31 March 2007

Matius 1:1 : THE KINGDOM


Ringkasan Khotbah : 18 Januari २००४

The Kingdom
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 1:1

Banyak orang yang memperdebatkan injil Matius ataukah injil Markus yang terletak pada bagian pertama dari kitab Perjanjian Baru. Higher Criticism tidak percaya Alkitab adalah Firman Tuhan sehingga muncullah berbagai isu tentang kitab-kitab dalam Alkitab, seperti sumber penulisan Matius diambil dari injil Markus yang isinya lebih pendek. Mereka juga berpendapat bahwa tulisan Matius dan Markus diambil dari sumber Quele, yakni sumber yang diambil secara lisan, tradisi, budaya, dll. Alasan itulah yang meyakinkan mereka kalau Markus seharusnya diletakkan di urutan pertama sedang Matius di urutan kedua dalam PB. Namun mereka yang tetap setia dan berpegang pada Firman justru berpendapat lain yakni Matius atau Lewi, seorang pemungut cukai memperoleh anugerah menjadi murid Tuhan Yesus dan hidup bersama-sama denganNya selama kurang lebih tiga tahun maka tidak menutup kemungkinan kalau Matius mendapat informasi dari orang lain akan tetapi injil Matius tidak harus bergantung dari injil yang lain.
Banyak terjadi kesimpang siuran apakah Markus ditulis terlebih dahulu dari Matius atau sebaliknya tetapi menurut penafsiran perbedaan kedua injil tersebut ditulis tidak terlalu jauh yaitu sekitar tahun ah Tuhan Yesus naik ke surga। Pada saat itu konsep pengenalan orang terhadap Kristus sudah mulai beragam sehingga Matius merasa perlu untuk mengembalikan tatanan tersebut. Tulisan Matius ditujukan untuk orang Yahudi sedang injil Markus untuk orang non Yahudi itulah sebabnya kata-kata yang sensitif bagi orang Yahudi seperti kata “Allah“ ditulisnya dengan bebas. Berbeda dengan Matius yang mengganti kerajaan “Allah“ dengan kerajaan “Surga“. Bagi orang Yahudi, surga sudah berkonotasi tentang Allah; mereka tidak mau menyebut kata “Allah“ karena mereka takut melanggar hukum Taurat yang berbunyi “jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan...“ (Kel. 20:7). Matius juga merasa tidak perlu menuliskan hal-hal yang berkaitan dengan tradisi orang Yahudi karena dia beranggapan pembacanya adalah orang Yahudi berbeda dengan Markus yang menjelaskan secara terinci mengenai tradisi Yahudi karena para pembacanya kebanyakan bukan dari kalangan Yahudi.

