12 May 2007

ESENSI ATAU FENOMENA ? (oleh : Denny Teguh Sutandio)

ESENSI ATAU FENOMENA ?

oleh : Denny Teguh Sutandio



PENDAHULUAN
Dunia postmodern adalah dunia yang sedang mengilahkan relativisme dengan me“mutlak”kannya. Memang terdengar aneh, tetapi begitulah kenyataannya. Selain relativisme, abad postmodern ini juga ditandai dengan semangat pragmatisme murni yang mengabaikan prinsip dan mengilahkan sesuatu yang bukan prinsip. Dengan kata lain, zaman postmodern adalah zaman yang lebih menitikberatkan pada fenomena dan meniadakan esensi. Sehingga, tidak usah heran, sesuatu yang fenomena gemar digandrungi orang. Misalnya saja, diluncurkannya buku The Da Vinci Code dari Dan Brown, Misquoting Jesus dari Bart D. Ehrman, Jesus Tomb, dll mengakibatkan tidak sedikit orang “Kristen” tergoncang imannya karena menemukan bahwa Kristus tidak mati dan kubur-Nya ditemukan. Sebaliknya, gereja-gereja Kristen terlalu dangkal dan pasif serta tidak mau mengajar doktrin Kristen yang solid. Yang lebih parah, banyak gereja “Kristen” yang malas mengajar doktrin, tiba-tiba begitu fenomena yang mendiskreditkan Kristus muncul, mereka langsung mengadakan pembinaan jemaat. Jika tidak ada fenomena yang menantang, mereka diam dan membisu seperti orang mati. Untuk itu, marilah kita melihat sekilas apa yang dunia ajarkan tentang hubungan esensi dengan fenomena ini.


PANDANGAN ABAD POSTMODERN TERHADAP HUBUNGAN ESENSI DAN FENOMENA
Seperti yang telah dijelaskan bahwa abad postmodern salah satunya ditandai dengan filsafat pragmatisme yang mencengkeram manusia, bahkan tidak sedikit banyak orang yang mengaku diri “Kristen” bahkan “melayani ‘tuhan’” ternyata juga seorang pragmatis tulen. Apa yang mereka pikirkan di dalam jiwa pragmatis ini?

Prinsip utama yang mereka pikirkan adalah, “jangan hanya teori saja, yang penting prakteknya.” Bukankah ini yang kerapkali didengungkan oleh banyak orang dunia, bahkan tidak sedikit orang “Kristen” yang pragmatis ? Mereka hendak mengatakan bahwa doktrin itu tidak penting, yang penting itu perbuatannya. Dengan mengutip Yakobus 2:26, banyak orang “Kristen” terkesan “religius” dengan mengajar bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Apa motivasi di balik perkataan mereka ? Benarkah motivasi mereka tulus ? TIDAK. Justru, motivasi mereka busuk. Mengapa ? Karena dengan mengatakan demikian, mereka sejujurnya sedang menawarkan beberapa prinsip konyol yang sebenarnya melawan Alkitab, yaitu : pertama, mereka sedang mementingkan perbuatan baik (jasa) ketimbang iman. Para pragmatis “Kristen” lebih memilih mengajarkan bahwa perbuatan baik menentukan iman seseorang. Atau dengan kata lain, mereka hendak mengajarkan bahwa perbuatan baik seseorang itu sangat berharga bahkan lebih berharga daripada iman. Mereka sedang menegakkan prinsip humanisme (mengilahkan manusia) dan membuang theisme (meskipun mereka menganggap diri “Kristen”). Kalau ditelusuri, apa yang mereka ajarkan sangat mirip dengan pandangan Arminianisme yang mengajarkan bahwa kehendak bebas manusia itu lebih menentukan ketimbang kedaulatan Allah, sehingga mereka mengajarkan bahwa iman itu adalah tindakan aktif manusia tanpa melibatkan tindakan aktif Allah di dalam Roh Kudus. Konsep ini jelas-jelas ditentang oleh Alkitab dengan berkali-kali mengajarkan bahwa orang percaya dibenarkan dan diselamatkan hanya melalui iman saja, bukan melalui perbuatan baik (Efesus 2:8-9). Tetapi hal ini tidak berarti perbuatan tidak penting. Yakobus 2:14-26 mengajarkan suatu konsep penting bahwa iman sejati harus menghasilkan perbuatan baik sejati yang berfokus pada iman. Jangan asal-asalan menafsirkan Alkitab khususnya Yakobus 2:14-26 ! Kedua, konsep yang penting perbuatan sebenarnya dilontarkan oleh seseorang yang malas belajar doktrin. Dewasa ini, seperti yang diungkapkan juga oleh Prof. David F. Wells, Ph.D. dalam bukunya No Place for Truth, banyak gereja Injili yang dahulu ketat di dalam theologia tetapi sekarang sudah berkompromi dengan psikologi dan manajemen. Di dalam abad ini, doktrin bukan lagi konsumsi para jemaat gereja, tetapi yang menjadi konsumsi orang “Kristen” saat ini adalah training psikologi ala Gerakan Zaman Baru dengan salah satu idenya adalah Success is My Right (dari Andrie Wongso), dll ditambah training manajemen lewat MLM (Multi Level Marketing). Bukan hanya itu, banyak orang “Kristen” apalagi yang selalu mengklaim diri “melayani ‘tuhan’” ternyata tidak suka mengenal Tuhan melalui studi Alkitab, tetapi lebih menyukai hal-hal fenomenal seperti konser musik yang tidak jelas arahnya (kontemporer, rock), dll. Tidak usah heran, banyak dari mereka pasti menolak kalau diajak untuk belajar theologia (apalagi kalau membayar), tetapi herannya, orang yang sama ketika diajak melihat konser musik kontemporer (baik sekuler maupun yang berjubah “religius”), tidak usah diajak dan meskipun bayar mahal, mereka pasti mau. Ditambah lagi, gereja yang gemar dicari oleh para pragmatis ini adalah gereja-gereja yang sanggup memuaskan hawa nafsu mereka, misalnya gereja yang tidak mau menggunakan liturgi, membuang doktrin/pengajaran di dalam mimbar gereja, dll. Inilah realita dunia kita yang pragmatis dan anti-doktrin, tetapi mereka selalu menyangkalnya.

Kalau gereja-gereja dan orang-orang “Kristen” terus mementingkan fenomena, mau jadi apa hari depan keKristenan ? Tidak ada jalan lain, keKristenan tidak seharusnya mementingkan berbagai fenomena, tetapi terus-menerus berfokus pada esensi, karena esensi lebih penting daripada fenomena. Oleh karena itu, marilah kita mempelajari beberapa prinsip Kristen tentang hubungan esensi dengan fenomena dari sudut pandang theologia Reformed.


PANDANGAN KRISTEN (REFORMED) TENTANG HUBUNGAN ESENSI DAN FENOMENA
Kalau orang-orang postmodern mengabaikan pentingnya esensi/konsep, bagaimana sikap keKristenan sebenarnya ? Saya mengkategorikan hubungan antara esensi dan fenomena ke dalam beberapa prinsip :
Pertama, esensi bukanlah fenomena. Prinsip ini sangatlah penting, yaitu jangan mengidentikkan esensi dengan fenomena. Mengapa ? Karena kedua hal ini berbeda secara prinsip. Esensi adalah suatu inti yang mendasar dan sangat penting (pusat), sedangkan fenomena adalah suatu turunan yang dapat dilihat (dari bahasa Yunani : phainomenon yang berarti “apa yang bisa terlihat”). Di dalam keKristenan, yang menjadi esensi adalah iman. Ibrani 11:1 mendefinisikan iman sebagai, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Kata “dasar” dalam terjemahan King James Version adalah substance dan teks Yunaninya adalah hupostasis yang secara konkrit berarti esensi (essence) dan secara abstrak berarti jaminan/asuransi (assurance). Jadi, iman adalah inti atau pusat dari keKristenan. Dengan kata lain, seperti yang pernah diungkapkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, keKristenan adalah agama yang berinti iman. Apa arti iman ? Dalam bahasa Yunani, kata “iman” di dalam Ibrani 11:1 adalah pistis yang secara khusus berarti reliance upon Christ for salvation (=bergantung pada Kristus untuk keselamatan). Dengan kata lain, iman sebagai esensi keKristenan adalah suatu kebergantungan total kepada Allah di dalam Kristus. Sehingga, tidaklah benar jika mengidentikkan iman dengan berpikir positif, karena iman bukan 100% tindakan aktif manusia, tetapi merupakan 100% tindakan anugerah Allah sehingga manusia pilihan-Nya dapat beriman. Khusus di dalam theologia Reformed, kita belajar bahwa iman sejati harus berfokus kepada kedaulatan Allah yang menjadi inti berita Alkitab. Itulah yang disebut esensi. Kedaulatan Allah adalah esensi berita Alkitab. Prinsip pertama ini dapat disimpulkan bahwa karena esensi bukan fenomena, maka ingatlah prinsip : jangan mengorbankan esensi hanya demi fenomena ! Jika kita berani melakukannya, kita sedang menurunkan makna hidup dan nilai yang berarti.

Kedua, esensi menghasilkan fenomena. Selanjutnya, kita harus mengerti bahwa esensi sejati harus menghasilkan fenomena. Di dalam keKristenan, iman sejati sebagai esensi harus menghasilkan fenomena yang sejati yaitu perbuatan baik yang benar-benar baik (Yakobus 2:14-26). Meskipun kita tidak dibenarkan melalui perbuatan baik, tidak berarti kita dapat sembarangan hidup dengan dalih kita dibenarkan melalui iman. Kita memang dibenarkan melalui iman yang dianugerahkan oleh Allah, tetapi kita diperintahkan oleh Allah melalui Paulus untuk mengerjakan keselamatan kita (Filipi 2:12) dan ingatlah bahwa kalau pun kita dapat berbuat baik sesuai iman kita itu juga merupakan anugerah Allah yang bekerja di dalam diri kita (Filipi 2:13), sehingga baik iman maupun perbuatan baik yang kita kerjakan semuanya untuk memuliakan Allah (Roma 11:36). Dan ingatlah satu prinsip bahwa perbuatan baik kita sama sekali tidak mempengaruhi keselamatan yang telah kita peroleh, karena perbuatan baik hanyalah respon/ucapan syukur setelah kita diselamatkan oleh Allah di dalam Kristus. Di dalam theologia Reformed, ketika kedaulatan Allah menjadi esensi, maka esensi itu menghasilkan fenomena positif yaitu mendorong orang untuk memberitakan Injil. Banyak orang yang bertheologia Reformed malas atau enggan memberitakan Injil karena mereka percaya bahwa kalau segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah, untuk apa memberitakan Injil, toh nanti orang-orang pilihan akan kembali kepada Kristus dengan sendirinya. Pandangan ini salah dan harus ditolak, karena Alkitab sendiri mengajarkan tentang pentingnya memberitakan Injil dengan memuridkan orang (Matius 28:19-20). Justru, ketika kita mempercayai kedaulatan Allah, kita semakin giat memberitakan Injil, karena kita percaya bahwa ada kuasa Allah yang menaungi dan memimpin kita sehingga kita tidak salah sasaran dalam memberitakan Injil.

Ketiga, esensi menjadi standar penghakim bagi semua fenomena.
Bukan hanya sebagai penghasil fenomena, esensi juga harus berperan sebagai pusat sekaligus penghakim bagi semua fenomena. Semua fenomena harus tunduk di bawah esensi. Di dalam keKristenan, iman yang menjadi esensi harus berani menghakimi semua fenomena yang tidak beres, misalnya munculnya buku-buku seperti The Da Vinci Code, Misquoting Jesus, dll harus dihakimi dengan kacamata iman di dalam Kristus dan Alkitab. Sehingga, sudah sewajarnya orang-orang dan gereja-gereja “Kristen” tidak terlalu meresponi apa yang dunia tawarkan, misalnya dengan mengadakan seminar yang mengkritik semua fenomena dunia. Itu tanda orang dan gereja Kristen yang tidak dewasa. Kedewasaan iman Kristen dinilai dari kesiapan dan ketangguhan iman Kristen yang berpusat pada Alkitab untuk menghakimi dan menilai semua fenomena dari sudut pandang Allah. Khusus, di dalam theologia Reformed, ketika kedaulatan Allah menjadi esensi berita Alkitab, maka semua fenomena yang kerapkali terjadi di dalam lingkungan “Kristen” misalnya mukjizat kesembuhan, minyak urapan, dan fenomena lainnya harus diuji dan dihakimi berdasarkan prinsip esensi kedaulatan Allah. Mujizat kesembuhan dan hal-hal fenomena supranatural lainnya dari Allah dapat terjadi di zaman sekarang ini, karena Allah kita adalah Allah yang tetap berkuasa (Mahakuasa), tetapi jangan berhenti hanya pada konsep Allah yang Mahakuasa, itu berbahaya. Allah yang Mahakuasa juga adalah Allah yang Maha Berdaulat. Meskipun Ia mampu menyembuhkan seseorang yang sakit, tetapi Ia belum tentu mau melakukannya, karena kehendak-Nya selalu berbeda dari kehendak kita (Yesaya 55:8). Kalau kita selalu terjebak dengan banyaknya mukjizat supranatural lalu kita mengidentikkannya pasti dari “Allah”, kita sedang ditipu oleh setan, karena setan dapat menyamar sebagai malaikat terang dan pesuruh-pesuruhnya dapat menyamar juga sebagai pesuruh-pesuruh Allah (2 Korintus 11:14-15). Semua fenomena yang tidak mau diuji berdasarkan esensi Kebenaran di dalam Alkitab, berhati-hatilah terhadap fenomena itu, fenomena itu pasti datang dari setan, bukan dari Allah. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan teguran Paulus di dalam 1 Tesalonika 5:21, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (King James Version : “Prove all things; hold fast that which is good.”)

