01 December 2008

Roma 12:1: IBADAH SEJATI-1: Mempersembahkan Hidup Bagi Tuhan-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-1


Ibadah Sejati-1: Mempersembahkan Hidup Bagi Tuhan-1

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:1.


Selain kagum dan bersyukur, respon yang tepat terhadap predestinasi adalah bagaimana kita beribadah kepada Tuhan. Apa itu ibadah? Apakah ibadah identik dengan pergi ke gereja? Tidak. Ibadah sejati bukan ibadah fenomenal, tetapi ibadah esensial. Ibadah inilah yang diajarkan Paulus mulai pasal 12 s/d 16 sebagai aplikasi atau respon secara praktis dari doktrin predestinasi.

Dua ayat pertama pada pasal 12 diawali dengan pengajaran penting Paulus tentang konsep ibadah sejati. Di ayat 1, Paulus memaparkan, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Dalam ayat ini, Paulus mendesak jemaat Roma untuk melakukan ibadah sejati. Terjemahan New American Standard Bible (NASB) untuk kata “menasihatkan” adalah kata urge (mendesak). Sedangkan banyak terjemahan Inggris menggunakan kata yang berarti memohon (beseech, plead, dll) Dari struktur bahasa Yunani, kata ini menggunakan bentuk orang pertama, tunggal, waktu sekarang (present), aktif, dan indikatif. Lalu apa signifikansinya dari struktur bahasa Yunani ini? Dari struktur bahasa Yunani ini, kita bisa belajar sebegitu pentingnya dorongan/desakan Paulus ini di dalam beberapa hal:
Pertama, permohonan/desakan Paulus bersifat langsung (bentuk kata ganti orang pertama). Kata “menasihatkan” di sini menggunakan bentuk kata ganti orang pertama. Di dalam bahasa Inggris, kita mengerti contohnya, yaitu penggunaan subjek I, you, dll sebagai bentuk kata ganti orang pertama. Nasihat yang menggunakan bentuk seperti ini adalah nasihat yang langsung ditujukan kepada jemaat Roma agar mereka menunaikan ibadah sejati.
Kedua, permohonan Paulus ini bersifat tunggal. Artinya, nasihat ini berlaku untuk masing-masing individu jemaat Roma, bukan borongan. Dengan kata lain, Tuhan melalui Paulus mengajar masing-masing pribadi jemaat Roma agar mereka masing-masing beribadah dengan konsep yang benar kepada Tuhan. Ibadah sejati bukanlah ibadah borongan, tetapi ibadah pribadi kepada Tuhan (meskipun tentu tetap memerhatikan konsep persekutuan di dalam ibadah).
Ketiga, permohonan ini penting dan berlaku sekarang. Artinya, nasihat ini tidak berlaku untuk waktu mendatang, tetapi sekarang. Dengan kata lain, nasihat ini memiliki tingkat urgensi tinggi. Tuhan melalui Paulus mengingatkan agar jemaat Roma setelah mendapatkan banyak doktrin iman Kristen, mereka langsung mengaplikasikannya ke dalam kehidupan mereka sehari-hari di dalam ibadah. Bagaimana dengan hidup kita? Apakah kita yang sudah banyak belajar theologi, kita makin dingin, kering, statis, dan tidak ada perubahan? Biarlah kita mengoreksi spiritualitas dan praktik hidup kita?
Keempat, permohonan ini bersifat aktif. Aplikasi doktrin bukanlah pasif, tetapi aktif. Aktif di sini harus diartikan bahwa kita bisa melakukan perbuatan/ibadah yang memuliakan Tuhan hanya karena anugerah Allah melalui Roh Kudus. Tetapi jangan salah mengerti dan dibalik bahwa kita tidak berbuat apa-apa dengan alasan menunggu Roh Kudus bekerja di dalam kita. Di sini, uniknya, Paulus menggunakan bentuk aktif di dalam kata “menasihatkan,” berarti nasihat ini harus dilakukan secara aktif, bukan menunggu pimpinan Roh Kudus atau yang lain.