Kekristenan pertama kali berkembang di Israel di antara orang Yahudi sehingga dapatlah disimpulkan injil Matius ditulis terlebih dahulu dari Markus. Setelah perjalanan Paulus keluar barulah kekristenan menyentuh orang-orang non Yahudi, yaitu sekitar tahun 50-an menjelang sidang raya di Yerusalem. Adalah salah jikalau ada pendapat yang mengatakan injil tidak perlu ada empat dan mempertanyakan kenapa isi keempat injil tersebut berbeda. Justru sebaliknya kalau sama lalu kenapa injil ada empat? Untuk menyoroti pribadi atau otobiografi Kristus tidak cukup hanya satu orang saja. Bahkan empat pandangan mengenai Kristus tersebut sangatlah terbatas. Injil adalah sebuah biografi maka semua peristiwa harus berpusat dan berkait pada tokoh biografi tersebut. Keempat injil dalam Alkitab menyoroti Kristus sebagai pusat, melihat bagaimana Kristus hidup dan berkarya di tengah dunia dimana setiap injil mempunyai keunikan tersendiri yang berbeda dan saling melengkapi tetapi tetap berpusat pada Kristus.
Keunikan injil Matius berbicara tentang kerajaan surga, the true Kingdom berkaitan dengan seluruh sejarah yang sedang dipergumulkan oleh bangsa Israel. Bangsa Yahudi sangat mengerti dengan istilah kerajaan surga meskipun pengertiannya salah. Kalimat pertama dari injil Matius sangat signifikan karena menentukan isi keseluruhan tulisannya, yaitu tentang hal “Kerajaan Surga“. Di sepanjang injil Matius kita akan menjumpai banyak istilah “kerajaan“ mulai dari pasal 3 s/d 26. Hanya tiga pasal, yakni di pasal 14, 15 dan 17 istilah “kerajaan“ hilang meskipun konsepnya sama. Matius menulis silsilah Yesus yakni Kristus atau sama dengan Mesias, anak Daud, anak Abraham menjadi inti iman Kristen.
I. “Yesus Kristus“
Kedatangan Mesias, Raja yang akan memerintah sangatlah diharapkan bangsa Israel hingga kini. Kalimat pembuka injil Matius berbicara mengenai konsep anak Daud, raja yang dijanjikan dan di akhir tulisannya berbicara tentang kerajaan Allah yang bersifat am dan semesta dimana kuasa di surga dan di bumi ada di tanganNya (Mat. 28:18-20). Istilah kerajaan muncul sebanyak 162 kali di seluruh kitab PB dan khusus di injil Matius istilah kerajaan muncul sebanyak 55 kali berarti 1/3 dari keseluruhan. Matius banyak berbicara mengenai hal kerajaan surga karena ia ingin menyampaikan berita bahwa kehadiran Kristus adalah untuk menggenapkan kerajaan surga di dunia.
Berita pertama ketika Kristus melayani, yaitu “Bertobatlah karena kerajaan surga sudah datang.“ Matius ingin mengajak seluruh pembaca masuk ke dalam tema yang sentral. Kerajaan surga yang sejati yaitu kerajaan yang teokrasi dengan Kristus yang menjadi raja atas umatNya; Dia yang akan memimpin umatNya, memelihara umatNya dan Ia hanya menginginkan agar umatNya taat akan semua perintahNya. Tuhan adalah raja yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Berbeda dengan konsep ilah yang ada pada diri manusia, yakni hanya terbatas pada satu tempat tertentu. Allah ingin agar kita menjadikanNya Raja di atas segala raja dalam hidup kita, God is our King.
Allah tahu setiap penderitaan yang dirasakan oleh umatNya di Mesir. Memang terkadang sepertinya Tuhan membiarkan kita di dalam penderitaan tapi di balik penderitaan itu percayalah ada rencana indah yang Tuhan persiapkan. Karena Dia Raja maka Dia berhak melakukan semuanya itu tapi bukan berarti Tuhan diam dan membiarkan umatNya berada dalam penderitaan. Tidak! Allah tetap memperhatikan umatNya; Ia membawa mereka keluar dari perbudakan di Mesir. Firaun merasa diri kuat dan berkuasa akan tetapi kuasa kedaulatan Tuhan lebih besar dari kuasa manapun dan siapapun. Tuhan memimpin bangsa Israel menuju tanah perjanjian yang penuh melimpah dengan susu dan madu dengan cara yang ajaib seperti mujizat manna, laut terbelah dua, dll. Ironisnya, mujizat tersebut tidak membuat mereka berterima kasih; mereka justru protes dan berkeluh kesah.
Itulah sifat manusia berdosa yang tidak percaya pada pemeliharaan Tuhan yang maha Agung; Tuhan telah mengatur segala sesuatunya cukup bagi kita, tidak kekurangan ataupun kelebihan. Manusialah yang serakah selalu merasa kurang. Bangsa Israel adalah bangsa yang bebal dan tegar tengkuk, padahal Tuhan Raja Semesta Alam sendiri yang memimpin mereka keluar namun mereka justru menginginkan raja dunia. Secara logika, raja dunia tidak lebih baik; bukankah raja-raja di dunia justru sangat menyengsarakan rakyat? Alasan yang paling rasionalpun tidak dapat mereka mengerti. Itulah sebabnya Matius ingin agar umat Tuhan kembali pada Kerajaan sejati yang dipimpin oleh Raja yang sejati.
II. “Anak Daud“
Matius menuliskan silsilah Yesus Kristus sebagai anak Daud untuk mengingatkan kembali kerajaan Mesianic yang ingin Allah genapkan, Mesias yang lahir dari keturunan Daud। Yang menjadi pertanyaan kenapa harus Daud dan bukan Saul, Salomo atau raja yang lain? Daud merupakan raja yang diperkenan Allah padahal kalau kita perhatikan secara humanistik seharusnya Salomo dan Saul lebih baik. Secara manusiawi, kerajaan Salomo lebih besar dan jaya, dia mempunyai kepandaian dan bijaksana yang tidak dimiliki raja lain. Pada jaman pemerintahannya tidak ada peperangan dan rakyat hidup sejahtera bahkan Tuhan memilih Salomo untuk mendirikan Bait Allah. Manusia melihatnya sebagai raja yang baik tetapi Tuhan tidak melihatnya demikian. Sejarah membuktikan, kehancuran Israel dimulai setelah pemerintahan Salomo karena dia gagal mendidik anak-anaknya takut akan Tuhan.

