31 October 2014

Refleksi Reformasi 2014: "RENDAH HATI DAN TUNDUK PADA OTORITAS ALKITAB" (Denny Teguh Sutandio)

Refleksi Reformasi 2014

“RENDAH HATI DAN TUNDUK PADA OTORITAS ALKITAB”

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.”
(Kis. 17:11)


PENDAHULUAN
Ketika Paulus dan Silas sampai di Berea, mereka mengunjungi rumah ibadat orang Yahudi (Kis. 17:10) dan dr. Lukas mencatat bahwa orang-orang Yahudi lebih baik hatinya daripada orang-orang Yahudi di Tesalonika di mana hal ini ditunjukkan dengan kesediaan mereka menerima firman yang Paulus dan Silas sampaikan dengan kerelaan sambil tetap menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui apakah yang Paulus dan Silas sampaikan itu benar atau tidak (ay. 11). “Kitab Suci” di ayat 11 memang mengacu kepada kitab-kitab Perjanjian Lama, karena pada waktu dr. Lukas mencatat peristiwa ini, kitab-kitab Perjanjian Baru belum dikanonisasikan. Sikap ini mengakibatkan banyak orang Yahudi menjadi percaya kepada Kristus (ay. 12).


SEMANGAT ORANG YAHUDI DI BEREA DAN SEMANGAT REFORMASI
Menerima pengajaran firman dengan rela dan mengujinya berdasarkan Kitab Suci bukan hanya semangat banyak orang Yahudi di Berea, namun seharusnya merupakan semangat setiap orang Kristen. Pada hari ini (31 Oktober 2014), kita memperingati hari Reformasi Gereja di mana Reformasi ini ditegakkan oleh Dr. Martin Luther pada 31 Oktober 1517. Dengan salah satu semboyan yang terkenal, “Sola Scriptura” (hanya oleh Alkitab), maka Dr. Luther mengkritisi ajaran Katolik yang bertentangan dengan Alkitab. Semangat ini diteruskan oleh para reformator generasi kedua, salah satunya yang menonjol adalah Dr. John Calvin. Melalui Dr. John Calvin, orang Kristen Reformed bukan hanya dididik oleh ajaran firman Tuhan yang bermutu, namun juga diajar untuk mengaplikasikannya. Calvin bukan hanya menjelaskan theologi yang rumit dalam bukunya yang terkenal “Institutes of the Christian Religion”, namun juga mengajar cara mengaplikasikan theologi tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti kita bukan hanya diajar untuk mengkritisi segala sesuatu, tetapi juga harus taat pada otoritas Alkitab, menerima firman itu dengan rela, dan tidak lupa untuk menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.


DUA KETIMPANGAN EKSTREM
Namun sayang semangat Reformasi dan Reformed telah luntur di dalam Kekristenan dewasa ini. Ada dua ketimpangan dalam Kekristenan berhubungan dengan menerima dan menguji, yaitu:
Pertama, menerima pengajaran mimbar tanpa menguji. Banyak orang Kristen dari banyak gereja kontemporer yang populer menerima semua pengajaran yang disampaikan di atas mimbar gereja dengan rela, namun sayangnya mereka tidak meneladani semangat banyak orang Yahudi di Berea yang menguji setiap pengajaran dengan Kitab Suci. Semangat tidak menguji ini disebabkan karena banyak dari mereka buta Alkitab dan lebih menekankan hal-hal supranatural yang tampak “wah.” Jangan heran, ketika ada seorang pendeta yang turun naik “surga” dan “neraka”, mereka tanpa pikir panjang langsung mengamini apa yang si pendeta katakan tanpa mengujinya dengan Alkitab. Secara tidak sadar, mereka sedang menempatkan otoritas pendeta di atas Alkitab. Di sisi lain, di dalam gereja yang berlabel Reformed sekalipun, gejala ini juga dapat dijumpai. Beberapa jemaatnya dengan antusias mendengarkan khotbah mimbar yang penuh dengan istilah filosofis-theologis biar tampak “pandai”, namun mereka tidak pernah menguji khotbah yang rumit tersebut dengan Alkitab. Jangan heran, ketika si pendeta mengajarkan bahwa orang Kristen yang disunat itu berdosa, maka beberapa jemaatnya mengamininya tanpa pernah mengujinya dengan Alkitab. Ironisnya adalah jika si pendeta ini ditegur kesalahannya karena bertentangan dengan Alkitab, maka ada salah satu jemaatnya (yang setia) malah terus-menerus membela si pendeta yang jelas salah. Jadi, lagi-lagi: pendeta di atas Alkitab, tetapi berani menyandang nama “Reformed.” Ironis.
Kedua, menguji tanpa mau menerima firman dengan rela. Di sisi lain, ada tipe orang Kristen yang sudah dididik dengan pengertian firman yang bertanggung jawab menjadi orang-orang Kristen yang mudah mengkritik semua khotbah dari pendeta. Jika ada pendeta dari gereja lain yang berkhotbah entah di gerejanya maupun di radio, maka orang ini biasanya langsung memasang filter di pikirannya untuk menyaring ajaran benar dan salah, namun mereka hampir tidak pernah menerima khotbah yang benar itu dengan rela. Orang ini ke mana-mana “pekerjaan” dan “misi” utamanya adalah mengkritik orang yang berbeda theologi dengannya, seolah-olah jika ia tidak mengkritik satu orang, ia kurang memberitakan “kebenaran.” Namun ironisnya adalah orang ini sendiri tidak mau ditegur jika ia salah. Dengan kata lain, ia hanya mau menguji tanpa mau menerima firman dengan rela apalagi menjalankannya. Ironis.


SOLUSI: MENERIMA KHOTBAH SAMBIL MENGUJINYA DENGAN ALKITAB
Bagaimana sikap orang Kristen yang bijaksana? Mari kita belajar dari nats kita di atas (Kis. 17:11). Nats kita berbicara tentang dua hal, yaitu:
Pertama, menerima firman dengan kesungguhan/semangat. Reaksi pertama banyak orang Yahudi di Berea terhadap firman yang Paulus dan Silas beritakan adalah menerima firman itu dengan kerelaan. “Menerima firman” yang dimaksud adalah menerima isi firman yang berpusat pada Kristus yang tersalib dan bangkit demi menebus dosa umat-Nya. Bukan hanya itu, mereka menerima firman itu dengan kerelaan. Teks Yunani untuk “kerelaan” adalah προθυμας (prothumias) yang berasal dari kata προθυμα (prothumia) yang dalam konteks ini bisa berarti “readiness” (“keadaan siap”). Beberapa Alkitab terjemahan Inggris seperti English Standard Version (ESV) dan Revised Standard Version (RSV) menerjemahkannya, “eagerness” (“hasrat” atau “keinginan”), namun ada juga yang menerjemahkannya “all readiness of mind” (“seluruh kesiapan pikiran”) seperti Young’s Literal Translation of the Holy Bible (YLT), American Standard Version (ASV), dan King James Version (KJV). Karl Heinrich Rengstorf menerjemahkannya, “zeal” (“semangat”).[1]
Hal ini berarti di titik pertama, mereka bukan mengkritik pemberitaan Paulus dan Silas, tetapi justru menerima isi pemberitaan itu dengan semangat. Luar biasa sikap ini. Mengapa? Karena si penerima ini adalah orang Yahudi. Kita mengetahui bahwa orang-orang Yahudi sedang menantikan Mesias dan banyak dari mereka justru menyalibkan Kristus, Sang Mesias Allah karena konsep mereka tentang Mesias bersifat jasmani (pembebasan dari penjajahan Romawi) berbeda dengan Mesias dalam konsep Allah yang bersifat rohani (pembebasan dari dosa). Di antara banyak orang Yahudi di tempat lain selain Berea yang menghina Injil dan para rasul, namun justru di Berea, banyak orang Yahudi lebih terbuka dengan menerima isi pemberitaan yang Paulus dan Silas sampaikan dengan semangat. Jika saya boleh menganalogikan menerima firman dengan semangat ini seperti seorang yang begitu semangat dan gembira menerima hadiah yang diimpikannya. Orang yang menerima hadiah yang sudah lama diimpikannya tentu saja menerimanya dengan sukacita dan bahkan dengan sukacita yang “ekstrem” misalnya menari-nari, melompat, dll. Ketika ia menuju ke tempat pengambilan hadiah inipun, ia sudah bersemangat luar biasa. Jika biasanya setiap hari ia selalu bangun agak siang (sekitar Pkl. 06.30 atau 07.00) dan sering kali telat pergi ke kantor atau tempat kuliah, namun ketika pada hari ia akan menerima hadiah itu, ia akan bangun lebih pagi bahkan ia sudah bangun jam 5 pagi, lalu segera bersiap diri (mandi, sikat gigi, makan, ganti baju, dll).
Sayang, semangat ini sudah jarang muncul di banyak orang Kristen. Mengapa banyak orang Kristen tidak bersemangat mendengarkan pemberitaan firman? Ada dua penyebab, yaitu: Pertama, banyak pengkhotbah tidak menguraikan Alkitab dengan jelas dan aplikatif. Saya turut prihatin dengan banyak gereja khususnya Protestan di mana banyak pengkhotbah hanya mencuplik satu ayat Alkitab, lalu langsung mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mendidik jemaat untuk mengerti kedalaman isi Alkitab, sehingga banyak orang Kristen buta Alkitab dan hanya mengingat beberapa ayat Alkitab favorit yaitu Yohanes 3:16 dan ayat-ayat “berkat jasmani”. Di sisi lain, ada juga pengkhotbah yang bahkan tidak percaya otoritas Alkitab, sehingga yang diberitakannya mirip pelatihan motivasi atau pidato politik, ekonomi, sosial, dll (tentu hal ini tidak salah, namun bukan satu-satunya pekenanan dalam khotbah). Jika kondisinya demikian, maka yang perlu “bertobat” adalah para pengkhotbah. Mari para pengkhotbah, dedikasikan keseluruhan hidup Anda kepada Allah dan ingatlah tugas Anda untuk memberitakan firman Tuhan dengan setia. Ajarkan jemaat Anda untuk mengerti betapa dalam Alkitab itu dan jangan lupa mengaplikasikannya. Kedua, jemaat malas. Meskipun pemberitaan firmannya sudah bagus, namun tetap saja beberapa orang Kristen malas mendengarkan khotbah. Mereka tidak rindu bertumbuh dan diajar oleh firman. Kerohanian mereka stagnan.
Lalu, bagaimana cara kita menerima pemberitaan firman dengan semangat? Caranya adalah tanamkan kepada diri kita bahwa kita terus-menerus lapar dan haus akan firman-Nya. Ingatlah apa yang Kristus katakan, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” (Mat. 5:6) Ketika kita terus-menerus lapar dan haus akan firman, maka kita akan dipuaskan-Nya dengan terus-menerus menikmati berkat kedalaman firman Allah yang melampaui akal budi manusia. Saya sendiri mengalami hal ini. Ketika gembala sidang gereja saya, Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M. menguraikan teks Alkitab secara detail namun sederhana (dan tetap aplikatif), saya makin bersyukur atas kedalaman isi firman-Nya dan itu makin mendorong saya makin rendah hati dan rindu menjalankan firman-Nya meskipun sangat sulit. Setiap hari Minggu adalah momen sukacita bagi saya untuk bersekutu dengan saudara seiman dan mendengarkan uraian firman Tuhan yang makin menumbuhkan dan mengoreksi saya dan iman saya. Adakah gairah ini muncul dalam diri Anda?

