lebih lanjut, hubungi 031-709-50100 atau 081-5505-5985.




Profil para dosen:
Andhika Gunawan, B.Sc., M.A. menempuh studi Bachelor of Science (B.Sc.) dalam bidang Computer Science di Oregon State University, U.S.A. dan Master of Arts (M.A.) di International Theological Seminary, U.S.A.

Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian Universitas “Kristen” Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang.

Pdt. Cornelius Kuswanto, D.Th. adalah dosen Perjanjian Lama di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi M.Div. di Reformed Theological Seminary, U.S.A.; Master of Theology (Th.M./M.Th.) di Calvin Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Theology (D.Th.) dari South East Asia Graduate School of Theology—SEAGST, Filipina dalam bidang Perjanjian Lama.

Ev. Harry Limanto, M.Div. adalah salah satu staf Persekutuan Antar Universitas (PERKANTAS) di Surabaya. Beliau menyelesaikan studi M.Div. di Sekolah Tinggi Theologi Institut Injil Indonesia (STT I-3), Batu, Malang.

Pdt. Kornelius A. Setiawan, D.Th. adalah Rektor dan dosen Perjanjian Baru di Institut Theologi Aletheia (ITA) Lawang. Beliau menyelesaikan studi Diploma of Theology (Dipl.Th.) dan Bachelor of Theology (B.Th.) di ITA Lawang; studi lanjut di International Theological Seminary, U.S.A.; M.Th. di Calvin Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Theology (D.Th.) di South East Asia Graduate School of Theology­­–Trinity Theological College (SEAGST–TTC) Singapore.

Pdt. Stevri Indra Lumintang, D.Min., D.Th. adalah Rektor Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) dan M.Div. di Sekolah Tinggi Theologi Institut Injil Indonesia (STT I-3), Batu, Malang; M.Th. dan Doctor of Ministry (D.Min.) di International Theological Seminary, U.S.A.; dan D.Th. in mission di Consortium for Graduate Program in Christian Studies (CCS).

Toni Budi Santoso, S.Th. menyelesaikan studi S.Th. di Sekolah Tinggi Theologi Injili Abdi Allah (STT-IAA) Pacet.

Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.

15 February 2009

Resensi Buku-67: KESUKAAN ALLAH (Rev. John Stephen Piper, D.Theol.)

...Dapatkan segera...
Buku
KESUKAAN ALLAH

oleh: Rev. John Stephen Piper, D.Theol.

Penerbit: Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2008

Penerjemah: Grace Purnamasari





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Zaman Postmodern adalah zaman di mana banyak orang pragmatis dalam hidup mereka. Pragmatis itu ditandai dengan kegemaran mereka melakukan apa yang mereka suka. Bagaimana dengan orang Kristen dewasa ini? Beberapa (atau banyak) orang Kristen mirip dengan orang postmodern yang lebih suka/gemar melakukan apa yang mereka suka, bahkan ada yang menambahkan bahwa apa yang mereka suka itu “baik.” Kalau mau ditelusuri, konsep “baik” menurut mereka adalah konsep “baik” menurut konsep manusia berdosa, bukan konsep Alkitab yang mengajarkan kebenaran. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh orang Kristen sejati? Sudah saatnya, anak-anak Tuhan TIDAK lagi menuruti apa yang dunia tawarkan dan ajarkan kepada kita, tetapi BERTOBAT! Pertobatan itu ditandai dengan mengubah hati dan pola pikir kita tentang apa yang disebut dengan kesukaan itu ditinjau dari sudut pandang kedaulatan Allah, lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kesukaan siapa yang harus menjadi kesukaan orang Kristen sejati? Kesukaan diri? Kesukaan orangtua? Kesukaan pacar? TIDAK! Yang terpenting: KESUKAAN ALLAH! Itulah inti dari buku Rev. Dr. John S. Piper ini. Kesukaan Allah berarti di dalam segala sesuatu yang Ia kerjakan, Ia gemar/suka melakukannya, bukan terpaksa. Setelah itu, kesukaan Allah ini mengakibatkan kita pun sebagai umat pilihan-Nya juga bersukacita di dalam kesukaan Allah. Mengapa sering kali kita tidak bersukacita di dalam kesukaan Allah? Karena kita masih memikirkan apa yang kita sukai terlepas dari apa yang Allah sukai. Sudah saatnya, orang Kristen sejati bertobat, utamakan kesukaan Allah dan bersukalah di dalam kesukaan-Nya itu, maka kita akan menemukan sukacita hidup sejati yang berbeda dari yang dunia tawarkan. Biarlah buku ini menjadi berkat bagi kita.




