28 November 2008

Bagian 1

IMAN KRISTEN DAN KEDEWASAAN
(CHRISTIAN FAITH AND MATURITY)


oleh: Denny Teguh Sutandio




KATA PENGANTAR


“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."”
1Sam. 16:7b

Ketika Tuhan hendak memilih raja menggantikan Saul, maka Ia menyuruh nabi Samuel untuk mengurapi seorang raja baru. Ketika hendak mengurapi raja pengganti Saul itulah, Tuhan sendiri berfirman kepada Samuel agar ia tidak memilih raja untuk diurapi berdasarkan apa yang dilihat mata, mengapa? Karena Tuhan tidak melihat apa yang manusia lihat yaitu hal-hal fenomenal, tetapi Ia melihat hati manusia. Hati adalah sesuatu yang terdalam dari manusia yang sulit diuji, kecuali Tuhan yang menguji. Tetapi sayang, banyak manusia di zaman postmodern tidak menghiraukan lagi masalah hati, tetapi lebih menitikberatkan pada hal-hal fenomenal, misalnya sikap. Alhasil, tidak heran, banyak konsep, termasuk konsep kedewasaan, dibangun berdasarkan hal-hal fenomenal, tanpa melihat hal-hal esensial. Benarkah Alkitab mengajarkan bahwa kedewasaan hanya menyangkut segi fenomenal saja? Melalui makalah sederhana ini, penulis dengan hati-hati menguraikan poin-poin penting tentang kedewasaan ditinjau dari iman Kristen dan kaitannya dengan pendidikan Kristen dengan tujuan agar orang Kristen memiliki perspektif yang benar dan integratif tentang kedewasaan dan mengaplikasikannya di dalam hidup mereka.
Penulis sangat bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena anugerah-Nya melalui pimpinan Roh Kudus, penulis mampu menyelesaikan penyusunan makalah yang mulai disusun sejak 17 November 2008. Selain itu, penulis juga menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong yang telah banyak mengajar penulis tentang iman Kristen dan theologi yang sehat (Reformed). Rasa terima kasih juga dihaturkan kepada gembala sidang gereja di mana penulis beribadah (Gereja Reformed Injili Indonesia—GRII Andhika, Surabaya), Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div., yang telah banyak menginspirasi dan mengajar penulis bagaimana menjadi seorang yang dewasa. Tidak lupa terima kasih pula disampaikan kepada Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. yang telah banyak mengajar penulis untuk terus menguji motivasi. Kepada Pdt. Yohan Candawasa, S.Th., penulis menghaturkan terima kasih karena bukunya, “Mendapatkan-Mu dalam Kehilanganku” yang penulis baca telah banyak menginspirasi dan mengoreksi banyak kelemahan penulis. Kemudian, kepada G. I. Jeffrey Siauw, S.T., M.Div., penulis juga mengucapkan terima kasih atas khotbahnya di dalam Seminar Redemptive Spirituality Series pada tanggal 20 September 2008 di Surabaya tentang pentingnya komunitas Kristen. Dan terakhir, penulis juga berterima kasih kepada Bp. Ricky Sudarsono, S.E., M.R.E., CFP® sebagai salah satu pembicara di dalam Seminar Pemuda: Etos Kerja Kristen dan Pengelolaan Finansial Keluarga pada tanggal 24-25 November 2008 yang telah mencerahkan pikiran penulis di hari pertama tentang bagaimana menjalankan mandat budaya berkenaan dengan mendidik mahasiswa/i di sebuah kampus “Kristen” di Surabaya tentang etika bisnis Kristiani.
Pada akhirnya, melalui makalah singkat ini, biarlah nama Tuhan senantiasa dipermuliakan melalui paradigma kita di dalam mengerti kedewasaan dari sudut pandang kedaulatan Allah. Amin. Soli Deo Gloria.






