30 June 2007

Tentang Calvinisme-2 : MENGAPA SAYA SEORANG REFORMED/CALVINIS ?-2 (Denny Teguh Sutandio)

Tentang Calvinisme-2



MENGAPA SAYA SEORANG REFORMED/CALVINIS ?-2

oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S. (Cand.)



Pada bagian pertama dari pengajaran “Tentang Calvinisme”, saya telah memberikan sedikit kesaksian/sharing tentang bagaimana saya menjadi seorang Reformed/Calvinisme di dalam perjalanan hidup saya, maka pada bagian kedua ini, saya akan menguraikan sedikit kelebihan theologia Reformed/Calvinisme dibandingkan dengan aliran theologia di dalam keKristenan maupun di luar Kristen, di mana penjelasan detail tentang hal ini akan dibahas pada bagian-bagian selanjutnya.

Sejak pertama kali mengenal dan mempelajari theologia Reformed/Calvinisme secara mendalam kira-kira pada akhir tahun 2004, saya semakin tertarik dengan pemahaman theologia ini yang berintikan kedaulatan Allah. Lalu, semakin saya mengikuti kuliah theologia secara part-time di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika maupun Persekutuan dan Pembinaan Pemuda GRII Andhika, Surabaya yang dilayani oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., saya mulai membentuk paradigma berpikir secara esensial atau melihat segala sesuatu dari sudut pandang kedaulatan Allah. Dalam hal ini, saya bersyukur kepada Tuhan karena Ia telah mengirimkan hamba-hamba-Nya, antara lain Pdt. Dr. Stephen Tong (yang menguatkan iman Kristen saya pertama kali dan sedikit memperkenalkan theologia Reformed), Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. (gembala sidang GRII Andhika yang banyak mengajar saya tentang pembentukan paradigma di dalam perspektif theologia Reformed yang ketat baik melalui mimbar eksposisi Matius di GRII Andhika maupun di Persekutuan dan Pembinaan Pemuda GRII Andhika dan juga di STRIS Andhika) dan juga kepada Pdt. Billy Kristanto, M.C.S. (gembala sidang MRII/PRII Jerman yang berkhotbah di National Reformed Evangelical Convention—NREC 2004 s/d 2006 dan bukunya berjudul, “Ajarlah Kami Bertumbuh” sudah saya baca dan sangat menguatkan dan menegur saya di bidang kerohanian dan tentang pelayanan). Bagi saya, ketiga hamba Tuhan inilah yang telah, sedang dan akan menguatkan saya melalui khotbah-khotbah dan pengajaran-pengajarannya.

Apa saja yang saya pelajari tentang Calvinisme dan mengapa saya menjadi seorang Reformed/Calvinisme? Berikut akan saya paparkan.
Pertama, Calvinisme/theologia Reformed adalah satu-satunya theologia Kristen yang melihat Alkitab dari kacamata kedaulatan Allah (Boettner, 2000, p. 11). Artinya inti dari theologia Reformed adalah kedaulatan Allah. Allah adalah Allah yang Berdaulat dan Mahakuasa. Ada beberapa makna yang terkandung di dalam pernyataan kedaulatan Allah, yaitu :
pertama, Allah yang Berdaulat adalah Allah Pencipta. Allah yang Berdaulat adalah Allah yang menciptakan segala sesuatu. Mengapa Pencipta disebut berdaulat dan di mana letak signifikansinya ? Mengutip pernyataan dari Pdt. Sutjipto Subeno tentang hukum relasi Pencipta—ciptaan : Allah yang menciptakan segala sesuatu berarti Allah yang pertama kali menetapkan tujuan penciptaan, kemudian merancang ciptaan, menjadikan ciptaan dan berdaulat menggunakan ciptaan itu untuk kemuliaan-Nya (Yesaya 43:7, “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!"”). Itulah kedaulatan Allah. Oleh karena itu, sudah seharusnya sebagai ciptaan, kita sebagai manusia taat mutlak kepada perintah Allah sebagai Pencipta, khususnya kita yang telah ditebus oleh Kristus harus menaati perintah Allah di dalam Alkitab.