Sudahkah kita sebagai orang Kristen lebih memperhatikan esensi yaitu iman sejati di dalam Kristus lebih dari fenomena-fenomena yang dapat menipu ? Iman sejati bukanlah iman yang berfokus kepada fenomena, tetapi kepada kedaulatan Allah dan firman-Nya, Alkitab sehingga iman itu terus-menerus bertumbuh di dalam kedewasaan (maturity of faith) sekaligus kesederhanaan (meminjam istilah dari Pdt. Billy Kristanto : simplicity of faith) sampai menuju kepada kesempurnaan kelak melalui tindakan aktif Roh Kudus yang memimpin kita di dalam pengudusan dan pengenalan akan Allah terus-menerus (progressive sanctification dan progressive knowledge of God). Soli Deo Gloria... Amin.

TRANSFORMASI PIKIRAN KRISTEN (oleh : Pdt. DR. STEPHEN TONG)

Transformasi Pikiran Kristen

oleh : Pdt. DR. STEPHEN TONG



Artikel ini ditranskrip dan diedit kembali dari khotbah seri Surat Roma oleh Pdt. Dr. Stephen Tong di Mimbar Gereja Reformed Injili Indonesia di Jakarta.


Nats : Roma 12:1-2


Transformasi Pikiran Kristen merupakan hal yang besar sekali. Di dalam dunia ini, kita melihat hal yang paling sulit diubah adalah pikiran- pikiran yang sudah membeku. Pikiran yang sudah keras itu sulit untuk mempunyai pandangan yang baru. Tetapi Rm. 12:1-2 menyatakan kepada kita bahwa orang Kristen yang menyerahkan diri untuk menjadi korban yang hidup justru mungkin mengalami suatu perubahan dan pembaharuan budinya.

Ada orang yang kelihatannya begitu miskin, begitu kasihan, padahal dia mempunyai emas dalam jumlah yang banyak. Ia tidak pernah mau memakainya karena takut jika dia sudah lebih tua tidak mempunyai uang pensiun. Pikiran itu sudah begitu beku, kaku dan tidak bisa diubah. Orang itu maunya dikasihani, ditolong, tidak mau mengeluarkan apa yang ada padanya. Saya tidak tahu, mengapa begitu banyak orang yang sebenarnya dicipta sebagai wakil Tuhan di dalam dunia, dengan peta dan teladan Allah, mempunyai akal budi, bijaksana, pengertian kebenaran, tetapi mereka mau diikat oleh pengertian-pengertian yang begitu rendah, begitu kaku, sehingga mereka tidak bisa berubah.

Paulus berkata jika kita menyerahkan diri sebagai korban yang hidup; kita akan diubah oleh Tuhan sendiri. Suatu perubahan, pembaharuan yang membuat kita terus segar, terus hidup di dalam kesukaan yang luar biasa. Ada orang yang ketika kita bergaul satu dua hari dengannya, kita sudah merasa bosan untuk berbicara dengannya, berbicara dua menit saja kita sudah merasa terlalu panjang. Sebaliknya ada orang lain yang sudah bergaul sampai puluhan tahun dengan kita, tetapi setiap kali bertemu dengannya tetap segar, tetap senang, berbicara berjam-jam pun kita tetap merasa berarti. Ketika mau berpisah, kita merasa sayang sekali, dan berharap bila bertemu lagi. Apa sebabnya? Karena yang terakhir ada perubahan, pembaharuan, penyegaran yang tidak habis- habisnya, yang lain tidak. Ini penting sekali.

Kita menjadi orang Kristen, bukan menjadi orang Kristen yang beku, yang kering, yang sudah mati, yang sudah tidak bisa berubah, tetapi kita menjadi orang Kristen yang selalu segar, fleksibel, selalu siap mengikuti pimpinan Roh Kudus. Perubahan dan pembaharuan akal budi kita merupakan hal yang sangat penting dan menjadi satu tanda dalam diri kita sehingga dapat selalu menjadi berkat bagi orang lain. Di manapun kita berada, orang lain merasa segar, apapun yang kita bicarakan orang lain merasa diteguhkan. Ketika kita memberikan penjelasan orang lain merasa ditolong dan pikirannya dicerahkan. Karena pikiran dan mental kita ada proses pembaharuan yang tidak henti-hentinya, bahkan perubahan itu bisa memberi pengaruh dan bisa memperbaharui orang lain. Orang Kristen seharusnya adalah satu-satunya jenis orang yang terus menerus kontak dengan sumber kebenaran, bijaksana, dan cahaya sorgawi, karena Tuhan kita adalah dirinya kebenaran, sumber bijaksana, yang mewahyukan segala rencana yang kekal kepada orang-orang yang dicintai oleh-Nya.

Satu kalimat Elisa yang membuat saya sangat kagum: mengapa Tuhan tidak menyatakan kehendak-Nya kepadaku? Ketika perempuan Sunem datang kepadanya. Ia berkata kepada bujangnya, larilah menyongsong perempuan itu dan katakan kepadanya: "Selamatkah engkau, selamatkah suamimu, selamatkah anak itu?" Jawab perempuan Sunem itu "Selamat!". Dan sesudah perempuan itu sampai ke gunung, dipegangnyalah kaki abdi Allah itu, tetapi Gehazi mendekat hendak mengusir dia. Lalu berkatalah Elisa, abdi Allah itu: "Biarkanlah dia, hatinya pedih! Tuhan menyembunyikan hal ini dari padaku, tidak memberitahukannya kepadaku" (2Raj 4:25-27). Seolah-olah menjadi sesuatu yang mengejutkannya, mengapa kali ini Allah tidak memberitahukan kehendak-Nya kepada saya? Berarti Elisa mempunyai satu keyakinan, satu kepercayaan yang teguh, bahwa Allah selalu memberikan infomasi yang paling penting kepadanya. Di dalam kalimat itu, kita melihat, dia mempunyai satu keyakinan dalam hidup yang begitu rutin, begitu transparan, begitu segar, setiap saat bisa mengetahui, menerima pimpinan dan kehendak Tuhan. Bolehkah kita menjadi kawan Tuhan? Bisakah kita menjadi teman Tuhan yang akrab? Yesus Kristus berkata, "Aku tidak memperlakukan kamu sebagai budak, tetapi Aku menyebut kamu sebagai kawan-Ku." Kawan adalah yang bisa berbicara dari hati ke hati, yang senantiasa tidak takut membongkar rahasianya, dia dapat dipercayai atas hal-hal yang konfidensial. Hubungan kita dengan Tuhan seharusnya mencapai taraf, di mana kita berbicara dengan Dia, seperti kawan yang akrab yang sama-sama mempercayai satu dengan yang lain, kita memperoleh pikiran dan isi hati Tuhan untuk terus memperbaharui kita.

Paulus berkata di sini, biarlah kamu diperbaharui, dan kamu juga diubah, janganlah menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu. Di dalam bahasa Inggrisnya indah sekali, do not conform any longer to the pattern of this world, but be transformed by the renewing of your mind. Then you will be able to test and approve what Gods will is - his good, pleasing and perfect will. Di sini terdapat conform dan transform. Kata conform dihubungkan dengan menjadi seperti dunia, sedangkan transform menjadi seperti Tuhan Allah. Ini berbeda sekali. Hanya ada dua macam manusia, dan hanya ada dua macam orang Kristen: (1) yang sudah dikonformasikan baik cara, bentuk, maupun kebiasaan hidupnya sama dengan corak hidup duniawi, atau (2) yang terus menerus mengalami transformasi, semakin lama semakin mirip, semakin dekat, semakin memancarkan kemuliaan Sang Penciptanya. Kita bukan hidup dikonformasi di dalam corak duniawi, tetapi ditransformasi di dalam pimpinan Tuhan dan kehendak Allah yang kekal.

Kita akan memikirkan apakah yang merubah kita? Apakah yang membuat pikiran kita terus berubah?
Yang pertama adalah melalui kita mengenal kehendak dan keputusan Allah yang kekal. Kita harus mengenal the eternal will and the eternal decree of God. Kekekalan adalah suatu kemutlakan yang tidak berubah, yang hanya dimiliki oleh Tuhan Allah sendiri. Meskipun God is the only immortal, tetapi pada waktu Dia menciptakan manusia, Dia menciptakannya dalam keadaan serupa dengan-Nya, dan mempunyai peta teladan dari-Nya. Itulah sebabnya, kita diberikan konsep dan pikiran yang memungkinkan kita mengerti akan hal-hal yang bersifat immortal. Maka pada waktu manusia mengenal akan kehendak Allah yang kekal, lalu dia membandingkannya dengan semua filsafat, pemikiran, ide, cara hidup dan penilaian dari dunia, dia dapat membedakan mana yang fana dan baka, maka kita yang seharusnya berubah, untuk bisa sesuai dengan apa yang ada pada Tuhan. Kita bukan meminta Tuhan yang berubah, agar sesuai dengan kita yang ada di dunia. Orang Kristen yang baik tidak mengatakan, saya masuk gereja ini, karena gereja ini cocok untuk saya. Sebenarnya manusia tidak boleh mengatakan, agar Tuhan cocok dengan kita, melainkan agar kita cocok dengan Tuhan. Kita tidak seharusnya minta Tuhan cocok dengan saya, melainkan minta Tuhan merubah saya supaya saya cocok dengan Tuhan. Jadi doa bukan mau merubah Tuhan, doa adalah permohonan agar Tuhan merubah kita supaya menjadi seperti Dia. Itu doa yang sesungguhnya. Jika kita berdoa dengan menangis, bahkan sampai memaksa justru akan membahayakan rohani kita sendiri. Barangsiapa berdoa dengan memaksa Tuhan menjalankan apa yang dia inginkan, orang ini tidak mungkin merubah Tuhan, dia hanya memberikan peluang bagi setan mewakili Tuhan, memalsukan Tuhan untuk menipu dirinya sendiri. Jadi transformasi itu terjadi di dalam diri kita, transformasi tidak terjadi di dalam diri Allah, transformasi adalah diri kita semakin lama semakin berubah, semakin sesuai dengan kehendak Allah yang kekal. Karena mengerti akan kehendak Allah yang kekal, mudah bagi kita mengalami transformasi. Karena mengenal kehendak Allah yang kekal, kita rela berubah. Ini adalah karena yang lebih kekal lebih penting daripada yang sementara ini.

Yang kedua adalah melalui kekuatan dari pengertian Firman Tuhan, dan perintah-perintah Tuhan. Kalau kita membaca Mzm. 119, di sana terdapat istilah-istilah yang terus menerus diulang, taurat-Mu, titah-Mu, perintah-Mu, hukum-Mu, kehendak-Mu, istilah-istilah sinonimus ini terus menerus muncul, memberi pengertian kepada kita bahwa yang dari Tuhan itu sudah sempurna adanya. Dan dikatakan di Mazmur itu, firman- Mu lebih berharga daripada emas yang murni. Untuk murni bagaikan emas, membutuhkan tempaan dan ujian terus menerus. Demikian juga Tuhan melatih kita. Tuhan melatih kita dengan cara: mengeluarkan semua bahan campuran yang tidak berguna di dalam hidup kita. Melalui satu kali ujian, dua kali ujian, tiga kali ujian, akan terus diubah, diperbaharui sampai sempurna, yakni pada saat Tuhan melihat peta teladan-Nya sendiri secara sempurna direfleksikan dalam hidup kita masing-masing. Pada saat Tuhan dapat melihat diri-Nya melalui refleksi hidup kita, Dia akan mengatakan, orang ini sudah betul-betul dilatih dan sudah betul-betul berubah menjadi serupa dengan-Ku. Pemazmur berkata, firman-Mu lebih indah daripada emas yang murni. Apakah maksudnya? Bagaimanapun murninya diri kita, hanya merupakan refleksi dari Tuhan Allah sendiri, dan Tuhan sendiri lebih murni dari pada kemurnian siapapun. Sebab itu, dengan firman yang kita ketahui dan jalankan, kita mendapatkan kuasa perubahan dan kuasa pembaharuan.

Yang ketiga adalah melalui terus menerus memandang kepada Yesus Kristus, sebagai contoh dan teladan hidup kita. Kristus adalah kriteria dan standar dari etika segala zaman. Tidak ada orang yang seperti Yesus Kristus, yang pernah mengatakan kalimat : datang dan ikutlah Aku. Socrates tidak pernah mengucapkan kalimat itu. Kong Hu Cu dan Budha juga tidak mengatakan kalimat tersebut, mereka hanya berani mengatakan, mari kita mencari kebenaran. Tetapi berbeda dengan Yesus Kristus, Dia berkata bahwa "Aku adalah kebenaran", "datang dan ikutlah Aku". Dia menjadi teladan yang terutama, yang tersempurna, yang tertinggi. The supreme example of human life and human good works is in the live of Jesus Christ. Yesus Kristus mengatakan, datang dan ikutlah Aku. Maka pada waktu kita merenungkan Kristus, kita mengikut Yesus Kristus, kita menemukan satu kekuatan untuk merubah diri kita. Setiap kali kita merenungkan, berbicara, berpikir tentang Kristus, kita akan menggali dan mendapatkan suatu kekuatan untuk merubah pikiran kita sendiri. Di dalam Kristus, kita melihat dua hal: (1) contoh yang tidak bercacat cela dan (2) cara penilaian yang berbeda sekali dari dunia.
Paulus sendiri berkata, setelah aku mengenal Kristus, maka perkara- perkara yang dulu berfaedah bagiku, sekarang sudah kuanggap sebagai sampah, karena Kristus menjadi harga tertinggi, pusaka yang paling bernilai di dalam pengejaranku. Contoh hidup dan konsep penilaian Yesus Kristus begitu berbeda dengan orang dunia. Yesus Kristus berkata, yang dihargai oleh manusia, yang diutamakan oleh manusia, senantiasa menjadi kebencian bagi Tuhan Allah. Orang-orang di dunia menghargai hal-hal yang fana, yang bisa berubah, tetapi Tuhan memberikan satu patokan dan kriteria yang sama sekali berbeda dengan konsep dunia. Itu sebabnya Paulus berkata, demi Kristus aku telah membuang segala sesuatu yang dulu aku kira sangat berharga, dan sekarang aku memandangnya bagaikan sampah. Jadikanlah Kristus sebagai harga yang tertinggi dalam kehidupan kita.