I. PENDAHULUAN

“Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.”
Ibrani 5:14

Surat Ibrani 5:14 mengajarkan kepada kita bahwa makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa. Perlu diketahui, penerima surat Ibrani ini adalah orang Kristen Yahudi yang telah mendengar Injil dari para rasul, tetapi herannya meskipun mereka telah mendengar Injil Kristus, iman mereka tidak bertumbuh dewasa. Mengapa bisa demikian? Karena mereka lamban dalam hal mendengarkan (ay. 11). Kata “lamban” dalam ayat 11 ini bukan mengenai cepat atau tidaknya mendengar. Kata Yunaninya nōthros bisa berarti sluggish (=lambat/lamban/tidak aktif/malas). Analytical-Literal Translation (ALT), English Standard Version (ESV), King James Version (KJV), Literal Translation of the Holy Bible (LITV), Modern King James Version (MKJV), Revised Version (RV), dan 1898 Young’s Literal Translation (YLT) menerjemahkannya dull (=bodoh/lamban). International Standard Version (ISV) dan God’s Word menerjemahkannya lazy (=malas). Dengan kata lain, mereka tidak bertumbuh dewasa secara iman, karena mereka bodoh/lamban/malas mendengarkan. Selain bodoh/malas mendengarkan, mereka juga meributkan hal-hal mendasar (Ibr. 6:1-2 dst). Dengan alasan inilah, penulis Surat Ibrani menasihatkan orang Kristen Yahudi untuk bertumbuh dewasa secara iman. Rasul Paulus juga memperhatikan masalah kedewasaan iman umat pilihan-Nya dan itu ditandai dengan perubahan pola pikir mereka sesuai dengan kehendak Allah (Rm. 12:2). Dari realitas ini, kita disadarkan akan pentingnya kedewasaan di dalam kehidupan Kristen.






II. PROBLEMATIKA

Jika penulis Surat Ibrani dan Rasul Paulus di atas menekankan kedewasaan iman sebagai hal yang terpenting di dalam kehidupan Kristen, maka dunia kita sedang mengalami krisis dan problematika berkenaan dengan kedewasaan ini. Saya membagi problematika tentang kedewasaan ini menjadi dua, yaitu:
A. Ketidakdewasaan
Dunia kita mengalami krisis pertama, yaitu ketidakdewasaan. Ketidakdewasaan ini ditandai dengan kemanjaan manusia postmodern ini, khususnya anak muda, ketika menjalani hidup. Bukan hanya anak muda, orang dewasa dan bahkan orang tua pun tidak luput dari krisis kemanjaan ini. Di dalam Kekristenan, hal ini lebih kelihatan jelas. Orang tua dan banyak orang muda lebih memilih gereja dan pendeta yang cocok dengan selera mereka. Misalnya, mereka akan langsung meng“amin”i para “pendeta” yang mengajarkan bahwa menjadi Kristen itu pasti kaya, sukses, sehat, berkelimpahan, dll. Sebaliknya, kalau ada pendeta yang berkhotbah dengan keras dan agak sulit dicerna, mereka langsung mengomel dan anehnya, ada yang mengatakan bahwa khotbahnya tidak bermutu. Padahal bukan khotbahnya yang tidak bermutu, si penerima khotbah itulah yang tidak bisa mencerna khotbah yang disampaikan. Inilah ketidakdewasaan iman.

Bukan hanya dalam masalah iman, ketidakdewasaan ini ditunjukkan dari segi karakter. Dari segi karakter, banyak anak muda (ini juga menjadi pelajaran bagi saya) kurang dewasa. Dalam arti, mereka kurang bisa memiliki karakter yang agung, seperti: bisa mengendalikan emosi, teguh, kokoh, dll. Ini disebabkan oleh pendidikan dari orangtua yang tidak pernah mengajar anak-anak mereka untuk memiliki karakter yang agung tersebut. Atau mungkin sekali dikarenakan orangtua mereka pun tidak memiliki karakter tersebut sehingga tidak mungkin bisa mengajar anak-anak mereka. Ternyata, bukan anak muda saja, orangtua (atau orang yang sudah dewasa/tua) pun tidak terlepas dari ketidakdewasaan karakter. Saya memiliki bukti konkrit akan fakta ini. Ada seorang editor buku theologi/rohani bermutu yang tentunya banyak membaca buku theologi, tetapi maafkan, secara karakter, dia sangat childish (kekanak-kanakan). Selain itu, ada juga orang tua yang merasa diri sudah “bijaksana” menganggap bahwa tanpa dirinya, segala sesuatu akan hancur berantakan. Padahal, hal itu tidak 100% sesuai dengan realitas yang digembar-gemborkannya. Itulah bukti ketidakdewasaan karakter.




B. Konsep Kedewasaan yang Salah: Menekankan Aspek Fenomenal
Di sisi lain, dunia kita bukan hanya tidak dewasa, tetapi dunia kita sedang menanamkan dan mengajarkan konsep kedewasaan secara salah. Mereka mengerti konsep dewasa hanya secara fenomenal (bisa dilihat secara kasat mata). Misalnya, kedewasaan diukur dari berapa banyak gelar akademis yang mereka peroleh. Orang yang sudah bergelar Profesor (Prof.), Doktor (Dr.), Doctor of Philosophy (Ph.D.), dll banyak sampai sepuluh buah itulah yang dinamakan orang yang bijaksana dan dewasa.