kedua, Allah yang Berdaulat sebagai Sumber. Artinya, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang daripada-Nya segala sesuatu itu ada. Allah tak pernah bergantung pada siapapun dan apapun, karena Ia berada pada diri-Nya sendiri (self-dependence of God). Ini bukan hanya menyangkut masalah penciptaan, tetapi juga menyangkut masalah lain di dunia ini yang bersumber pada Allah. Misalnya, Allah yang Berdaulat adalah Sumber segala pengetahuan, sehingga Raja Salomo yang terkenal bijaksana menuliskan, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,…” (Amsal 1:7) Ketika kita mau belajar sungguh-sungguh tentang pengetahuan, kembalilah kepada Firman Allah, Alkitab, karena di situ kita dapat mempelajari sumber pengetahuan sejati. Hal ini tidak berarti Alkitab adalah buku pengetahuan, tetapi Alkitab memberikan dasar filosofis tentang pengetahuan sejati yaitu takut akan Tuhan. Ketika manusia enggan percaya kepada/di dalam Allah melalui Alkitab, mereka bukan saja dianggap bodoh, tetapi juga sia-sia (Amsal 1:7b).

ketiga, Allah yang Berdaulat adalah Pemelihara. Bukan hanya sebagai Pencipta dan Sumber, Ia juga sebagai Pemelihara segala sesuatu. Konsep deisme mengajarkan bahwa setelah Allah menciptakan segala sesuatu, maka Ia “cuek” dan meninggalkan ciptaan-Nya itu. Hal ini tidak diajarkan oleh Alkitab, karena Alkitab sendiri mengajarkan bahwa Ia memelihara ciptaan-Nya. Buktinya, kalau Allah tidak memelihara alam semesta ciptaan-Nya, maka jarak antara bumi dan matahari bisa bergeser menjadi 130 juta km yang mengakibatkan kita bisa terbakar (gosong) atau bergeser menjadi 200 juta km yang mengakibatkan kita bisa membeku (menjadi es). Tetapi puji Tuhan, Ia memelihara ciptaan-Nya, bahkan manusia pilihan-Nya. Rasul Paulus di dalam Efesus 1:4-5 mengajarkan bahwa Allah memilih kita di dalam Kristus sebelum dunia dijadikan menurut kerelaan kehendak-Nya. Bukan hanya memilih, Ia jugalah yang : merencanakan keselamatan bagi umat pilihan-Nya, menggenapkan keselamatan itu di dalam pribadi Kristus dan menyempurnakannya sampai akhir melalui karya Roh Kudus, sehingga Calvinisme berani mengajarkan bahwa keselamatan umat pilihan-Nya (anak-anak Tuhan) mutlak tidak bisa hilang (baca : Yohanes 6:37, 39-40 ; 10:27-30). Mengapa Calvinisme berani menyimpulkan hal ini ? Bukankah Arminianisme atau separuh Calvinisme (termasuk salah satunya, sebagian besar Katolikisme) mengajarkan bahwa keselamatan di dalam Kristus bisa hilang karena orang “Kristen” tersebut yang sudah “diselamatkan” murtad ? TIDAK ! Calvinisme berani menyimpulkan hal ini karena Calvinisme mempercayai kedaulatan Allah di mana Allah yang telah memulai rencana keselamatan Allah, Ia pulalah yang pasti akan menyempurnakannya kelak melalui karya Roh Kudus. Menolak paham ini bukan hanya menolak pandangan Calvinisme tetapi menolak berita Alkitab yang mengajarkan bahwa Allah itu tidak pernah berubah atau kekal dan juga menjunjung tinggi manusia lebih daripada Allah (seolah-olah Allah “kewalahan” ketika manusia ingin murtad ; dengan kata lain, Arminianisme dan kroni-kroninya menghina Allah dan meletakkan posisi manusia di atas Allah). Jika Arminianisme menghina Allah, layakkah ajaran/theologia ini dianut oleh orang Kristen yang beres dan bertanggungjawab ? Silahkan pikirkan sendiri.

keempat, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang Mahakuasa. Dengan sangat bijaksana, hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong mengaitkan konsep ini. Seringkali, banyak gerakan/“theologia” Karismatik/Pentakosta selalu menekankan bahwa Allah itu Mahakuasa, maka Ia menyembuhkan segala penyakit, memberikan kemakmuran, dll. Itu tidak salah, tetapi salah motivasi. Tuhan bisa menyembuhkan segala penyakit, memberikan kemakmuran, dll, tetapi ingatlah, semua itu dilakukan berdasarkan kedaulatan kehendak-Nya. Dengan kata lain, meskipun Ia pasti mampu menyembuhkan penyakit, memberikan kemakmuran, dll, tetapi Ia juga bisa tidak mau menyembuhkan penyakit, dll, karena itu tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Meniadakan kedaulatan Allah dan hanya menekankan ke“Mahakuasa”an Allah yang diselewengkan artinya bisa berakibat fatal, yaitu menjadikan Tuhan sebagai “pembantu/budak” kita (padahal kita lah pembantu/budak Allah). Selain itu, Pdt. Dr. Stephen Tong juga mengajarkan bahwa Allah yang Mahakuasa seringkali dimengerti sebagai Allah yang bisa melakukan segala sesuatu, tetapi beliau mengingatkan bahwa hanya ada satu hal yang tak bisa dilakukan oleh Allah, yaitu berdosa (karena Allah itu Mahakudus tak mungkin berbuat dosa). Dengan kata lain, beliau mengajarkan bahwa Allah yang Mahakuasa adalah Allah yang rela membatas diri-Nya sendiri agar sesuai dengan Firman-Nya. Jadi, adalah salah jika banyak pemimpin gereja Karismatik/Pentakosta mengatakan bahwa di zaman ini ada “wahyu-wahyu” baru yang “melengkapi” Alkitab ! Mengapa ? Karena Allah sejati rela membatas diri-Nya dengan Firman Tuhan/Alkitab (2 Tim. 3:16-17) dan barangsiapa yang berani menambahi ayat-ayat Alkitab, kepadanya akan diberikan lagnat (baca : Wahyu 22:18-19).

kelima, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang transenden sekaligus imanen. Allah yang transenden berarti Allah yang jauh di sana, yang tak terjangkau oleh manusia, sedangkan Allah yang imanen adalah Allah yang dekat dengan kita/manusia. Agama-agama dan filsafat-filsafat dunia selalu tidak seimbang dalam menekankan bagian ini. Mengutip pernyataan dari Prof. Dr. Abraham Kuyper di dalam bukunya “Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Lectures on Calvinism)”, ada tiga macam agama/posisi doktrinal yang besar yang mewakili penyimpangan-penyimpangan ketidakseimbangan konsep antara ketransendenan dan keimanenan Allah, yaitu pertama, Paganisme atau agama kafir/tradisional yang mencari Allah di dalam ciptaan. Paganisme meliputi kepercayaan Animisme, Dinamisme, Pantheisme, Hinduisme dan Buddhisme. Hal ini nantinya mempengaruhi Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) di abad postmodern yang gila ini yang mengajarkan bahwa manusia itu adalah “allah” kecil (little gods). Konsep pikir ini sama sekali absurd, karena Allah dan ciptaan adalah sesuatu yang berbeda (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya : perbedaan kualitatif/qualitative difference). Kalau Allah identik dengan ciptaan, maka apa gunanya ciptaan menyembah Allah, kalau toh Allah yang disembah itu adalah manusia/ciptaan juga. Hal ini menggenapi apa yang filsuf Ludwig Feuerbach ajarkan bahwa “Allah” diciptakan menurut peta teladan manusia (bukannya manusia yang diciptakan menurut peta teladan Allah). Agama kedua adalah Islam. Di dalam Islam, Dr. Kuyper mengatakan bahwa Allah diisolasi dari ciptaan. Artinya, Allah itu transenden dan tidak imanen. Sehingga, kalau mau menghampiri “Allah”, mereka harus berteriak keras dahulu, baru “Allah”nya mendengar seruan mereka. Sungguh amat sangat mengasihankan. Konsep mereka persis seperti para nabi Baal yang ditantang oleh Nabi Elia di dalam 1 Raja-raja 18:22-41. Mari kita simak kisah ini. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Ahab yang tidak takut akan Tuhan yang tidak mempercayai perkataan Elia, lalu menantang Elia dengan mengirimkan 450 nabi Baal. Elia menantang 450 nabi Baal, “biarlah kamu memanggil nama allahmu dan akupun akan memanggil nama TUHAN. Maka allah yang menjawab dengan api, dialah Allah!” (1 Raj. 18:24). Maka, 1 Raja-raja 18:26 mencatat tentang tindakan para nabi Baal, “Mereka mengambil lembu yang diberikan kepada mereka, mengolahnya dan memanggil nama Baal dari pagi sampai tengah hari, katanya: "Ya Baal, jawablah kami!" Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab. Sementara itu mereka berjingkat-jingkat di sekeliling mezbah yang dibuat mereka itu.” Bukankah ini persis seperti yang dilakukan oleh kerabat “dekat” kita yang sering pergi ke Mekkah itu ? Apa jawab Elia ? Perhatikan ayat 27 dalam versi Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), “Berdoalah lebih keras! Ia ilah, bukan? Mungkin ia sedang melamun, atau ke kamar kecil. Boleh jadi juga ia sedang bepergian! Atau barangkali ia sedang tidur, dan kalian harus membangunkan dia!” Lalu, para nabi Baal itu “berdoa lebih keras lagi. Dan seperti yang biasanya mereka lakukan, mereka menggores-goresi badan mereka dengan pedang dan tombak sampai darah bercucuran. Begitulah mereka terus-menerus sampai petang hari seperti orang kesurupan. Tetapi tidak ada yang menjawab, tidak ada yang memperhatikan.” (1 Raj. 18:28-29 ; BIS) Kemudian, Elia berkata, “Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini. Jawablah aku, ya TUHAN, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali.” (1 Raj. 18:36-37) Lalu, ayat 38 mencatat, “Lalu turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya.” Bagaimanakah respon rakyat dan Elia setelah melihat kejadian itu ? Ayat 39-40 mencatat, “Ketika seluruh rakyat melihat kejadian itu, sujudlah mereka serta berkata: "TUHAN, Dialah Allah! TUHAN, Dialah Allah!" Kata Elia kepada mereka: "Tangkaplah nabi-nabi Baal itu, seorangpun dari mereka tidak boleh luput." Setelah ditangkap, Elia membawa mereka ke sungai Kison dan menyembelih mereka di sana.” Bukankah konsep agama kedua ini sangat mengasihankan karena manusia yang sudah diciptakan Allah ternyata tidak mengetahui dan mengenal siapa Allahnya. Agama ketiga yang tidak seimbang menekankan konsep ini adalah Katolik Roma yang mengajarkan bahwa Allah dapat bersekutu dengan ciptaan melalui sarana hubungan pengantara yang mistis, yaitu Gereja (lembaga yang kelihatan dan nyata). Dengan kata lain, Gereja adalah pengantara Allah yang bersekutu dengan umat-Nya. Permasalahannya adalah ketika gereja berbuat salah atau mengajarkan doktrin yang kacau/salah, maka bukankah umat-Nya akan menganggap Allah itu juga kacau/salah. Tidak ada jalan lain, hanya theologia Reformed/Calvinisme yang berani menerobos problematika tersebut dengan menekankan keseimbangan antara Allah yang transenden dan imanen. Dr. Kuyper mengaitkan keseimbangan ini sebagai syarat pertama bagi satu sistem kehidupan yang nyata. (Kuyper, 2005, pp. 15-16) Konsep ini dapat diimplikasikan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita menyadari bahwa Allah kita transenden sekaligus imanen, hal ini mengakibatkan kita semakin takut menghampiri hadirat-Nya sekaligus bersukacita karena kita telah ditebus oleh Kristus. Ibadah/kebaktian yang beres harus memadukan dua unsur ini, tidak boleh berat sebelah.