Yang keempat adalah melalui kesaksian-kesaksian dari orang-orang suci di dalam sepanjang sejarah. Di dalam Ibr. 12:1, kita melihat penulis kitab mengajak kita meletakkan semua beban berat, untuk mengikut Tuhan, agar kita mengerti, sudah ada saksi-saksi, seperti awan yang mengelilingi kita. Begitu banyak saksi, apakah maksud dari istilah ini? Ini merupakan kesimpulan dari seluruh pasal 11. Di dalam seluruh pasal 11, penulis kitab Ibrani memperkenalkan satu per satu tokoh, yang meninggalkan segala kebahagiaan dunia untuk mengikut Tuhan. Masing-masing mereka karena iman kepercayaan berani menerima penganiayaan sampai dimasukkan ke dalam gua singa, digergaji, dibunuh oleh pedang, atau mengalami kelaparan, bahkan dimasukkan ke dalam dapur api. Di dalam Ibr. 11 itu terdapat satu kalimat, Dunia ini tidak layak bagi mereka (ay. 38). Dunia tidak layak memiliki orang-orang yang dianiaya seperti itu, tetapi pada waktu penganiayaan datang, apakah mereka menyerah? Apakah mereka berkompromi? Apakah mereka menjadi orang yang lemah, takluk, dan menyerah kepada musuh? Tidak! Sampai mati, mereka tetap menjaga, memelihara iman dan kesetiaan mereka kepada Tuhan. Setelah seluruh pasal 11 selesai, maka 12:1 mengatakan, karena itu, kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa, yang begitu merintangi kita, dan berlomba-lomba dengan tekun di dalam perlombaan yang menjadi kewajiban kita.
Mengapa para saksi iman ini berani hidup demikian? Karena mereka tahu Kristus adalah titik pusat dari seluruh sejarah. Orang dunia tidak mungkin melihat ini, kecuali orang Kristen yang diperbaharui pikirannya bisa mengerti bahwa dalam seluruh sejarah, hanya menuju pada satu titik pusat, yaitu Kristus, Anak Allah yang datang ke dalam dunia. Seluruh sejarah harus bertanggung jawab dan berkaitan dengan hadirnya Kristus di dalam dunia ini. Musa melihat begitu jelas, pikirannya diperbaharui oleh Roh Kudus, sehingga apapun yang dia kerjakan dikaitkan dengan titik pusat dari pada sejarah, yaitu Kristus, Musa rela menderita bagi Kristus, dan hidup bersama-sama dengan kaum Israel, dan dia menganggap bahwa menderita bersama-sama dengan umat Allah itu lebih berharga daripada hidup di dalam istana. Inilah kalimat, konsep, perasaan yang sama dengan Paulus yang mengatakan, karena Kristus, aku melihat segalanya bagaikan sampah, karena Kristus adalah nilai yang tertinggi bagiku. Ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh hidup mewah, tidak boleh kaya, dan juga tidak berarti kita harus meninggalkan segala sesuatu agar menjadi miskin dan menderita, baru menunjukkan bahwa kita mengasihi Tuhan. Tetapi pada saat Tuhan mau kita meninggalkan segala sesuatu, sudahkah kita bersedia? Pada saat menjalankan kehendak Tuhan, bersediakah kita berkorban, dengan tidak menghiraukan untung rugi dan hidup mati diri sendiri. Inilah konsep perubahan, yaitu perubahan penilaian, aksiologi yang berdasarkan standar sorgawi bukan berdasarkan standar duniawi. Di Inggris ada seorang yang bernama David Martyn Llyod-Jones. Sekarang Llyod-Jones sudah meninggal dunia. Tetapi dia pernah mendirikan satu mimbar yang menggemparkan seluruh dunia di London. Jika pada abad ke-19 ada Charles Haddon Spurgeon yang disebut sebagai the prince of the preachers, maka di abad ke-20 ini, kita harus mengakui David Martyn Llyod-Jones adalah raja di tengah-tengah para pengkhotbah. Di tengah kota London, dia mendirikan satu mimbar. Dia memakai Westminster Chapel yang bisa menampung ribuan orang. Yang datang mendengar khotbah Llyod-Jones bukan orang biasa, bukan anak muda atau mereka yang tidak berpengetahuan, tetapi banyak dari anggota parlemen, para profesor, doktor yang datang dari Universitas Cambridge, Oxford, Edinburgh, London dsb. Dia sebenarnya adalah seorang dokter medis yang dipilih menjadi dokter pribadi dari kerajaan Inggris. Dia seharusnya bekerja di istana Buckingham dan seharusnya mendapat uang yang luar biasa banyaknya. Tetapi pada saat dia mendapatkan panggilan Tuhan, maka dia menyerahkan kedudukan yang tinggi di dalam kerajaan dan penghasilan yang besar, dan menjadi hamba Tuhan. Semua orang mengatakan, dia pasti sudah gila, ribuan dokter bermimpi untuk bisa mendapatkan posisi tersebut, tetapi justru dilepaskan. Llyod-Jones berkata, bahwa dia mendapatkan pandangan yang diberikan oleh Tuhan, bahwa kehendak Tuhan lebih penting daripada keuntungan pribadi. Dia mulai berkhotbah, menegakkan firman Tuhan pada zaman tersebut. Dia adalah seorang yang pintar dan limpah pikirannya. Dia mengkhotbahkan Efesus 1 saja sebanyak 147 kali. Yang dikhotbahkan bukan dongeng, tapi penguraian firman Tuhan yang kaya luar biasa, membuat banyak orang yang diubahkan. Bukunya mengenai Roma dan Efesus dicetak puluhan jilid. Semua buku ini keluar dari pikiran orang yang takut kepada Tuhan. Pada waktu dia sudah menjadi tua sekali, seorang pendeta tua berkata kepada saya, jikalau David Martyn Llyod-Jones tidak sejak muda menyerahkan diri kepada Tuhan, waktu dia tua angka poundsterling yang dimiliki pasti banyak sekali, tetapi karena dia menyerahkan diri, menjadi seorang hamba Tuhan dia meninggalkan semua yang dianggap begitu bernilai oleh dunia. Pendeta itu melanjutkan, karena dia menyerahkan diri, maka kekristenan mempunyai warisan yang begitu banyak, untuk penggalian firman Tuhan. Dia juga mengatakan, jika Llyod-Jones tidak menyerahkan diri, orang Kristen tidak pernah bisa sadar berapa besar kerugian di dalam kerajaan Tuhan.
Cara Tuhan bekerja begitu heran, banyak orang yang mau pergi ke tempat yang begitu sulit, ada orang yang rela mengorbankan pekerjaan yang begitu penting, ada yang membuang segala kekayaan untuk pekerjaan Tuhan. Albert Schweitzer, pada saat dia pergi ke Afrika, dia sudah mendapatkan 4 gelar doktor dalam bidang yang besar: filsafat, theologi, medis dan musik. Gelar-gelar ini didapatnya dari sekolah- sekolah penting di Jerman. Kalau dia ingin mendapatkan banyak uang di Jerman, tentu tidak sulit baginya, tetapi dia lebih memilih pergi ke Afrika, ke tempat yang begitu hina, begitu primitif. Pada waktu dia tua, seorang wartawan Perancis, seorang humanis pergi mencari dia. Waktu dia tiba di sana, dia terharu luar biasa karena Albert Schweitzer masih tinggal di satu rumah, yang belum ada listrik, yang menggunakan lampu tempel. Dia datang dari negara yang begitu maju, pergi ke tempat yang begitu sulit, begitu primitif, untuk mengobati orang sakit di tengah desa-desa yang tidak habis-habisnya membutuhkan pelayanan. Pada waktu wartawan itu kembali ke Perancis, dia berkata kepada orang lain, di dalam dunia abad ke-20, yang sudah begitu maju, masih ada orang mau hidup seperti 20 abad yang lampau. Jiwa yang dimiliki orang demikian itu adalah jiwa Yesus, hatinya adalah hati Sang Penebus. Schweitzer pergi untuk menyatakan cinta kasih Tuhan kepada orang lain. Jika kita melihat dari Kitab Suci, begitu banyak orang yang berbuat seperti itu, dan di dalam sejarah, Tuhan tetap bekerja, sampai zaman ini pun Tuhan tetap bekerja.

Yang kelima adalah melalui pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus adalah Roh yang memimpin kita. Alkitab belum pernah menggabungkan istilah rasuk dengan Roh Kudus, yang dipakai adalah: pencurahan, urapan, pengudusan, gerakan, pimpinan, kepenuhan, pencerahan Roh Kudus. Penggunaan kata kerasukan dalam Alkitab adalah kerasukan setan.
Apakah bedanya dirasuk dan dipimpin? Yang dipimpin tahu dirinya dipimpin, tetapi yang dirasuk tidak sadar kalau dirinya sedang dirasuk. Gejala orang yang menyatakan dirinya menerima pekerjaan Roh Kudus, lalu pingsan, tidak sadarkan diri adalah tipuan setan, yang mengimitasi pekerjaan Roh Kudus. Kitab Suci memberikan prinsip kepada kita bahwa tidak ada orang yang kerasukan Roh Kudus. Roh Kudus adalah Parakletos, comforter atau counselor yang lain; yaitu Penghibur yang mendampingi. Roh Kudus bukan masuk dalam diri kita lalu mengambil alih seluruh pribadi kita, membuat manusia bingung, otak tidak lagi berfungsi, membunuh rasio. Tetapi Roh Kudus memimpin, mencerahkan, membawa kita kembali kepada firman, membuat kita mengerti akan rencana Allah, kehendak Allah. Kita rela taat kepada-Nya dengan sukacita. Kita mau dipimpin oleh-Nya. Itulah pekerjaan Parakletos yang begitu indah dan ajaib.
Ketika Roh Kudus memimpin seseorang, maka Ia memimpin pikirannya, emosinya, kehendaknya, dan seluruh hidup pribadinya. Di dalam pimpinan Roh Kudus itulah, Ia memberi pengertian kepada kita, sehingga kita mengetahui apa yang baik, apa yang tidak baik, apa yang benar, apa yang tidak benar. Roh Kudus memimpin manusia untuk hidup sebagai anak- anak Allah. Orang yang dipimpin Roh Kudus adalah anak-anak Allah. Orang yang disebut anak-anak Allah, seharusnya taat dan menikmati pimpinan Roh Kudus.
Roh kudus memimpin kita hanya dengan satu cara, yaitu melalui firman dan melalui kesaksian dan gerakan yang berasal dari firman. Roh Kudus tidak pernah memimpin kita di luar firman, Roh Kudus memimpin kita dengan firman Kebenaran. Ketika kita membaca, merenungkan firman, Roh Kudus memimpin, menggerakkan. Kadang-kadang jika kita ingin mengerjakan sesuatu yang tidak beres, bila kita adalah orang yang sudah diselamatkan, pasti merasakan satu ganjalan di dalam hati nurani kita, yang mengatakan, do not do it! Jikalau suara Roh Kudus yang bekerja di dalam hati kita, kita harus taat kepada-Nya. Jika pimpinan yang berdasarkan firman dan prinsip firman sudah menggerakan hati kita, maka kita bertindak hati-hati dan tidak sembarangan bergerak. Pimpinan semacam ini juga membuat pikiran, mental, bijaksana dan budi kita terus diubah, diperbaharui, disegarkan, dan kita menjadi anak Tuhan yang terus memancarkan sinar cahaya dari Tuhan.

Yang keenam adalah melalui memandang kepada hari depan. Orang yang kaku, adalah orang yang diperbudak oleh sejarah, orang yang lincah, adalah orang yang dibentuk untuk hari depan. Banyak orang yang statis, karena dia dipengaruhi dan dikakukan oleh sejarah.
Manusia bukanlah Allah. Hanya Allah sendiri yang tidak berubah, hanya firman Tuhan yang tidak berubah. Tetapi kita yang harus senantiasa berubah. Semua perubahan harus membawa kita kepada firman yang tidak berubah, itulah perubahan yang benar. Jikalau kita mengatakan kita harus berubah, setan langsung menawarkan perubahan untuk mengikuti arus-arus lain. Bukankah Alkitab mengatakan, kita harus berubah? Bagaimana dengan Reformed. Reformed theology bukan kaku, bukan mati dan hanya menerima sejarah, tetapi merupakan theologi yang terus menerus kembali kepada Alkitab, terus kembali setia kepada Alkitab. Perubahan itu yang terus merubah kita, tetapi tidak membawa kepada perubahan yang tidak lagi setia kepada Kitab Suci. Mengapa kita harus berubah untuk kembali kepada Alkitab? Bukan berubah untuk menuju pada hari depan? Karena Kitab Suci lebih dulu daripada sejarah, dan lebih maju daripada hari depan; Alkitab adalah satu-satunya buku yang memberikan kepada kita hal-hal sebelum dunia diciptakan, arti dari rencana Allah, bagaimana dunia berakhir dan menuju pada pengharapan yang kekal, sebelum titik Alfa dan sebelum titik Omega, apa dan ke mana, seluruhnya sudah berada di dalam Kitab Suci. Itu sebabnya Paulus mengatakan bahwa kita bukan memperhatikan hal-hal yang kelihatan, tetapi kita justru memperhatikan hal-hal yang tidak kelihatan, karena yang kelihatan itu sementara adanya, yang tidak kelihatan itu kekal adanya (2Kor. 4:18). Waktu kita ada di dalam kesementaraan itu, kita begitu berat, sengsara, susah dan penuh penderitaan. Tetapi ketika yang sementara itu dibandingkan dengan yang kekal, maka yang sementara menjadi tidak ada apa-apa, kita menuju kepada kekekalan. Itu sebabnya, kita mengaitkan hal ini dengan ayat selanjutnya dari Ibr. 12, Kristus mengabaikan segala siksaan. Dia mengabaikan segala penderitaan, waktu Dia memandang akan hari depan, yang penuh dengan perjanjian Tuhan Allah kepada-Nya, yang penuh dengan kemuliaan.
Orang Kristen perlu mempunyai pikiran yang terlepas dari pada segala ikatan sejarah, tradisi, kebiasaan, lingkungan, karena kita boleh dengan bebas melihat kepada rencana Allah, dan kebahagiaan yang ada di depan. Ada dua orang yang di penjara yang sama-sama divonis untuk melakukan kerja berat yaitu memecahkan batu-batu untuk dijadikan bahan bangunan. Mereka setiap hari harus bekerja selama 16 jam. Makan hanya untuk mendapatkan kekuatan untuk kembali bekerja. Pada suatu hari, keduanya diberitahukan: 10 hari lagi selesailah masa kerja kerasmu. Mereka senang sekali meskipun masih harus bekerja 10 hari lagi. Tetapi kemudian disambung dengan berita: si A dibebaskan dari penjara, sedangkan si B ditembak mati. Meskipun selama sisa 10 hari, si A dan B sama-sama harus tetap bekerja yang beratnya dan cara kerjanya sama. Namun apakah perasaan mereka sama? Tidak sama! Si B, yang dihukum mati melewati waktunya dengan susah karena kematian semakin dekat. Sedangkan si A, yang dibebaskan melewati hari-hari itu dengan sukacita. Berbeda sekali bukan? Inilah maksudnya berharap kepada kekekalan. Jika kita hidup hanya untuk sementara ini, hidup kita tidak mempunyai arti apa-apa. Tetapi jika apa yang kita lakukan, mempunyai nilai kekekalan maka kita hidup bersukacita karena pengharapan yang kekal itu.

Marilah kita mengabaikan segala penderitaan, kesulitan, beban berat yang harus kita tanggung untuk Tuhan, karena semua ini bagi kehendak Allah yang kekal. Jadi di dalam 6 point yang kita renungkan ini, point pertama adalah kehendak Allah yang kekal dan point terakhir adalah memandang kepada nilai yang kekal. Di tengah-tengah point pertama dan terakhir, kita memerlukan firman Tuhan yang terus mengajar kita, memerlukan teladan Kristus yang menguatkan kita, memerlukan orang suci yang menjadi contoh dan yang selalu menggairahkan kita, memerlukan terus menerus taat kepada pimpinan Roh Kudus, sehingga our mentality, our philosophy of life, and our thinking diubahkan, terus mengalami transformasi dan pembaharuan, sehingga kita boleh menjadi saksi Kristus yang hidup dan mulia di dalam dunia.
Bagaimana dengan Saudara yang membaca artikel renungan ini? Biar kita semua terus menerus berubah di hadapan Tuhan ke arah yang dikehendaki- Nya. Amin.(el)

Sumber :
Momentum Edisi 30 Triwulan II/1996 ; Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) hlmn 3-11,19

Diambil dari : http://www.sabda.org/e-reformed

DOKTRIN KEDAULATAN ALLAH dan SIGNIFIKANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN KRISTEN (oleh : Denny Teguh Sutandio)

DOKTRIN KEDAULATAN ALLAH DAN
Signifikansinya Terhadap Pendidikan Kristen

oleh : Denny Teguh Sutandio


Allah orang Kristen adalah Allah yang berbeda dengan berbagai macam konsep tentang “Allah” yang dimiliki dan diajarkan oleh orang-orang yang non-Kristen. Ini bukan sekedar mengenai perbedaan konsep tetapi juga berdampak kepada implikasinya, termasuk ke dalam hal pendidikan. Kalau kita melihat di seluruh khasanah keKristenan dengan berbagai macam arus pemikiran theologia, tidak ada satu arus theologia pun yang mampu memiliki kekonsistenan dan kesistematisan presuposisi dalam menggarap keKristenan secara khusus di dalam dunia pendidikan Kristen yang berkaitan dengan doktrin Allah, kecuali hanya theologia Reformed. Theologia Reformed memiliki keunikan paradigma tersendiri dalam membangun presuposisi theologianya yaitu apa yang dikenal sebagai kedaulatan Allah (the sovereignty of God). Jika Allah bukan Allah yang Berdaulat, maka itu bukan Allah, tetapi dewa-dewi yang sendiri tidak hidup dan tidak kekal. Konsep tentang Allah yang berdaulat dapat saya bagi menjadi lima prinsip beserta implikasinya terhadap dunia pendidikan Kristen.

Pertama, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang berada pada diri dan mutlak pada diri. Di luar diri Allah Trinitas yang berdaulat, mutlak tidak ada yang lain yang patut disamakan dengan-Nya dan bahkan Allah pun tidak mengenal ilah lain di luar diri-Nya yang mutlak (Yesaya 44:6-8). Jika demikian, berarti, Allah yang berdaulat adalah Allah yang berada pada diri (self-exist) dan cukup pada diri (self-sufficient), sehingga Ia tak perlu bergantung pada yang lain. Seorang apologet Reformed, Dr. Cornelius Van Til dalam bukunya The Defense of The Faith mengajarkan, “God’s sovereignty refers to the fact that there is no other ultimate power beside himself and that his holy plan for the world will prevail over all position against it.” (Van Til, The Defense of The Faith, halaman 11). Di sini, Dr. Van Til berusaha menggabungkan bahwa kedaulatan Allah itu sebagai suatu fakta, bukan sebuah konsep yang beride utopia. Apa bedanya ? Ketika kedaulatan Allah di mana Allah saja yang mutlak berdaulat hanya berada di tataran ide utopia, maka kita pasti lama-kelamaan akan melupakannya (take it for granted), karena itu hanya ide kosong manusia yang segera berakhir. Tetapi tidak demikian, Dr. Van Til mengatakan bahwa kedaulatan Allah itu sebagai suatu fakta, di mana mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, dengan kerendahan hati, manusia harus mengakui sebuah fakta bahwa Allah itu ada dan Dia berdaulat adanya. Ketika manusia enggan mengakui fakta ini, dengan sendirinya, mereka enggan mengakui keberadaan Allah dan otomatis mereka menjadi seorang atheis. Selain sebagai sebuah fakta, kedaulatan Allah menurut Dr. Van Til adalah Allah yang memiliki rencana yang kudus (His holy plan) bagi dunia ini yang tersebar luas. Di sini, Van Til menggabungkan dua prinsip yaitu Allah yang berdaulat adalah Allah yang berencana dan rencana-Nya adalah rencana yang kudus. Apa signifikansinya ? Kalau Allah yang berdaulat adalah Allah yang berencana dan rencana-Nya itu kudus berarti tak mungkin Allah itu bisa salah dan dapat mengubah rencana-Nya karena alasan apapun. Itulah sebabnya mengapa theologia Reformed/Calvinisme menolak ide dari “theologia” Arminian (Arminianisme) yang sebagian besar dianut oleh theologia Injili yang mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah Ia mengetahui bahwa manusia tertentu akan mempercayai-Nya. Di sini, kelemahan fatal Arminianisme adalah Allah itu tidak berdaulat dan sepenuhnya bergantung pada belas kasihan manusia untuk mempercayai-Nya. Kalau konsep Allah ini benar, apa bedanya keKristenan dengan konsep Allah dalam agama-agama lain yang menunggu dibela oleh manusia (ingat peristiwa sekelompok partai agama tertentu di Indonesia yang marah-marah karena “nabi” mereka dihina) ?! Kalau Allah yang Berdaulat itu adalah Allah yang memiliki rencana, maka di dalam dunia pendidikan pun, Allah juga memiliki rencana-rencana yang indah bagi anak-anak kovenan-Nya, sehingga Ia akan senantiasa memimpin anak-anak kovenan-Nya menggenapi apa yang telah ditetapkan-Nya sebelum dunia dijadikan. Akibatnya, para anak kovenan-Nya yang dipimpin oleh Allah akan melihat suatu hasil pimpinan-Nya yang indah, baik, berharga dan memuliakan nama-Nya, serta para anak kovenan-Nya semakin sadar bahwa tanpa Allah, mereka tak mampu menentukan arah dan tujuan hidupnya, sehingga mereka akan semakin bergaul karib dengan Allah melalui membaca Firman, berdoa, dll. Jika konsep ini ditiadakan dari dunia pendidikan Kristen, maka anak-anak Kristen yang dididik akan kehilangan makna dan tujuan hidupnya. Akibatnya, mereka tidak lagi melibatkan Allah di dalam hidupnya dan ujung-ujungnya, mereka akan menentukan jalan hidup mereka sendiri, karena merasa bahwa diri mereka hebat dan pintar tanpa Allah, seperti yang dilakukan oleh banyak orang “Kristen” bahkan dosen/guru “Kristen” yang sudah berlagak pintar mengajar di sekolah “Kristen” tetapi tidak memiliki fondasi iman Kristen yang berbasiskan kedaulatan Allah untuk boleh menyinari berbagai macam ilmu pengetahuan yang salah.

Kedua, Allah yang Berdaulat adalah Sumber segala sesuatu. Ini berarti Allah yang Berdaulat bukan hanya hanya Dia saja yang berdaulat, tetapi Allah juga sekaligus sebagai Sumber segala sesuatu. Ketika kita berbicara mengenai Sumber, kita berbicara mengenai pusat. Seperti air yang mengalir pasti ada sumbernya dan ketika sumbernya itu mampet, maka air tidak dapat mengalir. Begitu pula halnya dengan Allah yang adalah Sumber segala sesuatu, di mana segala sesuatu harus bergantung kepada-Nya, karena dari Dia sajalah terdapat sumber hidup sejati. Ketika Allah menghembuskan nafas ke dalam hidung manusia, di situ kedaulatan Allah dinyatakan. Artinya, tanpa Allah yang berdaulat dan sebagai sumber nafas dan hidup, maka mustahil manusia bisa bernafas dan hidup. Selain sebagai sumber hidup, Allah juga adalah Sumber Kekudusan, karena Ia itu Mahakudus yang memanggil kita (umat pilihan Allah) yang berdosa untuk hidup kudus (1 Petrus 1:16 ; Imamat 11:44-45 ; 19:2). Demikian pula, ketika Amsal 1:7 (dijelaskan kembali di dalam Yakobus 1:5) berkata bahwa sumber segala pengetahuan/hikmat adalah ketika kita takut akan Tuhan, itu berarti kedaulatan Allah sedang dinyatakan di mana Allah itu adalah sumber segala hikmat bijaksana sejati. Di luar diri Allah, tak mungkin manusia berdosa mampu mengerti pengetahuan yang sejati dan bertanggungjawab. Ini sekali lagi bukan sekedar konsep, tetapi suatu realita. Kita melihat semakin banyak manusia yang mulai menyombongkan diri bahwa mereka bisa pandai tanpa Allah bahkan ada yang mengatakan bahwa agama dan science itu tidak ada hubungannya, semakin lama mereka tidak dapat hidup bijaksana, dan mereka lama-kelamaan akan meninggalkan Allah, serta hidup di dunia ini tambah lama tambah hancur karena terlepas dari sumber hidup dan bijaksana sejati. KeKristenan yang beres dan sejati tidak mau memisahkan Allah dan firman-Nya terlepas dari hidup sehari-hari. Kalau Allah sebagai sumber segala sesuatu, maka kita sebagai anak-anak Tuhan sejati pasti menggunakan Allah dan firman-Nya, Alkitab menjadi satu-satunya dasar pembentukan pemikiran Kristen yang bertanggungjawab, di mana dengan dasar itulah kita berhak menghakimi semua arus filsafat, ilmu pengetahuan dan agama manusia yang berdosa untuk nantinya kita kembalikan kepada Kristus. Di sini, saya mengaitkan konsep Allah sebagai sumber segala sesuatu dengan respon manusia berdosa yang sudah ditebus oleh Kristus dalam merealisasikan kedaulatan Allah di dalam hidup mereka sehari-hari. Selain itu, konsep Allah sebagai sumber segala sesuatu hendak mengajarkan bahwa kita sebagai anak-anak Tuhan sejati harus mengerti bahwa segala sesuatu itu dari Allah, oleh Allah dan bagi Allah, kemuliaan bagi-Nya selama-lamanya (Roma 11:36). Kalau kita mengatakan bahwa Allah sebagai Sumber segala sesuatu, kita sedang berbicara mengenai konsep Allah yang harus dipermuliakan karena karya-karya-Nya yang ajaib. Kalau kita bisa pandai, bijaksana, kaya, menaati Allah, dll, berarti itu semua anugerah Allah dan pertanggungjawabkanlah anugerah Allah itu bagi kemuliaan-Nya saja. Kembali, di sini, saya mengaitkan antara konsep anugerah Allah dan pertanggungjawaban (respon) manusia terhadap anugerah-Nya. Seorang Kristen yang hanya tahu konsep anugerah Allah, lalu memboroskan hidupnya dengan hidup sembrono seperti zaman gereja-gereja Lutheran (pada zaman dan setelah Dr. Martin Luther hidup) dengan pola hidup yang tidak beres (karena menyangka bahwa keselamatan itu adalah anugerah Allah), maka orang itu tidak mengerti benar apa artinya anugerah Allah itu. Anugerah Allah sejati mendorong kita bukan hanya sekedar menerimanya, tetapi mau memperkembangkan dan mempertanggungjawabkan anugerah Allah itu hanya untuk memuliakan-Nya. Jangan sekali-kali mengambil kemuliaan Allah bagi diri sendiri. Itu berdosa ! Demikian di dalam dunia pendidikan Kristen, pertama-tama kita harus menyadari bahwa segala pengetahuan sejati bisa didapatkan tatkala ketika kita takut akan Tuhan yang adalah Sumber Pengetahuan sejati dan ketika kita mendapatkan pengetahuan sejati marilah kita bersyukur atas anugerah-Nya dapat mengenal Allah yang sejati melalui dan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Kristus itulah Penyataan diri Allah secara khusus yang menyingkapkan kepada kita segala pengetahuan ilahi, karena Kristus sendiri adalah Allah, sehingga dengan pengetahuan sejati yang kita miliki, kita semakin memuliakan Allah Trinitas. Jikalau konsep ini ditiadakan dari pendidikan Kristen, akibatnya banyak anak Kristen tidak lagi mengerti sumber pengetahuan sejati yaitu takut akan Tuhan dan mereka akhirnya meninggalkan Allah ketika belajar di kampus/sekolah (karena banyak guru/dosen “Kristen” secara implisit maupun eksplisit mengajarkannya di dalam sekolah-sekolah “Kristen”), dan sebagai gantinya, psikologi, manajemen-manajemen dunia, dll lah yang menjadi sumber pengetahuan mereka, lalu terakhir, mereka akan semakin sombong dan egois bila telah memiliki segala ilmu pengetahuan (meskipun beberapa yang mereka pelajari ada prinsip-prinsip pengetahuan yang salah dan melawan Alkitab).

Ketiga, kedaulatan Allah berarti Allah itu Penentu segala sesuatu. Karena Allah yang berdaulat adalah Allah yang satu-satunya mutlak berdaulat dan sumber segala sesuatu, maka hanya Allah sajalah Penentu segala sesuatu. Di sini, kita melihat konsep sejarah dan dunia dapat dengan jelas diinterpretasikan dengan tepat melalui kacamata theologia Reformed. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajarkan bahwa sejarah itu His-story atau cerita/kisah-Nya, di mana sejarah tidak pernah terlepas dari Allah dan kisah-Nya yang Ia telah tentukan. Sejarah harus berkait dengan Allah, tetapi ini tidak berarti seperti yang diajarkan oleh seorang “pendeta” penganut “theologia” religionum dari gereja Presbyterian di Taiwan, Choan Seng Song yang mengidentikkan sejarah dengan penyataan Allah. Sejarah tidak sama dengan penyataan Allah, karena menurut Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang di dalam bukunya Teologi Abu-abu (Pluralisme Agama), di dalam sejarah itu ada yang mengandung hal-hal yang jahat dari iblis, sehingga adalah tidak mungkin jika mengaitkan hal-hal yang dari iblis dengan penyataan Allah yang kudus. Konsep sejarah yang berkaitan dengan Allah (di mana Allah berada di atas sejarah atau memimpin sejarah menurut pernyataan Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang dalam bukunya) mengakibatkan kita dapat melihat perkembangan sejarah, bukan dari kacamata dunia psikologi apalagi ahli nujum, tetapi dari kacamata/sudut pandang kedaulatan Allah. Itulah sebabnya mengapa theologia Reformed dapat dikatakan theology from above, karena theologia Reformed melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah sebagai Penentu segala sesuatu. Di dalam dunia pendidikan Kristen pun, konsep ini dapat diintegrasikan ketika para dosen/guru Kristen yang sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus mengajarkan konsep iman Kristen yang berbasiskan kedaulatan Allah, seperti Allah sebagai Pencipta, Penebus dan Penyempurna, lalu mereka diajarkan bagaimana kita dapat menebus waktu (redeeming the time) dan segala sesuatu yang berdosa untuk dipakai bagi kemuliaan-Nya, sebelum mereka memulai setiap pelajaran agar para anak kovenan-Nya mampu melihat segala ilmu pengetahuan yang berkembang dari kacamata firman Allah yang paling konsisten dan mutlak. Akibatnya, mereka dapat memilah-milah dengan sendirinya manakah ilmu pengetahuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab (untuk mereka pelajari dan taati) dan mana yang melawan Alkitab (untuk tetap mereka pelajari kelemahannya dan mereka buang) dengan tetap mengaitkan semua ilmu pengetahuan dengan Allah sebagai Pusat. Jika konsep ini ditiadakan dari pendidikan Kristen, maka seperti yang banyak kita perhatikan di zaman postmodern ini, banyak anak didik yang sebenarnya atheis murni tetapi tetap diselimuti jubah “Kristen” di dalam KTP mereka adalah mereka yang paling banyak berkompromi dengan semua arus dunia yang bahkan melawan Alkitab, misalnya, ikut-ikutan terlibat MLM (Multi Level Marketing), mau mengikuti acara seminar-seminar pengembangan diri dari para motivator (seperti Andrie Wongso yang adalah penganut Budhisme dengan filsafat Budhismenya yang dimasukkan ke dalam idenya “Success is My Right”), belajar psikologi untuk dapat mengetahui kepribadian orang lain yang sama-sama berdosa, dll.

Keempat, kedaulatan Allah berarti Allah itu Pemelihara segala sesuatu. Di dalam theologia Reformed, kita mengenal istilah providence of God, di mana Allah itu adalah Allah yang memelihara. Di sini, kita menentang konsep Deisme yang mengajarkan bahwa setelah mencipta, Allah tidak berhubungan dengan dunia ciptaan. Konsep pemeliharaan Allah ini mengajarkan beberapa hal. Pertama, berkaitan dengan hidup kita. Allah adalah Allah yang memelihara hidup kita sehingga kita tidak perlu kuatir akan hidup kita (Matius 6:25-32). Tidak berarti kita melemparkan tanggung jawab, karena Allah yang memelihara hidup kita, maka kita tidak perlu bekerja keras, yang penting hanya beriman bahwa Allah yang memelihara hidup kita. Ini pandangan yang keliru. Dengan jelas, di akhir Matius 6 (ayat 34b), Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kesusahan sehari cukuplah untuk sehari yang berarti kita tetap perlu berusaha keras di dalam hidup tetapi bukan sebagai motivasi dan tujuan utama dalam hidup, melainkan sebagai sebuah respon kita terhadap anugerah Allah dan pemeliharaan-Nya. Oleh karena itu, Ia mengajarkan bahwa kita harus pertama-tama mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (Yunani : dikaiosune), setelah itu, segala kebutuhan dasar kita akan ditambahkan-Nya kepada kita. Kedua, berkaitan dengan keselamatan. Allah itu adalah Allah yang menganugerahkan keselamatan kita, dan secara otomatis Ia pula lah yang memelihara keselamatan kita sehingga kita sebagai anak-anak Tuhan yang telah dipilih-Nya tak mungkin binasa sampai selama-lamanya. Itulah sebabnya di dalam theologia Reformed, dikenal istilah Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang-orang Kudus). Allah yang memelihara keselamatan manusia menandakan bahwa Allah itu Berdaulat dan tidak bisa digeser dan bergantung pada siapapun. Kelemahan fatal penganut Arminianisme yang mengatakan bahwa manusia yang sudah diselamatkan dapat jatuh lagi ke dalam dosa (alias murtad) adalah mereka tidak mengakui keberdaulatan Allah dan otomatis mengakui superioritas manusia melebihi Allah, tetapi herannya masih mengakui Allah yang beranugerah (hanya sebagai topeng untuk humanisme yang mereka tekankan). Banyak ayat Alkitab khususnya yang Tuhan Yesus ajarkan yang mengatakan bahwa anak-anak Tuhan tidak mungkin binasa selama-lamanya (atau tidak mungkin kehilangan keselamatan), misalnya di dalam Yohanes 3:16 ; 6:40, 44 ; 10:27-30, dan Rasul Paulus sendiri mengajarkan hal yang serupa di dalam Roma 8:33-39. Tetapi herannya, oleh penganut Arminianisme, ayat-ayat ini sengaja dilewatkan dan tidak ditafsirkan sebagaimana mestinya. Justru, pemeliharaan Allah ini merupakan suatu keistimewaan dan keunggulan Allah yang dipercayai oleh orang Kristen dibandingkan dengan konsep tentang ilah-ilah di dalam agama-agama lain. Contoh lain, Tuhan Yesus sendiri sebagai Allah berjanji bahwa Ia akan menyertai para murid sampai kepada akhir zaman (Matius 28:20), di sini, kedaulatan Allah muncul di mana Ia memelihara para murid dengan penyertaan-Nya. Bandingkanlah superioritas perkataan Tuhan Yesus yang hidup ini dengan perkataan para pendiri agama, filsuf dan banyak pendidik/guru “Kristen” (yang sebenarnya atheis) yang sok tahu di abad postmodern ini ! Ketiga, berkaitan dengan dunia pendidikan Kristen, Allah yang memelihara segala sesuatu akan memelihara anak-anak kovenan-Nya berada di dalam jalur yang Ia telah tetapkan bagi mereka. Sehingga di dalam jalur providensia-Nya, anak-anak kovenan semakin lama semakin mengetahui dan mengenal arah dan tujuan hidup mereka (berada di dalam proses yang terus-menerus) sesuai dengan ketetapan-ketetapan-Nya (yang absolut dan kekal atau tidak berada di dalam proses). Di sini, saya mengaitkan konsep pendidikan Kristen (yang relatif/berada di dalam proses) dengan konsep kedaulatan Allah di mana Allah sebagai Pemelihara (yang kekal/tidak berada di dalam proses). Pendidikan Kristen harus berkaitan dengan konsep Pemeliharaan Allah, sehingga para anak kovenan dengan rendah hati meminta pimpinan-Nya dalam segala aspek kehidupan. Jika konsep ini ditiadakan, maka dapat dipastikan semua konsep pendidikan akan sirna dan hancur karena tidak berpaut kepada kekekalan untuk dapat menentukan kerelatifan dunia ini. Akibatnya, mereka akan meninggalkan Tuhan dengan tidak ingin nama Tuhan disebutkan di dalam setiap bidang kehidupan (seperti yang banyak saya temui di dalam diri baik mahasiswa maupun dosen-dosen yang mengklaim diri “Kristen”) di kampus “Kristen” Petra, Surabaya).

Kelima, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang transenden dan sekaligus imanen (Immanuel). Ini adalah kesimpulan akhir dari konsep kita akan kedaulatan Allah yaitu Allah adalah Allah yang transenden dan sekaligus imanen. Allah yang transenden berbicara mengenai keMahakuasaan, keMahaadilan, keMahakudusan, kekekalan, kesempurnaan diri Allah yang tak mungkin disetarakan dengan makhluk ciptaan atau yang lain. Di sini, kita berbicara mengenai pribadi Allah yang melampaui ruang dan waktu. Dr. Van Til mengemukakan bahwa Allah yang kekal (infinity of God) yang termasuk atribut ketiga dari atribut-atribut Allah yang tidak dikomunikasikan kepada manusia adalah Allah yang tidak memiliki awal dan akhir atau urutan momen dalam keberadaan Allah (“By the term eternity we mean that there is no beginning or end or succession of moments in God’s being or consciousness (Psalm 90:2 ; 2 Pet. 3:8)”) (Van Til, The Defense of The Faith, halaman 10). Ketika berbicara kekekalan Allah dalam segi waktu, Van Til mengatakan bahwa Allah itu tidak memiliki awal dan akhir. Dengan kata lain, Allah yang kekal dalam segi waktu adalah Allah yang melampaui konsep waktu manusia yang terbatas (bedakan antara limited time versi manusia dengan unlimited time versi Tuhan Allah). Ketika kita dapat membedakan kedua hal ini, kita dapat mengerti mengapa Allah memerintahkan kita untuk memberitakan Injil meskipun Allah telah memilih sekelompok orang untuk diselamatkan di dalam Kristus. Kedua, ketika kita berbicara mengenai kekekalan Allah dalam segi tempat/ruang, menurut Van Til, “God is neither included in space nor absent from it.” (Van Til, The Defense of The Faith, halaman 10). Allah yang jauh melampaui ruang di mana manusia hidup, Ia juga tidak termasuk ke dalam ruang yang terbatas dan tidak pernah absen darinya. Selain kekekalan Allah yang melampaui ruang dan waktu, ketika berbicara mengenai ketransendenan Allah, kita juga berbicara mengenai keMahakudusan Allah. Allah yang Mahakudus tidak menginginkan manusia ciptaan-Nya hidup tidak kudus, oleh karena itu, Allah memilih dan memanggil anak-anak-Nya supaya mereka hidup kudus dan tak bercatat di hadapan-Nya (Efesus 1:4). Kemudian, ketransendenan Allah juga berbicara mengenai keMahaadilan Allah, di mana Ia berdaulat penuh sebagai Allah untuk menghukum barangsiapa yang melawan perintah-Nya. Di dalam keadilan-Nya, Allah juga adalah Allah yang Mahakasih. Di sini, kita dapat melihat suatu integrasi antara kedua natur Allah ini di dalam Yohanes 3:16-19, di mana pada ayat 16-18a boleh dikatakan sebagai wujud kasih Allah dengan mengutus Kristus untuk menebus dosa manusia pilihan-Nya dan barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak dihukum, sedangkan di ayat 18b-19 boleh dikatakan sebagai wujud keadilan Allah yang menghukum barangsiapa yang tidak percaya kepada Kristus. Allah kita bukan hanya transenden saja, seperti yang Deisme percayai. Tetapi Allah kita juga adalah Allah yang imanen, yang memelihara ciptaan-ciptaan-Nya. Di sini, kita membicarakan Allah yang kekal sedang intervensi di dalam dunia kesementaraan. Itulah Tuhan Yesus Kristus (Yohanes 1:1) yang menggenapi Taurat dan kitab-kitab Perjanjian Lama. Kristus adalah Firman Allah yang adalah Allah sendiri menjelma menjadi manusia dan Ia rela membatas diri demi menebus dosa-dosa manusia. Allah yang imanen adalah Allah yang hadir di dalam dunia kesementaraan dan mempedulikan kita sebagai anak-anak-Nya. Inilah wujud kasih Allah. Puji Tuhan, Allah kita transenden dan sekaligus imanen, berbeda dengan konsep Deisme yang menekankan ketransendenan Allah dan membuang keimanenan Allah, dan konsep Pantheisme yang menekankan imanensi Allah (everything is god) dan membuang ketransendenan Allah. KeKristenan yang berdasarkan Alkitab harus menyeimbangkan kedua konsep ini. Tetapi sayangnya keKristenan dari sejarah gereja sampai dengan zaman postmodern terjebak ke dalam dua arus ekstrim. Ekstrim pertama menekankan bahwa Allah itu Mahaadil, Mahakudus, dan aspek ketransendenan-Nya lainnya. Itulah gereja Katolik Roma di abad 15 dan 16, di mana Dr. Martin Luther hidup dan memprotes keras ajaran-ajaran Katolik Roma. Ekstrim lainnya menekankan bahwa Allah itu begitu dekat, sehingga kita bisa berkomunikasi dengan-Nya. Inilah yang terjadi di beberapa kalangan gereja kontemporer yang terpengaruh gerakan Karismatik/Pentakosta yang diimport dari Gerakan Zaman Baru dan Pantheisme modern. Kelemahan ekstrim pertama, mereka membuang konsep bahwa Allah itu adalah Allah yang memelihara ciptaan-Nya dan dekat dengan manusia. Sedangkan, kelemahan ekstrim kedua adalah mereka menganggap Allah itu sahabat manusia dan melupakan bahwa Allah itu tetap adalah Tuhan yang patut dihormati dan disembah serta dipuji. KeKristenan yang benar mempercayai Allah itu adalah Allah yang Mahakudus, Mahakasih, Mahaadil, Kekal, Sempurna, Berdaulat (ketransendenan Allah), sekaligus sebagai Allah yang beserta dan dekat dengan kita (Immanuel/imanensi Allah). Di dalam dunia pendidikan Kristen, kita harus mengerti konsep ini dengan benar. Di mana ketika kita mengetahui bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang transenden sekaligus imanen itu membuat kita semakin gentar kepada-Nya sebagai Tuhan sekaligus Raja dan sekaligus kita semakin ingin bergaul karib dengan-Nya. Di sini, saya mengaitkan konsep pendidikan Kristen dengan konsep kehidupan Kristen di kemudian hari sebagaimana yang secara implisit diajarkan oleh Dr. Cornelius Van Til dalam artikelnya, “Iman : Iman dan Program Kita” di dalam buku Dasar Pendidikan Kristen.. Pendidikan Kristen tidak bisa dilepaskan dari kehidupan Kristen, karena pendidikan itu salah satu unsur penting di dalam kehidupan. Ketika pendidikan yang diterapkan kepada anak-anak adalah pendidikan yang salah, maka secara otomatis, kehidupan mereka akan berakhir sia-sia (meskipun ada beberapa dari antara mereka yang salah didik dapat bertobat dan kembali kepada Kristus dan Alkitab akibat pencerahan Roh Kudus). Demikian pula, ketika kita mengerti ketransendenan dan imanensi Allah, maka kita pun dapat mengerti diri Allah sesungguhnya dan kedekatan Allah dengan anak-anak-Nya. Konsep ketransendenan Allah mengakibatkan kita dengan rela hati mau tunduk dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan Raja yang memimpin seluruh konsep pendidikan Kristen dan berdampak kepada kehidupan Kristen. Akibatnya, sebagaimana Amsal 3:6 katakan, maka janji Allah kepada mereka yang mengakui-Nya adalah Ia akan meluruskan jalannya (atau terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari, “maka Ia akan menunjukkan kepadamu cara hidup yang baik.”). Di sini, Alkitab ingin mengajarkan bahwa ketika kita mengakui-Nya sebagai Tuhan sebagai Kebenaran Absolut yang tak mungkin bersalah, maka Kebenaran yang Absolut itu akan memimpin kita yang relatif ke dalam jalan-jalan-Nya. Sebagai tambahan, kata “cara hidup” atau “hidup” baik di dalam Amsal 3:5, 6 diletakkan di dalam kitab Amsal yang mengajarkan tentang konsep hikmat bijaksana, maka dapat disimpulkan bahwa hikmat bijaksana atau pendidikan sejati yang berbijaksana berkaitan erat dengan kehidupan dan cara hidup. Konsep imanensi Allah dimengerti sebagai suatu respon anak-anak kovenan-Nya untuk mau bergaul karib dengan-Nya melalui membaca Alkitab, berdoa, dll agar mereka mengetahui kehendak-Nya di dalam hidup mereka sehingga mereka dapat mengerti konsep pengetahuan sejati (dengan berani menghakimi semua pengetahuan yang salah dengan dasar Alkitab yang jelas dan bertanggungjawab) dan akhirnya dapat memuliakan Allah melalui pengetahuan sejati yang mereka peroleh. Jika pendidikan Kristen meniadakan konsep ini, maka dapat dipastikan, anak-anak didik “Kristen” meskipun disekolahkan di sekolah “Kristen” (banyak yang tidak beriman Kristen) karena diajar oleh para pendidik “Kristen” (yang kebanyakan sudah menjadi atheis) akan memiliki pola pikir yang humanis materialis ditambah semangat egoisme yang tinggi yang anti-Allah dan Alkitab. Akibatnya, mereka bukan menjadi anak-anak yang bertanggungjawab dan bersumbangsih bagi Tuhan, gereja, masyarakat, bangsa dan negara, tetapi sebagai anak-anak yang merusak masyarakat.






Profil Denny Teguh Sutandio :
Denny Teguh Sutandio yang lahir di Surabaya pada tanggal 19 Juli 1985 sedang menyelesaikan studi Sastra Inggris di Universitas “Kristen” Petra, Surabaya sambil mengambil kuliah part-time di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika. Selain menempuh studi, juga merupakan anggota jemaat dari Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya (sejak 10 Juli 2005 ; dibaptiskan secara dewasa oleh gembala sidang GRII Andhika, Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.). Selain itu, juga mendirikan pelayanan Euaggelion Ministries (pelayanan pribadi/non-lembaga untuk mendukung Gerakan Reformed Injili secara konsisten dari hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong) baik melalui Friendster, e-mail, maupun sharing pribadi.

Resensi Buku-5 : GERAKAN KARISMATIK dan GEREJA KITA (oleh : Prof. DR. HANS MARIS)

...Dapatkan Segera...


Buku
GERAKAN KARISMATIK DAN GEREJA KITA

oleh : Prof. DR. HANS MARIS

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection) dan LITINDO, 2004

Penyadur : Pdt. Gerrit Riemer.







Selama beberapa dekade terakhir gerakan Karismatik melanda gereja-gereja di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan berpengaruh besar terhadap kehidupan keKristenan. Fenomena-fenomena Karismatik yang universal (terutama bahasa roh dan penyembuhan) diklaim sebagai “Pentakosta kedua” dan diterima secara naif oleh begitu banyak gereja sebagai karya Allah Roh Kudus. Tetapi apakah dampak-dampak negatif yang disebabkannya tidak menyentak kita semua utnuk lebih mencermati gerakan ini ? Benarkah gerakan Karismatik adalah karya Roh Kudus ?

Gerakan Karismatik dan Gereja Kita menyodorkan kepada kita kajian atas sejarah, dasar-dasar dan “karunia-karunia Roh” dari gerakan Karismatik di dalam terang Alkitab dengan penafsiran yang ketat, menunjukkan dengan jelas penyimpangan-penyimpangan gerakan Karismatik dari Allah dan kebenaran-Nya, ancaman-ancaman terhadap kerohanian dan perpecahan di dalam jemaat yang telah diakibatkannya. Diakhiri dengan kesaksian oleh seorang mantan aktivis gerakan Karismatik di Belanda, Gerakan Karismatik dan Gereja Kita mengundang kita untuk menentukan sikap terhadap gerakan ini berdasarkan Firman Allah sendiri.








Profil Prof. DR. HANS MARIS :
Prof. DR. HANS MARIS lahir pada tahun 1941. Beliau adalah profesor dogmatika di Theological University of the Christian Reformed Churches (CGK), Apeldoorn, Belanda sejak tahun 1993. Sebelumnya, beliau pernah menjabat sebagai pendeta dan melayani dua jemaat sejak tahun 1967. Selama bertahun-tahun, beliau berpartisipasi di dalam dewan misi CGK. Ia terutama tertarik pada doktrin Roh Kudus. Disertasi doktoralnya berjudul Faith and Experience : From Wesley to Pentecostalism, 1992 yang membahas tentang isu-isu kunci dari paham tersebut. Baru-baru ini, dia menyumbangkan pemikirannya di dalam buku mengenai gerakan Karismatik, More than Enough : The Desire for More Experience of the Spirit.

Matius 1:6-11 : THE GENEOLOGY-4


Ringkasan Khotbah : 15 Februari 2004

The Geneology (4)
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 1:6-11

Hari ini kita akan merenungkan bagian kedua dari tiga bagian silsilah yang oleh Matius di setiap bagiannya dituliskan hanya 14 keturunan saja (Mat. 1:17). Tuhan tidak dengan sembarangan menuliskan nama-nama tersebut dalam Alkitab. Setiap nama yang tertulis pasti mengandung makna dan ada signifikansi besar yang memang Tuhan maksudkan demi untuk kebaikan manusia. Dan celakanya, kita yang kurang pengetahuan merasa sok tahu lalu menghakimi Alkitab dan berpendapat bahwa nama-nama tersebut tidaklah penting. Dunia modern menyebabkan orang Kristen semakin bersikap pragmatis terhadap Firman Tuhan.
Orang menafsirkan ayat dengan sembarangan tanpa melihat konteks secara keseluruhan. Firman Tuhan dimanipulasi demi untuk kepentingan diri sendiri maka wajarlah bila mereka berpendapat bahwa tidak semua ayat dalam Alkitab “bagus“ dalam arti yang menyukakan hatinya. Ingat, Alkitab adalah Firman Tuhan jadi semua yang tertulis pastilah bersifat kebenaran dan mengandung makna. Hendaklah kita melihat Firman Tuhan sebagai sesuatu yang otoritatif dan terpenting dalam hidup sehingga dengan rendah hati kita mau rela dibentuk dan semakin serupa Kristus. Untuk mencapai kesempurnaan tidaklah mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi maka diperlukan perjuangan. Ironisnya, orang tidak mau berjuang untuk memperoleh kebenaran sejati tetapi untuk mendapat kesenangan dunia yang semu, orang rela mengorbankan apapun.
Dalam perjalanan sejarah hidup ini apa yang menjadi tujuan hidup anda, Firman ataukah hal duniawi yang bersifat materi? Kalau untuk hal-hal duniawi kita mau berjuang maka untuk mengerti kebenaran sejati kita harus berjuang lebih keras lagi. Empat belas nama di bagian pertama silsilah tersebut adalah orang-orang pertama yang berperan ketika umat pilihan Allah dibentuk. Namun, pada silsilah bagian kedua ini empat belas nama tersebut semuanya adalah raja yang dipimpin Tuhan sepanjang sejarah, hanya Yekhonya yang bukan. Alkitab mau membuktikan bahwa Kristus adalah Mesias yang dinubuatkan ribuan tahun lalu dan Dia lahir dari keturunan raja Daud. Kalau pada silsilah bagian pertama titik pusatnya pada Abraham maka bagian kedua dari silsilah ini titik pusatnya terletak pada Daud (Mat 1:17) dan di bagian ketiga merupakan bagian yang paling desperate; banyak nama yang hilang dalam sejarah. Hal ini terjadi sampai pada masa 400 tahun Tuhan tidak berfirman.
Kristus akan menjadi Raja dan bertahta atas kerajaanNya yang akan ditegakkan di dunia. Kerajaan Surga akan digenapkan ketika sejarah dunia ini berakhir di titik Omega (Why. 1:5-6). Titik omega sekarang belum terjadi tapi suatu hari kelak hal itu pasti terjadi. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan akan tibanya titik Omega; titik Omega bukan titik tak terhingga. Banyak sekolah yang mengajarkan bahwa suatu garis bilangan terdiri dari 0, 1, 2, 3,..., tak terhingga (~) padahal pergeseran garis bilangan terjadi dalam ruang dan waktu maka tidak mungkin bilangan ~ ada dalam garis bilangan. Ironisnya, banyak orang pandai mengajarkan bilangan terakhir sebelum ~ adalah ~-1, ~-2,... secara logika, bukankah ~-1=~. Bilangan ~ seharusnya bukan terletak pada garis bilangan yang dapat berubah. Jadi, suatu hari kelak sejarah pasti berakhir di titik Omega dan manusia akan masuk dalam kekekalan. Dalam realm kekekalan itulah bilangan ~ seharusnya berada karena ia tidak dapat berubah. Allah Tritunggal adalah Allah yang kekal maka ~+~+~≠3~ melainkan ~+~+~=~.
Dunia tidak mengerti konsep kekekalan ini maka wajarlah kalau banyak orang yang memperdebatkan konsep Allah Tritunggal. Orang sulit menerima bahwa Allah Tritunggal bukan Allah yang berjumlah tiga tapi Allah yang satu dengan tiga pribadi. Kalau kita perhatikan garis sejarah, waktu terbagi dengan kehadiran Kristus. Kristus merupakan titik point dan titik itu terus berjalan hingga titik Omega, yaitu kerajaan Tuhan digenapkan dan setiap anak Tuhan menjadi bagian dalam kerajaan Allah. He’s The King of kings. Di injil Matius istilah “Raja dan Kerajaan“ muncul sebanyak 52 kali, yaitu mulai dari pasal 3-26 berarti 1/3 bagian dari keseluruhan kitab PB. Khusus di pasal 1 meskipun istilah kerajaan tidak muncul tapi 14 raja yang sesungguhnya hadir di sana. Kita telah memahami sebelumnya bahwa tidak setiap nama dicantumkan oleh Matius, misal dari Uzia ke Yotam ada 3 nama yang dilewatkan, yakni Ahazia, Yoas dan Amazia. Jadi, kalau Matius memilih 14 nama raja dimasukkan dalam silsilah Kristus karena ia ingin menunjukkan bahwa janji Kerajaan telah digenapkan (Kej. 49:10). Kondisi bangsa Israel pada saat itu hanya tinggal 2 suku karena 10 suku yang lain telah bersinkretis atau bercampur dengan bangsa lain. Di jaman Tuhan Yesus mereka lebih dikenal sebagai orang Samaria.
Kerajaan Surga tidak bersifat dunia dan berbentuk wilayah melainkan bersifat spiritual. Bahkan Tuhan Yesus sendiri sudah berkali-kali menjelaskan namun mereka tetap tidak mau percaya bahkan sampai Tuhan Yesus bangkit mereka masih menanyakan tentang hal kerajaan. Puji Tuhan, akhirnya mereka mulai sadar dan bertobat bahwa kerajaan tersebut bukanlah kerajaan duniawi melainkan rohani. Hati-hati dengan ajaran sesat yang mengajarkan bahwa Yesus menjadi Raja atas kerajaan Yerusalem dan semua orang Kristen akan dibangkitkan dan turut memerintah bersama Dia; kita akan menjadi perdana menteri, panglima, dan pembesar-pembesar lain. Hal ini sangatlah tidak masuk akal karena kalau hal itu terjadi maka:
1) Bumi semakin penuh sesak dengan manusia. Hari ini saja tanpa orang-orang yang dibangkitkan dunia sudah penuh sesak apalagi kalau ada orang Kristen yang dibangkitkan dan turut memerintah di Yerusalem. Sesungguhnya kebanggaan duniawilah yang diinginkan manusia dan hal ini bukanlah hal baru karena murid Tuhan Yesuspun pernah mempunyai keinginan yang sama, yaitu duduk di sebelah kanan atau kiri Tuhan Yesus; 2) Bayangkan, andai seluruh orang Kristen memerintah atas orang-orang fasik, pastilah banyak masalah yang akan timbul, bukan? Orang melihat hal ini sebagai percampuran antara kebaikan dan kejahatan. Salah! Surga tidak pernah berkompromi, tidak ada orang jahat masuk surga. Mereka yang masuk surga adalah orang yang sudah disucikan, dikuduskan, dibenarkan dan dimuliakan karena itu semua sesuai dengan sifat Allah.
Pertama, Konsep tongkat kerajaan Yehuda haruslah dilihat secara spiritual. Dunia diperkenankan mempunyai raja maka seharusnya kerajaan dunia menyatakan kerajaan surga yang akan digenapkan di dunia, yaitu dengan kedatangan Yesus Kristus, King of Kings. Bangsa Israel seharusnya sejak dari Kejadian sudah dapat melihat pembukaan dimensi dari satu konsep kerajaan yang bersifat lokal menjadi kerajaan yang bersifat universal. Inilah titik yang oleh Matius diangkat kembali untuk memperlihatkan bahwa Kristuslah raja yang dimaksudkan yang tongkat kerajaanNya tidak akan beranjak (Kej. 49:10). Hal ini dapat kita lihat pada 14 generasi yang kedua; mulai dari Daud yang dimengerti orang Israel sebagai pemegang tongkat kerajaan Yehuda dan turun terus hingga ke Yosia.
Orang Yahudi sangat menghormati Daud sehingga bintang Daud berbentuk segienam dipakai sebagai lambang negara Israel. Bisakah kita lebih hormat ketika mendengar nama Kristus lebih dari orang Israel saat mendengar nama Daud? Dunia modern kini semakin merendahkan konsep Kerajaan Surga sehingga rasa hormat pada Kristus, Raja di atas segala raja mulai hilang. Orang mulai dipengaruhi aliran filsafat yang dicetuskan Michael Foucoult, yaitu tidak mau menghargai otoritas atau semua hal yang berkuasa atas hidup kita termasuk Tuhan pemegang otoritas tertinggi. Manusia mau menegakkan otorisasi diri akibatnya manusia berani memerintah, mengatur bahkan melawan Kristus, Raja di atas segala raja. Bandingkan dengan pemerintahan dunia, bukankah rakyat yang melawan raja seharusnya dihukum?
Dunia menganggap Kristus penuh cinta kasih sehingga mereka merasa tidak perlu berlaku sedemikian rupa. Ingat, Kristus adalah Allah yang penuh kasih sekaligus adil. Dunia mengerti konsep kasih dan keadilan berbeda dengan Kristus. Cinta kasih bagi dunia adalah reduksi dari keadilan dan sebaliknya keadilan merupakan reduksi dari cinta kasih. Salah! Keunggulan iman Kristen justru mengajarkan kasih dan keadilan harus berjalan sejajar dan terintegritas. Apa artinya kasih tanpa keadilan atau kasih tanpa penghukuman? Bagaimana sikap kita saat kita beribadah, menghadap raja di atas segala Raja? Sikap hormat seharusnya muncul dalam diri kita saat kita mendengar sabda Tuhan; Dia masih berkenan berbicara melalui Firman membuktikan kasihNya pada kita.
Kedua, Nama-nama raja yang tertulis disusun Matius secara unik, yaitu nama raja yang baik dan jahat disusun secara bergantian. Dalam bagian ini Matius ingin menunjukkan bahwa setiap orang yang menjadi raja tidak lepas dari rencana Tuhan termasuk raja yang jahat sekalipun. Tuhan tidak pernah melepaskan garis benang merah sejarah dunia. Sebagai contoh, Hizkia adalah anak dari Ahas, raja yang kejam namun ia tidak seperti ayahnya. Hizkia adalah salah satu raja yang diperkenan Tuhan. Dalam doanya Hizkia berani mengatakan bahwa ia telah hidup benar di hadapan Tuhan, setia mengikut Tuhan dan senantiasa menyenangkan hati Tuhan. Beranikah mempertanggung jawabkan hidup seperti Hizkia pada Tuhan?
Allah bisa memakai siapa saja dan apa saja untuk menjadi alatNya, tidak peduli mereka baik atau jahat. Ketika kedaulatan Allah dinyatakan, bukan berarti kejahatan ditiadakan. Tidak! Kejahatan tetap ada tapi keadilan Allah akan nyata atas orang-orang fasik. Tuhan telah mempersiapkan misi Kerajaan Surga sejak dari kekekalan karena itu “Bertobatlah, kerajaan Allah sudah dekat“. Sejarah harus dikaitkan dengan momen hidup. Sejarah tanpa momen hanya akan menjadi kumpulan cerita dan data belaka. Ingat, kalau sekarang kita berada dalam sejarah dunia apakah hidup kita sudah terkait dengan sejarah kerajaan Allah?
Ketiga, Matius mengkontraskan antara kerajaan dunia dan kerajaan surga yang akan ditegakkan. Kalau kita bandingkan dengan Daud maka Daud adalah Raja yang paling sukses secara nilai dan puncak kejayaan berada di tangan Salomo dengan kerajaannya yang besar. Akan tetapi setelah masa pemerintahan Salomo, kerajaan Yehuda semakin merosot. Hal ini nampak di nama terakhir yang tertulis, yakni Yekhonya bukanlah seorang raja. Matius mau menggambarkan anti klimaks sejarah manusia. Semua pergerakan dunia pasti mengalami anti klimaks dan kemudian terus merosot dan berakhir di pembuangan. Inilah akhir dari kerajaan dunia, kerajaan yang diinginkan bangsa Israel. Tuhan sendiri yang akan menjadi raja dengan memerintah bangsa Israel namun justru penolakan yang diterima; mereka menginginkan raja dunia. Sifat manusia berdosa selalu menolak yang baik dari Tuhan.
Matius memang sengaja menaruh nama Yekhonya (bukan raja) bukannya raja Yoahas membuktikan anti klimaks berakhir dengan kehancuran total. Apalah jadinya kalau kita mengandalkan kekuatan dunia. Dunia menawarkan segala sesuatu yang manis di depan tapi berakhir dengan kehancuran, seperti racun yang dibalut dengan gula. Seperti orang berjudi, pertama kali ia akan diuntungkan dan kemudian akan menjadi lupa diri. Iblis sangat pandai menawarkan sesuatu yang indah di depan tapi kemudian berakhir dengan kehancuran. Kerajaan surga tidak dimulai dengan booming yang besar tapi dari biji sesawi dan bertumbuh menjadi pohon yang besar sehingga burung-burung dapat bernaung di bawahnya. Konsep ini dapat kita jalankan kalau kita taat pada Tuhan. Bagaimana dengan hidup anda? Hidup seperti apa yang anda inginkan? Pilihan tergantung pada anda.
Tuhan mengajak kita untuk melihat nilai hidup yang lebih bermakna. Banyak filsuf menawarkan teori baru tetapi kemudian lenyap dan diganti dengan teori lain yang lebih baru lagi dan seterusnya. Dunia selalu berubah namun Kerajaan Surga bersifat kekal. Dunia kekekalan akan terus maju hingga sampai di titik klimaks dan kemudian selesailah perjalanan sejarah dunia. Pertumbuhan iman Kristen harus dimulai dari kecil terlebih dahulu dan berproses hingga sampai menuju kesempurnaan sebagai titik klimaks. Bayangkan, kalau sudah sampai pada titik klimaks kita masih terus berproses lalu kita akan menuju kemana? Tidak ada lagi yang harus dicapai bukankah sudah sampai titik klimaks? Sekarang, kita sedang berproses menuju ke kesempurnaan, yaitu sampai Kristus datang sebagai Raja.
Cara Tuhan menata sejarah sangat unik. Marilah kita belajar menerapkan pattern kerajaan surga dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk memulai segala sesuatu haruslah dari kecil terlebih dahulu dan kemudian terus berkembang. Jangan mengikut cara dunia yang dari besar ke kecil. Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil kalau Dia mau membuat besar terlebih dahulu tapi Tuhan tidak memakai cara seperti itu. Dia membangun kerajaanNya dari dua belas murid dan berkembang hingga besar. Hendaklah sebagai murid kita mau mengikut prinsip Kristus. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Roma 1:19-20 : MURKA ALLAH KEPADA MANUSIA-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-2


Murka Allah Kepada Manusia-2

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 1:19-20

Setelah kita membahas tentang realita murka Allah atas segala kefasikan dan kelaliman manusia yang menindas kebenaran dengan kelaliman di ayat 18, maka sekarang kita akan mencoba mengerti sebenarnya apakah tindakan manusia yang berani menindas kebenaran dengan kelaliman itu disebabkan karena mereka tidak mengerti atau memang pada dasarnya mereka memberontak ? Kalau kita melihat dengan jelas di ayat 19, Paulus mengungkapkan, “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka.” atau terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikannya, “Apa yang dapat diketahui manusia tentang Allah sudah jelas di dalam hati nurani manusia, sebab Allah sendiri sudah menyatakan itu kepada manusia.” Dengan kata lain, sebenarnya manusia bukan tidak mengetahui tentang keberadaan Allah, tetapi mereka sebenarnya sedang menolak kebenaran. Kebenaran Allah sudah ditanamkan-Nya ke dalam diri manusia. Itulah yang disebut sebagai wahyu umum (general revelation) di dalam theologia Reformed. Apakah bentuk wahyu umum itu ? Ayat 19-20 menjabarkan kedua hal ini. Pertama, hati nurani. Alkitab terjemahan BIS lebih jelas mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia tentang Allah diperoleh bukan melalui pendidikan agama atau budi pekerti, tetapi dari hati nurani. Seperti kata John Calvin bahwa di dalam diri manusia ada sense of divinity (sensus divinitatis) atau pengertian tentang keberadaan Allah, maka tidak ada seorangpun yang dengan mulutnya berani mengucapkan bahwa Allah itu tidak ada. Dengan kata lain, atheisme itu sebenarnya tidak ada, yang ada mungkin hanyalah atheisme praktis. Kembali, hati nurani menjadi wakil kebenaran Allah di dalam diri manusia. Hati nurani menjadi penghakim atas keberdosaan manusia. Ketika manusia ingin berbuat dosa, hati nurani sebagai wakil Allah, seperti yang dikemukakan Salomo di dalam Amsal 20:27, “Roh manusia adalah pelita TUHAN, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.” atau terjemahan BIS mengartikannya, “Hati nurani manusia merupakan terang dari TUHAN yang menyoroti seluruh batin.” Kata “roh” di sini dalam bahasa Ibrani tidak menggunakan kata ruach, tetapi kata neshâmâh (dipakai sebanyak 6x di dalam Perjanjian Lama dan diartikan {embusan} nafas atau breath, dll) yang berarti tiupan/hembusan (puff). Kata “roh” ini sama artinya dengan jiwa dan juga dipakai dengan kata “hati nurani” menurut BIS. Jadi, di dalam diri manusia ada wakil Allah yang berfungsi menerangi seluruh keberadaan manusia dari dalam. Sehingga ketika mereka ingin berbuat dosa, hati nurani langsung bereaksi mengingatkan mereka beberapa kali, tetapi sayangnya manusia yang sudah berdosa sudah tidak bisa dibendung lagi keinginan berdosanya, sehingga mereka lepas kontrol dan tidak lagi mengikuti hati nurani mereka. Mereka ingin melakukan apapun yang mereka senangi, tanpa menghiraukan lagi suara hati nurani. Ketika manusia berbuat dosa, seluruh potensi diri manusia menjadi rusak total, termasuk hati nurani. Kita melihat konteks Amsal 20:27, di mana ayat-ayat sebelumnya, Salomo memaparkan kekejian manusia (dalam hal perkataan dan perbuatan), lalu ia menyimpulkan bahwa kekejian itu sebenarnya berasal dari hati nurani yang jahat, sehingga ia mengingatkan bahwa hati nurani yang murni adalah pelita/terang Allah atau wakil Allah yang menerangi seluruh batin/lubuk hatinya. Pdt. Dr. Stephen Tong memaparkan bahwa hati nurani itu dipengaruhi oleh lingkungan, kebudayaan, agama, dll. Dengan kata lain, hati nurani manusia sudah dipengaruhi unsur dari luar. Tetapi akibat dosa, respon manusia yang berdosa terhadap wahyu umum Allah secara internal yang menghasilkan sifat-sifat agama pun telah rusak. Tidak heran, seorang theolog ternama abad ini, Dr. John R. W. Stott mengungkapkan bahwa agama itu sebenarnya bukan mencari Allah, tetapi melarikan diri dari Allah. Ini benar. Agama-agama yang seharusnya merupakan respon manusia terhadap wahyu umum Allah yang murni telah dirusak oleh dosa, sehingga banyak agama bukan lagi mencari Allah sejati di dalam Kristus, tetapi justru melarikan diri dari-Nya dengan menciptakan ilah-ilah (yang non-personal) yang dianggap seperti “Allah” lalu disembah. Ini jiwa manusia berdosa yang ingin menggantikan Allah dengan ilah-ilah (hal ini akan dibahas pada eksposisi Roma pada ayat-ayat selanjutnya).

