02 March 2010

Resensi Buku-92: BERITAKAN KEBENARAN (Will Metzger)

...Dapatkan segera...
Buku
BERITAKAN KEBENARAN:
Injil yang Seutuhnya bagi Pribadi yang Seutuhnya oleh Pribadi-pribadi yang Seutuhnya


oleh: Will Metzger

Penerbit: Momentum Christian Literature, 2005

Penerjemah: Lana Asali Sidharta





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Tuhan Yesus di dalam Matius 28:19-20 bersabda, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Amanat agung ini mengajar kita pentingnya penginjilan dan pemuridan. Namun dewasa ini, mandat penginjilan dan pemuridan sudah mulai pudar di dalam Kekristenan arus utama. Mereka sibuk dengan beragam organisasi yang lama-kelamaan menjauhkan mereka dari Injil dan pemberitaan firman yang beres. Di sisi lain, gerakan Injili yang seharusnya berkobar-kobar memberitakan Injil ternyata mengalami deviasi. Injil yang diberitakan hampir tidak ada bedanya dengan berita psikologi humanis yang hanya menghibur manusia. Bagaimana seharusnya kita memberitakan Injil? Injil seperti apa yang kita beritakan? Bagaimana kita dapat memberitakan Injil? Kesemuanya itu dibahas oleh Will Metzger di dalam bukunya Beritakan Kebenaran. Dalam awal bukunya ini, Metzger membahas mengenai perbedaan kesaksian dengan Injil, Injil yang dikurangi, dan Injil yang dipulihkan. Kemudian, beliau membahas pribadi orang Kristen sebagai para penginjil yang harus mengerti totalitas makna Injil dan anugerah Allah. Setelah itu, Metzger baru menguraikan inti Injil yang berdasarkan Alkitab dan kemudian di bagian terakhir, beliau menguraikan metode-metode penginjilan yang menggugah umat Tuhan untuk memberitakan Injil dengan hikmat dan kuasa Roh Kudus.




Apresiasi:
“Buku yang penuh dengan semangat penginjilan yang didorong oleh supremasi dan kebenaran Allah. Kiranya Allah mengunakan Beritakan Kebenaran untuk menggerakkan banyak orang untuk memberitakan Kristus kepada orang-orang yang sedang menuju kebinasaan.”
Rev. John S. Piper, B.D., D.Theol.
(gembala sidang senior di Betlehem Baptist Church, Minneapolis, U.S.A. dan penulis buku best-seller: Desiring God {terj. Indonesia: Mendambakan Allah}, God’s Passion for His Glory {terj. Indonesia: Gairah Allah Bagi Kemuliaan-Nya), dll; Bachelor of Divinity—B.D. dari Fuller Theological Seminary, U.S.A. dan Doctor of Theology—D.Theol. dari University of Munich, Jerman)

“Will Metzger menulis Beritakan Kebenaran untuk mereformasi penginjilan pribadi. Dia meratapi penginjilan yang hanya mendorong orang bertingkah laku lebih baik kepada sesamanya, dengan harapan itu akan diperkenan Allah. Buku ini memberikan kunci bagi penginjilan di dalam kuasa anugerah, anugerah Injil yang berdaulat.”
Rev. Prof. Edmund Prosper Clowney, S.T.M., D.D.
(Mantan Presiden Pertama dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dari Wheaton College, U.S.A.; Bachelor of Theology—Th.B. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.; Master of Sacred Theology—S.T.M. dari Yale Divinity School, U.S.A.; dan Doctor of Divinity—D.D. dari Wheaton College, U.S.A.)

“Beritakan Kebenaran… adalah buku bacaan wajib dalam mata kuliah penginjilan yang saya berikan. Metzger menunjukkan banyak kebingungan theologis yang mengelilingi penginjilan dan berita Injil, dan memberikan hikmat yang Alkitabiah namun juga praktis dengan cara yang mudah dipahami.”
Prof. Timothy K. Beougher, Th.M., Ph.D.
(Billy Graham Professor of Evangelism and Church Growth dan Associate Dean di Billy Graham School of Missions and Evangelism di Southern Baptist Theological Seminary, U.S.A.; Bachelor of Science—B.S. dari Kansas State University, U.S.A.; M.Div. dari Southwestern Baptist Theological Seminary, U.S.A.; Master of Theology—Th.M. dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari Trinity Evangelical Divinity School, U.S.A.)

“Beritakan Kebenaran adalah salah satu buku terbaik dan paling bermanfaat mengenai penginjilan. Beritakan Kebenaran akan menolong Anda untuk belajar mengembangkan cara hidup yang memberitakan Injil. Daripada mengandalkan metode-metode yang manipulatif dan terpusat pada manusia, Metzger menjelaskan bagaimana membawa orang kepada Kristus dengan cara yang memuliakan Allah.”
Rev. Philip Graham Ryken, M.Div., D.Phil.
(gembala sidang senior di Tenth Presbyterian Church, Philadelphia, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. dari Wheaton College, U.S.A.; Master of Divinity—M.Div. dari Westminster Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy—D.Phil. dari University of Oxford, U.K.)

“Kekristenan adalah untuk dibagikan, dan orang-orang Kristen yang mengasihi sesamanya ingin melakukannya secara persuasif… Buku pegangan karya Metzger ini adalah buku kelas wahid untuk menolong kita memperhatikan kebenaran dan menghadapi kebenaran tentang Kristus.”
Prof. James Innell (J. I.) Packer, M.A., D.Phil.
(Board of Governors Professor of Theology di Regent College, Vancouver, British Columbia; B.A.; Master of Arts—M.A.; dan Doctor of Philosophy­—D.Phil. dari Corpus Christi College, Oxford University, U.K.)





Profil Will Metzger:
Will Metzger adalah staf IVCF (InterVarsity Christian Fellowship—Persekutuan Antar Universitas/Perkantas) bagi pelayanan olahraga di University of Delaware dan Christian InterAction. Pelayanan penginjilannya telah membawanya mengunjungi setiap benua untuk bersaksi kepada orang-orang dari berbagai bangsa. Dia dan istrinya, Suzanne (seorang artis dan ibu rumah tangga) memiliki dua putra yang telah berkeluarga.

KEDAULATAN ALLAH DAN GENERASI ZAMAN (Denny Teguh Sutandio)

KEDAULATAN ALLAH DAN GENERASI ZAMAN
(Perspektif dan Panggilan Iman Kristen Menyoroti Generasi Tua dan Generasi Muda)


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.”
(Mzm. 119:9)

“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
(1Tes. 5:21)



I. PENDAHULUAN
Di dunia yang kita hidupi sekarang ini, kita mendapati dua generasi yang sedang eksis, yaitu generasi tua dan muda. Masing-masing memiliki ciri khas sendiri dan biasanya mereka saling berbenturan, entah karena alasan primer maupun sekunder. Hal ini juga terjadi pada orang-orang Kristen. Biasanya ada generasi tua terlalu memaksakan beberapa pandangan kaku kepada generasi muda yang mengakibatkan generasi muda tertekan, namun di sisi lain, banyak generasi muda yang menghina generasi tua dan hidup semaunya sendiri. Semua generasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari apa yang membentuk sikap mereka yaitu presuposisi mereka. Mari kita menyelidiki apa presuposisinya, lalu presuposisi ini membentuk ciri khas mereka, dan bagaimana kedaulatan Allah menjembatani gap antara kedua generasi ini.






II. GENERASI ZAMAN DAN PRESUPOSISINYA
Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa setiap zaman memiliki roh/spirit zaman (Inggris: spirit of the age; Jerman: zeitgeist). Bagi saya, spirit zaman inilah yang menjadi presuposisi dasar setiap kepercayaan, pemikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang hidup di zaman tersebut. Meskipun demikian, tidak berarti orang yang hidup di zaman tertentu pasti mengadopsi spirit zaman tersebut. Ada kasus di mana orang yang hidup di zaman tertentu mengadopsi spirit zaman sesudahnya atau sebelumnya. Namun, kali ini kita akan melihat dengan jelas akibat dari aplikasi spirit zaman ini. Jika seseorang hidup di zaman pramodern, orang itu akan mementingkan iman dan kepercayaan (baik yang benar maupun yang salah). Orang di zaman pramodern menganggap banjir dan bencana alam lainnya adalah kutukan dari Tuhan. Jika seseorang hidup di zaman modern, banyak orang sudah tidak lagi mementingkan iman, namun memberhalakan pengetahuan rasio. Hal ini dimulai di abad Renaissance dan memuncak pada abad Pencerahan, di mana iman kepercayaan diragukan dan rasio yang dijunjung tinggi. Rasionalisme dan isme-isme lainnya berkembang bukan mulai di zaman pramodern, namun di zaman modern. Kemudian, jika seseorang hidup di zaman postmodern dan New Age, banyak orang mulai meninggalkan penekanan rasio dan beralih kepada perasaan (dan aspek-aspek lain dalam diri manusia) dan pengalaman kepercayaan di luar Tuhan. Tidak heran, kepercayaan-kepercayaan yang dahulu dianggap takhayul, sekarang diminati oleh banyak orang. Bahkan di zaman postmodern, beragam kepercayaan yang aneh-aneh muncul dan bahkan berkembang dengan pesat. Kepercayaan yang lagi ngetren di zaman ini adalah New Age Movement (Gerakan Zaman Baru) yang HAMPIR tidak bisa dibedakan dengan Buddhisme dan Hinduisme, karena Gerakan Zaman Baru diimpor dari kedua agama ini ditambah filsafat dunia Barat.


Pertanyaan lebih lanjut, mengapa setiap zaman memiliki spirit zaman? Jawaban dasarnya adalah karena dosa manusia. Dosa mengakibatkan manusia kehilangan arah dan tujuan hidup, sehingga manusia di setiap zaman selalu berubah-ubah dalam menentukan pandangan hidupnya. Adalah suatu kekonyolan jika ada orang “Kristen” yang hidup di suatu zaman lalu mengikuti arus zamannya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengutip perkataan seorang hamba Tuhan yang mengatakan bahwa ikan yang selalu ikut arus adalah ikan yang mati. Demikian juga orang “Kristen” yang selalu ikut arus zaman adalah orang “Kristen” yang “mati.” Mengapa demikian? Karena orang “Kristen” demikian TIDAK memiliki arah dan tujuan hidup yang jelas. Kita akan mencoba melihat aplikasi praktis dari konsep kesimpangsiuran arah dan tujuan hidup manusia yang merupakan akibat dosa di dalam dua generasi yang ada: tua dan muda. Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan mengenai generasi-generasi ini, kita harus mengerti presuposisi dosa terlebih dahulu bahwa baik generasi tua dan muda sama-sama berdosa (meskipun secara respons terhadap wahyu umum Allah masih terdapat sedikit hal yang benar), sehingga kita nantinya bisa menyorotinya dari perspektif Alkitab.