Selain itu, ada juga yang menganggap bahwa orang yang dewasa itu ditandai dengan usianya. Kalau orang yang berusia matang, maka orang itu dikatakan sudah dewasa. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah berkata di dalam salah satu khotbahnya bahwa ketika beliau masih muda, sebelum beliau naik mimbar untuk berkhotbah, beberapa pendeta tua dan orang tua sebagai pendengarnya agak menghina beliau karena usia beliau yang waktu itu masih muda. Mereka berpikir bahwa orang yang masih muda tidak dewasa. Ternyata itu salah. Fakta membuktikan bahwa orang yang masih muda pun bisa dikategorikan dewasa, karena kedewasaan bukan masalah usia.

Kemudian, ada yang menganggap kedewasaan itu diukur dari seberapa bisanya orang itu mengetahui segala sesuatu dan mandiri. Ini tidak berarti salah. Ini benar, tetapi ini hanya sebagian kecil kriteria kedewasaan (hal ini akan kita bahas nanti). Tetapi anehnya, fakta membuktikan orang yang katanya sudah mandiri (cari uang sendiri, dll) dan mengerti segala sesuatu tetap menunjukkan ketidakdewasaan baik di dalam iman maupun karakternya. Contoh, ada orangtua (atau orang dewasa) yang merasa diri sudah mandiri dan bisa segala sesuatu tetap seperti anak kecil yang ngambek kalau dirinya disinggung. Orang yang masih merasa tersinggung kalau dirinya ditegur atau dikritik membuktikan ketidakdewasaan orang itu, meskipun orang ini secara fenomena sudah berusia 30 tahun ke atas atau bahkan sudah bisa membeli rumah sendiri dan sudah berkeluarga.






III. APA KATA ALKITAB TENTANG KEDEWASAAN?

Di poin II di atas, kita telah membicarakan 2 problematika konsep dunia kita berkenaan dengan kedewasaan. Lalu, kedewasaan yang bagaimanakah yang Tuhan inginkan melalui firman-Nya? Sebelum kita membahas kedewasaan yang Alkitab ajarkan, kita perlu mengerti terlebih dahulu realitas kedewasaan itu sendiri.
A. Realitas Kedewasaan
Ketika kita membicarakan mengenai kedewasaan, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan:
1. Kedewasaan: Proses
Hal pertama yang perlu kita perhatikan tentang kedewasaan bahwa kedewasaan adalah suatu proses. Tidak ada orang yang dari kecil tiba-tiba langsung berubah menjadi dewasa baik dari segi usia, iman, maupun karakter. Semua membutuhkan proses. Jika kedewasaan adalah sebuah proses, bukankah lebih bijaksana jika kita tidak pernah menganggap diri lebih dewasa dari orang lain? Mengapa? Karena standar kedewasaan kita belum tentu benar-benar sesuai dengan standar kedewasaan yang Allah tetapkan. Oleh karena itu, setiap anak Tuhan diharapkan menguji dan mengintrospeksi diri masing-masing akan tingkat kedewasaan kita baik dari segi iman, karakter, dll.

2. Signifikansi Pihak Luar di dalam Proses
Karena kedewasaan Kristiani adalah sebuah proses, maka kita sangat membutuhkan pihak luar untuk membentuk proses kedewasaan itu. Pihak luar yang terpenting di dalam pembentukan proses kedewasaan ini adalah Allah Roh Kudus yang memimpin kita sebagai anak-anak Tuhan di dalam pengudusan terus-menerus (progressive sanctification). Roh Kudus inilah yang memimpin langkah hidup kita untuk terus-menerus dewasa di dalam iman, karakter, dll untuk memuliakan Tuhan. Selain Roh Kudus, kita juga memerlukan Alkitab sebagai sumber kedua yang memimpin kita untuk lebih dewasa mengerti kehendak-Nya. Sebagai sarana ketiga, kita membutuhkan saran dan nasihat dari saudara seiman, hamba Tuhan yang bertanggungjawab, orangtua, dan teman sebagai masukan bagi kita agar kita menjadi lebih dewasa lagi.




