19 June 2007

PROBLEMATIKA AKADEMIS DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI ABAD POSTMODERN dan PANGGILAN KEKRISTENAN (Denny Teguh Sutandio, S.S.)

PROBLEMATIKA AKADEMIS DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI ABAD POSTMODERN dan PANGGILAN KEKRISTENAN

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.



“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;” (Amsal 3:5-7)

Krisis Pendidikan Abad Postmodern : Relativisme dan Superioritas Rasio dan Akibatnya
Saat ini kita sedang hidup di suatu era yang disebut postmodern yang menjunjung tinggi relativisme yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu relatif. Dengan fondasi relativisme, maka tidak usah heran, di dalam dunia kita, hampir mayoritas orang tidak lagi memegang standar moralitas yang baik. Khususnya, di dalam dunia pendidikan, Prof. David F. Wells, Ph.D. di dalam bukunya No Place For Truth (Tiada Tempat Bagi Kebenaran) mengungkapkan bahwa banyak sekolah tidak lagi mengajarkan apa yang baik dan yang salah, tetapi lebih memilih untuk mengajarkan tentang bagaimana memelihara dan menggali relasi antar manusia. (Wells, 2004, p. 195) Akibatnya, Wells mengungkapkan bahwa di Amerika, angka bunuh diri remaja tertinggi di dunia, begitu juga pemakaian obat-obatan terlarang, dll. (Wells, 2004, p. 198) Selain relativisme, dunia postmodern yang mengimpor ide filsafat modernisme tentang rasio sebagai “sumber” pengetahuan juga tetap menjunjung tinggi fungsi rasio. Sehingga di dalam dunia pendidikan saat ini, para pakar pendidikan menyuarakan akademis. Di kampus-kampus, semua dosen diselipkan semua gelar akademis yang diraihnya yang membuktikan bahwa semua dosen itu “pintar”. Memang tidak 100% salah ketika para dosen itu dicantumkan gelar akademis, tetapi seringkali yang terjadi, karena bergelar akademis, banyak dosen menjadi sombong dan merasa diri pintar. Nah, jika saya boleh menggabungkan, maka di dalam abad postmodern, dunia pendidikan sedang berusaha menggabungkan konsep relativisme dan superioritas rasio manusia. Relativisme di dalam dunia pendidikan ditandai dengan tidak adanya standar moralitas ditambah adanya rasio yang dijadikan penentu apakah suatu tindakan itu baik atau tidak. Jadi, akademis di dalam dunia pendidikan berhak menentukan standar nilainya sendiri bahkan di luar Allah. Tidak heran, ketika ada seorang dosen “Kristen” di salah satu universitas swasta terkenal di Surabaya mengajarkan bahwa agama dan ilmu tidak ada hubungannya. Proposisi ini berangkat dari presuposisi bahwa akademis menentukan standar nilainya sendiri dan agama tidak ada hubungannya atau tidak boleh mencampuri wilayah akademis. Juga tidak usah heran, ketika seorang dosen “Kristen” mengajarkan bahwa moralitas itu relatif, tergantung dari sudut pandang mana. Akibatnya, dari kecil, siswa didik tidak mengerti apa yang Tuhan kehendaki dan ajarkan, sehingga tidak usah heran, banyak anak-anak muda menjadi ateis, kehilangan jati diri, dll, meskipun pada usia anak-anak, mereka bahkan aktif di dalam kegiatan sekolah minggu.

Selain itu, relativisme yang meniadakan (mengaburkan) standar moralitas dan diganti dengan superioritas rasio sebagai standar “kebenaran” diwujudnyatakan melalui sikap individualisme dan kompromi. Prof. David F. Wells, Ph.D. di dalam bukunya No Place for Truth (Tiada Tempat Bagi Kebenaran) mengatakan, “...individualisme dan kompromi sebagai dua karakter Amerika yang mendasar...Individualisme telah menyebar seiring dengan menyebarnya modernisasi, yang menjangkau jauh di luar Amerika. Dan psikologi kompromi timbul dimana masyarakat massa terbentuk...” (Wells, 2004, p. 160) Saya dapat menafsirkan bahwa kedua filsafat ini sebenarnya bukan hanya menjadi karakter Amerika, tetapi karakter postmodernisme yang juga ditandai dengan semangat humanisme atheistik ditambah semangat pluralisme yang ekstrim. Sehingga tidak usah heran, para pendidik baik sekuler maupun yang mengaku diri “Kristen” masih tetap mengajarkan kedua konsep ini. Saya sendiri mendengar seorang dosen “Kristen” yang mengajar saya di bidang Penelitian Kebudayaan dan bergelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Amerika Serikat mengatakan bahwa dirinya bisa belajar dari para mahasiswanya (selain mahasiswa belajar dari dosen) tentang suatu kebudayaan. Tetapi benarkah ini merupakan ketulusan dan kejujurannya ? Mari kita meneliti ulang pernyataannya. Ketika saya mengajukan suatu topik yang bertemakan analisa terhadap gaya ibadat gereja kontemporer yang bisa berakibat fatal di dalam keKristenan, tiba-tiba dosen ini “menyarankan” kepada saya bahwa saya tidak boleh mengadakan “penghakiman” terhadap sesuatu sebelum melakukan suatu penelitian. Dengan kata lain, tidak boleh ada presuposisi di balik sebuah penelitian. Bukankah dengan mengatakan ini, sebenarnya dosen saya sedang mengajukan presuposisi bahwa tidak boleh presuposisi di balik penelitian ? Sungguh, suatu kontradiksi yang aneh. Tetapi saya tidak mendengarkan “saran” dari dosen saya karena “saran” itu aneh. Saya tetap meneruskan makalah saya dan akhirnya saya mendapat nilai C. Setelah mengetahui nilai ini, saya baru berpikir ulang, apakah benar dosen saya ini benar-benar ingin belajar dari mahasiswanya tentang kebudayaan ? Bagi saya, tidak. Mengapa ? Kalau memang benar bahwa dosen saya bisa belajar dari para mahasiswanya, mengapa saya tidak diizinkan memakai suatu presuposisi di balik penelitian kebudayaan yang sebenarnya harus ia pelajari juga ? Bagi saya, dosen itu sebenarnya ingin mengatakan bahwa dirinya bisa belajar dari para mahasiswanya (kompromi) asalkan itu cocok dengan paradigmanya (bukan paradigma kebenaran sejati) (individualisme/humanisme atheistik). Itulah relativisme yang dimonopoli oleh superioritas rasio manusia yang mengakibatkan timbulnya individualisme dan kompromi di dalam diri para pendidik. Dan lebih parah lagi, kemunafikan itu sangat berakibat fatal, yaitu mengajarkan para mahasiswa untuk bersikap netral. Artinya, di dalam suatu penelitian, misalnya penelitian tentang budaya free-sex atau feminisme yang sering dianggap buruk, para mahasiswa tidak boleh langsung “menghakimi” dan harus berusaha open-minded (berpikiran terbuka) terhadap semua hasil penelitian yang didapat. Dengan kata lain, mereka harus berkompromi terhadap segala sesuatu sekaligus menjadikan diri mereka (bukan Firman Tuhan) sebagai penentu mana yang harus mereka pilih (individualisme/humanisme atheistik).

Pewujudnyataan relativisme dan superioritas rasio di dalam dunia pendidikan akademis juga bisa berupa kesombongan para akademisi. Mengapa saya mengatakan sombong ? Karena mereka sudah kuliah bahkan di Amerika/luar negeri dan menyandang gelar yang tinggi, lalu mereka menyombongkan diri bahwa diri mereka hebat. Yang lebih parah lagi, ada dosen “Kristen” senior yang hanya lulusan S-1 di Indonesia tidak mau ditegur tetapi suka mengoreksi orang lain bukan dengan dasar Firman, tetapi dasar psikologi massa. Bukan hanya itu saja, banyak para akademisi menjadi sombong karena mereka sudah berpengalaman alias senior. Banyak dosen senior merasa diri sudah paling tua, lalu sombong menghina dosen lain yang masih junior bahkan menghina para siswa didik. Tidak heran, kalau dari kecil sampai mahasiswa, pengajaran dan pendidikan yang didapat adalah bagaimana seseorang menjadi pintar/hebat dan kemudian tidak lagi memperdulikan orang lain (konsep Übermensch ala F. Nietzsche yang bahkan tidak memerlukan/memperdulikan Tuhan). Akibatnya, ketika seseorang sudah lulus dari perkuliahan dan bekerja, ia tidak mau lagi ditegur oleh atasannya atau orangtuanya atau sahabatnya ketika dirinya berbuat salah.