III. CIRI KHAS GENERASI TUA dan TINJAUAN ALKITABIAH
Tadi kita sudah membahas bahwa dosa mengakibatkan manusia kehilangan arah dan tujuan hidup, sehingga di setiap zaman, manusia selalu mengubah pandangan hidupnya. Nah, kali ini kita akan mencoba menelusuri pandangan hidup dari generasi tua, karena generasi ini yang lebih dahulu ada, lalu kita akan menyoroti dari perspektif Alkitab. Ciri khas generasi tua ini saya bedakan menjadi dua: positif dan negatif. Meneladani Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam menyoroti sesuatu hal/gejala, maka saya akan memulai dari ciri khas positifnya terlebih dahulu, baru nanti disusul dengan ciri khas negatif.
A. Ciri Khas Positif
1. Lebih Bijaksana
Harus diakui bahwa dalam banyak hal, banyak generasi tua yang lebih berumur itu bijaksana daripada generasi muda. Jika dibandingkan dengan banyak generasi muda (bahkan yang “Kristen”) yang semaunya sendiri dalam memutuskan banyak hal, maka banyak generasi tua lebih bijaksana dalam memikirkan dan memutuskan sesuatu. Mengapa? Karena biasanya mereka lebih matang dalam memikirkan dan memutuskan sesuatu hal. Mengapa mereka matang? Karena mereka sudah berpengalaman. Istilahnya, “sudah banyak makan asam garam.” Biasanya mereka tidak akan terkaget-kaget dengan gejala yang terjadi di sekitarnya pada zaman di mana dia hidup (zaman postmodern), karena gejala-gejala tersebut adalah gejala yang sudah pernah terjadi di zamannya. Biasanya juga mereka lebih peka melihat sesuatu ketimbang generasi muda. Oleh karena itu, tidaklah salah jika kita sebagai para generasi muda meminta nasihat bijak dari para generasi tua, meskipun sebagai orang Kristen yang beres, kita tetap harus menguji nasihat-nasihat tersebut di bawah terang Alkitab. Namun apakah berarti makin tua seseorang makin bijaksana? TIDAK juga. Karena fakta membuktikan bahwa ada juga generasi tua yang makin tua bukan makin matang dan bijaksana dalam memutuskan segala sesuatu, namun menjadi paranoid dan masih berorientasi pada hal-hal fenomenal.


2. Lebih Memikirkan Jangka Panjang
Lebih bijaksananya banyak generasi tua ditandai dengan pikiran dan sikap mereka yang lebih memikirkan jangka panjang. Mereka bisa memikirkan jangka panjang karena banyak dari mereka tidak terfokus pada pemenuhan kebutuhan lahiriah yang bersifat sesaat. Misalnya, dalam mempergunakan uang, banyak generasi tua yang beres yang mendidik anak-anaknya untuk hemat dalam mempergunakan uang (meskipun dalam beberapa hal, hemat HAMPIR tidak bisa dibedakan dengan pelit, hehehe). Lebih bijaksana lagi jika para generasi tua Kristen yang beres mendidik para generasi muda untuk mempergunakan uang secara bertanggung jawab demi kemuliaan Tuhan (bukan hanya sekadar hemat saja).

Di satu sisi, memikirkan jangka panjang tidaklah salah, namun harus diingat, di sisi lain, terlalu berfokus memikirkan jangka panjang itu juga memiliki kelemahan dan tentunya bagi orang Kristen berbahaya dan tidak beres. Apa kelemahannya? Kelemahannya adalah inkonsisten diri. Banyak generasi tua (non-Kristen) yang selalu mengajar generasi muda untuk hemat dalam mempergunakan uang, namun di sisi lain, ketika ada generasi muda Kristen yang memberitakan Injil kepada generasi tua yang non-Kristen, apa reaksi generasi tua ini? Kebanyakan menolak, mengapa? Selain alasan primernya adalah karena anugerah Allah belum tiba pada orang itu, alasan lainnya adalah karena mereka setia pada tradisi leluhur yang tidak menyelamatkan. Dengan kata lain, filosofi jangka panjang menurut generasi tua ini adalah tetap bersifat sementara, karena tidak memikirkan “jangka panjang” yang sejati yaitu kekekalan. Bagaimana dengan beberapa (atau mungkin banyak) generasi tua “Kristen”? Sama saja. Mereka selalu memikirkan jangka panjang yang tetap bersifat sementara, bukan ditinjau dari perspektif kekekalan.

Apa bahayanya? Pertama, hidupnya berpusat pada diri dan menjadi sombong. Karena terlalu menekankan sikap memikirkan jangka panjang bisa mengakibatkan hidup generasi muda berpusat kepada diri sendiri dan bukan kepada Allah. Jika para generasi tua terlalu menekankan sikap hemat kepada generasi muda, akibatnya tidak heran, semakin banyak generasi muda yang sukses bukan bersyukur atas anugerah-Nya, tetapi menjadi sombong, karena mereka berpikir bahwa kesuksesannya diraih karena kerja kerasnya yang hemat mempergunakan uang, dll (jika contoh kasusnya: para generasi tua yang mengajari generasi muda untuk hidup hemat). Bahaya kedua adalah kuatir. Orang yang terlalu menekankan sikap memikirkan jangka panjang mengakibatkan orang itu makin kuatir. Mengapa? Karena orang yang terlalu menekankan sikap memikirkan jangka panjang mengakibatkan hidupnya untuk diri sendiri dan tidak usah heran, nantinya orang ini menjadi kuatir. Kekuatiran ini muncul karena orang muda ini terlalu berfokus pada uang. Bahaya ketiga adalah penuh perhitungan. Banyak generasi tua yang mengindoktrinasi generasi muda untuk hemat dalam menggunakan uang. Artinya, di dalam mengeluarkan uang untuk membeli atau memberi sesuatu, kita harus mempertimbangkan apakah sesuatu itu penting atau tidak. Sepintas hal ini ada benarnya, karena jika kita terlalu boros membeli dan memberi sesuatu yang tidak ada nilainya, itu juga sia-sia, namun di sisi lain, kita melihat konsep ini berakibat pada sikap penuh perhitungan. Jangan heran, kalau ada orang Kristen yang disuruh memberi persembahan dan persepuluhan pun penuh perhitungan. Saya akan memberikan contohnya. Di dalam Seminar Keluarga: How to Handle Money? pada tanggal 27 Februari 2010 di Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya, Pdt. Prof. Joseph Tong, Ph.D. memberikan contoh bahwa ada salah satu jemaat gereja yang memiliki dua uang dengan jumlah yang berbeda (kecil dan besar; misalnya: US$1 dan US$100), lalu jemaat ini berencana memberikan US$1 untuk persembahan, namun ternyata dia salah memasukkan uangnya, sehingga yang dimasukkan ke kantong persembahan adalah US$100. Setelah kebaktian selesai, ia memberanikan diri mendatangi pendetanya untuk meminta balik uang kembalian dari uang persembahan yang telah dimasukkannya ke kantong persembahan, karena ia telah salah memasukkan uangnya tersebut.


3. Lebih Beretika
Hal terakhir yang bisa kita pelajari dari banyak generasi tua, yaitu lebih beretika. Dibandingkan dengan banyak generasi muda hari-hari ini, kita harus mengakui bahwa banyak generasi tua yang lebih beretika. Artinya, mereka lebih memiliki etika sopan santun, dll di dalam bersikap dan bertingkah laku. Tentu, hal ini tidaklah salah dari perspektif Alkitab, karena Alkitab juga mengajar pentingnya etika sebagai warga negara Kerajaan Sorga. Para generasi muda harus banyak belajar tentang etika selain dari Alkitab, juga dari banyak generasi tua.

Namun, di sisi lain, etika tetap harus ada batasannya, yaitu Alkitab. Menjadi manusia yang beretika itu baik dan benar, tetapi jangan menjadi ekstrem. Ada generasi tua yang terlalu menekankan etika sampai-sampai akhirnya dia menjadi seorang legalis yang kaku. Karena terlalu menekankan etika berlebihan (dan tentunya sikap sungkan), maka tidak heran, mengutip perkataan Pdt. Erastus Sabdono, D.Th., banyak orang dari tradisi Timur enggan mengkritik dan menegur orang. Mengkritik dan menegur orang dianggap tidak beretika, padahal Alkitab sendiri mengajar kita untuk menegur orang yang salah baik ajaran maupun sikapnya (bdk. 2Tim. 4:2).




B. Ciri Khas Negatif
Di samping ketiga ciri khas positif dari generasi tua, saatnya kita menyoroti ciri khas negatifnya.
1. Generasi Tua = “Tuhan”
Ciri khas negatif dari banyak generasi tua adalah dilandasi oleh presuposisi dasar yang ditekankan baik secara eksplisit maupun implisit yaitu: generasi tua = “Tuhan”. Karena terlalu yakin bahwa dirinya sebagai generasi tua sudah banyak makan asam garam (sampai darah tinggi, kolesterol, dll, hahaha), maka banyak generasi tua menjadi orang yang sombong dan ada yang sampai berani secara eksplisit maupun implisit menganggap dirinya identik dengan “Tuhan” yang harus ditaati mutlak (tanpa argumentasi). Begitu generasi muda mengeluarkan pendapat dan keputusan yang berbeda (dalam hal sekunder), maka biasanya generasi tua langsung mencap generasi muda ini sebagai orang yang membangkang. Atau meskipun mereka tidak mengklaim diri sebagai “Tuhan”, mereka mengindoktrinasi anaknya untuk percaya bahwa kehendak Tuhan bagi seorang anak hanya melalui orangtuanya saja. Konsep-konsep ini jika dimutlakkan secara berlebihan, bisa berbahaya, bahkan saya bisa mengatakan bahwa hal itu adalah DOSA. Mengapa? Karena dosa bukan dilihat secara fenomenal, namun secara esensial, yaitu melawan Allah atau menurut Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D., dosa adalah mengganti standar Allah dengan standar manusia berdosa.


2. Kaku, Kolot, Keras Kepala, dan Sok Tahu
Karena dilandasi oleh presuposisi bahwa generasi tua = “Tuhan”, maka muncullah akibatnya, yaitu: Pertama, kaku dan kolot. Karena menganggap bahwa generasi tua = “Tuhan”, maka beberapa (atau mungkin banyak) generasi tua mengindoktrinasi dan menerapkan konsepnya secara kaku dan kolot (tanpa mau mendiskusikan kepada anaknya tentang konsep-konsep yang telah diindoktrinasikannya itu). Misalnya, tradisi makan bersama. Tentu tidak salah jika satu keluarga memiliki tradisi makan bersama di satu meja makan, namun hal ini jangan menjadi tradisi yang diekstremkan dan dimutlakkan, lalu mengajar bahwa anaknya tidak boleh makan terlebih dahulu sebelum orangtuanya bersiap untuk makan. Ambil contoh, jika orangtuanya ada urusan mendadak yang mengakibatkan mereka pulang kerja sampai larut malam (di atas Pkl. 21.00), apakah si anak tidak boleh makan terlebih dahulu sebelum orangtuanya pulang rumah? Jika hal ini menjadi kebiasaan mutlak, maka si anak lama-kelamaan akan menderita sakit maag.

