28 November 2008

Bagian 4

B. Pendidikan Sekolah dan Gereja
Pendidikan kedua yang harus diperhatikan adalah pendidikan sekolah dan gereja. Setelah keluarga mendidik anak-anak kecil, maka tugas kedua yang harus mendidik anak tersebut adalah sekolah dan gereja. Saya menggabungkan dua elemen ini, yaitu sekolah dan gereja, karena sekolah Kristen yang beres TIDAK bisa dilepaskan dari peran gereja di mana anak itu beribadah. Tetapi sayang, di era postmodern yang serba relatif, sekolah “Kristen” pun relatif dan tidak ada kaitannya dengan gereja, bahkan dengan Kekristenan secara teori maupun praktis. Akibatnya, satu sekolah “Kristen” di Surabaya bisa didukung oleh berbagai denominasi gereja, tetapi herannya tidak pernah mengajar anak dari kecil untuk menggumuli panggilan hidupnya di hadapan Tuhan. Sungguh ironis! Sudah saatnya sekolah-sekolah Kristen bertobat dari dosa-dosa mereka di zaman dahulu maupun sekarang. Sekolah Kristen dan gereja harus bersama-sama menggarap anak-anak didik Kristen dari kecil untuk memiliki hati seorang hamba yang taat kepada Allah sebagai Tuhannya. Itulah kedewasaan sejati yang Tuhan inginkan. Lalu, bagaimana mendidik kedewasaan kepada anak di lingkungan sekolah Kristen dan gereja? Prinsipnya sama seperti pendidikan yang dilakukan oleh orangtua, tetapi aplikasinya agak sedikit berbeda.
1. Mengajar dan Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
Tugas para pendidik Kristen yang terutama adalah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil kepada para anak didik mereka. Iman Kristen bukan hanya menjadi bidang yang harus diajar oleh guru agama Kristen, tetapi seharusnya diajar oleh semua guru bidang apa saja. Dengan kata lain, pendidik Kristen harus menguasai banyak bidang termasuk theologi dan iman Kristen. Nah, agar para pendidik Kristen menguasai bidang theologi, tentu, mereka harus belajar Alkitab dan theologi terlebih dahulu (meskipun tidak harus bergelar akademis di bidang theologi). Lalu, apa tujuan para pendidik Kristen menguasai theologi untuk mengajar para anak didik mereka tentang iman Kristen?
a) Mengarahkan arti dan panggilan hidup: memuliakan Tuhan
Tujuan pertama yaitu untuk mengarahkan para anak didik akan pentingnya arti dan panggilan hidup masing-masing pribadi yaitu memuliakan Tuhan. Ada dua hal: arti dan panggilan hidup. Belajarlah hai para pendidik Kristen untuk mengajar dan mendidik dari kecil bahwa arti hidup mereka TIDAK ditentukan oleh diri mereka sendiri, dll, tetapi oleh Tuhan Allah yang menciptakan mereka. Dari kecil, ajarkanlah konsep penciptaan kepada anak-anak, sehingga mereka dari kecil mengerti bahwa hidup mereka baru memiliki arti ketika mereka kembali kepada Pencipta mereka. Jika mereka dari kecil sudah mengerti hal ini, percayalah, ketika mereka dewasa, mereka tidak akan lagi kebingungan akan arah dan arti hidup mereka. Selain tentang konsep penciptaan, kita sebagai para pendidik Kristen perlu mengajar mereka tentang konsep dosa dan penebusan. Setelah Allah menciptakan manusia, manusia memberontak dan melawan-Nya, itulah dosa. Ajarkanlah bahwa dosa bukan sekadar membunuh, mencuri, dll, tetapi inti dosa adalah melawan ketetapan-Nya. Ajarkanlah pula bahwa sebagai pendidik Kristen pun jika kita melawan ketetapan-Nya, kita tetap berdosa. Ajarkan kepada mereka bahwa dosa itu tidak bisa diselesaikan oleh manusia siapa pun, kecuali oleh Tuhan Allah. Karena kasih-Nya, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. IA mati di salib demi menggantikan dosa-dosa kita. Tentu, ketika kita mengajar konsep dosa dan penebusan, kita tidak perlu memakai bahasa-bahasa tingkat theolog, tetapi kita bisa memakai bahasa-bahasa yang sederhana dan alat-alat peraga yang memadai supaya anak-anak dari kecil bisa mengerti. Berarti, di dalam sekolah Kristen, mandat penginjilan tidak bisa dilepaskan dari ilmu. Sekolah Kristen yang tidak lagi memberitakan Injil, patutkah sekolah itu disebut sekolah yang menyandang nama “Kristen”? Setelah mengajar dan mendidik konsep penciptaan, dosa, dan penebusan, kita sudah mulai menanamkan konsep dasar iman Kristen yang mengakibatkan anak dari kecil sudah tahu bahwa Allah mencipta mereka (bukan berdasarkan teori evolusi bahwa manusia ada dari monyet yang berevolusi), bahwa mereka berdosa dengan melawan ketetapan-Nya (bukan konsep bahwa manusia dilahirkan tanpa dosa), dan bahwa mereka sudah ditebus oleh Kristus (bukan konsep bahwa mereka bisa diselamatkan dengan sendirinya melalui jasa, dll).

Poin kedua yang harus kita mengerti selain arti hidup, yaitu tentang panggilan hidup. Setelah diajar dan dididik tentang arah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Pencipta, lalu diajar tentang dosa dan penebusan di dalam Kristus, anak-anak perlu diajar dan dididik juga tentang respons mereka akan apa yang sudah Allah perbuat bagi mereka yaitu panggilan hidup mereka dari Allah. Karena mereka telah dicipta dan ditebus oleh Kristus, maka sudah seharusnya para pendidik Kristen harus mengajar anak-anak didik mereka untuk HANYA menaati apa yang menjadi panggilan Allah bagi setiap pribadi mereka yang unik. Jangan pernah membiarkan mereka memiliki ambisi pribadi sendiri, tetapi ajarkan kepada mereka untuk menggumuli panggilan Allah bagi hidupnya sejak kecil melalui talenta yang Ia percayakan kepada masing-masing anak secara berbeda. Ini bukan sekadar teori, tetapi harus kita aplikasikan. Panggilan Allah ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang menyerahkan diri secara penuh waktu menjadi hamba Tuhan, tetapi juga bagi kita yang melayani Tuhan “di dunia luar.” Artinya, di dalam pekerjaan mana yang harus kita geluti pun, Tuhan memanggil setiap kita berbeda berdasarkan talenta yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing SECARA BERBEDA. Mandat kita hanya satu yaitu memuliakan Tuhan sesuai dengan talenta yang Tuhan percayakan kepada kita. Sebagai para pendidik Kristen, kita harus menyadarkan anak didik kita sejak kecil tentang talenta yang Tuhan berikan kepadanya untuk nantinya mereka perkembangkan.


b) Mengarahkan motivasi hidup
Selain arti dan panggilan hidup, para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi. Artinya, para pendidik Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi sebelum para anak didik mereka melakukan segala sesuatu. Ketika mereka mau bertindak sesuatu, mereka harus diajar bagaimana memiliki motivasi yang murni terlebih dahulu, sehingga ketika mereka bertindak, bukan kehendak mereka yang diutamakan, tetapi kehendak Tuhan. Di sini, perlu kepekaan rohani yang tinggi dari para pendidik Kristen. Sebelum mengajar anak-anak mereka, hendaklah para pendidik Kristen terlebih dahulu mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup. Setelah mereka mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup, barulah mereka layak membimbing para anak didik mereka. Anak didik yang dari kecil sudah diajar dan dididik untuk memiliki motivasi yang murni ketika melakukan segala sesuatu, maka anak didik itu pasti tumbuh dewasa dengan beriman, berkarakter, dan bermental dewasa pula, bukan hanya secara fisiknya dewasa. Adalah suatu kekonyolan jika ada pendidik Kristen yang tidak memiliki motivasi yang murni (misalnya, mereka mau menjadi guru, bukan karena panggilan menjadi guru, tetapi untuk mencari uang atau mencari pengalaman) berani mengajari para anak didik mereka untuk memiliki motivasi yang murni.




2. Membentuk Kemandirian
Setelah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil, para pendidik Kristen harus membentuk kemandirian para anak didik mereka. Ini adalah wujud kedewasaan eksternal yang diaplikasikan di dalam wilayah pendidikan Kristen dalam sekolah dan gereja. Membentuk kemandirian tidak berarti kita mengajar mereka individualis, tetapi mengajar dan mendidik para anak didik untuk hidup berdikari (sambil tetap bersosialisasi). Apa yang perlu diperhatikan untuk membentuk kemandirian tersebut?
a) Mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu
Setelah mengajar tentang arti, panggilan, dan motivasi hidup secara Kristiani, para pendidik Kristen harus mengajar hal-hal lain, misalnya: etika, moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu lain. Ini untuk membentuk keseimbangan antara pengertian iman dengan kehidupan sehari-hari sebagai wujud aplikasinya. Banyak pendidik “Kristen” yang melupakan aspek pengajaran iman dan hanya menekankan aspek pendidikan kognitif semata, akibatnya, sampai dewasa, anak-anak mereka tidak memiliki iman yang beres. Pendidikan kognitif (akademis) tanpa iman akan menciptakan para bajingan, penipu, dan teroris masa depan, karena tidak dibarengi dengan pengertian iman, etika, moralitas, dan karakter. Oleh karena itu, sudah seharusnya para pendidik Kristen mengajar iman Kristen terlebih dahulu kepada anak-anak mereka, baru setelah itu hal-hal lain, seperti: etika, moralitas, karakter, dll, sehingga struktur pikiran para anak didik Kristen dari kecil mulai terbentuk mulai dari takut akan Tuhan, lalu mulai menguasai banyak hal untuk memuliakan-Nya. Hal-hal itulah yang akan kita uraikan di sini.
(1) Mengajar etika dan moralitas
Setelah mengajar iman, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka dengan etika dan moralitas. Etika dan moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang berkaitan dengan nilai hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita adalah orang Timur. Alkitab sudah mengajar hal ini. Etika dan moralitas Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati. Sedangkan etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-duniawi. Yang saya maksud adalah jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab, kita ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti. Dengan kata lain, saya menggabungkan 2 macam etika dan moralitas: Alkitabiah dan duniawi. Etika Alkitabiah adalah wahyu khusus dari Allah (yang 100% benar), sedangkan etika duniawi adalah respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah (yang bisa benar dan bisa salah). Kepada anak didik yang masih kecil, para pendidik Kristen harus bijaksana mengajar etika dan moralitas dengan cara yang mudah dimengerti. Misalnya, mengajar mereka agar tidak berbohong, tidak mencuri, dll bukan dengan menakuti-nakuti mereka, tetapi dengan mendorong mereka melakukannya sebagai respons cinta mereka kepada Tuhan dan perintah-perintah-Nya. Ini yang membedakan etika Alkitabiah dengan etika duniawi. Kalau dunia mengajar anak dari kecil untuk tidak berbohong, tidak mencuri, dll sebagai suatu perintah yang menakutkan, tetapi etika Kristen yang Alkitabiah mengajarkan bahwa kita melakukan semuanya itu sebagai respons kita mengasihi-Nya dan firman/perintah-Nya (1Yoh. 5:3).

Lalu kepada para mahasiswa/i di kampus, para pendidik Kristen bisa meningkatkan kualitas dalam mendidik mereka agar memiliki etika. Saya baru mengikuti Seminar Pemuda: Etos Kerja Kristen dan Pengelolaan Finansial Keluarga di gereja saja (GRII Andhika, Surabaya) pada tanggal 24-25 November 2008 oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. dan Bp. Ricky Sudarsono, S.E., M.R.E., CFP (Ketua Jurusan IBM—International Business Management di sebuah universitas “Kristen” di Surabaya). Nah, pada hari pertama seminar, Bp. Ricky sebagai seorang dosen yang berpengalaman di universitas tersebut memaparkan bagaimana beliau memaparkan prinsip-prinsip etika Kristen sebelum beliau mengulas teori bisnis. Beliau menyadari bahwa hal ini bisa dianggap aneh di universitas “Kristen” yang sudah menjadi atheis praktis tersebut, tetapi beliau melakukannya dengan tujuan agar para mahasiswa memiliki etika di dalam berbisnis, sehingga tidak menjadi penipu-penipu cerdik lalu celakanya memakai label “Kristen.”

(2) Mengajar karakter
Setelah selesai mengajar etika dan moralitas, para pendidik Kristen harus mengajar karakter kepada para anak didik mereka. Karakter ini berbicara mengenai sifat, kepribadian, dll dari seorang manusia. Nah, masalahnya adalah manusia sering menyembunyikan karakter mereka, seolah-olah mereka itu baik, apalagi kalau di gereja. Karakter kita akan nampak jelas ketika kita berhadapan dengan kesulitan. Orang yang memiliki karakter dewasa ketika menghadapi kesulitan, ia tidak mudah mengomel/bersungut-sungut atau meminta orang lain memperhatikan dirinya, tetapi orang yang karakternya dewasa akan berusaha menahan dan menyangkal diri di dalam kesulitan itu, lalu berusaha mencari jalan keluarnya serta berharap kepada Tuhan. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk memiliki karakter Kristen yang dewasa, yaitu dengan:
Pertama, belajar menyangkal diri di dalam kesulitan. Ketika ada kesulitan menghimpit, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak membicarakannya kepada teman-temannya terlebih dahulu, melainkan harus menyangkal diri. Mereka harus diajar untuk memecahkan masalah itu sendiri, sambil mengajar mereka untuk berserah kepada Tuhan di dalam doa. Jika memang masalah itu tidak bisa diatasi oleh para anak didik tersebut, mereka boleh mensharekan kepada temannya agar temannya bisa membantu mencari jalan keluarnya.