Penyebab Timbulnya Krisis Pendidikan Di dalam Dunia Postmodern
Pendidikan di abad postmodern ini bisa mengalami krisis di mana relativisme yang dimuati oleh superioritas rasio disebabkan oleh satu prinsip dasar yaitu hilangnya standar kebenaran. Hilangnya standar kebenaran dimulai sejak kitab Kejadian, ketika manusia memberontak terhadap Allah (berdosa). Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of The Faith menyatakan, “When man fell it was therefore his attempt to do without God in every respect ... God had interpreted the universe for him, or we may say man had interpreted the universe under the direction of God, but now he sought to interpret the universe without reference to God... The result for man was that he made for himself a false ideal of knowledge.” (Ketika manusia berbuat dosa, itu karena usahanya untuk berbuat tanpa Allah dalam setiap hal... Allah telah menjelaskan/menginterpretasikan alam semesta bagi manusia atau kita dapat mengatakan manusia telah menjelaskan/menginterpretasikan alam semesta di bawah perintah Allah, tetapi sekarang manusia berusaha untuk menjelaskan/menginterpretasikan alam semesta tanpa petunjuk Allah ; ... Hasil bagi manusia adalah bahwa dia menghasilkan bagi dirinya sebuah idaman pengetahuan yang salah.) (Van Til, 1955, p. 15) Bagi Van Til, pada saat manusia berdosa, pada saat yang sama juga mereka sedang mencari standar kebenaran di luar Allah. Pencarian ini bukan mengakibatkan mereka menemukan kebenaran, tetapi kesesatan yang diklaim sebagai “kebenaran”. Kesesatan yang diklaim sebagai “kebenaran” dapat berupa pemutlakkan rasio sebagai “sumber” kebenaran (rasionalisme) maupun pemujaan manusia menggantikan Allah (humanisme ateis).


Hikmat Sejati : Takut akan Tuhan dan Percaya Di dalam Tuhan
Ketika dunia kita mencoba mencari jati diri dan hikmat, mereka dijamin tidak dapat menemukan hikmat sejati di luar Allah. Oleh karena itu, jalan satu-satunya memperoleh hikmat sejati adalah dari Allah. Penulis kitab Amsal adalah seorang raja yang berbijaksana, yaitu Raja Salomo (Amsal 1:1). Berbeda dari banyak manusia postmodern yang pandai lalu sombong, Salomo tidak sombong karena kebijaksanaannya, ia masih berpegang kepada Tuhan. Hal ini ditunjukkannya pada penuturannya pada pasal 1 ayat 7, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Kata “takut” dalam bahasa Ibrani yir'âh bisa berarti fear (takut) atau morally reverence (penghormatan moral). Lalu, kata “permulaan” bisa berarti first (yang pertama/utama). Jadi, Amsal 1:7 hendak berbicara mengenai menghormati atau taat kepada-Nya adalah hal yang paling utama di dalam pengetahuan. Alasan kita harus takut kepada Tuhan dijelaskan Salomo pada pasal 2 ayat 6, “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.” Kata “kepandaian” di dalam terjemahan King James Version adalah understanding yang berarti pengertian. Berarti di dalam Amsal 2:6 ini, Salomo ingin menjelaskan bahwa Tuhan adalah sumber segala hikmat, pengetahuan dan pengertian, sehingga semua pengetahuan sejati bersumber dari-Nya saja. Bukan hanya takut atau taat kepada-Nya, Raja Salomo memberikan penjelasan lagi di dalam pasal 3 ayat 5 yaitu, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.” Atau menurut terjemahan King James Version, ayat ini mengajarkan kepada kita untuk menaruh iman kita di dalam Tuhan dengan seluruh hati kita dan kita tidak boleh bersandar kepada pengertian kita sendiri. Bagi Salomo, hikmat sejati bukan hanya sekadar takut akan Tuhan, tetapi percaya di dalam Tuhan. Tindakan percaya di dalam Tuhan bukan hanya sekadar diucapkan di mulut saja, tetapi keluar dari hati dan keluar melalui komitmen hidup kita.

Di dalam komitmen kita untuk percaya di dalam-Nya, kita harus mengerti empat definisi yang dijabarkan Salomo mengenai percaya di dalam Tuhan :
·
“Janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”
Ketika anak Tuhan percaya di dalam-Nya, berarti iman itu bukan iman yang bersandar di dalam diri sendiri, tetapi di dalam Tuhan. Oleh karena itu, di dalam pengertian Alkitab yang menyeluruh, iman tidak pernah disamakan dengan ajaran berpikir positif yang diajarkan di dalam abad postmodern ini. Dalam bahasa Yunaninya, iman adalah pistis yang berarti reliance upon Christ (bergantung kepada Kristus). Ketika kita bergantung kepada Kristus, pertama, secara otomatis kita tidak boleh bersandar kepada pengertian kita sendiri. Mengapa? Karena ketika kita bersandar kepada pengertian kita sendiri, sebenarnya kita sedang mengilahkan diri sendiri sebagai “sumber” kebenaran, padahal Alkitab menyatakan bahwa semua manusia sudah berdosa (Roma 3:23). Lalu, kalau manusia sudah berdosa, berarti apapun yang dihasilkan manusia pasti mengandung bibit dosa (meskipun tidak semua). Ini berarti kerusakan total manusia begitu fatal sehingga sungguh suatu absurditas jika manusia masih menganggap diri hebat tanpa Allah. Kedua, kita hanya mengandalkan Kristus di dalam hidup kita. Artinya, di dalam hidup kita, Kristus memerintah sebagai Raja yang menentukan langkah hidup kita, bahkan termasuk di dalam wilayah studi, pekerjaan, dll. Sudah seharusnya anak-anak Tuhan sejati bukan hidup dualisme dengan memisahkan antara wilayah supranatural dengan natural (karena itu ajaran filsus atheis Yunani, Plato) dan mulai taat dan bergantung kepada Kristus dengan mereferensikan segala sesuatu dari sudut pandang Kristus (Christ-centered education). Christ-centered education berarti pendidikan Kristen sejati harus berpusat kepada Kristus sebagai Tuhan. Artinya, ketika kita belajar tentang hubungan sosial (misalnya antar teman/saudara), kita mereferensikannya dengan dwi natur Kristus yaitu sebagai Allah yang transenden (berdaulat/tidak kompromi) sekaligus imanen (yang mengasihi). Lalu, kita juga mereferensikan pernikahan dengan hubungan Kristus dan jemaat. Selain itu, kita juga mereferensikan semua logi di bawah terang Logos itu, yaitu Kristus. Sehingga para siswa didik belajar dan mengetahui bahwa segala sesuatu ada bukan secara kebetulan tetapi atas kehendak dan kedaulatan-Nya saja di dalam Kristus (Yohanes 1:3-4).

· “Akuilah Dia dalam segala lakumu,...”
Percaya di dalam Tuhan juga bisa berarti mengakui dan menyatakan-Nya di dalam segala kehidupan kita. Kata “akuilah” dalam terjemahan King James Version (KJV) dan English Standard Version (ESV) memakai kata acknowledge yang bisa berarti mengakui atau menyatakan. Berarti, di dalam kehidupan anak-anak Tuhan sehari-hari, kita tidak hanya dituntut untuk mengakui Tuhan, tetapi juga menyatakan-Nya. Mengakui dan menyatakan adalah dua hal yang berbeda. Ketika kita hanya mengakui-Nya, berarti kita hanya pasif, tetapi kita berusaha menyatakan-Nya, berarti kita aktif memberitakan-Nya. Dengan kata lain, dengan kita menyatakan Kristus di dalam hidup kita, kita sedang offensive (bersifat menyerang). Ini berarti di dalam kepercayaan kita di dalam-Nya, ada unsur perjuangan memberitakan-Nya. Di dalam iman Kristen sejati, kita dituntut untuk berani membedakan mana yang benar dan salah (Roma 12:2), berani menguji segala sesuatu dan memegang yang baik (1 Tesalonika 5:21) dan juga berani menyatakan kepada orang lain mana yang benar dan salah dengan kasih/kesabaran dan pengajaran (2 Timotius 4:2). Itulah jiwa offensive di dalam iman Kristen. Iman yang tidak mau berjuang memberitakan-Nya bukan iman sejati, tetapi iman palsu. Sungguh sangat disayangkan banyak orang “Kristen” mengaku diri beriman “Kristen”, tetapi masih berpikiran dualisme atheistik yang tidak mau menyinggung nama Tuhan di luar gereja. Ketika kita mengakui dan menyatakan-Nya di dalam hidup kita, Ia berjanji, “Ia akan meluruskan jalanmu.” Kata “meluruskan” dalam terjemahan KJV yaitu direct bisa berarti menunjukkan. Berarti, ketika kita berada di dalam jalan-Nya dengan mengakui dan menyatakan-Nya di dalam hidup kita sehari-hari, maka Ia adalah Allah yang setia yang akan menunjukkan jalan kita menuju jalan yang dikehendaki-Nya. Ini adalah reward yang kita peroleh setelah kita beriman. Tetapi sayangnya banyak orang dunia (bahkan banyak orang “Kristen”) mau reward (atau dapat disebut hak) tetapi tidak mau mengerjakan kewajiban. Sudah saatnya, anak-anak Tuhan sejati mulai belajar mengerjakan kewajibannya dengan takut akan Tuhan dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan yang akan menyempurnakannya. Di dalam dunia pendidikan pun, anak-anak Tuhan harus berani menyuarakan berita kenabian tentang pentingnya integrasi iman Kristen di dalam dunia pendidikan, sehingga pendidikan bukan lagi berdasarkan psikologi dan manajemen, tetapi berdasarkan Firman Tuhan yang akan memimpin jalan hidup umat pilihan-Nya.