Begitu juga kalau dibandingkan dengan Saul, kepemimpinannya masih lebih baik dibandingkan dengan Daud. Sejarah menunjukkan Saul tidak pernah berbuat salah ketika memimpin, ia selalu menang dalam peperangan dan ia sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan dia lebih memilih tidak mematuhi perintah Tuhan demi untuk mendapatkan simpati dari rakyat ketika Tuhan memerintahkan agar seluruh harta, binatang dan segala bentuk materi apapun untuk dimusnahkan. Kesalahan fatal yang dibuat Saul yaitu dia telah menganggap remeh perintah Tuhan dan ia mengambil alih semua perintah Tuhan.
Bagaimana dengan Daud? Di masa pemerintahannya banyak terjadi peperangan, bahkan dengan akal liciknya dia mengatur siasat demi untuk mendapatkan seorang wanita, istri panglimanya. Secara manusia kita menilai Daud memiliki moral yang rusak, bukan? Akan tetapi cara berpikir manusia berbeda dengan Tuhan. Daud adalah seorang yang sangat mengasihi Tuhan bahkan dia rela mengorbankan apapun juga demi untuk Tuhan. Ingat, bukan berarti kita boleh melakukan kejahatan asal berkenan pada Tuhan. Tidak! Karena Tuhan setia dan adil; Dia setia mengampuni dosa tetapi Dia akan menghukum setiap perbuatan yang kita lakukan. Tuhan menghukum Daud atas perbuatannya.
Inilah konsep Mesianis yang Tuhan inginkan agar kita mengutamakan Dia sebagai Raja dalam hidup kita। Sebagai seorang raja, Daud sangat memahami bahwa ada Raja sejati, Raja di atas segala raja. Hal ini sangat dipahami oleh Matius itulah sebabnya dia menuliskan silsilah Yesus sebagai anak Daud. Bagaimana dengan hidup kita? Di tengah tantangan dunia yang menghimpit sudahkah anda mengutamakan Kristus sebagai yang terutama dalam hidup kita? Janganlah kamu kuatir tetapi bersandarlah padaNya, Tuhan pasti memelihara hidup kita, Dia adalah Mesias, Raja di atas segala raja.

III. “Anak Abraham“
Merupakan kebanggaan orang Israel kalau mereka disebut sebagai keturunan Abraham karena dari sinilah pengertian mereka sebagai umat pilihan dicerahkan। Konsep predestinasi, Allah memilih umatNya muncul dalam diri Abraham. Mulai dari Abraham inilah berdiri bangsa Israel; Abraham menyadari anugerah Tuhan ini sehingga ia taat dan ketika Tuhan memerintahkannya untuk meninggalkan tanah kelahirannya menuju tanah perjanjian. Abraham percaya mutlak pada janji Tuhan itulah sebabnya Abraham disebut sebagai Bapa orang beriman. Ironisnya, hari ini banyak orang yang lebih percaya janji manusia meski selalu ingkar daripada janji Tuhan yang pasti dan amin.

Bangsa Israel tidak menghargai anugerah Tuhan yang telah menjadikan mereka sebagai umat pilihan। Bangsa Israel tidak mau dipimpin oleh Raja sejati, mereka hanya membutuhkan Tuhan ketika mereka sedang dalam kesulitan saja. Akibatnya Tuhan menghentikan perjanjianNya dengan Abraham dan sebagai gantinya Dia memindahkannya pada orang-orang yang mau kembali pada kerajaan yang sejati. Bangsa Israel seharusnya belajar dari iman Abraham yang percaya mutlak pada kedaulatan Tuhan. Iman Abraham diuji ketika dia harus mengorbankan satu-satunya keturunan, anak yang dijanjikan Tuhan. Sebab Abraham tahu, Allah yang berdaulat tidak pernah ingkar janji maka kalaupun ia meminta Ishak untuk dikorbankan pastilah ia akan membangkitkannya kembali.

Kalau Abraham percaya penuh janji Tuhan lalu bagaimana dengan saudara? Janganlah mudah digiurkan oleh semua janji-janji manis yang ditawarkan dunia tapi percayalah dan bersandarlah hanya pada Tuhan। Sebab Dia tidak pernah lupa janjiNya dan hal ini telah teruji (Mat 1:17). Matius ingin menunjukkan satu hal bahwa Tuhan berkuasa atas sejarah. Ingat, Tuhan bukanlah budak kita karena itu jangan mempermainkan Tuhan demi untuk kepentingan dirimu sendiri. Sebagai seorang warga kerajaan surga hendaklah kita taat dipimpin oleh Kristus yang adalah Raja di atas segala raja. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Roma 1:9-13 : HAMBA KRISTUS : KEHENDAK YANG DIKUDUSKAN

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hamba Kristus dan Fokus Injil-3


Hamba Kristus : Kehendak yang Dikuduskan


oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 1:9-13

Pada ayat 9, Rasul Paulus menunjukkan kasihnya kepada para jemaat di Roma dengan berkata, “Karena Allah, yang kulayani dengan segenap hatiku dalam pemberitaan Injil Anak-Nya, adalah saksiku, bahwa dalam doaku aku selalu mengingat kamu:” Prof। J. Knox Chamblin, Th.D. di dalam bukunya Paulus dan Diri pada halaman 3 mengungkapkan, “Paulus menulis sebagai pribadi yang utuh, di mana pemikiran, perasaan, dan kehendaknya secara konstan saling berinteraksi saat ia menulis.” (Chamblin, 2006, halaman 3) Di dalam ayat ini saja, kita menemukan suatu emosi/perasaan kasih dari Rasul Paulus yang terus mendoakan para jemaat di Roma. Paulus tahu kehidupan di Roma yang begitu sulit, sehingga ia terus mendoakan mereka. Doa adalah suatu hal yang penting dan merupakan suatu komunikasi kita sebagai anak-anak-Nya dengan Allah. Doa juga merupakan suatu ekspresi cinta kasih kita kepada seseorang yang kita kasihi dengan mengingat dan membawa mereka di dalam doa kepada Allah, sama seperti di dalam suatu komunikasi antara kita dan teman kita, kalau kita benar-benar mengasihi pasangan kita, maka kita berusaha mengingatnya dan menceritakannya kepada teman kita agar teman kita boleh mengetahuinya. Demikian pula dengan doa, kita sebagai anak-anak-Nya perlu memperhatikan orang lain yang kita kasihi dan kita perlu membawanya di dalam doa. Itu merupakan suatu bukti kepedulian kita terhadap sesama anak Tuhan. Apa yang Paulus telah lakukan yaitu dengan mendoakan para jemaat di Roma sebagai wujud kasihnya, seharusnya kita teladani dengan mendoakan mereka yang berada di dalam kesulitan khususnya anak-anak Tuhan di negara-negara yang melarang pemberitaan Injil dan berdirinya gereja. Mereka berjuang sekeras dan segiat mungkin agar dapat terus setia mengikut Kristus, dan ini harus kita doakan terus-menerus. Inilah bukti bahwa kita tidak menjadi orang Kristen yang egois yang terus memikirkan kepentingan kita sendiri di dalam doa. Di dalam doa, seringkali orang Kristen memuaskan keinginan pribadi mereka, misalnya minta kaya, minta pasangan hidup, minta pekerjaan, dll, bukan berarti semua itu tidak boleh, tetapi jika kita terus mengkhususkan doa untuk hal-hal pribadi kita sendiri, maka kita adalah orang Kristen yang egois. Biasakanlah di dalam doa, kita pertama kali mengingat kepentingan orang lain yang lebih buruk dan susah daripada kita, bahkan kalau perlu pertama kali kita mendoakan para misionaris dan hamba Tuhan yang setia mengabarkan Injil di daerah-daerah yang sulit dan keras. Ini namanya doa syafaat, dan orang Kristen yang terus berdoa syafaat adalah orang Kristen dan hamba-hamba-Nya yang setia. Hamba Tuhan yang setia bukan diukur dari berapa hebatnya dia berkhotbah, melayani, dll, tetapi diukur dari kepedulian mereka dengan jiwa-jiwa yang tersesat dan anak-anak Tuhan lainnya yang berada di dalam kondisi kesulitan (entah itu sakit, bangkrut, dll) dengan mendoakan mereka.

Paulus bukan hanya terus mendoakan mereka, tetapi ia juga menasehati mereka untuk terus berdoa। Di dalam Roma 12:12, Paulus berkata, “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!” Di dalam penderitaan, doa merupakan suatu wadah kita berkomunikasi dengan Allah dan meminta-Nya untuk terus-menerus menguatkan kita dalam menghadapi berbagai macam kesulitan yang kita hadapi. Di dalam kesulitan yang para jemaat Roma alami, Paulus menghibur mereka di dalam ayat ini dengan tiga hal, yaitu : bersukacita di dalam pengharapan, sabar di dalam kesesakan dan bertekun di dalam doa. Doa tidak bisa diabaikan begitu saja, karena tanpa doa, kita tidak mungkin sanggup kuat dan tahan menghadapi penderitaan. Kedua hal pertama yang Paulus utarakan di dalam Roma 12:12 jika tidak disertai dengan pernyataan, “bertekunlah dalam doa !” adalah suatu pernyataan yang sia-sia, karena bersukacita di dalam pengharapan dan sabar di dalam kesesakan tidak berguna tanpa ada penyerahan total kepada kehendak-Nya di dalam doa. Mayoritas, doa dikaitkan dengan bersukacita, sebagaimana di dalam 1 Tesalonika 5:16-17, Paulus menggabungkan antara “Bersukacitalah senantiasa.” dan “Tetaplah berdoa. (King James Version menerjemahkannya Pray without ceasing.=Berdoa tanpa henti.)” Sukacita tanpa doa adalah sukacita palsu/fenomenal dan cenderung lupa diri, karena sukacita sejati adalah sukacita di dalam Tuhan dan itu selalu berkait dengan penyerahan diri secara total kepada Allah di dalam doa. Di dalam doa, ada unsur sukacita, sebaliknya di dalam sukacita, ada unsur doa.

Doa inilah yang Paulus nyatakan dengan sukacita dan rasa cinta kasihnya di dalam ayat 10, “Aku berdoa, semoga dengan kehendak Allah aku akhirnya beroleh kesempatan untuk mengunjungi kamu।” Kalau di ayat 9, muncul perasaan kasih dari Paulus, maka di ayat 10, muncullah kehendak Paulus yang ingin mengunjungi jemaat di Roma. Sungguh menarik, Paulus bukan hanya mengaitkan konsep doa dengan rasa kasihnya, tetapi juga mengaitkan doa dengan kehendak Allah. Doa yang beres bukan hanya sekedar ekspresi cinta kasih manusia, tetapi juga harus disinkronkan dengan cinta kasih versi Allah. Caranya adalah mempersilahkan Allah menunjukkan kehendak-Nya melalui jawaban doa kita. Paulus tahu benar siapa dirinya di hadapan-Nya, sehingga ketika ia berdoa, ia tahu di mana letak kedaulatan kehendak-Nya, sehingga segala sesuatu harus diserahkan kepada kehendak-Nya. Kalau kita mengingini sesuatu, biarlah kita berdoa terlebih dahulu kepada Allah untuk mensinkronkan kehendak kita apakah sesuai dengan kehendak-Nya yang kudus dan kekal. Marilah kita membiasakan diri mengutamakan kehendak Allah bukan kehendak pribadi, seperti Paulus yang tetap menyerahkan kehendak pribadinya untuk mengunjungi jemaat di Roma kepada kehendak Allah. Apa yang menjadi kehendak pribadi Paulus ?

Di ayat 11, Paulus mengungkapkannya, “Sebab aku ingin melihat kamu untuk memberikan karunia rohani kepadamu guna menguatkan kamu,” Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikannya, “Sebab saya ingin sekali bertemu dengan kalian supaya saya dapat membagi denganmu karunia dari Roh Allah untuk menguatkan kalian.” Bukan tanpa alasan Paulus ingin mengunjungi jemaat di Roma, tetapi ia ingin membagikan karunia Roh Allah kepada mereka untuk menguatkan mereka. Kepedulian Paulus bukan hanya diukur dari tindakan mendoakan para jemaat di Roma, tetapi juga keinginannya juga untuk mengunjungi mereka dan menguatkan mereka melalui pemberian karunia dari Roh Allah. Apa sajakah wujud karunia Roh Allah ini ? 1 Korintus 12 memberikan daftarnya, marilah kita menelusuri satu per satu dengan teliti.
1. Karunia pelayanan (ayat 5)
2. Karunia berkata-kata dengan hikmat (ayat 8 ; BIS, “kesanggupan untuk berbicara dengan wibawa”)
3. Karunia berkata-kata dengan pengetahuan (ayat 8 ; BIS, “kesanggupan untuk menjelaskan tentang Allah.”)
4. Karunia iman (ayat 9 ; BIS, “kemampuan yang luar biasa untuk percaya kepada Kristus ; ”)
5. Karunia menyembuhkan (ayat 9)
6. Karunia mengadakan mujizat (ayat 10)
7. Karunia bernubuat (ayat 10 ; BIS, “karunia untuk memberitahukan rencana-rencana Allah.”)
8. Karunia untuk membedakan bermacam-macam roh (ayat 10 ; BIS, “kesanggupan untuk membeda-bedakan mana karunia yang dari Roh Allah dan mana yang bukan.”)
9. Karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh (ayat 10)
10. Karunia untuk menafsirkan bahasa roh (ayat 10)