keenam, Allah yang Berdaulat adalah Allah Pengwahyu. Allah yang Berdaulat bukan hanya transenden dan imanen, tetapi juga menyatakan diri-Nya sebagai wujud imanensi Allah. Di dalam theologia Reformed, Allah menyatakan diri-Nya di dalam dua sarana, yaitu wahyu umum yang diwahyukan kepada semua manusia tanpa kecuali melalui hati nurani dan alam (diresponi oleh manusia dengan menciptakan agama dan kebudayaan), dan wahyu khusus yang diwahyukan hanya kepada umat pilihan-Nya melalui sarana Tuhan Yesus Kristus (tak tertulis) dan Alkitab (tertulis). Maksud dari pewahyuan ini agar manusia mengenal Allah, tetapi wahyu umum Allah yang diresponi manusia ternyata tak sanggup mengenal siapa Allah sesungguhnya (karena adanya bibit dosa di dalam manusia yang akhirnya mempengaruhi respon manusia terhadap wahyu umum Allah), sehingga Allah harus mewahyukan diri-Nya secara khusus hanya kepada umat pilihan-Nya di dalam Kristus. Di dalam Calvinisme, wahyu khusus selalu dimengerti sebagai wahyu tertinggi dan mutlak yang melampaui semua respon terhadap wahyu umum Allah, sehingga di dalam segala hal, Alkitab dan Kristus dipandang sebagai penentu, penghakim dan sumber dari semua agama, ilmu, kebudayaan, dll. Menolak konsep ini sama dengan menolak Alkitab dan Kristus, serta menolak Allah yang telah mewahyukan diri-Nya.

ketujuh (terakhir), Allah yang Berdaulat adalah Allah Trinitas. Wujud penyataan diri secara khusus dari Allah kepada umat pilihan-Nya selain Kristus dan Alkitab adalah Allah Trinitas, yaitu 1 esensi Allah yang memiliki tiga oknum yang berbeda, yaitu Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus yang menggenapkan satu tujuan ultimat Allah. Agama mayoritas di Indonesia dan kaum unitarian (percaya pada ketunggalan Allah/Allah yang hanya satu pribadi ; salah satunya diwakili oleh Frans Donald) menyanggah doktrin Trinitas dengan mengajukan argumentasi konyol, misalnya : Allah itu harus satu, tidak ada yang mengajarkan bahwa Allah memiliki anak, dll. Argumentasi-argumentasi ini saya katakan konyol, karena sama sekali tidak berdasar. Apalagi yang berani mengajukan argumentasi ini adalah orang “Kristen” unitarian, bagi saya, tambah konyol. Memang di dalam Alkitab, tidak ada pernyataan eksplisit tentang Trinitas, tetapi secara implisit, pasti ada. Matius 28:19 jelas menunjukkan konsep Trinitas, “...baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” Bagi mereka yang mengerti bahasa Inggris, di dalam terjemahan Inggris (baik itu King James Version, International Standard Version, dll), kata “nama” menggunakan bentuk tunggal (name) dan masing-masing pribadi Allah diselipkan kata the yang menunjukkan pribadi Allah yang berbeda. Perhatikan terjemahan King James Version pada ayat 19 ini, “baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Ghost:” Seharusnya, kalau ada tiga pribadi, Alkitab memakai bentuk jamak pada kata “name”, tetapi herannya terjemahan Alkitab Inggris menggantinya dengan bentuk tunggal, ini membuktikan bahwa Allah itu memiliki tiga pribadi yang masing-masing berbeda tetapi tetap satu esensi. Allah Trinitas memang tidak bisa dimengerti secara logika manusia yang terbatas (meskipun selalu dianggap “hebat”, “pintar”, dll), tetapi Allah Trinitas dimengerti melalui iman yang bersumber pada Kebenaran Allah (Truth) yang menuntun sekaligus menundukkan rasio. Atau menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, iman adalah penundukkan/pengembalikan rasio kepada Kebenaran. Lalu, apakah Alkitab tidak mengajarkan bahwa Allah memiliki Anak ? Jelas, Alkitab mengajarkannya, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” (Mazmur 2:7). Mazmur ini disebut Mazmur Mesianik. Kalau mereka mengatakan bahwa Allah itu tidak mungkin tiga pribadi tetapi tetap satu, berarti mereka secara tidak sadar sedang mengkotakkan/membatasi Allah yang tidak terbatas dan Berdaulat adanya. Allah yang Berdaulat adalah Allah yang mampu melakukan apa saja yang tidak melawan natur-Nya. Untuk itu, manusia tak memiliki hak sedikitpun untuk mengkomplain kedaulatan Allah. Ketika manusia berani meragukan Allah, itu sudah berdosa. Perhatikanlah kisah Adam dan Hawa sebelum mereka akhirnya jatuh ke dalam dosa, di mana ketika setan membalikkan perkataan Allah lalu mengatakan bahwa semua buah dari pohon ini tidak boleh dimakan, kecuali buah pohon pengetahuan baik dan jahat, Hawa mulai meragukan perkataan Allah meskipun menyanggah perkataan setan. Lalu, keraguan Hawa mulai bertambah ketika setan memberitahukan bahwa ketika makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, ia tak akan mati, tetapi akan sama seperti Allah, tahu yang baik dan jahat. Keraguan dua tahap ini lah mengakibatkan Hawa akhirnya berdosa. Hal yang sama juga terjadi ketika manusia dunia mulai mencoba meragukan Allah yang seharusnya tidak perlu diragukan. Allah Trinitas adalah Allah yang layak dipercaya, oleh karena itu berimanlah di dalam-Nya, dan jangan meragukannya.