· “Janganlah menganggap dirimu sendiri bijak,”
Selain mengakui dan menyatakan-Nya di dalam hidup kita, percaya di dalam-Nya bisa berarti tidak menganggap diri sendiri bijak (atau memiliki kerendahan hati). Ayat ini di dalam terjemahan KJV, “Be not wise in thine own eyes:” yang berarti janganlah bijak di dalam pandangan matamu sendiri atau jangan menganggap dirimu bijaksana (TB). Ini berarti dengan percaya di dalam Tuhan, kita tidak lagi menyombongkan diri seolah-olah diri kita hebat, pandai, bijaksana, dll, sedangkan orang lain tidak seperti kita, bahkan yang lebih parah Tuhan pun “dihakimi” kita yang sok pintar. Dengan kata lain, percaya di dalam Tuhan identik dengan pembentukan kerendahan hati. Orang yang percaya di dalam Tuhan tetapi masih menganggap diri hebat, sangat perlu diragukan imannya. Sebaliknya, ketika orang percaya di dalam Tuhan, ia sadar bahwa segala sesuatu adalah anugerah Allah yang memampukan dia untuk melakukan pekerjaan baik bagi kemuliaan-Nya (Efesus 2:10 ; Roma 11:36). Inilah kerendahan hati sejati. Di dalam dunia pendidikan, para pendidik dan siswa didik diharapkan juga memiliki kerendahan hati, yaitu mau dikoreksi oleh kebenaran Firman Tuhan (Alkitab) jika ada kesalahan. Pengoreksian ini adalah pengoreksian yang membangun supaya khususnya para siswa didik memiliki dasar, tujuan dan semangat yang jelas yaitu di dalam Tuhan ketika menjalani hidupnya sehari-hari. Tetapi herannya banyak pendidik “Kristen” bahkan siswa “Kristen” tidak mau memakai Firman Tuhan sebagai sumber pengetahuan, tetapi intuisinya ditambah manajemen dan psikologi. Akibatnya, tidak usah heran, tingkat bunuh diri, narkoba, free-sex bukan menurun, tetapi tambah naik. Adalah lebih bijaksana ketika kita belajar dari Raja Salomo yang menegur kita di dalam Pengkhotbah 12:12-13, “Membuat banyak buku tak akan ada akhirnya, dan banyak belajar melelahkan badan. Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang.” Kedua ayat yang ditulis oleh Raja Salomo ini mengajarkan kepada kita bahwa orang bijak seperti Salomo pun mengakui bahwa hikmat yang diperolehnya pun sia-sia jika tidak ada takut akan Allah. Bukankah seharusnya umat pilihan-Nya di dalam Kristus pun harus rendah hati mengakui bahwa hikmat yang diperolehnya adalah anugerah Allah yang harus dipertanggungjawabkan untuk memuliakan Allah.

· “takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;”
Terakhir, di dalam percaya di dalam Tuhan, ada unsur takut akan Tuhan yang menjauhi kejahatan. Inilah yang saya sebut sebagai circular understanding (pengertian yang melingkar). Artinya, ketika kita takut akan Tuhan, kita percaya di dalam-Nya dan percaya di dalam-Nya mengakibatkan kita semakin takut akan Tuhan. Takut di sini tidak sama dengan sikap takut ketika seseorang dikejar setan. Takut di sini berarti ada suatu sikap gemetar sekaligus sukacita ketika datang di hadapan-Nya. Tidak ada ajaran filsafat maupun agama apapun yang mampu mengajarkan bahwa ketika kita datang ke hadapan-Nya ada rasa sukacita sekaligus takut/gemetar, karena hanya Alkitab saja yang mengajarkan keseimbangan antara transendensi Allah yang berdaulat dan imanensi Allah di dalam pribadi Kristus yang berinkarnasi. Hal ini juga mengakibatkan kita taat menjalankan kehendak-Nya dengan sukacita dan rela hati sekaligus gemetar/takut. Di dalam dunia pendidikan, para siswa didik harus diajar bagaimana mereka harus takut akan Tuhan bukan hanya pada waktu di gereja saja, tetapi juga di dalam sekolah (aspek transendensi Allah), di mana mereka harus membangun semua pengetahuan di bawah terang Firman Allah. Selain itu, di dalam aspek imanensi Allah, para siswa didik harus dididik bagaimana mereka bergumul sendiri dengan Allah tentang panggilan-Nya di dalam hidup mereka. Dengan kata lain, saya menggabungkan unsur rohaniah dan jasmaniah di dalam dunia pendidikan Kristen. Pendidikan Kristen yang tidak menggarap dua unsur ini secara terkait (yang juga merupakan unsur di dalam pribadi manusia, yaitu tubuh dan jiwa) bukanlah pendidikan “Kristen” meskipun menyandang gelar “Kristen”.
Takut akan Tuhan juga diwujudnyatakan dengan suatu sikap yang semakin membenci dosa, yaitu menjauhi kejahatan. Kata “menjauhi” di dalam bahasa Ibraninya sûr bisa berarti turn off (mematikan). Dengan kata lain, orang yang takut akan Tuhan berarti orang yang juga mematikan dosa/kejahatan. Adalah suatu absurditas yang konyol jika banyak orang “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” mengaku diri takut akan Tuhan tetapi masih gemar berbuat dosa. Itu bukan iman Kristen ! Iman Kristen sejati adalah iman Kristen yang mematikan dosa atau jijik melihat dan berbuat dosa. Anak-anak Tuhan membenci dosa bukan karena takut dihukum Tuhan, tetapi atas dorongan pengudusan terus-menerus oleh Roh Kudus yang mengakibatkan mereka melakukan itu dengan suatu kerelaan hati dan sukacita setelah menerima anugerah penebusan Kristus. Di dalam pendidikan Kristen, unsur kekudusan ini harus diajarkan karena Alkitab mengajarkannya. Kekudusan harus diajarkan mulai dari pengajaran tentang kebenaran (baik ilmu maupun kerohanian) dari Firman Tuhan (Alkitab). Saya menyebutnya science sanctification (pengudusan ilmu). Lalu, disusul dengan pendidikan bagaimana membedakan manakah kebenaran dan mana yang tidak. Kemudian, para siswa didik harus diajar bagaimana mereka harus bersikap (memilih) sesudah mereka berani membedakan kebenaran dan kesesatan itu. Terakhir, atas pilihan yang telah mereka ambil, mereka harus diajar untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan.

KEMAJEMUKAN DAN DIALOG ANTAR AGAMA (Pdt. Billy Kristanto, M.C.S.)

Kemajemukan dan Dialog antar Agama


oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.



Melakukan dialog antar agama memang bukan merupakan hal yang mudah, karena sebelumnya kita perlu menelaah terlebih dahulu apa yang menjadi harapan dari masing-masing pihak dalam dialog tersebut. Tanpa membicarakan hal ini secara terbuka dan jujur, disertai dengan penyataan identitas yang terbuka dan jujur, agaknya sulit untuk berkomunikasi dalam jalur yang sama. Persoalan ini penting karena jika kita mengharapkan dialog yang realistis tentunya kita tidak mengharapkan pembicaraan yang sama-sama 'autis' (saya mendengarkan apa yang saya ingin dengar, bukan apa yang orang lain katakan). Namun sebelumnya kita perlu untuk melihat kesulitan tentang konsep tentang dialog ini terlebih dahulu, karena kita percaya tanpa konsep yang jelas kita tidak akan dapat berkomunikasi dengan baik satu sama lain. Salah satu yang perlu kita pikirkan terlebih dahulu adalah tentang "perbedaan". Bagaimana kita menyikapi perbedaan? Saya pribadi melihat ketidak-dewasaan dalam menanggapi persoalan yang realistis ini seringkali menghambat dialog yang juga realistis dan jujur, dan akhirnya konstruktif serta menghasilkan buah yang baik (fruitful dialog).
Pandangan yang terlebih dahulu kita perlu bereskan adalah semacam konsep ekumenisme yang bagi saya, tidak jujur dan tidak realistis, yaitu ekumenisme yang mengatakan "toh kita pada dasarnya sama, kita tidak perlu membicarakan perbedaan, karena kita ini semua satu, perbedaan hanya memecah-belah". Pandangan seperti ini sebenarnya naif, tidak jujur, paranoid dan tidak dewasa. Model-model ekumenisme yang seperti ini, entah dalam level antar agama, atau antar denominasi dalam satu kepercayaan, akan gagal untuk menciptakan suatu dialog yang kondusif dan konstruktif. Dasar yang ada di balik pandangan seperti ini adalah "perbedaan hanya membawa kepada konflik" dan "konflik akhirnya membawa kepada kekerasan (violence)" dan kita tahu bahwa "violence adalah amit-amit". Di sini kita melihat mitos yang mempercayai bahwa setiap perbedaan hanya akan membawa kepada konflik yang akhirnya menuju kepada kekerasan. Mitos ini, sekalipun bukannya tidak mungkin terjadi atau totally nonsense, juga tidak sepenuhnya benar. Maksudnya, tidak semua perbedaan berakhir pada kekerasan.

Di dalam kepercayaan Kristen kita percaya ada perbedaan yang bersifat komplementer, perbedaan yang saling memperkaya, perbedaan yang tidak perlu bersifat mengancam, perbedaan yang justru meneguhkan dan memperjelas identitas saya baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas yang menganut kepercayaan tertentu. Sikap seperti inilah yang perlu ditekankan dalam dialog yang sehat, jujur dan realistis, daripada mengatakan bahwa "ah, kita sebenarnya toh semua sama".

Di sisi yang lain kita juga harus jujur bahwa ada perbedaan yang tidak bersifat komplementer, maksudnya perbedaan yang tidak dapat lagi dipersatukan, ya, bahkan mungkin tidak bisa di-dialog-kan lebih jauh, karena bagi masing-masing penganut kepercayaan hal itu adalah sesuatu yang prinsipiil dan tidak mungkin dibuang dan ditanggalkan. Pada bagian ini, saya pikir kita juga harus belajar jujur bahwa perbedaan-perbedaan seperti itu memang ada, dan dalam konteks ini kita belajar untuk saling menghargai satu sama lain (meskipun kita tahu tetap ada hal yang berbeda yang kita tidak dapat saling setuju satu dengan yang lain). Perbedaan-perbedaan itu sendiri perlu dibedakan lagi, maksudnya, seberapa jauh hal itu penting dan mutlak bagi kepercayaan seseorang. Dengan demikian kita belajar untuk bersikap dewasa dengan sanggup membedakan perbedaan-perbedaan dari tingkat yang saling komplementer sampai kepada perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dikompromikan. Pada bagian yang terakhir ini kita dituntut untuk belajar saling menghargai satu dengan yang lain.

Kita dapat mengambil contoh untuk perbedaan-perbedaan yang tidak dapat dikompromikan misalnya seperti persoalan apakah “Yesus adalah Tuhan”. Pengakuan seperti ini sulit untuk didialogkan karena bagi kepercayaan Kristen pengakuan ini sangat penting dan tidak mungkin ditanggalkan, sementara bagi kepercayaan lain pernyataan itu bukan hanya tidak penting, melainkan juga tidak benar. Mencari titik temu di antara kedua pandangan (yaitu mempercayai Yesus adalah Tuhan atau Yesus bukan Tuhan) adalah hal yang absurd dan tidak mungkin dilakukan (kecuali kita tidak mengerti hukum kontradiksi atau kita menipu diri).

Pemikir religious pluralism seperti John Hick misalnya mencoba untuk membuat satu payung besar yang diharapkan untuk bisa memayungi semua agama yang mengklaim keunikan kepercayaan mereka masing-masing dengan konsepnya tentang “the Real”. Kalau kita jujur, kita tahu bahwa pandangan ini sebenarnya bukan memayungi semua payung-payung yang lain yang ada di bawahnya, melainkan hanya menambahkan keaneka-ragaman payung yang ada (payung yang ditawarkan oleh Hick adalah payung di antara sekian banyak payung yang lain). Ajaran inclusivisme yang dimengerti dalam konteks ‘payung besar’ ini sebenarnya adalah kebohongan dan kontradiksi dalam istilah. Mengapa? Karena mereka yang menganut pandangan pluralis sekalipun percaya bahwa pandangan mereka (yang pluralis) itu adalah yang paling benar dan paling tepat, dengan demikian pandangan, atau lebih tepat, agama pluralisme tidak luput dari spirit eksklusivisme! Mereka eksklusiv terhadap pandangan yang non-inklusiv. Tapi mungkin sebagian di antara kita ada yang terganggu dengan istilah eksklusiv – inklusiv, kita bisa mengganti istilah tersebut dengan “keunikan” (instead of eksklusivitas) . Pada dasarnya semua kepercayaan, tanpa terkecuali pasti mengklaim keunikan kepercayaan mereka masing-masing, termasuk juga kepercayaan religious pluralisme. Dengan demikian pandangan seperti ini sebenarnya hanya menambahkan jumlah payung agama yang ada, instead of menciptakan satu payung besar di atas payung-payung yang lain. Kejujuran seperti ini perlu sebelum kita memulai suatu dialog yang kondusif dan konstruktif. Persoalan yang lain yang terjadi dalam dialog antar agama adalah memaksakan mendialogkan hal-hal yang memang sulit untuk didialogkan (kita tadi mengambil contoh di atas misalnya seperti pengakuan bahwa “Yesus adalah Tuhan”). Bagian-bagian seperti ini meskipun bukan tidak mungkin sepenuhnya untuk didialogkan (hopefully saya akan kembali pada thema ini lain kali), namun membutuhkan kedewasaan dan sikap saling menghargai satu dengan yang lain, sebab jika tidak yang terjadi bukanlah dialog yang sehat tapi: semangat baku hantam, semangat perang salib, saling menyerang dan menghina satu sama lain, saling menyakiti. Pembicaraan seperti ini tidak konstruktif malah akan menabur spirit kebencian dan inilah yang sebenarnya memang dapat memicu budaya kekerasan. Persoalan yang berikutnya jika kita memaksakan dialog untuk tema-tema yang sentral seperti ini adalah: kita perlu untuk memperhatikan takaran dan kedewasaan iman seseorang (bukan hanya kedewasaan pribadi atau psikologis, tapi juga kedewasaan rohani). Banyak penganut kepercayaan yang tidak siap dalam menghadapi dialog seperti ini, dan instead of iman mereka dibangun, malah menjadi goncang. Semua ini perlu diperhitungkan dan dipertimbangkan. Karena itu saya pribadi lebih setuju bahwa toh seandainya dialog mengenai tema-tema sentral seperti itu dilakukan, maka sebaiknya dilakukan di antara para pemimpin agama, dan bukan di dalam forum umum karena tidak semua orang sanggup mencerna makanan keras. Dan kalau toh dialog-dialog seperti ini dilakukan, kita harus jujur dan jelas bahwa tujuannya bukanlah untuk mencari titik temu (karena itu tidak mungkin alias absurd), melainkan untuk memperkaya wawasan satu sama lain, dengan demikian menciptakan toleransi yang lebih dalam dan dewasa karena toleransi itu dibangun di dalam pengertian bahwa kita memang berbeda namun kita tetap bisa mengasihi yang berbeda dengan kita (bagi saya inilah spirit inklusiv yang sejati, yaitu bukan dengan meniadakan dan menindas perbedaan, melainkan dengan tetap belajar mengasihi mereka yang berbeda dengan kita). Kita melihat bahwa Yesus Kristus adalah teladan yang sempurna di dalam hal ini. Dia yang adalah Allah Pencipta, mengasihi kita manusia yang diciptakanNya, Dia yang Mahakudus mengasihi dan menerima kita yang najis dan berdosa. Allah yang dipercaya di dalam kekristenan adalah Allah yang inklusif, bukan di dalam pengertian dia menutup mata terhadap perbedaan, melainkan dalam pengertian Dia berani menghadapi perbedaan, bahkan mengorbankan AnakNya sendiri mati di atas kayu salib untuk mengatasi perbedaan tersebut di dalam kasihNya. How great Thou art!

Point yang terakhir yang ingin saya sharingkan adalah, jika demikian tema-tema apa yang dapat dilakukan dalam dialog antar agama, jika tema-tema sentral begitu sulit dan membutuhkan kedewasaan yang besar untuk melakukannya? Kita masih dapat melakukan pekerjaan bersama-sama dalam tema-tema yang sama-sama tercakup dalam setiap kepercayaan. Yang saya maksud di sini adalah misalnya seperti tentang keadilan, pendidikan, ekologi, ekonomi, persoalan kemiskinan dan masih banyak yang lain. Kita percaya dalam bagian seperti itu masing-masing kepercayaan dapat memberikan sumbangsih permikiran dan bersama-sama membangun bangsa dan negara yang kita kasihi. Dialog seperti ini tidak menutup mata terhadap perbedaan kepercayaan dalam tema-tema yang sentral, namun dengan sikap yang dewasa belajar untuk menghargai keputusan setiap orang, tidak tertutup juga kemunkinan untuk saling menyaksikan kepercayaan sentral itu kepada penganut kepercayaan yang lain, namun bukan dalam sikap baku hantam dan saling melecehkan, melainkan dalam spirit kesaksian, karena kita percaya yang sanggup membawa manusia dalam pengertian kebenaran bukanlah manusia melainkan Allah sendiri. Dialog-dialog yang dewasa dan bijaksana seperti itu kita harap bukan sekedar menjadi retorika kosong alias excuse untuk menutupi kekurangan kita, melainkan dengan suatu pengharapan bahwa hal seperti itu dapat dipakai Allah untuk menjadi berkat bagi bangsa ini.


Sumber :
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/6198





Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dip.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96). Setelah lulus dari situ melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) di Den Haag, a conservatory with the largest early music department in the world (mempelajari historical performance practice). Belajar di bawah Ton Koopman, seorang dirigen, organis, cembalis dan musicolog yang sangat ahli dalam interpretasi karya J.S. Bach. Selain itu juga mempelajari fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland.
Setelah lulus dari situ pada tahun 1998 pulang ke Indonesia, lalu melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia/GRII di Jakarta (Februari 1999). Pada tahun yang sama memulai studi theologia di Institut Reformed di Jakarta dan lulus pada tahun 2002 dengan Master of Christian Studies (M.C.S.). Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Dekan School of Music di Institut Reformed Jakarta serta menggembalakan jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Jerman : Berlin, Hamburg dan Munich. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII pada Paskah 2005 dan beliau sedang menempuh studi doktoral di Universitas Heidelberg, Jerman.

Matius 3:1-5 : LIVE IN CONTRIBUTE

Ringkasan Khotbah Mimbar di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya tanggal 25 April 2004

Live in Contribute

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 3:1-5



Pola hidup Yohanes Pembaptis sangatlah unik dan berbeda dengan orang lain pada umumnya bahkan dapat dikatakan mendobrak tatanan hidup manusia. Hidup Yohanes Pembaptis bukan untuk diri sendiri melainkan untuk menjadi berkat bagi dunia. Prinsip hidupnya adalah hidup itu untuk memberi, sangat kontras dengan konsep hidup dunia yang mengajarkan bahwa hidup harus menerima atau mendapatkan sesuatu, to get something. Manusia hanya dididik untuk mementingkan diri sendiri. Dan yang sangat memprihatinkan konsep ini ditanamkan pada para hamba Tuhan yang hendak diutus untuk melayani; mereka diajarkan supaya memperoleh berkat dari tempat dimana dia berada. Seorang anak Tuhan sejati, hidupnya harus menjadi berkat, hidup untuk memberi bukan menerima berkat. Bagaimana dengan hidup kita? Sudahkah kita menjadi berkat bagi dunia?

Setiap orang tua pasti menginginkan hidup anaknya sukses namun sayang kesuksesan tersebut hanyalah kesuksesan yang bersifat materi belaka. Karena itu sejak dari kecil orang tua selalu menanamkan konsep tentang mendapat. Anak selalu diajar untuk mencari uang sebanyak-banyaknya kemudian uang yang didapat tersebut harus disimpan baik-baik untuk jaminan hari depan. Oleh sebab itu maka wajarlah kalau orang lebih mementingkan fasilitas dan bila ia tidak mendapatkan keuntungan maka ia akan mencari tempat lain yang lebih menguntungkan. Kalau kita hanya berpikir untuk “mendapat dan mendapat“ saja maka kita akan menjadi seorang yang tamak. Celakanya, orang tidak menyadari bahwa ketamakan akan mempengaruhi relasi kita dengan sesama bahkan merusak hubungan keluarga.
Tuhan menciptakan manusia supaya menjadi berkat bagi orang lain tetapi justru yang terjadi adalah manusia saling menghancurkan demi untuk keuntungan diri sendiri. Iblis telah berhasil merusak paradigma atau cara pikir dasar manusia sehingga manusia gagal menjalankan esensi hidup yang sesungguhnya. Ingat, jika tujuan hidup manusia hanya untuk “mendapat“ saja maka manusia akan hidup dalam ketegangan; manusia tidak akan pernah puas. Kita akan merasakan sukacita yang sejati dan kedamaian bila kita memberi karena Tuhan memanggil manusia di dunia untuk hidup saling berbagi.

Yohanes Pembaptis tahu bahwa Allah telah menetapkannya untuk menjadi pembuka jalan bagi Tuhan Yesus dan hal ini tidaklah mudah karena banyak tantangan dan resiko yang harus dihadapi. Tidak semua tokoh iman dicatat oleh Alkitab secara terperinci hingga ke pakaian dan makanannya seperti Yohanes Pembaptis. Kalau Alkitab sampai mencatat pakaiannya terbuat dari bulu onta dan makanannya adalah belalang dan madu hutan berarti ada sesuatu yang bermakna yang ditujukan untuk kita.

Sebagian besar hidup pelayanan Yohanes Pembaptis berada di padang gurun karena itu dibutuhkan pakaian dengan bahan tertentu yang dapat melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas. Dalam hal ini jubah dari bulu unta dan ikat pinggang dari kulit sangat tepat karena kuat dan tahan lama. Di Palestina, khususnya di daerah padang gurun belalang sangat banyak dijumpai bahkan menyulitkan karena merusak tanaman. Belalang dengan jenis tertentu memang biasa dikonsumsi oleh rakyat miskin atau ketika masa kelaparan datang menimpa negeri itu. Madu hutan banyak terdapat di daerah Palestina bahkan sampai sekarang mereka masih memproduksi madu hutan. Tubuh yang sehat dan kuat diperoleh Yohanes Pembaptis dari madu hutan yang mengandung banyak karbohidrat.

Dengan demikian Yohanes Pembaptis tidak bergantung pada siapapun sehingga ia tidak takut untuk memberitakan berita yang kontroversial itu. Berita yang dikabarkan Yohanes Pembaptis sangat keras dan tidak disukai oleh orang karena itu ia tidak boleh berada di bawah otoritas tertentu supaya tidak mudah didikte oleh mereka yang kepadanya dia menggantungkan diri. Kalau kita berada di bawah otoritas maka kita tidak akan berani mengambil suatu keputusan karena nasib hidup kita ada ditangannya; kita harus taat pada semua perintahnya dengan demikian panggilan Tuhan dalam hidup kita menjadi terhambat karena kita gagal mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam hidup kita. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kita mempunyai keberanian untuk mau hidup berkontribusi dan tanpa mengharapkan imbalan? Hidup Yohanes Pembaptis dengan misi yang unik dan sukar untuk kita boleh mengerti sebuah kehidupan tapi dia tahu yang terbaik. Empat aspek yang akan kita soroti dari cara hidup Yohanes Pembaptis yang dapat kita jadikan teladan, yaitu:
1. Hidup tertata dengan baik, live to manage. Manusia tidak menyadari bahwa selama ini hidup seringkali dilewatkan bahkan dihamburkan dengan sia-sia. Banyak orang yang tidak menggunakan waktu, uang dan tenaga dengan baik, semua dibuang dengan percuma untuk sesuatu hal yang sia-sia. Manusia selalu ingin mendapatkan sesuatu yang menguntungkan demi untuk memuaskan nafsunya. Inilah sifat manusia berdosa. Ketika manusia mulai menyadari akan betapa berharganya waktu maka manusia mencoba membuat sistem mekanisme. Dan akhirnya, manusia tidak ubahnya seperti robot, selalu diatur dan dikendalikan oleh suatu mekanisme yang bersifat mati. Ingat, penyesalan kita tidak akan dapat mengulang waktu kembali jadi gunakanlah hidupmu dengan sebaik mungkin, untuk sesuatu yang bermanfaat, yaitu demi untuk kemuliaan namaNya. Hidup manusia menjadi lebih indah jika ditata dengan baik. Hendaklah tiap-tiap hari kita mengevaluasi diri sudahkah hari ini lebih baik dari hari kemarin dan apakah semua waktu telah kita pergunakan dengan baik dan menghasilkan kualitas yang lebih baik dari kemarin?
Mengatur waktu dengan mekanisme merupakan suatu hal baik akan tetapi janganlah kita dijepit oleh waktu dan akhirnya malah membuat hidup kita menjadi stress. Inilah paradoks yang harus kita mengerti. Di satu sisi kita tidak boleh dijepit waktu tetapi di sisi yang lain kita harus memacu diri untuk menggunakan waktu sesingkat mungkin namun berkualitas baik. Waktu pelayanan Yohanes Pembaptis sangat singkat namun ia telah sukses menata hidupnya dan menghasilkan kualitas yang baik. Yohanes Pembaptis tahu bahwa Yesuslah yang terutama karena itu ia mulai mengurangi pelayanannya sebab Dia yang harus makin bertambah dan aku harus semakin berkurang. Meski waktu pelayanannya di dunia sangat singkat namun hal itu tidak menurunkan kualitas pelayanannya. Yohanes Pembaptis telah sukses menata hidupnya.

2. Hidup berorientasi untuk memberi, live to give. Yohanes Pembaptis tidak pernah bosan dan tiada henti-hentinya setiap saat menyadarkan orang akan dosa supaya kembali pada jalan Tuhan, mewartakan berita pertobatan. Di sepanjang hidupnya, Yohanes Pembaptis tidak mengerjakan banyak hal tetapi dia telah memberi yang terbaik untuk seluruh manusia dan beritanya telah dicatat di sepanjang sejarah jaman dan didengar oleh seluruh umat manusia di dunia. Kita akan merasakan sukacita sejati kalau orientasi hidup kita adalah untuk memberi dan menjadi berkat bagi orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Jangan takut meski orang Kristen minoritas namun kita akan menjadi mayoritas jika telah menjadi berkat buat mayoritas. Dengan demikian jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada yang minoritas tentu yang mayoritas tidak akan tinggal diam karena kita yang telah menjadi bagian dari mayoritas.
Konsep dunia sangat kontras dengan ajaran Tuhan Yesus. Dunia mengajarkan semakin banyak menerima maka hidup menjadi bahagia. Salah! Hal itu justru akan menjadi bumerang yang mencelakakan hidup kita sendiri. Keegoisan diri kita membuat kita dibenci dunia. Lalu apakah kalau hidup kita menjadi berkat bagi orang lain, dunia tidak akan membenci kita? Tidak! Dunia juga pasti akan membenci karena ketika anak Tuhan memancarkan terang maka tidak akan ada tempat untuk bersembunyi. Inilah paradoks yang harus kita mengerti. Anak Tuhan yang sejati hendaklah menjadi garam dan terang sehingga dengan demikian kita dapat menjadi berkat. Hati-hati dengan orang yang berkedok kasih melakukan segala perbuatan baik akan tetapi semua itu hanya demi untuk kemegahan diri. Alkitab menegaskan jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu (Mat. 6:3). Hidup manusia di dunia sangat singkat karena itu pergunakanlah waktu yang sangat singkat ini dengan menjadi berkat bagi orang lain dan engkau akan merasakan sukacita sejati. Bagaimana dengan hidup kita? Dimanapun kita berada sudahkah kita menjadi berkat?

3. Hidup untuk memuliakan nama Tuhan, live for glory. Apa yang menjadi motivasi kita ketika memberi? Yohanes Pembaptis melakukannya dengan motivasi murni, yaitu untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk kemegahan diri. Dia berani berkorban demi untuk memberitakan berita yang kontroversial, ia tidak pernah memperhitungkan nama baiknya. Yohanes Pembaptis melakukan perbuatan baik bukan untuk mendapatkan pujian dan demi untuk kepentingan diri sendiri. Hari ini banyak orang Kristen mau berbuat baik tetapi tidak mau berkorban, mereka takut menghadapi resiko. Lalu apa bedanya dengan dunia?
Sebagai orang Kristen, kita harus siap dibenci oleh dunia dan siap berkorban oleh sebab kebenaran. Kita harus mempunyai motivasi yang murni dan sejati, yaitu to glorify God, mempermuliakan Tuhan di sepanjang hidup kita. Biarlah kita mau meneladani sikap hidup Yohanes Pembaptis, yakni Dia yang harus makin bertambah dan aku yang harus makin berkurang. Di dunia ini banyak orang yang hanya ingin mementingkan diri, mencari kemuliaan diri dan kesenangan diri tapi Tuhan justru mengajarkan supaya kita memberi dengan demikian hidup kita menjadi berkat sehingga orang lain dapat melihat, mengenal dan menerima Yesus sebagai Juruselamat.

4. Hidup limpah dalam anugerah Tuhan, live for richness. Kalau kita punya sesuatu yang dapat kita berikan pada orang lain, ingatlah itu semua bukan milik kita tapi semua itu berasal dari Allah. Jangan pernah terlintas sedikitpun dalam pikiran kita bahwa uang yang kita berikan itu adalah dari hasil kerja kita. Tidak! Pekerjaan itu pun asalnya juga dari Tuhan maka tidak ada seorang pun yang berhak memegahkan diri. Segala kepandaian, kekayaan dan kehebatan kita asalnya dari Tuhan. Jadi, merupakan suatu anugerah kalau kita dapat memperoleh semuanya itu. Ingat, Tuhan yang memberi maka Dia berhak mengambil. Bersyukurlah kalau sampai detik ini kita masih dapat menghirup udara, kita masih hidup dan merasakan anugerah kasih Tuhan. Hendaklah kita menyadari bahwa kalau Tuhan masih berkenan memakai kita menjadi saluran berkat itu merupakan suatu anugerah besar. Siapakah kita sehingga Tuhan berkenan memakai kita?

Kalau kita dapat memberi menunjukkan bahwa kita adalah orang kaya sejati. Coba pikir, kalau kita tidak kaya bagaimana mungkin kita dapat memberi, bukan? Ukuran orang kaya bukan uang atau deposito yang ada di bank. Tuhan sangat menghargai orang yang memberi dengan sepenuh hati. Tuhan memuji persembahan janda miskin yang hanya 2 peser karena ia memberi dengan sepenuh hati; ibu janda itu menyadari bahwa semua yang ada pada dirinya adalah berasal dari Tuhan. Ingat, kita tidak akan menjadi miskin karena kita memberi justru dengan memberi menunjukkan bahwa kita hidup dalam berkelimpahan. Tuhan akan membuka tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkatNya ketika kita memberi. Hati-hati, banyak orang yang salah menafsirkan ayat ini, mereka pikir dengan memberi sedikit maka Tuhan akan memberi lebih banyak, seperti orang berharap mendapat ikan kakap dengan umpan ikan teri. Salah!

Orang seringkali beranggapan bahwa Tuhan seperti layaknya seorang Raja yang kejam yang ingin mengeruk harta saja. Tidak, Tuhan kita justru seorang Raja yang kasih, Dia senantiasa memeliharakan hidup kita. Namun seandainya hal itu benar, Dia layak mengambil kembali semua harta kita toh semua itu asalnya dari Tuhan. Puji Tuhan, Dia justru menunjukkan pada kita bahwa Ia adalah Allah yang penuh cinta kasih, Ia melimpahkan berkat yang berkelimpahan pada kita. Yohanes Pembaptis tidak pernah mengharapkan imbalan sedikit pun dari semua hal yang ia lakukan, mempertobatkan orang banyak dan ia tidak pernah merasa berjasa karena dirinya sebagai pembuka jalan bagi Tuhan Yesus. Sebaliknya, justru dengan rendah hati ia mundur dari pelayanan ketika Tuhan Yesus datang ke dunia. Paulus juga merasakan kasih karunia dan kelimpahan hidup di dalam Kristus setelah bertobat.

Tuhan Yesus telah memberikan teladan bagi kita semua; Dia yang adalah Tuhan pemilik alam semesta rela datang ke dunia, Ia mengosongkan diriNya dan mengambil rupa seorang hamba untuk berbagi, Dia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan Dia memberikan nyawa untuk menjadi tebusan bagi banyak orang. Maukah kita dipakai menjadi alatNya? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Roma 2:1-2 : MURKA ALLAH TERHADAP KEBEBALAN MANUSIA-4

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-6


Murka Allah terhadap Kebebalan Manusia-4

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:1-2


Pada ayat sebelumnya (pasal 1 ayat 32), manusia yang berdosa yang sudah mengetahui hukuman Allah tetapi tetap tidak melakukannya bahkan menyetujui orang lain yang melakukan perbuatan dosa. Maka, orang lain, mungkin juga orang Kristen, termasuk di dalamnya bisa menghakimi mereka sebagai orang berdosa. Inilah kebebalan manusia model yang lain. Benarkah tindakan ini ? Berkenaan dengan hal menghakimi orang lain, Paulus langsung membagi dua macam orang yang saling berkaitan, yaitu orang yang menghakimi orang lain tidak segera sadar bahwa pada saat yang sama mereka juga menghakimi diri sendiri (ayat 1-2) dan orang yang menghakimi orang lain pun tidak sadar bahwa mereka sendiri melakukan perbuatan dosa yang sama (ayat 3). Pertama, Paulus langsung mengajarkan, “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.” atau menurut terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Oleh karena itu, Saudara-saudara, siapakah Saudara sehingga Saudara mau menyalahkan orang lain? Saudara tidak punya apa-apa untuk membela diri! Sebab kalau Saudara menyalahkan orang lain, padahal Saudara sendiri melakukan perbuatan yang sama seperti mereka, maka Saudara menjatuhkan hukuman atas diri sendiri juga.” King James Version mengartikannya, “Therefore thou art inexcusable, O man, whosoever thou art that judgest: for wherein thou judgest another, thou condemnest thyself; for thou that judgest doest the same things.” Dalam ayat 1 ini, Paulus menggunakan kata “hai manusia” yang diterjemahkan oleh BIS, “Saudara-saudara”, tetapi KJV, International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) sama-sama mengartikannya, “O man,”. Siapakah yang Paulus maksudkan dengan kata “manusia” ini ? Menurut latar belakang surat Roma yang ditujukan kepada jemaat Roma yang juga terdapat orang-orang Yahudi. Selain itu, kalau kita melihat pada pasal 2, kata-kata “Taurat” muncul yang menunjukkan bahwa Paulus mengingatkan orang-orang Yahudi yang munafik yang mengatakan hafal Taurat tetapi tidak mengerti esensi Taurat sejati. Sehingga, kata “manusia” atau “Saudara-saudara” (BIS) dapat ditafsirkan orang-orang Yahudi di Roma (dapat diimplikasikan kepada orang-orang Kristen) yang menganggap diri suci karena sudah mempelajari dan menghafal Taurat. Matthew Henry di dalam Matthew Henry’s Concise Commentary memaparkan,
The Jews thought themselves a holy people, entitled to their privileges by right, while they were unthankful, rebellious, and unrighteous. (=orang-orang Yahudi berpikir bahwa mereka itu orang suci, karena hak istimewa yang mereka peroleh, meskipun mereka itu sebenarnya tidak tahu berterima kasih, memberontak dan berdosa/jahat.)

Hal “menghakimi” sudah menjadi hal yang mendarahdaging di dalam tradisi Yudaisme, di mana banyak para ahli Taurat dan orang Farisi yang mengklaim diri mereka mempelajari, menghafal dan mengerti Taurat lalu menuding orang-orang kafir sebagai orang-orang yang berdosa yang tidak mungkin diselamatkan oleh Allah, tetapi sayangnya mereka tidak mengerti esensi Taurat, sehingga ketika Kristus datang untuk menerjemahkan Taurat dengan pengertian yang sejati, mereka marah dan menyalibkan-Nya di Golgota. Hak istimewa yang diperoleh oleh orang-orang Yahudi (yaitu pemberiaan Taurat) tidak membuat mereka bersyukur lalu menyaksikan cinta kasih Allah ini kepada orang-orang di luar Yahudi, tetapi malahan mereka menghakimi mereka yang tidak memiliki Taurat sebagai orang kafir dan layak dihukum Allah. Hal ini lah yang dikritik oleh Paulus bahwa mereka menghakimi orang lain, padahal mereka tidak sadar bahwa dengan menghakimi orang lain, mereka juga menghakimi dirinya sendiri. Hal ini bisa diimplikasikan di dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Mungkin sekali kita menganggap diri orang Kristen, melayani Tuhan di dalam gereja, kampus, lembaga-lembaga sosial, dll, tetapi benarkah hati kita berpaut kepada Kristus sehingga kita mau melakukan apa yang Ia perintahkan dengan kesungguhan dan kerelaan hati kita ? Ataukah keKristenan kita hanya sekedar topeng yang menipu orang-orang dunia seperti orang-orang Yahudi yang menggunakan topeng Yudaisme dan Taurat untuk mengelabui orang-orang dunia tentang “kesalehan” mereka yang munafik ?!


Terhadap mereka yang gemar menghakimi (judge : mengkritik, mengadili, dll) orang lain, Paulus mengatakan bahwa
Pertama, mereka itu juga tidak bebas dari salah atau tidak dapat dimaafkan (inexcusable). Mereka pikir bahwa dengan menghakimi orang lain, menunjukkan diri mereka suci, tanpa dosa. Itulah orang-orang Yahudi yang munafik yang ditegur oleh Tuhan Yesus dengan sangat keras di dalam Matius 23. Benarkah dengan menghakimi orang lain kita bebas dari dosa ? TIDAK. Justru kita lah yang tidak dapat dimaafkan, karena menganggap diri tidak berdosa. Padahal, semua orang telah berdosa dan mengurangi kemuliaan Allah (Roma 3:23). Tetapi jangan salah mengerti ayat ini lalu berkata bahwa Alkitab mengatakan kita tidak boleh sama sekali mengkritik atau menghakimi. Itu jelas salah. Di dalam Alkitab, memang Tuhan Yesus berkata kepada kita bahwa kita tidak boleh menghakimi (Matius 7:1, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.”), tetapi benarkah pasal 7 berbicara secara keseluruhan mengenai perintah jangan menghakimi?! TIDAK. Menurut metode penafsiran Alkitab yang beres yang tidak boleh mengabaikan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (memperhatikan keseluruhan konteks dan perikop), maka ayat 1 tidak boleh dipisahkan dari ayat 2 yang berkata, “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Yang dipermasalahkan oleh Tuhan Yesus bukan tidak boleh menghakimi, tetapi ukuran (Yunani : metron ; Inggris : measure) apa yang dipakai untuk menghakimi (Yunani : krinō yang bisa berarti menggolongkan, membedakan, menghukum, dll). Kalau benar yang dimaksudkan Tuhan Yesus di dalam Matius 7 bahwa kita tidak boleh menghakimi, mengapa pada pasal yang sama di ayat 21-23, Ia sendiri seolah-olah “menghakimi” orang-orang munafik yang berseru, “Tuhan, Tuhan”, padahal mereka sebenarnya berbuat kejahatan ?! Apakah ini tidak konsisten ?! TIDAK. Yang benar adalah kita boleh menghakimi asalkan penghakiman kita itu adil. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan, “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.” (Yohanes 7:24). Kata “adil” dalam bahasa Yunani dikaios yang juga bisa berarti benar. Kalau kita melihat sekilas konteksnya, maka ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa jangan menghakimi menurut sesuatu yang kelihatan (fenomenal), maka pada saat itu Ia sedang menegur orang-orang Yahudi yang sedang mempersalahkan Tuhan Yesus yang menyembuhkan orang di hari Sabat. Mereka menggunakan standart Taurat untuk menghakimi Tuhan Yesus, padahal standart yang mereka pergunakan mereka tafsirkan menurut tafsiran mereka sendiri (bukan menurut arti Taurat itu sesungguhnya). Sehingga ketika Kristus mengatakan bahwa jangan menghakimi menurut hal-hal fenomenal, tetapi harus dengan adil/keadilan, maka secara implisit Ia hendak mengatakan kepada orang-orang Yahudi untuk tidak mempermainkan standart kebenaran untuk ditafsirkan menurut kehendak sendiri. Geneva Bible Translation Notes memberikan sedikit penjelasan mengenai ayat ini, “We must judge according to the truth of things, lest men turn us from the truth and carry us away.” (=Kita harus menghakimi menurut Kebenaran akan sesuatu, supaya manusia tidak memalingkan kita dari Kebenaran dan membawa kita jauh/ke arah yang lain.). Jadi, yang Tuhan Yesus tegur adalah kita tidak boleh menghakimi dengan menggunakan standart diri kita sebagai “kebenaran”, karena jika kita bertindak demikian, maka kita pasti dihakimi juga oleh Allah. Tetapi, yang Tuhan inginkan adalah kita menghakimi menurut standart penghakiman Allah yang mempertimbangkan kasih dan keadilan sesuai Firman-Nya, Alkitab.


Kedua, mereka sebenarnya menghakimi diri mereka sendiri yang melakukan apa yang mereka tuduhkan kepada orang lain. Dengan menghakimi orang lain, secara tidak sadar mereka juga sebenarnya menghakimi diri mereka sendiri yang tidak berbeda jauh dari tindakan yang mereka tuduhkan. Misalnya, kalau kita kembali melihat Yohanes 7, terhadap orang-orang Yahudi dengan menggunakan hukum Musa menghakimi Tuhan Yesus yang menyembuhkan orang sakit di hari Sabat, Kristus menegur mereka, “Jadi: Musa menetapkan supaya kamu bersunat--sebenarnya sunat itu tidak berasal dari Musa, tetapi dari nenek moyang kita--dan kamu menyunat orang pada hari Sabat! Jikalau seorang menerima sunat pada hari Sabat, supaya jangan melanggar hukum Musa, mengapa kamu marah kepada-Ku, karena Aku menyembuhkan seluruh tubuh seorang manusia pada hari Sabat.” (Yohanes 7:22-23). Mereka berpikir bahwa dengan menghakimi orang lain, termasuk Tuhan Yesus, mereka boleh dikategorikan sebagai orang hebat, karena telah mengerti Taurat, benarkah demikian ? Tuhan Yesus tidak mungkin dapat dipermainkan, Ia langsung menegur mereka yang munafik. Mereka mengatakan bahwa tidak boleh melakukan apapun di hari Sabat, tetapi mereka sendiri menyunat orang di hari Sabat supaya tidak melanggar hukum Musa. Ini berarti mereka menetapkan standart mereka sendiri untuk menghakimi orang lain, lalu menggunakan Taurat sebagai topeng. Taurat hanya dilihat secara sebelah mata (sebagian/partial), dan tidak dilihat secara menyeluruh, sehingga mereka tergoda untuk menafsirkan Taurat yang mengajarkan bahwa tidak boleh melakukan apapun di hari Sabat, tanpa melihat bagian lain dari Taurat dan Perjanjian Lama yang mengajarkan esensi dari Sabat adalah tanda perjanjian antara Allah dengan Israel (Keluaran 31:15-16) dan di hari Sabat, yang Allah inginkan adalah kesungguhan hati bersekutu dengan-Nya (misalnya, dengan berpuasa, dll). Memang, di hari Sabat, Allah memerintahkan orang Israel untuk tidak melakukan pekerjaan, tetapi intinya bukan berarti mutlak tidak boleh bekerja apapun di hari Sabat, melainkan intinya adalah persekutuan antara Allah dengan manusia. Hal ini tidak disadari oleh orang Yahudi yang menafsirkan Taurat menurut kehendak mereka sendiri lalu dijadikan “standar kebenaran” untuk menghakimi orang lain. Kalau benar bahwa di hari Sabat, menurut pemikiran orang-orang Yahudi, manusia tidak boleh berbuat apapun juga, mengapa di hari Sabat, Musa tetap meminta mereka untuk makan makanan yang telah dipungut pada hari-hari sebelumnya ? Perhatikan peristiwa ini di dalam Keluaran 16:23-25, “Lalu berkatalah Musa kepada mereka: "Inilah yang dimaksudkan TUHAN: Besok adalah hari perhentian penuh, sabat yang kudus bagi TUHAN; maka roti yang perlu kamu bakar, bakarlah, dan apa yang perlu kamu masak, masaklah; dan segala kelebihannya biarkanlah di tempatnya untuk disimpan sampai pagi." Mereka membiarkannya di tempatnya sampai keesokan harinya, seperti yang diperintahkan Musa; lalu tidaklah berbau busuk dan tidak ada ulat di dalamnya. Selanjutnya kata Musa: "Makanlah itu pada hari ini, sebab hari ini adalah sabat untuk TUHAN, pada hari ini tidaklah kamu mendapatnya di padang.” Bukankah “makan” termasuk salah satu aktivitas bekerja ? Lalu, mengapa pula Tuhan menghina perayaan Sabat yang orang Israel lakukan dengan kemunafikan, “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan.” (Yesaya 1:13) ? Karena mereka merayakan hari Sabat bukan dengan kesungguhan dan kerelaan hati yang taat kepada Tuhan dengan melakukan apa yang Ia perintahkan secara keseluruhan, tetapi mereka melakukan apa yang jahat di mata-Nya. Perhatikan peringatan Tuhan Allah di dalam Yesaya 1:15-20, “Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! Marilah, baiklah kita berperkara! --firman TUHAN--Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba. Jika kamu menurut dan mau mendengar, maka kamu akan memakan hasil baik dari negeri itu. Tetapi jika kamu melawan dan memberontak, maka kamu akan dimakan oleh pedang." Sungguh, TUHAN yang mengucapkannya.” Yang Tuhan inginkan bukan korban persembahan, tetapi hati yang mengasihi-Nya dengan melakukan perintah-perintah-Nya yaitu dengan mengusahakan keadilan dan kasih berdasarkan Firman Allah. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita suka menuduh orang lain dengan standart yang kita bangun sendiri sebagai “kebenaran”, padahal kita pun juga melakukan hal yang sama bahkan lebih parah daripada orang yang kita tuduh tersebut ? Kalau kita suka bertindak demikian, bertobatlah, dan berusahalah mengoreksi diri kita sendiri sebelum mengoreksi orang lain.


Kepada mereka yang suka menghakimi orang lain secara sembarangan, Paulus menasehatkan, “Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian.” King James Version menerjemahkan, “But we are sure that the judgment of God is according to truth against them which commit such things.” Kata “kita tahu” di dalam Terjemahan Baru diterjemahkan KJV dengan lebih jelas yaitu “kita yakin” (we are sure) di mana ini merupakan suatu keyakinan yang pasti yang tidak bisa ditolerir lagi. Keyakinan apakah itu ? Keyakinan yang pasti bahwa penghakiman Allah yang berdasarkan Kebenaran akan tiba pada mereka yang menghakimi orang lain dengan standart yang tidak bertanggungjawab. Mereka yang menghakimi orang lain dengan standart yang tidak bertanggungjawab akan dihakimi oleh Allah dengan standart penghakiman Allah yang berdasarkan Kebenaran. Kata “kebenaran” atau truth ini dari bahasa Yunani aletheia yang identik dengan Kebenaran mutlak/absolut. Jadi, standart kita menghakimi seharusnya bukan dengan standart kerelatifan manusia, tetapi standart penghakiman Allah melalui keabsolutan Firman Allah, Alkitab yang dimengerti secara bertanggungjawab. Meskipun demikian, kita tetap harus menyerahkan segala penghakiman yang paling mutlak hanya kepada Allah sebagai Hakim yang Adil. Di sini, saya membagi tiga macam tindakan penghakiman, yaitu, pertama, kita terlebih dahulu harus mengoreksi (menghakimi) diri kita sebelum menghakimi orang lain ; kedua, kita boleh menghakimi orang lain hanya dengan standart keabsolutan Firman Allah, dan ketiga, penghakiman yang tadi kita lakukan bisa saja salah (karena ketidakmengertian kita secara 100% akan Alkitab), oleh karena itu, kita harus menyerahkan segala penghakiman yang paling final, absolut dan benar kepada Allah.


Hari ini, setelah kita mendengarkan dan merenungkan Firman Allah tentang hal penghakiman sejati, maukah kita mengubah tindakan kita yang gemar menghakimi orang lain secara membabi buta melalui pengubahan paradigma yang sesuai Alkitab bahwa kita dapat menghakimi orang lain setelah kita menghakimi diri kita sendiri, sesuai dengan Alkitab dan selebihnya, secara sempurna, kita menyerahkan penghakiman kepada Allah yang Mahaadil ? Kembalilah kepada standart penghakiman yang Allah telah tetapkan. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-10 : LECTURES ON CALVINISM (Prof. DR. DS. ABRAHAM KUYPER)

...Dapatkan segera...
Buku
LECTURES ON CALVINISM
(Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme)


oleh : Prof. DR. DS. ABRAHAM KUYPER

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection) 2005

Penerjemah : Yulvita Hadiyarti.







“Calvinisme” adalah istilah yang begitu kaya akan makna. Dalam pengertiannya yang paling luas, sebagaimana tercermin dalam enam ceramah yang tersaji dalam buku ini, Calvinisme merupakan sebuah sistem kehidupan —sebuah wawasan dunia- yang komprehensif dan memiliki pengaruh yang begitu luas. Calvinisme menawarkan jawaban bagi tiga pertanyaan mendasar dalam kehidupan seitap manusia : Bagaimana seorang manusia berhubungan dengan Allah, dengan sesama, dan dengan dunia sekarang ?

Calvinisme walaupun berakar di dalam masa lampau, namun tetap memiliki kekuatannya bagi masa kini dan masa yang akan datang, jika visinya dapat kembali ditangkap — inilah penekanan dari ceramah-ceramah yang diberikan dalam buku ini. Dr. Abraham Kuyper memmperkenalkan Calvinisme sebagai sebuah sistem kehidupan, mendiskusikan relasinya dengan agama, politik, sains, dan seni, dan membahas prospeknya di masa yang akan datang.

Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme ini merupakan pernyataan yang tegas dan visioner dari iman Reformed. Rangkaian ceramah ini disampaikan di Princeton Theological Seminary pada tahun 1898 dalam Stone Lectures yang sangat bergengsi, dan kebenaran yang disampaikan Kuyper tidak pernah usang karena isu-isu yang dibicarakannya tetap hangat dan jawaban Calvinisme tetap relevan.







Profil Dr. Abraham Kuyper :
Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper yang lahir pada tanggal 29 Oktober 1837 di Maassluis dan meninggal pada tanggal 8 November 1920 di The Hague ; nama resminya "Kuijper") adalah seorang politikus, jurnalis, negarawan dan theolog Belanda. Beliau mendirikan Anti-Revolutionary Party dan menjadi Perdana Menteri Belanda antara tahun 1901 dan 1905.
Pada tahun 1855, beliau lulus dari Gymnasium of Keiden dan mulai belajar literatur, filsafat dan theologia di
Leiden University. Beliau lulus dari literatur pada tahun 1857 dengan predikat summa cum laude, dan filsafat pada tahun 1858 juga dengan predikat summa cum laude. Pada tahun 1862, beliau mendapat dukungan akan gelar doctor di bidang theologia berdasarkan disertasi, "Disquisitio historico-theologica, exhibens Johannis Calvini et Johannis à Lasco de Ecclesia Sententiarum inter se compositionem" (Theological-historical dissertation showing the differences in the rules of the church, between John Calvin and John Łaski).
Pada tahun 1863, beliau menjadi pendeta di Dutch Reformed Church untuk jemaat di Beesd
. Pada tahun yang sama, beliau menikah dengan Johanna Hendrika Schaay dan mendapatkan 5 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan. Beliau dianggap sebagai bapak dari Neo-Calvinisme Belanda.