Tiga prinsip penting berbagai macam karunia Roh Allah ini adalah pertama, berlaku hanya bagi umat pilihan-Nya, yaitu memuliakan Kristus (“Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorangpun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: "Terkutuklah Yesus!" dan tidak ada seorangpun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus.”—1 Korintus 12:3), kedua, sumber dari segala macam karunia rohani adalah dari Roh Kudus (“Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh.”—1 Korintus 12:4) dan ketiga, dipergunakan untuk saling memperlengkapi bagian-bagian di dalam satu tubuh Kristus (“Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.”—ayat 7).
Dengan jelas, yang dimaksudkan oleh Paulus dengan karunia rohani di ayat 11 pasti berkaitan dengan karunia untuk kepentingan jemaat/bersama di dalam pembangunan tubuh Kristus. Karunia Allah bukan dimonopoli hanya untuk para hamba Tuhan, tetapi juga untuk semua anak Allah. Karunia tetap adalah karunia yang sama dengan anugerah, sesuatu yang berharga yang diberikan dari pribadi kepada pribadi yang tidak layak menerimanya. Demikian halnya dengan karunia/anugerah Allah diberikan oleh Allah kepada manusia yang sebenarnya tidak layak menerimanya. Tetapi herannya, di zaman postmodern, banyak orang “Kristen” menganggap anugerah Allah bisa dimanipulasi dan dituntut seolah-olah mereka adalah orang-orang yang layak dan “harus” mendapatkan anugerah Allah khususnya berbahasa lidah/roh, padahal di dalam di dalam 1 Korintus 12, karunia berbahasa lidah/roh adalah salah satu dari 10 daftar karunia Roh Allah (bukan satu-satunya), bahkan diletakkan pada urutan kesembilan (paling tidak penting). Lalu, wujud karunia rohani apa yang Paulus maksudkan untuk menguatkan jemaat di Roma ?
Ayat 12, Paulus menegaskan bahwa karunia rohani yang dimaksudkannya adalah karunia iman (1 Korintus 12:9). Perhatikan ucapannya, “yaitu, supaya aku ada di antara kamu dan turut terhibur oleh iman kita bersama, baik oleh imanmu maupun oleh imanku.” (BIS, “Maksud saya ialah karena kita sama-sama sudah percaya kepada Yesus Kristus, maka kita dapat saling menguatkan.”) Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam khotbahnya di hari pertama di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) Surabaya 2006 : “Pembelaan dan Perjuangan Iman (Pelayanan Apologetika Reformed)” memaparkan empat macam iman dan karunia iman diletakkan pada urutan ketiga dari keempat macam iman tersebut. Karunia iman adalah sebuah karunia pelayanan yang Allah percayakan kepada para hamba-Nya. Karunia iman yang Paulus miliki dilimpahkan dan dibagikan kepada para jemaat di Roma agar mereka pun memiliki iman di dalam pelayanan mereka. Iman di sini berarti bergantung kepada Allah atau percaya di dalam Kristus. Karena baik Paulus maupun jemaat di Roma memiliki macam iman yang sama, maka Paulus dapat menguatkan iman mereka, sehingga mereka dapat terus-menerus percaya di dalam Kristus tanpa henti. Inilah yang patut kita teladani. Sesama anak Tuhan seharusnya saling menguatkan. Hal ini bisa diartikan dua hal. Pertama, sesama anak Tuhan yang memiliki iman yang sama dapat saling menguatkan. Artinya, mungkin saja salah seorang dari anak Tuhan itu sedang mengalami kesusahan, meskipun ia juga memiliki iman yang beres, tetap saja ia membutuhkan penguatan dari kita. Itu adalah wujud kepedulian kita sebagai anak-anak-Nya di dalam pembangunan satu tubuh Kristus. Kedua, sesama anak Tuhan yang mungkin sementara waktu memiliki iman yang berbeda. Artinya, ada anak Tuhan yang sudah memiliki iman yang beres di dalam Tuhan, sementara anak Tuhan yang lain untuk sementara waktu memiliki iman yang tidak beres yang tidak di dalam Tuhan (mungkin di dalam materialisme, humanisme, dll). Maka, untuk anak Tuhan yang sudah memiliki iman yang beres wajib menguatkan iman anak-anak Tuhan lainnya yang masih belum beres, agar mereka pun boleh kembali beriman di dalam Kristus. Semua ini merupakan kehendak Paulus yang terdalam dari hatinya, tetapi apakah kehendak Paulus sesuai dengan kehendak Allah ?Pada ayat 13, ternyata Allah berkehendak lain dan tidak mengizinkan Paulus mengunjungi jemaat di Roma. Hal ini nyata di dalam pernyataan Paulus, “Saudara-saudara, aku mau, supaya kamu mengetahui, bahwa aku telah sering berniat untuk datang kepadamu--tetapi hingga kini selalu aku terhalang--agar di tengah-tengahmu aku menemukan buah, seperti juga di tengah-tengah bangsa bukan Yahudi yang lain.” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Saudara-saudara! Saya ingin supaya kalian tahu bahwa sudah banyak kali saya bermaksud mengunjungimu tetapi selalu ada saja halangannya. Saya ingin supaya di antaramu pun pekerjaan saya ada hasilnya sebagaimana pekerjaan saya sudah berhasil di antara orang-orang yang bukan Yahudi di tempat-tempat yang lain.” Mengapa Allah tidak mengizinkan Paulus mengunjungi jemaat di Roma ? Bukankah seringkali kita suka sekali menuntut Allah untuk terus mengabulkan permintaan kita walaupun permintaan kita tidak sesuai dengan kehendak-Nya ? Atau mungkin juga kita berpikir bahwa bukankah kehendak Paulus itu baik yaitu mempedulikan kondisi kerohanian jemaatnya, lalu mengapa Allah tidak mengizinkannya ? Apakah ini bukti bahwa Allah itu jahat atau kejam ? TIDAK. Paulus sadar bahwa apa yang diinginkannya tidak sinkron dengan keinginan Allah, sehingga setiap kali ia berniat untuk mengunjungi jemaat di Roma, selalu terhalang/gagal. Apakah pernyataan Paulus berhenti sampai di sini, lalu ia mengeluh dan kecewa ? TIDAK. Paulus sadar bahwa kehendak-Nya lebih penting yaitu agar para jemaat di Roma berbuah. Inilah kehendak Paulus yang dikuduskan, yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah yang Berdaulat. Paulus tidak memaksa Allah mengabulkan kehendaknya, tetapi ia menyerahkan kehendaknya kepada kehendak Allah. Itu namanya kehendak bebas (free-will) yang sejati. Kehendak bebas bukan kehendak yang tanpa batas, seenaknya sendiri, tetapi kehendak manusia berdosa yang diserahkan total kepada kehendak-Nya yang bebas sehingga kehendak-Nya dapat terlaksana melalui diri kita dan orang lain demi kemuliaan-Nya. Ketidakhadiran Paulus di Roma di dalam sudut pandang Allah mengakibatkan mereka (para jemaat di Roma) semakin giat, bertekun di dalam doa, persekutuan dan pengajaran para rasul, sehingga pada akhirnya mereka dapat berbuah. Tidak semua kehendak dan kepedulian manusia yang dianggap baik pasti juga baik menurut kehendak Allah. Seandainya Paulus diizinkan oleh Allah mengunjungi jemaat di Roma untuk waktu yang lama, maka mungkin sekali jemaat di Roma bukan semakin berbuah, malahan bergantung terus kepada Paulus (alias manja). Di sini, kita harus peka akan pimpinan dan kehendak-Nya. Maukah kita meneladani Paulus dengan menyerahkan kehendak kita yang berdosa kembali dikuduskan oleh kehendak Allah sehingga nama-Nya semakin dipermuliakan ? Marilah kita belajar memiliki kehendak pribadi yang dikuduskan oleh kehendak Allah dengan membiarkan Allah bekerja sesuai dengan kehendak dan waktu-Nya di dalam diri kita dan sesama anak Tuhan lainnya demi memperlebar Kerajaan Allah. Ingatlah, jangan terbawa oleh perasaan sesat dan tergila-gila dengan fenomena, tetapi belajarlah melihat esensi di balik fenomena dari sudut pandang Allah dan membiarkan perasaan kita dikontrol oleh hati dan pikiran yang ditundukkan di bawah kehendak Allah yang kudus. Amin.