10 December 2007

Bab 7 : DICIPTAKAN UNTUK KEKEKALAN ?? (Analisa Terhadap Bab 4 Buku Rick Warren)

Bab 7
Diciptakan Untuk Kekekalan ??



Pada bab 7 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari keempat dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab.
Pada bab ini, halaman 39-43, Warren mengungkapkan bahwa kita diciptakan untuk kekekalan dan kematian itu hanya awal kita menikmati berkat-berkat Surgawi. Pada halaman 39, ia mengatakan, “Anda diciptakan untuk hidup selama-lamanya.” Ia mengungkapkan pula, “Ketika Anda hidup dengan mempertimbangkan kekekalan, nilai-nilai Anda berubah.” (Warren, 2005, p. 41)

Komentar saya :
Warren dengan berani mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk kekekalan. Pernyataan ini salah. Warren tidak menyadari bahwa manusia diciptakan untuk berhubungan dengan-Nya, bukan untuk kekekalan. Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D., seorang profesor emeritus theologia sistematika di Calvin Theological Seminary, Grand Rapids, Michigan dalam bukunya (buku terjemahan bahasa Indonesia) Alkitab dan Akhir Zaman menyatakan,
(3) Alkitab tidak mengajarkan kelangsungan kehidupan sesudah kematian sebagai hal yang paling diinginkan, tetapi menekankan kehidupan di dalam persekutuan dengan Allah sebagai berkat yang terutama. Konsep filsafat tentang kekekalan jiwa tidak berbicara tentang kualitas kehidupan setelah kematian ; ia semata-mata menegaskan bahwa jiwa akan tetap ada setelah kematian. Tetapi ini bukan yang Alkitab hendak tegaskan. Yang Alkitab tandaskan ialah bahwa hidup yang terpisah dari Allah adalah kematian, tetapi persekutuan dan kebersamaan dengan Allah adalah hidup yang sebenarnya... (Hoekema, 2004, p. 120)