Nasihat ini bukan nasihat saja, tetapi Paulus mengatakan bahwa nasihat ini diberikan demi kemurahan Allah. Kemurahan Allah bisa diterjemahkan belas kasihan Allah (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 862). Apa signifikansinya? Nasihat ini yang dikaitkan dengan belas kasihan Allah berarti Paulus ingin menasihati jemaat Roma agar mereka beribadah secara benar kepada Allah dengan mengingat belas kasihan-Nya yang telah memilih dan menetapkan mereka sebagai anak-anak-Nya. Seringkali para pemimpin gereja menasihati jemaatnya untuk memuliakan Tuhan, mereka menasihati sekaligus menakuti mereka dengan murka Allah. Hal ini tidak salah, tetapi itu adalah separuh kebenaran. Paulus mendorong umat Tuhan untuk beribadah secara benar bukan dengan menakuti mereka, tetapi mengingatkan mereka akan belas kasihan-Nya kepada mereka. Hal ini juga berlaku bagi kita saat ini. Ingatlah, Tuhan telah menyelamatkan kita dari jurang kegelapan dan maut dengan mengangkat kita untuk bertemu dengan terang-Nya yang ajaib di dalam Kristus, oleh karena itu, biarlah kasih setia dan belas kasihan-Nya ini mendorong dan memimpin langkah hidup kita untuk makin memuliakan Tuhan selama-lamanya.

Lalu, nasihat apakah yang Paulus berikan sehingga nasihat ini begitu penting? Dari ayat 1, kita belajar beberapa konsep penting tentang makna ibadah sejati:
Pertama, ibadah sejati adalah ibadah totalitas. Seperti yang telah saya kemukakan di atas, ibadah sejati bukanlah ibadah fenomenal, kelihatan aktif di berbagai kegiatan gereja. Ibadah sejati adalah ibadah totalitas, artinya menyeluruh di dalam seluruh aspek hidup kita. Hal ini diajarkan Paulus di dalam ayat ini dengan mengatakan bahwa kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan/kurban yang hidup. Kata “mempersembahkan” dalam bahasa Yunani bisa diterjemahkan “menyembahkan” (ibid., hlm. 862). Kembali, kata yang dipergunakan di sini menggunakan bentuk aktif. Berarti, ibadah sejati adalah ibadah yang terjadi ketika kita secara aktif mempersembahkan/menyembahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Itulah arti berserah total. Berserah adalah kita berani menyerahkan seluruh hidup kita dikuasai oleh Kristus sebagai Tuhan, Raja, dan Pemerintah hidup kita. Ketika kita menyerahkan hidup kita, dengan kata lain, kita juga harus berani menyesuaikan hidup kita dengan kehendak Tuhan. Di sini, saya menggabungkan konsep berserah dengan menyangkal diri. Ketika kita berserah, di saat yang sama kita menyangkal diri untuk mengatakan “tidak” kepada kehendak kita dan mengatakan “ya” kepada kehendak-Nya. Hal ini diteladani sendiri oleh penulis surat Roma, yaitu Paulus. Paulus adalah salah satu rasul Kristus yang sudah menyerahkan totalitas hidupnya kepada Kristus (Flp. 1:21), dan di saat yang sama, ia bisa mematikan kehendaknya yang berlawanan dengan kehendak Allah. Kapan Paulus berani mematikan kehendak dirinya sendiri? Ketika Paulus mendapatkan suatu hambatan (baca: 2Kor. 12:7-9). Para penafsir tidak sepakat ketika menafsirkan arti “duri dalam daging” di dalam 2Kor. 12:7 ini. Ada yang menafsirkan penyakit, ada juga yang menafsirkan hambatan/halangan dalam pelayanan Paulus. Intinya hanya satu: tantangan/hambatan dalam pelayanan Paulus (bisa berupa penyakit, dll). Ketika Tuhan menguji Paulus dengan “duri dalam daging”, Paulus pernah berdoa 3x memohon agar Tuhan mencabut duri itu, tetapi Tuhan menolaknya, dan Paulus taat (baca ayat 9-10). Bahkan di dalam penderitaan, Paulus pun dengan berani tetap percaya kepada-Nya (2Tim. 1:12). Biarlah kita meneladani Paulus sebagai rasul Kristus yang telah menjalankan apa yang diajarkannya sendiri di bagain ini. Adalah suatu ketidakmasukakalan jika orang yang menyanyikan “Aku Berserah”, tetapi masih percaya kepada kehendak diri yang lebih baik daripada kehendak Tuhan.

Kedua, ibadah sejati adalah ibadah yang kudus. Bukan saja sebagai kurban/persembahan yang hidup, Paulus juga menasihatkan jemaat Roma agar mereka juga mempersembahkan tubuh mereka sebagai kurban yang kudus. Kudus berarti dipisahkan (separated). Dengan kata lain, dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban yang kudus, berarti kita memiliki keunikan yang lain dari dunia ini. Paulus bukan hanya mempersembahkan tubuh/hidupnya sebagai kurban yang hidup, tetapi ia juga mempersembahkan hidupnya sebagai kurban yang kudus. Dari manakah ia mempersembahkan kurban yang kudus itu? Dari Roh Kudus. Roh Kudus yang telah menguduskan hidup Paulus dan umat Tuhan, Ia menuntut kita untuk mempersembahkan tubuh yang telah dikuduskan-Nya itu untuk dipakai memuliakan Tuhan. Kepada jemaat Korintus, Paulus mengajarkan konsep ini di dalam 1Kor. 6:19-20, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Melalui dua ayat ini, kita mendapatkan gambaran yang lebih jelas bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus atau dikuduskan Roh Kudus di dalam penebusan Kristus, sehingga kita harus memuliakan Tuhan melalui tubuh kita. Kata “tubuh” baik di dalam Roma 12:1 maupun 1Kor. 6:19-20 sama-sama menggunakan kata Yunani soma. Karena Roh Kudus yang telah menguduskan tubuh/hidup kita, maka kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban yang kudus bagi-Nya yang berbeda dari dunia.

Ketiga, ibadah sejati adalah ibadah yang menyenangkan Allah. Bukan hanya hidup dan kudus, ibadah sejati adalah ibadah yang berkenan kepada Allah. Kata “berkenan kepada Allah” diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) sebagai “menyenangkan Allah” (hlm. 862). NASB, English Standard Version (ESV), Analytical-Literal Translation (ALT), Geneva Bible, Young’s Literal Translation (YLT), dll menerjemahkannya acceptable to God (dapat diterima/memuaskan bagi Allah). International Standard Version (ISV) menerjemahkannya pleasing to God (menyenangkan Allah). Dengan kata lain, ibadah yang berkenan kepada Allah adalah ibadah yang menyenangkan atau memuaskan Allah. Bagaimana ibadah bisa dikatakan menyenangkan Allah? Ibadah bisa menyenangkan Allah ketika ibadah dilakukan (baik di gereja ataupun kehidupan sehari-hari) bukan memuliakan diri, tetapi memuliakan Tuhan (God-centered worship). Ibadah yang memuliakan diri adalah ibadah yang menggunakan segala cara untuk menyenangkan diri sebagai objek dan subjek ibadah. Ini dilakukan oleh orang-orang kafir di dalam Alkitab. Mereka beribadah untuk mencari keuntungan. Tetapi ibadah yang berpusat pada Allah yang menyenangkan-Nya adalah ibadah yang memuliakan Dia saja (Soli Deo Gloria). Bukan hanya ibadah, pelayanan kita kepada Tuhan pun juga demikian. Di dalam pelayanan, pelayanan yang menyenangkan Allah adalah pelayanan yang berpusat dari Allah, oleh Allah, dan bagi Allah saja (Rm. 11:36). Sehingga pelayanan yang berpusat pada Allah adalah pelayanan yang tidak mencari keuntungan sendiri. Di dalam 2Kor. 2:17, Paulus menyatarkan konsep pelayanan palsu vs sejati, “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya.” Di dalam ayat ini, Paulus memaparkan pelayanan yang palsu adalah pelayanan yang mau cari untung sendiri, sedangkan pelayanan yang menyenangkan Allah adalah pelayanan yang memuliakan-Nya dengan memberitakan firman Tuhan dengan murni dan jujur sesuai apa yang difirmankan-Nya. Di dalam pelayanan firman, jangan pernah mengkompromikan kebenaran firman Tuhan. Ketika firman Tuhan berbicara keras kepada jemaat, sebagai hamba-Nya yang memberitakan firman-Nya, kita harus tegas dan keras berbicara dengan murni sesuai apa yang difirmankan-Nya di dalam Alkitab. Jangan pernah membuatnya lunak atau bahkan menghapuskannya. Teladanilah Paulus yang tidak segan-segan menuding kemunafikan Petrus (Gal. 2:11-14). Semua itu dilakukan Paulus karena ia mau melayani dengan kemurnian hati dan ia tidak suka melihat kemunafikan. Ingatlah, kalau Paulus membenci kemunafikan, apalagi Tuhan, Ia lebih membenci hamba-Nya yang munafik yang memperhalus berita firman Tuhan yang keras, tetapi Ia memuji hamba-Nya yang setia, taat dan jujur menyampaikan berita firman Tuhan yang keras. Itu yang Tuhan melalui Paulus ajarkan di dalam 2Kor. 2:17 ini. Ingatlah, jangan pernah mengukur konsep pelayanan dari kuantitas, tetapi kualitas apakah pelayanan itu God-centered atau man-centered. Biarlah kita menyelidiki motivasi sedalam-dalamnya hati kita tentang konsep pelayanan kita yang kita jalani.
