29 November 2009

HERE, I STAND: Sebuah Perenungan tentang Panggilan Kekristenan di Era Postmodern (Denny Teguh Sutandio)

HERE, I STAND:
Sebuah Perenungan tentang Panggilan Kekristenan di Era Postmodern


oleh: Denny Teguh Sutandio




PENDAHULUAN
Zaman adalah suatu era di mana kita hidup, tinggal, dan bersosialisasi di dalamnya. Setiap zaman memiliki semangat zaman (Inggris: spirit of the age; Jerman: zeitgeist). Dan setiap semangat zaman itu juga memiliki dampak positif dan negatifnya. Dampak negatif dari semangat zaman ini disebut oleh Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai krisis zaman. Saya menyebut ketidakberesan ini sebagai penyakit zaman. Mari kita menelusuri setiap zaman dan semangat zaman di dalamnya. Lalu, saya akan memfokuskan pada pembahasan postmodernisme karena kita sedang hidup di dalam zaman postmodern. Setelah itu, kita akan menelusuri dampak semangat postmodernisme di dalam Kekristenan dan sikap Kristen yang benar. Artikel ini dibuat bukan sebagai bahan studi akademis, namun sebagai perenungan.




ZAMAN PREMODERN DAN MODERN
Di zaman premodern, orang-orang masih percaya akan hal-hal yang bersifat ilahi/ketuhanan. Bahkan di zaman Abad Pertengahan, theologi disebut ratu ilmu pengetahuan. Namun, zaman berubah. Zaman premodern berubah menjadi zaman modern yang menitikberatkan akan peran rasio. Meskipun pada permulaan zaman ini, agama dan iman masih diakui, namun rasio mulai mendapat tempat penting. Kemudian, zaman modern benar-benar terlihat ketika di abad Pencerahan, agama dibuang dan diinjak-injak dan diganti dengan superioritas rasio sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran. Minat terhadap filsafat-filsafat Yunani mulai bangun. Meskipun hal ini ada dampak positifnya, namun sayangnya dampak negatiflah yang lebih banyak dihasilkan. Dampak positifnya adalah manusia di abad modern berusaha semaksimal mungkin mendayagunakan rasio mereka dengan bertanggungjawab, meskipun banyak di luar iman. Di abad ini juga, keteraturan masih dipertahankan. Gedung dan arsitektur memperlihatkan adanya keteraturan dan simetris. Sedangkan dampak negatif dari abad ini adalah Alkitab dipertanyakan validitas (keabsahan)nya, namun sayangnya rasio tidak pernah dipertanyakan validitasnya. Inilah kelucuan abad Pencerahan.




ZAMAN POSTMODERN DAN POSTMODERNISME: DAMPAK POSITIF DAN PENYAKIT-PENYAKITNYA
Zaman modern telah usai dan diganti dengan zaman postmodern. Jika di zaman modern, manusia mempergunakan rasio dan mengutamakan keteraturan, maka di zaman postmodern, manusia lebih mementingkan perasaan, me“mutlak”kan kerelatifan, dan mengutamakan ketidakteraturan. Di dalam zaman postmodern, keluarlah ide postmodernisme yang memengaruhi budaya postmodernitas di dalam kehidupan sehari-hari. Ide postmodernisme keluar sebagai bentuk protes terhadap modernisme yang mementingkan rasio. Mereka menyadari hal ini setelah 2 kali meletusnya Perang Dunia yang memakan banyak korban jiwa. Dari sini, mereka sadar bahwa rasio bukan segala-galanya. Akibatnya, mereka tidak lagi menekankan fungsi rasio, namun merambah ke dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Tidak heran, istilah-istilah seperti EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), dll mulai dimunculkan. Hal-hal ini tentu tidak salah, karena kepintaran seseorang tidak bisa diukur hanya dari kemampuan intelektualitas semata-mata, namun juga bisa diukur dari sisi emosi dan spiritual/rohani. Hal ini juga menjadi teguran bagi beberapa Reformed yang suka mengoleksi pengajaran melalui khotbah-khotbah dan buku-buku, namun kerohaniannya kering dan statis, apalagi relasi sosialnya benar-benar menyedihkan, heheheJ.


Selain itu, postmodernisme juga menekankan kerelatifan. Bagi postmodernisme, segala sesuatu itu relatif. Meskipun ada sedikit benarnya bahwa segala sesuatu di dunia ini relatif (dan hanya Allah dan firman-Nya saja yang mutlak), namun konsep ini mengandung bahaya dan berisi kekontradiksian di dalam dirinya sendiri. Bahaya dari konsep ini adalah bagi para penganut postmodernisme, karena segala sesuatu itu relatif, maka nilai pun menjadi relatif. Sesuatu yang berharga tidak bisa dibedakan dengan sesuatu yang tidak berharga. Segala sesuatu yang relatif akhirnya menjadi segala sesuatu sesuai dengan nilai sendiri yang berbeda-beda antar manusia. Akibatnya keluarlah ide (mengutip perkataan Pdt. Sutjipto Subeno), “My business is not your business. Your business is not my business. Let us do our own business.” Atau istilah dari Ev. Ivan Kristiono, generasi postmodern adalah generasi EGP (Emang Gue Pikirin). Budaya cuek-isme telah beredar di zaman ini. Kedua, kekontradiksian konsep ini begitu kentara. Orang postmodern gemar menyuarakan “segala sesuatu itu relatif”, tetapi tolong tanya, bagaimana mereka menyuarakan ide mereka? Tentu dengan semangat kemutlakan bukan? Jadi, istilahnya, mereka me“mutlak”kan ide bahwa segala sesuatu itu relatif. Suatu permainan istilah yang lucu yang mereka ciptakan sendiri.


Karena menekankan ide segala sesuatu itu relatif, maka filsafat postmodernisme menghasilkan suatu ketidakteraturan. Di bidang arsitektur, kita bisa melihat perbedaan ciri khas bangunan ala modernisme vs postmodernisme. Di abad modern, gedung dibangun dengan arsitektur yang teratur dan simetris, sedangkan di zaman postmodern, dengan ide relativisme, mereka membangun gedung-gedung dengan arsitektur yang kacau dan asimetris. Mengapa? Karena mereka bosan dengan gaya modern yang teratur. Bukan hanya dalam bidang arsitektur, ketidakteraturan juga merambah ke dalam bidang seni. Dalam bidang seni musik, di abad modern, manusia masih menyukai musik-musik berkualitas, namun sayang di abad postmodern, manusia lebih menyukai musik-musik tidak bermutu. Yang disukai oleh manusia postmodern adalah musik-musik yang menyenangkan telinga dan menggoyangkan badan. Dalam bidang seni sastra, bahasa bukan lagi sebagai suatu alat komunikasi yang jelas dan terarah, namun sudah menjadi kacau. Adanya ambiguitas menandakan ketidakteraturan bahasa di abad postmodern. Satu kata bisa berbagai arti. Begitu juga halnya dengan hermeneutika (ilmu penafsiran). Jika di zaman modern tidak ada ambiguitas makna sehingga hampir tidak mungkin adanya kesalahan penafsiran, maka di zaman postmodern yang sarat dengan ambiguitas makna, maka penafsiran pun semakin banyak tidak bertanggungjawab, sehingga masing-masing orang bisa menafsirkan semaunya sendiri tanpa mau mengerti dari sumber pertamanya.


Karena menekankan ketidakteraturan, maka postmodernisme melahirkan suatu semangat yang benar-benar mengerikan: PEMBERONTAKAN! Karena tidak mau terikat pada tradisi lama, maka banyak manusia postmodern mulai memberontak. Memberontak terhadap tradisi lama yang kaku, memberontak terhadap iman yang beres, memberontak terhadap segala hal yang bernilai, dll. Semangat pemberontakan akhirnya menghasilkan sikap-sikap asusila, seperti: lesbian, homo, banci, dll. Sikap-sikap ini bukan diberantas, malah didukung bahkan oleh Presiden Amerika Serikat yang baru, Barack H. Obama.




DAMPAK POSTMODERNISME KE DALAM KEKRISTENAN DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAPNYA
Postmodernisme yang begitu mengerikan ternyata tidak hanya berlaku di dalam dunia, bahkan telah meresap dan memengaruhi Kekristenan. Pengaruh ini bersifat positif dan lebih bersifat negatif.


Pertama, Kekristenan yang menyeluruh (tidak hanya mementingkan masalah otak). Sebenarnya secara dasar dan sumber asal, Kekristenan yang berdasarkan Alkitab memperhatikan seluruh aspek kehidupan manusia. Kalau mau ditelusuri lebih dalam, Alkitab mementingkan masalah hati ketimbang rasio (1Sam. 16:7; Mat. 15:18-19). Dengan kata lain, urutannya: hati --> rasio --> perkataan --> perbuatan. Namun sayangnya, dasar manusia berdosa, mereka suka menekankan hal-hal tertentu lebih daripada yang lainnya. Di abad premodern, Kekristenan menekankan mistisisme. Di abad modern, Kekristenan menekankan rasio. Nah, di abad postmodern, Kekristenan mulai sadar dan tidak lagi terlalu menekankan rasio, melainkan merambah ke semua bidang kehidupan. Hadirnya Gerakan Reformed Injili yang didirikan oleh hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong membuktikan bahwa Kekristenan harus menggunakan rasio untuk mengerti kebenaran firman Tuhan, mengkritisi zaman sesuai firman Tuhan, dan mengembalikan zaman kepada Kristus. Namun, Kekristenan juga tetap memerlukan pengalaman rohani sebagai respons terhadap mengenal Allah secara kognitif. Selain itu juga, Kekristenan memperhatikan perkataan dan tindakan yang selaras dengan kebenaran firman Tuhan.


Kedua, kerelatifan segala sesuatu. Karena memercayai ide bahwa segala sesuatu itu relatif, maka beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen pelan namun pasti sedang gembira menyambut teori ini dan mengaplikasikannya ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena segala sesuatu itu relatif, maka tidak ada standar kebenaran yang bisa dipegang. Akibatnya, orang Kristen sendiri pun memiliki kebenaran versi mereka sendiri yang banyak tidak sesuai dengan Alkitab. Karena masing-masing orang Kristen memiliki kebenaran versi sendiri, mereka secara “konsisten” tidak akan menganggu kebenaran versi orang Kristen lain. Bagi mereka, semua itu benar dan benar tergantung diri mereka sendiri. Mereka akan marah sekali jika ada orang Kristen tertentu yang menegur iman orang Kristen lainnya yang tidak sesuai dengan Alkitab. Kemarahan mereka dibalut dengan kata-kata “rohani” yang seolah-olah didukung oleh ayat Alkitab: “Jangan menghakimi.” Padahal pernyataan mereka ini tidak konsisten. Mereka berkata, “Jangan menghakimi gereja lain”, padahal secara tidak sadar, mereka pun sedang menghakimi. Bukankah ini suatu teori yang melawan diri sendiri? Aneh bukan? HeheheJ Benarlah apa yang dikatakan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong bahwa semua filsafat dunia yang melawan Alkitab selalu berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Kerelatifan lainnya juga ditunjukkan dengan kerelatifan nilai. Makin hari Kekristenan bukan makin bijaksana dalam menentukan nilai, melainkan makin parah. Apa yang sungguh-sungguh bernilai dianggap tidak bernilai, sebaliknya apa yang sebenarnya sampah dianggap bernilai. Dan yang lebih parah mereka lebih memerhatikan fenomena ketimbang esensi! Tidak heran, para pemuda/i yang mengaku “Kristen” terlibat dalam hal ini. Mereka memilih lawan jenis bukan karena imannya, tetapi karena faktor-faktor fenomena yang sebenarnya tidak bertanggungjawab, misalnya: ganteng/cantik, tinggi, seksi, kaya (tajir), cocok kalau ngobrol dengannya, dll. Yang lebih parah lagi, ada seorang anak aktivis gereja tertentu di Surabaya yang memilih lawan jenisnya BUKAN karena iman, melainkan karena cocok kalau ngobrol dengannya. Yang mengasihankan, lawan jenisnya yang dijadikan pacarnya adalah BEDA AGAMA! Luar biasa. Nilai makin lama makin hancur dan pelan namun pasti itu sedang dan akan terus terjadi di dalam Kekristenan. Oleh karena itu, berhati-hatilah akan tipu daya iblis!


Ketiga, ketidakteraturan segala sesuatu. Karena percaya bahwa segala sesuatu itu relatif, maka banyak orang Kristen tidak lagi mementingkan keteraturan. Bidang pertama yang sering dijumpai adanya ketidakteraturan di dalam Kekristenan adalah ibadah. Ibadah bukan lagi dilakukan dengan sikap hormat di hadapan Tuhan, tetapi makin lama ibadah Kristen makin liar. Lagu-lagu rohani zaman dahulu dibuang dan diganti dengan lagu-lagu rohani kontemporer. Meskipun saya TIDAK mengatakan bahwa semua lagu rohani kontemporer itu salah semua dan semua lagu klasik itu semua benar, namun kecenderungan banyak gereja Kristen zaman postmodern ini adalah mulai meninggalkan warisan bermutu dari lagu-lagu rohani zaman dahulu. Saya menghargai dan bahkan menyukai beberapa lagu rohani kontemporer yang benar sesuai dengan konsep Alkitab yang terintegrasi, namun harus diakui banyak lagu rohani kontemporer yang digubah dengan isi dan arti yang berlawanan dengan Alkitab karena si penggubah lagu rohani tersebut kurang mengerti prinsip Alkitab secara terintegrasi (bandingkan hal ini dengan banyak penggubah lagu rohani klasik seperti G. F. Handel, J. S. Bach, dll yang membaca buku-buku theologi dan Alkitab).

Bidang kedua yang saya jumpai tidak teratur di dalam Kekristenan adalah masalah bahasa. Karena ikut-ikutan dengan konsep dunia berdosa, maka Kekristenan juga mengimpor ide ambiguitas bahasa alias penggunaan bahasa yang semaunya sendiri. Bahasa-bahasa atau istilah-istilah rohani dipakai untuk sesuatu yang tidak beres motivasi dan tujuannya. Misalnya, istilah bergumul yang seharusnya berarti sebuah proses tindakan yang mengetahui Kebenaran dan risiko melakukannya, namun terus berjuang mengalahkan godaan iblis dan sebaliknya taat kepada Kebenaran, sekarang istilah tersebut mengalami deviasi demi kepuasan sesaat seorang muda/i “Kristen”. Atas nama “cinta” dan kecocokan, banyak muda/i “Kristen” dengan mudahnya menjual iman mereka (sambil tetap katanya “melayani Tuhan”) dengan alasan-alasan konyol, namun tetap menggunakan istilah-istilah “rohani”, seperti: “saya sedang menggumulkan dia.” Benarkah mereka bergumul? TIDAK. Mereka sedang suka dengan lawan jenis yang beda agama, namun mereka sungkan kalau berkata demikian, maka supaya kelihatan “rohani”, maka mereka mengatakan, “Saya menggumulkan dia.” Yang lebih parah lagi, ambiguitas bahasa ini dimuati oleh presuposisi dasar dari diri yang berpura-pura. Tambah klop dech, postmo abizzz, heheheJ Kemunafikan atau bermuka dua dari diri seseorang mengakibatkan sikap semaunya sendiri dalam menggunakan bahasa. Untuk mengatakan TIDAK saja menggunakan beragam bahasa yang katanya tujuannya agar tidak menyakiti orang lain, namun sayang, pelan namun pasti (yang tidak disadari atau sebenarnya pura-pura tidak disadari), jika diketahui, justru perkataannya itu lebih menyakitkan. Dengan kata lain, di mana-mana bermuka dua dibenci orang. Pertama-tama, Alkitab membencinya (baca: Rm. 12:9) dan orang pada umumnya juga membencinya. Koko sepupu saya yang beragama Kristen Katolik yang tidak terlalu religius mengungkapkan kebenciannya pada orang yang bermuka dua. Yang lebih mengerikan adalah ada orang Kristen bahkan Reformed yang bisa-bisanya bermuka dua. Itu mengerikan!

Bidang ketiga ketidakteraturan adalah bidang penafsiran. Bahasa yang bisa bermakna lebih dari satu mengakibatkan ketidakteraturan penafsiran. Apakah kekacauan penafsiran selalu diakibatkan oleh ambiguitas bahasa? Bisa ya, bisa tidak. Ya, karena kekacauan bahasa mengakibatkan orang yang menafsirkan bahasa tersebut menjadi bingung. Saya sering mengalami kebingungan/kesulitan menafsirkan satu kata dari seseorang. Tidak, karena meskipun ada kata yang jelas artinya, namun dasar manusia berdosa selalu menafsirkan semaunya sendiri. Misalnya, sudah jelas-jelas Alkitab mengajarkan tentang realitas dosa, namun tetap saja ada hamba Tuhan yang menyangkalnya dan/atau menyebut dosa itu sebagai penyimpangan atau kesalahan saja. Contoh praktis bidang penafsiran adalah beragam tafsiran Alkitab. Mengapa Alkitab yang satu bisa menghasilkan banyak tafsiran Alkitab? Masih untung kalau antar tafsiran Alkitab itu ada kesesuaiannya, bagaimana kalau beberapa tafsiran Alkitab bisa bertolak belakang? Itu mengenaskan. Beragam tafsiran Alkitab yang berbobot itu sah dan baik, namun yang menjadi persoalannya adalah orang-orang postmodern melalui beberapa hamba Tuhan yang tidak pernah sekolah theologi baik-baik berani menulis dan menerbitkan buku tafsiran Alkitab bahkan berani berkhotbah di atas mimbar.


Keempat, pemberontakan. Ide postmodernisme keempat yang memengaruhi Kekristenan adalah pemberontakan. Ide ini pertama kali muncul di dalam gaya ibadah Kristen. Jika gereja zaman dahulu mengutamakan keteraturan, maka gereja postmodern mulai mendengungkan pemberontakan terhadap keteraturan dan menganggap keteraturan itu sebagai tindakan membatasi kuasa “Roh Kudus.” Jadi bagi mereka, “Roh Kudus” adalah roh yang tidak teratur. Sejak kapan Alkitab mengajar demikian? Coba baca 1 Korintus 14:40 dan 2 Timotius 1:7. Kedua ayat ini mengajar kita bahwa Roh Kudus dan karunia-karunia-Nya identik dengan keteraturan dan ketertiban, bukan kekacauan apalagi pemberontakan. Dengan kata lain, kalau kita mempelajari Alkitab, siapakah yang dicatat memiliki jiwa pemberontakan? Siapa lagi, kalau bukan si setan. Dari sejak kitab Kejadian, iblis sudah mengajak Adam dan Hawa untuk memberontak melawan Allah. Kemudian, kitab-kitab selanjutnya juga menceritakan hal serupa. Jadi, ide siapa ide pemberontakan itu? Jelas, si setan. Jadi, barangsiapa yang ikut-ikutan memberontak, pengikut siapakah itu? Jawab sendiri, heheheJ




PANGGILAN KEKRISTENAN DI DALAM ZAMAN POSTMODERN
Bagaimana sikap Kristen yang benar terhadap postmodern? Ada dua pandangan yang sedang beredar.
Pandangan pertama adalah pandangan mayoritas Kristen yang dengan “sukacita” menerima dan menyebarkan ide-ide postmodernisme. Mereka dengan mudahnya melahap semua ide postmodernisme baik secara eksplisit maupun implisit. Nah, kalau sudah melahapnya, mereka akan dengan sendirinya mengindoktrinasi orang Kristen lain untuk mengadopsi pikiran mereka secara langsung maupun tidak langsung. Itulah dosa. Dosa tidak mau hanya dimiliki pribadi, namun juga dibagikan ke orang lain. Sayangnya orang Kristen yang beres di dalam memberitakan Injil tidak bisa seantusias ketika menyebarkan ide postmodernisme ini, heheheJ

Pandangan kedua adalah anti-postmodernisme. Ada kalangan Kristen yang benar-benar anti terhadap postmodernisme. Pendetanya mati-matian menyalahkan semua ide postmodernisme (tanpa melihat sedikitpun sisi positif di dalam postmodernisme). Sebenarnya mengapa bisa timbul reaksi demikian? Si pendeta secara sepihak langsung merujuk ke Roma 12:2 yang mengajar bahwa kita harus mengubah paradigma kita sesuai dengan kehendak Allah. dengan tidak mengikuti paradigma duniawi.


Di antara kedua pandangan yang tidak bertanggung jawab dan ekstrem ini, bagaimana sikap orang Kristen yang normal dan bertanggung jawab? Saya menyebut posisi saya terhadap postmodernisme adalah PARADOKS dan BIJAKSANA. Paradoks, berarti kita TIDAK 100% menerima postmodernisme dan juga TIDAK 100% menolak postmodernisme. Bijaksana, berarti kita bisa menyetujui ide-ide postmodernisme yang TIDAK melawan Alkitab dan tentunya menolak dengan tegas ide-ide postmodernisme yang jelas-jelas melawan Alkitab. Di dalam melihat ajaran-ajaran dunia yang tidak bertanggung jawab, Alkitab TIDAK ekstrem menolak semua ajaran ataupun menerima semua ajaran, namun Alkitab BIJAKSANA mengambil sikap. Apakah sikap Alkitab terhadap ajaran dunia? Rasul Paulus di dalam 1 Tesalonika 5:21 mengatakan, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Kedua pernyataan ini digabungkan, maka artinya kita dituntut Tuhan melalui Paulus untuk menguji segala sesuatu dan setelah itu, berpegang pada yang baik. Hal inilah yang akan saya jelaskan berikut ini tentang sikap Kristen yang paradoks dan bijaksana tersebut.
1. Mutlak Vs Relatif (dan Aplikasinya)
Di titik pertama, Kekristenan harus memiliki konsep nilai yang bertanggung jawab dan sesuai dengan Alkitab. Nilai yang saya maksudkan berkaitan bukan hanya masalah bermutu atau tidak, tetapi juga mutlak atau tidak. Kekristenan yang bijaksana mampu membedakan mana yang mutlak vs relatif. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajarkan bahwa yang mutlak jangan direlatifkan dan yang relatif jangan dimutlakkan. Berarti ada wilayah-wilayah kemutlakan yang harus dipertahankan secara tegas, sedangkan ada hal-hal yang relatif yang tidak perlu terlalu kaku dipegang teguh. Apa saja yang perlu dipertahankan? Iman, kerohanian, pengertian Kebenaran secara dasar, kebijaksanaan, etika, dll. Apa saja yang tidak perlu dipertahankan mutlak? Ajaran Kristen yang sekunder (seperti baptisan anak, perbedaan cara baptisan, perbedaan doktrin akhir zaman, dll), tradisi, ilmu, kebudayaan, gaya hidup, dll. Orang yang tidak bisa membedakan dua hal ini saya sebut sebagai orang lebay (berlebih-lebihan) atau ekstrem. Dari konsep doktrinal sampai hal-hal sehari-hari, ada saja orang-orang lebay. Gejala orang ekstrem atau lebay ini ditandai dengan sikap yang memutlakkan semua hal bahkan yang relatif sekalipun. Berarti tidak ada kompromi sedikitpun di dalam diri orang ini, bahkan untuk hal-hal yang tidak penting. Kekristenan memang mengajarkan bahwa kita tidak boleh kompromi, namun kita harus mengerti bahwa kita tidak boleh kompromi untuk hal-hal seperti apa. Untuk hal-hal mutlak, kita memang tidak boleh berkompromi sedikitpun, namun untuk hal-hal sekunder bahkan tersier, kita boleh berkompromi. Kalau semua orang tidak boleh berkompromi untuk semua hal, maka jangan heran, biasanya orang lebay jika dibiarkan terus-menerus akan menjadi stres, karena orang ini akan seperti anak kecil yang marah-marah kalau melihat orang lain berbeda dari dirinya. Nah, kalau orang stres seperti ini cocoknya masuk ke rumah sakit jiwa, hahahaJ Secara realitas, orang-orang model seperti ini sudah ada lho. Modelnya sih benar-benar kaku, jarang senyum, pemikir, dan tidak gaul (istilah kerennya: jadul/jaman dahulu). Apa ini ya ciri khas Kristen (apalagi Reformed)? HeheheJ Saya pribadi tidak mau seperti itu. Saya Reformed secara prinsip, namun gaul di dalam relasi dengan orang lain, karena saya masih muda, heheheJ Ini bukan kontradiksi!


2. Iman atau Rasio atau Aspek Integratif?
Setelah mengerti perbedaan mutlak vs relatif, maka kita masuk ke dalam pengertian berikutnya tentang iman atau rasio atau aspek integratif. Di dalam modernisme yang ditekankan adalah fungsi rasio. Sesuatu disebut kebenaran jika cocok dengan rasio manusia. Postmodernisme muncul sebagai reaksi terhadap modernisme yang mengilahkan rasio. Dalam hal ini, postmodernisme benar ketika mendobrak bahwa kebenaran bukan hanya didominasi oleh rasio saja, tetapi semua aspek: emosi, spiritual, dll. Namun postmodernisme kurang mengerti satu hal bahwa seluruh aspek integratif ini tidak bertanggung jawab jika tidak diletakkan di atas iman. Iman adalah hal yang mendasari dan menentukan seluruh aspek kehidupan manusia: pikiran, kehendak, emosi, perkataan, tingkah laku, dan perbuatan. Iman yang tidak beres menghasilkan pikiran, kehendak, emosi, dll yang tidak beres. Sebaliknya iman yang beres menghasilkan seluruh totalitas aspek hidup manusia menjadi beres, meskipun itu membutuhkan proses. Dari konsep ini, maka ketika kita hendak menilai pikiran atau tingkah laku seseorang, coba periksa iman mereka, bereskah iman mereka? Saya mengutip contoh ini dari pemaparan Pdt. Sutjipto Subeno. Misalnya, seorang penganut evolusionisme, sebenarnya seorang evolusionis bukan berpikir evolusi, namun beriman pada evolusi. Jadi, evolusionisme dilawan dengan iman Kristen.

Terlalu banyak saya menjumpai realitas orang yang imannya sudah tidak beres, perbuatan dan nilai hidupnya pun tambah tidak beres. Orang ini sih mengaku diri “Kristen”, anak aktivitas gereja, ikut melayani di gereja tersebut, sering mendengar khotbah yang mengajar bahwa kalau memilih pasangan hidup harus seiman dan yang rohani, namun sayang, khotbah yang didengar hanya masuk melalui telinga kiri dan keluar lagi melalui telinga kiri (alias tidak pernah nyangkut di otaknya). Orang ini mungkin sekali adalah penilai-penilai khotbah mimbar, namun sayangnya bukan pelaksana apa yang dikhotbahkan di atas mimbar. Baginya, khotbah hanya berlaku pada hari Minggu, setelah itu, tidak lagi. Jadi, mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, orang ini kalau hari Minggu sementara menjadi “anak Tuhan”, Senin s/d Sabtu kembali lagi menjadi anak setan. Mungkinkah orang ini anak Tuhan sejati? Mungkin sekali, namun belum kelihatan dan saya terus mendoakan orang seperti ini segera bertobat (asalkan orang ini adalah orang Kristen yang rendah hati). Sebaliknya, mungkinkan orang ini anak setan? Mungkin juga, bahkan kecenderungannya lebih ke arah ini. Jangan mengira semua orang Kristen adalah anak Tuhan, karena mengutip Pdt. Dr. Stephen Tong, ada juga anak setan yang sedang indekos di dalam gereja. Bedanya antara anak Tuhan vs anak setan itu tipis. Mereka sama-sama kelihatannya pergi ke gereja, bahkan melayani di gereja, namun perbedaan di antara keduanya adalah perbedaan iman dan implikasi iman. Anak Tuhan sejati beriman beres dan terus berupaya agar apa yang diimaninya diimplikasikan di dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan anak setan jelas beriman tidak beres (meskipun secara rasio mendengar banyak doktrin), maka aplikasi iman pun tambah tidak beres dan kacau tidak karuan, namun sayangnya berani menggunakan istilah-istilah agung dan rohani, seperti: “bergumul”, dll.

Tetapi bagaimana jika kita menjumpai seseorang bahwa imannya sudah beres, namun perkataan dan perbuatannya masih kurang beres? Apakah itu pertanda bahwa imannya tidak beres? TIDAK juga. Di sini, ada kemungkinan tertentu. Jika ada orang yang demikian, maka mungkin sekali ia beriman beres namun masih dalam proses pengudusan yang Roh Kudus kerjakan. Dengan kata lain, kita tidak berhak sama sekali menghakimi orang Kristen ini dan malahan kita harus mendoakannya agar Roh Kudus terus memampukan dirinya menaati apa yang Tuhan mau demi kemuliaan-Nya.

Bagaimana supaya iman yang beres diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari? Tidak ada formula khusus untuk itu. Yang mendorong kita menjalankan iman kita adalah Roh Kudus. Roh Kudus berkuasa mendorong dan mencerahkan kita untuk makin menjalankan apa yang Tuhan kasihi dan kehendaki. Dorongan ini mengakibatkan kita menjalankan kehendak Tuhan. Jadi, Roh Kuduslah yang memulai di dalam diri kita ketaatan pada kehendak Tuhan dan kita yang menjalankannya. Selain Roh Kudus, anak Tuhan juga dituntut untuk rendah hati dan rela hati dibentuk oleh Roh Kudus agar makin setia dan taat pada kehendak-Nya. Merelakan dan merendahkan hati kita di bawah kehendak-Nya tidaklah mudah, karena hal tersebut membutuhkan usaha yang keras untuk berusaha mengalahkan kehendak diri kita yang berdosa. Tidak sedikit orang Kristen yang kalah di dalam pergumulan hidup ini dan menyerah kepada godaan dunia karena lebih mencintai dunia dan segala hawa nafsunya, meskipun masih mengklaim diri sedang “melayani Tuhan.” Ingatlah satu hal, iman Kristen yang beres selalu berkaitan erat dengan kerendahan hati. Jangan berani mengklaim diri seorang Kristen apalagi Reformed jika tidak memiliki kerendahan hati. Dr. John Calvin sendiri sebagai pendiri theologi Reformed/Calvinisme adalah sosok theolog dan hamba Tuhan yang rendah hati yang menyerahkan hatinya kepada Tuhan. Mengapa banyak orang/hamba Tuhan Reformed menjadi sombong dan tidak lagi rendah hati? Yang paling saya soroti adalah BEBERAPA hamba Tuhan Reformed yang sudah sekolah theologi akhirnya bukan makin rendah hati, namun makin sombong. Bahkan ada hamba Tuhan Reformed (yang melankolis kalau berkhotbah) yang berani berkata, “Siapa yang berani menegur saya?” Sombong sekali perkataan yang seharusnya TIDAK layak diucapkan oleh seorang hamba Tuhan (apalagi Reformed). Inilah ironisnya yang sangat mengasihankan. Saya sangat menghargai hamba Tuhan (Reformed) yang rendah hati mau belajar dan dikoreksi, karena saya sendiri pun terus berusaha untuk semakin rendah hati belajar dan dikoreksi jika salah dan bertentangan dengan Alkitab. Orang yang terus-menerus mau dikoreksi adalah orang yang terus berusaha mengalahkan gengsinya. Sedangkan orang yang tidak mau dikoreksi dengan segudang argumentasi (bahkan didukung oleh ratusan bahkan ribuan ayat Alkitab dan kata-kata bijak dari theolog, filsuf, dll) sebenarnya adalah orang yang masih mempertahankan gengsi diri. Orang yang masih mempertahankan gengsi, masih layakkah disebut orang Kristen (pengikut Kristus)? Orang yang gengsinya tinggi, sudah merasa diri hebat dan mengetahui segala sesuatu sebenarnya, kata Alkitab, adalah orang yang tidak tahu apa-apa. Mengapa? Karena manusia bukan siapa-siapa di hadapan Allah yang Mahatahu dan Mahabijaksana. So, jangan berani menyombongkan diri.


3. Perbedaan atau Keseragaman?
Jika iman menjadi penentu dan dasar segala sesuatu bagi pikiran, perasaan, emosi, perkataan, tingkah laku, dan perbuatan, maka kita masuk ke dalam problematika perbedaan vs keseragaman. Mengutip Pdt. Billy Kristanto, jika di dunia modern, kita diajar untuk merayakan keseragaman, maka di era postmodern ini, kita diajar untuk merayakan perbedaan dengan begitu rupa. Maka bagaimana respons Kekristenan? Iman Kristen yang beres dengan jelas mengajar kita untuk berpikir paradoks dan bijaksana. Ini bukan masalah either or (salah satu, artinya: kalau tidak X, ya Y; kalau tidak Y, ya X), tetapi paradoks. Artinya, di satu sisi kita harus seragam untuk hal-hal primer/penting, sedangkan di sisi lain kita tetap boleh berbeda. Misalnya, di dalam iman Kristen, untuk hal-hal primer seperti doktrin Trinitas, dwi-natur Kristus, superioritas dan otoritas Alkitab, keberdosaan manusia, kelahiran Kristus melalui anak dara Maria, penebusan melalui darah Kristus, dan kedatangan Kristus kedua kalinya, kita harus seragam. Yang menolak doktrin-doktrin orthodoks ini harus disebut bidat/ajaran sesat dan kita perlu mendoakan mereka agar segera bertobat. Namun untuk hal-hal sekunder yang tidak terlalu penting, kita boleh berbeda. Misalnya, liturgi ibadah, baptisan anak, cara baptisan, perbedaan doktrin akhir zaman (amillenialisme, premillenialisme, dispensasionalisme, dan postmillenialisme), dll. Meskipun berbeda, kita tetap perlu menyatakan kepercayaan kita sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab yang bisa dipertanggung jawabkan keakuratannya. Namun di sisi lain, kita tetap menghargai mereka yang berbeda keyakinan untuk hal-hal sekunder dari kita. Perbedaan doktrin sekunder memperkaya iman Kristen, bukan malahan memperuncing permusuhan.

Namun sangat disayangkan, golongan tertentu dari Reformed menjadi begitu ekstrem. Doktrin sekunder dianggap primer dan yang tidak menjalankan doktrin sekunder tertentu disebut bidat/ajaran sesat. Orang yang menegakkan perkataan seperti ini rupa-rupanya hanya dikuasai oleh emosi sesaat, padahal orang yang sama mengajar di atas mimbar bahwa emosi harus ditundukkan di bawah rasio. Suatu kontradiksi yang aneh di dalam diri orang ini, heheheJ

Lalu, apa yang menyebabkan keekstreman terjadi di kalangan Reformed tertentu?
Pertama, aspek non-iman. Hal ini berkaitan dengan poin no. 2 yang saya bicarakan di atas. Jika orang Kristen apalagi Reformed menempatkan iman sebagai dasar dan sumber dalam doktrin dan kehidupan Kristen, maka iman sajalah yang menuntun segala doktrin dan kehidupan Kristen. Namun, sayangnya, meskipun orang ini mengaku bahwa iman itu dasar dan sumber, namun yang terjadi adalah emosi dan pikiran lah yang menguasai, sehingga beda doktrin atau cara pandang tertentu dalam hal-hal sekunder sudah dianggap sesat.

Kedua, aspek paranoid terselubung dan gejala peng-imunan. Keekstreman terjadi bisa karena aspek paranoid terselubung dari hamba Tuhan kepada jemaat yang digembalakannya. Paranoid terselubung ini ditandai dengan cara mengundang hamba-hamba Tuhan yang merupakan anak buahnya sendiri untuk berkhotbah di mimbar gerejanya, alasannya sih, aturan dari gereja pusat. Kalau mengundang hamba Tuhan dari gereja lain (meskipun bertheologi sama), si gembala sidang ini ketakutan, jemaatnya bahkan diracuni oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab. Bukankah di dalam pikiran si gembala sidang, ajaran di gereja lain (meskipun bertheologi sama) dianggap sesat, meskipun berbeda dalam hal-hal sekunder? Gejala paranoid kedua ditandai dengan tidak mendukung agenda kegiatan gereja/sekolah theologi awam lain (meskipun seasas), karena dilatarbelakangi oleh faktor dendam sesaat kepada pemimpinnya yang menurut si gembala sidang “tidak beres”.
Selain paranoid, juga ada gejala peng-imunan. Biasanya gejala ini ditandai dengan beberapa jemaat yang digembalakannya malas membaca buku lagi dan hanya memercayai pengajaran dan khotbah si hamba Tuhan, karena menganggap si hamba Tuhan seolah-olah mengetahui segala sesuatu. Kalau pun ada jemaat yang suka membaca buku, biasanya buku-buku tersebut harus ditanya posisi doktrinalnya, baru ia membacanya. Bahkan untuk buku-buku tentang cinta, pacaran, dll, ia menanyakan posisi doktrinalnya: Reformed atau Arminian. Tindakan lebay ini saya pikir suatu kekonyolan, heheheJ


Realitas banyaknya keekstreman yang terjadi seharusnya TIDAK membuat kita terpengaruh atas keekstreman tersebut, namun bangkit dan menjadi bijaksana. Tuhan tidak menyuruh kita untuk rajin memperhatikan doktrin yang salah dan menyatakan doktrin tertentu sebagai bidat karena berbeda dalam hal-hal sekunder, namun Ia menyuruh kita mengajar doktrin yang beres, berwaspada terhadap ajaran yang tidak beres, bersungguh-sungguh melayani Tuhan, dan memuliakan-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita memang dituntut untuk peka terhadap zaman (dan penyakitnya), namun jangan menjadi ekstrem, terlalu sensitif sekali terhadap penyakit zaman, yang melahirkan sikap paranoid terselubung.




KESIMPULAN
Akhir kata, sebagai penutup, saya akan mencoba menyimpulkan poin-poin penting. Zaman dan semangat zaman adalah produk manusia berdosa yang tentu memiliki dampak positif dan negatifnya. Tugas kita adalah kritis dan peka terhadap semangat di dalam setiap zaman. Artinya, dengan berdasarkan standar uji Alkitab (Sola Scriptura), kita mengkritisi semangat zaman dengan: mengambil hal-hal positif darinya dan menolak hal-hal negatif darinya. Memang kita diperintahkan Allah untuk tidak menuruti arus zaman (Rm. 12:2), namun jangan lupa, di sisi lain, kita tetap hidup di dalam dunia. Berarti, secara prinsip dan konsep, kita sebagai orang Kristen harus teguh beriman di dalam Kristus dan Alkitab sebagai satu-satunya Kebenaran hakiki, namun secara praktek, kita menghadirkan kebenaran Injil dengan kasih dan kebenaran (dan terutama TIDAK KAKU). Itulah iman Kristen yang beres dan bijaksana dalam memandang semangat zaman.


Bagaimana dengan kita? Biarlah perenungan ini boleh menyadarkan kita akan panggilan Kekristenan kita di tengah arus dunia yang makin lama makin tidak karuan ini. Biarlah nama Allah Trinitas dipermuliakan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.