Kedua, belajar memperhatikan orang lain. Di dalam kesulitan dan dalam segala hal, biasakan untuk tidak mencari perhatian dari orang lain, tetapi justru memberi perhatian kepada orang lain. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk tidak terus mencari perhatian dari temannya ketika mereka menghadapi masalah, tetapi justru ajari mereka untuk memperhatikan temannya yang mengalami masalah lebih berat dari dirinya. Hal ini mengajar mereka agar tidak egois.

Ketiga, belajar tidak memiliki kepribadian ganda. Setelah belajar memperhatikan orang lain, kita harus belajar juga untuk tidak berkepribadian ganda. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk tidak berkepribadian ganda atau munafik. Caranya adalah dengan memiliki ketulusan dan kasih. Kasih itu tidak berpura-pura/munafik/bertopeng (Rm. 12:9).

(3) Mengajar ilmu-ilmu
Setelah mengajar etika dan moralitas ditambah karakter, para pendidik Kristen baru mengajar para anak didik mereka tentang ilmu-ilmu. Saya meletakkannya di urutan terakhir, karena ilmu memang adalah urutan terakhir setelah pembentukan iman, etika, moralitas, dan karakter. Ilmu yang diajarkan oleh para pendidik Kristen ini pun harus dihakimi oleh iman dan etika Kristiani. Hal ini tidak berarti para pendidik Kristen hanya mengajar ilmu-ilmu yang cocok dengan iman Kristiani saja. Para pendidik Kristen harus mengajar semua ilmu, tetapi mereka harus jujur mengakui dan mengatakan kepada para anak didiknya tentang kesalahan suatu ilmu jika ilmu itu melawan iman Kristen. Mengatakan kesalahan itu pun harus dengan bahasa yang sederhana, supaya para anak didik dari kecil sudah mengerti mana yang benar dan mana yang salah, lalu menunjukkan ketidakberesan yang salah itu. Kalau anak didik kita sudah beranjak remaja, dewasa, bahkan sudah mahasiswa/i, sebagai para pendidik Kristen, kita dituntut untuk lebih kritis lagi mengajar dan menghakimi semua ilmu sesuai dengan kebenaran Alkitab. Kita dituntut untuk berani mengatakan ilmu tertentu itu salah sambil menunjukkan ketidaklogisan dan ketidakberesan cara berpikir ilmu tertentu yang salah itu.


b) Mengajar bijaksana
Setelah mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu, para pendidik Kristen dituntut untuk mengajar para anak didik mereka tentang kebijaksanaan. Kepandaian dan akhlak itu perlu dan penting, tetapi harus disertai dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen meliputi dua hal:
(1) Bijaksana dalam mengambil keputusan
Sejak kecil, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk bijaksana dalam mengambil keputusan. Bagaimana caranya? Tentu dengan mengajar mereka konsep-konsep sederhana tentang bijaksana, lalu mengajar dan mengaitkan konsep bijaksana itu dengan Allah sebagai Sumber Bijaksana. Setelah itu, baru, mereka dididik untuk bijaksana dalam mengambil keputusan menurut kehendak dan pimpinan-Nya. Apa yang dimaksud dengan bijaksana mengambil keputusan? Para pendidik Kristen harus mengajar kepada para anak didik bahwa bijaksana dalam mengambil keputusan itu adalah bijaksana dalam mengambil keputusan di saat tertentu bukan bertujuan untuk memikirkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan aspek dan orang lain. Dengan kata lain, bijaksana dalam mengambil keputusan menuntut kematangan rohani dan mementingkan kepentingan orang lain.

Kepada para anak didik yang lebih dewasa, seperti mahasiswa/i, para pendidik/dosen Kristen harus lebih menekankan bagaimana bijaksana dalam mengambil keputusan yang tepat di saat mendesak. Hal ini penting, mengingat usia mereka yang cukup dewasa dan menuju ke jenjang karier dan pernikahan. Keputusan tersebut diambil bukan berdasarkan hikmat manusia saja, tetapi terlebih berdasarkan hikmat Allah yang melampaui hikmat manusia.

(2) Bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll
Selain bijaksana dalam mengambil keputusan, para pendidik Kristen juga harus mengajar para anak didik tentang bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll. Sebelum kita mengajar mereka untuk bijaksana mengelola waktu, keuangan, dll, terlebih dahulu kita mengajar mereka tentang konsep nilai. Ajarkanlah kepada mereka bahwa sesuatu memiliki nilai dan nilai itu ditentukan oleh Kebenaran Allah. Jika nilai sesuatu itu tinggi, belajarlah mengelola waktu dan keuangan demi mengejar nilai tersebut, sebaliknya jika nilai sesuatu itu rendah, tidak usah terlalu meributkan sesuatu tersebut. Setelah mengajar mereka tentang konsep nilai, maka ajarkan mereka bahwa waktu itu anugerah Allah bagi kita yang harus dipertanggungjawabkan. Lalu, ajarkanlah kepada mereka bagaimana mengatur waktu secara tepat dan menomersatukan hubungan pribadi dengan Allah sebagai aktivitas terpenting di dalam waktunya. Dari sini, kita melatih dan mendidik anak dari kecil untuk menTuhankan yang patut diperTuhankan di dalam hidup dan waktu yang dianugerahkan-Nya. Selain waktu, uang pun adalah anugerah Allah yang diberikan kepada kita untuk dipertanggungjawabkan. Sehingga, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik untuk bijak mengelola uang Tuhan tersebut untuk kemuliaan-Nya. Caranya, ajarkan mereka untuk pertama-tama memberikan uang persembahan kepada Tuhan sebagai hal yang terpenting, baru sesudah itu untuk keperluan lain, seperti: sekolah, jajan, dan bermain.

Kepada para mahasiswa/i, tugas para pendidik/dosen Kristen lebih berat lagi, yaitu mendidik mereka untuk mempertanggungjawabkan uang dan waktu yang Tuhan berikan demi kemuliaan-Nya. Ini lebih tidak mudah, mengapa? Karena para mahasiswa/i yang sudah besar sulit diatur apalagi diarahkan untuk menomersatukan Tuhan. Bukan hanya sulit diatur, apalagi bagi para mahasiswa yang sudah/sedang berpacaran, Tuhan dijadikan ban serep, lalu pacar dijadikan hal terpenting, maka seorang mahasiswa bisa lebih rela mentraktir pacarnya hampir setiap hari di restoran mahal dan menyediakan waktunya untuk berkomunikasi dengan pacarnya daripada memberikan persepuluhan dan persembahan untuk pekerjaan Tuhan dan menyediakan waktu untuk saat teduh. Inilah tugas berat dari seorang pendidik Kristen yang harus mengajar para mahasiswa/i untuk bijaksana dalam mengelola waktu dan keuangan. Caranya, sadarkan mereka apalagi mereka yang sedang berpacaran untuk lebih memikirkan masa depan ketimbang masa sekarang. Jika di masa sekarang, mereka tidak bisa mengelola waktu dan keuangan, maka bagaimana mungkin di masa depan mereka bisa bertahan apalagi nantinya menikah yang membutuhkan dana yang tidak murah. Oleh karena itu, ajarkan mereka untuk bijaksana dalam mengelola keuangan, salah satunya adalah hemat dan menabung, lalu bijaksana juga dalam mengelola waktu dengan tidak membuang-buang waktu untuk aktivitas yang tidak perlu.


c) Mengajar bertanggungjawab
Selain mengajar bijaksana, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didiknya untuk bertanggungjawab. Dari kecil, ajarkan kepada mereka untuk selalu mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka pikirkan, katakan, dan lakukan. Caranya, setelah seorang anak kecil selesai berkata sesuatu dan ada perkataannya yang salah, seorang guru Kristen yang beres harus segera menegur anak itu yang berkata salah. Jangan pernah sungkan atau malu menegur kesalahan anak, karena itu adalah hal penting. Jangan meniru pola pendidikan Montessori (berakar dari filsafat Tabula Rasa yang dicetuskan oleh J. J. Rouseau) yang mengajar bahwa setiap anak itu dilahirkan baik dan guru dibutuhkan untuk membentuk karakter anak itu lebih baik lagi. Itu bukan Kristen! Ketika dari kecil, guru Kristen tidak mau menegur kesalahan seorang anak, maka anak itu tidak tahu mana yang benar dan salah sampai anak itu bertumbuh dewasa. Jika demikian, yang patut disalahkan selain orangtuanya adalah gurunya juga. Para pendidik Kristen dituntut untuk tidak meniru format pendidikan dunia, karena Kekristenan mengajar hal yang berbeda total dari format pendidikan dunia khususnya dalam hal ini, di mana Tuhan Yesus mengajar, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat. 5:37) Yakobus mengutip kembali pengajaran Tuhan Yesus ini di dalam Yakobus 5:12.

Kepada para mahasiswa/i, para pendidik Kristen lebih berat lagi dalam tugasnya mengajar hal ini. Mengapa? Karena seorang anak didik yang sudah besar sulit diajar untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu, apalagi di era postmodern di mana cuek-isme dijunjung tinggi (pragmatis). Meskipun berat, para pendidik Kristen tetap harus mengajar para mahasiswa/i untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu, sehingga di kemudian hari, mereka bisa hidup lebih dewasa lagi. Bagaimana caranya? Ketika ada seorang mahasiswa/i yang etikanya tidak beres di sebuah kelas, dosen Kristen yang beres harus menegurnya. Sayangnya, hal ini jarang kita jumpai lagi, apalagi di sebuah kampus “Kristen.” Jangankan ada dosen Kristen yang berani menegur mahasiswanya, dosennya sendiri ada yang tidak beres. Saya sedih melihat sikap seorang dosen di kampus “Kristen” yang merokok sebelum kelas dimulai, padahal di kampus ini diberlakukan peraturan tidak boleh merokok. Untung saja, mungkin, tidak banyak mahasiswa yang melihat tindakan dosen ini.


d) Melatih anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus diajarkan oleh para pendidik Kristen adalah melatih para anak didik untuk hidup susah. Artinya ajarkan kepada mereka untuk memiliki mental yang lebih mandiri, yaitu berani menyangkal diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah. Contohnya, jika ada seorang anak didik yang bertanya tentang hal-hal yang sudah diajarkan sejak lama kepada gurunya, seorang guru Kristen tidak perlu terus menjawab pertanyaan tersebut. Ajari mereka untuk mencari jawaban sendiri misalnya dengan bertanya kepada teman atau memikirkan sendiri jawabannya.

Kepada para mahasiswa/i, para dosen Kristen harus melatih mereka untuk hidup susah juga. Tetapi tentu ini adalah tugas yang lebih sulit lagi, mengingat jika dosen Kristen ini mengajar di kampus swasta di mana banyak mahasiswanya naik mobil sendiri. Meskipun sulit, para dosen Kristen harus mengajar para mahasiswa/i untuk menyangkal diri dan mencari jalan keluar sendiri ketika ada masalah. Misalnya, latihlah mereka tentang logika dan bagaimana berpikir logis ketika ada masalah. Selain itu, latihlah mereka untuk mengerjakan pekerjaan yang sulit dan kotor, sehingga mereka terbiasa untuk hidup tidak terlalu enak-enakan. Anak yang sudah terbiasa mengerjakan sesuatu yang sulit dan kotor, anak itu akan lebih memiliki ketahanan yang kuat ketika nantinya harus mengalami kesusahan hidup yang lebih berat. Sayangnya, banyak mahasiswa yang tidak mampu menghadapi kesulitan hidup dikarenakan mereka dari kecil tidak diajar untuk berani susah. Bukan hanya mahasiswa, seorang hamba Tuhan pun sampai sekarang tidak berani susah, dalam arti jijik melihat sesuatu yang kotor, bahkan saya sendiri melihat di jok mobilnya ditutupi dengan alas surat kabar supaya tidak kotor. Waduh, kalau hal-hal sepele begini saja sudah seperti itu, bagaimana dia bisa berperang menghadapi kesulitan hidup?



3. Mendidik untuk Hidup Bersosialisasi
Setelah mendidik untuk mandiri, para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk hidup bersosialisasi. Ini penting, supaya para anak didik Kristen tidak hanya diajar untuk berani mandiri, tetapi juga untuk berani berbagi hidup dengan temannya dan orang lain. Bagaimana caranya?
a) Mengajar pentingnya peranan orang lain
Poin dasar untuk mengajar para anak didik untuk hidup bersosialisasi adalah mengajar mereka pentingnya peranan orang lain, terutama teman dan orangtua. Ajarkan mereka bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial. Ini bukan hanya belajar PPKn atau pelajaran Pancasila, tetapi ini mengarahkan mereka untuk belajar menerima teguran, kritikan, dll dari orang lain yang membangun ketika mereka bersalah. Dari situlah, seorang anak didik Kristen sejak kecil menerima realitas bahwa orang lain itu berperan di dalam hidupnya. Lalu, setelah dewasa, ia tidak akan hidup egois lagi. Tetapi, sayangnya, dunia postmodern sangat tidak menyukai kritikan yang membangun, karena bagi mereka, itu menghakimi. Alhasil, tidak usah heran, banyak pemuda/i dan orang dewasa/tua Kristen ketika ditegur dosanya, mereka akan marah-marah, apalagi orang yang sudah tua ketika ditegur, mereka akan balik memarahi kita yang menegurnya lalu mengatakan bahwa kita kurang ajar berani mengajari orang tua. Semuanya itu disebabkan karena tidak adanya pendidikan tentang bagaimana hidup bersosialisasi dengan orang lain.


b) Mengajar untuk memperhatikan orang lain
Setelah diajar mengenai pentingnya peranan orang lain, para anak didik Kristen harus diajar juga untuk memperhatikan mereka. Artinya, kita bukan memanfaatkan peranan orang lain itu demi keuntungan kita. Kita dituntut untuk memperhatikan orang lain. Para pendidik Kristen harus mengajar para anak didik mereka untuk segera tanggap ketika ada temannya yang sakit atau membutuhkan bantuan. Ketika anak dari kecil diajar demikian, maka saat dewasa pun, anak ini akan memperhatikan orang lain bahkan mereka yang lebih menderita.


c) Mengajar untuk berbagi berkat kepada orang lain
Wujud dari memperhatikan orang lain adalah dengan berbagi berkat kepada orang lain. Inilah tugas para pendidik Kristen di dalam mengajar para anak didik mereka. Didiklah mereka dari kecil untuk berbagi berkat kepada orang lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah mendidik anak kecil untuk berbagi bekal makanan yang mereka bawa dari rumah kepada temannya. Hal ini mendidik anak kecil agar hidupnya tidak egois. Nanti, setelah beranjak dewasa, yaitu pada waktu mahasiswa/i, coba didik mereka bukan hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi hidup, pengetahuan, dan pengalaman, terutama mengenai iman dan karakter kepada orang lain, sehingga orang lain diberkati melalui sharing mereka. Jika ada teman mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugasnya, maka para mahasiswa/i dituntut untuk membantu meringankan kesulitan itu, mungkin dengan mengajari temannya yang belum mengerti itu. Ketika kita berbagi berkat kepada orang lain, selain orang lain diberkati, kita pun dikuatkan. Semakin kita banyak membantu mengajari teman yang belum mengerti, selain teman kita yang diberkati, kita pun juga mendapat banyak berkat yaitu bertambahnya ilmu yang kita kuasai. Saya bukan sekadar berteori, saya sudah menjalankannya dan telah mendapat banyak berkat dengan banyak sharing kepada orang lain.