Kedua, keras kepala. Karena ber“iman” bahwa generasi tua = “Tuhan”, maka beberapa (atau mungkin banyak) generasi tua menjadi keras kepala. Mengapa saya mengatakan bahwa mereka keras kepala? Karena mereka kebanyakan bersikukuh HANYA pada pandangan mereka sendiri (dengan dasar argumentasi bahwa pandangan orang yang sudah banyak makan asam garamlah yang paling “benar”) dan tidak mau berdiskusi secara objektif dengan para generasi muda atau anaknya. Kalaupun secara perkataan, ada generasi tua yang mengatakan bahwa dirinya mau berdiskusi dengan generasi muda/anaknya, biasanya mereka berdiskusi dengan menggunakan pendekatan “pokoke” (pokoknya; Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa jika orang sudah mengatakan “pokoke”, itu berarti modal dasarnya sudah dikeluarkan dan semua pembicaraan/diskusi berhenti) alias pendekatan subjektif di dalam berdiskusi. Ambil contoh, ada masalah X. Orangtua/generasi tua menafsirkan masalah/hal X sebagai A, namun anak/generasi muda menafsirkannya sebagai B, lalu karena merasa paling berotoritas, maka orangtua/generasi tua memaksakan tafsiran A terhadap masalah X, padahal jika mau diteliti secara objektif, X bisa ditafsirkan sebagai A maupun B (hal ini TIDAK berarti saya mendukung penafsiran yang TIDAK setia pada sumber). Saya belajar hal ini dari seorang rekan gereja saya di GRII Andhika, Surabaya (Sdri. Ruth Winarto) yang mengajar saya bahwa satu masalah/hal JANGAN ditafsirkan/dimengerti dari satu sudut, namun dari berbagai sudut. Hai orang Kristen bertobatlah dan belajarlah dewasa, belajarlah untuk TIDAK berpikir sempit menyoroti satu masalah. Terlalu sering saya mengamati beberapa (atau mungkin banyak) generasi tua/orangtua “Kristen” yang terlalu pede mengatakan bahwa dirinya paling “bijaksana” ternyata tidak sungguh-sungguh bijaksana, karena terlalu berpikir sempit di dalam menyoroti suatu hal.

Ketiga, sok tahu. Karena terlalu yakin bahwa generasi tua = “Tuhan”, maka selain keras kepala, banyak generasi tua menjadi orang yang sok tahu. Artinya, mereka menjadi orang yang merasa diri paling mengetahui segala sesuatu apalagi anak-anak mereka. Bukan menjadi rahasia umum, orangtua paling mudah mengeluarkan pernyataan, “Orangtua paling mengerti anak.” Benarkah orangtua paling mengerti anaknya? Jika demikian, mengapa ada kasus di mana anak bisa kabur dari rumah, karena tidak tahan ditekan/disiksa orangtuanya? Biasanya para generasi tua berargumentasi bahwa itu orangtua yang ngawur. Apakah orangtua yang tidak ngawur 100% bisa mengerti anaknya? Hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, pernyataan ini ada benarnya, mengapa? Karena orangtua yang melahirkan anaknya, maka jika dibandingkan dengan teman atau saudara dari anaknya, tentu orangtua yang lebih mengerti anaknya. Namun, di sisi lain, konsep ini juga salah. Karena yang paling mengerti anak tentu Tuhan, Pencipta anak. Kedua, teman bisa lebih mengerti anak, karena mungkin sekali anak kurang terbuka pada orangtuanya, namun terbuka pada teman-temannya. Mengapa anak bisa lebih terbuka pada teman-temannya dan bukan pada orangtuanya? Jika kasusnya demikian, kesalahan 100% tidak selalu terletak pada si anak, namun orangtua tetap harus mengintrospeksi diri. Apa yang dilakukan orangtua sehingga anaknya sendiri kurang terbuka kepada mereka, namun lebih terbuka pada teman-temannya? Mengapa anaknya bisa dengan mudah curhat kepada temannya, namun tidak kepada orangtuanya? Mungkin sekali orangtuanya terlalu otoriter, cerewet, lebay, paranoid, dan terlalu mengurusi anaknya untuk hal-hal sekunder. Terkadang anak merindukan orangtua yang bisa diajak diskusi objektif, namun apa daya, orangtua (yang lebih parah mengaku diri “Kristen” bahkan “Reformed” lagi) yang otoriter, lebay, dan paranoid menginginkan anaknya untuk taat mutlak tanpa argumentasi. Sehingga jangan salahkan anaknya jika ia lebih senang curhat dengan teman sebayanya ketimbang dengan orangtuanya yang selalu mengomel untuk BANYAK alasan yang tidak jelas. Jika alasannya karena ini, para generasi tua/orangtua harus bertobat. Namun kalau alasannya adalah karena anak itu memang lebih cocok dengan temannya karena sama-sama bejatnya, maka yang perlu bertobat adalah anaknya!

Kesok tahuan generasi tua ditandai dengan kesewenangan mereka menafsirkan maksud generasi muda dengan perspektif generasi tua. Meskipun dalam beberapa hal, tafsiran para generasi tua ada benarnya, namun TIDAK berarti 100% tafsiran mereka pasti benar dan cocok. Teman saya dari Gereja Kebangunan Kalam Allah (GKKA) Tenggilis, Surabaya mengatakan bahwa orangtuanya pernah memberi tahu dia untuk berhati-hati dengan lawan jenis yang sedang mendekatinya itu, namun rekan saya ini tidak percaya. Alhasil, fakta membuktikan bahwa lawan jenis ini akhirnya meninggalkan teman saya ini demi mengejar cewek pujaan hatinya. Dari situ, kita bisa menyimpulkan bahwa TERKADANG nasihat orangtua/generasi tua ada benarnya, namun perlu diingat: kasus khusus TIDAK boleh dijadikan hal umum, lalu menyimpulkan bahwa nasihat orangtua HARUS ditaati secara mutlak, karena itu adalah kehendak Tuhan. Ingat, titah ketiga dari Dasa Titah adalah jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan! Jangan berani menyebut sesuatu itu dari Tuhan, jika itu memang bukan dari Tuhan!


3. Cerewet untuk Hal-hal yang Sekunder
Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. pernah mengutip perkataan seorang jemaatnya bahwa kalau orang masih muda terlalu menekankan hal-hal detail, namun kalau sudah tua biasa menekankan hal-hal praktis. Di satu sisi, konsep ini ada benarnya, namun di sisi lain, fakta berkata lain. Tidak jarang, semakin tua seseorang, semakin cerewet orang itu, bahkan untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Berbicara tentang “filsafat” cerewet, saya membagikan cerewet menjadi dua hal: cerewet untuk hal-hal penting/primer dan untuk hal-hal yang kurang bahkan tidak penting (sekunder atau mungkin tersier). Kalau untuk hal-hal yang penting/primer, misalnya, masalah iman dan tingkah laku yang tidak beres dari segi etika Alkitabiah, maka generasi tua diperbolehkan cerewet, namun cerewet ini harus disertai teguran dan nasihat yang membangun bukan menjatuhkan dan menuduh secara membabibuta dengan mengekstremkan apa yang tidak dilakukan oleh generasi muda. Cerewet ini saya sebut sebagai cerewet yang bernilai/berguna/bermutu (valuable/useful talkative). Sedangkan cerewet model kedua adalah untuk hal-hal sekunder bahkan tersier, misalnya masalah kriteria sekunder di dalam memilih pasangan hidup, penilaian terhadap seseorang dari sisi sekunder (wajah, dll), pemilihan baju, dll. Cerewet model kedua ini saya sebut sebagai cerewet yang sia-sia bahkan sampah (useless/hoax talkative). Yang membuat saya heran, justru kebanyakan generasi tua cerewet untuk hal-hal sekunder dan jarang untuk hal-hal primer (kecuali generasi tua itu benar-benar anak Tuhan sejati yang hidupnya untuk Tuhan saja).

Mengapa banyak generasi tua cerewet untuk hal-hal yang sekunder? Karena: Pertama, tidak memiliki presuposisi iman yang beres. Generasi tua Kristen yang iman dan aplikasi imannya sudah tidak beres biasanya dengan mudah (tanpa berpikir kritis dan objektif) menelan mentah-mentah konsep dunia yang diimpor oleh sesama generasi tua “Kristen.” Mereka bisa mengimpor konsep dunia dari sesama generasi tua “Kristen” ini karena mereka terlalu banyak bergaul bukan dengan firman Tuhan, namun dengan kumpulan generasi tua yang terlalu menekankan hal-hal fenomenal. Ini bukan sekadar teori saja, saya sudah memiliki realitas akan hal ini. Ada orangtua “Kristen” yang memutuskan siapa pasangan hidup bagi anaknya (memang perlu diketahui, mungkin sekali, si anak ini belum dewasa secara iman dan penilaian). Orangtua yang menentukan secara mutlak siapa pasangan hidup bagi anaknya merupakan dampak/akibat praktis dari konsep jodoh di tangan manusia! Nah, yang lebih celaka, konsep ini diimpor oleh orangtua “Kristen” lainnya di mana anaknya cukup dewasa dalam iman dan penilaian. Entah mengapa ya generasi tua yang selalu mengklaim diri paling “bijaksana” dan berpikir panjang, tetapi herannya di sisi lain juga tetap tidak bisa bijaksana berdasarkan firman Tuhan dan berpikir panjang dari sudut pandang kekekalan? Apakah mereka sudah terlalu diikat oleh belenggu tradisi, sehingga mata iman mereka telah dibutakan oleh ilah tradisi? Biarlah para generasi tua Kristen khususnya Reformed benar-benar bertobat dan tidak ikut arus! Jangan berani mengklaim diri Kristen bahkan Reformed jika masih tradition-centered atau parent-centered! Kedua, faktor pribadi. Orang yang dari kecil sudah dimanja (otoriter/bos kecil), di mana kalau keinginannya dalam hal sekunder TIDAK dituruti, ia akan marah, tidak usah heran, sikap kekanak-kanakan ini akan terbawa sampai tua. Orang ini akan cerewetnya bukan main, marah, ngomel, dan ngambek jika keinginannya dalam hal sekunder TIDAK dipatuhi secara mutlak tanpa argumentasi sama sekali! Ingatlah, kedewasaan TIDAK hanya diukur dari faktor usia! Atau tidak menutup kemungkinan latar belakang pekerjaan dahulu membuat dia akhirnya menjadi seorang yang luar biasa cerewet untuk hal-hal sekunder. Ada orang yang dahulu berprofesi sebagai manager atau direktur sebuah perusahaan, kemudian menjadi pendeta dan bahkan gembala sidang, namun latar belakang manager/direkturnya itu masih melekat. Akibatnya, meskipun dia adalah pendeta dan bahkan gembala sidang, jiwa penggembalaannya tidak ada, malahan yang ada jiwa BOS yang membungkam semua pendapat jemaatnya (dengan asumsi: jemaat disamakan dengan pegawai/karyawannya). Ketiga, faktor usia. Ada suatu dalil sekuler bahwa semakin tua seseorang, ia akan kembali seperti anak-anak. Artinya, orang tersebut akan semakin cerewet kalau keinginannya tidak dipenuhi seperti bayi yang menangis kalau lapar atau haus. Orang tersebut minta diperhatikan seperti bayi yang minta dibuatkan susu atau digendong. Jika kasusnya demikian, maka semakin tua seseorang, seharusnya orang itu TIDAK boleh sombong karena merasa diri paling “bijaksana” dan banyak makan asam garam. Tuhan memberikan kebijaksanaan kepada seseorang dengan tujuan agar kebijaksanaan itu dipakai untuk menjadi berkat bagi orang lain, bukan untuk memamerkan diri bahwa dirinya lebih “bijaksana” dari orang lain lalu dengan mudahnya mengkritik orang lain, tetapi tidak mau mengkritik diri sendiri!






IV. CIRI KHAS GENERASI MUDA dan TINJAUAN ALKITABIAH
Setelah menyelidiki ciri khas generasi tua, maka kita sekarang menyelidiki ciri khas generasi muda. Saya sebagai seorang generasi muda akan mencoba menyoroti dunia saya sendiri. Seperti di atas, saya juga akan menyoroti ciri khas generasi muda dari sisi positif dan negatif.
A. Ciri Khas Positif
1. Gaul
Ciri khas positif pertama dari generasi muda adalah gaul. Komunitas anak muda dapat disebut komunitas gaul. Memang benar apa yang dikatakan Ev. Ivan Kristiono, M.Div. bahwa komunitas gaul adalah komunitas yang tidak mau bergaul dengan dunia lain di luar komunitas tersebut, namun justru merupakan komunitas yang menciptakan sebuah “peraturan” dan ciri khas/keunikan sendiri yang menandakan masyarakat/komunitas gaul. Dari komunitas gaul, muncullah bahasa gaul. Bahasa gaul, misalnya: sekolah à skul, kuliah à kul, teman dekat à gebetan (belum jadian), berlebihan à lebay, saudara à bro (istilah yang dipakai oleh seorang anak muda cowok memanggil temannya sesama cowok), istilah bete, dll. Ada juga bahasa gaul di dalam sms, misalnya: aku à aq atau q, kamu à km, kok à koq, dll. Bagaimana dengan generasi muda Kristen? Apakah mereka tidak boleh gaul? Adalah suatu kekonyolan, kekakuan, dan kekolotan, jika generasi muda Kristen dilarang menjadi komunitas gaul dengan dasar argumentasi Roma 12:2. Mengutip Ev. Ivan Kristiono, orang Kristen harus gaul. Artinya, tentu, generasi muda Kristen adalah generasi muda yang gaul, namun tetap harus ada batasan-batasan yang jelas yaitu Alkitab. Orang Kristen yang gaul berarti kita mengikuti perkembangan zaman, namun TIDAK mengikuti arus zaman. Jika demikian, bolehkah generasi muda Kristen hang out bersama dengan teman-teman di mal, nonton bioskop, dll? Tentu saja boleh, karena itu hal-hal fun, namun perlu diingat, jangan sampai kita hang out di mal pada Sabtu malam, lalu kita pulang terlalu malam, sampai-sampai tidak bisa pergi ke gereja besok Minggunya.

Nah, yang celaka, ada beberapa generasi muda Kristen yang terlampau kaku dan jadul (jaman dahulu). Hal ini terlihat dari cara berpakaiannya yang seperti om-om di zaman “purbakala” dahulu (heheheJ), juga terlihat dari keengganannya hang out di mal, karena takut berdosa, dll. Mengapa ada perilaku jadul seperti itu? Mungkin karena pengekangan ekstrem dari para sesepuh (generasi tua/orangtua) atau mungkin juga karena sifatnya memang demikian: pendiam dan pemalu. Di satu sisi, anak muda seperti ini seolah-olah kelihatan baik dan alim, namun jika kebiasaan ini dipelihara, maka hal ini bisa berbahaya. Bahaya ini saya sebut sebagai bahaya imun. Artinya, anak muda ini terimun dari budaya-budaya luar, sehingga suatu saat ketika tumbuh menjadi seorang dewasa menjadi seorang yang mudah terkaget-kaget dengan budaya luar, karena selama dia muda, dia hanya mendekam di rumah dan gereja doang. Orangtua yang memproteksi terlalu ketat anak-anaknya akan mengakibatkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang takut terhadap budaya luar. Saya akan memberikan contoh langsung dari Pdt. Dr. Stephen Tong. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam salah satu khotbahnya pernah menceritakan kasus di mana orangtua yang terlalu mengimun anaknya. Pada suatu kali, dulu waktu Pdt. Stephen Tong masih muda, beliau bertemu dengan pendeta yang sudah berumur/tua, kemudian si pendeta tua ini mengajar Pdt. Stephen Tong bahwa karena surat kabar di Hong Kong isinya selalu hal-hal buruk, seperti: pembunuhan, pemerkosaan, dll, maka setelah membaca surat kabar tersebut, si pendeta tua langsung menggunting-gunting berita yang berisi hal-hal negatif di surat kabar tersebut, kemudian menyerahkan surat kabar tersebut kepada anak-anaknya untuk dibaca. Kemudian, Pdt. Stephen Tong berpikir dan berkata kepada si pendeta tua, jika si pendeta tua melakukan hal tersebut, maka anak-anaknya malah semakin penasaran dengan isi dari surat kabar yang sudah digunting-gunting tersebut dan bukan sesuatu yang mustahil jika anak ini bisa meminjam surat kabar tetangganya khusus untuk melihat berita apa yang digunting-gunting oleh ayahnya itu. Bukankah ini lebih gawat? Kemudian, Pdt. Stephen Tong bersenda gurau di dalam khotbahnya menyebut koran yang bolong-bolong (setelah digunting oleh pendeta tua) itu sebagai holy newspaper, bukan surat kabar/koran yang kudus, tetapi koran yang banyak lubangnya, maka disebut holy (àhole: lubang), hehehe…

Pada upacara Sakramen Pernikahan saudara sepupu saya di Gereja Katedral Keluarga Kudus, Banjarmasin pada tanggal 31 Januari 2010, Romo Simon Edy Kabul Teguh Santoso, Pr. mengungkapkan hal yang cukup bijak bagi saya. Beliau mengatakan bahwa anak SMA/remaja jangan terlalu ditekan dan juga jangan terlalu dilepaskan (bebas) oleh orangtuanya. Anak remaja yang terlalu ditekan oleh orangtuanya justru malahan mengakibatkan anak remaja tersebut pada suatu saat memberontak. Dan yang nanti bermasalah tentu orangtuanya sendiri. Inilah yang katanya generasi tua paling “bijaksana”, namun akibatnya ke“bijaksana”annya berakibat fatal. Oleh karena itu, para generasi tua, belajarlah untuk TIDAK menyombongkan diri sebagai pribadi yang paling “bijaksana”, karena Pribadi yang paling bijaksana hanyalah TUHAN ALLAH sendiri yang adalah Sumber Kebijaksanaan.


2. Kreatif dan Inovatif
Selain gaul, generasi muda juga tergolong generasi yang kreatif dan inovatif. Ambil contoh, Facebook (FB). FB sampai saat ini tergolong salah satu situs jejaring sosial yang diminati bukan hanya oleh generasi muda, namun juga generasi tua, termasuk pendeta, penginjil, dan para hamba Tuhan. Tahukah Anda siapa yang menciptakan FB? Yang menciptakan FB adalah seorang anak muda. Sumber Wikipedia[1] menyebutkan informasi mengenai FB bahwa: FB pertama kali bernama Facemash ditemukan oleh Mark Zuckerberg pada tanggal 28 Oktober 2003 bersama dengan teman kosnya, Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes ketika mereka menjadi mahasiswa di Harvard University. Facemash sebenarnya merupakan situs jejaring sosial yang hanya diperuntukkan untuk mahasiswa Harvard, namun telah meluas sampai ke kampus-kampus lain di daerah Boston area, Ivy League, dan Stanford University. Kemudian, situs ini meluas keanggotaannya mulai dari siswa/i SMU sampai mahasiswa/i, dan semua orang yang berusia di atas 13 tahun. Wikipedia mencatat, anggota FB yang aktif sekarang adalah 350 juta. Ya, pencipta FB adalah seorang anak muda. Bukan hanya masalah FB, banyak generasi muda juga terbukti kreatif dan inovatif, misalnya dalam mendesain baju, ruangan, dll.

Meskipun kreatif dan inovatif, generasi muda Kristen juga harus berhati-hati, karena kreatif dan inovatifnya anak muda zaman sekarang sering kali dipengaruhi oleh ide-ide postmodernisme yang anti keteraturan, dll. Kreativitas itu tentu tidak salah, namun harus dibatasi oleh prinsip-prinsip Alkitab, sehingga tidak mengakibatkan kreativitas yang liar.


3. Menguasai Teknologi
Terakhir, karena kreatif dan inovatif, maka tentu saja banyak generasi muda adalah mereka yang cukup menguasai teknologi, yaitu: minimal mengoperasikan program Microsoft Word, Microsoft Power Point, internet: Facebook, google, e-mail, dll, mampu mengoperasikan HP, dll. Penguasaan teknologi diperlukan baik untuk kuliah, bekerja, fun, maupun untuk mencari sesuatu yang penting di google (www.google.co.id). Rupa-rupanya hampir tidak ada generasi muda yang gaptek (gagap teknologi), meskipun ada juga anak muda Kristen yang sampai sekarang tidak memiliki HP dengan alasan tidak suka HP à sungguh suatu keanehan, heheheJ

Kemajuan teknologi memang harus dikuasai oleh banyak generasi muda Kristen, namun di sisi lain, kita harus waspada terhadap berbagai isi yang ditawarkan di dalam teknologi, khususnya internet. Gara-gara FB, sudah ada kasus 2-3 kasus remaja cewek melarikan diri dari rumah untuk bertemu cowok yang baru dikenalnya di FB. Pada hari Sabtu, 27 Februari 2010, sebuah stasiun TV swasta menayangkan berita bahwa bisnis prostitusi sudah berkeliaran di FB. Hendaklah para generasi muda Kristen berwaspada dalam menggunakan teknologi. Namun, sekali lagi saya tekankan, berwaspada JANGAN diekstremkan menjadi tindakan paranoid atau ketakutan berlebihan. Berhentilah menjadi seorang Kristen yang paranoid terhadap hal-hal luar, karena itu bukan menolong, tetapi berbahaya. Perhatikan, orang yang selalu paranoid biasanya mengakibatkan tindakan berlebihan (lebay) yang luar biasa cerewet untuk hal-hal sekunder.




B. Ciri Khas Negatif
Ciri khas negatif banyak generasi muda yang saya soroti bisa diringkas menjadi tiga
1. Anti-Tuhan
Generasi muda zaman sekarang ditandai dengan paradigma dasar yaitu: anti-Tuhan. Di titik pertama, banyak generasi muda benar-benar cuek dengan keTuhanan. Ciri khasnya adalah mereka cuek dengan Alkitab, gereja, khotbah pendeta/hamba Tuhan yang bertanggung jawab, dll. Kecuekan mereka ditandai dengan menyerap khotbah mimbar yang mengenakkan di telinga mereka dan setelah itu melupakannya lagi. Istilahnya: masuk melalui telinga kiri, keluar melalui telinga kiri juga (alias tidak pernah nyantol). Atau yang lebih parah lagi, mereka sudah tidak menghargai sakralnya hari Minggu. Hal ini ditandai dengan anak muda ini jarang pergi ke gereja atau kalau pergi ke gereja pas dia melayani sebagai usher/kolektan. Mengapa dia jarang pergi ke gereja? Karena dia malas dan hari Sabtu malamnya diisi dengan hang out bersama teman-temannya sampai larut malam, sehingga besok Minggunya tidak bisa bangun pagi untuk pergi ke gereja. Atau yang paling parah adalah benar-benar masa bodoh dengan gereja dan iman Kristen. Seorang teman gereja saya, Bob Setio bercerita kepada saya bahwa sebelum acara KKR Natal 2009 Pdt. Dr. Stephen Tong di Supermal Surabaya Convention Center (SSCC), PTC, Surabaya, dia melewati food court dan dia mendengar sekumpulan anak muda yang lagi makan di food court menertawai dirinya yang sedang membawa Alkitab dengan sindiran, “Hari gini masih ke gereja?” Ya, inilah ciri khas banyak generasi muda zaman sekarang.

Mengapa bisa demikian? Faktor penentu utamanya adalah karena faktor dekrit pertama (mengutip istilah dari Pdt. Sutjipto Subeno) yang ditanamkan oleh orangtua mereka. Anak yang sejak kecil TIDAK dididik untuk takut akan Tuhan mengakibatkan anak itu tumbuh menjadi anak yang atheis. Meskipun Roh Kudus bisa mengubah anak ini ketika ia beranjak dewasa, namun peran dekrit pertama pendidikan Kristen TIDAK boleh dihilangkan atau dihapuskan. Sudah terlalu banyak kasus di mana anak makin dewasa bukan makin cinta dan takut akan Tuhan, malahan menjadi atheis. Ataupun kalau anak muda ini kelihatan aktif ke gereja, ceklah prinsip hidupnya, kebanyakan dari mereka atheis praktis. Jangan heran, anak seorang aktivis gereja bisa dengan mudahnya mempermainkan istilah “bergumul” untuk memuaskan hawa nafsunya mencari pasangan hidup yang berbeda iman. Ini semua karena dari kecil, anak ini tidak dididik dengan iman Kristen yang beres. Faktor kedua adalah faktor lingkungan. Ketika seorang anak muda terlalu banyak bergaul dengan teman-teman yang tidak beres, bisa dipastikan anak muda ini akan diracuni oleh pengaruh buruk dari teman-temannya itu. Terlalu banyak kasus anak muda, yang karena pengaruh teman-temannya yang tidak beres, akhirnya dia menjadi atheis. Dulu ia seorang yang aktif pelayanan di gereja, tetapi lingkungan mengakibatkan dia menjadi atheis. Saya tidak perlu jauh-jauh memberikan contoh nyata, karena saudara sepupu saya dari pihak ayah saya sudah mengalami hal ini. Waktu kecil, koko sepupu saya ini aktif pelayanan di gereja, kemudian setelah lulus SMP, dia pindah sekolah ke Australia. Pada waktu di Australia, ayahnya gelisah dan sempat bermimpi bahwa koko sepupu saya ini membanting Alkitab. Kemudian ayahnya menelpon dia dan menanyakan apakah dia pergi ke gereja. Koko sepupu saya menjawab TIDAK. Setelah itu, ayahnya memerintahkan dia untuk pulang kembali ke Indonesia. Sekembalinya ke Indonesia, koko sepupu tingkahnya agak kebanci-bancian (lembeng) dan saat ini dia masih tetap seorang atheis. Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 15:33, “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” Hal ini TIDAK berarti kita tidak boleh memiliki teman yang tidak beres. Namun, yang perlu diperhatikan adalah teman seperti apa yang dengannya kita bergaul. Jika kita lebih banyak bergaul dengan teman-teman yang non-Kristen dan di luar gereja, percayalah, seberapa teguh pun iman kita, kita akan jebol. Biasakanlah selektif di dalam memilih teman. Perbanyaklah berteman dengan orang-orang Kristen yang beres dan kurangilah berteman dengan mereka yang belum atau tidak di dalam Kristus. Mengapa? Semakin banyak kita berteman dengan saudara seiman di dalam Kristus, kita semakin dikuatkan, ditegur, diajar, dihibur satu sama lain, sehingga kita makin hidup serupa Kristus.


2. Anti-Konsep
Karena didasarkan pada anti-Tuhan, maka banyak generasi muda zaman sekarang pun juga anti-konsep. Artinya, mereka tidak lagi mempermasalahkan konsep, mengapa? Karena konsep itu hal yang kuno, kaku, dll, istilah mereka: jadul. Tetapi herannya, sambil mengatakan bahwa mereka tidak memiliki konsep, sebenarnya mereka sendiri sudah berkonsep yaitu berkonsep bahwa mereka tidak memiliki konsep. Memang, logika yang aneh, wakakakaka. Tidak usah heran, karena tidak mementingkan konsep, maka banyak generasi muda zaman sekarang seenaknya sendiri di dalam menjalani hidup dan khususnya dalam memilih pasangan hidup. Apa yang sebenarnya merupakan hal mutlak eh malah direlatifkan dan hal yang relatif justru dimutlakkan. Dewasa ini, istilah “cocok” sedang ngetren di banyak kawula muda di seluruh aspek kehidupan. Di dalam memilih gereja, apa yang dipentingkan oleh banyak generasi muda “Kristen” hari-hari ini? Khotbah dan pengajaran yang bagus dan bertanggung jawab? BUKAN. Yang mereka pentingkan adalah apa yang COCOK dengan selera mereka. Mereka akan lebih mementingkan corak ibadah yang wah, mengasyikkan, dan kalau bisa pendetanya tampan dan gaul. Meskipun khotbah/ajaran yang disampaikan di gereja tersebut ngaco, itu tidak menjadi masalah, asalkan musiknya pas dengan selera anak muda.

Di dalam menjalin hubungan lawan jenis, istilah COCOK juga laris. Saya pernah menyaksikan sebuah infotainment yang menceritakan seorang artis cowok Kristen yang namanya cukup terkenal di dalam dunia Kekristenan melalui album lagu rohaninya ternyata menikahi seorang artis cewek Islam. Ketika ditanya alasan mereka menikah meskipun beda agama, jawaban mereka adalah: MEREKA COCOK. Filosofi cocok di kalangan artis ini ternyata meracuni secara implisit seorang anak aktivis sebuah gereja. Sudah jelas-jelas calon pasangan hidupnya seorang yang berbeda iman, masih saja anak aktivis ini menjalin hubungan, ya, lagi-lagi, alasan yang dikemukannya: COCOK kalau mengobrol dengannya. Hal ini TIDAK berarti kita mencari pasangan hidup yang tidak cocok dengan kita. Kecocokan tetap perlu, tetapi bukan kriteria mutlak! Alangkah konyolnya kita jika kita mengorbankan iman demi sebuah kecocokan, itu pun suatu ketidakcocokan (ketidakcocokan iman, hati, dan cara berpikir)! Mengapa kecocokan fenomenal dan sekunder lebih dipentingkan ketimbang kecocokan esensial dan primer? Itulah keanehan yang terjadi di dunia anak muda zaman sekarang. Atas nama kecocokan, beda agama/iman: tidak menjadi masalah, “kan bisa diinjili?” begitulah argumentasi konyol mereka yang belum tentu mereka jalankan, hehehe. Meskipun anak aktivis ini telah mendengar khotbah gembala sidangnya yang mengajar bahwa carilah pasangan hidup yang seiman dan rohani, tetapi dasar orang keras kepala, dia tetap lebih memilih nafsunya sendiri ketimbang khotbah yang didengarnya, lalu dengan mudahnya dia mengatakan bahwa dia lagi “bergumul.” Bergumul dari sebelah mana tuh? Bergumul atau sebenarnya bernafsu??? Saya paling takut jika sebuah istilah agung dipermainkan untuk nafsu yang menjijikkan.




3. Anti-Komitmen
Seorang yang tidak beriman kepada Tuhan dan tidak menghargai pentingnya konsep, maka dapat dipastikan orang yang sama juga tidak menghargai komitmen. Mengapa? Karena komitmen dibangun di atas prinsip yang beres dan prinsip itu dibangun di atas iman yang beres. Seorang yang beriman beres tentu memiliki konsep iman yang beres dan tentu aplikasinya serta ia juga mau berkomitmen untuk taat dan setia menjalankan apa yang telah imani dan ketahui tersebut. Namun sayangnya, hal ini TIDAK bisa kita jumpai lagi pada mayoritas generasi muda zaman sekarang. Seorang teman gereja saya yang cukup saya hormati dan darinya saya belajar banyak hal, yaitu Sdr. Jimmy Sumendap, M.T. pernah berkata kepada saya bahwa banyak generasi muda zaman sekarang adalah generasi yang anti-komitmen. Mereka tidak mau berkomitmen dengan serius, karena komitmen menuntut sebuah ikatan. Banyak generasi muda zaman sekarang tidak menyukai ikatan, karena mereka mau BEBAS. Tidak heran, istilah-istilah yang lagi nge­tren di kalangan kawula muda zaman sekarang di dalam menjalin hubungan lawan jenis adalah HTS (hubungan tanpa status) atau TTM (teman tapi mesra) atau gebetan atau teman dekat. Saya tidak mempermasalahkan istilah ini, karena jika istilah ini dipahami secara bertanggung jawab, maka istilah ini sah-sah saja. Rev. Joshua Eugene Harris (pendeta senior di Covenant Life Church, U.S.A.) yang menulis buku Boy Meets Girl (Saat Cowok Ketemu Cewek) juga mengungkapkan istilah yang sama (lebih dari teman biasa, namun belum pacaran/jadian), namun istilah ini tentu berarti sebuah proses hubungan yang menuju ke arah yang lebih serius (ada komitmen). Namun istilah yang sama dipakai oleh banyak generasi muda zaman sekarang bukan dengan maksud/tujuan yang sama agungnya, namun lebih tidak beres. Seorang anak muda bisa dengan mudahnya menganggap lawan jenisnya itu TTM atau gebetan tanpa serius memikirkan hubungan mereka di masa depan. Mayoritas mereka mengidentikkan hubungan lawan jenis itu fun, yaitu: bisa jalan berdua, nonton berdua, dll. Mereka hampir tidak pernah memikirkan bagaimana bisa saling share prinsip hidup, share konsep iman, share segala sesuatu, apalagi hubungan saling (saling belajar dan berbagi). Tidak usah heran, karena kaburnya makna hubungan lawan jenis yang seharusnya dilandasi komitmen yang jelas, maka kita melihat banyak generasi muda yang baru saja jadian, lalu beberapa bulan lagi putus, bahkan putus dengan alasan yang konyol. Teman saya dari GKKA Tenggilis menceritakan bahwa teman sekolahnya bisa jadian dengan saudara sepupunya di mana sepupunya ini juga sudah punya pacar. Lucu bukan? Bahkan yang lebih parah lagi, ada anak muda cewek yang sudah pernah pacaran sampai 4-6x, padahal usianya dua tahun di bawah saya (25 tahun), bahkan ada yang sudah 4x putus nyambung dengan cowoknya (gara-gara mengikuti lagu Putus Nyambung sich, jadi ya begini ini jadinya, hahahaha). Luar biasa aneh. Inilah citra generasi muda yang anti-komitmen. Anak muda yang makin melarikan diri dari iman yang beres, mereka makin hidup tanpa tujuan dan seenaknya sendiri, dan sebenarnya hidup mereka makin hampa.


4. Pemberontakan
Seorang yang sudah anti-komitmen mengakibatkan pelan namun pasti orang itu pasti akan memberontak terhadap tatanan yang ada. Hal ini sudah terlihat jelas pada diri banyak generasi muda zaman sekarang. Anak muda yang sudah anti-komitmen mengakibatkan mereka bertindak semaunya sendiri. Mereka ingin memberontak terhadap tatanan yang ada. Di dalam gereja, mereka ingin gereja tidak ada liturgi, mereka ingin memuji Tuhan tanpa aturan. Tidak heran, di dunia Kekristenan, muncul sebuah aliran musik: “Christian” Housemusic, ada grup band rock “Kristen”, dll. Mereka membuang semua lagu-lagu klasik dan himne yang agung dan menggantinya dengan lagu dan musik yang menyenangkan telinga mereka. Hal ini tidak berarti lagu-lagu klasik dan himne benar semua dan lagu-lagu rohani kontemporer salah semua. Yang sedang saya soroti adalah semangat pemberontakannya. Semakin mereka memberontak, mereka bukan makin tambah beres, justru mereka semakin menemukan kehampaan di dalam hidup. Perhatikanlah gaya hidup para artis. Semakin mereka hidup glamour dan memberontak terhadap iman yang beres, mereka semakin hidup tidak karuan dan di akhir hidupnya, tidak sedikit mereka yang bunuh diri.

Mengapa mereka suka memberontak? Faktor utamanya adalah karena orangtua tidak mendidik mereka sejak kecil untuk takut akan Tuhan. Anak yang tidak dididik takut akan Tuhan dan mencintai-Nya, maka anak itu tumbuh menjadi anak yang terus dikuasai oleh iblis yang gemar memberontak. Kedua, karena faktor salah didik dari orangtua. Orangtua yang terlalu ekstrem memproteksi anaknya juga mengakibatkan anaknya memberontak. Saya telah mengemukakan hal ini di atas dengan mengutip perkataan seorang pastor Katolik yang mengajar bahwa anak muda tidak boleh diproteksi berlebihan dan tidak boleh dilepas begitu saja. Anak muda yang semakin diproteksi bukan semakin baik, justru semakin memberontak. Hal senada juga diungkapkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam ilustrasi yang sudah saya kemukakan di atas. Belajarlah seimbang di dalam menerapkan pendidikan Kristen: mendisiplin tetapi tidak ekstrem/kaku. Ketiga, karena faktor lingkungan. Banyak anak muda yang imannya tidak kuat biasanya mudah terpengaruh dengan teman-temannya yang gemar memberontak baik kepada iman/Tuhan maupun kepada siapa pun.

Biarlah generasi muda Kristen benar-benar menyerahkan hidupnya HANYA untuk Tuhan. Biarlah firman Tuhan mengontrol gaya hidup kita sebagai anak muda Kristen (Mzm. 119:9), sehingga kita tidak lagi tertipu oleh bujuk rayu iblis di dunia ini.






V. PEMBENTUKAN KOMUNIKASI ANTARA GENERASI TUA DAN MUDA: SEBUAH PERSPEKTIF ALKITABIAH
A. Gap Antara Generasi Tua dan Muda
Jika kita membandingkan poin III dan IV, kita akan menemukan bahwa generasi tua dan muda memiliki perbedaan ciri khas. Jika boleh disimpulkan, perbedaannya adalah: banyak generasi tua lebih setia pada tradisi dan berpikir panjang, sedangkan banyak generasi muda lebih menginginkan perubahan dan berpikir pendek. Karena adanya perbedaan ini, maka timbullah suatu gap antara kedua generasi ini yang mungkin mengakibatkan perselisihan paham. Generasi tua dengan keras kepala enggan memahami dan mengerti generasi muda, sebaliknya generasi muda juga dengan keras kepala enggan memahami dan mengerti generasi tua. Gap apa yang sebenarnya terjadi pada kedua generasi ini?
1. Gap Iman
Gap inti yang terjadi adalah masalah iman. Meskipun gap ini hampir jarang ditemukan, namun gap ini sebenarnya tetap merupakan inti permasalahannya. Jika orangtua beriman beres, sedangkan anaknya beriman ngaco, maka sudah pasti terjadi gap yang besar. Si anak akan merasa orangtuanya kuno karena masih percaya Tuhan. Di sini, peran orangtua harus mendisiplin anaknya (sambil mendoakan anaknya), namun tidak boleh terlalu memaksa, karena pemaksaan dalam hal pendidikan dan pengajaran iman mengakibatkan kebencian bukan pertobatan. Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Monika, ibunda Bapa Gereja Augustinus ketika Monika mengetahui bahwa Augustinus muda hidupnya tidak karuan? Apakah Monika memarahi dan memaki anaknya? TIDAK. Monika mendoakan anaknya sampai meneteskan air mata. Itulah tanda kasih orangtua yang hatinya benar-benar untuk Tuhan yang ingin melihat anaknya kembali kepada Tuhan. Tetapi herannya, hari-hari ini, ada juga orangtua yang “meneladani” Monika, yaitu ikut-ikut meneteskan air mata tetapi bukan mendoakan anaknya untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan, tetapi sedih dan kecewa karena anaknya tidak menaati apa yang diinginkan orangtuanya (bukan apa yang Tuhan kehendaki). Kembali, begitu juga sebaliknya, jika orangtua imannya masih self-centered (apalagi dari latar belakang agama/tradisi Tionghoa yang sangat kental, meskipun katanya sudah “Kristen”, bahkan “Reformed”), sedangkan anaknya beriman beres, maka si anak pasti menderita lahir dan batin, karena si anak tidak memiliki hak untuk berbicara apa pun bahkan untuk memberitakan Injil dan mendiskusikan tentang prinsip-prinsip iman Kristen (karena si orangtua yang dipengaruhi oleh banyak ajaran dari agama/tradisi Tionghoa menganggap bahwa mereka adalah “Tuhan” yang harus dipatuhi mutlak tanpa argumentasi).


2. Gap Tingkat Pendidikan dan Cara Berpikir
Gap kedua adalah gap tingkat pendidikan dan cara berpikir. Kebanyakan generasi tua adalah mereka yang kurang mendapat pendidikan tinggi. Biasanya pendidikan mereka maksimal SMA. Nah, jika hal ini dibandingkan dengan anaknya yang berpendidikan S-1 atau lebih tinggi, maka tentu terjadi gap tingkat pendidikan dan tentunya mengakibatkan munculnya gap cara berpikir. Jika kebanyakan generasi tua lebih menggunakan cara berpikir yang bersifat satu arah (one-sided) dikarenakan tingkat pendidikannya yang kurang tinggi, maka biasanya banyak generasia muda yang cerdas lebih menggunakan cara berpikir yang bersifat dua arah di dalam menyoroti suatu hal. Jika kedua generasi ini bertemu dan saling berdiskusi, maka biasanya terjadi perselisihan, karena biasanya banyak generasi tua yang keras kepala yang enggan berpikir dua arah, karena jika berpikir dari sisi lain (di luar apa yang dipikirkan generasi tua) itu mungkin tidak COCOK dengan tujuannya yang ingin mengindoktrinasi anaknya atau hal lain.


3. Gap Lingkungan (Pergaulan)
Terakhir, gap lingkungan adalah gap yang sering terjadi antara generasi tua dan muda. Generasi tua lebih senang bergaul dengan para sesepuh yang menjadi teman mereka, saling curhat tentang suami/istri, anak, karier, dll, sedangkan generasi muda lebih senang bergaul dengan kawula muda. Hal-hal yang dibicarakan di dalam lingkungan tersebut pun berbeda. Jika para sesepuh membicarakan hal-hal yang jadul (kisah-kisah di zaman dahulu atau semasa sekolah dahulu), maka para kawula muda membicarakan hal-hal yang up-to-dated, misalnya Facebook (FB), chatting, Hand Phone, Black Berry, teknologi, dll. Dengan kata lain, ada “dunia”nya sendiri yang dibangun antara dua generasi ini.




B. Mengatasi Gap: Membangun Komunikasi Antara Generasi Tua dan Muda Dengan Prinsip-prinsip yang Alkitabiah
Jika kita telah melihat tiga permasalahan gap antara generasi tua dan muda, maka apa yang harus kita lakukan? Sebelum kita masuk ke dalam aplikasinya, maka kita harus mengerti dasar presuposisinya.
1. Dasar Presuposisi
Orang Kristen yang beres adalah orang Kristen yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang bagi dunia di mana mereka harus menyadari status mereka sebagai anak-anak Allah dan panggilan mereka adalah memberitakan Kebenaran di tengah dunia yang mereka diami. Berarti, di sini, kita belajar tiga prinsip:
a) Status Kita: Anak-anak Allah
Prinsip pertama yang perlu kita pahami adalah bahwa status kita adalah anak-anak Allah. Kita yang adalah umat pilihan-Nya adalah anak-anak adopsi Allah yang telah Allah tebus dari dunia kegelapan menuju kepada terang-Nya yang ajaib (1Ptr. 2:9). Berarti kita yang dahulu manusia terkutuk karena dosa, tetapi karena anugerah-Nya yang ajaib telah memilih dan menentukan kita dari semula, kemudian memanggil, membenarkan, dan memuliakan kita (Rm. 8:29-30). Dari sini kita belajar bahwa karena status kita adalah anak-anak Allah yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju kepada terang, maka sudah seharusnya, hidup kita diliputi oleh terang Ilahi dan berfokus pada terang Ilahi tersebut. Hidup yang diliputi oleh dan berfokus pada terang Ilahi ditandai dengan buah Roh yang keluar dari hidup Kristiani tersebut seperti yang Paulus ungkapkan di dalam Galatia 5:22-23. Selain buah Roh, hidup Kristen adalah hidup yang mengaplikasikan kekudusan, kebenaran (righteousness), dan keadilan (justice) Allah. Dengan kata lain, hidup yang diliputi oleh dan berfokus pada terang Ilahi adalah hidup yang berpusat hanya kepada Allah dan bagi kemuliaan-Nya. Karena hidupnya berpusat pada Allah dan memuliakan Allah, maka tentu orang Kristen yang beres hidupnya selalu berpusat pada apa yang Allah firmankan, yaitu di dalam Alkitab. Bagaimana dengan kita? Apakah hidup kita mirip Tuhan yang kita sembah atau mirip setan yang selalu menipu dengan tampilan luar yang menarik? Biarlah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

b) Panggilan Kita: Memberitakan Kebenaran
Karena status kita adalah anak-anak Allah yang hidupnya diliputi oleh dan berfokus kepada terang Ilahi, maka kita memiliki panggilan yaitu memberitakan Kebenaran Allah itu. Berarti, iman dan pengertian kebenaran yang telah kita pelajari dan miliki TIDAK untuk kita konsumsi sendiri, tetapi untuk kita bagikan kepada orang lain yang belum mendengar Injil. Tuhan Yesus menyebut panggilan ini sebagai garam dan terang dunia (Mat. 5:13-16). Ketika kita menjadi garam dan terang bagi dunia, tujuannya bukan untuk memuliakan diri, namun untuk memuliakan Allah. Menjadi garam dan terang dunia memang bukanlah panggilan yang mudah, karena panggilan tersebut membutuhkan kerendahan hati, kerelaan, pengorbanan, kesetiaan, dan ketaatan. Mengapa? Karena panggilan kita bukanlah panggilan yang sesuai dengan ajaran dan keinginan duniawi, namun justru bertolak belakang dan bahkan menentang. Justru itulah, di dalam menunaikan panggilan kita, di dalamnya juga ada salib yang harus kita tanggung. Salib berbicara mengenai pengorbanan dan penderitaan yang harus kita tanggung tatkala kita menunaikan panggilan kita. Sepanjang Alkitab dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, kita melihat para nabi dan rasul harus menanggung aniaya tatkala mereka berkomitmen menunaikan panggilan yang mereka terima dari Allah. Di dalam sejarah gereja, para bapa gereja dan para reformator yang beres juga mengalami penganiayaan hebat tatkala mereka memberitakan Kebenaran.

Penderitaan selalu diresponi dengan ketaatan oleh umat pilihan-Nya, sedangkan bagi mereka yang bukan termasuk umat pilihan-Nya (meskipun mengaku diri “Kristen”), mereka akan dengan mudahnya mengkompromikan bahkan menyangkal imannya. Hal ini bisa dilihat dari kasus beberapa orang Kristen yang rela menyangkal imannya tatkala mereka diperhadapkan dengan penganiayaan pada zaman pemerintahan Kaisar Nero. Di zaman sekarang pun, beberapa orang Kristen bahkan tidak sedikit pemimpin gereja yang bersiap-siap mengkompromikan imannya agar Kekristenan bisa diterima di dalam masyarakat yang pluralis. Dengan ide konyol “kontekstualisasi” yang lebay, salah satu dari mereka menyetujui bahwa keselamatan hanya di dalam Yesus, namun “Yesus” itu menyatakan diri-“Nya” dalam berbagai bentuk di dalam masing-masing agama, misalnya “Yesus” menyatakan diri sebagai Sidharta Gautama di dalam agama Buddha, “Yesus” menyatakan diri sebagai Mohammad di dalam agama Islam, dll. Intinya, orang ini tetap berpendapat bahwa semua orang tanpa memandang iman apa pun pasti masuk “sorga.” Yang anehnya, orang yang mengajar seperti ini bukan orang “Kristen” awam, namun seorang theolog. Kalau theolog saja sudah ngawur begini, bagaimana jadinya orang Kristen? Bukankah orang “Kristen” bisa lebih tidak karuan karena terlalu “memberhalakan” perkataan sang “theolog” ini?

Jika ada orang “Kristen” ngaco seperti di atas, maka sebagai orang Kristen yang beres (waras), maka kita harus mengerti panggilan kita dan salib yang harus kita tanggung tatkala kita menunaikan panggilan kita. Lalu, bagaimana supaya kita bisa taat dan setia tatkala mengalami penderitaan tersebut? Ingatlah satu hal yaitu janji penyertaan-Nya. Ketika Allah mengutus kita menjalankan panggilan-Nya, Ia tidak meninggalkan kita, namun Ia terus-menerus menyertai kita dan memberi kekuatan tatkala kita mengalami penderitaan. Inilah yang Tuhan Yesus peringatkan dan janjikan kepada Petrus, Yakobus, Yohanes, dan Andreas (dan tentunya juga bagi kita sebagai umat-Nya) di dalam Markus 13:9-11, “Tetapi kamu ini, hati-hatilah! Kamu akan diserahkan kepada majelis agama dan kamu akan dipukul di rumah ibadat dan kamu akan dihadapkan ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja karena Aku, sebagai kesaksian bagi mereka. Tetapi Injil harus diberitakan dahulu kepada semua bangsa. Dan jika kamu digiring dan diserahkan, janganlah kamu kuatir akan apa yang harus kamu katakan, tetapi katakanlah apa yang dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga, sebab bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Kudus.” Untuk lebih jelasnya, di Lukas 21:10-19, Tuhan Yesus berfirman, “Bangsa akan bangkit melawan bangsa dan kerajaan melawan kerajaan, dan akan terjadi gempa bumi yang dahsyat dan di berbagai tempat akan ada penyakit sampar dan kelaparan, dan akan terjadi juga hal-hal yang mengejutkan dan tanda-tanda yang dahsyat dari langit. Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku. Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi. Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu. Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku. Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” Perhatikanlah apa yang Kristus katakan ini. Ia TIDAK mengajar para murid-Nya bahwa mengikut Kristus tidak perlu menderita. Justru, Ia mengajar dengan jelas bahwa mengikut Kristus pasti menderita, karena kita akan diperhadapkan pada para penguasa baik agama maupun pemerintah, namun Ia tidak akan sekali-kali membiarkan kita sendiri. Perhatikan ayat 14-15 dan 18, “Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu. … Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang.” Bukankah ini merupakan janji penyertaan-Nya yang luar biasa dahsyat bagi kita yang menderita demi panggilan-Nya yang kita jalankan? Bagaimana dengan kita? Masihkah kita takut dan kecewa dalam menunaikan panggilan-Nya yaitu memberitakan Kebenaran? Berfokuslah pada perintah dan janji penyertaan-Nya, maka kita akan berani menghadapi penderitaan dengan kekuatan iman yang Allah anugerahkan. Biarlah Roh Kudus memimpin dan menguatkan hati kita di dalam menunaikan panggilan-Nya.

c) Objek Panggilan Kita: Dunia Ini
Setelah menyadari status dan panggilan kita, maka hal terakhir yang harus kita mengerti adalah objek panggilan kita. Kita dipanggil untuk memberitakan Kebenaran ke dalam dunia. Artinya, dunia itu objek/sasaran dari panggilan kita. Di sini, kita mulai menghadapi “dilema” yaitu bagaimana memberitakan Kebenaran Allah yang Mahakudus, tidak terbatas, dan agung itu kepada dunia yang berdosa dan terbatas? Banyak orang Kristen yang tidak menyadari “dilema” dahsyat ini, lalu mengambil solusi yang ekstrem. Di satu sisi, ada yang terlalu kaku dan kolot memberitakan Kebenaran, sehingga tidak mau bersentuhan dengan dunia sama sekali. Jangan tanya Facebook kepada orang antik ini, karena ia tidak bakal mengetahuinya, yang dia ketahui hanya book (buku), hehehe. Di sisi lain, ada yang terlalu mengkompromikan iman supaya COCOK dengan kondisi zaman. Hal ini ditandai dengan dua gejala, yaitu: Pertama, “theologi” kemakmuran. Para penggagas “theologi” kemakmuran sebenarnya berpikir bagaimana supaya orang dunia bisa menjadi Kristen dengan cara lebih cepat? Mereka berpikir jika Kekristenan mengajarkan jalan salib, maka itu tidak akan “laku dijual”, karena berita itu tidak enak, apalagi berita itu disampaikan di tengah dunia yang lagi kacau. Jadi, solusinya adalah menghadirkan “Injil” yang tidak lagi berfokus pada salib, tetapi pada kemakmuran duniawi, oleh karena itu muncullah prosperity “gospel” (“injil” kemakmuran) yang memberitakan bahwa mengikut Yesus pasti kaya, sukses, sehat, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Para pencetusnya ramai-ramai membangun gedung gereja yang mewah (mega-church) dan mendirikan sekolah tinggi theologi di mana banyak pengajarnya tidak pernah mengenyam pendidikan theologi yang beres atau memakai trik yaitu mengundang hamba Tuhan yang pernah kuliah theologi (entah itu di seminari theologi yang beres atau tidak) untuk menjadi dosen di seminari mereka dengan iming-iming gaji yang besar. Tidak cukup dengan gereja dan seminari theologi, salah satu penggagas ajaran ini bahkan mendirikan hotel dan pusat pelayanan kesehatan berdekatan dengan gereja yang super mewah di Surabaya. Kedua, “theologi kontekstualisasi”. Istilah yang kerap kali dipakai namun telah diselewengkan adalah kontekstualisasi. Kontekstualisasi sebenarnya merupakan istilah di dalam penginjilan, di mana Injil Kristus masuk ke dalam konteks budaya setempat. Namun, hari-hari ini, kontekstualisasi diselewengkan artinya menjadi: mencocokkan berita Injil dengan konteks zaman. Tidak heran, atas nama “kontekstualisasi”, para penggagas “theologi kontekstualisasi” mengorbankan teks Alkitab agar cocok dengan konteks zaman. “Kontekstualisasi” lebay ini akhirnya melahirkan “theologi” Asia, “theologi” Afrika, dll yang seolah-olah kontekstual, namun sayangnya tidak lagi kembali kepada teks Alkitab yang akurat.

Di tengah keekstreman yang terjadi di dalam Kekristenan dewasa ini, apa yang harus orang Kristen lakukan sesuai dengan Alkitab? Kembali, kaitkan poin a) dan b) dengan poin c). Ingatlah bahwa status kita adalah anak-anak Allah yang hidupnya Theosentris (berpusat kepada Allah) dan hal ini tentu berlainan dengan orang-orang dunia yang hidupnya antroposentris (berpusat kepada manusia). Karena hidup kita Theosentris, oleh karena itu, kita juga memiliki panggilan yang Theosentris yaitu membawa berita Injil dan Kebenaran Allah kepada dunia. Dengan kata lain, status dan panggilan kita ini adalah prinsip mutlak dan dasar di dalam kita beriman dan bersaksi. Nah, prinsip ini nantinya kita aplikasikan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalam kita mengaplikasikan prinsip ini, kita perlu memperhatikan objek panggilan kita yaitu dunia. Jadi, tatkala kita mau memberitakan Kebenaran Allah kepada dunia, kita harus mengerti dunia di mana kita tinggal dan kita harus menebus budaya dunia ini dan meletakkannya di bawah kaki Kristus. Bagaimana kita bisa mengerti dunia kita? Ya, dengan membaca sebanyak mungkin informasi baik dari media massa maupun media elektronik. Bisa juga dengan cara berinteraksi dan bergaul dengan sebanyak mungkin orang secara langsung. Setelah mengerti dunia, kita jangan lupa akan panggilan kita, yaitu memberitakan Kebenaran dan menebus budaya dunia dan meletakkannya di bawah kaki Kristus. Berarti, sambil mengerti dunia, kita sambil menjalankan mandat budaya yang Tuhan perintahkan. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan. Bagaimana dengan kita? Apakah kita terpanggil untuk memberitakan Kebenaran kepada dunia dengan prinsip yang tegas dan mutlak namun dengan aplikasi yang tidak kaku? Biarlah Roh Kudus mencerahkan hati dan pikiran kita di dalam menggarap panggilan Allah di dunia ini.


2. Aplikasi: Berprinsip Namun Tidak Kaku/Kolot dan Pentingnya Komunikasi yang Sehat
Setelah mengerti tiga poin dasar di atas, maka sebagai aplikasi yaitu solusi terhadap gap antara generasi tua dan muda yaitu mengembangkan suatu sikap seimbang dan paradoks, yaitu: berprinsip namun tidak kaku/kolot. Artinya, baik generasi tua dan generasi muda Kristen harus sama-sama mengakui prinsip yang sama sesuai dengan Alkitab (Sola Scriptura), namun di sisi lain, mereka juga tidak boleh kaku/kolot untuk hal-hal sekunder. Jangan membawa keinginan masing-masing generasi, robohkanlah keinginan itu dan bangunlah keinginan yang beres dan memuliakan Allah di atas dasar firman Tuhan. Lalu, bagaimana kita bisa benar-benar mengaplikasikan konsep ini? Konsep ini diaplikasikan sebenarnya di dalam komunikasi. Agar generasi tua dan muda sama-sama berprinsip sesuai dengan Alkitab untuk hal-hal primer dan tidak terlalu kaku/kolot untuk hal-hal sekunder, maka bangunlah komunikasi yang sehat antar dua generasi ini. Di dalam komunikasi yang sehat pasti terkandung diskusi yang sehat dan objektif di dalam menyoroti segala hal. Nah, apa yang perlu diperhatikan di dalam membangun komunikasi yang sehat ini?
a) Imannya Beres
Prinsip dasar pertama di dalam membangun komunikasi yang sehat antar dua generasi ini yaitu iman yang beres. Jika salah satu generasi, imannya tidak beres, jangan berusaha membangun komunikasi, karena komunikasi yang sehat tidak mungkin akan terjadi. Misalnya, generasi tua beriman beres, sedangkan generasi muda imannya tidak beres (bahkan atheis), maka jangan harap generasi tua bisa berkomunikasi secara sehat kepada generasi muda. Begitu juga sebaliknya, jika generasi muda iman dan hidupnya Theosentris, sedangkan generasi tua iman dan hidupnya antroposentris, maka tentu tidak akan bisa dibangun komunikasi yang sehat. Mengapa? Karena dasar, motivasi, sumber, arah, dan tujuan yang dicapai berbeda bahkan bertolak belakang. Kalau sekadar berbeda bisa didiskusikan, namun kalau sudah bertolak belakang, itu lebih sulit. Oleh karena itu, jika mau terciptalah sebuah komunikasi yang sehat antar dua generasi ini, milikilah kesamaan iman dan pola pikir yang beres.

b) Rendah Hati dan Terbuka
Nah, iman dan pola pikir yang sama yang beres antar dua generasi ini mengakibatkan masing-masing generasi tentu memiliki kerendahan hati dan keterbukaan untuk saling belajar dan berbagi. Dua generasi ini akan saling belajar kelemahan masing-masing dan kekuatan pada generasi lainnya. Di samping itu, mereka juga bisa saling berbagi pengalaman dan pengertian ketika menyoroti sesuatu hal, sehingga satu masalah bisa disoroti dari dua segi (tidak one-sided).


Jika dua hal ini sudah kita miliki di dalam membangun komunikasi, lalu pertanyaan selanjutnya, komunikasi dalam hal apa yang bisa kita bangun?
a) Komunikasi tentang Panggilan Hidup
Theologi Reformed yang berdasarkan Alkitab percaya bahwa setiap anak Tuhan memiliki panggilan hidup yang Tuhan percayakan secara berbeda-beda (Ef. 2:10). Panggilan hidup ini tentu bukan saja berarti panggilan untuk menjadi hamba Tuhan full-time (pengerja gereja: penginjil atau pendeta, dll) atau menjadi orang yang berprofesi “sekuler”, namun panggilan hidup ini mencakup segala hal. Misalnya, anak dari kecil sudah memiliki talenta menggambar, maka orangtua yang imannya beres pasti akan mengarahkan anaknya untuk menekuni pendidikan desain dan mendukung pekerjaan anaknya untuk menjadi desainer atau sejenisnya. Adalah suatu kegilaan jika anaknya bertalenta menggambar, kemudian orangtuanya menyuruh anaknya untuk berdagang atau menjadi penyanyi. Itu namanya tidak sesuai dengan panggilan hidup. Orangtua (apalagi “Kristen” bahkan “Reformed”) yang tidak mengarahkan anaknya untuk memenuhi panggilan hidup dari Tuhan sebenarnya tidak layak disebut orangtua “Kristen” (apalagi mengaku diri “Reformed” lagi) dan bahkan orangtua ini sebenarnya sudah berdosa di hadapan Tuhan, karena mematikan panggilan hidup dari Tuhan bagi anak dan menggantikannya dengan ambisi orangtua (ingat kembali definisi dosa menurut Dr. Cornelius Van Til adalah mengganti standar Allah dengan standar manusia berdosa). Nah, dua generasi ini sebenarnya bisa sama-sama berkomunikasi untuk menentukan panggilan hidup dari Allah. Orangtua bisa mengamati anaknya dari kecil, apa talenta yang Tuhan berikan kepada anaknya? Dari situ, orangtua bisa mengarahkan anaknya untuk memenuhi apa yang Tuhan berikan kepada anaknya itu.

b) Komunikasi tentang Menyoroti Satu Hal
Kedua, komunikasi tentang menyoroti satu hal. Di dalam menyoroti satu hal, saya sudah mengatakan, kita tidak boleh menggunakan paradigma one-sided (satu arah) yang berarti kita hanya memakai satu pendekatan untuk menafsir satu peristiwa/hal. One-sidedness menunjukkan kepicikan seseorang. Oleh karena itu, diperlukan suatu komunikasi dua arah di dalam menafsir sesuatu. Saya akan memberikan contoh. Baru-baru ini, beberapa remaja putri menghilang dari rumah karena bertemu dengan cowok yang dikenalnya dari Facebook (FB). Apa yang harus kita lakukan? Saya membaca surat kabar dan solusinya adalah orangtua harus memantau anak yang menggunakan FB, kalau perlu orangtua ikut menjadi anggota FB. Sudah bisa ditebak bahwa solusi itu bukan datang dari generasi muda, tetapi dari generasi tua. Di satu sisi, solusi ini sedikit ada benarnya, karena anak remaja perlu dipantau oleh orangtuanya, supaya mereka tidak terjerumus ke dalam dunia yang kacau ini. Namun, di sisi lain, bagi saya (generasi muda), solusi ini masih kekanak-kanakan dan paranoid! Mengapa demikian? Coba berpikir logis. Jikalau orangtua memantau anaknya yang menggunakan FB, bagaimana jika anak itu menggunakan FB pada saat jam istirahat di sekolah? Apakah orangtua bertindak seperti satpam di sekolah yang menunggui anaknya yang sedang bermain FB? Apakah ini satu-satunya solusi? Atau adakah solusi lain? Sebenarnya ada. Bagi saya, solusi yang jitu bukan solusi yang fenomenal, tetapi esensial. Mengapa remaja putri bisa kecantol dengan cowok yang baru dikenalnya di FB? Lebih tajam lagi, mengapa anak muda zaman sekarang kecanduan FB tanpa mau bersaksi di FB? Sebenarnya itu karena pendidikan orangtua dari kecil. Jikalau anak dari kecil sudah dididik dengan iman Kristen yang beres, maka anak itu akan tumbuh menjadi anak yang takut akan Tuhan. Anak itu nantinya akan dengan sendirinya memilih dan memilah mana yang benar dan salah sesuai dengan firman Tuhan. Dengan kata lain, firman Tuhan dan kuasa Roh Kudus lah yang menjadi “satpam” pribadi bagi si anak, sehingga ia tidak akan terjerumus ke dalam jurang dosa. Namun, solusi ini hanya bisa dilakukan ketika orangtua dan anak sama-sama seorang yang percaya kepada Kristus. Di luar Kristus, solusi esensial ini mustahil bisa dilakukan.

c) Komunikasi tentang (Hubungan) Lawan Jenis
Terakhir, komunikasi yang harus dibangun adalah komunikasi tentang (hubungan) lawan jenis. Biasanya banyak generasi tua lebih mementingkan tradisi dan budaya dunia ketika berbicara mengenai (hubungan) lawan jenis. Banyak aturan yang mereka terapkan pada generasi muda, bahkan ada yang sampai menerapkan aturan-aturan ekstrem. Namun, di sisi lain, banyak generasi muda lebih mementingkan kebebasan dan semau gue di dalam menjalin hubungan lawan jenis. Bagi mereka, asal dapat gebetan, masalah beres. Lalu, bagaimana solusinya? Orang Kristen jangan menjadi orang Kristen yang ekstrem! Bagi saya pribadi, kedua pendekatan itu salah. Pendekatan yang bagi saya bijaksana adalah mempertahankan prinsip-prinsip Alkitab yang ketat, menghargai budaya dunia sebagai respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah, dan memikirkan dampak/akibat dari konsep yang kita ambil. Pertama, mempertahankan prinsip-prinsip Alkitab yang ketat. Di titik pertama, kita harus meletakkan Alkitab sebagai dasar dan sumber kebenaran. Alkitab dengan jelas mengajar kita bahwa di dalam mencari lawan jenis, kita harus mencari yang: seiman (berpusat kepada Allah), lawan jenis, dan sepadan. Namun, herannya ada orangtua “Kristen” hari-hari ini yang memilihkan pasangan bagi anaknya di luar syarat tersebut, misalnya mencari pasangan yang pintar bekerja (hal ini tentu ada benarnya, tetapi bukan syarat mutlak) dan bahkan dicocokkan dengan shio anaknya. Inikah yang namanya “Kristen”? Kedua, menghargai budaya. Tidak ada salahnya jika kita menghargai budaya sebagai respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah. Misalnya, ada pandangan bahwa bibit, bobot, dan bebet perlu diperhatikan sebagai syarat memilih pasangan hidup. Ada dua kecenderungan ekstrem yang dilakukan oleh orang Kristen: menerima mentah-mentah tanpa mengujinya berdasarkan Alkitab dan menolaknya mentah-mentah. Theologi Reformed menghargai respons manusia terhadap wahyu umum Allah, namun meletakkannya di bawah otoritas Alkitab. Dengan kata lain, meskipun bibit, bobot, dan bebet mengandung unsur kebenaran, tetapi itu TIDAK boleh dijadikan standar mutlak yang menggantikan 3 kriteria mutlak dari firman Tuhan. Ketiga, memikirkan dampak/akibat dari konsep yang diterapkan. Tidak ada salahnya jika generasi tua menerapkan prinsip bagi calon pasangan hidup anaknya, namun pikirkan juga dampak/akibat dari terlalu kolotnya penerapan peraturan itu. Misalnya, ada orangtua yang terlalu kolot menerapkan aturan bagi calon pasangan hidup bagi anaknya sampai hal-hal tersier pun disoroti/dikomentari, misalnya: banyak jerawat, shionya babi (penidur), dll. Kalau untuk hal-hal tersier disoroti, mengapa orangtua tidak memikirkan dampak/akibat dari konsep kekolotannya tersebut? Benarkah hal-hal tersebut dilakukannya demi kebaikan si anak? Akibat dari terlalu kolotnya penerapan konsep tersebut adalah si anak lama-kelamaan menjadi frustasi dan tidak menutup kemungkinan menjadi seorang homo/lesbian. Bukankah yang lebih menderita adalah si orangtua yang katanya selalu memikirkan yang terbaik untuk anaknya?

Saya akan memberikan contoh praktis yang saya ambil dari sebuah film anak muda Indonesia (saya lupa judul filmnya) di sebuah stasiun televisi. Meskipun hanya sekadar film, biarlah film ini juga mengoreksi kita. Film ini bercerita tentang dua anak muda (cowok dan cewek, sebut saja misalnya: A dan B) yang saling mencintai, namun ibu mereka tidak merestui. Ketika ditanya alasannya, ibu-ibu mereka hanya berkata “TIDAK BOLEH.” Alhasil, mereka berpisah untuk beberapa lamanya. Namun, karena cinta, mereka akhirnya bersatu kembali dan menemukan apa sebenarnya alasan di balik penolakan ibu mereka. Teman-teman mereka membantu mencari tahu alasan mereka. Namun di sisi lain, si A dan B (dengan sepengetahuan teman-teman mereka) merencanakan untuk kabur dari rumah masing-masing. Salah satu teman A (teman A ini saya ibaratkan: D) berbincang-bincang dengan ibu si A, akhirnya ibu si A menceritakan bahwa pada waktu SMA, ibu si A ini, ibu si B, dan satu cewek lagi berebut mendapatkan seorang cowok tampan di sekolahnya (misal: X). Ibu si A dan ibu si B ini saling sikut-menyikut dalam menarik perhatian si X. Alhasil, mereka gagal mendapatkan si x. Dendam antara ibu A dan ibu B terbawa sampai mereka telah memiliki anak. Lalu, teman-teman si A dan B ini membohongi ibu A dan ibu B bahwa A dan B pergi jauh untuk bunuh diri, karena cinta mereka dihalang-halangi. Padahal sebenarnya mereka kabur untuk pergi ke pantai, tempat mereka biasanya bertemu. Akhirnya ibu A dan ibu B sama-sama menangis dan di akhir cerita, ibu A dan ibu B insyaf bahwa dendam di antara mereka mengakibatkan keburukan pada hubungan cinta anak-anak mereka.

Meskipun ini hanya kisah fiktif di dalam sebuah film, tetapi saya percaya, seorang sutradara film membuat film ini bukan tanpa pesan yang hendak disampaikan. Pesan yang hendak disampaikan di dalam film ini adalah pikirkan akibat dari sebuah konsep yang diterapkan secara kaku dan kolot. Konsep dan prinsip yang tegas perlu ditekankan dan dimiliki, tetapi hendaklah itu tidak diterapkan secara kaku dan kolot (apalagi jika konsep dan prinsip itu tidak sesuai dengan Alkitab) tanpa argumentasi.

Biarlah kita makin lama makin hidup berpusat kepada Kristus dan firman Tuhan, yaitu Alkitab, sehingga hidup kita makin memuliakan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.
Catatan kaki:
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Facebook