Kedua, Calvinisme sebagaimana yang diajarkan juga oleh theologia Reformasi dari Dr. Martin Luther mengajak orang Kristen untuk kembali kepada Alkitab, Sumber Kebenaran (Sola Scriptura), bukan kepada otoritas-otoritas bahkan otoritas gereja yang juga adalah manusia biasa yang sangat mungkin bersalah. Meskipun theologia Reformed tidak berani mengklaim bahwa hanya theologia Reformed yang Alkitabiah, tetapi theologia Reformed memiliki pemahaman yang komprehensif yang mendekati Alkitab. Tidak ada satu theologia pun yang identik dengan Alkitab atau Alkitabiah, yang ada hanyalah mendekati Alkitab. Jika demikian, adalah suatu tugas theologia Reformed dan theologia-theologia Kristen lainnya untuk terus-menerus berubah sesuai dengan prinsip kebenaran Firman Tuhan (Alkitab), sesuai prinsip gereja-gereja Reformed, yaitu Ecclesia Reformata Semper Reformanda Est yang berarti gereja-gereja Reformed mau di-Reformed-kan sesuai dengan Alkitab. Tetapi sayangnya, semboyan ini diselewengkan oleh para “theolog” religionum atau social “gospel” yang notabene ada yang dari gereja-gereja yang mengaku dari Presbyterian/Reformed, di mana mereka mengatakan bahwa semboyan ini berarti gereja-gereja “Reformed” tidak boleh lagi menginjili secara verbal, karena itu bisa menyinggung atau menodai agama-agama lain, lalu alasan lain adalah karena Alkitab tidak memerintahkan kita untuk menginjili. Sudah saatnya, semua semangat humanisme atheis dibabat habis dan kebenaran Alkitab harus ditegakkan. Semangat Reformed adalah semangat yang agung yang mau dikoreksi oleh pemahaman yang God-centered akan Alkitab (God-centered knowledge of the Bible), bukan oleh pemahaman humanisme atheis akan Alkitab (men-centered knowledge of the Bible). God-centered knowledge of the Bible selalu dimulai dari apa yang Allah inginkan bagi manusia untuk dilakukan, tetapi men-centered knowledge of the Bible selalu berangkat dari presuposisi apa yang manusia inginkan agar Allah mengabulkannya. Posisi pertama jelas dipegang oleh Calvinisme, sedangkan posisi kedua jelas dipegang oleh : Islam, Buddhisme, Hinduisme, Paganisme, Katolik Roma, Arminianisme (yang melahirkan Anabaptisme, mayoritas Injili, mayoritas Baptis, mayoritas Methodist, mayoritas Karismatik/Pentakosta, mayoritas “theolog” religionum/social “gospel”).



Terakhir, Calvinisme mengajak orang Kristen untuk menjadi garam dan terang bagi dunia (mandat budaya dan mandat Injil). Bukan hanya kembali kepada Alkitab, Calvinisme mengajak orang Kristen dari berbagai denominasi gereja untuk menjadi saksi Kristus di tengah-tengah kegelapan dunia postmodern. Bagaimana menjadi saksi Kristus ? Theologia Reformed (khususnya Gerakan Reformed Injili) mengajak orang Kristen untuk mengerjakan mandat budaya dan mandat Injil. Mandat budaya berarti orang Kristen yang telah ditebus Kristus harus menebus semua kebudayaan (redeeming the culture) dari pemikiran dunia yang menyesatkan. Artinya, orang Kristen sejati harus membawa dan menundukkan semua kehidupan baik menyangkut politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, bisnis, dll di bawah Kebenaran Kristus dan Alkitab. Sehingga dari mandat budaya, keluarlah pemahaman integrasi iman Kristen dan ilmu. Menolak mandat budaya sebenarnya bukan menolak Calvinisme, tetapi menolak Alkitab dan tentunya Allah. Beberapa kelemahan orang yang menolak mandat budaya : pertama, orang yang menolak mandat budaya adalah orang yang di titik pertama TIDAK mengakui otoritas Allah yang tak terbatas. Mengapa ? Karena bagi orang yang mati-matian mengatakan bahwa agama dan ilmu tidak ada hubungannya, Allah itu hanya penting/perlu untuk agama saja, dan bukan bagi ilmu. Bukankah ini berarti bahwa Allah hanya menguasai lingkup agama dan “tak sanggup” menguasai bidang-bidang kehidupan lain, seperti pendidikan, ilmu, politik, ekonomi, dll ? Esensi di balik pernyataan ini sebenarnya adalah penolakan Allah secara praktis (ateis praktis). Filsafat dualisme ini sebenarnya diimpor dari pemikiran dualisme dari filsuf ateis Yunani, Plato yang mengajarkan bahwa tubuh ini jahat dan jiwa itu baik, lalu filsafat ini menghasilkan Gnostikisme yang juga akhirnya mempengaruhi keKristenan baik secara filsafat teoritis (Gnostik “Kristen”) maupun secara implikatif (dualisme/pemisahan antara hal-hal supranatural/rohani dengan natural/jasmani). Kelemahan kedua adalah orang yang menolak mandat budaya adalah orang yang juga menolak mentah-mentah konsep bahwa Kristus itu bernatur Allah sekaligus manusia (meskipun orang ini mengaku diri “Kristen” bahkan “melayani ‘tuhan’”) ! Mengapa ? Karena dwi natur Kristus mengindikasikan bahwa Kristus yang adalah Allah Pribadi Kedua tidak menganggap tubuh itu jahat, tetapi harus ditebus, sehingga Ia rela memakai tubuh manusia berdosa (tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) untuk menebus dosa manusia. Jika Kristus tidak bernatur manusia, Ia tak mungkin dapat menebus dosa manusia, karena Allah tidak dapat mati. Demikian juga, jika Kristus tak bernatur Allah, Ia tak mungkin dapat menebus dosa manusia, karena yang dapat menebus dosa manusia hanya Allah saja. Sungguh suatu keagungan tersendiri ketika kita memahami Trinitas dan dwi-natur Kristus, serta suatu kekonyolan jika ada yang menyangkali kedua doktrin agung di dalam Alkitab ini. Kembali, karena menegakkan mandat budaya, maka negara-negara yang dipengaruhi Calvinisme atau setidaknya Reformasi Luther pasti menghasilkan etos kerja yang tinggi dan barang-barang bermutu tinggi. Mengapa ? Karena mereka bekerja dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah memberikan contoh tentang arloji Rolex BUKAN dibuat di Arab, Irak, Iran, atau bahkan Indonesia, tetapi di negara Swiss yang dipengaruhi oleh Calvinisme. Mobil Mercedez Benz bukan dibuat di Thailand, Filipina, dll, tetapi di negara Jerman yang dipengaruhi oleh Reformasi Luther. Arsitektur bangunan/gedung di Eropa sangat bagus dan rapi dibandingkan dengan arsitektur di Indonesia yang kacaunya tidak karuan. Ini semua membuktikan bahwa sumbangsih Calvinisme begitu besar dan bertanggungjawab, dibandingkan dengan sumbangsih agama-agama di luar Calvinisme yang hanya bisa menteror dan membunuh orang saja !


Selain mandat budaya, Calvinisme yang Injili mengajak orang Kristen untuk memberitakan Injil baik dalam perbuatan maupun perkataan/verbal. Para penganut golongan social “gospel” jelas menolak mentah-mentah ide penginjilan verbal, karena bagi mereka, itu dapat menyinggung agama lain, tetapi Alkitab sendiri tidak sungkan-sungkan mengajarkan bahwa kita harus menjadikan semua bangsa menjadi murid Kristus atau dengan kata lain memberitakan Injil (Matius 28:19). Matius 28:19 seringkali diajarkan oleh para penganut social “gospel” dengan mengatakan bahwa itu hanya berlaku bagi keduabelas rasul Kristus, dan bukan bagi kita. Sehingga, mereka berkata bahwa kita harus “mengkontekstualisasikan” Injil. Seperti paparan Pdt. Sutjipto Subeno, saya juga merinding sendiri ketika istilah “kontekstualisasi” muncul menggantikan konsep teks dan esensi. Mengapa ? Karena istilah “kontekstualisasi” bahkan yang mengklaim “kontekstualisasi ‘injil’” adalah kontekstualisasi palsu/sesaat yang mencoba mendegradasi makna Injil supaya bisa diterima oleh orang-orang non-Kristen. Tidak usah heran, seorang “pendeta” (Abuna) besar yang dahulu dikabarkan mantan Islam sekarang berani mengajarkan bahwa iman Kristen harus menjadi “berkat” bagi Islam, agar mereka juga dapat menerima Kristen. Aneh, bukan ? Alkitab mengajarkan kita harus menjadi berkat, BUKAN iman kita yang menjadi “berkat”. Itu adalah ajaran yang konyol ! Kembali kepada mandat Injil, kita diperintahkan untuk memberitakan Injil. Orang Kristen yang tak menginjili tak layak disebut orang Kristen, karena orang Kristen yang tak menginjili membuktikan bahwa ia tak mengerti iman Kristennya dan finalitas Kristus, lalu apakah orang seperti ini masih layak disebut “Kristen” ? Suatu tanda tanya yang sangat besar.

Setelah kita merenungkan ketiga poin tentang keunikan Calvinisme, maukah kita dibangunkan dan diubah konsep berpikir kita bahwa segala sesuatu harus berpusat kepada kedaulatan Allah dan BUKAN pada ambisi manusia ?! Semoga artikel ini mencerahkan, menegur dan mengoreksi semua pemikiran kita yang salah serta membawa kita semakin mengenal kebenaran Alkitab dan bukan “kebenaran” manusia berdosa yang terbatas dan menyesatkan. Soli Deo Gloria. Sola Scriptura. Sola Gratia. Sola Fide. Solus Christus. Amin.