V. KESIMPULAN DAN TANTANGAN BAGI KITA

Dari sekian banyak penjelasan tentang iman Kristen dan kedewasaan, kita bisa menyimpulkan beberapa hal:
1. Jangan pernah mengukur tingkat kedewasaan seseorang hanya dari hal-hal fenomenal, tetapi ukurlah tingkat kedewasaan dari segi esensial dan fenomenal.
2. Kedewasaan bukan sesuatu yang instan, tetapi sebuah proses. Maka dibutuhkan suatu waktu agar seseorang bisa menjadi dewasa. Oleh karena itu, jangan pernah SEGERA memvonis seseorang sebagai orang yang tidak dewasa. Kita boleh menegur dia sebagai orang yang masih kekanak-kanakan, tetapi kita harus melakukan tindakan yang membangun, misalnya melatih dia untuk hidup dewasa (bukan hanya sekadar menghinanya seperti anak kecil).
3. Karena kedewasaan adalah suatu proses, maka untuk membentuk kedewasaan seseorang, diperlukan media pendidikan Kristiani yang sehat dan bertanggungjawab. Pendidikan Kristen ini dimulai dari pendidikan orangtua yang dibarengi dengan pendidikan sekolah dan gereja yang sejalan. Semua pendidikan Kristen ini harus berpusat kepada Allah (Theosentris), sehingga anak-anak yang dididik pun memiliki takut akan Allah di dalam seluruh hidupnya.

Setelah kita belajar tentang penjelasan yang panjang dan kesimpulan singkat di atas, lalu apa yang menjadi respons kita? Apa kita mempelajari hal-hal tersebut sebagai teori yang memenuhi otak kita saja? Jika itu yang kita lakukan, percuma saja Anda membaca penjelasan di atas. Tetapi jika kita digerakkan Roh Kudus untuk memiliki komitmen menjalankan apa yang telah dipelajari, maka sasaran dan tujuan saya menyusun pemaparan ini tidaklah sia-sia dan yang terpenting, nama Tuhan dipermuliakan. Amin. Soli Deo Gloria.

Bagian 3

2. Membentuk Kemandirian
Setelah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil, para orangtua Kristen harus membentuk kemandirian anak-anak mereka. Ini adalah wujud kedewasaan eksternal yang diaplikasikan di dalam wilayah pendidikan Kristen dalam keluarga. Membentuk kemandirian tidak berarti kita mengajar mereka individualis, tetapi mengajar dan mendidik anak-anak untuk hidup berdikari. Apa yang perlu diperhatikan untuk membentuk kemandirian tersebut?
a) Mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu
Setelah mengajar tentang arti, panggilan, dan motivasi hidup secara Kristiani, para orangtua Kristen harus mengajar hal-hal lain, misalnya: etika, moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu lain. Ini untuk membentuk keseimbangan antara pengertian iman dengan kehidupan sehari-hari sebagai wujud aplikasinya. Banyak orangtua “Kristen” yang melupakan aspek pengajaran iman dan hanya menekankan aspek pendidikan kognitif semata, akibatnya, sampai dewasa, anak-anak mereka tidak memiliki iman yang beres. Pendidikan kognitif (akademis) tanpa iman akan menciptakan para bajingan dan teroris masa depan, karena tidak dibarengi dengan pengertian iman, etika, moralitas, dan karakter. Oleh karena itu, sudah seharusnya para orangtua Kristen mengajar iman Kristen terlebih dahulu kepada anak-anak mereka, baru setelah itu hal-hal lain, seperti: etika, moralitas, karakter, dll, sehingga struktur pikiran anak-anak Kristen dari kecil mulai terbentuk mulai dari takut akan Tuhan, lalu mulai menguasai banyak hal untuk memuliakan-Nya. Hal-hal itulah yang akan kita uraikan di sini. Sesuatu hal yang sedang kita gumulkan di sini adalah mengajar: etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu.
(1) Mengajar etika dan moralitas
Setelah mengajar iman, para orangtua Kristen harus mengajar para anak mereka dengan etika dan moralitas. Etika dan moralitas berbicara mengenai apa yang baik dan tidak yang berkaitan dengan nilai hidup. Etika dan moralitas dipelajari bukan karena kita adalah orang Timur. Alkitab sudah mengajar hal ini. Etika dan moralitas Alkitabiah adalah etika dan moralitas yang theosentris, itulah yang kita taati. Sedangkan etika-etika dan moralitas duniawi yang MELAWAN Alkitab tidak boleh kita taati. Hal ini tidak berarti kita anti-duniawi. Yang saya maksud adalah jika ada etika-etika (dan moralitas) sekuler yang tidak melawan Alkitab, kita ikuti, tetapi yang melawan Alkitab, hal tersebut tidak boleh kita ikuti. Dengan kata lain, saya menggabungkan 2 macam etika dan moralitas: Alkitabiah dan duniawi. Etika Alkitabiah adalah wahyu khusus dari Allah (yang 100% benar), sedangkan etika duniawi adalah respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah (yang bisa benar dan bisa salah). Apa wujud kedua macam etika dan moralitas itu? Mari kita kaji dan coba bandingkan serta analisa.

Etika dan moralitas Alkitabiah mengajarkan untuk menghormati orangtua (Kel. 20:12). Hal yang mirip juga diajarkan oleh etika dunia Timur khususnya dari filsafat Tionghoa yang menganut kepercayaan Budha dan Kong Hu Cu. Tetapi bedanya, filsafat Tionghoa tentang menghormati orangtua itu diekstrimkan, sehingga menghormati orangtua tidak ada bedanya dengan menyembah orangtua. Tidak heran, ketika orangtua meninggal, anak-anak mereka (bahkan ada yang sudah “Kristen”) masih ikut-ikutan sembahyang di depan foto orangtua mereka, bahkan ada yang membeli roti, mobil-mobilan, dan hal-hal lain untuk diletakkan di depan foto orangtua mereka. Beberapa saudara dan rekan saya yang beragama Kristen Katolik yang saya tanyai, mereka katanya hanya menghormati orangtua ketika mereka ikut sembahyang di depan orangtua. Mereka berkata bahwa itu tradisi leluhur dan tidak ada hubungannya dengan agama atau penyembahan. Itu SALAH! Alkitab mengajar kita untuk menghormati orangtua, bukan untuk menyembah orangtua. Menghormati orangtua dilakukan ketika orangtua masih hidup, bukan ketika orangtua sudah meninggal. Ketika orangtua kita meninggal, lalu kita sembahyang, itu tandanya kita tidak lagi menghormati, tetapi sudah menyembah, karena yang kita hormati sudah meninggal. Dan lagi, Alkitab mengecam keras bahwa barangsiapa yang menyembah ilah-ilah lain di luar Allah, mereka akan dihukum Allah sampai keturunan yang ketiga dan keempat (Kel. 20:4-5).

Etika dan moralitas Alkitabiah yang lain mengajarkan agar kita tidak membunuh (Kel. 20:13). Sedangkan dalam etika dan moralitas ala Budha dan Kong Hu Cu yang mempengaruhi filsafat Tionghoa, hal ini diekstrimkan, lalu mengajar bahwa membunuh binatang pun tidak boleh. Padahal Alkitab mengajar bahwa kita tidak boleh membunuh manusia (bdk. Kej. 9:6), bukan tidak boleh membunuh binatang. Tidak ada satu ayat Alkitab pun yang mengajar kita untuk tidak boleh membunuh binatang. Mengapa? Karena Alkitab mengajar bahwa Allah menciptakan binatang untuk manusia. Hal ini tidak berarti manusia bisa menyiksa binatang. Pdt. Dr. Stephen Tong mengutip perkataan hamba Tuhan lain mengajar bahwa kita sebagai manusia boleh membunuh binatang untuk dimakan dagingnya, tetapi kita TIDAK boleh menyiksa binatang, misalnya kita memelintir dan menggunting kaki semut/nyamuk, dll. Berarti, tetap ada batas etikanya.

Wujud etika dan moralitas Alkitabiah lainnya dapat kita pelajari sendiri di dalam Dasa Titah (Kel. 20:1-17) dan Peraturan Emas yang Tuhan Yesus ajarkan di Matius 7:12.

(2) Mengajar karakter
Setelah selesai mengajar etika dan moralitas, para orangtua Kristen harus mengajar karakter kepada anak-anak mereka. Karakter ini berbicara mengenai sifat, kepribadian, dll dari seorang manusia. Nah, masalahnya adalah manusia sering menyembunyikan karakter mereka, seolah-olah mereka itu baik, apalagi kalau di gereja. Karakter kita akan nampak jelas ketika kita berhadapan dengan kesulitan. Orang yang memiliki karakter dewasa ketika menghadapi kesulitan, ia tidak mudah mengomel/bersungut-sungut atau meminta orang lain memperhatikan dirinya, tetapi orang yang karakternya dewasa akan berusaha menahan dan menyangkal diri di dalam kesulitan itu, lalu berusaha mencari jalan keluarnya serta berharap kepada Tuhan. Ini menjadi pelajaran berharga bagi saya pribadi yang sangat lemah dalam hal ini. Orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk memiliki karakter Kristen yang dewasa, yaitu dengan:
Pertama, belajar menyangkal diri di dalam kesulitan. Ketika ada kesulitan menghimpit, para orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk tidak membicarakannya kepada orang lain terlebih dahulu, melainkan harus menyangkal diri. Belajarlah untuk menanggung kesulitan itu sendiri, baru kalau memang kesulitan itu benar-benar tidak bisa kita atasi, kita boleh mensharekan kepada orang lain. Jika memang tetap tidak bisa, berdoalah kepada Tuhan dan percayalah Ia akan memberikan kekuatan ekstra kepada kita untuk menghadapi kesulitan itu.

Kedua, belajar memperhatikan orang lain. Di dalam kesulitan dan dalam segala hal, biasakan untuk tidak mencari perhatian dari orang lain, tetapi justru memberi perhatian kepada orang lain. Orang yang karakternya dewasa segera tanggap ketika mereka mengetahui orang lain sedang kesusahan, misalnya dengan memperhatikan mereka baik dari segi kesehatan, dana, dll. Sedangkan orang yang karakternya tidak dewasa terus-menerus mencari perhatian dari orang lain, misalnya dengan keantikan pribadinya, misalnya berbicara sendiri ketika khotbah disampaikan, dll.

Ketiga, belajar tidak memiliki kepribadian ganda. Setelah belajar memperhatikan orang lain, kita harus belajar juga untuk tidak berkepribadian ganda. Saya pribadi sangat ngeri melihat banyak orang Kristen di era postmodern ini. Mereka menampilkan kepribadian ganda. Ketika di gereja, muka mereka tampak alim dan “rohani” seperti malaikat kurang dua sayap (heheheJ), tetapi ketika di luar gereja, mereka lebih mirip seperti setan, licik, jahat, menipu, dll. Ketika membantu seseorang di gereja, orang Kristen bisa tampak sangat agresif, menolong sini sana, dll, tetapi ketika keluar dari gereja, orang Kristen yang sama membicarakan kejelekan orang yang ditolongnya. Bukan hanya itu saja, kepribadian ganda orang Kristen ditandai dengan kemunafikan mereka. Kepada orang lain, mereka mengajar bahwa kita tidak boleh meniru kejelekan orang lain, tetapi anehnya, ketika mereka sendiri terlambat datang beribadah di gereja, mereka berdalih bahwa jemaat lain juga ada yang telat. Nah, masa kekonsistenan pengajaran orang ini? Bukankah ini suatu kepribadian ganda atau kemunafikan seorang Kristen? Biarlah kita bertobat. Apa yang kita ajarkan dan katakan, hendaklah kita sendiri yang mempraktikannya sendiri.

(3) Mengajar ilmu-ilmu
Setelah mengajar etika dan moralitas ditambah karakter, barulah para orangtua Kristen mulai mengajar anak-anak mereka dengan ilmu. Saya meletakkan ilmu di bagian terakhir, karena itu adalah bagian yang paling tidak penting. Seperti yang telah saya paparkan di atas, seorang yang berilmu tetapi tidak beriman, tidak beretika, dan tidak berkarakter beres akan menghasilkan para bajingan, atheis, dan teroris masa depan. Oleh karena itulah, saya meletakkan mengajar ilmu di bagian terakhir. Mengajar ilmu dari kecil itu penting. Misalnya, mengajar 1+1=2, lalu mengajar nama benda-benda, binatang, dll. Setelah mengajar ilmu tersebut, jangan lupa untuk mengaitkannya dengan Allah sebagai Pencipta. Misalnya, ketika orangtua mengajar anak kecil bahwa ini jerapah, ini gajah, dll, lalu mereka harus segera mengaitkannya bahwa semua binatang ini diciptakan oleh Tuhan. Ilmu yang diintegrasikan dengan iman mengakibatkan anak dari kecil langsung mengerti aplikasi iman di dalam kehidupan sehari-hari khususnya di dalam bidang pengetahuan, sehingga ketika dewasa, mereka memiliki paradigma yang theosentris, yaitu takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Ams. 1:7), bukan mendewakan pengetahuan sebagai segala-galanya. Mengapa banyak orangtua “Kristen” dan siswa/mahasiswa “Kristen” saat ini menjadi atheis praktis? Karena mereka tidak pernah diajar oleh para orangtua mereka dahulu bahwa Tuhan itu sumber pengetahuan. Akibatnya, mereka pun tidak pernah takut akan Tuhan ketika berada di sekolah/universitas. Biarlah hal ini jangan sampai menimpa kita sebagai anak didik Kristen dan orangtua Kristen.


b) Mengajar bijaksana
Setelah mengajar etika dan moralitas, karakter, dan ilmu-ilmu, para orangtua Kristen dituntut untuk mengajar anak-anak mereka tentang kebijaksanaan. Kepandaian dan akhlak itu perlu dan penting, tetapi harus disertai dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang harus diajarkan oleh para orangtua Kristen meliputi dua hal:
(1) Bijaksana dalam mengambil keputusan
Sejak kecil, hendaklah orangtua Kristen mengajar anak-anak mereka untuk bijaksana dalam mengambil keputusan. Hal ini harus dibiasakan dari hal-hal sepele/kecil. Lalu, setelah itu, ketika anak sudah mulai remaja, ajarlah mereka untuk bijaksana memikirkan sesuatu dari perspektif jangka panjang dan terlebih penting kaitkan itu dengan rencana dan kehendak Allah di dalam hidup mereka. Ketika sesuatu dilihat dari perspektif kedaulatan Allah dan jangka panjang, maka kita bisa memiliki pandangan yang luas dalam menggenapkan rencana dan kehendak-Nya. Misalnya di dalam memilih pasangan hidup dan pekerjaan. Hal yang akan saya soroti di sini hanya untuk memilih pasangan hidup, sedangkan memilih pekerjaan sudah saya jelaskan di atas di bagian Kedewasaan Eksternal di subbagian Bijaksana.

Di dalam memilih pasangan hidup, Alkitab sudah menegaskan bahwa orang Kristen harus mencari pasangan yang seiman (2Kor. 6:14). Ini adalah prinsip terpenting. Bagaimana kita mengerti bahwa pasangan kita benar-benar seiman? Kita bisa melihatnya dari keseriusan pasangan kita dalam mengikut Kristus. Adakah ia bermain-main di dalam mengikut Kristus, misalnya sambil ke gereja, sambil percaya dukun, peramal, dan selamatan (slametan)? Itu jelas bukan Kristen dan dengan pengertian iman yang bertanggungjawab, ia TIDAK usah dijadikan pasangan hidup kita. Selain itu, seiman atau mengikut Kristus kedua ditandai dengan taatnya seseorang hanya kepada Allah. Ketaatan umat Tuhan kepada Allahnya ditandai dengan mengorbankan dan memberikan apa pun demi kehendak-Nya terlaksana, termasuk memberikan persepuluhan, dll. Tetapi ingatlah, memberi persepuluhan pun TIDAK didasari oleh motivasi agar kita diberkati berkali-kali lipat ganda, tetapi kita memberi persepuluhan tulus dari hati kita yang terdalam (2Kor. 9:6-8). Jika pasangan hidup kita yang katanya “Kristen” tetapi melarang kita memberi persepuluhan dengan alasan irit, tidak perlu, dll, berhentilah memilih dirinya sebagai pasangan hidup kita!

Selain beriman sungguh-sungguh kepada Kristus, kita tetap memperhatikan juga kesepadanan di dalam memilih pasangan hidup. Apa arti sepadan? Pdt. Sutjipto Subeno mengajar bahwa sepadan itu BUKAN sama, tetapi sepadan itu adalah dua hal yang berbeda bahkan bertolak belakang, namun saling melengkapi, seperti dua roda gigi yang saling masuk. Lebih lanjut, sepadan dalam arti apa? Apakah kalau si cewek suka tepat waktu (on time), maka si cowok harus suka telat? Apakah kalau si cewek perhatian, maka si cowok tidak perlu terlalu perhatian? Apakah kalau si cewek jujur, maka si cowok tidak jujur? Itu BUKAN kesepadanan! Perhatikan! Cowok/cewek yang suka telat, tidak terlalu memperhatikan pasangannya (bahkan berani membandingkan pacar/pasangannya dengan orang lain di depan orang lain itu, meskipun dengan alasan bergurau), apalagi yang tidak jujur, dll itu TIDAK mengandung unsur positif sedikitpun! Bahkan jika ada cowok/cewek seperti itu, dengan bijaksana dari Tuhan, kita TIDAK perlu memilih orang itu sebagai pasangan hidup kita apalagi menikah dengannya. Itu sangat berbahaya. Ingatlah, kesepadanan TIDAK berlaku untuk hal-hal negatif, tetapi untuk hal-hal positif yang saling melengkapi. Misalnya, kalau si cewek orangnya agak lambat bekerja, sedangkan si cowok lebih cepat bekerja. Dua-duanya memberikan sumbangsih, yaitu jika si cowok bekerja, si cewek sebagai pasangannya akan meneliti kembali pekerjaan si cowok supaya tidak terjadi kesalahan. Sebaliknya, jika ceweknya bekerja dan terlalu memperhatikan hal-hal detil yang tidak signifikan, maka si cowok akan cepat mengobrak-abrik si cewek supaya segera menyelesaikan pekerjaannya dan tidak terlalu memperhatikan hal-hal detil yang tidak signifikan itu.

Prinsip ketiga di dalam memilih pasangan hidup tentunya adalah mencintai kita apa adanya dan orangtua. Pasangan hidup yang beres adalah orang yang mencintai pasangannya dengan tulus, bukan dengan bermain-main. Ketulusan di dalam membina hubungan pacaran, tunangan, dan pernikahan itu sangat diperlukan di tengah zaman postmodern yang serba tidak tulus ini. Ketulusan itu ditandai dengan mencintai pasangan kita apa adanya bukan pada hal-hal fenomenal (superficial) seperti fisik, tetapi pada hal-hal esensial, yaitu iman, karakter, etika, dll. Keanehan yang terjadi yang saya perhatikan baru-baru ini adalah ada seorang cewek (X) yang sudah bertunangan dengan seorang cowok (Y). Cewek ini memiliki seorang rekan cewek juga (B) dan rekan ini suatu saat mengunjungi X dan Y ini. Tiba-tiba waktu mau pulang, B bercerita kepada saya bahwa Y dengan bergurau mengatakan kepada B bahwa B tambah gemuk saja, tidak seperti ceweknya (X), alhasil si X diam-diam saja. Mengapa diam? Cinta itu “buta,” tetapi tidak sadar, gurauan cowoknya itu pelan namun pasti akan menunjukkan keseriusan dan kasihan si cewek ini waktu menikah terus menerima perlakuan perbandingan dari si cowok yang menuntut si cewek.
Tanda ketulusan yang lain adalah memperhatikan pasangan kita, bukan malahan merusak pasangan kita. Saya memiliki contoh konkrit akan hal ini. Ini mengenai teman saya yang cewek yang saya ceritakan di atas yang memiliki seorang pacar. Dia berkata bahwa cowoknya itu orangnya sayang kepadanya. Bagaimana membuktikannya? Dia berkata bahwa cowoknya selalu membelikan makanan kecil kepadanya. Ketika saya mendengar itu, saya langsung geleng-geleng kepala. Itu namanya mencintai atau sayang? BUKAN! Itu merusak. Dia tidak tahu akan bahaya penyakit lemak, kolesterol, dll. Dia pikir bahwa memberi itu selalu diidentikkan dengan baik dan sayang. Puji Tuhan, Alkitab mengajar bahwa Tuhan TIDAK selalu memberi apa yang kita minta, karena apa yang kita minta berbeda dengan kehendak-Nya (Yes. 55:8).
Tanda ketulusan ketiga adalah tidak menuntut dan membelenggu pasangan kita. Ketulusan kita mencintai pasangan kita ditandai dengan TIDAK menuntut apalagi membelenggu pasangan kita seolah-olah pasangan kita itu seperti maling/pencuri yang perlu diburu setiap waktu. Pdt. Sutjipto Subeno pernah berujar bahwa Christian marriage is not to get something, but to give something to another (pernikahan Kristen bukan untuk mendapat sesuatu, tetapi untuk memberi sesuatu kepada pasangan kita). Lagi-lagi, realitas yang saya pakai adalah teman saya yang cewek yang saya ceritakan di atas. Dia menceritakan bahwa cowoknya itu over-protective, bahkan cowoknya sempat meminta kepadanya alamat e-mail dan Yahoo Messenger (YM) untuk mengecek dengan siapa saja ceweknya chat. Spontan saja, saya agak tertawa melihat tingkah kekanak-kanakan cowok ini. Dan anehnya, si cewek ini sebelumnya berkata bahwa dia memilih cowok bukan karena tampangnya, tetapi karakternya. Saya berpikir, dari sisi sebelah mana karakter cowok ini baik? Hehehe. Untungnya, kata teman saya ini, cowoknya berubah, tetapi berubahnya berapa lama itu yang saya tidak tahu?
Tanda ketulusan terakhir adalah belajar bersama-sama tentang kelebihan masing-masing pasangan. Jika Pdt. Sutjipto tadi mengatakan bahwa pernikahan itu bukan mendapat sesuatu, tetapi memberi sesuatu, maka saya menambahkan bahwa di dalam masa pacaran, tunangan, dan pernikahan, masing-masing pasangan perlu belajar satu sama lain. Artinya, jika si cowok memiliki iman dan karakter yang baik, si cewek harus belajar darinya, begitu sebaliknya. Proses pembelajaran ini bukan untuk rebutan saling mendapat manfaat, tetapi sebagai sarana yang berguna juga bagi pertumbuhan masing-masing pasangan dan bagi pendidikan anak-anak mereka kelak. Jika masing-masing pasangan tidak mau belajar satu sama lain, melainkan hanya salah satunya saja yang memiliki kelebihan, misalnya dalam iman dan ketaatan, maka bagaimana mereka bisa mendidik anak dengan beres? Misalnya, si cowok/suami taat dan cinta Tuhan: rajin memberi persepuluhan, suka membaca Alkitab, berdoa, memberitakan Injil, dan dari segi karakter juga baik, sedangkan si cewek/istri katanya “Kristen”, tetapi mengajari suami untuk tidak usah memberi persepuluhan, karakternya juga egois (mau menang sendiri), merasa diri berjasa (kalau tidak ada dirinya, dunia akan runtuh), dll, silahkan pikir sendiri, jika kedua orang ini menikah dan memiliki anak, bagaimana mereka bisa mendidik anak-anak mereka? Lalu, teladan yang mana yang harus diikuti oleh anak-anak mereka? Si ayah itu cinta Tuhan dan baik, sedangkan si ibu berjiwa materialis dan atheis praktis, tetapi dibungkus dengan nama “Kristen.”
Selain tulus mencintai kita, pasangan kita juga harus mencintai orangtua kita. Adalah suatu kekonyolan jika pasangan kita hanya mencintai kita dan bukan orangtua kita. Ada contoh fakta dari sebuah keluarga di mana istri menelantarkan ibu suaminya (ibu mertuanya) yang sudah tua dan sakit-sakitan, lalu akibatnya si ibu ini akhirnya meninggal karena pada waktu sakit, si ibu ini dipaksa bekerja oleh istri (menantu) ini. Sungguh tragis. Biarlah Roh Kudus memimpin kita memiliki kebijaksanaan khususnya dalam memilih pasangan hidup dan pekerjaan dari perspektif kedaulatan Allah, bukan dari perspektif keinginan manusia sekuler.

(2) Bijaksana dalam mengelola: waktu, keuangan, dll
Bijaksana bukan hanya dalam mengambil keputusan, tetapi juga dalam mengelola: waktu, keuangan, dll. Mengapa banyak orang Kristen hari-hari ini hidupnya kacau? Karena banyak orangtua Kristen kurang mendidik pentingnya pengelolaan waktu, keuangan, dll. Banyak orangtua Kristen membiarkan anak-anaknya terlalu banyak memakai waktu untuk hal-hal yang tidak penting, misalnya jalan-jalan ke mal. Jalan-jalan ke mal itu tidak salah, karena itu suatu refreshing, tetapi hal tersebut tidak boleh kita lakukan hampir setiap hari. Ketika kita hampir setiap hari jalan-jalan ke mal, itu membuang waktu, apalagi kalau kita jalan-jalan ke mal Sabtu malam sampai larut malam, lalu besok Minggunya kita tidak bisa pergi ke gereja karena kecapekan. Hal-hal tersebut harus kita kurangi. Belajarlah mengelola waktu kita dengan memilah-milah aktivitas yang terpenting dengan yang tidak penting. Untuk aktivitas yang penting bahkan terpenting, sediakanlah waktu yang paling banyak, sedangkan untuk aktivitas yang kurang atau bahkan tidak penting, luangkan waktu sedikit. Misalnya, waktu ke gereja, saat teduh, berdoa, dll, sediakanlah waktu yang paling banyak, sedangkan untuk pergi ke mal, dll, luangkan waktu sedikit. Itulah wujud kedewasaan Kristiani yang sehat yang harus diajarkan oleh para orangtua Kristen kepada anak-anak mereka sejak kecil.

Kedua, banyak orangtua Kristen juga membiarkan anak-anak mereka menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak penting, terutama banyak anak cewek yang suka membeli baju yang mahal. Mereka memperhatikan dandanan luar (fenomenal). Hal ini tidak berarti para cewek tidak boleh tampil cantik, lalu tidak boleh membeli baju. TIDAK. Mereka boleh membeli baju, tetapi usahakan jangan terlalu sering dan jangan membeli baju yang mahal. Sesuaikan budget kemampuan kita dengan daya beli kita. Orangtua Kristen harus mengajari anak-anak mereka akan hal ini, yaitu bagaimana menyesuaikan kemampuan finansial mereka dengan daya beli mereka, sehingga tidak terjadi pemborosan yang berlebihan. Sebelum mengajari anak-anak, hendaklah para orangtua Kristen pun harus memberi teladan terlebih dahulu. Biarlah para orangtua Kristen juga bijaksana dalam mengelola keuangan mereka, sehingga tidak boros. Hal ini juga berlaku di dalam memberi persepuluhan. Orang Kristen yang didorong oleh cinta kasih Tuhan harus memberi persepuluhan sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya. Tuhan tidak melihat jumlah persepuluhan yang kita berikan, karena Ia lebih melihat hati kita. Sehingga kita pun tetap harus menyesuaikan kemampuan kita dengan persepuluhan yang kita berikan. Dengan alasan ini, TIDAK berarti kita memberi persepuluhan sedikit saja, karena yang terpenting Tuhan melihat hati. TIDAK, ini pun salah. Yang benar adalah berikan persepuluhan sesuai dorongan Roh Kudus di dalam hati kita dan kemampuan yang kita miliki. Selanjutnya, kita tetap harus memperhatikan ke gereja seperti apa kita memberikan persepuluhan. Jika gereja itu tidak layak menjadi tempat kita memberi persepuluhan, karena banyak dikorupsi oleh “pendeta”nya, maka kita tidak perlu memberi persepuluhan di tempat tersebut. Ingatlah, persepuluhan adalah bukti iman kita yang tidak melihat kepentingan kita dahulu, tetapi kepentingan Tuhan.


c) Mengajar bertanggungjawab
Setelah mengajar anak untuk bijaksana, para orangtua Kristen harus mengajar mereka untuk bertanggungjawab. Bertanggungjawab ini berarti bertanggungjawab atas: segala sesuatu dan segala sesuatu yang mereka telah putuskan.
Pertama, bertanggungjawab atas segala sesuatu. Di titik pertama, para orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka dari kecil untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah mereka perbuat atau katakan. Misalnya, ketika seorang anak kecil tersandung ketika berjalan, biasanya orangtua langsung menyalahkan kursinya yang membuat anaknya tersandung. Itu pendidikan yang salah. Jika ini dilakukan, maka anak dari kecil sudah diajar bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi orang lain yang salah. Akhirnya, ketika mereka beranjak remaja, pemuda, bahkan dewasa, mereka akan membangun semangat mencintai diri secara berlebihan dan menganggap diri lebih hebat, pandai, bijak, dll dari orang lain. Jangan salah, orang-orang ini akan sangat sulit ditegur kesalahannya, apalagi disuruh bertobat.
Di sisi lain, pendidikan seperti ini mengakibatkan anak yang bersalah akan cuek seumur hidupnya akan apa yang mereka lakukan dan katakan. Jika mereka salah, mereka tidak pernah benar-benar memperhatikan kesalahannya, karena dari kecil, mereka sudah dibiarkan tidak bersalah. Akibatnya, ketika sudah beranjak remaja, pemuda, bahkan dewasa, mereka akan susah diajar untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka lakukan dan katakan. Sudah terlalu banyak realitas yang terjadi sebagai contoh praktis akan konsep ini. Ada seorang dewasa “Kristen” kalau melakukan sesuatu selalu tidak mau bertanggungjawab. Contoh sederhana, ketika dia meminjam atau melihat-lihat barang milik orang lain, dia tidak pernah mengembalikannya di tempat asalnya, melainkan dia menaruhnya sembarangan, sehingga pemilik barang tersebut kebingungan mencarinya. Lalu, ketika pemilik barang ini menanyakan kepada orang ini di mana barang yang dipinjamnya sebentar, orang ini mengajukan argumentasi “logis”, misalnya: “Sori, saya lupa menaruhnya di mana”, dll. Kalau memang lupa sekali, harap dimaklumi, tetapi realitas yang terjadi, kelupaannya ini terjadi hampir berkali-kali, apa ini lupa? Tentu tidak, ini namanya TIDAK BERTANGGUNGJAWAB! Selanjutnya, bukankah kita cukup sering melihat orang dewasa (bahkan “Kristen”) kalau mengatakan sesuatu selalu sembrono dan tidak bertanggungjawab, lalu ketika dirinya ditegur, dia akan memakai ribuan argumentasi “logis” bahkan “religius” untuk melarikan dari apa yang telah mereka katakan yang sebenarnya salah? Semua perkataannya dipelintir, supaya orang lain tidak menemukan kesalahan perkataannya. Bukan hanya orang “Kristen” biasa yang melakukan hal ini, ada juga “pendeta” yang katanya studi program doktoral di Amerika pun melakukan hal yang memalukan. Oleh karena itulah, jika anak kita dari kecil sudah salah, misalnya, tersandung, biasakan kita sebagai para orangtua Kristen mengingatkan dia untuk berhati-hati ketika jalan. Ketika para orangtua Kristen mendidik mereka seperti ini, percayalah, mereka akan memiliki kerendahan hati untuk terus-menerus diingatkan dan ditegur serta mereka memiliki tanggung jawab setelah mereka mengatakan atau melakukan sesuatu.

Kedua, bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah mereka putuskan. Hal ini berkait dengan poin b. Dengan kata lain, setelah mengajar mereka untuk bijaksana baik dalam mengambil keputusan dan mengelola: waktu, keuangan, dll, para orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk mempertanggungjawabkannya. Misalnya, setelah anak mereka bijaksana memilih pasangan hidup mereka, mereka harus mempertanggungjawabkan segala risikonya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengutip perkataan ibu beliau yang mengajar kepada anak-anaknya ketika sudah beranjak dewasa bahwa mereka memilih pasangan hidup: lihat sendiri, pilih sendiri, kalau baik: untung sendiri, kalau jahat/tidak baik: rugi sendiri, semua serba sendiri. Ini namanya bertanggungjawab. Jangan sampai setelah kita salah memilih pasangan hidup, kita mengomel, menyalahkan orangtua, apalagi menyalahkan Tuhan. Itu kesalahan kita sendiri yang harus kita pertanggungjawabkan. Oleh karena itulah, sebagai anak-anak Tuhan, kita harus memiliki hati dan pola pikir yang bijaksana yang melihat segala sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah ketika memilih pasangan hidup maupun pekerjaan. Jangan sekali-kali memakai pola pikir duniawi, karena itu bertentangan dengan pola pikir Kerajaan Sorga. Jika Anda masih bebal juga dan menggunakan pola pikir duniawi, silahkan tanggung sendiri hidup pernikahan dan masa depan Anda yang jauh dari kehendak dan rencana Allah.


d) Melatih anak untuk hidup susah
Hal terakhir yang harus diperhatikan adalah melatih anak untuk hidup susah. Setelah bertanggungjawab, para orangtua Kristen harus melatih anak-anak mereka untuk menerima risiko untuk hidup susah sesudahnya entah akibat salah pilih atau hal lain. Menerima risiko ini berarti anak-anak dilatih untuk belajar hidup susah. Buat apa? Bukankah zaman yang serba enak ini menuntut segala sesuatu harus enak? Bahkan khotbah-khotbah di banyak gereja kontemporer yang pop mengajarkan bahwa orang “Kristen” pasti kaya, sukses, sehat, dll? Lagu sekuler pun mengajarkan, “Buat apa susah? Susah itu tiada gunanya.” Konsep inilah yang sering dilakukan oleh banyak orangtua yang kaya kepada anak-anak mereka. Mereka memanjakan mereka dengan adanya supir yang mengantarkan mereka ke sekolah. Lalu, sejak kecil, mereka sudah menjadi bos kecil di rumah, mau memasang kaos kaki pun menyuruh 2 pembantu untuk memasangkannya. Bahkan Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa ketika anak kita masih kecil (bayi), kita memanjakan mereka, yaitu ketika mereka tidur, kita memasang pengumuman, “Baby sleeps here.” (=bayi tidur di sini) dengan tujuan agar orang lain tidak menganggu ketenangan tidur sang bayi. Lalu, kalau si bayi ini sudah beranjak dewasa, bayi ini akan kaget setengah mati ketika mendengar anjing “kentut.” Hehehe... Benarkah konsep bahwa susah itu tidak ada gunanya? TIDAK! Alkitab mengajarkan bahwa penderitaan, kesusahan, dll (BUKAN karena kesalahan kita) itu berguna untuk mendewasakan iman dan karakter kita. Orang yang tidak pernah mengalami kesusahan tidak akan mengerti hidup. Lalu, bagaimana kita bisa mengerti konsep kesusahan yang Alkitabiah?

Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. di dalam bukunya Mendapatkan-Mu dalam Kehilanganku mensharekan banyak berkat tentang hal ini. Daftar isi buku ini pun disusun dengan sangat sistematis, yaitu mulai dari pemahaman bahwa Allah itu Kasih, konsep kelegaan ada di mana, lalu mulai masuk ke inti masalah yaitu problematika kesusahan, kemudian kita diajar agar kita melihat seperti Allah melihat di dalam kesusahan itu ditambah dengan kesimpulan bahwa susah itu ada gunanya. Dari alur pikir di daftar isi buku ini, kita dipimpin untuk mengerti bahwa sebelum kita mengerti kesusahan hidup, kita harus mengerti konsep Allah itu Kasih dan sebagai Sumber Kelegaan kita. Setelah kita mengerti konsep tersebut, kita baru memiliki kesiapan hati untuk menghadapi kesusahan, lalu ditutup dengan pengertian bahwa di dalam kesusahan, kita harus melihat seperti Allah melihat sehingga kesusahan itu memiliki signifikansi penting bagi kedewasaan iman dan karakter kita.

Dalam melatih anak-anak pun, konsep ini harus ditanamkan. Dari kecil, tanamkanlah konsep kepada anak-anak bahwa Allah itu Kasih. Allah yang adalah Kasih itu TIDAK berarti Ia akan memberikan kita kelancaran, kesehatan, kesuksesan, dll. Allah yang adalah Kasih adalah Allah yang mengasihi, memelihara kita, bahkan menginginkan kita untuk tumbuh dewasa baik secara iman, karakter, dll. Agar kita dewasa, Ia tentu menginginkan kita menerima segala bentuk kesusahan agar iman dan karakter kita ditumbuhkan dan makin matang. Ketika mengalami kesusahan itulah, para orangtua Kristen harus mengarahkan anak-anaknya untuk memiliki pola pikir yang melihat segala sesuatu bukan dari perspektif diri manusia yang berdosa, tetapi dari perspektif kedaulatan Allah. Ketika kita melihat sesuatu dari perspektif kedaulatan Allah, maka kita akan menemukan signifikansi kesusahan yang kita alami di dalam kerangka kehendak-Nya bagi kita. Hal ini akan menuntun kita kepada kesimpulan terakhir bahwa kita akan bersyukur dan mengatakan, “Susah itu ada gunanya.” Lalu, bagaimana caranya orangtua Kristen melatih anak-anak untuk hidup susah?

Pertama, tidak memanjakan anak-anak. Biasakan dari kecil, anak-anak tidak dimanja dengan menyediakan semua fasilitas, termasuk pembantu untuk melayani mereka. Ajarkan kepada anak-anak dari kecil untuk memasang sepatu dan kaos kaki sendiri. Setelah waktu kecil mereka sudah bisa mandiri melakukan hal-hal tersebut, maka ketika dewasa, mereka akan juga mandiri melakukan hal-hal yang lebih kompleks dan tidak akan mengomel. Saya pribadi memiliki banyak kelemahan di dalam hal ini dan sedang ada di dalam proses untuk bisa menguasai banyak hal.

Kedua, tidak selalu menuruti kemauan anak-anak. Tidak memanjakan anak-anak diikuti dengan sikap tidak selalu menuruti kemauan anak-anak. Ketika anak-anak mau sesuatu, biasakan untuk tidak selalu menuruti kemauannya. Ini TIDAK berarti kita tidak menuruti sama sekali kemauan anak-anak. Yang dimaksud di sini adalah orangtua Kristen TIDAK SELALU menuruti kemauan anak-anak, bukan tidak menuruti sama sekali. Tidak selalu berarti jarang. Dengan kata lain, kita boleh mengabulkan permintaan anak-anak kita, misalnya membeli mainan yang harganya murah, tetapi jika anak-anak kita menginginkan mainan yang harganya mahal, misalnya hampir ratusan ribu bahkan jutaan, kita tidak perlu membelikannya, meskipun anak-anak kita menangis. Lalu, dengan standar apa kita menuruti atau tidak menuruti kemauan anak-anak kita? Standarnya tetap adalah kebenaran baik dari segi iman maupun pembentukan karakter anak-anak kita. Jika sesuatu itu membangun iman dan karakter anak-anak Anda serta disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak-anak, sebagai orangtua, kita harus menuruti kemauannya. Misalnya, jika anak-anak kita ingin pergi ke Sekolah Minggu, ya, turuti kemauannya. Itu adalah hal yang baik (meskipun kita menyadari bahwa banyak anak di zaman postmodern jarang memiliki keinginan ini, hehehe).