Sangat jelas, apa yang Hoekema katakan bahwa manusia diciptakan bukan untuk kekekalan tetapi untuk bersekutu dengan Allah. Tetapi sayangnya, manusia yang diciptakan ini telah merusak peta teladan Allah di dalam dirinya melalui dosa, sehingga mereka enggan bersekutu dengan-Nya. Percuma saja ketika kita berbicara bahwa kita diciptakan untuk kekekalan tetapi kenyataannya kita tetap dalam kondisi berdosa. Hal ini kurang diperhatikan oleh Warren, sehingga setiap pembaca bukunya sengaja tidak dipaparkan mengenai kondisi berdosa mereka, agar mereka terus memiliki pikiran positif akan tujuan hidup mereka bagi kekekalan (tanpa memikirkan realita keberdosaan mereka). Ini adalah filsafat Berpikir Positif yang sedang dimasukkan oleh Warren secara implisit. Kembali, kerusakan persekutuan manusia dengan Allah mengakibatkan kerusakan persekutuan manusia dengan sesama manusia, sesama makhluk ciptaan (hewan dan tumbuhan) dan alam semesta. Akibatnya, kita terus-menerus mengalami penyakit, kesusahan, bencana alam, dll, karena bumi ini sudah dikutuk oleh Tuhan karena dosa kita. Lalu, bagaimana caranya memperbaiki hubungan ini ? Tidak ada jalan lain dan sungguh bersyukur, jika Bapa menyediakan jalan satu-satunya untuk memperbaiki hubungan manusia dengan-Nya, yaitu melalui Tuhan Yesus Kristus, seperti yang difirmankan-Nya melalui surat pertama Rasul Paulus kepada Timotius, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.” (1 Timotius 2:5-6) Dan, janji Allah yaitu berupa hidup kekal akan diberikan kepada barangsiapa yang percaya di dalam Kristus (Yohanes 3:16), tetapi kepada mereka yang tidak percaya, “ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.” (Yohanes 3:18) Dosa harus diselesaikan dengan cara Allah, bukan dengan cara manusia. Baru melalui cara inilah, manusia dapat bersekutu dengan Allah dan menikmati hidup yang kekal bersama-Nya di Surga. Kekekalan hidup (Hoekema menyebutnya, psikosomatris yaitu kekekalan tubuh dan jiwa) baru terjadi ketika hidup manusia diperdamaikan kembali dengan Allah melalui karya penebusan Kristus Yesus. Dengan kata lain, kekekalan hidup adalah efek/akibat dari pemulihan hubungan antara manusia dengan Allah. Adalah suatu bahaya yang sangat fatal jika Warren hanya mengutamakan pengajaran tentang diciptakan untuk kekekalan tanpa mengajarkan prinsip yang lebih penting yaitu pemulihan dan pendamaian persekutuan manusia dengan Allah melalui karya Kristus. Apa bahaya yang sangat fatal itu ? Bahayanya adalah manusia hanya berorientasi pada kekekalan tanpa menghiraukan statusnya apakah mereka sudah diselamatkan atau belum dan akibatnya, mereka memiliki suatu idealisme kosong yang tidak pernah terealisasi, karena mereka belum diselamatkan di dalam Kristus. Di sini, Warren harus bertobat. Bagi saya, inti pengajaran buku rohani sejati bukan memaparkan humanisme seperti yang Warren paparkan dalam bukunya ini, tetapi memaparkan keberdosaan manusia, anugerah Allah, penebusan Kristus, finalitas Alkitab dan pembentukan paradigma dan karakter Kristen sesuai Alkitab.
Kemudian, ketika Warren mengungkapkan, “Ketika Anda hidup dengan mempertimbangkan kekekalan, nilai-nilai Anda berubah.” (Warren, 2005, p. 41), ia menambah kesalahannya yang semakin fatal. Maksudnya, pada poin pertama, Warren sudah salah mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk hidup selama-lamanya, ditambah lagi, ia mengatakan lagi bahwa ketika kita hidup dengan mempertimbangkan kekekalan, nilai-nilai kita berubah. Saya mengamati ada dua kesalahan pada pernyataan ini. Pertama, pernyataan Warren mengarahkan para pembacanya untuk hanya memfokuskan hidup pada kekekalan dengan maksud untuk mengubah nilai-nilai kita yang dahulu salah. Apakah hidup kita hanya terus difokuskan pada kekekalan ? TIDAK. Kita masih hidup di dalam dunia yang nyata (bukan maya/semu), sehingga kita harus menghidupi dan menjalani mandat yang Tuhan telah berikan yaitu mempengaruhi dunia dengan keKristenan dan memberitakan Injil. Tindakan kita ini salah satunya memang dipengaruhi juga oleh pengharapan masa mendatang/akhir zaman di mana Kerajaan Allah pasti sempurna melalui kedatangan Kristus, tetapi pengharapan ini tidak menjadi satu-satunya fondasi kita dapat mengubah nilai hidup. Kedua, benarkah hanya dengan memfokuskan hidup pada kekekalan, nilai-nilai kita bisa berubah ? Tidak. Nilai-nilai kita berubah karena Roh Kudus memimpin kita di dalam pengudusan yang terus-menerus (progressive sanctification), bukan karena fokus hidup pada kekekalan. Percuma saja, kita terus memfokuskan hidup kita pada kekekalan, tetapi hidup kita tidak pernah mau dipimpin dan dikuduskan terus-menerus oleh Roh Kudus agar taat kepada Kristus. Di dalam pengudusan terus-menerus, sudah tentu kita dituntut untuk menyangkal diri melalui mengubah nilai-nilai hidup yang dulu kita agungkan sebagai yang paling berharga. Prinsip penyangkalan diri tidak saya jumpai pada buku Rick Warren ini. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa menyangkal diri berarti seluruh keberadaan diri kita sinkron dengan Allah. Artinya, pikiran, perkataan, emosi, keinginan, sifat kita mirip dengan pikiran, perkataan, emosi, keinginan dan sifat Allah yang baik (meskipun tidak 100% sempurna). Status anak-anak Allah yang kita peroleh setelah kita dipilih Allah Bapa, dikuduskan oleh Roh Kudus untuk taat kepada Kristus (1 Petrus 1:2) adalah sebuah status di mana kita terus-menerus diperbaharui agar menyerupai gambaran Kakak Sulung kita Kristus (Roma 8:29).