Pujian terhadap buku ini:
“Saya mendorong Anda untuk membaca Kesukaan Allah dua kali; sekali untuk melihat gambarannya secara menyeluruh, sekali lagi untuk sungguh-sungguh menikmati kesukaan yang amat besar karena mengasihi Allah yang begitu mempesona, begitu istimewa, begitu kudus.”
Rev. Erwin W. Lutzer, Ph.D., LL.D. (HC), D.D. (HC)
(Pendeta senior di The Moody Church, Chicago, U.S.A.; Bachelor of Theology—B.Th. dari Winnipeg Bible College; Master of Theology—Th.M. dari Dallas Theological Seminary, Dallas, Texas, U.S.A.; M.A. dalam bidang Filsafat dari Loyola University Chicago; Ph.D. di Loyola; menerima gelar kehormatan: Doctor of Laws—LL.D. dari Simon Greenleaf School of Law dan Doctor of Divinity—D.D. dari Western Conservative Baptist Seminary)

“Tidak banyak buku yang sungguh-sungguh mengubah kehidupan. Kesukaan Allah dari John Piper jelas merupakan salah satunya. Saya sering mengatakan, ‘Seandainya saya berada di sebuah pulau yang terpencil dan hanya bisa membaca tiga buku, selain Alkitab, saya akan memilih Mendambakan Allah (Desiring God) dan Kesukaan Allah dari John Piper.’”
Rev. Sam Storms, Ph.D.
(Associate Pastor di Metro Christian Fellowship, Grace Training Center, Kansas City, Missouri dan Pendiri Enjoying God Ministries; Th.M. dalam bidang Theologi Historika dari Dallas Theological Seminary dan Ph.D. dalam bidang Sejarah Intelektual dari University of Texas, Dallas)

“Setahu saya, tidak ada penulis kontemporer yang memahami dan mengartikulasikan kedalaman-kedalaman karakter Allah yang agung seperti John Piper. Buku yang istimewa ini tidak hanya akan membangkitkan kerinduan Anda kepada Allah, buku ini juga akan menolong Anda menaati perintah pemazmur: ‘Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya TUHAN itu!’ (Mzm. 34:8) John telah mengecap dan di sini membagikan kecintaannya kepada supremasi Allah dalam segala sesuatu.
Ini adalah jenis theologi yang terbaik dan terdalam, yang meluap dari hati orang yang telah belajar untuk mengasihi Allah dengan menikmati Dia secara mendalam.”
(alm.) Rev. James Montgomery Boice, D.Theol., D.D. (HC)
(Pendeta Senior di Tenth Presbyterian Church, Philadelphia, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dari Harvard University; Bachelor of Divinity—B.D. dari Princeton Theological Seminary; Doctor of Theology—D.Theol. dari the University of Basel, Switzerland; dan Doctor of Divinity—D.D. {honorary} dari the Theological Seminary of the Reformed Episcopal Church).

“Generasi ‘Aku’ telah secara tragis mendorong gereja untuk beralih ke dalam. Hasil-hasilnya bersifat menghancurkan! John Piper menyampaikan kabar baik yang sangat penting untuk kita, yang saya doakan akan memunculkan suatu reformasi yang diperlukan dalam pemahaman dan ibadah kita kepada Allah.”
Rev. John H. Armstrong, D.Min.
(President Advancing the Christian Tradition in the 3rd Millennium {http://johnharmstrong.typepad.com/}; B.A. dalam bidang Sejarah dan M.A. dalam bidang Theologi dan Misi dari Wheaton College; studi di Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois, dan Northern Baptist Seminary, Lombard, Illinois; dan Doctor of Ministry—D.Min. dari Luther Rice Seminary, Atlanta, Georgia)

“Buku-buku memiliki potensi yang mendalam—khususnya buku yang sedang Anda pegang. John Piper sungguh-sungguh dipenuhi oleh Allah, dan hasratnya memenuhi halaman-halaman buku ini.”
Charles Joseph (C. J.) Mahaney
(President Sovereign Grace Ministries {http://www.sovereigngraceministries.org}—dulu bernama: People of Destiny International atau PDI)

“Kesukaan Allah adalah salah satu dari sepuluh buku favorit saya!”
Doug Nichols
(Mantan Pendiri dan Direktur International dari Action International Ministries; studi di Prairie Bible Institute, Alberta, Canada dalam bidang Biblical Studies in Missions—http://www.dougnichols.org)

“Sebuah sajian yang kaya bagi orang percaya yang serius untuk belajar.”
Rev. John F. MacArthur, Litt.D., D.D.
(Pendeta dan Guru di Grace Community Church, Sun Valley, California serta Presiden dari The Master’s College and Seminary; B.A. dari Los Angeles Pacific College; Master of Divinity—M.Div. dari Talbot Theological Seminary; Doctor of Letters—Litt.D. dari Grace Graduate School; dan D.D. dari Talbot Theological Seminary)

“Berlarilah, bukannya berjalan, untuk membeli buku yang mengagumkan ini.”
Joni Eareckson Tada dan Steven Estes
(Penulis buku “When God Weeps”)


“Buku ini sebuah karya yang unik dan berharga yang patut dibaca oleh setiap orang lebih dari sekali.”
Prof. J. I. Packer, D.Phil.
(Emerius Professor of Theology di Regent College, Canada; Master of Arts—M.A. dan Doctor of Philosophy—D.Phil. dari University of Oxford, U.K.)





Profil Rev. Dr. John S. Piper:
Rev. John Stephen Piper, D.Theol. adalah Pendeta Senior di Bethlehem Baptist Church dan seorang penulis yang sangat produktif dari perpektif Calvinis. Beliau menyelesaikan gelar Bachelor of Divinity (B.D.) di Fuller Theological Seminary di Pasadena, California pada tahun 1968-1971. John melakukan studi doktoralnya (D.Theol.) di dalam bidang Perjanjian Baru di University of Munich, Munich, Jerman Barat pada tahun 1971-1974). Disertasinya, Love Your Enemies, diterbitkan oleh Cambridge University Press dan Baker Book House.

Roma 13:8-9: UTANG KASIH-1: Maknanya

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-11


Utang Kasih-1: Maknanya

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 13:8-9.



Di ayat 7, Paulus mengatakan bahwa kita harus menghormati mereka yang patut dihormati. Seolah-olah di ayat 7, kita mendapatkan gambaran bahwa kita menghormati sebagai utang kita, tetapi bukan demikian maksud Paulus. Di ayat berikutnya, ia menjelaskan konsep ini, yaitu di ayat 8, “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.” Di dalam menghormati, Paulus mengatakan bahwa itu bukan utang kita. Kita tidak berutang apa-apa kepada siapa pun juga. Kata “berutang” di ayat ini menggunakan bentuk jamak, sekarang (present), aktif, dan imperatif. Dengan kata lain, artinya kita tidak boleh secara aktif berutang kepada siapa pun. Orang Kristen yang masih berutang uang kepada orang lain, berhati-hatilah. Belajarlah untuk tidak berutang kepada siapa pun. Belajarlah untuk menghemat dan memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu. Kita memang tidak berutang apa pun kepada siapa pun, tetapi Paulus mengatakan bahwa kita hanya boleh berutang satu hal, apa itu? Paulus mengatakan bahwa kita hanya boleh berutang kasih. Di dalam terjemahan Indonesia dan beberapa terjemahan Inggris, ayat ini kurang jelas. Tetapi di dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dan New International Version (NIV), ayat ini begitu jelas. Mari kita perhatikan. BIS menerjemahkan, “Janganlah berutang apa pun kepada siapa juga, kecuali berutang kasih terhadap satu sama lain.” NIV menerjemahkan, “Let no debt remain outstanding, except the continuing debt to love one another, ...” (=..., kecuali utang yang terus-menerus untuk mengasihi satu sama lain) NIV lebih jelas lagi menerjemahkan yaitu utang kasih itu berlangsung terus-menerus (continuing debt to love). Di sini, Paulus menekankan bahwa utang yang paling penting yang harus kita genapkan adalah utang kasih dan utang ini berlaku terus-menerus. Dari kalimat pertama di ayat ini, kita bisa belajar beberapa prinsip mengenai utang kasih:
Pertama, kasih itu utang. Luar biasa pengajaran Paulus ini. Kita sering kali merasa orang lain berutang kalau orang lain tidak berbuat baik kepada kita. Untuk itu, kita biasanya suka mengingatkan jasa baik kita kepada orang lain yang tidak tahu berterima kasih kepada kita (atau bahkan acuh tak acuh). Atau kita merasa berutang budi jika kita tidak membalas kebaikan orang lain. Alhasil, anak kita yang dikorbankan (dijadikan “tumbal”) untuk dinikahkan dengan anak orang lain yang kepadanya kita berutang. Di sini, Paulus membalik semua konsep dunia dengan mengajar bahwa untuk hal tersebut, kita tidak perlu merasa berutang atau orang lain merasa berutang kepada kita. Yang dipentingkan adalah bagaimana kita berutang kasih. Utang kasih berarti kita memiliki suatu perasaan berutang jika kita tidak memberikan kasih kita kepada orang lain. Apakah balas budi termasuk cara memberikan kasih kepada orang lain? Tidak. Balas budi hanya tindakan/reaksi kasih, bukan kasih itu sendiri, karena balas budi tidak dimotivasi dan didorong oleh kasih yang murni. Tidak jarang, tindakan balas budi mengorbankan anak sendiri untuk dinikahkan dengan orang yang kepadanya kita berutang. Itu bukan kasih! Kasih TIDAK pernah mengorbankan orang lain, tetapi kasih justru mengorbankan diri sendiri bagi orang lain! Ini kegagalan paradigma dunia berdosa yang merasa diri “pintar.” Jika balas budi tidak termasuk kasih, bagaimana kita bisa memberikan kasih kepada orang lain? Alkitab mengajar bahwa kasih itu berasal dari Allah yang adalah Kasih. Salah satu bukti Allah adalah Kasih adalah Tuhan Yesus Kristus diutus untuk menebus dosa manusia. Sehingga orang Kristen sejati bisa memberikan kasih kepada orang lain setelah ia mengalami penebusan Kristus di dalam hati dan hidupnya. Orang yang tidak mengalami penebusan Kristus mustahil bisa mewujudnyatakan kasih sejati kepada orang lain. Di sini, berarti kita baru bisa memberikan kasih kepada orang lain ketika hal itu keluar dari hati kita yang terdalam. Memberikan kasih bukan sekadar tindakan luar (fenomena), tetapi lebih ke arah hati dan motivasi (esensi). Ketika kita mengasihi dengan kasih yang keluar dari hati kita yang takut akan Tuhan dan mengalami kuasa penebusan Kristus, maka kasih itu akan menjadi kasih yang mengubah orang lain. Kasih yang mengubahkan itulah kasih yang sulit dijumpai di dunia ini. Dunia menawarkan konsep kasih yang kompromi, bebas, dll, tetapi tanpa kebenaran yang mengubah. Hanya Kekristenan yang berdasarkan Alkitab mengajarkan kasih yang disertai kebenaran, keadilan, dan kesucian Allah yang mampu mentransformasi orang lain bahkan dunia. Itulah utang kasih sesungguhnya. Kita berutang mengasihi orang lain dengan mengubah orang lain ke arah yang benar. Paulus sudah mempraktikkan hal tersebut. Ia rela pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk memberitakan Injil sebagai penggenapan utang kasihnya kepada orang-orang yang terhilang. Para rasul Kristus lainnya juga melakukan hal yang sama. Bagaimana dengan kita? Rindukah kita melihat orang lain yang dahulu hidup berdosa, lalu bertobat dan menerima Kristus. Rindukah kita melihat orang lain yang dulu beriman sembarangan, tetapi sekarang menjadi beriman sungguh-sungguh kepada dan di dalam Kristus. Rindukah kita melihat perubahan motivasi/hati, pola pikir, sikap, dll dari seseorang ke arah yang benar? Kerinduan kita itulah yang sebenarnya utang yang harus kita jalankan. Biarlah kita bukan hanya rindu, tetapi memiliki semangat untuk menggenapkan utang kita dan ingatlah, kasih itu utang.

Kedua, utang kasih itu bersifat melengkapi (saling mengasihi). Poin kedua yang kita pelajari adalah utang kasih itu bukan bersifat searah, tetapi dua arah. Artinya, utang kasih itu bersifat melengkapi. Kita berutang mengasihi orang lain dengan memberitakan Injil kepadanya. Begitu juga orang yang kita injili yang sudah bertobat pun memiliki utang kasih, misalnya menegur kita yang melakukan kesalahan/dosa (padahal kita dulunya menginjili dia). Di dalam persekutuan tubuh Kristus, kasih ini juga bisa diwujudnyatakan. Bagaimana seorang jemaat mengasihi jemaat lain dengan memerhatikan mereka. Begitu juga jemaat lain memerhatikan seorang jemaat ini. Sehingga di antara jemaat Tuhan terjadi persekutuan yang intim dan hangat. Apa ini berarti kita berutang budi kepada orang lain? Tidak. Bedanya, utang budi versi dunia sering kali bisa mengorbankan orang lain (anak sendiri) untuk melunasi kebaikan orang lain. Tetapi Kekristenan tidak pernah mengajar hal itu. Kekristenan mengajar bahwa kita bisa “membalas” kebaikan orang lain dengan memberikan kasih yang keluar dari kita. Ketika kita “membalas” kasih orang lain tetapi tidak dengan kasih yang tulus, hendaklah kita tidak melakukan hal tersebut. Sebelum kita “membalas” kasih orang lain, ujilah motivasi hati kita, benarkah kita mengasihi kembali orang itu dengan kasih yang tulus atau dengan motivasi dan tujuan hanya ingin balas budi? Tuhan tidak menginginkan kita balas budi, tetapi Tuhan menginginkan kita mengasihi dengan kasih yang tulus, seperti yang Kristus lakukan bagi umat-Nya ketika Ia menebus dosa umat-Nya tanpa minta balas jasa. Kalau pun kita bisa berbuat baik dan mengasihi Kristus saat ini, itu pun kita lakukan sebagai ucapan syukur kita yang telah diselamatkan, bukan balas budi. Perbuatan baik kita kepada Allah tidak cukup syarat bagi kita untuk ditebus (tidak bisa dipersamakan dengan penebusan Kristus yang termulia). Oleh karena itu, perbuatan baik kita bisa dikatakan “utang kasih” umat-Nya kepada Allah. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita saling mengasihi antar umat Tuhan? Dengan motivasi apa kita mengasihi mereka? Utang budi kah? Atau sungguh-sungguh keluar dari hati kita yang terdalam yang mengasihi-Nya?

