08 January 2010

Eksposisi 1 Korintus 2:1-5 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 2:1-5

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 2:1-5



Konteks 1 Korintus 2:1-5
Dalam pasal 2:1-5 Paulus masih melanjutkan pembahasan seputar hikmat (sofia) duniawi yang sudah dia bahas sejak pasal 1:18. Keterkaitan antara bagian ini dengan bagian-bagian sebelumnya ditandai dengan kata sambung kagw (lit. “dan aku”). LAI:TB menerjemahkan kata ini dengan “demikianlah pula.”

Walaupun masih berkaitan, namun pasal 2:1-5 merupakan paragraf yang baru. Hal ini ditandai dengan sapaan “saudara-saudara” di awal ayat 1. Kalau di bagian sebelumnya Paulus sudah menjelaskan tentang “kebodohan” Injil (1:18-25) dan “kebodohan” penerima Injil, yaitu jemaat Korintus sendiri (1:26-31), sekarang dia memfokuskan pada “kebodohan” pemberita Injil (2:1-5). Dia ingin mengingatkan jemaat Korintus bahwa sekalipun dia dulu pada waktu melayani di Korintus termasuk kategori pengkhotbah bodoh jika diukur menurut ilmu retorika kuno, tetapi dia sengaja tidak mau memberitakan Injil dengan bersandar pada ilmu retorika kuno.


Struktur 1 Korintus 2:1-5
Alur berpikir Paulus dalam bagian ini sangat mudah untuk ditelusuri. Inti dari pemikiran Paulus terletak di ayat 1, yaitu dia tidak memberitakan Injil mengikuti hikmat duniawi. Setelah menyatakan inti tersebut, Paulus lalu memberikan penjelasan bagi pernyataannya itu (bandingkan kata sambung “sebab” di ayat 2). Penjelasan ini mencakup tiga poin penting di ayat 2-4. Pada ayat 5 Paulus menerangkan tujuan mengapa dia tidak menggunakan hikmat duniawi dalam pemberitaan Injil.
Penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Ayat 1 Inti: Paulus tidak memberitakan Injil menurut hikmat duniawi
Ayat 2-4 Penjelasan
Ayat 2 Paulus tidak mengetahui apa pun selain Kristus yang tersalib
Ayat 3 Paulus memiliki banyak keterbatasan
Ayat 4 Paulus bersandar pada kekuatan Roh
Ayat 5 Tujuan: supaya iman jemaat tidak bergantung pada hikmat manusia


Inti: Paulus tidak memberitakan Injil menurut hikmat duniawi (ay. 1)
Pengulangan kata “aku datang” (ercomai) sebanyak dua kali di ayat 1a (“ketika aku datang, aku tidak datang...”) memiliki makna yang penting. Paulus sebenarnya cukup memakai satu kali saja, tetapi dia memutuskan untuk mengulang hal ini karena dia ingin menekankan pelayanannya yang dulu di kota Korintus. Kedatangan yang dimaksud di sini adalah kedatangan Paulus pertama kali di kota Korintus sebagaimana dicatat dalam Kisah Rasul 18:1-18.

Ketika Paulus pertama kali datang ke Korintus, dia tidak datang “dengan kata-kata yang indah dan dengan hikmat” (ay. 1b). Terjemahan LAI:TB di ayat ini memiliki beberapa kelemahan. Terjemahan “indah” di sini tidak tepat. Kata Yunani huperoch berkaitan dengan ide “memiliki sesuatu di atas atau secara berlebihan”, sehingga seharusnya diterjemahkan “superior” (NASB/NIV), “hebat” (KJV) atau “tinggi” (RSV). Selain itu, para penerjemah LAI:TB mengasumsikan bahwa kata sifat huperoch hanya menjelaskan kata benda logos (LAI:TB “kata-kata yang indah”), padahal huperoch seharusnya menjelaskan kata benda sofia (“hikmat”) juga. Kelemahan lain dari terjemahan LAI:TB adalah penggunaan “kata-kata” untuk menerjemahkan kata Yunani logos. Sesuai dengan konteks yang ada, logos di sini lebih mengarah pada perkataan (KJV/NASB “speech”; NIV “eloquence”), bukan kata-kata (RSV “words”). Jika semua penjelasan ini digabungkan, maka ayat 1b seharusnya diterjemahkan “dengan superioritas perkataan atau (superioritas) hikmat.”

Dua hal yang disebut Paulus dalam ayat ini – yaitu perkataan (logos) dan hikmat (sofia) – merupakan karakteristik utama seorang orator yang ulung menurut ilmu retorika waktu itu. Kata logos lebih mengarah pada bentuk (cara penyampaian), sedangkan sofia lebih ke arahisi (kualitas logika dan jangkauan pengetahuan). Seorang orator harus mampu memberikan materi yang menunjukkan pikirannya yang tajam dan pengetahuannya yang luas. Dia juga harus mampu menyampaikan materi tersebut dengan cara yang menarik dan memukau pendengar.

Pernyataan Paulus di ayat ini tidak berarti bahwa dia adalah orang yang tidak berpengetahuan atau tidak dapat menyampaikan sesuatu dengan jelas. Kotbahnya di depan para filsuf di Atena (Kis. 17:21-34) membuktikan kehebatan pengetahuan Paulus. Festus pun mengakui kehebatan Paulus selama dia mendengar kotbahnya. Dia berseru “Engkau gila Paulus! Ilmumu yang banyak itu membuat engkau gila” (Kis. 26:24). Yang dimaksud Paulus di 1 Korintus 2:1 adalah bahwa dia tidak mau menjadikan semua kriteria retorika tersebut sebagai sesuatu yang penting. Dia tidak mau menyandarkan pemberitaannya pada kemampuan retorika.

Paulus sadar bahwa dia sedang menyampaikan kesaksian Allah (ay. 1c). Kata “menyampaikan” di sini dalam teks Yunani adalah katangellw. Versi Inggris dengan tepat menerjemahkan kata ini dengan “mendeklarasikan” (KJV) atau “memproklamasikan” (NASB/NIV/RSV). Makna utama yang terkandung dalam kata ini adalah “membuat sesuatu diketahui oleh publik.” Tidak heran, kata ini tidak selalu melibatkan komunikasi verbal dalam bentuk kotbah. Roma 1:8 “telah tersiar kabar (katangellw) tentang imanmu di seluruh dunia.” 1 Korintus 11:26 “sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan (katangellw) kematian Tuhan sampai Ia datang.” Melalui kata katangellw ini Paulus ingin menjelaskan kepada jemaat Korintus bahwa sekalipun dia tidak berkotbah di depan banyak orang seperti yang yang biasa dilakukan orator ulung waktu itu, namun berita yang dia sampaikan di rumah atau synagoge akhirnya tetap diketahui oleh publik dan hal ini tidak dicapai melalui superioritas perkataan atau superioritas hikmat.

Apa yang disampaikan Paulus adalah kesaksian (martyrion) Allah. Dalam beberapa salinan Alkitab kuno, kata yang dipakai bukan martyrion (“kesaksian”), tetapi mysthrion (“misteri”). Para penafsir modern umumnya menganggap salinan mysthrion lebih sesuai dengan naskah asli. Editor teks Yunani yang paling modern dan terpercaya (NA27 dan UBS4) juga berpendapat bahwa kata mysthrion lebih asli. Pendapat ini tampaknya sangat bisa diterima karena didukung oleh salinan yang lebih tua dan sesuai dengan konteks yang ada (kata muncul lagi di 1 Korintus 2:7)

Kata mysthrion muncul 28 kali dalam seluruh Perjanjian Baru, 21 di antaranya ditemukan dalam tulisan Paulus. Dari pemunculan kata ini dapat disimpulkan bahwa mysthrion merujuk pada sesuatu yang dahulu tertutup tetapi perlahan dibuka oleh Allah. Kata ini selalu berhubungan dengan sejarah penebusan yang dinyatakan Allah (Rm. 11:25; 16:25; 1Kor. 2:1, 7; 4:1; 13:2; 14:2; 15:51; Ef. 1:3; 3:3, 4, 9; 5:32; 6:19; Kol. 1:26, 27; Kol. 2:2; 4:3; 2Tes. 2:7; 1Tim. 3:9, 16).

Melalui penggunaan kata mysthrion di 1 Korintus 2:1 Paulus bermaksud mengingatkan jemaat Korintus bahwa yang paling penting dalam pemberitaan Injil adalah karya Allah. Kefasihan bicara dan pengetahuan pengkotbah bukanlah yang terpenting. Misteri ini (bdk. ayat 7) hanya dapat dipahami dengan bantuan Roh Kudus (2:9-13). Hikmat dunia justru tidak dapat menyelami misteri ini (ay. 8, 14).


Penjelasan (ay. 2-4)
Di ayat 2-4 Paulus memberikan penjelasan bagi pernyataannya di ayat 1. Ada tiga hal yang dia paparkan.
Paulus tidak mengetahui apa pun selain Kristus yang tersalib (ay. 2)
Dalam teks Yunani, ayat 2 dimulai dengan kata ou (“tidak”). Peletakan kata ou di awal kalimat mengindikasikan penekanan. Paulus sungguh-sungguh memutuskan untuk tidak mengetahui apa pun. Pernyataan ini tidak berarti bahwa Paulus benar-benar buta tentang keadaan kota Korintus. Pernyataan ini harus dipahami sebagai kontras antara Paulus dan para orator kuno. Para orator biasanya menyelidiki apa yang ingin diketahui oleh calon pendengar mereka. Hal ini dilakukan agar materi yang disampaikan dapat diterima dan menyenangkan pendengar.
Paulus tidak mau mempraktikkan kebiasaan para orator di atas. Bagi dia yang paling penting bukan apa yang pendengar ingin ketahui, tetapi apa yang mereka harus ketahui. Bagi Paulus yang paling penting adalah Kristus yang tersalib (ay. 2b), walaupun berita ini merupakan batu sandungan dan kebodohan bagi pendengarnya (bdk. 1:23). Berita selalu disampaikan Paulsu di mana saja dan kepada siapa saja (Kis. 13:26-42). Dia tidak mau menyenangkan telinga pendengar dengan mengorbankan berita yang sangat penting (Gal. 1:10;1Tes. 2:5-6).

Paulus memiliki banyak keterbatasan (ay. 3)
Kata Yunani egenomhn (dari kata ginomai) dapat berarti “aku datang” (LAI:TB/NIV “I came to you”) atau “aku bersama-sama” (KJV/NASB/RSV “I was with you”). Dari dua alternatif ini, alternatif ke-2 tampaknya lebih tepat. Ketika membicarakan tentang kedatangan dan kehadiran Timotius ke Korintus di pasal 16:10, Paulus membedakan kata kerja ercomai (“datang”) dan ginomai (“berada”). Jika terjemahan “aku bersama-sama” diterima, maka ayat 3 merujuk pada Kisah Rasul 18:11-18 ketika Paulus tinggal bersama-sama dengan jemaat Korintus selama sekitar 1,5 tahun.
Selama kebersamaan dengan mereka ini, Paulus berada dalam berbagai keterbatasan. Dia dalam kelemahan, ketakutan dan kegentaran. Dalam teks Yunani, frase “dalam...dalam....dalam....” diletakkan di depan kata kerja egenomhn untuk memberikan penekanan. Bukan hanya cara berkotbah Paulus yang tidak sesuai ilmu retorika kuno, namun kehadirannya pun dipenuhi dengan berbagai keterbatasan.
Keterbatasan Paulus yang pertama adalah kelemahan (asqeneia). Kata asqeneia berasal dari kata a = tidak dan sqenos = kekuatan. Kata ini sering kali dipakai untuk kelemahan secara fisik (Mat. 8:17; Luk. 5:15; Yoh. 5:5; Kis. 28:9; Gal. 4:13). Dalam beberapa kasus kata ini juga dipakai dalam konteks penganiayaan, misalnya kelemahan Paulus di 1 Korintus 4:10 dijelaskan dalam konteks penganiayaan (bdk. ayat 11-13). Kita tidak mengetahui secara pasti apakah asqeneia merujuk pada penyakit fisik atau penganiayaan (luka/cacat akibat penganiayaan), karena Kisah Rasul 18:1-18 tidak menceritakan apa pun tentang kelemahan fisik Paulus. Paulus mungkin saja memikirkan dua arti tersebut, ditambah dengan kondisi fisik Paulus sendiri yang menurut tradisi kurang menarik (wajah, ukuran tubuh dan bentuk kaki Paulus tampak tidak normal). Yang jelas, kelemahan ini pasti berhubungan dengan tanda-tanda yang dapat dilihat di tubuh Paulus.
Keterbatasan yang lain adalah “ketakutan dan kegentaran.” Dua kata ini sebaiknya digabung, karena keduanya sinonim dan sering kali dipakai secara bersamaan dalam Alkitab (LXX, Kel. 15:16; Yes. 19:16; 2Kor. 7:15; Flp. 2:12; Ef. 6:5). Ketakutan Paulus ini sangat mungkin tidak berhubungan dengan ketakutan terhadap orang-orang Yahudi (Kis. 18:9-10), karena 1 Korintus 2:3 berbicara tentang pelayanan Paulus selama 1,5 tahun (bukan pada saat pertama kali datang). Para sarjana umumnya melihat ketakutan ini secara lebih luas: Paulus gentar dengan tugas pemberitaan Injil di kota metropolis seperti Korintus. Orang-orang waktu itu cenderung hanya menerima pengkotbah yang dapat menghibur mereka, sedangkan Paulus dari segi penampilan fisik dan kemampuan tidak memenuhi persyaratan itu.

Paulus bersandar pada kekuatan Roh (ay. 4)
Di ayat ini Paulus menegaskan bahwa pemberitaannya tidak disampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan (ay. 4a). Kata peiqois (“meyakinkan”) hanya muncul sekali di seluruh Alkitab. Berdasarkan penggunaan kata ini di luar Alkitab, kata peiqois dapat memiliki makna positif (“persuasif”, NIV/NASB), netral (“masuk akal”, RSV) atau negatif (“memikat”, KJV), tergantung pada konteks. Dari konteks yang ada, peiqois tampaknya bermakna negatif.
Kita tidak boleh memahami bahwa kotbah Paulus kurang meyakinkan. Yang sedang menjadi sorotan adalah jenis persuasi yang dipakai. Paulus tidak memakai persuasi secara hikmat duniawi yang mengandalkan kefasihan dan kepandaian pembicara. Sebaliknya, kekuatan kotbah Paulus terletak pada keyakinannya akan kekuatan Roh (ay. 4b). Terjemahan “keyakinan” sebenarnya tidak terlalu tepat mengekpresikan kata Yunani yang dipakai. Kata apodeixis yang hanya muncul sekali dalam Alkitab ini memiliki arti “bukti” (2Mak 4:20) atau “demonstrasi” (4Mak 3:19). Jadi, Paulus bukan sekedar yakin, tetapi dia sudah melihat atau membuktikan sendiri kekuatan Roh Kudus dalam kotbahnya. Kekuataan Roh dalam konteks ini bukanlah mujizat tertentu (kesembuhan, pengusrian setan, dsb), tetapi pertobatan orang-orang berdosa. Pertobatan adalah mujizat terbesar, karena orang yang mati dalam dosa dan memusuhi Allah dapat diubah menjadi orang yang mengasihi Dia.


Tujuan (ay. 5)
Paulus menutup pembahasannya di pasal 2:1-5 dengan menjelaskan tujuan mengapa dia tidak mau memberitakan Injil dengan hikmat duniawi. Dia tidak mau iman jemaat Korintus bergantung pada (lit. “berada dalam”) hikmat manusia. Dia ingin iman mereka bergantung pada kekuatan Allah. Dengan memahami kebenaran ini, jemaat Korintus akan terhindar dari bahaya memegahkan diri sendiri atau para pemimpin mereka. Mereka seharusnya bermegah di dalam Tuhan (1:31), karena semua berasal dari, oleh dan untuk Tuhan (Rm. 11:36). #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 13 Januari 2008