Lalu, bagaimana kita menjalankan ibadah dan pelayanan yang memuliakan Tuhan? Sebuah slogan terkenal dari Rev. Dr. John S. Piper adalah, “God is most glorified in us when we are most satisfied in Him.” (=Allah paling dimuliakan di dalam kita ketika kita dipuaskan di dalam-Nya). Seolah-olah, slogan ini antroposentris, tetapi jika diselidiki kita menemukan kelimpahan maknanya. Dr. Piper menegaskan bahwa Allah itu paling dimuliakan di dalam kita BUKAN ketika kita (merasa) dipuaskan saja, tetapi dipuaskan DI DALAM Dia. Artinya, Allah itu sebagai sumber kepuasan ultimat yang di dalam-Nya kita menemukan anugerah, belas kasihan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dll, dan di dalam Dia saja kita semakin memuliakan-Nya. Ini mirip dengan jawaban pertanyaan di dalam Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 yang mengajar bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya. Jadi, ibadah dan pelayanan yang memuliakan Allah adalah ibadah dan pelayanan yang menikmati Allah. Bagaimana menikmati Allah? Apakah suatu pengalaman ekstase yang tidak sadarkan diri? TIDAK! Menikmati Allah adalah menikmati Pribadi Allah dan firman-Nya. Menikmati Pribadi Allah berarti ada suatu pengenalan yang mendalam tentang Pribadi Allah. Paulus menikmati Pribadi Allah, sehingga ia berani mengatakan bahwa hidup baginya adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Flp. 1:21). Seorang yang tidak pernah menikmati Allah tak akan pernah mungkin mengatakan hal seagung itu. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berani mengatakan seperti Paulus bahwa hidup kita adalah Kristus di mana Kristus bertahta dan bertitah mutlak dalam hidup kita? Kedua, menikmati Pribadi Allah tidak bisa dilepaskan dari menikmati firman-Nya. Kita baru bisa mengenal Allah dengan benar melalui firman-Nya, Alkitab. Ibadah dan pelayanan kita tidak pernah menyenangkan Allah ketika ibadah dan pelayanan kita tidak didasari oleh konsep firman Tuhan yang beres. Berapa banyak kita melihat kekacauan konsep pelayanan? Saya sendiri memperhatikan bahwa banyak orang yang mengklaim diri “melayani Tuhan,” tetapi sayangnya, ia aktif melayani Tuhan tanpa mengenal Pribadi yang dilayaninya. Mereka sibuk melayani sebagai panitia retret, kebaktian, KKR, seminar rohani, dll, tetapi ketika firman diberitakan pada saat acara-acara tersebut, dijamin kebanyakan mereka langsung mengambil posisi “saat teduh” (alias tidur). Mengapa? Karena mereka mau melayani “Tuhan”, tetapi tidak mau belajar firman Tuhan untuk lebih mengenal Pribadi yang mereka layani. Mari kita merombak konsep pelayanan kita. Ingatlah, ketika kita melayani Tuhan, perhatikanlah siapa yang kita layani dan kenalilah Pribadi yang kita layani itu melalui firman Tuhan. Pelayanan tidak bisa dilepaskan dari firman Tuhan. Pelayanan yang mengabaikan konsep kebenaran firman Tuhan adalah pelayanan yang sia-sia dan antroposentris (berpusat kepada manusia), dan tentu saja, Tuhan muak dengan pelayanan tersebut, karena kita sebenarnya sedang melayani diri kita sendiri, bukan Tuhan (meskipun kita menggunakan topeng “Tuhan”). Bertobatlah dan introspeksilah diri kita masing-masing.


Dari ayat 1 ini saja kita banyak memperoleh berkat dari firman Tuhan tentang apa arti ibadah dan pelayanan sejati. Biarlah kita dikoreksi oleh kebenaran firman Tuhan ini sehingga konsep ibadah dan pelayanan kita makin menyenangkan dan memuliakan-Nya selama-lamanya. Amin. Solus Christus. Soli Deo Gloria.