Iman Kristen dan Musik-3

IMAN KRISTEN DAN MUSIK-3
oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.
Pada bagian yang kedua kita sudah membahas kecenderungan baik kebudayaan modern yang anti perbedaan dan menekankan konsep unity in uniformity, dengan kebudayaan pasca-modern yang merayakan pluralitas namun akhirnya jatuh ke dalam disintegritas atau fragmentasi. Firman Tuhan memberikan alternatif yang jauh lebih indah daripada kedua kebudayaan yang sangat mewarnai kehidupan kita di atas. Konsep multi-dimensi atau multi-perspektif bukanlah konsep yang asing bagi firman Tuhan karena firman Tuhan mengajarkan kesatuan dalam keaneka-ragaman. Namun di sisi yang lain, firman Tuhan juga memberikan prinsip agar kita tidak jatuh dalam chaotic pluralism, di mana setiap orang berjalan sesuai dengan apa yang dia pandang baik, sesuai dengan pandangan subyektifnya masing-masing, selera yang membentuk dia sejak kecil, relativisasi kebudayaan yang dibuat independen dari penilaian firman Tuhan. In fact kita percaya bahwa kebudayaan manusia sendiri merupakan campuran antara penaburan benih gandum dan lalang. Adalah suatu kefatalan jika kita sebagai orang percaya berpikir bahwa budaya netral adanya. Ada godly culture ada pula sinful culture. Culture pun suatu saat akan dihakimi oleh Tuhan sendiri.

Sekarang bagaimana dengan musik? Sebagai bagian dari culture, musik juga tidak bebas dari nilai. Kita sudah membahas pada bagian yang pertama jika kita berusaha untuk membebaskan musik dari penilaian firman Tuhan, sebenarnya yang terjadi adalah kita sedang membuka pintu lebar-lebar untuk masuknya sekularisme ke dalam musik. Keengganan orang percaya untuk “menguji segala sesuatu dan memegang yang baik” akan semakin menyuburkan angin sekularisme. Lalu bagaimana kita menguji musik? Saya percaya tidak cukup hanya dengan prinsip telos (seperti diusulkan Sdr. Jimmy misalnya).
[1] Kita harus selalu kembali kepada Firman Tuhan, sehingga kita tidak gampang terjebak pada ajaran-ajaran fragmented yang ditawarkan oleh dunia ini. Alkitab membicarakan bukan hanya telos saja yang harus benar, melainkan means untuk mencapai tujuan ke situ juga harus benar dan kudus ditambah lagi sedikitnya dengan motivasi kita juga harus kudus, yaitu kasih.[2] Tiga hal ini adalah merupakan hal minimal yang harus digenapi untuk melakukan suatu pengujian yang Alkitabiah.

Mari kita melihat kehidupan Yesus Kristus sendiri. Dalam sepanjang hidupNya Ia selalu menjaga tujuan hidup yang benar (teleological), sekaligus Alkitab mencatat bahwa Ia tidak pernah berbuat dosa, Yesus tidak pernah memakai sarana-sarana apa pun juga asal saja mencapai goal yang benar dalam pelayananNya. Jesus always does the right thing (aspek deontological), He is truth Himself (yang ini saya tidak sanggup memberikan kategori apa-apa karena kalimat ini terlalu dalam dan kaya sehingga tidak dapat direduksi dengan satu/dua kategori), dan Ia adalah penyataan kasih Allah dalam wujud Pribadi yang berinkarnasi, turun ke dunia (menjawab tuntutan situation ethics). Saya percaya, selain tiga hal ini (teleological, deontological and situational) masih banyak aspek yang lain yang kita bisa pelajari dari kehidupan Yesus Kristus. Tidak ada habisnya kita mengagumi serta menggali dari kelimpahan hidup yang ada padaNya.

Kembali kepada musik, jika kita ingin melakukan suatu pengujian yang lebih komprehensif dan bertanggung-jawab, selain menguji tujuan serta motivasinya yang harus kudus dan benar, kita juga harus menguji musiknya sendiri: is it the right or wrong music? Is it good music or bad music? Is it holy or sinful?

Tentu dalam realitanya, kita tidak dapat melakukan pemisahan putih-hitam karena kita percaya dalam kejahatan yang bagaimanapun selalu masih ada anugerah Tuhan yang menahan dari kerusakan yang serusak-rusaknya, ada common grace (anugerah umum) yang tetap menyatakan secercah kebaikan di dalamnya.
[3] Demikian halnya dengan musik, tidak ada musik yang serusak-rusaknya sehingga tidak mungkin menjadi lebih rusak lagi (karena sudah terlalu rusak), selalu ada ruang untuk setitik (atau mungkin dua – tiga titik J) keindahan di dalamnya. Sebaliknya, tidak ada musik atau seni yang begitu sempurna sehingga dikatakan musik ini adalah musik yang tanpa cacat sesuai dengan selera Tuhan (itu mungkin pengharapan eskatologis, bukan di dunia yang berdosa ini), bagaimanapun musik adalah hasil karya manusia yang berdosa, yang tidak sempurna, yang di dalam Yesus Kristus boleh berharap bahwa hari demi hari ia semakin dikuduskan dan disempurnakan.

NAMUN, ini tidak berarti bahwa karena semua musik toh tidak ada yang sempurna, selalu merupakan campuran antara yang baik dari Tuhan dan kelemahan manusia yang berdosa, kalau begitu semua musik sama adanya.
[4] Tidak sama. Ada musik yang sangat dipengaruhi oleh keindahan Firman Tuhan, namun ada pula yang dibentuk dari spirit yang sangat melawan Tuhan (yang juga ternyata dalam komposisi musiknya).

Sampai di sini saya ingin share apa yang saya pelajari dalam pergumulan pribadi saya mengikut Tuhan khususnya dalam integrasi Firman Tuhan dan musik. Memang, sekali lagi, Alkitab tidak membicarakan nada-nada dan juga tidak dimaksudkan sebagai textbook untuk semua logi. Namun Alkitab membicarakan mengenai apa itu keindahan. Keindahan menurut konsep Firman Tuhan tidak dapat dilepaskan/dipisahkan dengan kebenaran, kekudusan, kesalehan, keadilan, kebaikan dsb. Adalah suatu kecelakaan besar di jaman kita yang selalu terbiasa dan latah mengatakan apa yang dipercaya oleh para penganut agama subjectivism bahwa keindahan semata-mata hanya tergantung pada mata si pelihat (beauty in the eyes of the beholder). Mengapa saya sebut musik ini indah? Karena memang itu indah bagi saya. Saya sejak kecil sudah terbiasa mendengar musik ini, saya dibesarkan dalam selera musik ini, maka musik ini indah.

Kita tidak menyangkali bahwa apa yang kita percaya sebagai kebenaran tidak mungkin lepas dari kontext kebudayaan yang membentuk kita (termasuk di dalamnya selera musik yang mewarnai hidup kita sejak kecil), namun ini tidak berarti bahwa dalam pengujian musik yang benar dan baik semata-mata hanya diwarnai oleh bias subyektif dan tidak ada standard atau kriteria obyektif di dalamnya.
[5] Sekali lagi saya menghimbau, adalah lebih bijaksana bagi kita untuk tetap kembali kepada Firman Tuhan, instead of diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran dari filsafat-filsafat dari dunia yang melawan Tuhan kita.

Jika kita percaya pandangan bahwa segala sesuatu yang kita anggap benar sebenarnya adalah merupakan produk selera subyektif kita, maka berdasarkan prinsip ini kita juga bisa mengatakan: “Yesus Kristus adalah Tuhan bagimu, itu karena engkau dibesarkan sejak kecil dalam keluarga Kristen. Pantes saja engkau berselera terhadap ajaran Yesus, pantesan engkau menyebut Dia Tuhan.” Berapa banyak di antara kita di sini yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat namun tidak dibesarkan dalam keluarga Kristen, tidak mendengar pembentukan kebudayaan cerita-cerita sekolah minggu sejak kecil? Saya percaya tidak sedikit dan saya percaya masih banyak yang akan menyusul. Apakah Yesus baru menjadi Tuhan lantaran bias subyektif kita sebagai orang Kristen? Kita berani berkata, “Entah saya percaya Yesus sebagai Tuhan atau tidak, Yesus tetap adalah Tuhan.” Yesus Kristus Tuhan adalah suatu fakta kebenaran obyektif yang tidak dipengaruhi oleh kepercayaan subyektif saya sebagai orang Kristen. Hanya saja, memang ketika saya tidak mempercayaiNya sebagai kebenaran yang subyektif (maksudnya hal itu juga saya imani secara pribadi), kebenaran itu tidak menjadi kebenaran yang menyelamatkan saya, namun bahwa itu tetap adalah kebenaran adalah suatu fakta yang tidak dapat diubah (meskipun saya tidak mempercayainya).