Terhadap mereka yang telah menyelewengkan fungsi hati nurani inilah, murka Allah dinyatakan. Dari Perjanjian Lama, kita melihat cukup banyak contoh mengenai murka Allah berkenaan dengan penyelewengan hati nurani. Ketika Hawa melihat buah pengetahuan baik dan jahat, pertama kali dari dalam hatinya lah timbul keinginan untuk mengambil buah pengetahuan yang baik dan jahat (Kejadian 3:6a, kata “menarik hati”). Dari dalam hati lah, manusia ingin berbuat sesuatu entah itu baik atau jahat. Kepada Hawa lah, Allah menjatuhkan murka-Nya dengan mengutuk Hawa dengan sakit bersalin, begitu pula dengan Adam dan ular. Contoh kedua, ketika Abimelekh ingin menghampiri/meniduri Sara, Allah berkata kepada Abimelekh bahwa ia akan mati kalau berbuat demikian, lalu Abimelekh berdalih, “Tuhan, saya tidak bersalah! Apakah Tuhan akan membinasakan saya dan bangsaku? Abraham sendiri mengatakan bahwa wanita itu adiknya, dan wanita itu berkata demikian juga. Saya telah melakukan hal itu dengan hati nurani yang bersih, jadi aku tidak bersalah.” (Kejadian 20:4-5 ; BIS) Lalu jawab Tuhan, “Memang, Aku tahu bahwa engkau melakukannya dengan hati nurani yang bersih. Karena itu Aku telah mencegah engkau berbuat dosa terhadap Aku, dan tidak Kubiarkan engkau menjamah wanita itu. Tetapi sekarang, kembalikanlah dia kepada suaminya. Suaminya seorang nabi, dan ia akan berdoa untukmu supaya engkau tidak mati. Tetapi jika engkau tidak mengembalikannya, ingat, engkau dan seluruh rakyatmu akan mati!” (Kejadian 20:6-7 ; BIS) Akhirnya, Abimelekh dengan hati nuraninya menaati Tuhan. Ketika hati nurani kita taat kepada Tuhan, maka Tuhan tidak akan menghukum, tetapi jika dari hati nurani kita sudah memberontak kepada Allah, maka seperti yang dikatakan-Nya kepada Abimelekh, maka Ia akan menghukum mati kita. Tidak ada kompromi. Jangan mengira bahwa ketika hati nurani kita beres untuk “membantu” Allah, maka otomatis itu baik di mata Tuhan. Ada contoh di dalam Perjanjian Lama, ketika ada seorang yang membantu mengangkat tabut perjanjian Allah yang akan jatuh dengan memegangnya, maka orang itu langsung dihajar Tuhan sampai mati. Tidak ada kompromi, kekudusan-Nya tidak bisa dipermainkan. Lalu, bagaimana jalan keluar dari hati nurani yang sudah terpolusi dosa ? Dengan berbuat baik ? TIDAK. Alkitab mengajarkan, “betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup.” (Ibrani 9:14) Hati nurani yang sudah rusak akibat dosa tidak dapat diperbaiki dengan upacara-upacara ritual agama (konteks surat Ibrani adalah upacara-upacara Yudaisme—lihat ayat-ayat sebelumnya di dalam Ibrani 9), tetapi hanya melalui darah Anak Domba Allah dan pekerjaan Roh Kudus yang mengefekftikan karya penebusan Kristus ke dalam hati anak-anak-Nya. Puji Tuhan, hanya darah Kristus yang sanggup menyucikan diri kita termasuk hati nurani kita sehingga dengan hati nurani yang sudah dikuduskan, kita dapat melayani Tuhan Allah dengan motivasi dan tujuan yang beres, hal ini tentu berbeda dengan kondisi hati nurani kita yang dulu yang dicemari dosa yang ingin “memanfaatkan” Allah untuk kepentingan kita sendiri.

Lalu, kedua, meminjam pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong, wujud kedua wahyu umum Allah secara eksternal yaitu alam semesta. Alkitab mengajarkan, “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” atau terjemahan BIS mengartikannya, “Semenjak Allah menciptakan dunia, sifat-sifat Allah yang tidak kelihatan, yaitu keadaan-Nya sebagai Allah dan kuasa-Nya yang abadi, sudah dapat difahami oleh manusia melalui semua yang telah diciptakan. Jadi manusia sama sekali tidak punya alasan untuk membenarkan diri.” Di dalam ayat ini, di dalam alam semesta, Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia yaitu tentang kekuatan-Nya yang kekal dan keilahan-Nya. Di dalam alam semesta, kita melihat karya Allah yang Mahadahsyat, mulai dari menciptakan dan mengatur alam semesta ini. Science membuktikan bahwa jarak bumi dari matahari adalah 150 juta km. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa jika seandainya jarak bumi dari matahari lebih kecil dari 150 juta km, tentu kita akan menjadi sate bakar, sebaliknya jika lebih besar dari 150 juta km, kita akan menjadi es batu. Maka, jarak 150 juta km itu sudah diatur oleh Allah yang Mahadahsyat. Begitu pula, bumi kita bisa teratur, dan tidak kacau akibat adanya pemeliharaan (providensia) Allah atas dunia ini meskipun dunia kita sudah berdosa. Kalau manusia biasa melihat alam semesta, mereka dengan sendirinya pasti mengatakan bahwa tidak mungkin tidak ada Sang Pencipta yang menciptakan alam semesta yang begitu indah, teratur, dan dahsyat ini (Kejadian 1 ; Yesaya 66:2a {BIS}, “Alam semesta adalah buatan tangan-Ku, maka semua itu dijadikan.”). Di sini, kegagalan para evolusionis atau bahkan theistic evolusionist adalah tidak mengakui 100% keberadaan Allah. Pdt. Sutjipto Subeno pernah menceritakan sebuah kisah. Pada suatu hari seorang Rusia mengunjungi pesawat ulang alik Amerika, di mana di dalamnya terdapat suatu replika susunan bumi, galaksi, dll mirip seperti aslinya, lalu seorang Rusia bertanya kepada seorang Amerika tentang siapa penciptanya, kemudian dengan nada menyindir seorang Amerika (karena ia tahu bahwa orang Rusia itu atheis) itu menjawab bahwa tidak ada penciptanya. Setelah itu, seorang Rusia bertanya kembali bahwa perkataan orang Amerika itu tidak mungkin, karena barang begitu bagus (replika tadi) tidak ada yang menciptakannya. Di sini, kita melihat orang Rusia ini tidak sadar, ia bisa memuji keindahan replika bumi dan langsung bertanya siapa penciptanya, tetapi herannya, yang asli dan nampak secara kasat mata yaitu bumi dianggap oleh mereka tidak ada yang menciptakannya. Itulah kegagalan banyak atheis yang menganggap diri tidak ada Allah, padahal sehari-hari mereka berhadapan dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Inilah keadaan manusia yang berdosa. Seharusnya mereka mengerti konsep tentang keberadaan Allah melalui alam semesta, tetapi Alkitab mengungkapkan fakta bahwa mereka menindas kebenaran dengan kelaliman, seolah-olah mereka tidak mengenal kebenaran itu. Dalam hal ini (alam semesta), dalam hal apa manusia menindas kebenaran dengan kelaliman ? Manusia mulai menggantikan konsep theisme dengan dua konsep filsafat yang melawan Alkitab, yaitu deisme dan pantheisme. Pertama, Deisme. Konsep filsafat ini mengajarkan bahwa memang Allah itu menciptakan dunia ini, tetapi setelah itu Ia tidak peduli dengan kelangsungan hidup dunia ini karena Ia telah menyerahkannya kepada hukum alam untuk berputar sebagaimana adanya. Ini salah, karena di titik pertama, deisme sudah menghilangkan konsep pemeliharaan (providensia) Allah yang diajarkan Alkitab. Kalau deisme itu benar, maka bagaimana bumi kita bisa teratur, jika hanya hukum alam yang mengaturnya tanpa ada Allah sebagai Sang Pengatur Tunggal ? Konsep filsafat kedua, yaitu Pantheisme yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah “Allah”. Dengan kata lain, semua alam semesta yang sebenarnya hanyalah ciptaan Allah yang terbatas, dikatakan oleh Pantheisme sebagai “Allah”. Inilah kegagalan dan kekacauan (confusion) manusia yang tidak bisa membedakan dengan jelas antara yang dicipta dengan Pencipta. Akibatnya, manusia bukan menyembah Allah, malahan menyembah ciptaan (Roma 1:23). Hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan ayat-ayat selanjutnya. Kembali, keteraturan alam semesta (misalnya, jarak bumi dari matahari, beredarnya bumi pada porosnya/rotasi bumi, dll) yang diciptakan Tuhan seharusnya membuat kita sadar pasti ada Pencipta yang teratur pula yang menciptakan dunia yang indah ini. Dan itu pula membuat kita memiliki dan mengatur hidup kita menjadi lebih teratur sebagaimana Allah kita adalah Allah yang menghendaki keteraturan. Tetapi faktanya ? Alam semesta sebagai wahyu umum Allah ini diresponi oleh manusia yang berdosa dengan munculnya kebudayaan (culture). Kalau dunia kita mengajarkan bahwa kebudayaan itu mencakup keseluruhan pribadi di dalamnya dengan satu adat-istiadat, bahasa, dll, maka keKristenan khususnya theologia Reformed mendefinisikan kebudayaan dengan menyangkut esensinya yaitu respon manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah secara eksternal. Tidak heran, di dalam kebudayaan pasti mengandung unsur dosa, karena manusia yang meresponi wahyu umum Allah itu adalah makhluk yang berdosa. Saya akan memberikan satu contoh. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam kuliahnya mengenai Chinese Philosophy mengajarkan bahwa di dalam kebudayaan Tionghoa ada perkataan bahwa jika istri tidak dapat melahirkan anak, itulah salah satu alasan suami dapat menceraikan istrinya, tetapi herannya kalau terbukti suami tidak bisa melahirkan anak, bolehkah istri melakukan hal yang sama ? Di sini, Pdt. Dr. Stephen Tong menunjukkan kegagalan kebudayaan yang sudah berdosa, mendegradasi moralitas yang berasal dari Allah. Lalu, bagaimana sikap orang Kristen terhadap kebudayaan ? Orang Kristen sejati harus mereformasi budaya dunia. Maka, budaya Kristen, yang saya kutip dari Pdt. Sutjipto Subeno, adalah respon manusia terhadap wahyu khusus Allah. Kalau budaya dunia tidak ada hubungannya dengan Allah (bahkan cenderung melawan Allah), maka keKristenan harus menjadikan Alalh sebagai Tuhan atas kebudayaan dengan menghakimi setiap kebudayaan yang menyimpang dari kehendak-Nya dalam firman-Nya. Barangsiapa yang tidak lagi mengakui Allah sebagai Pencipta dan Tuhan, maka murka Allah ditimpakan kepada mereka. Jangan bermain-main dengan Allah yang adalah Api yang menghanguskan.

Hari ini, setelah kita menyimak uraian Roma 1:19-20 saja, sudahkah kita sadar seberapa jahatnya kita di hadapan-Nya ? Kita yang sudah dicipta segambar dan serupa dengan Allah ternyata menyalahgunakan privacy ini dengan “memanfaatkan” Allah untuk memenuhi keinginan kita yang berdosa. Saat ini, izinkanlah Roh Kudus mengubah dan mengoreksi hidup Anda melalui firman Allah (Alkitab) dan teguran hati nurani yang sudah disucikan ketika Anda mulai menyeleweng dari jalan-Nya. Ingatlah, Kristus sudah menebus dosa umat pilihan-Nya, oleh karena itu, jangan mendukakan Roh Kudus yang telah mengerjakan karya penebusan Kristus ke dalam hati umat pilihan-Nya. Soli Deo Gloria. Amin.