Matius 12:1, 8, 50: KRISTUS ADALAH TUHAN (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 24 September 2006

Kristus adalah Tuhan
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Matius 12:1, 8, 50


Pendahuluan
Hari ini kita masuk pada injil Matius pasalnya yang kedua belas di mana pada pasal ke-12 ini Matius membukakan pada kita tentang siapakah Kristus, yaitu Kristus adalah Tuhan. Injil Matius 12 ini dibuka dengan suatu peristiwa yang terjadi pada hari Sabat. Seperti kita ketahui hari Sabat adalah hari yang sangat penting bagi orang Yahudi dimana didalamnya banyak aturan Sabat yang harus ditaati dan bagi mereka yang melanggar, akan dihukum. Orang Yahudi sangat ketat menjalankan aturan sabat tersebut dan khusus aturan sabat, mereka setitik pun tidak mau bertoleransi. Sabat dimulai jam 6 sore – 6 pagi – 6 sore maka selama 24 jam itu mereka menjalankan ritual yang sangat ketat; mereka tidak akan berjalan atau mengangkat benda seberat dan sejauh seperti yang ditetapkan dalam aturan Sabat dan masih banyak lagi aturan-aturan Sabat yang harus mereka taati. Dapatlah dikatakan iman Yahudi adalah iman Sabat. Bagaimana dengan kita?
Pertama, Kristus adalah Tuhan atas semua ritual agama.
Adalah pendapat yang salah kalau dengan melakukan semua ritual agama berarti: 1) ia sudah menyembah dan beriman pada Allah. Salah! Ritual ini bersifat visual, artinya dapat dilihat dengan langsung oleh orang lain dan siapapun dapat melakukan ritual agama bahkan dalam beberapa aspek secara psikologi, semua ritual agama itu dapat memberikan suatu kepuasan batiniah, 2) orang yang menjalankan ritual agama dianggap sebagai orang saleh dan ia sangat dihormati. Dengan kata lain, orang yang menjalankan ritual agama ini mendapat status sosial di tengah masyarakat, 3) orang melakukan ritual agama berarti ia telah menggenapkan seluruh tuntutan agama, fulfill maka timbullah rasa aman karena ia merasa telah mendapatkan surga.
Dalam hal ini Tuhan tidak lagi menjadi yang utama tetapi ritual agama itulah yang dipentingkan. Perhatikan, ritual agama tidak salah. Setiap agama pasti ada ritualitas, ada aturan, tata cara atau liturgi tertentu tetapi ritual agama sejati harusnya membawa manusia melihat kebesaran dan keagungan Tuhan bukan sebaliknya mengunci orang dalam ritual agama. Orang Yahudi sangat ketat memelihara dan mengutamakan sabat sampai-sampai ia tidak kenal Kristus yang adalah Allah atas sabat. Lalu semua ritual sabat itu dilakukan untuk siapa dan buat apa? Untuk sekedar bersabatkah atau menyembah Tuhan? Kalau kita bertanya pada orang Yahudi, mereka pasti mengaku bahwa semua ritual sabat itu dilakukan untuk menyembah Tuhan. Benarkah demikian? Mengapa ketika Kristus Tuhan ada di depan mata mereka, mereka tidak mengenal-Nya? Orang menjalankan ritual tetapi ia tidak tahu siapakah yang sesungguhnya disembah dalam semua ritual tersebut.
Iman sejati harus kembali pada Allah. Iman sejati tidak dikunci pada suatu ritual keagamawian atau tindakan-tindakan yang sifatnya ritualitas. Perhatikan, semua aturan keagamaan yang lepas dari Kristus berarti penyelewengan agama maka seluruh ritual agama tersebut tidak ada artinya. Apalah artinya kita mempersembahkan korban dan menjalankan seluruh ritual agama tetapi hal yang utama, yaitu Tuhan justru kita buang. Orang lebih mementingkan ritual atau aturan di atas Tuhan tidak hanya terjadi pada jaman Alkitab saja, di dunia modern sekarang inipun, orang disibukkan dengan berbagai ritual agama, bagaimana menikmati ibadah untuk mendapat kepuasan diri sehingga ketika Kristus hadir, kita justru tidak mengenalinya karena kita telah menggantikan Dia dengan figur-figur lain. Kristus dengan menegur keras dan bukan hanya pada orang Yahudi tetapi juga pada kita hari ini, biarlah kita kembali pada Kristus sebagai the final authority.
Pertanyaannya sekarang adalah apa yang dimaksudkan Allah dengan sabat dalam seluruh iman Kekristenan? Tanpa kita sadari, sesungguhnya konsep agama yang ada dalam pemikiran kita itu terbentuk dari ritualitas yang kita kerjakan selama ini akibatnya ketika Tuhan hadir, kita tidak mengenal Dia. Pertanyaannya adalah sekarang siapa yang lebih berotoritas, Tuhan ataukah aturan Sabat? Pengenalan akan Yesus akan kita peroleh melalui kita menyangkal diri, memikul salib lalu mengenal Kristus dengan benar maka seluruh ritual agama itu tidak artinya. Adalah percuma setiap minggu kita rajin beribadah dan melayani tetapi kita tidak mengutamakan Kristus. Terkadang, kita sering mendengar ada orang yang berkata,“Saya merasakan ada sesuatu yang tidak enak atau hilang ketika ia tidak pergi ke gereja“; perasaan tersebut tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya namun yang menjadi letak permasalahan disini adalah bukan pada kepuasaan diri orang tersebut, yakni orang merasa lega karena ia telah pergi ke gereja, ia telah menjalankan ritual agamanya. Tidak! Akan tetapi yang menjadi evaluasi kita adalah sudahkah Firman itu mengubahkan hidup anda? Sudahkah kita melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan? Realitanya justru berkata orang tidak peduli dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan, orang merasa sudah melakukan kehendak Tuhan dengan melakukan semua ritual agama. Orang tidak sadar kalau ia telah lepas dari Kristus yang adalah esensi iman yang sejati. Kristus adalah Tuhan yang mengatur hidup kita, Dia adalah pemegang otoritas tertinggi yang menentukan segala sesuatu.
Janganlah kita menjadi orang yang sok pandai dan berani menentang dan melawan Dia karena kita sudah merasa menyembah Allah dengan semua ritual agama yang kita jalankan. Matius di titik pertama mengajak orang Yahudi untuk merekonstruksi ulang, membongkar konsep mereka yang salah tentang Sabat dan ritual agama untuk mengenal siapa Kristus yang sesungguhnya. Kristus adalah Tuhan atas sabat dan semua ritual agama.
Kedua, Kristus adalah Tuhan atas kuasa-kuasa iblis.
Pada pasalnya yang kedua belas, Matius mencatat tentang Tuhan Yesus melakukan mujizat. Sebelumnya kita telah merenungkan suatu kebenaran, yakni mujizat hanya dapat dilakukan oleh Kristus Tuhan dan enam hal telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus dimana itu membuktikan bahwa Dia adalah Mesias. Manusia tidak mungkin dapat melakukan mujizat seperti yang dilakukan oleh Kristus (Mat. 11:5-6), sebab kuasa setan yang bekerja di dalamnya. Orang yang melihat tanda yang Kristus kerjakan tersebut harusnya mengakui Dia adalah Mesias, Anak Daud. Perhatikan, Anak Daud disini merupakan figurasi yang menggambarkan Kristus sebagai keturunan Daud yang akan menjadi Mesias namun ironisnya, orang Yahudi tidak percaya tetapi mereka justru menyelewengkan kebenaran. Bagi orang Farisi yang begitu kuat memegang konsep Yudaisme menganggap Tuhan Yesus dianggap sebagai ancaman. Mereka memfitnah Kristus dengan mengatakan bahwa otoritas yang ada pada-Nya bukan dari Allah melainkan dari setan.
Hati-hati dengan akal licik si setan yang sengaja memutarbalikkan kebenaran – Roh Kudus dianggap sebagai roh setan dan sebaliknya roh setan dianggap sebagai Roh Kudus. Upaya memutarbalikkan kebenaran ini bukan terjadi baru-baru ini saja. Tidak! Tetapi sejak jaman Tuhan Yesus, orang sudah memakai metode memutarbalikkan kebenaran. Puji Tuhan, Kristus adalah Tuhan, Dia telah membuktikan bahwa kuasa setan dan kuasa lain yang diagung-agungkan oleh manusia tersebut berada di bawah kuasa Ilahi. Kristus adalah otoritas final, yang mengalahkan kuasa setan. Matius membukakan pada kita dua macam orang yang kerasukan setan, yaitu: 1) orang secara harafiah kerasukan setan, hal ini dapat kita lihat secara visual, seperti ia berteriak-teriak, orang ini juga dikucilkan karena dianggap membahayakan orang lain dan biasanya orang kerasukan setan juga bisu, tuli atau buta tetapi Tuhan Yesus membuktikan kuasa setan berada dibawah kuasa Ilahi dan orang yang kerasukan setan masih bisa disembuhkan, 2) orang yang kerasukan setan tapi tidak nampak secara visual, ciri-ciri ini nampak dalam diri orang-orang Farisi. Dengan kuasa yang dimilikinya, mereka berani menyelewengkan kebenaran sejati. Mereka tidak sadar kalau melawan Roh Kudus akan berakibat fatal, tidak ada lagi keselamatan baginya; mereka akan binasa di dalam kebinasaan.