Ketiga, utang kasih itu terus-menerus. Poin terakhir yang bisa kita pelajari adalah utang kasih itu bersifat terus-menerus. Berarti ada proses di dalam utang kasih. Kita tidak mungkin bisa memiliki utang kasih hanya pada saat-saat tertentu dan setelah itu, kita tidak lagi berutang kasih. Tidak. Alkitab mengatakan bahwa kita terus-menerus berutang kasih. Ketika kita memiliki kerinduan kita mengabarkan Injil sebagai penggenapan utang kasih kita, biarlah itu bukan menjadi kerinduan yang dibakar oleh semangat subjektivitas pribadi, tetapi murni karena desakan dan dorongan Roh Kudus. Inilah yang membedakan (penggenapan) utang kasih sejati dengan utang kasih palsu. Mungkin ada orang Kristen yang juga memiliki utang kasih, tetapi jika utang kasih itu dilakukan pada saat tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa utang kasih itu palsu, karena utang kasih itu tidak terus-menerus atau hanya sesaat (mungkin sekali hanya subjektivitas yang emosional). Utang kasih sejati adalah utang kasih yang terus-menerus. Di dalam proses terus-menerus itu, Roh Kudus tetap membakar umat-Nya untuk memiliki utang kasih yang harus dijalankan. Jadi, di sini, saya mengaitkan karya Roh Kudus di dalam proses menggenapkan utang kasih. Bagaimana dengan kita? Sudah siapkah kita dibakar oleh api Roh Kudus untuk menggenapkan utang kasih kita?

Pada kalimat kedua di ayat ini, Paulus mengatakan bahwa ketika kita mengasihi, kita sudah memenuhi hukum (Taurat). Mengapa? Karena kasih adalah kegenapan atau inti hukum Taurat (bdk. Mat. 22:37-40; Gal. 5:14). Allah memberikan hukum Taurat kepada umat-Nya, Israel (dan tentu juga tetap berlaku bagi kita) bukan untuk memberatkan, tetapi justru sebagai wujud kasih-Nya agar umat-Nya tidak berbuat dosa. Allah menginginkan agar hukum-Nya ini menjadi pedoman bagi umat-Nya untuk mengasihi sesama manusia. Begitu juga dengan kita di saat ini. Allah mewahyukan Alkitab PL dan PB sebagai bahan penuntun iman dan perilaku kita di dalam dunia. Ia ingin agar kita yang telah dikasihi-Nya mewujudnyatakan kasih itu dengan mengasihi orang lain baik itu memberitakan Injil Kristus atau pun memberikan bantuan yang secukupnya kepada mereka yang berkekurangan. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi orang lain?


Untuk menjelaskan lebih tajam lagi mengenai kasih sebagai kegenapan hukum Taurat, di ayat 9, Paulus mengatakan, “Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” Sebagai wujud kita mengasihi orang lain, Paulus mengutip hukum keenam s/d kesepuluh dari Taurat. Dan uniknya, di dalam urutan di ayat 9, Paulus membalik hukum keenam dan ketujuh. Di dalam hukum keenam tercatat, “Jangan membunuh.” (Kel. 20:13) dan di hukum ketujuh tercatat, “Jangan berzinah.” (Kel. 20:14) Di ayat ini, Paulus membalik urutannya menjadi: “Jangan berzinah” baru “jangan membunuh.” Keunikan kedua di ayat ini adalah tidak disebutkannya hukum kesembilan yaitu jangan bersaksi dusta (Kel. 20:16) dan hukum 5 tentang menghormati ayah dan ibu (Kel. 20:12). Tidak disebutkan kedua hukum ini di dalam loh batu kedua yang diterima Musa ini dirangkumkan oleh Paulus di dalam ayat ini dengan pernyataan, “dan firman lain manapun juga,” Jadi, keunikan kedua sudah terselesaikan. Bagaimana dengan keunikan pertama? Mengapa Paulus membalik urutannya? Pembalikan urutan ini memang tidak terlalu signifikan, tetapi kita akan mencoba mengkaji alasannya. Ingatlah, surat ini dituliskan kepada jemaat di Roma di mana di Roma dipenuhi oleh penduduk yang moralitasnya tidak karuan: berzinah, dll. Oleh karena itu, Paulus meletakkan perintah “Jangan berzinah” di poin pertama sebagai wujud kita mengasihi orang lain. Konsep Paulus ini mendobrak dan membalikkan semua konsep orang Roma pada waktu itu, di mana menurut orang Roma, tanda seseorang mengasihi orang lain (misalnya, cowok mengasihi cewek), yaitu cowok menyetubuhi cewek itu (entah si cowok sudah menikah atau belum). Paulus membalik ajaran itu dan mengatakan bahwa justru tanda kasih bukanlah tindakan jorok itu, tetapi tanda kasih adalah menghargai orang lain. Seorang yang katanya mengasihi orang lain (dalam arti lawan jenis) tentu akan menghargai lawan jenis itu. Di dalam pacaran, seorang cowok mengasihi cewek tentu akan menghargai si cewek dalam arti keseluruhan. Si cowok tidak akan melakukan hubungan seks di luar nikah dengan si cewek atau si cowok tidak akan memperkosa si cewek, dll. Semua tindakan cowok ini sebenarnya membuktikan bahwa si cowok menghargai pasangannya sampai mereka menikah suatu hari kelak. Di sini, kita melihat bahwa konsep Kekristenan jauh lebih agung dari semua konsep dunia berdosa. Bagaimana dengan kita? Di dunia postmodern ini, kita melihat budaya free-sex begitu hebat di Indonesia. Sebagai orang Kristen, apa yang kita lakukan? Ikut-ikutan? TIDAK! Biarlah kita sebagai orang Kristen menjadi garam dan terang melalui kesucian hidup kita terutama dalam hal seks.
Konsep kedua tentang berzinah adalah berzinah rohani. Jemaat Roma adalah jemaat yang masih bisa dikatakan suka berzinah rohani (meskipun tidak separah jemaat Korintus). Mengapa? Karena jemaat Roma terdiri dari banyak orang Yahudi dan Yunani. Jemaat Roma yang mantan penganut Yudaisme (Yahudi) masih menganggap sunat itu diperlukan setelah menerima Kristus. Di sini, Paulus implisit mengajar bahwa itu perzinahan rohani. Mereka diajar Paulus bahwa sunat dan syariat-syariat di dalam Taurat tidak cukup syarat menggantikan penebusan Kristus (Rm. 2:17-29). Yang terlebih penting yang harus diimani oleh jemaat Roma (dan juga kita) adalah pengorbanan Kristus menggantikan dosa umat-Nya, bukan seberapa giat kita menjalankan Taurat. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita berzinah secara rohani? Mungkin secara fisik, kita setia dengan pasangan kita. Tetapi bagaimana dengan hal kerohanian? Berzinah rohani mungkin tidak bisa dilihat orang luar, tetapi ingatlah Tuhan melihat hal tersebut. Ketika hati kita mulai bercabang dan memilih ilah lain selain Tuhan Allah (entah itu uang, diri, pacar, teman, keluarga, orangtua, dll), di saat itu kita sedang berzinah rohani. Perzinahan rohani itu juga termasuk dosa! Biarlah kita berwaspada dan mengintrospeksi diri kita masing-masing.

Kedua, setelah perintah “Jangan berzinah,” Paulus mengajar “jangan membunuh.” Jangan membunuh merupakan wujud kita mengasihi orang lain. Artinya, kita mengasihi NYAWA orang lain. Ketika kita membunuh, kita bukan hanya melenyapkan nyawa orang lain. Alkitab mengajar bahwa ketika kita membunuh orang lain, kita sedang membunuh peta teladan Allah dan akibatnya, kitalah yang dimintai pertanggung jawaban dari Allah, bisa dalam bentuk hukuman langsung atau tidak langsung (baca: Kej. 9:6). Di sini, kita melihat adanya dignitas/kemuliaan ciptaan Allah sebagai gambar dan rupa Allah. Itu membunuh dalam pengertian harfiah. Bagaimana dengan membunuh dalam pengertian non-harfiah? Membunuh juga bisa dimengerti secara rohani, artinya membunuh/mematikan bakat, karakter, bahkan iman. Karakter, iman, dll seseorang bisa dimatikan/dibunuh ketika apa yang ada pada dirinya ditekan, sehingga orang tersebut merasa depresi, tertekan, dll. Meskipun orang yang mematikan karakter, iman, dll orang lain tidak membunuh secara fisik, ia sedang membunuh secara rohani. Bagaimana caranya? Mungkin kita tidak pernah menyadarinya. Ketika seorang pemimpin gereja tidak pernah memupuk iman dan kerohanian jemaatnya, di saat itu pemimpin gereja itu “membunuh” kedewasaan iman jemaatnya, padahal di Alkitab, Allah menuntut umat-Nya untuk dewasa di dalam iman (Ibr. 5:11-14). Justru ketika pemimpin gereja tidak mengajar dan mendidik iman jemaatnya dengan bertanggung jawab, itu bukti ia tidak mengasihi jemaatnya. Begitu juga halnya dengan orangtua yang terlalu memanjakan anaknya bahkan sampai dewasa, orangtua tersebut sebenarnya tidak mengasihi anaknya, karena mereka menekan dan memaksakan konsep orangtua (yang belum tentu benar) kepada anaknya, sehingga anaknya tidak bisa mandiri. Orangtua boleh mengajar anak, tetapi tidak boleh memaksakan konsep mereka kepada anak mereka apalagi berkaitan dengan panggilan Tuhan di dalam hidup seorang anak. Tuhan memanggil umat-Nya baik secara penuh waktu atau pun paruh waktu, sehingga tidak ada satu orang pun yang bisa memaksakan kehendaknya kepada seseorang, karena mereka BUKAN Tuhan! Barangsiapa yang memaksakan kehendaknya kepada seseorang lalu melegitimasi menggunakan “pimpinan Tuhan,” orang itu sudah berdosa karena ia telah mengambil alih posisi Allah untuk menafsirkan panggilan orang lain yang bukan menjadi wilayahnya! Anak yang ditekan oleh orangtua akan mengakibatkan anak itu menjadi minder, frustasi, depresi, dan jangan salahkan jika suatu saat nanti anaknya mengalami kelainan di usia dewasa. Kasus Ryan yang heboh di Indonesia adalah wujud tindakan orangtua yang tidak bertanggung jawab kepada anak. Dengan alasan “mengasihi” anaknya dengan memukul Ryan, akibatnya Ryan dewasa menjadi pembunuh berdarah dingin. Tidak berarti tidak boleh memukul, tetapi ketika orangtua memukul, memukul dengan motivasi apa? Dendamkah? Atau kasih? Biarlah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

Ketiga, “jangan mencuri.” Jangan mencuri adalah wujud ketiga kita menghargai HARTA MILIK orang lain. Ketika kita mencuri, kita bukan hanya tidak menghargai barang milik orang lain, kita pun sebenarnya sedang tidak menghargai si pemilik dan harta yang dipercayakan dari Tuhan kepadanya. Tindakan mencuri sebenarnya dilatarbelakangi oleh iri hati dan kesenangan sesaat. Akibatnya, orang yang iri hati itu mencuri harta orang lain untuk ia nikmati (kesenangan pribadi). Di situlah alasan mengapa Allah melarang kita mencuri. Bagaimana dengan mencuri secara non-harfiah? Mencuri bisa dimengerti juga secara rohani, yaitu mencuri uang dan waktu Tuhan. Ketika kita tidak memberikan persepuluhan kita kepada Tuhan, di saat itu kita sebenarnya sedang mencuri Tuhan, dan otomatis kita tidak mengasihi Tuhan. Adalah suatu omong kosong belaka jika kita katanya mengasihi Tuhan, tetapi tidak pernah memberikan persepuluhan bagi pekerjaan Tuhan. Persepuluhan adalah ujian bagi kita untuk lebih mengasihi Tuhan ketimbang harta/uang kita. Ingatlah, ketika kita memberikan persepuluhan harus dengan sukacita karena kita mengasihi Tuhan (2Kor. 12:7). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memberikan persepuluhan untuk pekerjaan Tuhan? Mencuri dalam pengertian rohani yang kedua adalah mencuri waktu Tuhan. Waktu yang seharusnya kita pergunakan untuk beribadah di gereja atau merenungkan Alkitab atau mengikuti Pendalaman/Pemahaman Alkitab malahan kita pergunakan untuk bersenang-senang. Tidak berarti menjadi orang Kristen tidak boleh pergi ke mal, dll. TIDAK! Tetapi yang harus diperhatikan adalah keseimbangan dan prioritas. Ketika kita memang harus pergi ke gereja untuk beribadah, pergilah ke gereja, menghadaplah ke hadirat Tuhan, memuji Tuhan, menyembah-Nya, mendengarkan firman-Nya, dll. Jangan waktu kita ke gereja, 1 hari sebelumnya, kita malahan pergi ke mal sampai malam lalu pulang rumah kecapekan dan besok Minggu tidak bisa pergi ke gereja. Pada saat kita seperti itu, secara tidak sadar, kita sedang mencuri waktu Tuhan. Orang Kristen boleh refreshing, jalan-jalan ke mal, dll, tetapi prioritaskan hal-hal rohani lebih daripada hal-hal duniawi. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memprioritaskan waktu kita untuk Tuhan? Ataukah kita masih mempergunakan waktu kita untuk hal-hal yang tidak bermakna? Tindakan kita mencerminkan seberapa dalam kita mengasihi Allah.

Keempat, jangan mengingini. Konsep terakhir yang Paulus sebutkan yaitu agar kita jangan mengingini milik orang lain, baik istri, harta, dll. Kalau di poin ketiga, hukum Taurat melarang kita mencuri, maka di poin terakhir ini, keinginan untuk memiliki barang orang lain pun dilarang. Di sini, ada penajaman motivasi. Tuhan tidak mau kita terjebak dengan larangan fenomenal, tetapi Ia menginginkan kita menguji hati dan motivasi di balik fenomena. Di poin ketiga, saya sudah menyebutkan bahwa orang mencuri dilatarbelakangi oleh iri hati dan keinginan untuk bersenang-senang, maka di poin keempat ini, esensinya diserang, yaitu keinginan untuk hal-hal tersebut dilarang. Mencuri dilarang, motivasi mencuri pun dilarang! Apa yang salah dengan keinginan? Apakah manusia boleh mengingini? Boleh. Manusia boleh mengingini sesuatu, tetapi yang salah adalah isi dari keinginan itu. Apakah isi keinginan kita berkenan di hadapan Tuhan atau tidak? Apakah isi keinginan itu egosentris atau Theosentris? Ketika keinginan kita egosentris, maka Tuhan tidak senang. Keinginan itulah yang dilarang. Mengapa? Karena keinginan itu bukan tanda kita mengasihi Tuhan dan sesama. Orang yang mengingini milik orang lain berarti orang itu sendiri tidak puas dengan apa yang ia miliki dan lebih tajam lagi, orang itu sebenarnya sedang menyalahkan Tuhan yang memberi. Ini jelas bukan tanda seorang yang mengasihi Tuhan. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita iri dan mengingini apa yang orang lain miliki? Ketika teman kita lebih pandai, apakah kita iri dengan kepintarannya? Ketika tetangga kita kaya, apakah kita iri dan mengingini apa yang tetangga kita miliki? Marilah kita introspeksi diri masing-masing! Jangan mengingini bisa bermakna rohani. Kok bisa? Hal ini bisa terjadi ketika orang Kristen mengingini karunia Allah tertentu yang diberikan kepada orang lain. Misalnya, karunia bahasa lidah. Alkitab khususnya 1 Korintus 11-14 memberikan batasan yang jelas bahwa karunia bahasa lidah adalah KARUNIA Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki (1Kor. 12:11) dan karunia itu bukanlah hal mutlak. Jadi, barangsiapa yang iri dan mengingini karunia bahasa lidah yang dimiliki oleh orang Kristen lain, maka di saat itulah ia berdosa. Bukan hanya itu saja, kita bisa mengingini sesuatu yang tidak bermakna. Misalnya seperti contoh yang telah saya paparkan di poin ketiga tentang mencuri waktu Tuhan. Kita yang mencuri waktu Tuhan (ke gereja) sebenarnya dilatarbelakangi oleh presuposisi kita yang ingin sesuatu selain ke gereja, yaitu ingin bersenang-senang. Dari keinginan itu kita mengatur siasat dan cara untuk membolos dari keharusan pergi ke gereja. Dari sinilah, keinginan kita ini dilarang oleh Tuhan dan sekaligus bukti kita tidak mengasihi-Nya. Biarlah hal ini menegur kita yang mungkin sudah malas beribadah.

Keempat prinsip (keempat hukum dalam hukum Taurat) yang telah Paulus paparkan di atas bermuara ke satu prinsip yaitu mengasihi sesamamu manusia seperti diri sendiri (bdk. Mat. 22:39). Sebelum membahas tentang mengasihi sesama manusia, Tuhan Yesus membahas konsep mengenai mengasihi Allah (Mat. 22:37). Dengan kata lain, kita bisa mengasihi sesama manusia ketika kita SUDAH mengasihi Allah. Adalah suatu omong kosong jika ada orang yang mengatakan bahwa ia mengasihi sesama tetapi ia tidak mengasihi Allah terlebih dahulu. Untuk Tuhan, mereka selalu mengadakan perhitungan baik waktu maupun uang, tetapi untuk orang lain, mereka bisa seenaknya memberikan uang dan waktu. Itu suatu sikap yang tidak beres di dalam Kekristenan. Mengasihi Allah terlebih dahulu, baru kita bisa mengasihi sesama manusia. Dengan kata lain, kasih kita kepada sesama manusia adalah kasih yang didasarkan pada kasih kepada Allah yang Mahakasih, Mahaadil, Mahakudus, Mahabijak, dan Kebenaran itu sendiri, sehingga kasih yang kita tunjukkan kepada sesama manusia adalah kasih yang disertai dengan keadilan, kebenaran, dan kesucian Allah (bukan kasih yang bebas, kompromi, dan mencintai kejahatan). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi Allah TERLEBIH DAHULU baru mengasihi manusia? Tuhan menginginkan kita memiliki hati untuk Tuhan terlebih dahulu, baru bagi sesama. Ketika hati kita berpaut kepada Tuhan, tetapi malahan kepada sesama kita, itu tandanya kita tidak mencintai Tuhan (dan tentunya sesama manusia).


Setelah kita merenungkan dua ayat ini, apa yang menjadi respon kita? Saya menantang Anda hari ini untuk bertobat dan kembali kepada Kristus! Sudahkah kita memiliki utang kasih kepada sesama? Sudahkah kita menggenapkan utang kasih itu bagi kemuliaan Allah? Jika belum, maukah kita berkomitmen melakukannya? Amin. Soli Deo Gloria.