B. Macam-macam Kedewasaan Kristiani yang Sehat
Setelah kita mengerti 2 realitas mengenai kedewasaan, maka kita sekarang mulai masuk dan mengerti macam kedewasaan Kristiani yang sehat dan bertanggungjawab. Saya membagi ada 2 macam kedewasaan Kristiani yang sehat, yaitu:
1. Kedewasaan Internal (Internal/Essential Maturity)
Kedewasaan internal yang saya maksud di sini adalah kedewasaan yang dilihat bukan seperti yang dunia lihat yaitu secara fenomenal, tetapi kedewasaan ini lebih ke dalam hidup dan iman anak-anak Tuhan. Itulah esensi kedewasaan yang tidak bisa ditipu. Kalau kita mengukur kedewasaan hanya dari segi fenomenal, itu bisa menipu dan itu bukan hal terpenting, karena Tuhan tidak mementingkan hal-hal tersebut. Tuhan lebih memperhatikan aspek dalam yang dibereskan terlebih dahulu yang nantinya diwujudkan keluar di dalam aspek eksternal. Ingatlah, Tuhan menilai hati kita, bukan kelakuan kita (1Sam. 16:7b). Karena Tuhan lebih menilai hati kita sebagai hal esensial, mari kita melihat tingkat kedewasaan yang terpenting dan mendasar adalah kedewasaan internal. Kita akan kembali menggali Ibrani 5:14 ini sebagai dasar kita mengerti kedewasaan internal. Dari Ibrani 5:14 yang kita renungkan di atas, kita mendapatkan 2 kriteria kedewasaan internal yang dipaparkan oleh penulis Surat Ibrani, yaitu:
a) Mengonsumsi makanan keras
Di dalam Ibrani 5:13, penulis Surat Ibrani mengatakan bahwa anak kecil yang tidak memahami (bahasa aslinya bisa diterjemahkan: bodoh atau mengabaikan) ajaran tentang kebenaran itu suka minum susu, sedangkan di ayat 14 dijelaskan bahwa orang yang sudah dewasa tidak lagi mengonsumsi susu, tetapi mengonsumsi makanan keras. “Makanan keras” di dalam KJV diterjemahkan strong meat (=daging yang keras/kuat). Kata “keras” di dalam bahasa Yunaninya stereos bisa diterjemahkan solid (=kokoh/padat/penuh/kuat/murni). Artinya, orang dewasa lebih suka mengonsumsi makanan atau sesuatu yang keras. Apa tujuannya? Tujuannya agar otot-otot mulut dan giginya bisa terlatih ketika makan makanan yang keras. Jika orang yang sudah dewasa masih gemar mengonsumsi makanan yang lembek/lembut, seperti: bubur, dll (kecuali waktu sakit), ada yang tidak beres pada orang dewasa tersebut. Kalau secara duniawi/fisik, kita mengerti logika ini, tetapi herannya, mengapa dalam aspek rohani, kita hampir tidak bisa mengerti logika ini? Oleh karena itu, melalui ilustrasi secara jasmani ini, penulis Surat Ibrani ini mengingatkan kepada kita bahwa orang yang dewasa harus mengonsumsi makanan keras, yaitu kebenaran firman Tuhan yang sangat tidak cocok dengan keinginan kita yang berdosa. Meskipun tidak cocok dengan keinginan (baca: nafsu) kita yang berdosa, makanan keras yaitu kebenaran firman Tuhan itu memiliki 2 signifikansi:
(1) Untuk mendewasakan iman Kristen
Kebenaran firman Tuhan itu memiliki signifikansi pertama, yaitu untuk mendewasakan iman Kristen. Iman Kristen yang dewasa didapatkan ketika seorang Kristen yang taat dan cinta Tuhan memberikan waktunya untuk membaca, menggumuli, dan merenungkan, serta mengaplikasikan firman Tuhan. Ketika kita mengalami masalah terberat, kembalilah kepada firman Tuhan, maka Roh Kudus akan memakai firman Tuhan itu untuk menguatkan kita yang sedang mengalami masalah. Firman Tuhan itulah mengubah seluruh perspektif hidup kita dari hidup yang berpusat kepada diri (antroposentris) kepada hidup yang berpusat kepada Allah (Theosentris). Sehingga meskipun kita mengalami penderitaan berat sekalipun, firman-Nya menguatkan dan mengajak kita melihat ke atas (yaitu, Allah) dan berharap kepada-Nya (bukan seperti anak kecil yang memaksa Tuhan mengabulkan permintaan kita). Pada hari Minggu, 16 November 2008, Pdt. Thomy J. Matakupan, M.Div., pendeta di gereja saya, Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya yang mengidap penyakit kanker kelenjar getah bening memberikan sedikit kesaksian tentang penyakit yang beliau derita dan pemeliharaan Allah atas dirinya. Beliau menceritakan bahwa ketika beliau mendengar kata “kanker” yang diberitahukan oleh dokter, beliau langsung shock dan merasa down, karena bagi beliau, kanker itu sesuatu yang menakutkan dan bisa berakibat fatal, yaitu kematian. Di saat seperti itulah, beliau berdoa dan meminta jawaban Tuhan mengapa beliau bisa menderita kanker. Di saat itulah, Tuhan tidak langsung menjawab, Ia menjawab secara tidak langsung melalui istri beliau yang mengingatkan ayat Alkitab di dalam 1 Petrus 5:7, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” Sarana inilah yang mengakibatkan Pdt. Thomy memiliki perspektif yang berbeda tentang penyakit yang dideritanya. Kebenaran firman Tuhan menguatkan beliau ketika mengalami penderitaan. Kebenaran inilah yang mengakibatkan beliau tetap bersukacita walaupun mengalami penyakit stadium 3 lebih ini. Hal ini nampak dari sinar wajahnya yang tetap berseri. Hal serupa juga dialami oleh pendeta GRII di Jakarta yang sudah meninggal, (alm.) Pdt. Ir. Amin Tjung, M.Th. Beliau juga mengidap penyakit kanker tenggorokan (kalau tidak salah) dan sampai akhir hidupnya, beliau tetap melayani Tuhan. Walaupun Tuhan tidak menyembuhkan penyakit kanker yang beliau (Pdt. Amin) derita, beliau tetap melayani Tuhan (bahkan masih meneruskan studi M.Th. bidang Pendidikan Kristen di UKI, Jakarta dan sudah lulus) dan tidak pernah mengomel. Inilah kedewasaan iman Kristen yang didapatkan ketika membaca, menggumuli, dan merenungkan firman Tuhan. Ingatlah, kedewasaan iman Kristen di poin ini TIDAK diukur dari seberapa banyak kita membaca buku-buku theologi yang berbobot dan tafsiran Alkitab (meskipun ini penting), tetapi diukur dari pergumulan umat-Nya setiap hari bersama Tuhan dan pemeliharaan-Nya.