Adalah lebih berbahaya orang yang berada dalam kuasa iblis namun tidak nampak secara visual, mereka selalu melawan kebenaran sejati dan menaruh kuasa Roh Kudus di bawah kuasa Beelzebul, mereka menganggap diri penuh dengan kuasa Roh Kudus padahal bukan kuasa Roh Kudus yang ada pada dirinya tetapi kuasa Beelzebul. Adalah lebih berbahagia orang yang kerasukan setan secara harafiah sebab ketika kuasa Kristus itu melawat dirinya, ia dapat melihat kuasa Kristus yang mengalahkan kuasa setan yang mencengkeram dirinya. Waspadalah dengan akal licik si iblis yang selalu berusaha menggoda manusia supaya masuk dalam cengkeraman kuasanya. Hendaklah kita kembali pada Kristus satu-satunya otoritas final sebab tidak ada kuasa siapapun dalam alam semesta ini yang lebih besar dari kuasa Kristus. Kalau kita tidak kembali pada kuasa Kristus maka kita akan diombang-ambingkan oleh berbagai rupa-rupa pengajaran dunia apalagi sekarang kita berada dalam suatu jaman dimana gerakan new age yang bermain-main dengan roh-roh setan ini secara pelan namun pasti telah mempengaruhi dunia. Pada awal abad 20, gejala spiritualitas ini ditandai dengan gejala-gejala psikologis dan luapan emosi, yakni orang menangis, ketawa, berbahasa roh dan masih banyak lagi. Dan celakanya, orang yang menampakkan gejala spritualitas semu tersebut malah menuduh orang-orang yang menyatakan kebenaran, mendidik orang untuk hidup benar, belajar Firman dengan baik justru dikatakan sebagai orang yang tidak ada Roh Kudus. Ironis, bukan? Perhatikan, gejala psikologis yang ditunjukkan tersebut bukanlah pekerjaan Roh Kudus. Alkitab menegaskan kalau Roh Kudus turun atas seseorang maka orang diinsyafkan akan dosa, kebenaran dan penghakiman (Yoh. 16:8).
Ketiga, Kristus adalah Tuhan diatas semua kebenaran dan keadilan manusia.
Orang-orang Farisi dan Saduki mengadu antara otoritas Kristus dengan kebenaran yang mereka miliki, otoritas Yudaisme. Sungguh ironis, manusia menolak dua esensi yang paling penting, yakni kebenaran dan keadilan maka dapatlah dipastikan akibatnya, yakni dunia semakin rusak dan hancur. Sesungguhnya setiap manusia pasti ingin hidup sejahtera tetapi orang tidak sadar kalau hidup sejahtera itu tidak mungkin tercapai tanpa kebenaran dan keadilan. Hari ini, berapa banyak orang yang dihukum atas perbuatan mereka membakar gereja, membunuh dan menganiaya orang-orang Kristen? Tidak ada satu orang pun yang diadili. Namun percayalah, keadilan Tuhan tidak akan dapat dipermainkan, keadilan Tuhan akan dinyatakan di muka bumi ini. Tidak hanya sampai disitu, dua tokoh terbesar yang ada di dunia harus mati dengan cara keji: 1) Socrates, seorang filsuf Yunani yang sangat berpengaruh dalam pemikiran garis besar filsafat Yunani harus mati dengan cara keji. Hal ini menjadikan Plato dan Aristotle benci dengan demokrasi sebab pemimpin yang sangat baik justru mati dalam permainan massa yang mempermainkan kebenaran dan keadilan, 2) Tuhan Yesus, Dia datang mengajarkan kebenaran sejati, Dia datang dengan cinta kasih, Dia membawa manusia kembali pada Allah tetapi Dia justru berhadapan dengan kayu salib. Inilah permainan kebenaran dari para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang menyebut diri sebagai orang beragama. Sepintas, mereka memang mempunyai kekuatan otoritas yang menyatakan kebenaran dan keadilan palsu dari manusia, tetapi mereka tidak sadar bahwa otoritas yang ada padanya sekarang itu asalnya dari Tuhan; kalau Tuhan tidak berikan kuasa itu kepadanya maka orang tidak ada apa-apanya. Pdt. Stephen Tong dalam pengajarannya menyatakan pertemuan antara Pilatus dan Kristus merupakan pertemuan dua otoritas yang paling besar. Pada saat itu, Pilatus menaikkan otorisasi ke posisi tertinggi sebaliknya Kristus menurunkan otorisasi ke posisi terendah, hal ini justru menunjukkan kebodohan dan kegagalan otorisasi manusia. Otorisasi manusia berakhir dengan kehancuran dan Kristus yang bangkit justru menjadi kekuatan kemenangan; Dia melawan kuasa kejahatan dengan kebajikan. Kristus adalah otoritas final atas semua kebenaran dan keadilan manusia. Tidak ada satu pun kebenaran dan keadilan di alam semesta ini yang dapat melawan kebenaran sejati.
Keempat, Kristus adalah Tuhan atas semua otoritas yang ada di dunia.
Dalam religiusitas, orang seringkali mengkontraskan antara otoritas Tuhan dengan otoritas keluarga. Khususnya di dunia timur, hal ini seringkali terjadi dan banyak menimbulkan konflik. Dalam bagian ini, Injil Matius membukakan pada kita siapa pemegang otoritas tertinggi dengan menuliskan tentang kehadiran ibu dan saudara-saudara Tuhan Yesus. Menurut kebudayaan yang berlaku jaman itu, anak harus tunduk pada orang tua namun Tuhan Yesus menegaskan barangsiapa melawan Allah dan mentaati otoritas yang lain berarti ia melawan Allah. Dalam bagian ini, Alkitab tidak mengajarkan kita menjadi seorang pemberontak. Tidak! Alkitab mengajarkan kita untuk menghormati orang tua akan tetapi kalau orang tua tidak lagi beriman pada Kristus atau orang tua menyeleweng pada kebenaran Allah maka anak tidak perlu taat pada orang tua tetapi ia harus taat pada Allah sebagai otoritas final. Seorang anak haruslah taat pada Allah lebih daripada pada orang tua kita karena Dia adalah pemegang otoritas tertinggi. Biarlah sebagai orang tua kita hidup taat dan beriman sejati sehingga apa yang kita nyatakan merupakan wakil dari kebenaran Allah. Hai, para orang tua janganlah mengambil alih otoritas yang merupakan otoritas Allah lalu memakai otoritas untuk memisahkan anak dari Allah. Orang tua yang demikian akan berhadapan langsung dengan Allah sebagai pemegang otoritas tertinggi. Kristus membukakan kebenaran tentang siapakah ibu-Ku, siapakah saudara-Ku laki-laki, siapakah saudara-Ku perempuan? Dia adalah yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Konsep ini mengharuskan kita melihat Kristus sebagai otoritas tertinggi, tidak ada siapa pun yang dapat menggeser Kristus sebagai otoritas final dalam garis order.
Sebagai seorang warga negara yang baik, kita harus tunduk dan taat pada pemerintah tapi ketaatan itu hanya sejauh pemerintah tersebut takut akan Tuhan maka kalau pemerintah mulai menyeleweng dari kebenaran Tuhan, kita harus melawannya. Sebagai contoh, kalau suatu hari kelak pemerintah mengeluarkan larangan beribadah dan menyembah pada Tuhan Yesus bagi mereka yang beragama Kristen maka apa yang harus kita lakukan? Tunduk pada pemerintah ataukah melawannya? Kristus tidak ingin ada cabang dalam garis otoritas yang Ia sendiri tetapkan sebab hal ini merupakan penyelewengan rohani. Mempermainkan otoritas Allah karena kita takut pada otoritas lain berarti membuktikan otoritas lain tersebut lebih berkuasa dari otoritas Allah. Tuhan akan sangat marah dan Dia berhak untuk marah karena Dialah satu-satunya pemegang otoritas tertinggi. Otoritas dalam Kristus itulah yang manjadi dasar kehidupan kita. Bayangkan, apa jadinya hidup kita kalau kita hidup dalam multiple authority, yakni banyak otoritas yang berbeda-beda dan celakanya, tidak berada dalam satu garis otoritas. Tentu saja, kita akan dibingungkan, kita tidak tahu harus taat pada otoritas yang mana; taat pada otoritas A maka si B akan marah, taat pada otoritas B maka si A dan si C akan marah, begitu seterusnya akibatnya kalau dalam dunia kerja mungkin kita dipecat namun bayangkan, kalau itu menyangkut hidup kita. Betapa celaka hidup kita kalau kita berani mempermainkan otoritas Tuhan dan menggantinya dengan otoritas lain maka kita akan dibuang dari Kerajaan Sorga maka itu berarti kehancuran hidup kita.
Otoritas siapakah yang menjadi otoritas final dalam hidup kita? Siapa yang mengatur hidup kita? Siapa yang menjadi penentu setiap keputusan kita? Kalau kita mengaku anak Tuhan yang sejati maka Tuhan menuntut kita untuk taat pada-Nya. Biarlah dalam hidup kita semakin takut dan hormat kepada Allah yang berdaulat dan biarlah kita juga semakin taat dan setia. Berpeganglah senantiasa pada perintah Kristus sebagai pemegang otoritas tertinggi. Hendaklah kita terus berproses untuk semakin diubahkan dan semakin bertumbuh dalam iman untuk menjadi semakin serupa Dia. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: