09 July 2007

THE TRUE CONCEPT OF MINISTRY AND PREACH THE GOSPEL (Denny Teguh Sutandio)

THE TRUE CONCEPT OF MINISTRY AND PREACH THE GOSPEL

Christians’ Calling to Serving God in Preaching the Gospel in Corrupted Postmodern Era


oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S. (Cand.)



Nats : 2 Timotius 4:1-5



1. Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: 2. Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. 3. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. 4. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. 5. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!
(2 Timotius 4:1-5)



Surat 2 Timotius adalah surat kedua Paulus yang dikirimkan kepada Timotius, anak rohaninya yang adalah anak seorang pria Yunani dan wanita Yahudi yang tinggal di kota Listra, Galatia. Karena Timotius seorang yang sering sakit dan bukan seorang pemberani, maka Paulus memberikan dorongan semangat. Pada waktu menulis surat ini, Timotius sedang berada di Efesus, mengatur kelompok-kelompok Kristen setempat dan melakukan tanggung jawabnya untuk memimpin dan melatih para pemimpin jemaat. Surat 1 dan 2 Timotius serta Titus adalah surat Paulus terakhir. Khusus, surat 2 Timotius ini ditulis oleh Paulus ketika ia berada di penjara sambil menunggu hukuman mati. (Handbook to the Bible, 2002, p. 699) Dari sedikit latar belakang ini, kita mendapatkan gambaran jelas tentang pribadi Paulus yaitu seorang Rasul Kristus yang meskipun menghadapi kesulitan berat sekalipun tetap dapat menguatkan anak rohaninya. Itulah citra hamba Tuhan sejati. Selain memberikan dorongan semangat, Paulus juga memberikan pengajaran bagi Timotius tentang bahayanya ajaran sesat di sekitarnya. Handbook to the Bible memberikan penjelasan bahwa ajaran sesat itu adalah ajaran sesat yang muncul di abad 2 Masehi. Mari kita belajar tentang dorongan semangat sekaligus pengajaran Paulus kepada Timotius ini.

2 Timotius 4 tidak bisa dipisahkan dari pasal-pasal sebelumnya, khususnya pasal 3. 2 Timotius 3 mulai menjelaskan tentang ajaran sesat yang muncul pada akhir zaman yaitu ajaran yang menitikberatkan pada pemuasan materi, nafsu, dll (ayat 1-9), lalu disusul dengan pengajaran Paulus bahwa Timotius tak perlu menuruti mereka, tetapi harus meneladani Paulus dan tetap berpegang pada apa yang diajarkannya (ayat 10-17) dan diakhiri dengan konklusi yang tegas, jelas dan indah, yaitu, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” (2 Timotius 3:16-17) Para “theolog” liberal mungkin menafsirkan “segala tulisan” hanya terbatas pada surat 2 Timotius saja, tetapi golongan konservatif Injili lebih menafsirkan “segala tulisan” bukan hanya terbatas pada surat 2 Timotius melainkan seluruh Alkitab, karena memisahkan 2 Timotius dari seluruh bagian Alkitab identik dengan tidak mempercayai Alkitab seutuhnya. Dari ayat 16, kita belajar bahwa Timotius diajar Paulus untuk menjadikan Alkitab sebagai dasar presuposisi iman Kristen yang beres di tengah zaman. Hal ini juga menjadi refleksi bagi kita sebagai orang Kristen yang harus menjadikan Alkitab (bukan filsafat dunia, psikologi, manajemen, dll) sebagai dasar presuposisi iman Kristen yang bertanggungjawab. Mengapa ? Karena Alkitab melalui pencerahan Roh Kudus mampu mencerahkan orang untuk menyadari dosa-dosanya, bertobat dan kembali kepada Allah. Inilah yang menjadi dasar Paulus nantinya menasehati Timotius bagaimana melayani Tuhan dengan beres dan bertanggungjawab.

Dasar Panggilan Allah Di Dalam Pelayanan
Pada ayat 1 di pasal 4 ini, Paulus memulai penjelasannya dengan suatu pertanggungjawaban yang kuat, “Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya:” Pesan terakhir Paulus kepada Timotius bukan pesan biasa, tetapi pesan yang sungguh-sungguh penting, sehingga Paulus harus menegaskannya melalui ayat 1 ini di dalam 2 prinsip :
Pertama, di hadapan Allah. Semua tugas dan mandat yang Tuhan perintahkan harus kita pertanggungjawabkan dan kerjakan di hadapan Allah. Ini berarti kita benar-benar setia dan taat kepada-Nya. Banyak orang bekerja bukan bekerja untuk Allah, tetapi bekerja untuk diri dan kepuasan diri. Oleh karena itu, Paulus di suratnya yang lain mengingatkan kita, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23) Ini berarti ada suatu kerja keras dan kesungguhan hati di dalam mengerjakan apa yang Tuhan perintahkan. Theologia Reformed mempercayai adanya mandat budaya yang artinya segala sesuatu harus dikerjakan semaksimal mungkin untuk memuliakan Tuhan, sehingga banyak negara yang dipengaruhi oleh theologia Reformed atau Reformasi menghasilkan barang-barang yang berkualitas tinggi. Bukan hanya mandat budaya, theologia Reformed Injili juga mempercayai adanya mandat Injil yaitu pengabaran Injil yang dilakukan juga di hadapan Allah untuk memuliakan Allah. Ketika kita mengerjakan baik mandat budaya maupun mandat Injil di hadapan Allah, itu berarti kita memiliki kegentaran dan kesungguhan hati, sehingga kita tidak bermain-main dalam mengerjakan mandat dari Allah ini.
Kedua, di hadapan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Bukan hanya di hadapan Allah, kita pun harus mengerjakan mandat dari Allah di hadapan pengadilan Kristus. Nanti, di ayat yang sama, hal ini dijelaskan lagi, “demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya:” Di dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus, Paulus memperingatkan, “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” (2 Korintus 5:10) Pengadilan Kristus menjadi suatu kriteria penting bagi kita di dalam mengerjakan mandat Allah karena segala sesuatu nantinya harus dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Kristus. Tanggung jawab adalah sesuatu yang asing bagi telinga banyak orang postmodern yang rusak ini. Banyak dari mereka selalu mendengungkan hak asasi, tetapi tidak mau bertanggung jawab. Di Indonesia misalnya, karena alasan hak asasi manusia (HAM), istri teroris Abu Dujana meminta kepada polisi agar suami tidak dipenjara, karena nantinya anaknya bisa trauma. Sungguh aneh dan konyol, seorang yang mati-matian mempertahankan HAM, tetapi anehnya tidak mempedulikan HAM orang lain khususnya ratusan orang yang dibunuh mati karena tindakan terorisnya. Bukankah jumlah orang yang menjadi korban teroris si Dujana ini lebih banyak daripada hanya anak dan istrinya ? Mengapa istrinya tak memikirkan ini ? Inilah zamannya menuntut HAM dengan tujuan untuk kepuasan diri ! KeKristenan di dalam pengajaran Alkitab yang ketat menuntut tanggung jawab. Kita melayani Tuhan pun harus bertanggungjawab. Tetapi sayangnya banyak orang yang mengaku diri “Kristen” sembarangan melayani Tuhan : tidak mau belajar Alkitab, sukanya hura-hura, dll. Itukah melayani ‘tuhan’? Bukan ! Mereka sebenarnya sedang melayani diri mereka sendiri, tetapi mereka terus mengklaim “melayani ‘tuhan’”. Oleh karena itu, sebagai umat pilihan-Nya, sudah seharusnya kita keluar dari jebakan filsafat postmodern yang gila dan kembali kepada Alkitab, yaitu mempertanggungjawabkan segala sesuatu di hadapan pengadilan Kristus.


Pesan-pesan Penting Apakah yang Paulus Ajarkan kepada Timotius ?
Pada ayat 2, ia menjelaskan, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” Di sini, kita mendapatkan beberapa prinsip penting dari Paulus kepada Timotius tentang konsep pelayanan yang beres yang berkaitan dengan penginjilan, yaitu :
Pertama, beritakanlah Firman. Kata “beritakanlah” dalam King James Version diterjemahkan preach (=khotbahkan), dalam bahasa Yunani kērusso bisa berarti herald (=umumkan/beritahukan). Dengan kata lain, prinsip penginjilan pertama adalah kita diperintahkan untuk menyuarakan atau memberitahukan Injil kepada dunia. Ini yang sangat dibenci oleh para “theolog” religionum atau social “gospel” yang mati-matian mempertahankan argumentasinya bahwa zaman sekarang bukan lagi zamannya Zending atau penginjilan verbal, tetapi kita cukup berbuat baik, berbagi sedekah, dll (“penginjilan” sosial). Padahal ayat ini sudah jelas-jelas mengajarkan bahwa kita diperintahkan untuk menyuarakan/memberitahukan Injil kepada dunia, dan bukan diperintahkan untuk menginjili dengan membantu orang-orang miskin (meskipun itu juga termasuk salah satu media yang perlu namun tidak penting/tidak utama) ! Mengapa Paulus memerintahkan kita untuk memberitakan Firman ? Kembali kepada pasal 3 ayat 16, alasannya karena Paulus percaya bahwa Alkitab itu Firman Allah yang tak bersalah yang berfungsi untuk menyadarkan manusia akan dosa dan membawa mereka bertobat dan kembali kepada Kristus. Selan itu, Paulus di dalam Roma 1:16-17 mengajarkan bahwa Injil itu kekuatan/kuasa Allah yang menyelamatkan orang percaya tanpa memandang suku bangsa (konteksnya : Yahudi dan Yunani) dan memimpin iman seseorang (ayat 17).
Bagaimana cara kita memberitakan Firman ? Apakah kita perlu membawa Alkitab ke mana pun kita pergi? TIDAK. Kita memberitakan Firman dengan :
pertama, melakukan mandat budaya. Theologia Reformed yang ketat mempercayai bahwa iman Kristen yang beres pasti dapat mempengaruhi budaya dunia. Neibuhr mengajarkan bahwa Kristus mengubah kebudayaan, bukan Kristus berparadoks dengan kebudayaan, atau Kristus milik kebudayaan, dll. Kristus mengubah kebudayaan berarti semua kebudayaan yang adalah respon manusia terhadap wahyu umum Allah (perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong) harus ditransformasi dan “ditebus” oleh Kristus sebagai wahyu khusus Allah. Ketika orang Kristen tidak mau mengerjakan mandat budaya, mereka sebenarnya bukan melawan theologia Reformed, tetapi melawan doktrin Kristen sendiri yang mengajarkan bahwa : Allah itu berdaulat dan Mahakuasa (menguasai alam semesta ini, berkuasa atas hal-hal rohani dan hal-hal jasmani juga), dan Kristus itu bernatur dua, yaitu Ilahi (Roh) sekaligus manusia (badani/jasmani) (menyerang pandangan Gnostisisme dan dualisme yang mengajarkan bahwa hal-hal jasmani itu jahat dan hal-hal rohani itu baik). Budaya yang tidak ditransformasikan oleh Kristus dan Alkitab akan menjadi budaya manusia yang sia-sia dan celaka. Contohnya, orang-orang Jepang menyembah dewa matahari (ciptaan), di mana seharusnya Allah yang patut disembah. Yang lebih celaka lagi, orang-orang “Kristen” bukan menyembah Allah Trinitas, tetapi menyembah : 1 pribadi Allah (kaum Unitarian), humanisme (social “gospel”, pragmatisme, dan dualisme), uang (kaum materialisme), dll. Itulah budaya dunia postmodern yang kacau dan rusak, tetapi herannya para penganutnya merasa senang. Bagaimana kita mengerjakan mandat budaya ? Dengan cara memasukkan iman Kristen di dalam perspektif theologia Reformed yang berdasarkan Alkitab sebagai dasar presuposisi segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik aspek ekonomi, politik, sosial, hukum, dll. Paradigma theologia Reformed di dalam memandang hal ini terangkum di dalam 4 bagian, yaitu Creation (Penciptaan), Fall (Kejatuhan), Redemption (Penebusan) dan Consummation (Penyempurnaan). Berarti, segala sesuatu harus dilihat apa yang seharusnya dikerjakan (konsep Penciptaan), di mana letak kerusakannya (konsep Kejatuhan), bagaimana remidi/perbaikannya (Penebusan) dan bagaimana itu dapat disempurnakan kelak (konsep Penyempurnaan). Segala sesuatu jika dilihat dari kacamata 4 prinsip ini akan menemukan jalan keluar yang tidak pernah dipikirkan dunia dan agama yang berdosa. Puji Tuhan karena Alkitab kita sempurna. Adalah sesuatu yang lebih celaka bagi mereka yang meragukan otoritas Alkitab, bahkan menghinanya (bahkan beberapa dari mereka mengaku “theolog” dan “pendeta”). Ketika kita mengerjakan mandat budaya, sebenarnya secara tidak langsung ataupun langsung, kita sedang memberitakan Injil Kristus, meskipun hasil yang dicapai tidak sama seperti hasil ketika kita memberitakan Injil.
Selain mengerjakan mandat budaya, kita diperintahkan untuk memberitakan Injil. Memberitakan Injil adalah tugas yang lebih sulit lagi karena di dalam penginjilan, kita menantang pikiran orang lain dan membawanya kepada Kristus, seperti yang diajarkan Paulus, “Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus,” (2 Korintus 10:5) Penginjilan tanpa mengubah presuposisi dasar bukanlah penginjilan. Sayangnya banyak kaum Injili giat mengabarkan Injil, tetapi tidak mempedulikan theologia dan presuposisi filsafat orang yang diinjili, sehingga mereka menginjili hanya berbekal pintar ngomong dan sedikit pengetahuan Alkitab (plus urapan Roh Kudus). Urapan Roh Kudus memang penting di dalam penginjilan, bahkan terpenting, tetapi tidak boleh melupakan aspek hikmat Allah. Artinya, sebelum memberitakan Injil, kita perlu belajar filsafat dunia, epistemologi, doktrin/theologia Kristen, Alkitab, dll sehingga kita dapat memberi jawab kepada problematika dunia melalui orang-orang yang kita injili. Selain itu, sebelum menginjili, kita pun tetap harus bergantung pada Allah melalui pencerahan Roh Kudus agar ketika kita menginjili, kiranya Roh Kudus bekerja di dalam hati umat pilihan Allah sehingga mereka boleh percaya, bertobat dan kembali kepada Kristus.

Kedua, bersiap sedia di dalam segala kondisi. Kata “bersiap sedia” diterjemahkan be instant (=segeralah/cepatlah) di dalam terjemahan King James Version. Dengan demikian, selain memberitakan Firman, kita disuruh sigap. Ini adalah hal internal di dalam pelayanan penginjilan. Ketika ada masalah atau kondisi baik atau tidak baik, Paulus mengingatkan kita untuk sigap selalu. Artinya, kita tidak boleh terlena dan terus bersiap seperti pasukan tentara yang menghadapi musuh yang tentu tidak mungkin berleha-leha dahulu atau minum kopi sejenak. Mengapa harus bersigap ? Karena musuh selalu siap mengintai dan menyerang kita. Apa wujud musuh itu ? Musuh itu berupa ajaran-ajaran yang mengaku “Kristen” tetapi sebenarnya palsu dan melawan Alkitab. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 3-4. Ingatlah, di dalam kehidupan menjelang akhir zaman, kita terus berperang melawan roh-roh dunia, sehingga kita terus-menerus harus bersigap. Bagaimana kita bersigap ? Seperti tentara, kita tentu harus mempersiapkan segala sesuatu, yaitu : senjata. Karena kita berperang bukan melawan musuh-musuh dunia, tetapi roh-roh di udara (Efesus 6:12), maka senjata kita adalah senjata rohani. Apakah wujud senjata rohani itu ? Efesus 6:14-18 menguraikannya, “Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus,” Senjata-senjata rohani itu berupa : pertama, kebenaran. Melawan roh-roh di dunia (setan dan kroni-kroninya) harus menggunakan kebenaran Allah (truth ; Yunani : aletheia). Kedua, keadilan (righteousness ; Yunani : dikaiosunē). Kebenaran harus disertai dengan keadilan. Dalam melawan iblis cs, kita perlu menggunakan senjata keadilan Allah, bukan malahan berkompromi dengan dunia dengan dalih “rohani” yaitu “kasih”. Kasih tanpa keadilan adalah kasih yang palsu dan munafik ! Demikian sebaliknya, keadilan tanpa kasih yang disertai kebenaran akan menjadi keadilan yang sembrono. Ketiga, kerelaan untuk memberitakan Injil. Kembali kita diingatkan Paulus bahwa untuk melawan roh-roh dunia ini, kita tidak cukup aksi sosial, tetapi rela/siap untuk memberitakan Injil, karena iblis dapat dikalahkan BUKAN dengan aksi sosial, tetapi dengan kuasa penebusan Kristus di salib dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati ! Keempat, perisai iman. Tanpa iman atau bergantung/berserah kepada Kristus, kita tak mungkin menang mengalahkan roh-roh dunia yang jahat ini. Ini berarti harus ada unsur penyerahan total kepada Allah meskipun kita tetap siap sedia berperang. Iman penting untuk melawan si setan, karena dengan iman, kita tidak bersandar kepada kehebatan diri, tetapi pada kuasa Allah yang jelas menang mengalahkan kuasa setan. Kelima, ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu Firman Allah. Melawan setan jangan menggunakan filsafat dunia, psikologi, manajemen, dll, tidak bakal mempan, karena setan justru senang beroperasi di situ. Melawan setan harus menggunakan Firman Allah dengan benar (bukan gemar menyomoti ayat-ayat Alkitab untuk pemuasan diri). Ingatlah, Firman Allah itu berkuasa, seperti diajarkan oleh penulis Ibrani, “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” (Ibrani 4:12) Ayat ini BUKAN sedang mengajarkan tentang jiwa dan roh yang dipisahkan (pandangan trikotomi), tetapi konteksnya sedang membicarakan kekuatan Firman Allah. Keenam, berdoa. Di dalam peperangan, kita dituntut untuk berdoa. Mengapa ? Karena di dalam doa, kita berserah kepada-Nya. Di dalam penginjilan pun, kita harus tetap berdoa agar orang-orang yang kita injili jika beberapa dari mereka adalah umat pilihan-Nya, dicerahkan oleh Roh Kudus supaya taat dan percaya kepada/di dalam Kristus.

Ketiga, menyatakan apa yang salah, menegur dan menasihati dengan segala kesabaran dan pengajaran. Di dalam pelayanan penginjilan, selain bersiap sedia, Paulus memerintahkan kita untuk aktif keluar yaitu berani menyatakan kesalahan orang lain, menegur dan menasihatinya supaya orang yang bersalah itu kembali kepada Kristus. King James Version menerjemahkan “menyatakan apa yang salah” sebagai reprove (=menegur), “menegur” sebagai rebuke (=memarahi) dan “menasihati” sebagai exhort (=menasihati/mendorong). Ada empat hal yang Paulus mau ajarkan, yaitu :
pertama, menegur. Di dalam penginjilan dan pemberitaan Firman, banyak orang “Kristen” postmodern mengajarkan bahwa kita tidak boleh menegur, karena itu berarti menghakimi, lalu orang itu mengutip perkataan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:1 bahwa kita tidak boleh menghakimi. Semua dalih ini kelihatan “rohani”, tetapi sayangnya tidak disertai kebenaran Firman yang beres. Benarkah Matius 7:1 berbicara tentang jangan menghakimi ? Kalau benar, mengapa pula Tuhan Yesus sendiri berani menghakimi mereka yang sesat di dalam Matius 7:21-23 ? Apakah Tuhan Yesus tidak konsisten? TIDAK. Matius 7:1 bukan sedang mengajarkan bahwa kita tidak boleh menghakimi, tetapi Ia sedang mengajarkan tentang ukuran/kriteria yang dipakai untuk menghakimi di ayat 2-5. Pada ayat 5 di dalam Matius 7, Tuhan Yesus jelas mengajarkan bahwa ketika kita sudah melihat kesalahan kita, kita baru boleh menegur dan bahkan menghakimi mereka yang bersalah. Ini menandakan bahwa banyak orang “Kristen” gemar sekali mengutip Matius 7:1 tanpa melihat ayat-ayat sesudahnya ! Kembali, mengapa orang yang menegur sering dikatakan menghakimi ? Benarkah kedua hal ini sama ? Sebenarnya, TIDAK. Menegur adalah membawa orang yang ditegur kembali kepada kebenaran, sedangkan menghakimi yang salah adalah membawa orang semakin benci dengan orang yang menghakimi/si penghakim (membawa orang kepada permusuhan dan perdebatan). Tuhan memerintahkan kita boleh menghakimi tetapi dengan motivasi kasih. Hal ini diungkapkan Paulus di dalam ayat 2 di 2 Timotius 4 yaitu dengan segala kesabaran dan pengajaran (hal ini akan saya uraikan selanjutnya). Ketika seseorang menegur berarti orang itu sedang mengasihi orang yang ditegur supaya orang itu tidak jatuh ke dalam dosa/kesalahan yang mungkin telah dialami oleh orang yang menegur. Tetapi sayangnya, orang yang ditegur seringkali marah, karena itu mengganggu dia. Ambil contoh, ketika Anda melihat teman Anda tidak mengunci (maaf) resleting celananya, apa yang Anda lakukan ? Menurut ide postmodern, Anda tak perlu menegurnya, karena ketika kita menegurnya, kita kurang “mengasihi”. Kalau Anda melakukan apa yang postmodern ajarkan, maka Anda dahulu yang pertama kali dimarahi oleh teman Anda karena Anda tidak memperingatkannya untuk mengunci resleting celananya sehingga teman Anda malu. Tetapi ketika Anda mematuhi Firman Tuhan untuk berani menegur, maka teman Anda tidak akan malu gara-gara resleting celananya tidak dikunci/dikancing. Aneh, semakin postmodernisme mengajarkan bahwa menegur itu tidak boleh dengan alasan mengasihi, sebenarnya mereka lah yang tidak mengasihi orang lain, sehingga mencelakakan orang lain, tetapi ketika keKristenan mengajarkan untuk menegur, mungkin dianggap tidak mengasihi, sebenarnya merekalah yang mengasihi orang lain supaya orang lain tidak malu dan tidak tersesat.
kedua, memarahi (rebuke). Kata “menegur” di dalam LAI seharusnya diterjemahkan memarahi/rebuke. Artinya, ketika seseorang masih membangkang setelah ditegur, orang itu harus dimarahi. Orang yang dimarahi seringkali balik marah karena orang itu merasa diri dibenci, padahal tidak demikian. Ambil contoh, ketika Anda melihat teman Anda meminum minuman yang sudah dimasukkan racun, apa yang Anda lakukan ? Mungkin, pertama kali Anda menegur, tetapi jika orang yang ditegur tidak mengindahkan kita, maka kita perlu memarahinya, kalau perlu segera membuang minuman itu, sehingga teman Anda tidak usah meminumnya. Lalu, apa respon teman Anda ? Mungkin Anda akan digampar karena Anda dianggap tidak sopan, tetapi lama-kelamaan orang waras akan justru berterima kasih karena ia telah diperingatkan bahkan dimarahi oleh Anda untuk tidak minum minuman yang beracun itu. Rasul Paulus adalah salah satu rasul Kristus yang boleh dikatakan suka memarahi orang dengan tujuan agar orang yang dimarahi itu bertobat. Di dalam Galatia 1:6-10, ia memarahi jemaat Galatia yang begitu mudahnya berpaling dari Injil Kristus kepada “injil-injil” murahan yang tidak berguna. Di dalam Surat 1 dan 2 Korintus, Paulus memarahi jemaat Korintus karena mereka hidup tidak tertib. Bahkan setelah Paulus menulis suratnya kepada Korintus, dikabarkan bahwa jemaat Korintus berdukacita atau menangis tanda bertobat. Pertama kali Paulus menyesal karena ia telah memarahi jemaat Korintus, tetapi akhirnya ia sadar dan berkata, “namun sekarang aku bersukacita, bukan karena kamu telah berdukacita, melainkan karena dukacitamu membuat kamu bertobat. Sebab dukacitamu itu adalah menurut kehendak Allah, sehingga kamu sedikitpun tidak dirugikan oleh karena kami.” (2 Korintus 7:9) Orang yang memarahi kita dengan motivasi mengasihi kita pasti mengakibatkan orang yang dimarahi akan menyadari kesalahannya dan bertobat. Tetapi jika orang memarahi kita dengan motivasi menjatuhkan kita, akibatnya kita yang dimarahi akan membencinya dan menganggap dia sok tahu.
ketiga, menasihati/mendorong. Bukan hanya menegur dan memarahi, kita juga diperintahkan untuk membawa orang-orang yang telah kita tegur dan marahi tersebut kembali kepada Kristus. Teguran dan kemarahan yang baik pasti membawa orang-orang yang ditegur dan dimarahi tersebut menyadari dosa, menyesalinya dan bertobat serta kembali kepada Kristus. Bagian ketiga ini adalah solusi (konsep Penebusan) setelah konsep Kejatuhan disingkapkan. Orang yang gemar mencacimaki kesalahan orang lain tanpa memberikan solusinya, berhati-hatilah terhadap orang itu. Galatia 1:6-10 berisi kemarahan Paulus kepada jemaat Galatia, tetapi ia tak berhenti pada kemarahan, melainkan ia memberikan solusinya di ayat 11 s/d 24. Ini adalah contoh praktisnya dari teladan Paulus. Di dalam penginjilan, kita bukan hanya membukakan realita berdosa orang-orang yang kita injili, tetapi juga membawa mereka untuk melihat satu-satunya solusi dari Allah yaitu melalui Tuhan Yesus Kristus yang menebus dan mengampuni dosa manusia.
keempat, menegur, memarahi dan menasihati dengan segala kesabaran dan pengajaran. Ketiga hal di atas harus dilakukan dengan kasih dan pengajaran. Inilah keseimbangan yang Alkitab ajarkan. Banyak orang “Kristen” tidak seimbang di dalam hal ini. Ada yang terlalu radikal mengkritik ajaran orang lain tanpa mengasihinya (bahkan menyumpahinya masuk neraka/tidak selamat), sebaliknya ada yang terlalu kompromi (dengan dalih “kasih”) tetapi tidak mau mengajar (unsur pengajaran), sehingga semua dosa dianggap dari setan dan orang yang berdosa tidak perlu bertobat. Alkitab mengajarkan adanya keseimbangan, yaitu menegur, memarahi dan menasihati orang di dalam penginjilan harus dengan kesabaran (kasih ; Inggris : longsuffering) dan pengajaran (Inggris : doctrine). Kesabaran berarti ketika kita menegur, memarahi dan menasihati haruslah dengan kesabaran menunggu perubahan orang ynag kita tegur, marahi dan nasihati tersebut. Dengan kata lain, kita harus sabar (Jawa : telaten) dalam memimpin orang-orang yang kita tegur, marahi dan nasihati tersebut. Pengajaran berarti sambil kita sabar memimpin orang-orang itu, kita tetap harus memberikan pengajaran atau mengajar mereka tentang iman Kristen yang beres, supaya nantinya orang-orang itu bertobat dengan iman yang beres (bukan bertobat menurut perasaan yang tidak jelas).


Mengapa Pesan-pesan Penting Tersebut Begitu Penting ? (Tantangan Dalam Penginjilan/Pemberitaan Firman)
Setelah memaparkan pesan-pesan penting di ayat 2, pertanyaan selanjutnya, apa yang mendasari Paulus memberikan pesan-pesan penting tersebut bagi Timotius ? Atau apa alasannya Paulus memesan Timotius untuk selalu memberitakan Firman dan menegur kesalahan orang sesuai Firman ? Di ayat 3-4, Paulus memberikan alasannya, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Paulus menyadari bahwa manusia semakin lama bukan semakin mencintai kebenaran, tetapi semakin mencintai kejahatan dan membenci kebenaran. Oleh karena itu, ia membukakan realita kebobrokan manusia menjelang akhir zaman yang selalu menganggap diri “pintar”, “bijaksana”, dll dengan beberapa poin, yaitu :
Pertama, manusia tidak tahan terhadap ajaran yang beres. Kata “tidak dapat lagi menerima ajaran sehat” di dalam ayat ini kurang tepat terjemahan. Di dalam terjemahan King James Version, kata ini diterjemahkan endure (=bertahan/tahan), sehingga terjemahan yang lebih tepat, “For the time will come when they will not endure sound doctrine;” (=Karena waktunya akan datang ketika mereka tidak akan tahan mendengarkan ajaran-ajaran yang sehat dan kuat;) Kata “tidak tahan” menunjukkan adanya suatu kebosanan di dalam diri manusia terhadap hal-hal tertentu. Di dalam ayat ini, ketika kata “tidak tahan” muncul berarti manusia sudah bosan terhadap ajaran-ajaran firman Tuhan. Mengapa mereka tidak tahan mendengarkan ajaran Firman ? Ketika kita mundur sejenak melihat 2 Timotius pasal 3, kita akan menjumpai alasannya di ayat 2a, “Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang.” Lalu, mengapa mereka menjadi pecinta diri dan uang ? Jawabannya ada di dalam 2 Korintus 4:4, “yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah.” Dengan kata lain, manusia menjadi benci/tidak tahan mendengar suara kebenaran Firman karena mereka sudah dibutakan oleh ilah zaman ini, yaitu humanisme dan materialisme yang membawa manusia BUKAN kepada Allah sebagai Pencipta, tetapi kepada pemujaan diri sendiri dan ciptaan. Bagaimana dengan kita yang hidup di zaman postmodern ? Bukankah hal ini juga menimpa kita ? Banyak orang “Kristen” hari-hari ini sudah mulai bosan mendengarkan kebenaran Firman, mengapa ? Karena filsafat dunia yang atheis telah mengikat mereka sehingga mereka meskipun mengaku diri “Kristen” bahkan “melayani ‘tuhan’” adalah hamba dari filsafat-filsafat dunia tersebut (=hamba dosa). Tidak heran, kalau ada seorang dosen “Kristen” mengeluarkan pernyataan bahwa agama dengan science tidak ada hubungannya, karena ia telah dipengaruhi filsafat dualisme-nya Plato. Bagaimana dengan kita khususnya sebagai anak-anak Allah? Apakah kita sudah mulai bosan mendengar Firman ? Berhati-hatilah ketika kita sudah mulai bosan, karena di saat itu, iblis sedang menipu dan menjerat kita serta membawa kita untuk tunduk kepadanya dan mempercayainya. Bukan hanya bosan, manusia “Kristen” postmodern juga “alergi” terhadap kebenaran Firman, khususnya ketika nama Allah disebutkan di luar gereja. Banyak contoh yang membuktikan gejala dualisme ini dan yang paling parah terjadi di dalam lingkungan pendidikan yang mengklaim diri “Kristen”. Adalah sesuatu yang memang lucu dan aneh jika seorang “Kristen” merasa “alergi” (Jawa : risih) ketika nama Allah dan prinsip Alkitab diterapkan di dalam lingkungan pendidikan. Itulah definisi dari manusia yang tidak tahan terhadap ajaran yang beres. Mengapa mereka “alergi” ? Bukankah mereka itu “Kristen” ? Mereka “alergi” karena mereka lebih suka filsafat mereka yang dipengaruhi oleh postmodern dan filsafat-filsafat dunia atheis lah yang menjadi penentu hidup matinya dan bakan hidup mati orang lain, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, filsafat-filsafat tersebut lah yang saat ini dijejalkan kepada anak-anak didik di zaman postmodern ini. Pdt. Sutjipto Subeno pernah menceritakan bahwa di sekolah-sekolah Eropa, jika ada guru/dosen yang berani menyebut/mengajar tentang Allah ketika mengajar, guru/dosen tersebut langsung dipenjarakan. Sebaliknya, Pdt. Sutjipto mengatakan bahwa kalau guru/dosen tersebut mengajar tentang atheisme, guru tersebut diperbolehkan. Ya, inilah wajah dunia postmodern kita yang selalu merasa diri “pintar”, “hebat”, “bijaksana”, dll, tetapi hasilnya NOL BESAR dan saling berkontradiksi (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya : self-defeating contradiction).

Tidak cukup hanya tidak tahan terhadap ajaran yang benar, mereka juga melakukan tindakan Kedua, mengumpulkan para guru menurut kehendaknya sendiri yang bisa membuat mereka senang (membuat telinga mereka gatal). Terjemahan King James Version mengartikannya, “but after their own lusts shall they heap to themselves teachers, having itching ears;” (=tetapi menurut nafsu mereka sendiri, mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendak mereka yang memiliki telinga yang gatal/keinginan yang kuat;) International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “For the time will come when people will not put up with healthy doctrine but with itching ears will surround themselves with teachers who cater to their own needs.” (Karena waktunya akan datang ketika orang-orang tidak akan tahan terhadap ajaran yang sehat tetapi dengan telinga gatal/keinginan yang kuat yang mengelilingi mereka dengan para guru yang menyediakan segala sesuatu untuk kebutuhan mereka sendiri.) Dengan kata lain, dari kedua terjemahan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa aksi mereka setelah membenci kebenaran adalah dengan hasrat/nafsu mereka sendiri (yang tentu saja menyesatkan), mereka mengumpulkan para guru yang cocok dengan nafsu mereka untuk mengajar mereka sesuatu yang mereka ingin untuk dengarkan. Mereka membenci kebenaran sejati dan mulai menciptakan “kebenaran” menurut versi mereka. Keinginan/nafsu birahi merekalah yang terutama dan terpenting serta dipuja-puji (self-centered religion/“theology”). Itulah bibit muncul ajaran sesat. Aksi ini sudah terjadi di dalam Perjanjian Lama, di zaman Yesaya (baca Yesaya 30:10) dan berlangsung terus sampai menjelang akhir zaman. Di dalam sejarah gereja, misalnya, kita membaca bahwa orang-orang tertentu yang sudah mulai bosan mendengarkan kebenaran Firman, mereka mulai mengotak-atik doktrin lalu mulai memformulasikan doktrin-doktrin tertentu yang kelihatannya “indah” di mata dunia, tetapi sesat menurut Alkitab. Ambil contoh, seorang presbiter, Arius menciptakan doktrin yang menyangkal Allah Trinitas mungkin disebabkan karena doktrin ini (Trinitas : 3 pribadi Allah dan 1 esensi Allah) kurang masuk akal, selain penyebab utamanya adalah kalau Kristus itu juga bernatur Allah (selain manusia) maka itu akan merugikan kewibawaan Allah. Arianisme ini dianggap bidat di dalam Konsili Nicea pada tahun 325 A.D. Selain itu, ada Sabellianisme yang mengajarkan bahwa Allah itu bisa berganti peran, sehingga yang ditekankan bukan keberapaan Allah, tetapi kebagaimanaan Allah (ucapan seorang “pendeta” yang mantan Islam yang saat ini menjadi ketua Gereja Kemah Abraham). Nah, yang paling parah lagi, di zaman postmodern, ada seorang “pendeta” Kristen yang berani mengajar bahwa kepercayaan Kristen harus menjadi berkat bagi orang lain. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa kita (bukan kepercayaan kita) harus menjadi berkat! Mengapa orang ini berani mengeluarkan pernyataan ini ? Karena orang ini ingin berdialog dengan orang-orang yang beragama lain di dalam forum dialog antar agama yang “damai, tenteram dan sejahtera” tanpa konflik. Bukankah zaman postmodern ini memiliki ilah yaitu “kedamaian, ketenteraman, kasih, dll” tanpa Kebenaran dan keadilan Allah di dalam Alkitab ?! Berhati-hatilah terhadap ilah zaman postmodern yang mulai mendegradasikan kebenaran Firman Allah dan mulai menciptakan ajaran-ajaran baru yang kelihatan “indah dan penuh damai/kasih” di mata dunia berdosa tetapi jijik di mata Allah yang Mahakudus ! Mungkin kelihatan “indah dan penuh damai/kasih” secara fenomena, tetapi akhirnya Allah dan firman-Nya, Alkitab pasti lebih indah dan membukakan realita kemunafikan para pemuja ilah postmodern tersebut yang hanya mau menyenangkan diri manusia berdosa sambil menghina Allah.

Tindakan mereka selanjutnya adalah memalingkan telinga dari kebenaran. Bukan hanya mengumpulkan guru-guru menurut nafsu birahi, mereka juga rela memalingkan telinga mereka dari kebenaran. Kata “memalingkan” dalam terjemahan KJV adalah turn away. Kata “berpaling” berarti suatu tindakan yang berbeda 180 derajat dari tindakan asli. Kalau bertobat berarti berpaling 100% atau 180 derajat dari kegelapan menuju kepada terang Allah, maka pada ayat 4 ini berarti para pembenci kebenaran berpaling 100% atau 180 derajat dari kebenaran Firman (Inggris : Truth ; Yunani : alētheia). Meskipun menggunakan dua kata Yunani yang berbeda, Paulus di dalam Galatia 1:6 juga menggunakan arti kata yang sama, yaitu ketika ia menjelaskan bahwa jemaat Galatia lekas berbalik dari Allah yang memanggil mereka lalu mereka sekarang lebih mempercayai “injil-injil” palsu. Ini adalah ekses langsung setelah orang-orang tersebut mengumpulkan para guru untuk menjadi alat pemuasan nafsu birahi mereka. Artinya, kalau seseorang hanya mau mendengarkan ajaran yang cocok, maka otomatis ia sengaja menolak kebenaran. Tidak heran, banyak gereja/orang “Kristen” ketika ditegur kesalahannya dengan prinsip Alkitab yang beres, mereka akan mengatakan dengan dalih “rohani”, yaitu “jangan menghakimi”, “mari kita saling mengasihi”, dll. Motivasi di balik perkataan mereka jelas adalah mereka sebenarnya memalingkan telinga mereka dari kebenaran, karena mereka sudah cocok dengan ajaran yang tidak bertanggungjawab. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga sama seperti mereka yang berlagak tahu tetapi sebenarnya tidak tahu apa-apa ? Marilah kita mengintrospeksi diri dan belajar rendah hati untuk menerima kesalahan kita dan apa yang kita ajarkan lalu bersama-sama kembali kepada Alkitab untuk dikoreksi sehingga kita nantinya dapat memuliakan Allah.

Tindakan mereka terakhir adalah membuka bagi/kembali kepada dongeng. Kata “dongeng” di dalam KJV diterjemahkan fables dan Yunaninya muthos bisa berarti mitos/fiksi. Ini adalah aksi mereka terakhir setelah memalingkan telinga mereka dari kebenaran, yaitu mereka mulai kembali/menggemari dongeng-dongeng atau fiksi-fiksi yang melawan kebenaran. Mengapa mereka menggemari fiksi ? Karena fiksi adalah sesuatu yang tidak nyata, dan mereka juga tidak menyukai realita/fakta yang membukakan kedok mereka selama ini. Dengan kata lain, fiksi adalah suatu ide/khayalan yang selalu diimpikan manusia. Kalau di zaman Paulus, fiksi digemari, maka di zaman postmodern, fiksi bukan hanya digemari, tetapi menjadi sarana konsumsi banyak orang postmodern. Tidak heran, novel fiksi (tetapi berani mengaku “fakta”) The Da Vinci Code karya Dan Brown begitu laris di pasaran internasional (postmodern). Yang lebih lucu dan menggelikan, seorang teman saya yang non-Kristen (tentu tidak bisa membedakan antara fakta dan fiksi) di kampus Petra, Surabaya mengatakan bahwa setelah membaca novelnya Dan Brown itu, dosennya yang “Kristen” baru mengerti tentang Tuhan. Cobalah Anda mulai membangun presuposisi dari fiksi, maka di titik pertama, Anda akan jebol dan tidak dapat mengerti realita dengan jelas ! Mau bukti ? Baik, saya akan memberikan contoh sederhana, kita dapat belajar hasil dari 1+1 dari jawaban 2 (benar) atau dari jawaban fiksi 3, 4, dll (tentu salah) ? Kalau kita mengatakan bahwa kita bisa belajar hasil dari 1+1=2, maka kita mengambil dan membangun presuposisi yang benar, karena kita berangkat dari fakta kebenaran, bukan fiksi. Tetapi jika Anda berani mengatakan bahwa ide itu yang terutama, sehingga jawaban dari 1+1 diambil dari ide jawaban fiksi 3, 4, dll yang tentu saja salah, maka di titik pertama, saya dulu yang paling tidak usah mempercayai Anda, karena Anda sudah mempercayai fiksi, maka saya pun menganggap Anda hanyalah fiksi (dan tidak nyata). Kegagalan yang paling konyol di zaman postmodern adalah banyak orang tergila-gila dengan fiksi, tetapi menilai sesuatu dan memaksa orang menilai dirinya dengan fakta. Kembali ke contoh novelnya Dan Brown tadi. Brown mengatakan bahwa karyanya itu fiksi, tetapi data-datanya adalah suatu “fakta”. Inilah kebingungan yang dibangun sendiri oleh orang-orang postmodern yang gila. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap fiksi, dongeng, novel, dsb, karena itu bisa menipu dan mencelakakan.


Respon Terhadap Tantangan/Hambatan Dalam Penginjilan/Pemberitaan Firman
Menanggapi ayat 3 s/d 4, seringkali orang menjadi kesal, marah, tidak sabar, dll, tetapi uniknya Paulus mengajar Timotius di ayat 5, “Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!” Ada beberapa prinsip yang dapat kita pelajari di sini, yaitu respon internal dan eksternal :
Pertama, menguasai diri dalam segala hal (respon internal). Kata “kuasailah” dalam terjemahan KJV adalah watch yang bisa berarti waspada/perhatikanlah. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah nēphō bisa berarti abstain from wine (=berpantang terhadap/dari anggur) atau keep sober (=tetap sadar/tidak mabuk). Sungguh unik, kata menguasai di dalam bahasa Yunani di atas menggunakan arti yang sama dengan berpantang dari anggur, artinya tidak mabuk. Dengan kata lain, kata kesadaran berkaitan erat dengan terus berjaga-jaga (tidak melamun). Di dalam menghadapi hambatan-hambatan di dalam pelayanan penginjilan, kita seringkali menjadi putus asa, marah, dll, tetapi di dalam bagian ini Paulus memperingatkan Timotius untuk menguasai diri atau tetap sadar dalam segala hal. Kesadaran yang terus-menerus di dalam pelayanan penginjilan sangatlah penting dan dibutuhkan, karena tanpa kesadaran yang ekstra, kita dengan mudahnya emosional ketika menghadapi hambatan. Bagaimana supaya kita bisa menguasai diri ? Adam Clarke dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentary on the Bible merujuk kepada doa sebagai sarana kita menguasai diri. Paulus mengajarkan, “... Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus,” (Efesus 6:18) Di bagian lain, Paulus mengungkapkan, “Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur.” (Kolose 4:2) Khusus di dalam Kolose ini, Paulus mengaitkan doa dengan tetap berjaga-jaga sambil bersyukur. Inilah kunci kita menguasai diri ketika menghadapi tantangan, yaitu berdoa sambil tetap berjaga-jaga dan bersyukur. Berdoa membuktikan kita berserah total kepada Allah dan terus meminta pertolongan-Nya supaya menguatkan kita di dalam pelayanan penginjilan kita. Lalu, berjaga-jaga membuktikan bahwa kita bukan hanya terus berdoa, tetapi juga tetap berwaspada/siaga sambil bersyukur atas anugerah Allah. Berjaga-jaga juga berarti kita tidak perlu terlalu tergesa-gesa dalam mengambil suatu tindakan. Tindakan tergesa-gesa bukanlah tindakan yang baik, karena tindakan tersebut bisa mengakibatkan kerugian dan kegagalan yang fatal dan sia-sia. Sebaliknya, tindakan berjaga-jaga adalah tindakan yang baik, karena ada semacam penantian dan pengamatan teliti terhadap segala sesuatu. Bagaimana kita bisa berjaga-jaga menguasai diri ? Selain berdoa, dengan membaca Alkitab. Dengan membaca Firman Tuhan, kita akan terus disegarkan, dicerahkan dan diingatkan serta ditegur tentang apa yang kita ajarkan, bagaimana pelayanan kita, dll. Dengan kata lain, doa dan pembacaan Firman terus membuat kita mengintrospeksi diri di dalam pelayanan penginjilan, sehingga kita terus-menerus dapat melayani Tuhan untuk kemuliaan-Nya.

Kedua, tahanlah dalam menderita (respon internal). Kata “sabarlah menderita” dalam terjemahan KJV adalah endure afflictions (=tahanlah dalam penderitaan). Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah kakopatheō bisa berarti undergo hardship (=alami/jalanilah penderitaan/kesengsaraan). Selain kita menguasai diri dalam segala hal, Paulus memerintahkan Timotius (dan juga kita) untuk mengalami penderitaan. Kata “sabarlah menderita” kurang tepat karena kata ini bisa disalahartikan dengan pengertian bahwa kita hanya disuruh tahan/sabar di dalam penderitaan, tetapi arti sebenarnya adalah kita harus mengalami penderitaan itu (bukan hanya tahan/sabar). Di dalam pelayanan penginjilan, kita diwajibkan harus menderita. Tuhan Yesus mengingatkan kita, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Matius 10:38) Paulus di dalam 2 Timotius 3:12 mengingatkan Timotius dan juga kita, “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya,” Di zaman Paulus, penderitaan datang ketika orang-orang enggan atau malas mendengarkan suara kebenaran Firman, maka di zaman postmodern, kita pun menghadapi tantangan yang lebih berat lagi yaitu bukan hanya orang malas mendengarkan Firman, orang postmodern semakin lama “alergi” terhadap kebenaran dan mulai mengganti kebenaran dengan “kebenaran” (lihat ayat 3 dan 4). Di dalam penderitaan di abad postmodern ini, kita dituntut untuk mengalami penderitaan. Orang yang melayani Tuhan tetapi tidak mau ambil resiko, tidak mau menderita, dll sesungguhnya tidak layak disebut pelayan Tuhan. Justru, orang yang mau melayani Tuhan dan tetap berpegang pada prinsip Alkitab dengan ketat harus berani dan siapmengambil resiko : dihina, difitnah, dicacimaki, dll oleh orang lain. Sudah terlalu banyak contoh yang seharusnya menjadi teladan bagi kita. Dari sejarah gereja, kita membaca sejarah Bapa Gereja Athanasius, Augustinus (melawan bidat Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme), Dr. Martin Luther (melawan tokoh bidat Erasmus dan mengkritik kesalahan Roma Katolik), John Calvin (melawan Arminianisme dari Jacobus Arminius), kaum Calvinis di Perancis yang diusir oleh gereja Roma Katolik, dll. Semua anak Tuhan yang melayani Tuhan dan tetap berpegang teguh pada Alkitab pasti diusir, dihina, difitnah, dicacimaki oleh orang lain (bahkan oleh sesama orang “Kristen”). Itu adalah hal yang wajar, karena Tuhan Yesus sendiri berfirman, “Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah.” (Yohanes 16:2) Sungguh aneh memang, orang yang mengaku berbakti bagi “Allah” tetapi membunuh orang lain. Memang konteks Yohanes 16:2 adalah Tuhan Yesus sedang berbicara mengenai orang-orang Yahudi yang nantinya akan membunuh para rasul Kristus, tetapi ayat ini juga dapat menjadi refleksi bagi kita tentang penganiayaan yang akan kita tanggung dari teman kita dari agama mayoritas di Indonesia (jangan menyebut mereka sebagai “saudara”, karena mereka bukan di dalam Kristus -> Alkitab memakai istilah brethren bagi saudara-saudara seiman di dalam Kristus), di mana mereka mengklaim bahwa mereka sedang melayani “Allah” ketika mereka berani berjihad ria atau membunuh orang lain (orang “kafir”). Bagaimana dengan kita ? Apakah kita mau melakukan semua itu, yaitu menderita aniaya di dalam melayani Tuhan ? Ataukah kita lebih mempercayai ajaran kemakmuran yang mengajarkan bahwa percaya “Yesus” pasti kaya, sukses, makmur, sehat, dll, bahkan tak pernah digigit nyamuk ?


Bukan hanya respon internal (ke dalam), Paulus menuntut kita respon positif atau eksternal (ke luar). Di dalam tantangan yang kita hadapi di dalam pelayanan penginjilan, Paulus mengingatkan kita tentang 2 respon eksternal yang harus kita lakukan, yaitu :
Pertama, melakukan pekerjaan pemberita Injil. Kita jangan hanya duduk termenung, hanya berespon ke dalam/internal ketika menghadapi penderitaan. Tindakan itu bukan tindakan yang memberikan solusi terhadap tantangan. Tetapi kita dituntut Paulus untuk berani bereaksi ke luar, yaitu tetap memberitakan Injil. Mungkin kita berpikir bahwa kalau kita sudah menghadapi tantangan yang berat di dalam pelayanan penginjilan (ayat 3 dan 4), untuk apa lagi kita tetap menginjili ? Bukankah itu percuma ? TIDAK. Justru, tidak percuma. Ketika kita tetap mengabarkan Injil Kristus meskipun ada tantangan di dalamnya, itu membuktikan bahwa iman kita bukan didasarkan/bersumber pada tantangan dan kesulitan, tetapi pada/di dalam Kristus yang melalui Roh Kudus menguatkan dan mengurapi kita di dalam pelayanan penginjilan. Untuk hal ini, marilah kita belajar dari Paulus. Rasul Paulus adalah rasul Kristus yang giat mengabarkan Injil kepada orang-orang Yahudi, meskipun ia tahu bahwa mereka terus melawan Injil. Ini membuktikan bahwa Paulus tidak beriman di dalam kesulitan yang dihadapi, tetapi pada/di dalam Kristus yang mendorongnya untuk menginjili. Tetapi hal ini tidak berarti kita terus-menerus memberitakan Injil kepada orang yang di titik pertama sudah menolak Injil mentah-mentah atau kita membuat Injil menjadi murah. Kita tetap harus memberitakan Injil meskipun orang-orang menolaknya artinya bukan berarti kita terus “memaksa” orang untuk menerima Injil, tetapi fokus kita bukan kepada orang yang sama tetapi kepada orang yang berbeda. Ketika orang yang kita injili di titik pertama sudah menghina dan mencacimaki Injil, maka kita tak perlu lagi datang untuk kedua kalinya di waktu dekat, tetapi kita perlu mendatanginya mungkin beberapa tahun kemudian untuk mengingatkannya lagi tentang Injil atau memberitakan Injil kepada orang lain yang belum mendengar Injil. Mengapa ini harus dilakukan ? Karena kita percaya, “...Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (Roma 1:16) Di dalam Injil, ada kuasa Allah melalui Roh Kudus yang mengubah dan mempertobatkan orang berdosa agar kembali kepada Kristus. Ketika kita percaya di dalam kuasa Injil sejati, maka kita tidak lagi hanyut di dalam penderitaan, tetapi menerobos segala penderitaan untuk terus memberitakan Firman/Injil. Ingatlah, di dalam penderitaan, ada kuasa Roh Kudus yang tetap memimpin dan mendorong kita untuk tetap dan terus memberitakan Firman/Injil. Marilah kita belajar dari Paulus di dalam Kisah Para Rasul 14:19-20, yaitu setelah ia dilempari batu oleh masyarakat Listra, ia tetap memberitakan Injil ke Derbe setelah para murid mengelilinginya. Paulus bukan seorang yang lemah imannya, tetapi sangat beriman, sehingga setiap kesulitan dilewatinya dengan iman yang teguh di dalam Kristus. Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga memiliki iman yang terus berfokus kepada Kristus di dalam kita mengabarkan Injil dan memberitakan Firman. Biarlah kita meneladani Paulus juga yang berani mengatakan, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil,…” (Roma 1:16a) Terjemahan yang lebih tepat dari KJV tentang ayat ini, “For I am not ashamed of the gospel of Christ:” (=Karena aku tidak malu akan Injil Kristus). Ketika Paulus tidak malu akan Injil Kristus, bagaimana dengan kita sebagai anak-anak sekaligus hamba-hamba-Nya ? Apakah kita malu akan Injil atau kita berani memberitakan Injil karena kita percaya pada kuasa Injil sejati ? Ketika kita malu akan Injil, kita kalah dengan Paulus dan seharusnya kita tidak layak disebut hamba dan pelayan Kristus, tetapi respon yang benar dari kita adalah kita tidak malu sedikitpun akan Injil Kristus dan berani memberitakan Firman dan Injil meskipun tantangan merintangi kita.

Kedua, menyelesaikan/menunaikan tugas pelayanan kita. Kata “menunaikan” berarti menyelesaikan atau merampungkan. Dengan kata lain, kita bukan hanya dituntut untuk tetap memberitakan Injil meskipun ada tantangan, kita pun dituntut untuk menyelesaikan apa yang menjadi tugas pelayanan kita. Pelayanan sejati adalah pelayanan yang dikerjakan dari awal sampai akhir sambil berpegang dan berserah total kepada-Nya. Ketika kita melayani Tuhan di dalam pemberitaan Firman dan penginjilan, kita pun harus menunaikan pekerjaan pelayanan kita sampai tuntas sambil berserah kepada-Nya. Pekerjaan yang dikerjakan setengah-setengah bukanlah pekerjaan yang bertanggungjawab, tetapi ketika kita bekerja dengan hati, kita akan mengerjakan segala sesuatu sampai habis/selesai. Demikian juga di dalam pelayanan, ketika kita melayani Tuhan dengan hati yang berkobar-kobar, maka kita akan dan pasti mengerjakan pelayanan kita sampai selesai. Penunaian tugas pelayanan membuktikan kita setia di dalam mengerjakan mandat dari Allah. Bukan hanya sampai selesai, di ayat 7 di 2 Timotius 4 ini, Paulus mengatakan bahwa ia juga telah memelihara iman. Penunaian tugas pelayanan itu penting tetapi jika disertai dengan pemeliharaan atau pemurnian iman dan motivasi melayani, itu juga sia-sia. Memelihara iman jangan diartikan memelihara keselamatan supaya tidak hilang. Memelihara iman berarti menundukkan diri dan hati kita di hadapan Allah sambil berserah. Ingatlah, kata “beriman” atau “iman” dalam bahasa Yunani pistis berarti penyerahan/kebergantungan kepada Allah. Jadi, memelihara iman adalah memelihara kesanggupan kita untuk terus bergantung dan berserah kepada-Nya.


Di dalam melayani Tuhan di dalam memberitakan Firman/Injil, sudah pasti kita mengalami berbagai macam penderitaan dan kesulitan, karena dunia kita adalah dunia berdosa dan gelap, tetapi sudah menjadi kewajiban kita untuk tetap memberitakan Injil dan menunaikan pelayanan kita sebagai wujud kesetiaan kita terhadap mandat yang Allah berikan. Sudahkah dan masihkah kita tetap setia mengabarkan Injil Kristus di dalam dunia postmodern yang semakin rusak ini ? Ataukah kita malahan justru terlalu berkompromi dengan dunia dan akhirnya kita tidak ada bedanya dengan orang-orang dunia ? Biarlah perenungan kelima ayat ini menjadi perenungan yang menegur, mengkritik, membawa dan memimpin kita semakin dekat dengan apa yang Tuhan inginkan di dalam pelayanan kita. Semakin kita melayani Tuhan, kita justru semakin menyadari tanggung jawab dan resiko yang berat, lalu kita semakin berserah dan bergantung kepada Allah sambil tetap berwaspada dengan berdoa dan mempelajari Firman Allah (Alkitab). Biarlah Tuhan memakai kita di dalam melayani-Nya dengan bertanggungjawab dan sungguh-sungguh. Soli Deo Gloria. Amin.

Roma 2:5 : KEADILAN ALLAH TERHADAP TINDAKAN MANUSIA-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-8


Keadilan Allah Terhadap Tindakan Manusia-1

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:5

Pada ayat sebelumnya, ayat 4, Firman Tuhan sudah mengajarkan bahwa maksud kemurahan-Nya adalah menuntun kepada pertobatan, tetapi herannya manusia yang sudah diberitahu fakta ini menyangkal bahkan mereka tetap mengeraskan hati mereka sehingga tidak mau bertobat. Paulus mengatakan di ayat 5, “Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan.” atau dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Tetapi kalian keras kepala dan tidak mau berubah. Oleh sebab itu kalian sendirilah yang membuat hukumanmu menjadi bertambah berat pada Hari Kiamat, bila Allah menyatakan murka-Nya dan menjatuhkan hukuman yang adil.” Di dalam terjemahan King James Version (KJV), ayat ini diterjemahkan, “But after thy hardness and impenitent heart treasurest up unto thyself wrath against the day of wrath and revelation of the righteous judgment of God;” Frase “kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat” di dalam terjemahan KJV digabungkan menjadi, “hatimu yang keras/tidak berperasaan dan tidak mau bertobat”. Di sini, terjemahan KJV menggabungkan antara hati yang keras/tidak berperasaan/keras kepala dengan hati yang tidak mau bertobat. Mengapa ada penggabungan ini ? Karena : Pertama, bagi Paulus, pertobatan tidak terjadi mulai dari pikiran atau perbuatan, tetapi dari hati/iman. Dan iman/hati dahulu lah yang perlu dikoreksi dan diperbaharui. Di sepanjang sejarah Perjanjian Lama, bangsa Israel begitu antusias beribadah menyembah Allah, secara kasat mata, mereka kelihatan religius, tetapi benarkah prinsip hidup mereka seperti demikian ? Amos 5:21-24, Tuhan memperingatkan mereka dengan keras, “"Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir."” Bukankah ketika memilih Daud menjadi raja Israel menggantikan Saul, Allah lebih melihat hati ketimbang apa yang nampak di luar ? Di sini membuktikan bahwa Allah tidak ditipu oleh sesuatu fenomena yang tampak bagus di luar, tetapi Allah melihat hati manusia sebagai sesuatu yang terdalam di dalam pribadi manusia. Amsal 20:27 (Bahasa Indonesia Sehari-hari) menegaskan, “Hati nurani manusia merupakan terang dari TUHAN yang menyoroti seluruh batin.” Kata “hati nurani” sama artinya dengan roh yang dalam bahasa Ibrani neshâmâh berarti wind (angin), vital breath (pernapasan vital), divine inspiration (inspirasi Ilahi). Di dalam doktrin tentang dikotomi (manusia dibagi menjadi tubuh dan jiwa/roh), antara roh dan hati tidak dapat dibedakan, karena kedua-duanya satu kesatuan dan Alkitab menggunakannya silih berganti membuktikan bahwa kedua istilah ini yaitu antara roh dan jiwa adalah satu kesatuan/sama. Ketika hati manusia mengeraskan hati dan tidak mau bertobat, maka hati ini akan mempengaruhi pikiran dan akhirnya menentukan tindakan manusia yang tidak karuan (Dr. Francis A. Schaeffer, “I do what I think and I think what I believe”{“Aku melakukan apa yang kupikirkan dan aku berpikir apa yang kupercaya”}). Mengapa Dan Brown menulis buku The Da Vinci Code ? Saya yakin sepenuhnya di balik presuposisi penulisan Dan Brown ini ada semacam hati yang memberontak terhadap Allah dan ingin melecehkan-Nya, meskipun buku yang ditulisnya disebut novel/fiksi (sekaligus “fakta”).
Kedua, Paulus yang menggabungkan dua kata yang menggabungkan antara hati yang keras dan tidak mau bertobat ingin menjelaskan bahwa ketika hati manusia tidak berperasaan tentulah hati itu tidak mau bertobat. Hati yang keras/tidak berperasaan ini berarti hati yang bersikukuh pada pendiriannya sendiri, menganggap diri sendiri paling benar, dan itulah hati/iman yang TIDAK bersandar kepada Tuhan, tetapi kepada diri. Itu yang saya sebut sebagai self-centred faith/self-centred heart. Hati yang lebih mengagungkan pendirian diri tentulah mengakibatkan hati tersebut enggan mengakui segala keberdosaannya dan berbalik kepada Tuhan, secara otomatis hati ini menghasilkan hati yang tidak mau bertobat. Dunia postmodern ini juga tidak jarang dijumpai banyak orang dunia (termasuk orang “Kristen) yang mengaku diri “beriman” atau “berhati baik”, tetapi sebenarnya “iman” atau “hati” mereka hanya bersandar kepada diri. Kalau mereka benar-benar memiliki hati yang baik, maka ketika Tuhan datang dan mencerahkan hati mereka, mereka pasti bertobat, tetapi kenyataannya berbalik 180 derajat. Mereka bukan saja tidak bertobat, malahan mereka menghina Kristus yang tersalib, Alkitab sebagai satu-satunya Wahyu Allah yang final, dll. Inikah bukti bahwa hati mereka “baik” ? TIDAK. Tepat seperti yang Paulus ungkapkan bahwa hati yang tidak berperasaan/keras pasti menghasilkan hati yang tidak mau bertobat.

Lalu, apa yang terjadi dengan orang yang hatinya keras dan tidak mau bertobat ini ? Banyak orang dunia menyangka bahwa justru ketika mereka hidup sembrono, hidup mereka bakal menjumpai kesejahteraan dan kekayaan, tetapi benarkah Alkitab berkata demikian ? Di dalam ayat 5 frase berikutnya, Paulus menjelaskan, “engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Oleh sebab itu kalian sendirilah yang membuat hukumanmu menjadi bertambah berat pada Hari Kiamat, bila Allah menyatakan murka-Nya dan menjatuhkan hukuman yang adil.”) Paulus memaparkan fakta bahwa justru mereka yang hatinya keras dan tidak mau bertobat ini sebenarnya sedang menimbun murka Allah pada diri mereka sendiri. Bangsa Israel ketika hati mereka menyeleweng dari Allah dengan menyembah ilah-ilah lain, mereka harus menanggung hukuman Allah, yaitu dibuang ke Babel dan negara-negara kafir lainnya yang mengakibatkan bangsa Israel kehilangan identitas mereka. Bagaimana dengan Hawa ? Kejadian 3 memberitahu kita bahwa dosa manusia pertama tidak terjadi ketika Hawa mulai memetik buah itu atau bahkan memakannya, tetapi dosa Hawa terjadi ketika hatinya tidak mau berpaut dan taat kepada Allah lalu lebih menuruti suara iblis. Lalu, apakah setelah demikian, Hawa menjadi bebas/merdeka ? TIDAK ! Justru di dalam keberdosaannya, Hawa (dan suaminya, Adam) sedang menimbun murka Allah yang dahsyat, yaitu dibuang dari Taman Eden. Keadaan manusia di akhir zaman nantinya pun akan berlaku hal yang sama, di mana mereka yang tetap menolak untuk percaya kepada Kristus, merekalah yang harus menerima kematian kedua, yaitu api neraka (Wahyu 20:14-15). Ini membuktikan tindakan manusia harus dipertanggungjawabkan kelak di hari penghakiman. Sayangnya di abad postmodern ini, manusia dunia (bahkan banyak orang “Kristen”) lebih memuja istilah “hak asasi” ketimbang tanggung jawab. Benarkah merupakan suatu hak asasi jika Dan Brown menulis The Da Vinci Code lalu hak asasinya bisa dibenarkan ? Saya yakin TIDAK. Meskipun itu merupakan suatu hak asasinya, jika ia tidak segera bertobat, hak asasinya itulah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Tuhan (2 Korintus 5:10). Kalau abad yang gila ini sedang menggemari istilah “hak asasi”, tetapi yang lebih aneh lagi, penggemar istilah inilah yang justru merugikan hak asasi orang lain. Coba lihatlah kasus di Indonesia, di mana banyak buruh berdemonstrasi menuntut hak asasi mereka, yaitu kenaikan gaji, dipenuhi, tetapi herannya mereka tidak sadar bahwa karena tindakan demonstrasi mereka (yang mayoritas mogok kerja), bos-bos mereka mengalami kerugian (hak asasi si bos). Inikah hak asasi ? Bagi saya, hak asasi tanpa tanggung jawab bukanlah hal yang baik. Dari mana muncul pengertian tanggung jawab manusia ? Dari dunia ? TIDAK MUNGKIN ! Hanya dari keKristenan yang mengerti konsep tanggung jawab manusia berdasarkan perintah Allah di dalam Alkitab. Islam, Budha, dll tidak pernah mengerti istilah ini dengan tepat, mengapa ? Karena mereka hanya diajarkan untuk berbuat baik, tanpa mengerti alasan dan esensinya ? Yang lebih mengherankan, ketika saya mempresentasikan sebuah bahan yang salah satunya membahas dan mengkritik buku The Da Vinci Code, seorang teman saya yang beragama Budha di kampus Petra mengatakan bahwa saya sedang “menghakimi” dan baginya, Dan Brown memiliki hak asasinya untuk menulis buku tersebut. Kalau kita menyelidiki ajaran Budha, maka di dalam Budhisme, tidak ada konsep tentang tanggung jawab, mengapa ? Karena Budhisme mengajarkan konsep reinkarnasi, semua orang baik yang hidup baik atau jahat kelak akan mati dan akan menjadi makhluk lain (kalau selama hidupnya orang itu berbuat baik maka orang itu menjadi manusia lagi, sedangkan kalau selama hidupnya seseorang berbuat jahat maka orang itu bakal menjadi anjing/semut/dll). Lalu, mereka juga tidak mengerti esensi dan alasan berbuat baik, karena mereka mempercayai bahwa perbuatan baik harus dicapai untuk mencapai “nirwana/sorga”. Bagaimana mungkin mereka mengerti esensi dan alasan berbuat baik ditambah pentingnya tanggung jawab manusia ? Di dalam theologia Reformed yang berusaha mengerti dan menafsirkan Alkitab sedekat dan setuntas mungkin mengajarkan bahwa tanggung jawab manusia tetap ada sebagai respon terhadap kedaulatan Allah. Jangan mengerti theologia Reformed sebagai presuposisi theologia yang hanya menekankan kedaulatan Allah dan membuang tanggung jawab manusia ! Itu bukan theologia Reformed, tetapi Hyper-Calvinism (yang tidak ada bedanya dengan konsep takdir di dalam Islam). Sedangkan Arminianisme (lawan Calvinisme/theologia Reformed) terlalu menekankan tanggung jawab manusia dan menghilangkan kedaulatan Allah, sehingga yang dipentingkan adalah kehendak bebas manusia dan bukan Allah (meskipun konsep ini enggan mereka akui di dalam kepercayaan mereka). Kembali, di dalam theologia Reformed dan ditegaskan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong bahwa manusia itu hidup bukan berdasarkan apa yang ia pikirkan, tetapi apa yang ia responi terhadap anugerah Allah. Hidup manusia yang salah satunya berisi tanggung jawab di dalamnya adalah respon terhadap anugerah dan kedaulatan Allah. Jadi, ketika manusia berdosa, jangan menyalahkan Allah yang menciptakan dosa. Dosa, meskipun diizinkan (bukan diciptakan) Allah, tetap adalah ulah manusia yang nantinya harus dipertanggungjawabkan manusia. KeKristenan, khususnya theologia Reformed menolak dengan tegas istilah TAKDIR, lalu menyamakan semua detik kehidupan manusia termasuk yang buruk sekalipun (termasuk cerai, berzinah, menikah lagi, dll) sudah ditakdirkan Allah. Itu gila namanya. Allah tidak pernah memimpin manusia kepada kejahatan, tetapi Allah mengizinkan/membiarkan mereka hidup tidak beres. Ayat yang baru kita baca tadi mengingatkan kita tentang pentingnya tanggung jawab manusia sebagai respon terhadap kedaulatan Allah. Ketika Allah sudah menyatakan diri-Nya kepada manusia dan manusia tetap menolaknya, maka manusia itu tetap harus mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka tolak (meskipun penolakan manusia ini sudah ditentukan Allah sejak semula sebagai sisa-sisa manusia yang telah dipilih-Nya dahulu) kelak di hadapan tahta penghakiman Allah yang adil dan dinyatakan/disingkapkan (KJV, “treasurest up unto thyself wrath against the day of wrath and revelation of the righteous judgment of God;”).

Kalau manusia di abad postmodern yang terus mendengungkan kasih Allah, maukah kita menyadari bahwa di dalam kasih Allah, juga terdapat keadilan dan murka-Nya ? Ayat 5 yang sedang kita renungkan saat ini mengingatkan kita bahwa murka dan hukuman Allah tetap berlangsung bagi mereka yang menolak-Nya. Hari ini, maukah kita bertobat dan kembali kepada-Nya dengan pengertian yang bertanggungjawab ?

Matius 3:11-12 : BAPTISAN : RESPON TERHADAP ANUGERAH

Ringkasan Khotbah : 9 Mei 2004
Baptisan: Respon terhadap Anugerah

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 3:11-12



Dengan tajam Yohanes Pembaptis menegaskan bahwa Dia yaitu Yesus Kristus akan datang membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api; dan alat penampi telah siap di tangan-Nya untuk membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan (Mat. 3:11-12). Hal ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi seseorang ketika mereka datang pada Tuhan. Yohanes Pembaptis menegur dengan keras dan mengatai orang Farisi dan orang Saduki, dua golongan pimpinan masyarakat pada jaman itu dengan sebutan ular beludak ketika mereka datang meminta diri untuk dibaptis. Orang Farisi adalah orang yang merasa dirinya paling mengerti Taurat dan orang Saduki adalah orang merasa dirinya paling mencintai bangsa.
Bukan penghormatan atau pujian yang mereka dapatkan namun justru teguran keras yang mereka terima karena Yohanes Pembaptis tahu apa yang menjadi motivasi mereka. Orang Farisi dan orang Saduki bukannya bertobat tetapi mereka hanya sekedar ingin mendapatkan legalitas dalam status sosial mereka saja, mereka menganggap dengan dibaptis mereka akan mendapatkan kekuasaan dan kekuatan lebih besar. Yohanes Pembaptis tidak mudah terkecoh dengan penampilan luar mereka yang indah karena itu ia merasa perlu untuk mengkoreksi dan menegur mereka secara terbuka dan langsung di depan mata mereka sendiri. Sebutan ular beludak untuk mereka merupakan fakta yang ingin dikatakan oleh Yohanes Pembaptis. Bahkan Tuhan Yesus sendiri di Matius 23 juga memberikan gambaran yang sama seperti Yohanes Pembaptis; kalimat yang senada juga diucapkan sendiri oleh Tuhan Yesus. Orang Farisi dan orang Saduki tidak membantah hal tersebut karena mereka sesungguhnya menyadari realita bahwa sebutan ular beludak memang sesuai untuk dirinya. Orang yang katanya “cinta Tuhan dan cinta bangsa“ sesungguhnya tidak lebih hanya seorang manipulator belaka.
Yohanes Pembaptis membukakan tentang kehadiran Yesus Kristus yang menjadi inti dari Firman, hanya karena Dialah, dirinya mau menjadi pembuka jalan. Yohanes Pembaptis memberikan perbandingan kualitatif antara dirinya dengan Yesus; baptisan yang dia berikan hanyalah sebagai tanda pertobatan akan tetapi Kristus Yesus akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan api (Mat. 3:11). Apa yang dikerjakan Yohanes Pembaptis di dalam baptisan hanya bersifat fenomenal belaka yakni merupakan respon dari pertobatan tetapi baptisan yang dilakukan oleh Kristus bersifat hakiki. Baptisan yang dilakukan Yohanes berbeda kualitas dengan baptisan yang dilakukan oleh Kristus maka kita perlu memahami kedua konsep baptisan ini.
Baptisan merupakan sakramen yang ditetapkan sendiri oleh Tuhan Yesus (Mat. 28:19). Namun, sejak abad ke 18 muncul aliran anabaptis, aliran yang tidak bertanggung jawab dalam memberikan gagasan teologis. Aliran anabaptis mau mengubah pengertian baptisan yang telah diajarkan Alkitab dan telah dimengerti manusia sejak ribuan tahun lalu. Mereka mempersempit arti baptisan dengan selam karena baptisan berasal dari kata baptizo (bahasa Yunani) yang artinya adalah selam. Dengan demikian orang yang dibaptis harus diselam ke dalam air bukan mencurahkan air di atas kepala.
Menurut logika, kalau arti kata baptizo berarti selam maka seharusnya di Alkitab tidak boleh ada kata baptis (Mat. 3:11) karena setiap kata “baptis“ harus diganti dengan kata “selam“. Baptizo tidak boleh dipahami sekedar dari arti kata saja. Kata Baptizo di Alkitab diterjemahkan dengan baptisan, yaitu sakramen baptisan. Kita tidak menjumpai satu kata pun di Alkitab ditulis dengan selam, sebagai contoh di Luk. 11:38 kata baptizo di sana diterjemahkan dengan mencuci tangan. Karena itu kita menolak pendapat yang dikemukakan oleh aliran anabaptis. Kata "selam" sebagai arti kata "baptizo" bukan arti kata dalam kekristenan tapi pikiran dunia diselipkan masuk dalam kekristenan.

Kata logos (bahasa Yunani) di Alkitab artinya adalah “Firman“ akan tetapi kata logos oleh seorang filsuf, yakni Heraklitos diartikan sebagai pikiran universal. Inilah kesalahan fatal yang dilakukan oleh banyak orang yakni menafsirkan kata-kata dalam Alkitab dengan sembrono. Baptizo atau baptis jangan hanya dimengerti secara ekstensi, yakni selam atau percik tapi kita harus mengerti baptis secara esensi, yakni sebagai sakramen yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Alkitab mendefinisikan baptisan sebagai tanda pertobatan sesuai dengan isi berita yang diserukan: "Bertobatlah Kerajaan Sorga sudah dekat". Yohanes Pembaptis hanya membaptis dari fenomena karena bagaimanapun juga ia hanyalah seorang manusia biasa sehingga sukar baginya untuk dapat mengerti secara tepat apa yang menjadi motivasi orang ingin dibaptis. Tidaklah mudah bagi kita dapat mengerti apakah seseorang sudah bertobat atau belum?
Ingat, Kristus akan datang dan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api yang menghanguskan karena Dia sudah siap untuk menampi, membersihkan dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung dan debu jerami akan dibakar dalam api yang tidak terpadamkan. Mendengar hal ini seharusnya orang Farisi dan orang Saduki disadarkan akan motivasi mereka yang salah namun sayang, mereka justru menganggap baptisan sebagai hal yang menyenangkan karena dapat mengangkat status sosial mereka. Sampai hari ini pun banyak orang yang berpendapat bahwa baptisan hanyalah sekedar upacara biasa. Kekristenan menyadarkan kita bahwa baptisan tidak boleh dimengerti hanya sebatas upacara tetapi baptisan harus dimengerti secara esensi, yaitu suatu momen yang menunjukkan bahwa Roh Kudus sudah bekerja terlebih dahulu atas kita dan kita hanya bereaksi saja. Calvin pun menegaskan bahwa baptisan adalah anugerah Allah yang mendahului respon manusia, the grace of God is prior to human response.

Manusia tidak mungkin dapat meresponi panggilan Allah hanya Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk dapat meresponi panggilan-Nya. Iman Kristen adalah iman reaksi bukan iman aksi maka jangan pernah sekali pun anda berpikir bahwa apa yang kita lakukan saat ini adalah demi untuk membantu orang lain. Tidak! Kita bukan sedang membantu orang lain melainkan kita sedang menggenapkan kehendak Tuhan dan memberikan respon yang tepat terhadap anugerah Tuhan. Ingat, kalau sampai detik ini kita masih dapat hidup dan melayani Tuhan itu bukan karena kehebatan kita melainkan hanya karena anugerah Tuhan semata. Tuhan masih berkenan menjadikan kita manusia berdosa menjadi rekan sekerja Allah, turut ambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Lalu bagaimana respon kita?

Jadi, baptisan merupakan proklamasi diri kita yaitu bagaimana kita bereaksi terhadap anugerah Tuhan. Kalau kita tidak mengerti akan hal ini maka kita hanya menjadi orang-orang yang sekedar melakukan aksi dan hanya menunggu reaksi. Sebagai contoh, orang selalu ingin mendapat reaksi yang positif sebagai hasil dari aksi perbuatan baik yang mereka lakukan dan orang akan menjadi marah kalau reaksi yang ia terima tidak sesuai dengan aksi yang mereka lakukan. Ketika orang berbuat baik maka ia pasti ingin mendapatkan imbalan dan ia akan menjadi marah kalau orang bereaksi negatif. Orang Kristen seharusnya bereaksi terlebih dahulu bukan aksi. Reaksi yang menyadari akan cinta kasih Tuhan yang besar yang telah menebus kita maka kita pasti akan menunjukkan aksi kita, yaitu ingin membalas cinta Tuhan tersebut dengan berbuat kasih pada orang lain dengan kasih yang seperti Tuhan. Anak Tuhan yang menyadari anugerah Tuhan pasti ingin menyenangkan hati Tuhan dengan segala sesuatu yang dikerjakannya.

Yohanes Pembaptis ingin menyadarkan orang Farisi dan orang Saduki bahwa mereka seharusnya bereaksi atas anugerah Tuhan. Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah Tuhan sungguh beranugerah atas mereka? Kita akan mengalami pertumbuhan dalam iman kalau hidup kita dibangun di atas esensi baptisan. Amanat Agung yang Tuhan Yesus berikan adalah supaya kita pergi memuridkan terlebih dahulu dan barulah kemudian membaptis mereka (Mat. 28:19-20) bukan sebaliknya dengan demikian baptisan tidak dilakukan dengan sembarangan. Lalu bagaimana dengan baptisan anak? Baptisan anak pun dilakukan karena anugerah Tuhan turun terlebih dahulu atas orang tua mereka sehingga mereka dapat lahir di tengah-tengah keluarga Kristen. Orang tua harus bertanggung jawab mendidik anak dalam iman pada Kristus; orang tua menjadi saluran berkat dan wakil Tuhan untuk mendidik anak yang dititipkan Tuhan tersebut. Hari ini, dengan dalih menyerahkan pilihan pada si anak banyak orang tua Kristen yang tidak mau membaptiskan anaknya. Namun sesungguhnya adalah mereka tidak mau bertanggung jawab mendidik anak dalam takut akan Tuhan Kristus. Anak yang lahir dalam anugerah harus mendapat anugerah juga. Konsep baptisan yang benar seharusnya semakin menyadarkan orang akan anugerah Tuhan yang penuh melimpah dan kita dapat bertumbuh dalam pengertian baptizo yang sejati.
Ingat, di balik baptisan ada tanggung jawab penampian, ada seleksi yang akan membuang kita ke dalam api kalau kita tidak beres. Ironisnya, hari ini orang justru meributkan baptisan hanya sebatas fenomena saja, yaitu hanya sampai sebatas caranya apakah diselam atau dipercik. Kalau kita hanya mengerti baptisan sampai sebatas selam atau percik maka itu berarti kita telah menggeser esensi penampian; kita telah melecehkan arti baptisan ke tempat yang paling rendah. Ingat, baptisan bukanlah tiket menuju ke surga karena ada pendapat yang mengatakan bahwa hanya dengan dibaptis selam maka kita akan selamat. Salah! Kalau keselamatan hanya diperoleh melalui selam, lalu bagaimana dengan kematian Tuhan Yesus di atas salib untuk menebus dosa? Keselamatan bukan terletak di masalah selam atau airnya melainkan di dalam Kristus Yesus. Kalau demi untuk memperoleh keselamatan, orang harus dibaptis selam lalu bagaimana dengan orang yang sakit yang tidak dapat diselam?
Jadi, keselamatan merupakan anugerah Tuhan dan merupakan anugerah Tuhan pula kalau kita dapat menyadari hal itu maka sebagai ucapan syukur, kita harus berespon atas anugerah itu. Ingat dan camkanlah bahwa: "Anugerah Allah mendahului respon manusia, the Grace of God is prior to human response"; Tuhan beranugerah manusia bereaksi terhadap anugerah, Tuhan yang berbuat baik terlebih dahulu pada kita dan manusia harus bereaksi atas kebaikan Tuhan tersebut yaitu dengan mengasihi sesamanya dengan kasih seperti kasih Tuhan. Tuhan yang beraksi terlebih dahulu dan manusia bereaksi dengan demikian kita mengerti siapa Tuhan dan siapa saya. Biarlah sebagai orang Kristen kita senantiasa menyadari bahwa hidup dan semua yang ada pada kita adalah anugerah-Nya; semua itu adalah milik kepunyaan-Nya jadi kita harus kembalikan semua yang ada pada kita demi untuk kemuliaan nama-Nya saja. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Resensi Buku-12 : THE LOTUS AND THE CROSS/PERCAKAPAN YESUS DENGAN BUDDHA (DR. RAVI ZACHARIAS, D.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
Seri Percakapan Besar : THE LOTUS AND THE CROSS (Teratai dan Salib)
Percakapan Yesus dengan Buddha


oleh : DR. RAVI ZACHARIAS, D.D.

Penerbit : PIONIR JAYA (Bringing Truth to Generation), Bandung ; Desember 2006

Penerjemah : Ev. Dra. Trivina Ambarsari S., S.Th.






MELANGKAH KE DALAM SAMPAN “BEREKOR PANJANG” DI SUNGA PARA RAJA
dan terbenam dalam suatu percakapan imajiner antara Yesus Kristus dengan Buddha Gautama.

· Keduanya berbicara tentang “diri,” tetapi yang satu bahkan menyangkali keberadaannya.
· Keduanya merasakan kenyerian penderitaan, tetapi masing-maisng memiliki respons yang berbeda dalam menanggapinya.
· Keduanya membicarakan kelaparan kita yang terdalam, tetapi yang satu melihatnya sebagai suatu halangan sedangkan yang lainnya memandangnya sebagai petunjuk.
· Keduanya mempunyai pengikut-pengikut di seluruh dunia – tapi jawaban mereka berbeda jauh sekali.





Profil Dr. Ravi Zacharias :
Dr. Ravi Zacharias lahir di Madras, India tahun 1946. Beliau dikenal sebagai seorang apologetika Kristen dari Kanada, Amerika. Beliau dan keluarganya pindah ke Toronto, Kanada, ketika beliau masih sebagai seorang remaja, tetapi sekarang beliau berada di Atlanta, Georgia. Beliau terlahir dari keluarga pandita Hindu (kasta Nambudiri Brahmin), kemudian beliau bertobat kepada Tuhan Yesus dan menyerahkan diri menjadi hamba-Nya yang setia. Beliau mendapatkan gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Trinity International University di Deerfield, Illinois. Beliau menguasai banyak disiplin ilmu, di antaranya perbandingan agama, aliran agama, dan filsafat, dan oleh karena itu beliau memimpin departemen Penginjilan dan Pemikiran Kontemporer di Alliance Theological Seminary selama 3,5 tahun. Beliau mendapatkan anugerah gelar Doctor of Divinity (D.D.) baik dari Houghton College, NY, maupun dari Tyndale College and Seminary, Toronto. Beliau juga dianugerahi gelar Doctor of Laws (LL.D.) dari Asbury College di Kentucky. Beliau sekarang menjadi dosen tamu di Wycliffe Hall, Oxford University di Oxford, England.

Beliau juga menjadi pembicara utama pada the
National Day of Prayer di Washington, D.C. dan the Annual Prayer Breakfast for the United Nations di New York City. Beliau telah menulis beberapa buku tentang keKristenan, di antaranya, Can Man Live Without God? (1994), The Lotus and the Cross: Jesus Talks with Buddha (2001), and Sense and Sensuality: Jesus Talks with Oscar Wilde (2002). Selain itu, beliau juga adalah Presiden Direktur dari Ravi Zacharias International Ministries yang berpusat di Norcross, Georgia. Pada tahun 2006 ini, pelayanan beliau telah mencapai lebih dari 33 tahun.

Pada undangan dari Billy Graham, beliau menjadi pembicara pleno di dalam International Conference for Itinerant Evangelists di Amsterdam pada tahun 1983, 1986, and 2000. Beliau bersama istri, Margie, memiliki tiga orang anak, yaitu; Sarah, yang menikah dengan Jeremy, Naomi, dan Nathan.