Adalah suatu kebohongan dari dunia ini bahwa segala sesuatu yang kita percaya dan kita anggap benar semata-mata adalah kepercayaan serta pandangan subyektif yang tidak ada dasar obyektivitasnya sama sekali. Ketidak-percayaan terhadap pencarian kebenaran yang bersifat obyektif ini,
[6] atau sederhananya: “kebenaran yang sejati”, dengan menggantikannya dengan sikap “ah, itu kan selera kamu, itu kan pandangan subyektif kamu belaka” adalah suatu penghinaan terhadap Allah Roh Kudus yang dijanjikan oleh Yesus Kristus sebagai yang “akan memimpin kamu dalam seluruh kebenaran” (Yoh 16:13). Kita menganggap Roh Kudus tidak cukup berkuasa untuk memimpin kita ke dalam kebenaran yang sejati seperti dijanjikan Yesus. This is a very serious sin! Dan yang lebih kacau adalah: dunia menuduh bahwa orang yang masih mempertahankan iman yang sederhana bahwa ada kebenaran transendental yang terlepas dari selera subyektif kita, karena itu diturunkan dari atas, dari Bapa segala terang, yang padaNya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran (Yak 1:17), tidak ada kepalsuan di dalamNya, orang yang masih percaya seperti itu adalah orang-orang yang tidak jujur dan sedang berbohong!

Kalau boleh sedikit saya sharing dari perjalanan hidup saya pribadi, ada saat-saat yang menyakitkan dalam kehidupan saya di mana saya harus belajar melepaskan selera saya yang tidak kudus dan menggantikannya dengan yang lebih baik yang Tuhan sediakan. Ada musik-musik tertentu – mungkin terlalu general mengatakan musik-musik tertentu – katakanlah lagu-lagu tertentu, yang tadinya saya sukai dan gemari berdasarkan selera pribadi saya, sekarang saya menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna dan tidak membangun, bukannya tidak boleh (I Kor 10:23), karena pandangan hidup kebebasan Kristen bukan persoalan boleh – tidak boleh, melainkan bahwa di dalam kebebasan saya sebagai orang percaya, saya tidak memerlukan hal itu lagi, ada hal yang jauh lebih indah, berharga dan nikmat yang Tuhan sediakan bagi saya. Di sisi yang lain, ada hal-hal yang tadinya saya sangat tidak berselera untuk melakukannya, namun karena saya mengetahui bahwa itu adalah perintah Tuhan, saya belajar untuk menyangkal diri dan mengubah selera saya yang tidak selalu benar dan kudus.

Ah, sudah tiga halaman lebih saya menulis, hari ini sampai di sini dulu. Hopefully, next time masih bisa sharing lagi. Kiranya Tuhan sumber segala berkat mengaruniakan kepada kita sekalian hidup dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10).
[1] Sebenarnya pandangan yang hanya menekankan the ultimate goal dalam disiplin ilmu disebut teleological ethics. Pandangan utilitarianisme sangat dekat dengan konsep seperti ini. Kecenderungan konsep demikian adalah: yang penting tujuannya baik, ada manfaat dan hasil yang terlihat, caranya, jalannya, sarananya, whatever it is, doesn’t matter. Pandangan etika seperti ini bersifat reduktif dan karena itu kurang komprehensif dan integratif.
[2] Kembali di sini kita melihat bahwa baik teleological ethics, deontological ethics (it is the right thing to do) maupun situation ethics (yang menekankan motivasi kasih) memiliki kelemahan serta kesempitannya masing-masing.
[3] Orang suka mengatakan tentang hal ini “Jam rusak pun dalam satu hari paling sedikit cocok dua kali”.
[4] Kita dapat memberi analogi di sini yaitu teologi. Teologi pun merupakan hasil karya manusia yang berdosa yang berusaha untuk taat serta merefleksikan Firman Tuhan dalam kehidupan yang sementara ini. Tidak ada teologi yang sempurna, yang dapat dikatakan infallible, setara dengan Alkitab. Namun ini tidak berarti bahwa semua teologia pasti sama dan semuanya relativ adanya. Ada teologi dengan tingkat kerusakan minor, ada teologia dengan tingkat kerusakan sangat parah, ada pula teologi yang – kita sungguh dibuat sangat bingung – mengapa hal seperti itu masih bisa disebut teologi!
[5] Indeed, banyak pemikir postmodernist sekuler yang menganut pandangan seperti ini (saya mengatakan sekuler karena tidak semua pemikir kontemporer menyembah ilah jamannya, masih ada sebagian pemikir yang mempertahankan iman yang sederhana kepada ajaran Alkitab sembari terus kritis menyikapi Zeitgeist yang ditawarkan oleh dunia ini).
[6] Maafkan keterbatasan bahasa saya, jika di sini terpaksa menggunakan kutub “subyektif-obyektif” yang sangat berbau Cartesian untuk menjelaskan tentang iman Kristen.

My conscience is captive to the Word of God. ... for to go against conscience is neither right nor safe (Luther at the Imperial Diet of Worms).