(2) Untuk membentuk karakter Kristen
Bukan hanya untuk mendewasakan iman Kristen, firman Tuhan juga membentuk karakter Kristen. Firman Tuhan ini membentuk karakter kita yang dahulu adalah budak iblis menjadi anak-anak Tuhan yang memiliki karakter ilahi. Karakter ilahi tersebut sesuai dengan pengajaran Tuhan Yesus di dalam Matius 5:16, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."” Terang Kristus itu bisa bercahaya jika kita hidup sebagai manusia baru dan anak-anak terang yang Paulus jelaskan di dalam Efesus 4:17-6:20. Hal serupa juga dijelaskan Paulus di dalam Galatia 5:22-23 melalui pengajaran tentang 9 rasa dalam buah Roh dan diakhiri dengan kesimpulan yang tegas di ayat 24-25, “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,” Bagaimana dengan kita? Maukah kita berkomitmen memperbaiki karakter kita sesuai dengan karakter ilahi yang Alkitab ajarkan dan Allah inginkan? Biarlah Roh Kudus memimpin kita di dalam membentuk karakter ilahi tersebut, sehingga kita bisa menjadi pemancar terang Kristus.


b) Peka membedakan yang baik daripada yang jahat
Selain mengonsumsi makanan keras yaitu firman Tuhan, kedewasaan internal ditandai dengan peka membedakan yang baik daripada yang jahat. Kata “membedakan” dalam Ibrani 5:14 ini di dalam terjemahan Inggris ada yang diterjemahkan discern (=mengetahui dengan jelas/mengenal) dan ada yang diterjemahkan distinguish (=membedakan/menggolongkan). Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah diakrisis bisa berarti discern atau disputation (=perdebatan, pertentangan, perselisihan). Dengan kata lain, kedewasaan internal diukur dari kepekaan seseorang (Kristen) mengetahui dengan jelas sesuatu atau seseorang apakah itu baik atau jahat, lalu pengetahuan itu menuntut pembedaan yang jelas antara keduanya, sehingga tidak mengaburkan dan menyesatkan. Kepekaan mengetahui dengan jelas dan kemudian membedakannya hanya dimiliki oleh seorang yang sudah dewasa. Sedangkan anak kecil atau orang yang mengklaim diri dewasa tetapi masih kekanak-kanakan (childish) tetap tidak akan memiliki kepekaan ini, mengapa? Karena mereka belum terlatih. Lalu, bagaimana memiliki kepekaan ini? Roh Kudus memimpin orang Kristen dewasa memiliki kepekaan ini melalui sarana Alkitab. Ketika seorang Kristen dewasa menggumuli dan mempelajari Alkitab dengan teliti dan ketat, maka ia memiliki tingkat kepekaan rohani yang tajam membedakan yang baik daripada yang jahat. Lebih tajam lagi, menurut Paulus di dalam Roma 12:2, orang Kristen dewasa ini tidak lagi dipengaruhi oleh dunia, tetapi mereka memiliki perubahan pola pikir yang mengikuti kehendak Allah.

Setelah kita tahu bahwa Roh Kudus memimpin kita memiliki kepekaan ini melalui Alkitab, maka bagi siapa/apakah kepekaan membedakan ini berlaku?
(1) Berlaku bagi diri kita sendiri (internal)
Sering kali secara sadar atau tidak sadar, ketika berkhotbah, beberapa hamba Tuhan mengajar bahwa kita harus waspada dan berjaga-jaga, yang sering ditekankan adalah aspek/pihak luar. Maksud saya, mereka berkhotbah bahwa kita harus berwaspada terhadap pihak luar (ajaran dari luar) yang menyesatkan dan menipu kita. Hal tersebut tidak salah, jika memang itu sesuai dengan kebenaran Alkitab. Tetapi itu sebenarnya adalah poin kedua yang kita perlu perhatikan. Poin yang lebih penting adalah kepekaan membedakan yang baik daripada yang jahat pertama-tama berlaku bagi diri kita sendiri. Orang Kristen dewasa TIDAK melihat orang atau ajaran lain untuk ditegur atau dinyatakan salah, melainkan mereka melihat ke dalam dirinya sendiri untuk dikoreksi (bdk. Mat. 7:1-5). Tuhan menuntut kita peka melihat ke dalam diri kita, sudahkah kita mampu membedakan yang baik daripada yang jahat dari segi: motivasi, cara, dan tujuan? Sebelum kita melakukan segala sesuatu, sudahkah kita menguji motivasi hati kita terlebih dahulu, lalu disusul dengan cara yang kita pergunakan dan tujuan yang akan kita tuju/inginkan, kemudian kita serahkan semuanya untuk kemuliaan Tuhan? Bukankah yang sering terjadi adalah sebelum kita melakukan segala sesuatu, yang kita pertimbangkan adalah aspek untung ruginya, ketimbang apakah motivasi kita murni atau tidak sesuai dengan kehendak dan kemuliaan-Nya? Jika kita masih demikian, meskipun kita mengklaim diri orang dewasa, sejujurnya kita masih seperti anak kecil yang menginginkan segala sesuatu untuk kesenangan diri. Itu sama sekali TIDAK menunjukkan kedewasaan. Uji motivasi hati kita, lalu segeralah bertobat jika kita menjumpai adanya ketidakmurnian motivasi kita.
Bukan hanya motivasi, cara yang kita gunakan pun perlu kita pertimbangkan apakah sesuai dengan kehendak Allah. Motivasi yang murni perlu disertai dengan cara yang kita pergunakan. Adalah suatu kesia-siaan jika kita memiliki motivasi yang murni, kita menggunakan cara-cara yang tidak etis dan bahkan kasar. Ini juga menjadi refleksi dan koreksi bagi saya pribadi yang sering kali tidak peka akan hal ini. Misalnya, di dalam diskusi/debat theologi, saya menjumpai realitas bahwa ada hamba Tuhan yang mengadakan debat theologi dengan pihak lawan mungkin memiliki motivasi murni untuk mempertobatkan mereka (pihak lawan), tetapi sayangnya cara-cara yang mereka gunakan itu terlalu keras dan kasar. Bahkan di dalam makalah yang ditulis hamba Tuhan ini terkandung kata-kata dan kalimat-kalimat yang kasar yang tidak etis dituliskan oleh seorang hamba Tuhan yang berpendidikan theologi dari USA.
Bukan hanya motivasi dan cara, kita juga perlu mempertimbangkan tujuan yang akan kita raih/dapatkan. Apakah tujuan itu sungguh membawa kemuliaan bagi Tuhan atau sebenarnya untuk kepuasan diri kita? Kalau kita mempelajari dari realitas yang saya paparkan di atas tentang ada hamba Tuhan yang gemar mengadakan debat theologi. Mungkin saja dari segi motivasi, dia memiliki motivasi benar-benar ingin mempertobatkan orang yang diajak debat, tetapi sayang, tujuan debat itu berakhir dengan kemenangan dirinya dan kekalahan pihak lawan, bukan pertobatan pihak lawan. Kemenangan itu seperti kemenangan perang/pertandingan (saya melihat sendiri foto kemenangan mereka di internet, tidak ada bedanya dengan orang yang menang perang atau memenangkan suatu pertandingan). Jika demikian, apa tujuan debat jika hasil akhirnya untuk kemenangan dan kepuasan diri dan bukan untuk kemuliaan Tuhan? Bukankah itu kesia-siaan?

(2) Berlaku bagi luar (eksternal)
Setelah kita memberlakukan kepekaan mengetahui dengan jelas dan membedakan yang baik daripada yang jahat, maka barulah kita peka mengetahui dengan jelas dan membedakan sesuatu dari luar (entah itu doktrin, praktik hidup, orang, dll) apakah baik atau jahat. Dewasa ini, praktik membedakan dan menegur ajaran yang salah dinyatakan haram oleh sebagian (bahkan banyak) orang “Kristen” dan tidak sedikit hamba Tuhan. Dengan dalih toleransi dan relativisme ala postmodern, mereka dengan berani mengutip ajaran Tuhan Yesus di dalam Matius 7:1 lalu mengajar bahwa Kristus sendiri mengajar untuk tidak menghakimi. Benarkah perkataan Tuhan Yesus itu berarti kita tidak boleh menghakimi? Sangat tidak masuk akal jika yang dimaksud Kristus di Matius 7:1 itu adalah kita tidak boleh menghakimi, padahal di ayat 15-23, para murid-Nya (termasuk anak-anak Tuhan di zaman kita) diperintahkan oleh Kristus sendiri untuk waspada terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepada mereka (kita) dengan menyamar sebagai domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala buas. Tidak berhenti di situ, Ia mengajarkan kepada kita bagaimana kita membedakan dengan jelas mana yang benar dan salah dilihat dari buah yang dihasilkan yang berpangkal pada pohonnya. Dari pemaparan di atas, bagi para penganut paham toleransi-isme dan relativisme, sungguh suatu kontradiksi yang tidak bisa mereka hindarkan ketika mereka dengan sok berani menafsirkan Matius 7:1 bahwa Kristus melarang kita menghakimi. Lalu, apa maksud Tuhan Yesus di dalam Matius 7:1? Sesuai dengan salah satu kaidah penafsiran Alkitab yang bertanggungjawab dan beres, sebuah ayat tidak bisa ditafsirkan begitu saja tanpa memperhatikan konteks yang ada dengan memperhatikan ayat sesudahnya. Dari Matius 7:1-5, ada dua hal yang menjadi alasan peringatan Tuhan Yesus untuk tidak menghakimi, yaitu: pertama, ukuran (ay. 2); dan kedua, self-judgment atau penghakiman terhadap diri sendiri sebelum kita berani menghakimi orang lain (ay. 3-5). Ketika kita sudah menghakimi diri sendiri, kita baru dapat menghakimi orang lain dengan ukuran yang beres (ay. 5). Dengan dasar yang sama, Paulus dengan tegas dan keras mengingatkan jemaat Galatia untuk TIDAK berzinah dengan “injil-injil” lain (ALT, ESV, ISV, dan RV menerjemahkannya, a different gospel/injil yang berbeda) di luar Injil Kristus yang Paulus beritakan, meskipun “injil-injil” lain itu diberitakan oleh malaikat sekalipun (Gal. 1:6-10). Rasul Yohanes pun mengingatkan kita untuk TIDAK percaya kepada segala roh dan menguji roh-roh itu apakah mereka berasal dari Allah atau tidak. Bagaimana caranya? Setiap roh yang mengaku Yesus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, maka itu adalah Roh Kudus, jika tidak, maka itu bukan datang dari Allah (1Yoh. 4:1-4). Dari realitas yang diajarkan Alkitab ini, maka kita bisa menguji suatu ajaran benar atau salah juga dari segi: motivasi, cara, dan tujuan. Dasar ujinya adalah apakah suatu ajaran itu motivasinya, caranya, dan tujuannya dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah (Rm. 11:36)? Jika salah satunya tidak ada Allah di dalamnya, maka ajaran itu jelas salah.
Ajaran salah sering kali dilatarbelakangi oleh motivasi yang tidak beres, yaitu mencari kesenangan diri. “Theologi” kemakmuran muncul di kala manusia sedang mengalami penderitaan, maka para “theolog” kemakmuran mencetuskan ide bahwa yang percaya “Kristus” pasti kaya, sukses, sehat, dll. Dari segi motivasi, jelas mereka tidak beres, karena mereka membangun theologi bukan dari pengertian Alkitab yang menyeluruh, tetapi dari asumsi manusia berdosa yang mencari dukungan ayat-ayat Alkitab yang sama sekali di luar konteks. “Theologi” religionum pun tidak ada bedanya dengan “theologi” kemakmuran lahir di zaman postmodern