Ketiga, berani melepaskan anak-anak yang sudah besar untuk hidup mandiri. Tidak memanjakan anak-anak juga diikuti dengan sikap berani melepaskan anak-anak yang sudah besar untuk hidup mandiri (tidak banyak tergantung pada orangtua). Inilah kegagalan banyak orangtua Kristen termasuk saya sebagai akibatnya. Banyak orangtua Kristen apalagi yang memiliki anak tunggal merasa bahwa anaknya itu seperti malaikat, selalu dijaga supaya tidak lecet kakinya, tidak mengalami kecelakaan, dll. Hal tersebut tidak salah, tetapi juga tidak benar. Mengapa? Karena kasih sayang orangtua Kristen ini di satu sisi baik, tetapi di sisi lain berakibat buruk, yaitu anak yang sudah beranjak dewasa tidak memiliki kemandirian. Dari kecil, seorang anak tunggal sudah ditanamkan konsep bahwa pandangan orangtua lah yang benar, lalu ketika sudah besar dan dewasa, konsep ini tidak berubah bahkan tambah ekstrim, termasuk hal-hal sepele, misalnya baju, dll, orangtua sangat berpartisipasi aktif menentukan mana yang harus dipakai dan mana yang tidak dipakai. Akibatnya, kalau si anak tunggal yang sudah besar ini memilih sendiri baju yang ia sukai, orangtua (khususnya pihak cewek yang kebanyakan cerewet untuk hal-hal yang tidak perlu) akan marah-marah karena yang anaknya pilih tidak sesuai dengan selera ibunya. Lucu bukan? Yang memakai baju itu anaknya, tetapi yang tidak suka itu ibunya. Jadi, yang pakai baju itu sebenarnya siapa: anaknya atau ibunya?? Inilah akibat pendidikan kuno yang egois! Bukan hanya mengenai masalah baju, masalah lain seperti pergi sendiri pun menjadi masalah. Ada orangtua “Kristen” yang memiliki anak tunggal sangat over-protective terhadap anaknya yang sudah beranjak dewasa dengan tidak mengizinkannya pergi sendiri. Mau tahu alasannya? Sangat irasional! Katanya, takut, kalau di tengah jalan, ada orang jahat yang berbuat jahat kepada anaknya, sedangkan kalau pergi dengan orangtua kan aman. Hehehe. Ketika saya share konsep ini kepada teman-teman saya, teman-teman saya langsung tertawa, memangnya, kalau orang jahat itu jumlahnya 5-6 orang, apakah dengan hadirnya orangtua, orang jahat itu bisa kabur? Hehehe... Saya pribadi takut dengan konsep tidak bertanggungjawab ini, di mana konsep ini pelan namun pasti mengakibatkan si anak ketika berpacaran mutlak bersama orangtuanya atau pun jika tidak bersama orangtuanya, minimal orangtuanya akan seperti “polisi” menelpon anaknya hampir setiap menit dan jam untuk memantau keadaan anak tunggalnya ini. Dan percayalah, waktu anaknya menikah pun, orangtua ini akan terus mencampuri urusan rumah tangga anaknya yang terus dianggap kurang dewasa (padahal sebenarnya, orangtua ini pun belum tentu bisa dikategorikan sebagai orangtua yang dewasa, meskipun sudah menganggap diri sebagai “orangtua,” hehehe). Di sisi lain, jika anaknya mau pergi melayani di gereja harus didampingi orangtuanya ketika menyetir mobil. Akibatnya, orang-orang di gereja akan menyangka anaknya tidak bisa mandiri, padahal sebenarnya, orangtua inilah yang sangat amat kuatir dan tidak pernah mau mendewasakan anaknya yang sudah besar, karena anaknya itu anak tunggal.
Sudah saatnya para orangtua Kristen BERTOBAT dari kekeliruan konsep di atas. Belajarlah berani untuk melepaskan anak-anak yang sudah besar untuk mandiri. Anak yang sudah besar ini usianya mungkin di atas 18 tahun. Sebelum melepas anak-anak yang usianya di atas 18 tahun itu, sebagai orangtua Kristen, kita harus memantau tingkat pertumbuhan iman dan karakter anaknya. Jika sudah bisa dikategorikan cukup dewasa, baru boleh dilepas. Tetapi bagaimana jika belum bisa dikategorikan dewasa, apa belum boleh dilepas? Tidak juga. Sekali lagi, kedewasaan adalah sebuah proses, bukan karena ia belum dewasa, orangtua belum boleh melepas. Bagaimana kita bisa mengetahui anak kita dewasa jika kita tidak berani melepas mereka untuk hidup mandiri? Yang dipentingkan di sini adalah kedewasaan iman. Ketika seorang anak yang sudah dewasa imannya sudah beres dan kuat, maka kedewasaan iman ini mengakibatkan si anak memiliki kedewasaan karakter, dll di dalam proses. Dengan demikian, sebagai orangtua Kristen yang waras beranilah melepas anak-anak ini untuk hidup mandiri, supaya anak-anak mereka kelak ketika sudah beranjak dewasa mampu hidup mandiri. Jika orangtua terus mengatakan (menceramahi) anaknya bahwa ia masih kekanak-kanakan, tetapi TIDAK diikuti dengan langkah selanjutnya yaitu berani melepas anak itu untuk hidup mandiri, itu bukan solusi yang bertanggungjawab! Ini persis seperti orang yang suka mengkritik ajaran atau orang lain itu salah, tetapi tanpa ada inisiatif untuk mengoreksi ajaran atau orang itu dengan ajaran yang benar.



3. Mendidik untuk Hidup Bersosialisasi
Selain mendidik anak untuk hidup mandiri, para orangtua Kristen pun harus mendidik anak-anak mereka untuk hidup bersosialisasi. Seharusnya, budaya sosialisasi dan non-individualistik bukan hal yang sulit di dunia Timur, karena dunia Timur memang mendukung budaya tenggang rasa dan kerja sama, meskipun kadang ada yang mengekstrimkan sampai-sampai kerja sama pada waktu ujian, hehehe... Oleh karena itulah, orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka memiliki tenggang rasa dan kerja sama yang baik dengan motivasi yang murni, bukan untuk mencari keuntungan. Bagaimana orangtua Kristen mengajar anak-anak mereka untuk memiliki tenggang rasa dan kerja sama yang beres itu?
a) Mengajar pentingnya peranan orang lain
Pokok dasar sebelum kita mengajar anak-anak untuk memiliki tenggang rasa dan kerja sama, lebih baik kita mengajar anak-anak kita tentang pentingnya peranan orang lain. Apakah ini bertentangan dengan konsep bahwa orangtua Kristen harus mengajar anak-anak dari kecil untuk hidup mandiri? TIDAK! Ini bukan suatu kontradiksi, tetapi saling melengkapi. Ada kalanya kita harus mandiri di dalam hidup dan ada saatnya kita memerlukan orang lain untuk membantu kita, karena Tuhan menciptakan kita bukan sebagai makhluk individualis dan egois, tetapi sebagai makhluk sosial. Sehingga, kita harus mengerti bahwa peranan orang lain itu penting bagi kita, baik itu teman, pasangan hidup, orangtua, atau saudara. Seberapa signifikan peranan mereka? Mereka yang dekat dengan kita bisa mendorong, menguatkan, menegur, dan menghibur kita ketika kita lemah, salah, dan sedih. Tuhan memakai orang lain untuk menjadi berkat bagi kita dan tentunya kita pun dipakai-Nya untuk memberkati orang lain juga.


b) Mengajar untuk memperhatikan orang lain
Setelah anak-anak kita diajar tentang pentingnya peranan orang lain, mereka pun harus diajar untuk memperhatikan orang lain. Didiklah anak dari kecil bukan hanya menerima sesuatu dari orang lain, tetapi juga untuk memperhatikan orang lain juga. Ketika ada orang lain yang susah, kita dituntut untuk memberi perhatian kepada mereka, entah itu menolong dalam bentuk materi, tenaga, dll. Kalau ada jemaat yang sakit, biarlah kita juga memperhatikannya, misalnya dengan ikut menjenguk dan mendoakannya. Para orangtua Kristen bisa mulai mengajar anak-anaknya dari kecil misalnya dengan menyuruh anak kita yang bungsu untuk memperhatikan kakaknya yang mungkin sedang sakit demam dengan mengompresnya, menyuapkan makanan, atau yang lainnya.


c) Mengajar untuk berbagi berkat kepada orang lain
Wujud dari memperhatikan orang lain adalah dengan berbagi berkat kepada orang lain. Inilah tugas para orangtua Kristen di dalam mengajar anak-anaknya. Didiklah anak kita dari kecil untuk berbagi berkat kepada orang lain. Bagaimana caranya? Caranya adalah mendidik anak kecil untuk berbagi makanan yang orangtua berikan kepada temannya. Hal ini mendidik anak kecil agar hidupnya tidak egois. Nanti, setelah beranjak dewasa, coba didik mereka bukan hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi hidup dan pengalaman, terutama mengenai iman dan karakter kepada orang lain, sehingga orang lain diberkati melalui sharing kita. Ketika kita berbagi berkat kepada orang lain, selain orang lain diberkati, kita pun dikuatkan. Saya bukan sekadar berteori, saya sudah menjalankannya dan telah mendapat banyak berkat dengan banyak sharing kepada orang lain. Bagaimana dengan kita?

Bagian 2

2. Kedewasaan Eksternal (External Maturity)
Setelah kita mempelajari kedewasaan internal, maka kita akan mempelajari kedewasaan eksternal. Kedewasaan eksternal adalah kedewasaan yang lahir dari kematangan rohani (atau kedewasaan internal). Dengan kata lain, kedewasaan eksternal adalah buah nyata dari kedewasaan internal. Ketika kedewasaan internal tidak beres, maka kedewasaan eksternal tidak beres. Apakah wujud kedewasaan eksternal ini?
a) Mandiri
Ketika di dalam kedewasaan internal, kita merindukan mengonsumsi makanan keras dan peka membedakan yang baik daripada yang jahat, maka wujud kedewasaan eksternal kita adalah sikap mandiri. Mandiri bukan singkatan dari mandi sendiri (heheheJ), tetapi mandiri adalah sikap berdikari sendiri, berani melakukan segala sesuatunya secara sendiri. Mandiri tidak berarti tidak membutuhkan bantuan orang lain sama sekali, tetapi mandiri adalah sikap seorang yang dewasa dalam mengerjakan segala sesuatunya tanpa bantuan orang lain, entah itu teman, orangtua, dll (meskipun bantuan mereka TIDAK boleh kita abaikan sama sekali). Apa saja wujud dari kemandirian itu?
(1) Menguasai banyak hal
Kemandirian ditandai dengan keinginan seseorang menguasai banyak hal. Saya mengatakan “banyak hal” bukan “semua hal”, karena manusia sejenius apa pun tak akan pernah mungkin menguasai semua hal, yang ada hanyalah manusia bisa menguasai banyak hal. Dengan menguasai banyak hal, orang Kristen tersebut belajar banyak hal dan tentu memiliki mandat bagaimana menebus hal-hal yang dipelajarinya itu untuk kemuliaan Tuhan. Hal yang saya maksud di sini bisa mencakup ilmu, etika, kebudayaan, dll di luar hal-hal yang berhubungan dengan theologi. Terus terang, saya LEMAH dalam poin ini dan saya terus belajar dari hamba-hamba Tuhan, baik dari Pdt. Dr. Stephen Tong (hamba Tuhan yang bagi saya menguasai banyak bidang, a.l.: theologi, filsafat, seni, musik, arsitektur, biologi, pendidikan, politik, dan ekonomi) dan Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. (gembala sidang GRII Andhika, Surabaya yang mengkhususkan dirinya di dalam bidang apologetika dan mandat budaya yang menyoroti masalah-masalah: pendidikan, ekonomi, politik, dan isu-isu sosial lainnya). Selain itu, saya juga tetap belajar dari hamba-hamba Tuhan lain, seperti Pdt. Billy Kristanto, M.C.S., Ev. Ivan Kristiono, M.Div., Pdt. Joshua Lie, Ph.D. (Cand.), dll. Mereka semua memperkaya pengertian saya tentang integrasi iman Kristen terhadap semua bidang kehidupan.

(2) Bijaksana
Setelah menguasai banyak hal, kita tidak boleh menjadi sombong, melainkan apa yang telah kita pelajari dan kuasai itu menuntut kita untuk berbijaksana. Kita bukan hanya pintar mengerti banyak hal, tetapi kita dituntut untuk bijaksana. Secara implisit, Pdt. Sutjipto Subeno mendefinisikan bijaksana sebagai suatu tindakan yang diambil dengan tepat dengan pertimbangan yang matang di dalam kondisi yang tepat. Artinya, selain pintar, bijaksana juga membutuhkan hikmat tertinggi yaitu dari Tuhan. Bijaksana dalam hal apa saja?

Pertama, bijaksana dalam mengambil keputusan. Setelah mempelajari dan menguasai banyak hal, kita dituntut untuk bijaksana dalam mengambil keputusan. Misalnya, di dalam memilih pekerjaan, setelah kita mempelajari dan menguasai banyak hal berkenaan dengan profesi, maka kita dituntut untuk bijaksana dalam membuat dan mengambil keputusan yang benar. Keputusan ini harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan tentunya sebagai orang Kristen, harus dari hikmat dan pimpinan Roh Kudus. Pertimbangan yang matang di sini adalah menyangkut banyak aspek yang harus diperhatikan, misalnya: aspek iman (apakah pekerjaan ini tidak melawan kehendak Allah), aspek etika (apakah pekerjaan ini berdampak positif bagi masyarakat dan tidak merusak), dan aspek religius dan mandat budaya (sampai sejauh mana pekerjaan ini menjadi berkat bagi kita, yaitu dalam membentuk iman dan karakter kita serta mendewasakannya dan sebaliknya, kita bisa menjadi berkat bagi orang lain).

Kedua, bijaksana dalam mengelola segala sesuatu: keuangan, waktu, dll. Setelah kita menetapkan keputusan untuk memilih profesi tertentu atau hal lain, kita harus bijaksana mengelola segala sesuatu yang diperlukan bagi keputusan itu. Misalnya, kita harus bijaksana mengelola waktu yang kita pakai untuk disesuaikan dengan profesi kita. Begitu juga, kita harus bijaksana mengelola keuangan yang kita pakai setelah kita menekuni profesi tersebut, sehingga hidup kita tidak boros. Orang yang sudah bisa mengelola keuangan, waktu, dll baru bisa dikatakan dewasa. Ada banyak orang (“Kristen”) yang mengaku sudah dewasa, tetapi sayang tidak bisa mengatur waktunya. Untuk hal-hal yang penting, misalnya sebagai orang Kristen harus ke gereja, mereka dengan seenaknya sendiri telat ke gereja dengan segudang argumentasi, misalnya: telat bangun, hujan, dll, tetapi herannya kalau mereka pergi bekerja/ke kantor, mereka tidak pernah telat. Itu membuktikan bahwa mereka TIDAK bisa mengatur waktu yang berkaitan dengan nilai hidup. Bagi mereka, kerja lebih penting daripada menghadap Tuhan. Itukah ciri orang Kristen? Perlu dipertanyakan...

(3) Bertanggungjawab
Setelah kita selesai dengan tugas kita yaitu bijaksana dalam mengambil keputusan dan mengelola segala sesuatu, selanjutnya kita dituntut untuk bertanggungjawab. Bertanggungjawab ini meliputi dua hal, yaitu: bertanggungjawab atas segala sesuatu dan bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah kita putuskan.

Pertama, bertanggungjawab atas segala sesuatu. Di titik pertama, ciri kedewasaan Kristiani secara eksternal adalah kita bertanggungjawab atas segala sesuatu. Artinya, ketika kita mengatakan atau melakukan sesuatu, kita harus berani mempertanggungjawabkannya. Jangan pernah melarikan diri atau memelintir apa yang telah kita katakan atau lakukan kalau itu salah. Akuilah jika memang salah. Tetapi dunia postmodern hari-hari ini mengajarkan hal yang sebaliknya. Dunia ribut untuk mengajarkan apa saja tanpa memikirkan motivasi, cara, isi, dan tujuan apakah benar dari perspektif kedaulatan Allah atau tidak. Yang sibuk mereka pikirkan adalah keuntungan dan kesenangan pribadi. Bukan hanya orang dunia, orang “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” melakukan hal ini, bahkan bisa lebih mengerikan, karena semuanya diatasnamakan “Tuhan.” Akibatnya, dunia kita banyak memproduksi generasi yang tidak bertanggungjawab. Sebagai contoh praktis dan alasan mengapa mereka tidak mau bertanggungjawab ini, kita bisa mempelajarinya di poin IV yang dikaitkan dengan peranan pendidikan Kristen.

Kedua, bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah kita putuskan. Kalau kita mengambil keputusan yang benar, puji Tuhan, bagaimana jika kita mengambil keputusan yang salah ditambah tidak bisa mengelola keuangan, waktu, dll yang ada pada kita? Kita tetap harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. Ada banyak orang (“Kristen”) yang setelah mengambil keputusan dan mengelola segala sesuatu, lalu cuek dengan tindakannya, akibatnya, semua yang telah mereka kerjakan menjadi kacau, ujung-ujungnya mereka akhirnya menyalahkan Tuhan atau orang lain. Itu bukti ketidakdewasaan kita! Kita sebagai anak-anak Tuhan jangan meniru sikap demikian!
Setelah kita benar mengambil keputusan tentang profesi tertentu, selanjutnya kita dituntut lebih lanjut untuk bertanggungjawab atas pemikiran, perkataan, dan perbuatan kita di dalam menekuni profesi tersebut. Ingatlah, tanggung jawab itu dilakukan seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (bdk. Kol. 3:23). Sebelum mengatakan segala sesuatu, belajarlah berpikir terlebih dahulu akan apa yang hendak kita ucapkan, karena perkataan yang tanpa dipikir adalah suatu kesia-siaan dan itu akan dihakimi Tuhan kelak (Mat. 12:36-37). Begitu juga dengan apa yang kita pikir dan perbuat, semuanya itu harus kita pertanggungjawabkan. Belajarlah minta pimpinan Tuhan akan apa yang hendak kita pikirkan, katakan, dan perbuat, supaya nama Tuhan jangan dipermalukan ketika apa yang kita pikirkan, katakan, dan perbuat itu salah. Jangan sekali-kali lari dari tanggung jawab. Itu bukan tindakan seorang yang dewasa!

(4) Tahan menderita
Terakhir, setelah kita mengambil keputusan dalam memilih satu profesi dan ternyata pilihan kita itu salah, maka kita harus rela menerima risiko. Risiko itulah yang disebut penderitaan. Seorang yang dewasa ditandai dengan orang itu tahan menderita baik sebagai akibat kesalahan pilihan yang dia buat. Di sisi lain, mungkin sekali, keputusan yang kita buat itu benar, tetapi kita masih saja ditimpa penderitaan. Penderitaan itu memang diizinkan Tuhan. Kita sebagai anak-Nya harus tahan menderita di dalam segala situasi, baik karena kesalahan kita sendiri maupun ujian dari Tuhan. Kesemuanya itu turut mendewasakan iman dan karakter kita. Ketika kita menderita, belajarlah berfokus bukan kepada penderitaan yang kita alami, tetapi kepada Allah. Ketika kita terus berfokus kepada Allah di dalam penderitaan, kita akan mendapatkan kekuatan dari-Nya untuk melewati berbagai macam penderitaan. Belajarlah dari Paulus yang mengajarkan, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Flp. 4:13) maupun, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” (2Tim. 1:12) Di dalam penderitaan, percayalah, sebagai anak-anak-Nya, Tuhan pasti memberikan kekuatan iman, sehingga kita nantinya pasti meraih kemenangan demi kemenangan, karena Kristus yang telah mengalahkan iblis dan kemenangan-Nya itu memberikan kuasa kemenangan-Nya itu kepada anak-anak-Nya. Percayakah Anda akan hal ini? Biarlah kita mengalami sendiri kuasa kemenangan Kristus di dalam penderitaan.


b) Kemampuan Bersosialisasi
Kedewasaan eksternal bukan hanya ditandai dengan kemandirian. Budaya Barat yang menekankan kemandirian itu baik, tetapi sangat berbahaya, karena akan mengakibatkan individualisme dan cuek dengan kondisi sekitar. Saya pribadi menemukan realitas ada seorang jemaat awam yang sangat suka membaca buku-buku theologi, tetapi sayang jemaat ini kurang bersosialisasi. Kemandirian yang sehat harus diimbangi dengan kemampuan bersosialisasi. Kemampuan bersosialisasi itu ditandai dengan kemampuan seseorang membina persahabatan dengan sebanyak mungkin orang dan bagaimana berinteraksi dengan mereka. Di situlah kedewasaan seseorang mulai muncul. Apakah kemampuan bersosialisasi ini berkaitan dengan temperamen seseorang? Apakah seorang melankolis tidak bisa bersosialisasi? Tidak juga. Fakta membuktikan ada seorang teman saya satu gereja yang mengaku melankolis, tetapi dia juga memiliki banyak teman. Jadi, kemampuan bersosialisasi tidak ada hubungannya dengan temperamen seseorang. Belajarlah untuk terbuka dan bersosialisasi dengan orang lain. Mengapa? Dengan banyak bersosialisasi, kita semakin terbuka akan lingkungan sekitar. Kita akan semakin mendapat banyak ilmu, pengalaman hidup, dll yang bisa kita pelajari dan saring sendiri menurut firman Tuhan. Saya pribadi mengalami hal ini, di mana banyak berteman, kita mendapat banyak berkat yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya. Selain itu, kita juga mendapatkan banyak pengalaman hidup dari mereka. Tuhan bisa mengajar kita melalui kehadiran rekan-rekan kita.

Kemudian, dengan banyak bersosialisasi, kita juga dapat saling berinteraksi. Saling berinteraksi itu maksudnya saling menguatkan, mengingatkan/menegur, dan mengajar, sehingga masing-masing rekan/teman mendapat berkat dan bertumbuh dewasa baik secara iman dan karakter. Saya mengalami hal ini. Dengan memiliki banyak teman seiman, kami saling menguatkan, menegur, dan mengajar, sehingga masing-masing dari kami bertumbuh. Ketika saya salah, teman saya bisa mengingatkan dan menegur saya. Ketika saya sedang sedih dan ada masalah, teman saya bisa menguatkan. Sebaliknya, ketika teman saya sedang sedih, saya yang menghibur mereka. Saya memiliki suatu cerita, teman saya ini sedih karena beberapa barang berharganya hilang dan dicuri, di saat itulah, ketika ia curhat ke saya melalui chat di satu kantor, saya menguatkannya bahwa jangan sampai hal-hal tersebut mengurangi kasih kita kepada-Nya, karena Ia mengizinkan hal-hal tersebut terjadi demi pertumbuhan iman kita yang berpusat kepada Kristus. Ini semua saya alami ketika saya masih melayani Tuhan di Momentum Christian Literature. Saya mengalami sendiri apa bedanya melayani Tuhan bersama dengan rekan-rekan seiman dengan tidak bersama dengan rekan-rekan tersebut. Kehadiran teman-teman tersebut saling mengisi, menguatkan, menegur, dll, sehingga iman dan karakter makin diasah dan didewasakan. G. I. Jeffrey Siauw, M.Div. di dalam khotbahnya tentang komunitas di dalam Seminar Redemptive Spirituality Series mengajarkan bahwa pentingnya komunitas itu membukakan kepada kita realitas kita yang negatif dan teman kita dapat memberi terang kepada diri kita. Tanpa komunitas, kita tidak pernah merasa diri kita memiliki kelemahan/hal negatif. Tuhan memakai komunitas yang bertanggungjawab sebagai sarana mempertumbuhkan iman dan karakter kita. Sudahkah dan bersediakah kita menjalin sosialisasi dengan orang lain?






IV. PERANAN PENDIDIKAN KRISTEN DALAM KEDEWASAAN


Setelah kita mengerti dua macam prinsip kedewasaan yang Alkitab ajarkan, maka sekarang kita beralih kepada pembahasan bagaimana menumbuhkan kedewasaan itu di dalam diri seseorang, khususnya sejak kecil. Tidak ada jalan lain, pendidikan Kristen harus bersumbangsih membentuk kedewasaan seorang anak sejak kecil, agar kelak mereka menjadi orang dewasa secara menyeluruh, baik iman, karakter, pemikiran, sikap, perkataan, dan perbuatan. Pendidikan Kristen yang kita akan soroti adalah pendidikan orangtua dan pendidikan sekolah/gereja.
A. Pendidikan Orangtua
Pendidikan Kristen pertama yang seharusnya mengajar dan mendidik kedewasaan seorang anak sejak kecil adalah pendidikan orangtua, karena Tuhan mempercayakan anak-anak pada orangtua mereka untuk dididik dan diajar. Dari sini, kita mendapatkan pengertian bahwa orangtua adalah satu-satunya oknum yang harus bertanggungjawab kepada Tuhan atas apa yang mereka ajarkan pada anak-anak mereka. Jika yang mereka didik dan ajarkan sejak kecil itu salah, itu mungkin akan mempengaruhi kehidupan anak mereka waktu mereka dewasa. Tidak heran, banyak anak hasil didikan orangtua yang masih memegang kepercayaan dan filsafat dunia Timur susah bertobat dan menerima serta mengikut Kristus sungguh-sungguh waktu mereka dewasa. Sudah terlalu banyak contoh realitas akan hal ini. Semuanya dipengaruhi oleh pengajaran dan pendidikan dari orangtua yang keliru yang antroposentris (berpusat kepada manusia). Oleh karena itu, marilah kita melihat dua hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan orangtua kepada anak secara Kristiani.
1. Mengajar dan Mendidik Iman Kristen Sejak Kecil
Hal pertama yang harus diperhatikan orangtua Kristen ketika mengajar dan mendidik anak-anak mereka sejak kecil adalah mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil. Banyak orangtua “Kristen” di abad postmodern MALAS mendidik tentang iman Kristen kepada anak-anak mereka sejak kecil. Mengapa? Karena bagi mereka, tugas mengajar dan mendidik iman Kristen adalah tugas sekolah minggu/gereja atau sekolah Kristen. Ini jelas salah. Pengajaran dan pendidikan iman Kristen kepada anak kecil dimulai dari orangtua. Di Perjanjian Lama, Musa mengajar kita, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ul. 6:4-7) “Mengajarkannya berulang-ulang” dalam KJV diterjemahkan teach them diligently (ajarkanlah kepada mereka dengan tekun/rajin). Bahasa Ibrani yang dipakai adalah shânan bisa berarti to point (menunjuk, menekankan, memberikan nasihat secara paksa). Di sini, kita beroleh pengertian bahwa mengajarkan iman Kristen bukan mengajar sambil lalu atau sembarangan, tetapi mengajar dengan menekankannya berulang-ulang, bahkan bisa dibilang memberikan nasihat secara paksa. Mengapa harus secara paksa? Karena anak kita dari kecil harus mendapatkan pendidikan pertama (Pdt. Sutjipto Subeno menyebutnya dekrit pertama/first decree) yang solid terlebih dahulu, agar mereka tidak terpengaruh oleh budaya/pemikiran luar. Jika pada waktu kecil saja, anak-anak sudah dibiarkan oleh orangtuanya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, orangtua tersebut adalah orangtua GILA, karena mereka tidak mengerti bahwa anak kecil belum mampu memilih jalan hidup sendiri. Tidak heran, banyak orangtua “Kristen” di postmodern (banyak terpengaruh oleh filsafat dunia Timur yang materialis—mendewakan materi dan utilitarianis—menekankan asas manfaat) membuat titahnya sendiri dalam mengajar anak bertolak belakang dari Ulangan 6:4-7 di atas, mereka mengajarkan berulang-ulang kepada anak-anak mereka untuk mengerjakan segala sesuatu harus dilihat dari untung ruginya, sehingga: kalau mau melayani Tuhan pun harus dilihat untung ruginya, kalau banyak ruginya, tidak usah melayani Tuhan, lebih baik membantu usaha orangtua, lebih untung. Lalu, mereka juga mengajar anak-anak mereka untuk tidak memberikan persepuluhan, karena itu membuat rugi. Daripada memberikan persepuluhan, lebih baik membeli emas, saham, dll, lebih untung. Jelas, ini ciri banyak orangtua “Kristen” keturunan Tionghoa (matrenya kelihatan jelas), kecuali mereka yang sudah sungguh-sungguh menyerahkan hidup dan hatinya hanya untuk Tuhan saja, mereka pasti memiliki paradigma yang berbeda total (yaitu Theosentris = berpusat kepada Allah).

Saya harap orangtua yang sungguh-sungguh Kristen TIDAK mengikuti ide gila tersebut. Saya harap juga orangtua Kristen jangan sekadar mengerti secara teori bahwa itu salah, tetapi mereka HARUS mengaplikasikannya dengan bertanggungjawab. Orangtua yang tahu secara teori akan kebenaran ini sama dengan orangtua yang TIDAK dewasa, meskipun secara fenomenal, mereka dewasa. Camkanlah! Lalu, bagaimana mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil? Saya membagikan dua prinsip.
a) Mengarahkan arti dan panggilan hidup: memuliakan Tuhan
Prinsip pertama mengajar dan mendidik iman Kristen sejak kecil adalah mengarahkan mereka akan pentingnya arti dan panggilan hidup masing-masing pribadi yaitu memuliakan Tuhan. Ada dua hal: arti dan panggilan hidup. Belajarlah hai para orangtua Kristen untuk mengajar dan mendidik dari kecil (sejak balita) bahwa arti hidup mereka TIDAK ditentukan oleh orangtuanya atau saudara atau teman/rekan, dll, tetapi oleh Tuhan Allah yang menciptakan mereka. Dari kecil, ajarkanlah konsep penciptaan kepada anak-anak, sehingga mereka dari kecil mengerti bahwa hidup mereka baru memiliki arti ketika mereka kembali kepada Pencipta mereka. Jika mereka dari kecil sudah mengerti hal ini, percayalah, ketika mereka dewasa, mereka tidak akan lagi kebingungan akan arah dan arti hidup mereka. Dewasa ini, mengapa banyak orang dewasa kebingungan mencari jati diri? Karena mereka dari kecil tidak diajar akan arti hidup mereka di hadapan Allah. Selain tentang konsep penciptaan, kita sebagai orangtua Kristen perlu mengajar mereka tentang konsep dosa dan penebusan. Setelah Allah menciptakan manusia, manusia memberontak dan melawan-Nya, itulah dosa. Ajarkanlah bahwa dosa bukan sekadar membunuh, mencuri, dll, tetapi inti dosa adalah melawan ketetapan-Nya. Ajarkanlah pula bahwa sebagai orangtua Kristen pun jika kita melawan ketetapan-Nya, kita tetap berdosa. Jangan biarkan anak dari kecil menganggap orangtua mereka sempurna seperti Allah! Itu penghujatan dan penghinaan kepada Pribadi Allah. Kembali, ajarkan kepada mereka bahwa dosa itu tidak bisa diselesaikan oleh manusia siapa pun, kecuali oleh Tuhan Allah. Karena kasih-Nya, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya. IA mati di salib demi menggantikan dosa-dosa kita. Tentu, ketika kita mengajar konsep dosa dan penebusan, kita tidak perlu memakai bahasa-bahasa tingkat theolog, tetapi kita bisa memakai bahasa-bahasa yang sederhana dan alat-alat peraga yang memadai supaya anak-anak dari kecil bisa mengerti. Setelah mengajar dan mendidik konsep penciptaan, dosa, dan penebusan, kita sudah mulai menanamkan konsep dasar iman Kristen yang mengakibatkan anak dari kecil sudah tahu tentang siapa yang mencipta mereka, bahwa mereka berdosa dengan melawan ketetapan-Nya, dan bahwa mereka sudah ditebus oleh Kristus.

Poin kedua yang harus kita mengerti selain arti hidup, yaitu tentang panggilan hidup. Setelah diajar dan dididik tentang arah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Pencipta, lalu diajar tentang dosa dan penebusan di dalam Kristus, anak-anak perlu diajar dan dididik juga tentang respons mereka akan apa yang sudah Allah perbuat bagi mereka yaitu panggilan hidup mereka dari Allah. Karena mereka telah dicipta dan ditebus oleh Kristus, maka sudah seharusnya orangtua Kristen harus mengajar anak-anak mereka untuk HANYA menaati apa yang menjadi panggilan Allah bagi setiap pribadi mereka yang unik. Ini bukan sekadar teori, tetapi harus kita aplikasikan. Panggilan Allah ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang menyerahkan diri secara penuh waktu menjadi hamba Tuhan, tetapi juga bagi kita yang melayani Tuhan “di dunia luar.” Artinya, di dalam pekerjaan mana yang harus kita geluti pun, Tuhan memanggil setiap kita berbeda berdasarkan talenta yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing SECARA BERBEDA. Mandat kita hanya satu yaitu memuliakan Tuhan sesuai dengan talenta yang Tuhan percayakan kepada kita. JANGAN ada pemaksaan! Pemaksaan atau apalah namanya dari pihak orangtua sebenarnya mungkin menghina Allah yang telah memanggil setiap pribadi anak secara berbeda! Tuhan mungkin memakai orangtua sebagai sarana panggilan Allah bagi anak-anak, tetapi itu bukan hal mutlak! Hal ini jangan sekali-kali dimutlakkan! Memutlakkan cara ini berarti dosa, karena bagi orangtua, tidak ada sarana lain yang Allah pergunakan bagi anak-anak selain melalui orangtua, padahal Allah yang Mahadahsyat bisa memakai segala cara di luar orangtua!

Sayang, konsep ini tidak dimengerti oleh banyak orangtua “Kristen” abad postmodern apalagi banyak orangtua “Kristen” keturunan Tionghoa (yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Timur)! Saya adalah keturunan Tionghoa dan sudah melihat banyak realitas ini. Secara tidak sadar, mereka mengajar bahwa panggilan hidup anak-anak mereka ditentukan oleh diri mereka sendiri (yaitu orangtua). Jika di Roma 11:36, Paulus mengajar bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah, bagi Allah kemuliaan selama-lamanya, maka banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur mengajar bahwa segala sesuatu dari orangtua, oleh orangtua, dan untuk orangtua, bagi orangtualah, kemuliaan selama-lamanya. Mereka mungkin tidak sampai mengatakan hal itu secara eksplisit, karena “malu.” Tetapi secara implisit, saya pribadi telah menemukan fakta-fakta nyata akan hal ini. Karena konsep mereka yang mendewakan diri mereka sendiri sebagai orangtua yang tidak pernah salah (“infallibility and inerrancy” of the parents), maka anak-anak mereka pun diajar dan dididik untuk HANYA mengikuti apa yang orangtua ajarkan dan tidak usah mendengarkan perkataan siapa pun, entah dari teman, saudara, bahkan hamba Tuhan yang bertanggungjawab (bahkan yang paling ekstrim, Allah sendiri tidak perlu digubris). Alasan mereka cukup “logis”, yaitu karena HANYA orangtua sajalah yang mengerti anak-anaknya. Benarkah HANYA orangtua yang mengerti anak? Ada sedikit benarnya, tetapi tidak semua. Satu-satunya yang HANYA mengerti pribadi anak tentu Allah sebagai Pencipta mereka. Mengapa konsep ini dihilangkan oleh banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur? Karena bagi mereka, secara PRAKTIS, Allah sudah mati! Itulah atheis praktis. Secara fenomenal, mereka percaya kepada Allah, pergi ke gereja, bahkan suka menguliahi orang lain dengan iman Kristen, tetapi sayang secara praktis, mereka meniadakan Allah, karena bagi mereka, Allah hanya berdiam dan berkuasa di gereja, tidak di dunia luar. Jadi, hari Minggu, mereka ikut Tuhan, hari Senin s/d Sabtu, mereka ikut setan (meskipun di mulut berkata, “Tuhan”), nanti pas hari Minggu, balik lagi ikut Tuhan, setelah itu Senin s/d Sabtu, mereka memenuhi tuntutan setan lagi, begitu terus siklus hidup keseharian seorang atheis praktis. Sungguh mengerikan! Selain “HARUS” mengikuti apa yang orangtua ajarkan, anak-anak mereka pun dididik untuk mengikuti apa yang orangtua sudah gariskan bagi mereka. Jika di dalam theologi Reformed, kita mengenal istilah: ketetapan Allah (God’s decree), maka di dalam “theologi” atheis praktis ala banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur, mereka memperkenalkan istilah: ketetapan orangtua (the parents’ decrees)! Jika di dalam theologi Reformed, kita mengenal bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, maka banyak orangtua “Kristen” yang dipengaruhi oleh filsafat Timur pun memiliki konsep (secara implisit) bahwa orangtua telah menetapkan segala sesuatu dari pasangan hidup bahkan teman-teman bagi anak-anak mereka. Jika ada anak-anak mereka yang tidak menaati apa yang telah mereka tetapkan “dari semula”, maka mereka akan menganggap anak-anak mereka “durhaka atau tidak taat.” Padahal sering kali konsep-konsep yang mereka telah tetapkan “dari semula” itu belum tentu sesuai dengan ketetapan Allah, tetapi dengan bangganya mereka berani mengatakan dan menetapkan hal tersebut. Sungguh antik ya... Memang tidak ada salahnya jika ada orangtua yang menasihatkan anak-anaknya untuk memilih teman-teman dan pasangan hidupnya, tetapi JANGAN pernah MEMAKSA apalagi paksaan itu ditambahi unsur-unsur sekuler yang sebenarnya tidak sesuai dengan Alkitab.


b) Mengarahkan motivasi hidup
Selain arti dan panggilan hidup, orangtua Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi. Artinya, orangtua Kristen harus mengajar dan mendidik anak-anak mereka tentang motivasi sebelum anak-anak mereka melakukan segala sesuatu. Ketika mereka mau bertindak sesuatu, mereka harus diajar bagaimana memiliki motivasi yang murni terlebih dahulu, sehingga ketika mereka bertindak, bukan kehendak mereka yang diutamakan, tetapi kehendak Tuhan bagi orang lain. Di sini, perlu kepekaan rohani yang tinggi terlebih dari orangtua Kristen. Sebelum mengajar anak-anak mereka, hendaklah orangtua Kristen terlebih dahulu mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup. Setelah mereka mengintrospeksi diri tentang motivasi hidup, barulah mereka layak membimbing para anak mereka. Anak yang dari kecil sudah diajar dan dididik untuk memiliki motivasi yang murni ketika melakukan segala sesuatu, maka anak itu pasti tumbuh dewasa dengan beriman, berkarakter, dan bermental dewasa pula, bukan hanya secara fisiknya dewasa. Mengapa? Karena mereka sudah peka mengintrospeksi diri mereka. Kedewasaan salah satunya ditandai dengan kemampuan menguji diri (lih. pemaparan saya pada Kedewasaan Internal bagian Peka Membedakan yang Baik daripada yang Jahat pada subbagian Berlaku bagi diri). Adalah suatu kekonyolan jika orangtua Kristen belum memiliki motivasi yang murni sudah pintar mengajari anak-anak mereka.

Tetapi sayangnya, pendidikan semacam ini hampir tidak diajarkan oleh banyak orangtua Kristen. Apa sebab? Karena orangtua Kristen pun hampir tidak ada yang mau menguji motivasi mereka sebelum melakukan sesuatu. Akibatnya, banyak orangtua “Kristen” mengajar anak-anak mereka tidak usah memikirkan masalah motivasi, yang penting anak-anak mereka menyukainya. Kalau anak-anak mereka menyukainya, para orangtua “Kristen” sibuk menggenjot anak untuk mendapatkan apa yang anak-anak mereka inginkan. Akibatnya, cara-cara curang lah yang mereka pergunakan agar anak-anak mereka sukses sesuai dengan keinginan anak-anaknya tersebut. Di sisi lain, ada orangtua “Kristen” yang tidak memikirkan apa yang diinginkan anak-anak mereka, lalu mengambil alih semua kebebasan mereka untuk menggenapkan keinginan para orangtua, mulai dari memilih jurusan perkuliahan, pekerjaan, bahkan pasangan hidup. Anak-anak mereka seperti robot yang tidak memiliki keinginan dan motivasi murni lagi. Akibatnya, ketika mereka menikah kelak (di mana pasangan mereka pun ditetapkan oleh orangtua), mereka tidak akan pernah berbahagia dan tidak mampu mengajar anak-anak mereka untuk memiliki motivasi murni, karena pengalaman pahit yang mereka alami. Pada akhirnya, terciptalah suatu generasi yang cuek dengan motivasi, itulah dunia kita. Mereka masa bodoh apakah Tuhan dipermuliakan atau tidak, karena bagi mereka, Tuhan itu hanya berlaku di dalam kebaktian gereja dan tidak di dalam kehidupan sehari-hari. Inilah wujud dualisme di dalam pendidikan “Kristen” di dalam keluarga.