oleh: Denny Teguh Sutandio
Pertama, kompleksitas zaman. Harus disadari, zaman kita makin lama makin kompleks dengan berbagai macam masalah yang tak kunjung selesai. Makin kompleksnya zaman mengakibatkan banyak orang makin stres dan akhirnya masa bodoh dengan zaman yang dihidupinya. Namun apakah dengan kompleksitas zaman harus mengakibatkan semangat cuek-isme?? Apakah dengan cuek, masalah dunia makin beres atau makin tidak beres?
Kedua, karakter cuek. Secara khusus, penyebab orang EGP alias cuek adalah memang orang itu berkarakter cuek. Ia cuek dengan siapa dan apa pun bahkan pasangannya sendiri. Jangan heran, banyak orang berkarakter cuek HAMPIR TIDAK bisa membedakan mana yang mutlak vs relatif, mana yang sopan vs tidak sopan, mana yang penting vs tidak penting. Yang banyak orang cuek kerjakan adalah apa yang menurut kemauannya itu “baik”, tanpa mempedulikan perasaan orang lain.
Lalu, apa yang menjadi ciri orang EGP alias cuek?
Pertama, “saya adalah kebenaran.” Tesis dasar (presuposisi) banyak orang cuek adalah dirinya adalah kebenaran. Karena menganggap bahwa dirinya adalah kebenaran, maka semua konsepnya adalah (standar) kebenaran. Semua konsep dari orang lain yang bertentangan dengan dirinya kebanyakan tidak akan dia terima. Jika ditegur, orang ini akan mengeluarkan modal dasarnya, “pokoknya…” atau “aq sudah biasa gitu.” Beberapa (atau mungkin banyak?) orang ini (misalnya: A) akan marah jika orang lain (misalnya: B) membandingkan A dengan orang lain (misalnya: C, D, E, F, dll), lalu mengatakan kepada B bahwa B itu tidak percaya dengan A. Sejujurnya, saya akan mengatakan kepada A bahwa A dan konsepnya itu bukan kebenaran, sehingga saya TIDAK perlu percaya pada (konsep) si A siapa pun A itu! Di dalam iman Kristen yang beres, kebenaran sejati (Truth) HANYA ada pada diri Allah dan firman-Nya, Alkitab.
Kedua, egoisme. Karena ber“iman” pada konsep “saya adalah kebenaran”, maka tidak heran, seorang EGP/cuek juga adalah seorang yang egois (meskipun seorang egois TIDAK harus identik dengan orang EGP/cuek)! Ia mau semua orang mengerti dirinya, bahkan pasangannya pun dia paksa untuk mengerti dirinya dan harus sabar menghadapi dirinya. Ia mau agar orang lain atau pasangannya memenuhi semua keinginannya tanpa memperhatikan kondisi/keadaan pasangannya (meskipun secara perkataan, ia katanya peduli dengan kondisi pasangannya), namun sebaliknya, kebanyakan ia enggan memenuhi keinginan pasangannya (selama itu tidak melawan Alkitab) dengan berbagai macam alasan.
Ketiga, tidak pernah introspeksi diri. Karena berjiwa egois, maka tidak heran, seorang EGP juga adalah orang yang selalu menuntut orang lain agar orang lain tidak berbuat X/Y, namun secara (tidak) sadar, ia tidak pernah mengintrospeksi diri apa yang dia tuduhkan kepada orang lain. Contoh, apabila dia mengkritik orang lain sebagai orang kaku/aneh, dia TIDAK pernah menyadari bahwa ada kelakuannya sendiri yang kaku/aneh.
Keempat, kebebasan. Karena berjiwa egois, maka tidak heran, yang selalu didengungkan oleh seorang EGP adalah KEBEBASAN. Ia ingin bebas dan tidak mau seorang pun yang boleh mengatur atau menegur dirinya. Ketika orang lain menegur dirinya, ia akan langsung menganggapnya sebagai peraturan yang membelenggu dan mencap orang lain itu cerewet. Ia hanya mau ditegur/dikritik orang lain, jika ia meminta pertimbangan dari orang lain, namun jika ia tidak meminta pertimbangan dari orang lain, orang lain disuruhnya DIAM. Dengan kata lain, bagi seorang EGP, orang lain, apalagi pasangannya, dianggap eksis hanya jika ia menganggapnya eksis, namun jika ia tidak menganggap orang lain eksis, maka orang lain itu tidak eksis. Sebuah kekonyolan cara berpikir! Selain itu, seorang EGP (tidak semua) juga tidak memiliki etika. Contoh, karena egois, atas nama “hak asasi”, maka seorang EGP akan menggunakan pakaian sesuka hatinya ketika pergi ke gereja (perkataan yang sering muncul: “suka-suka gue kan, ini baju, baju gue, bukan baju lu”). Ia tidak bisa membedakan mana yang harus sopan menghadap Tuhan di gereja vs mana yang tidak sopan. Tanpa merasa bersalah, ia akan jalan mondar-mandir selama khotbah di gereja diberitakan.
Kelima, argumentasinya lemah. Karena mendewakan kebebasan, maka dapat ditebak ketika seorang EGP mengeluarkan suatu perkataan atau argumentasi, mayoritas argumentasinya lemah atau tidak bisa dipertanggungjawabkan keobjektifannya, karena argumentasinya keluar dari standar subjektif yang tidak jelas.
Keenam, tidak konsisten (berkontradiksi dengan dirinya sendiri). Karena standar seorang EGP tidak jelas dan subjektif, maka tidak heran, seorang EGP tidak konsisten antara dirinya dengan konsepnya sendiri (satu-satunya yang “konsisten” dalam konsep seorang EGP adalah fakta bahwa dirinya tidak pernah bisa konsisten, hahaha). Ya, itulah kekontradiksian seorang EGP. Contoh, standar gurauan vs serius di dalam seorang EGP pun tidak jelas dan tidak konsisten. Kalau orang lain bertanya dan memberi nasihat serius kepada seorang EGP, seorang EGP pernah menjawabnya dengan gurauan, namun sebaliknya jika seorang EGP bertanya serius kepada orang lain dan orang lain menjawabnya dengan gurauan, orang lain itu akan dicap oleh orang EGP sebagai orang aneh.
Jika dilihat dari 6 ciri orang EGP di atas, maka sejujurnya susah berdiskusi dengan orang EGP, karena yang di“iman”i oleh seorang EGP adalah dirinya sendiri, meskipun seorang EGP itu mengaku diri seorang “Kristen.” Karena beriman pada diri, maka orang Kristen yang lebih bijak akan menganggap seorang EGP adalah orang yang memiliki konsep yang berkontradiksi dengan dirinya dan itu perlu dikasihani. Yang paling mengasihankan adalah jika seorang EGP itu adalah seorang “Kristen” yang seolah-olah terlihat religius, seperti: rajin mengikuti kebaktian, memberi persepuluhan, mengikuti acara/seminar rohani, saat teduh, dll, namun ketika ditegur oleh orang lain untuk hal-hal penting, selalu dalihnya, “aq sudah biasa gitu” atau “itu hal sepele” (terkadang memang ada yang sepele, terkadang ada yang penting dianggap sepele). Bagaimana orang Kristen berhadapan dengan orang (“Kristen”) EGP?
Pertama, tentukan standar kebenaran bagi diri kita sendiri. Presuposisi dasar kita untuk menghadapi/berdiskusi atau memberitakan Injil kepada orang EGP adalah kita TIDAK boleh menganggap standar seorang EGP adalah standar kebenaran! Mengapa? Karena sekali kita menganggap standar seorang EGP sebagai standar kebenaran, kita akan dibuatnya bingung, karena standar seorang EGP tidak pernah bisa konsisten! Ingatlah, standar kebenaran sejati bagi orang Kristen adalah Alkitab! Hal-hal yang tidak dibicarakan oleh Alkitab, kita bisa menimbanya dari bijaksana orang Kristen yang berhikmat dan sungguh-sungguh berIMAN Kristen.
Kedua, tunjukkan standar kebenaran. Jika orang EGP itu adalah orang “Kristen”, maka tunjukkanlah kepadanya bahwa iman yang sejati adalah iman yang berpaut pada kebenaran mutlak yaitu Alkitab. Segala sesuatu harus diuji berdasarkan Alkitab. Di luar itu, tidak ada yang benar. Sedangkan jika orang EGP itu bukan orang “Kristen”, maka tugas orang Kristen menyadarkan orang EGP itu bahwa jika semua orang memiliki standar masing-masing, maka dunia pasti kacau. Berikan ilustrasi atau contoh praktis kepada mereka, jika semua orang memiliki standar masing-masing, maka lalu lintas pasti kacau, karena bagi X, lampu hijau berarti berhenti, sedangkan bagi Y, lampu hijau berarti jalan.
Ketiga, tunjukkan kekontradiksian mereka. Karena seorang EGP adalah seorang yang mayoritas berargumentasi lemah dan berkontradiksi dengan dirinya sendiri, maka tunjukkan kelemahan dan kekontradiksian konsep mereka dengan memakai konsep mereka untuk menilai perbuatan mereka sendiri. Misalnya, jika ada orang EGP yang mengatakan kita aneh/kaku, perhatikan sikap orang EGP tersebut, pasti ada yang kaku/aneh, dan sadarkan dia bahwa apa yang dia katakan kepada orang lain sebenarnya merefleksikan kelemahannya dia sendiri! Contoh kedua, jika ada orang EGP yang berkata: “suka-suka gue dunkz mau berbuat apa”, jawablah dia, “suka-suka gue juga dunkz untuk tidak setuju dengan lu.” Kalau hasilnya, seorang EGP marah, maka itu membuktikan dia bukan penganut EGP sejati! Seorang EGP sejati adalah seorang yang juga CUEK jika ada orang yang tidak setuju dengan konsepnya.
Bagaimana dengan kita? Masihkah kita yang mengaku diri “Kristen” bahkan tampak religius masih berpegang pada semboyan EGP? Apakah kita berhadapan dengan orang EGP bahkan yang mengaku diri “Kristen”? Apa pun situasi kita, biarlah fokus iman kita hanya pada Kristus dan bukan pada diri. Amin. Soli DEO Gloria.