Kedua, menguji isi khotbah dengan Kitab Suci. Bukan hanya menerima isi pemberitaan Paulus dan Silas dengan semangat, banyak orang Yahudi di Berea juga menyelidikinya apakah yang Paulus dan Silas sampaikan sesuai dengan Kitab Suci. Kata Yunani untuk “menyelidiki” adalah νακρνοντες (anakrinontes) yang berasal dari kata νακρνω (anakrinō) yang berarti “examine” (“memeriksa” atau “menguji”). Ini berarti banyak orang Yahudi di Berea bukan hanya menerima pemberitaan Paulus dan Injil dengan semangat, tetapi juga mengujinya apakah yang diberitakan itu sesuai dengan Kitab Suci. Memeriksa atau menguji isi firman merupakan suatu sikap di mana seseorang membandingkan apa yang diberitakan dengan Kitab Suci yang tertulis. Hal ini persis seperti seorang hakim di Indonesia yang memeriksa satu kasus kejahatan dan membandingkannya dengan kitab Undang-undang Dasar (UUD) atau kitab hukum lainnya atau seperti seorang guru atau dosen yang memeriksa hasil ujian seorang siswa atau mahasiswa dengan membandingkannya apakah sesuai dengan buku teks yang dipegang oleh si guru/dosen. Untuk dapat memeriksa atau menguji sesuatu, maka seseorang harus terlebih dahulu menguasai sumber yang dipakai sebagai dasar untuk memeriksa atau menguji tersebut. Misalnya, seorang hakim di Indonesia harus menguasai terlebih dahulu semua pasal dalam UUD atau kitab hukum lainnya sebelum ia menjatuhkan hukuman pada terdakwa atau seorang guru/dosen juga harus menguasai buku teks yang ia ajarkan agar nantinya dapat menilai apakah jawaban siswa/mahasiswa itu benar atau salah.
Jika di dalam dunia umum, hal ini lumrah dan hampir tidak ada seorang terdakwa atau siswa/mahasiswa yang dapat menyalahkan si hakim atau guru/dosen atas tindakan penilaian benar atau salah, namun ternyata di dunia rohani, hal ini tabu. Banyak orang Kristen tidak menguji khotbah mimbar dengan Alkitab dengan berbagai alasan, misalnya: Pertama, menguji khotbah dengan Alkitab sama dengan tindakan menghakimi, padahal Tuhan Yesus melarang kita untuk menghakimi orang lain (Mat. 7:1). Pengutipan Matius 7:1 merupakan pengutipan yang tidak memperhatikan konteks dekatnya. Matius 7:1-5 tidak sedang mengajar bahwa kita tidak boleh menghakimi, tetapi melalui kelima ayat ini, Kristus mengajar kita agar kita menghakimi dengan standar yang benar (ay. 2) sambil tetap menghakimi diri sendiri terlebih dahulu (ay. 3-5). Jika Matius 7:1 ditafsirkan sebagai larangan Kristus untuk menghakimi orang lain, maka mengapa pada pasal yang sama namun di ayat 15-23, Kristus sendiri menghakimi para penyesat? Apakah Ia tidak konsisten? Tentu tidak. Yang salah adalah penafsiran banyak orang Kristen terhadap Matius 7:1 yang tidak memperhatikan konteks dekatnya. Kedua, “jangan mengusik orang yang diurapi Tuhan.” Pernyataan yang pernah saya dengar dari seorang Kristen yang enggan menguji isi khotbah dengan Alkitab adalah kita jangan mengusik orang yang diurapi Tuhan. Dengan kata lain, pendeta siapa pun dengan ajaran salah (bahkan sesat) sekalipun adalah orang yang diurapi Tuhan, sehingga jangan sekali-kali mengusik apalagi mengkritiknya. Konsep ini lebih mirip konsep mistik ketimbang konsep Alkitab. Di dalam dunia mistik, para pemimpin agama dianggap titisan Tuhan yang tak bersalah, sehingga ketika umatnya berani mengkritik para pemimpin agama, ia akan menerima hukuman dari Tuhan. Konsep ini bukan hanya salah, namun juga bertentangan dengan Alkitab. Tuhan Yesus sendiri menghakimi para penyesat (Mat. 7:15-23), Paulus pun berani menegur kemunafikan Petrus (Gal. 2:11-14), Paulus juga mengajar agar kita menguji segala sesuatu dan memegang yang baik (1Tes. 5:21), dan Yohanes mengajar kita untuk menguji roh apakah roh itu berasal dari Allah atau bukan (1Yoh. 4:1-4).
Alkitab dengan jelas mengajar kita agar tidak mempercayai segala bentuk pengajaran yang melawan kebenaran Alkitab. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, sebelum kita menguji khotbah mimbar dengan Alkitab, kita harus sudah membaca Alkitab dari Kejadian s/d Wahyu minimal 1x. Dengan membaca Alkitab, kita diperlengkapi untuk menguji segala sesuatu dengan firman-Nya. Saya pun telah mempraktikkan hal ini. Ketika ada pendeta yang berkhotbah bahwa orang Kristen yang disunat itu berdosa, maka saya langsung teringat pada Kisah Para Rasul 16:2-3,
2Timotius ini dikenal baik oleh saudara-saudara di Listra dan di Ikonium,
3dan Paulus mau, supaya dia menyertainya dalam perjalanan. Paulus menyuruh menyunatkan dia karena orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab setiap orang tahu bahwa bapanya adalah orang Yunani.

Jika ada orang Kristen yang disunat itu berdosa, maka Timotius pun juga berdosa. Lebih tajam lagi, Paulus yang menyuruh Timotius disunat pun ikut berdosa. Jika Paulus dan Timotius berdosa, mengapa si pendeta tersebut membaca dan menafsirkan Surat Galatia yang ditulis Paulus? Tidak konsisten bukan?

Ketiga, menerima sambil mengujinya dengan Alkitab. Hal pertama dan kedua bukanlah hal terpisah, namun saling menyatu. Oleh karena itu, di poin ketiga, saya menggabungkan poin pertama dan kedua agar kita dapat mengerti sikap orang Kristen yang bijaksana terhadap khotbah. Pendeta siapa pun dengan ajaran apa pun tetap perlu kita dengarkan isi khotbahnya. Isi khotbah si pendeta yang sesuai dengan Alkitab kita perlu dengarkan, resapi, dan jalankan, sedangkan isi khotbah si pendeta yang jelas tidak sesuai bahkan melawan Alkitab, kita perlu dengarkan juga, tetapi tidak kita amini dan tentu saja tidak kita jalankan. Berhentilah dari sikap paranoid theologi yang langsung mencap pendeta dari kalangan tertentu sebagai salah, lalu kita tidak mau mendengarkannya sama sekali atau mengkarikaturkan pendeta tertentu sebagai pendeta yang mengajar theologi yang salah karena si pendeta melayani di sebuah denominasi gereja yang mengajar theologi yang salah. Pendeta yang melayani di sebuah denominasi gereja yang salah belum tentu menganut theologi yang salah tersebut, maka saya mengingatkan kita untuk TIDAK paranoid dan TIDAK seenaknya sendiri mengkarikaturkan orang lain. Ingatlah: tindakan mengkarikaturkan orang lain identik dengan memfitnah dan itu pun termasuk dosa yang sering tidak sadari dan kita anggap “baik” demi alasan “memberitakan kebenaran.”


KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Kita telah belajar dari sikap banyak orang Yahudi di Berea tentang menerima firman dengan semangat dan mengujinya dengan Kitab Suci, lalu apa respons kita? Apakah kita masih keras kepala dengan konsep kita yang enggan dikoreksi oleh firman Tuhan atau kita gemar mengkritik orang lain, namun enggan mengkritik diri? Kedua sikap ini jelas bertentangan dengan Alkitab. Alkitab PL dan PB mengajar kita untuk bersikap rendah hati terhadap pemberitaan firman, namun tetap kritis. Adakah itu juga menjadi sikap Anda? Biarlah Roh Kudus mendorong kita untuk makin giat membaca, merenungkan, dan menjalankan firman Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin. Soli Deo Gloria.





[1] Theological Dictionary of the New Testament, Vols. 5-9 Edited by Gerhard Friedrich. Vol. 10 Compiled by Ronald Pitkin, ed. Gerhard Kittel, Geoffrey William Bromiley and Gerhard Friedrich, electronic ed. (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1964-c1976), 6:699.

26 October 2014

Resensi Buku-291: 7 HUKUM PENUAIAN (John W. Lawrence, Th.M.)

Pengajaran tabur tuai memang diajarkan Alkitab, namun sayangnya pengajaran tabur tuai ini diselewengkan oleh banyak pemimpin gereja, sehingga menjadi pengajaran yang hanya berfokus pada berkat-berkat jasmani, yaitu uang, kekayaan, dll. Apa sebenarnya hukum tabur-tuai versi Alkitab?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
7 HUKUM PENUAIAN:
Rencana Allah yang Terbukti bagi Hidup yang Berkelimpahan

oleh: John W. Lawrence, Th.M.

Penerjemah: Johanes L. M. Lengkong

Penerbit: BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2011



Di awal bukunya, John W. Lawrence, Th.M. menjelaskan secara singkat 7 prinsip hukum penuaian yang Alkitab ajarkan yang berkaitan dengan kehidupan rohani kita. Pada bab-bab selanjutnya, beliau menjelaskan ketujuh poin itu lengkap dengan pengajaran Alkitab beserta aplikasi praktisnya. Ketujuh prinsip itu adalah: hukum mempertimbangkan (kita menuai banyak apa yang tidak kita tabur), hukum mengidentifikasi (kita menuai jenis yang sama dengan yang ditabur), hukum menunggu (kita menuai di musim yang berbeda dari saat menabur), hukum mengingat (kita menuai lebih daripada yang kita tabur), hukum melakukan (kita menuai sesuai dengan apa yang kita tabur), hukum menekuni (kita menuai hasil yang terbaik hanya dengan ketekunan; iblis datang dan menuai dengan sendirinya), dan hukum melupakan (kita tidak dapat berbuat apa pun terhadap panen tahun lalu, tetapi kita dapat melakukannya tahun ini). Biarlah melalui buku sederhana ini, kita diingatkan lagi salah satu prinsip Alkitab tentang hukum tabur-tuai tanpa harus selalu dikaitkan dengan berkat-berkat jasmani.



Endorsement:
“Tanda sebuah buku yang baik adalah ketika Anda menggarisbawahi beberapa kalimat dalam setiap babnya. Saya menggarisbawahi hampir semua kata dan akhirnya berkesimpulan bahwa setiap kata di dalam buku ini terutama ditulis untukku.”
Charles “Tremendous” Jones

“Buku ini merangsang pemikiran yang dalam untuk individu dan bangsa.”
Bibliotheca Sacra



Profil John W. Lawrence, Th.M.:
(alm.) John W. Lawrence, B.A., Th.M. lulus dari Bible Institute of Los Angeles. Beliau mendapatkan gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Washington Bible College dan Master of Theology (Th.M.) dengan predikat summa cum laude dari Dallas Theological Seminary, U.S.A. Beliau melayani selama beberapa tahun dalam pelayanan pastoral dan mengajar di Mid-South Bible College di Memphis, Tennessee, dan sebagai Profesor Biblika dan Theologi di Multnomah Bible College and Seminary, Portland, Oregon, U.S.A. Beliau meninggal tanggal 17 Desember 1995.

19 October 2014

Rekaman Khotbah Kebaktian Universitas UK Petra: "SACRED AND SECULAR" (Ev. Jimmy Setiawan, M.T.S.)

Sadar atau tidak, banyak orang Kristen sering kali memisahkan antara hal-hal “rohani” dan “sekuler”. Misalnya mereka berkata bahwa jika seseorang berada di dalam sekolah, universitas, tempat kerja, dll, maka tinggalkan dahulu pikiran tentang hal-hal rohani, sedangkan jika seseorang berada di dalam gereja, maka tinggalkan dahulu segala hal tentang “dunia.” Benarkah demikian? Simak uraian sederhana tentang hal ini dalam:

Rekaman Khotbah Kebaktian Universitas
Universitas Kristen (UK) Petra, Surabaya:
“SACRED AND SECULAR”

oleh: Ev. Jimmy Setiawan, M.T.S.

dengan mengklik dan mendowload di link:
Selamat mendengarkan dan belajar.


Ev. Jimmy Setiawan, S.Psi., M.T.S. adalah gembala ibadah di Gereja Kristen Baptist Jakarta (GKBJ) Taman Kencana, Pendiri Mentoring Center for Worship Renewal (http://www.mcwrindo.com), dan pengajar kuliah intensif dalam theologi penyembahan di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Indonesia (STTRI) Jakarta. Beliau terpanggil secara khusus untuk mendalami dan membagikan theologi penyembahan kepada gereja-gereja Protestan di Indonesia. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta dan Master of Theological Studies (M.T.S.) dalam Theologi Penyembahan dengan predikat memuaskan di bawah bimbingan worship scholars seperti Dr. John Witvliet dan Dr. Howard Vanderwell di Calvin Theological Seminary, Amerika Serikat. Calvin Institute of Christian Worship dari Calvin College menganugerahkannya CICW Liturgical Studies Award atas prestasinya dalam studi penyembahan.

Tolong broadcast pesan ini untuk memberkati banyak orang Kristen...


Resensi Buku-290: PRINSIP HARTA (Rev. DR. RANDY T. ALCORN, M.A.)

Harta adalah sesuatu yang penting yang kita miliki, namun sering kali harta bukan hanya penting bagi kita, melainkan telah menjadi tuan atas kita, sehingga kita menjadi tergila-gila dengan harta. Apa yang Alkitab ajarkan tentang harta?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
PRINSIP HARTA:
Menyingkapkan Rahasia Memberi Dengan Sukacita

oleh: Rev. Dr. Randy T. Alcorn


Penerjemah: Lana Asali

Penerbit: Yayasan Gloria, Yogyakarta, 2013



Di awal bukunya, Rev. Dr. Randy T. Alcorn mengutip perumpamaan Tuhan Yesus tentang harta terpendam tentang pentingnya kita sebagai orang Kristen memiliki harta terpendam yang tersimpan di Sorga. Harta terpendam di Sorga itu mengarahkan kita untuk mengerti prinsip-prinsip harta yaitu Pertama: Tuhan yang empunya segalanya termasuk harta kita dan kita menjadi pengelolanya. Jika Tuhan yang memiliki segalanya, maka kita sebagai pengelola harta-Nya tidak akan merasa kuatir di dalam memberikan harta tersebut bagi orang lain yang membutuhkan, karena hati kita terarah pada harta sorgawi. Prinsip ini mengarahkan kita untuk memikirkan prinsip harta kedua yaitu hati kita mengikuti ke mana kita menaruh uang Tuhan. Jika hati kita terikat di bumi, maka kita akan mengumpulkan harta di bumi dan pada saat itu juga kita bergerak makin jauh dari harta kita sesungguhnya, sedangkan jika hati kita terikat di Sorga, maka kita akan mengumpulkan harta di sorga dan saat itu kita makin dekat dengan harta kita sesungguhnya. Karena hati kita terikat di Sorga, maka kita juga harus menyadari bahwa rumah sejati kita bukan di dunia ini, tetapi di Sorga. Dr. Alcorn menggambarkan hidup untuk rumah sejati kita di Sorga nanti itu ibarat seperti hidup untuk garis yang terus berjalan (vs hidup untuk titik: hidup di bumi). Hidup untuk garis ini mengakibatkan kita menyadari prinsip harta keempat yaitu kita harus hidup untuk garis yang menekankan harta di Sorga yang tidak akan pernah berakhir. Dengan demikian, kita tidak lagi terikat pada harta benda duniawi yang sering kali menawan hati kita. Cara lain agar kita tak terikat dengan harta duniawi adalah dengan memberi. Dr. Alcorn mengajar bahwa ketika kita masih memegang sesuatu termasuk harta kita, itu berarti kita mengklaim bahwa kitalah pemiliknya, namun ketika kita melepaskannya dengan memberi, maka kita mengakui bahwa harta kita bukan milik kita. Dengan memberi, kita akan diberkati oleh Tuhan, namun bukan langsung/sekarang, tetapi pada saat yang tepat. Nah, ketika Tuhan memberkati kita, ingatlah prinsip harta terakhir yaitu tujuannya agar kita meningkatkan standar pemberian kita. Di bagian akhir buku ini, Dr. Alcorn menantang para pembaca Kristen untuk menggumulkan dan berjanji di hadapan Tuhan akan persembahan yang akan kita berikan. Dan di bagian apendiks, Dr. Alcorn mengarahkan kita untuk menguji diri kita sendiri tentang kaitan harta, diri, Allah, dan sesama. Biarlah buku ini dapat menyadarkan kita pentingnya menjadi tuan atas harta kita demi memuliakan nama-Nya.



Endorsement:
“Sangat memotivasi dan sarat dengan kebenaran ilahi yang menarik! Saya seakan ‘disambar petir’ berkali-kali membaca buku ini.”
Rev. John S. Piper, D.Theol.
Pendeta Senior di Betlehem Baptist Church, Minneapolis

“Prinsip Harta akan mengubah hidup Anda! Buku ini akan menjadi sebuah karya klasik.”
Howard Dayton 
Direktur Utama Crown Financial Ministries

“Ayat-ayat dan ilustrasi-ilustrasi Kitab Suci terdengar begitu nyata. Persis seperti yang saya butuhkan!”
Hugh Maclellan
Pemimpin The Maclellan Foundation




Profil Rev. Dr. Randy Alcorn:
Rev. Dr. (HC) Randy Alcorn, M.A. adalah pendiri Eternal Perspective Ministries (EPM). Beliau menyelesaikan studi Master of Arts (M.A.) dalam bidang Studi Biblika di Multnomah University dan mendapatkan gelar Doktor Kehormatan dari Western Seminary di Portland, Oregon. Beliau adalah penulis lebih dari 40 judul buku laris. Beberapa buku yang beliau tulis, yaitu: Heaven, If God is Good, dll. Bersama istrinya, Nanci, beliau menetap di Oregon.

13 October 2014

Rekaman Khotbah Kebaktian Universitas UK Petra: "DEALING WITH DOUBT" (Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

Sering kali ada orang Kristen yang meragukan imannya. Apakah itu diperbolehkan? Bagaimana kita mengatasi keraguan tersebut? Simak uraian sederhana tentang hal ini dalam:

Rekaman Khotbah Kebaktian Universitas
Universitas Kristen (UK) Petra, Surabaya:
“DEALING WITH DOUBT”

oleh: Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M.

dengan mengklik dan mendownload link di bawah ini:

https://www.dropbox.com/s/86bc4yjz6eixzkv/Dealing%20with%20Doubt.mp3?dl=0

Selamat mendengarkan dan belajar.


Pdt. Yakub Tri Handoko, S.Th., M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkriexodus.org) dan dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts(M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.



Tolong bantu sebarkan informasi ini. Terima kasih. Kiranya Tuhan memberkati.

12 October 2014

Resensi Buku-289: FINALLY ALIVE (Rev. John S. Piper, D.Theol.)

Orang Kristen sering mendengar istilah “lahir baru”, namun banyak orang Kristen tidak mengerti artinya. Apa sebenarnya makna di balik istilah tersebut? Mengapa perlu dilahirbarukan? Apa dampaknya?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
FINALLY ALIVE
(HIDUP SELAMANYA):
Apa yang Terjadi Saat Kita Dilahirkan Kembali?

oleh: Rev. John S. Piper, D.Theol.

Penerbit: Pionir Jaya, Bandung, 2013

Penerjemah: The Boen Giok



Di bagian pendahuluan, Rev. Dr. John S. Piper mengemukakan fakta bahwa di dalam Kekristenan dewasa ini ala George Barna, dll, orang Kristen lahir baru didefinisikan sebagai orang yang memiliki komitmen pribadi dengan Kristus karena mereka telah bertobat dan percaya kepada-Nya. Dengan kata lain, “lahir baru” dipandang sebagai hal superfisial (terlihat mata). Padahal menurut Dr. Piper, “lahir baru” bukan dimengerti secara dangkal demikian. Lalu, apa artinya? Di bagian I, Dr. Piper menjelaskan bahwa lahir baru dimengerti sebagai sebuah tindakan supranatural Allah yang menciptakan ulang manusia yang berdosa ini, supaya mereka memiliki kehidupan yang baru. Hal ini tidak meniadakan diri kita sekarang, tetapi memberi natur baru kepada kita. Kemudian, pertanyaan selanjutnya, mengapa harus dilahirbarukan? Dr. Piper menjelaskan bahwa kita harus dilahirkan kembali karena kita secara spiritual telah mati dan menjadi budak penuh rela atas dosa dan setan, sehingga kita tak mungkin dapat menanggapi anugerah Allah. Oleh karena itu, kita harus dilahirbarukan dengan cara Allah Anak menebus dosa manusia dan Roh Kudus mengefektifkan karya penebusan Kristus itu dengan membangkitkan kita yang mati dan memanggil kita untuk percaya kepada Kristus melalui Injil yang memberitakan kematian dan kebangkitan Kristus. Orang yang telah dilahirbarukan bukan sekadar bertobat dan percaya, namun memiliki dampak positif yaitu mengalahkan dunia, merdeka dari dosa, dan mengasihi sesama dengan kasih Allah. Jika kita telah dilahirbarukan, kita dituntut untuk membagikan Injil kepada orang lain agar sesama  kita juga boleh terlahir kembali melalui karya Roh Kudus. Sebagai penutup, Dr. Piper menantang para pembaca untuk datang kepada Kristus dan alami kelahiran baru yang Roh Kudus kerjakan.



Endorsement:
“Saya tak mungkin dapat menjadi terlalu bersukacita dalam merayakan terbitnya buku ini. Akibat selama beberapa dekade ini telah menjadi terlalu terfokus pada pertentangan mengenai justifikasi dan bagaimana seseorang dapat dibenarkan di hadapan Allah, maka kita pun menjadi cenderung mengabaikan komponen lain pertobatan yang tak kalah pentingnya. Istilah pertobatan dalam konteks kovenan baru adalah lebih daripada sekadar masalah posisi dan status di dalam Kristus, sekalipun tak pernah kurang dari itu. Pertobatan melibatkan suatu transformasi ilahi yang dikaruniakan oleh Roh Kudus, sesuatu yang mutlak melampaui resolusi manusia semata. Pertobatan merupakan sebuah kelahiran baru. Pertobatan menjadikan kita ciptaan baru. Pertobatan mendemonstrasikan fakta bahwa Injil merupakan kuasa Allah yang melahirkan keselamatan. Semua ajaran doktrinal di dunia di dunia takkan mampu menggantikannya. Alasan yang membuat doktrin “Kamu harus dilahirkan kembali” ini menjadi sedemikian penting adalah karena Anda memang harus dilahirkan kembali.”
Rev. Prof. D. A. Carson, Ph.D.
Profesor Riset bidang Perjanjian Baru di Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois yang meraih gelar Bachelor of Science (B.Sc.) in chemistry dari McGill University, Master of Divinity (M.Div.) dari Central Baptist Seminary di Toronto, dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang Perjanjian Baru dari Cambridge University.

“… Dalam buku menakjubkan ini, Pendeta John Piper menyelamatkan istilah ‘dilahirkan kembali’ dari praktik pelecehan dan penyalahgunaan yang marak terjadi dalam kultur kita pada hari ini. Ini merupakan sebuah presentasi yang inovatif dari sebuah doktrin Injili bertemakan kelahiran baru, sebuah karya yang sarat dengan wawasan theologis sekaligus hikmat pastoral.”
Rev. Prof. Timothy George, Th.D.
Editor Eksekutif dari Christianity Today sekaligus Dekan dan Professor of Divinity di Beeson Divinity School, Samford University, Birmingham, Alabama yang menyelesaikan studi Bachelor of Arts (A.B.) di University of Tennessee di Chattanooga; Master of Divinity (M.Div.) di Harvard Divinity School; dan Doctor of Theology (Th.D.) di Harvard University.

“Regenerasi, atau kelahiran baru, semata-mata berimplikasi keberadaan Anda yang baru melalui, bersama, di dalam, dan di bawah keberadaan Kristus, sebuah tema yang mengalami penolakan secara luas pada hari ini. Namun serangkaian pengajaran dalam buku bermutu ini, melalui sebuah analisis silang dengan akurasi tinggi terhadap sekumpulan data dari kitab Perjanjian Baru, justu secara total menjawab penolakan tersebut. Sangat direkomendasikan.”
Rev. Prof. J. I. Packer, D.Phil.
Board of Governors’ Professor of Theology di Regent College di Vancouver, Canada sekaligus kontributor dan editor eksekutif majalah Christianity Today, dan editor umum Alkitab English Standard Version (ESV) yang menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.); Master of Arts (M.A.); dan Doctor of Philosophy (D.Phil.) di Corpus Christi College, Oxford University, U.K.



Profil Rev. Dr. John Piper:
Rev. John Stephen Piper, B.A., B.D., D.Theol. adalah Pendeta Pengkhotbah dan Visi di Betlehem Baptist Church, Minneapolis, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) dari Wheaton College, U.S.A.; Bachelor of Divinity (B.D.) dari Fuller Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Theologie (D.Theol.) dari University of Munich, Munich, Jerman Barat. Disertasinya, Love Your Enemies, diterbitkan oleh Cambridge University Press dan Baker Book House.

05 October 2014

Resensi Buku-288: PREACHING WITH PURPOSE (Prof. Jay E. Adams, Ph.D.)

Seorang pendeta atau penginjil tidak bisa dilepaskan dari salah satu panggilan dan tugasnya sebagai pengkhotbah mimbar. Namun sayang, beberapa jemaat mengeluhkan khotbah-khotbah dari beberapa pengerja penuh waktu itu dikarenakan khotbah-khotbah mereka ada yang tidak menarik, dll. Lalu bagaimana solusinya?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
PREACHING WITH PURPOSE
(KHOTBAH YANG TERARAH)

oleh: Prof. Jay E. Adams, Ph.D.

Penerbit: Gandum Mas, Malang, 2004

Penerjemah: Erna Maria Kristanti Letik



Di bagian pendahuluan, Dr. Jay E. Adams mengajar kita bahwa khotbah itu harus memiliki tujuan baik secara dasar maupun isinya. Lalu, Dr. Adams menguraikan pengajaran Alkitab tentang definisi khotbah yang berkaitan dengan konsep pengajaran. Setelah itu, Dr. Adams menguraikan pentingnya tujuan khotbah Alkitabiah. Khotbah Alkitabiah ini dimulai dari menentukan bagian teks Alkitab untuk dikhotbahkan dan makna di balik teks. Khotbah bukan hanya soal penafsiran Alkitab, tetapi juga menyangkut diri pengkhotbah itu sendiri. Oleh karena itu, Dr. Adams menjabarkan pentingnya mengerti sikap mental pengkhotbah yang tidak sama dengan mental penceramah di mana pengkhotbah bukan hanya memberikan informasi tentang Alkitab, tetapi memberikan signifikansinya bagi jemaat yang mendengarkannya. Selain pengkhotbah, di dalam khotbah, pentingnya perencanaan isi khotbah mulai dari pendahuluan hingga penutup/kesimpulan. Kemudian, Dr. Adams menguraikan secara khusus tentang khotbah yang meliputi gaya bahasa di dalam khotbah dan kaitan khotbah dan konseling. Sebagai bagian terakhir, Dr. Adams mengajar kita tentang pentingnya penjelasan menerapkan kebenaran yang disampaikan di dalam khotbah agar jemaat bukan hanya tahu kebenaran itu bagi mereka, tetapi juga mengetahui dan berkomitmen menjalankan kebenaran itu di dalam hidupnya. Dr. Adams tidak lupa mengingatkan kita bahwa khotbah yang terpenting bukan bagaimana teknik yang tepat, tetapi pada Kristus dan karya-Nya dahulu, sekarang, dan akan datang. Dan di bab terakhir, Dr. Adams menjabarkan 5 ciri khotbah yang baik, yaitu: berkhotbah (bukan berceramah), Alkitabiah, menarik, tersusun dengan baik, dan praktis (mudah dilaksanakan). Biarlah melalui buku ini, para pelayan Tuhan penuh waktu dapat sungguh-sungguh mempersiapkan dirinya untuk berkhotbah dengan prinsip-prinsip yang telah dipaparkan Dr. Adams ini.



Profil penulis:
Prof. Jay Edward  Adams, Ph.D. yang lahir tanggal 30 Januari 1929 adalah pendiri gerakan konseling Alkitabiah modern yaitu konseling Biblical/Nouthetik. Beliau juga adalah pendiri dari: the Institute for Nouthetic Studies (INS), the National Association of Nouthetic Counselors (NANC), dan the Christian Counseling and Educational Foundation (CCEF). Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Divinity (B.D.) di Reformed Episcopal Seminary; Bachelor of Arts (B.A.) in Classics di  Johns Hopkins University; Master in Sacred Theology (S.T.M.) di Pittsburgh-Xenia Seminary, Temple University School of Theology; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) in Speech di University of Missouri. Beliau telah menulis lebih dari 100 buku, di antaranya:
•  The Biblical View of Self-Esteem, Self-Love, and Self-Image. Harvest House Publishers. 1986. •  The Big Umbrella. Calvary Press. 1972. 
•  The Christian Counselor's Manual, the practice of nouthetic counseling. Zondervan. 1988.
•  Christian Living in the Home. P & R Publishing. 1972.
•  Competent to Counsel. Zondervan. 1986.
•  Handbook of Church Discipline: A Right and Privilege of Every Church Member. Zondervan. 1986. •  Marriage, Divorce, and Remarriage in the Bible. Zondervan. 1986.
•  Preaching with Purpose: the urgent task of homiletics. Zondervan. 1998. 
•  Shepherding God's Flock: A Handbook on Pastoral Ministry, Counseling and Leadership. Zondervan. 1986. 
•  A Theology of Christian Counseling