yang merelatifkan kemutlakan. Lucunya, jika “theologi” religionum itu “Alkitabiah”, mengapa “theologi” ini TIDAK muncul di zaman para bapa gereja dan Reformasi, tetapi HANYA muncul di zaman postmodern ini? Bukankah motivasi para pencetusnya sudah tidak beres, yaitu mengikuti arus zaman dan bukan mengikuti apa yang Alkitab ajarkan?! Tahukah Anda bahwa ikan apa yang terus ikut arus? Pdt. Dr. Stephen Tong mengutip perkataan hamba Tuhan lain mengatakan bahwa HANYA ikan MATI yang terus ikut arus! Itulah kondisi gereja sekarang, terus mengikuti arus zaman, tanpa mau mengikuti arus pimpinan Roh Kudus sesuai Alkitab. Semua ini membuktikan bahwa kedua macam “theologi” ini jelas TIDAK datang dari Allah, karena motivasinya pun BUKAN dari Allah.
Dari segi cara, ajaran salah jelas menggunakan cara-cara yang salah dan tidak bertanggungjawab demi menambah jumlah pengikut. Mengapa ajaran kemakmuran bisa laris di dalam Kekristenan postmodern ini? Karena para pengajar yang memopulerkan ajaran ini memakai beribu cara untuk menarik jemaat Kristen dari gereja lain untuk menerima ajaran ini. Berbagai tipuan mereka gunakan, misalnya, dengan mengiming-imingi jemaat gereja lain yang datang ke gerejanya akan diberikan souvenir cantik atau bahkan mendapat doorprize, penyelesaian masalah, diberkati, bisnis lancar, dll. Dengan kata lain, gereja model ini TIDAK ada bedanya dengan dukun (apalagi gereja yang “pendeta”nya suka mempromosikan minyak urapan), bedanya hanya: gereja menggunakan “dalam nama ‘Yesus’”, sedangkan dukun tidak. Bagaimana dengan “theologi” religionum? Mudah, caranya adalah khotbahkan selalu hal-hal yang membuat hati jemaat merasa miris, misalnya, “Saudara-saudara, masa kita tega melihat rekan atau saudara Anda yang tidak Kristen tidak masuk Sorga? Tentu tidak, bukan? Maka, agama lain pun bisa selamat, tidak selalu Kristen.” Atau khotbahkan selalu hal-hal sosial yang mengetuk pintu hati jemaat untuk memberikan bantuan sosial dan melupakan pentingnya penginjilan verbal! Di hari Natal, jangan pernah khotbahkan kelahiran Kristus dari Alkitab, tetapi khotbahkanlah kelahiran Kristus yang membawa damai, lalu kaitkan dengan perdamaian dunia, PBB, dll. Pelan namun pasti, jemaat digiring untuk menjauh dari berita kebenaran Alkitab, lalu mengikuti ajaran “theologi” religiounum dan social “gospel”! Mengerikan, tetapi banyak yang tertipu!
Kalau motivasi dan caranya sudah tidak beres, tentu tujuan akhirnya lebih tidak beres. Kalau ajaran kemakmuran motivasinya untuk kesenangan diri, lalu mencari cara untuk mewujudkan motivasi itu, maka tujuan akhirnya tentu agar diri dan ajarannya makin populer. Tidak usah heran, para penganut ajaran ini yang notabene “hamba Tuhan” sukses besar menipu orang Kristen, sehingga orang Kristen yang miskin tetap miskin, sedangkan para “hamba Tuhan” yang dulunya miskin tiba-tiba kaya mendadak dan memiliki rumah mewah dan banyak mobil. Dari mana mereka bisa kaya mendadak? Dari persembahan yang mereka kumpulkan yang diimingi dengan janji pelipatgandaan bagi yang memberikannya. Bagaimana pula dengan tujuan akhir “theologi” religionum? Jelas lebih tidak beres, para “theolog” religionum akan dengan bangga jika mampu menggiring jemaatnya untuk tidak lagi percaya finalitas Kristus dan lebih “dewasa” dalam iman yaitu berpaham inklusif (atau relatif atau apa pun nama yang mereka ciptakan sendiri, ujung-ujungnya hanya satu: menolak finalitas Kristus!) dengan menerima “kebenaran” dan keselamatan semua agama. Tujuannya jelas yaitu antroposentris, memuaskan semua orang, tetapi sayangnya memuakkan bagi Tuhan Allah! Kristus diinjak-injak dan manusia dipuja-puji! Anehnya, TIDAK ada satupun nabi, rasul, bapa gereja, theolog di zaman dahulu yang berpaham “theologi” religionum, entah dari mana ajaran ini bisa muncul? Hehehe...

No comments: