03 December 2009

Resensi Buku-84: APA YANG DIINGINKAN PRIA, APA YANG DIBUTUHKAN WANITA (Bishop Dr. Eddie L. Long)

....Dapatkan segera....
Buku
WHAT A MAN WANTS, WHAT A WOMAN NEEDS
(Apa yang Diinginkan Pria, Apa yang Dibutuhkan Wanita)


oleh: Bishop DR. EDDIE L. LONG

Penerbit: Metanoia, 2005

Penerjemah: Sri Meilyana





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita itu unik di hadapan-Nya. Selain menyandang peta dan teladan-Nya, mereka diciptakan secara sama esensi namun berbeda secara ordo/urutan dan fungsi. Sehingga pria dan wanita tersebut bisa bersatu. Namun, dunia mengajarkan kita beragam filsafat berdosa yang mencampuradukkan peran pria dan wanita menyimpang dari kebenaran Alkitab. Tidak heran, semakin mereka menjauh dari prinsip Firman, semakin mereka menyeleweng dan hidup kacau. Akibatnya, tingkat perceraian bukan tambah menurun, namun meningkat, bahkan di kalangan pasangan Kristen. Sudah saatnya orang Kristen yang beres kembali kepada prinsip Firman tentang konsep pria dan wanita sesuai Alkitab. Melalui bukunya Apa yang Diinginkan Pria, Apa yang Dibutuhkan Wanita, Bishop Dr. Eddie L. Long mengajak para pembacanya untuk kembali kepada Alkitab bagaimana menjadi pria kerajaan dan wanita kerajaan. Tesis bukunya adalah bagaimana pria dan wanita yang kedua-dua termasuk umat Kerajaan Allah bisa bersatu dan menjadi berkat bagi masyarakat dunia kita. Bishop Dr. Eddie L. Long mengajar bahwa pria Kerajaan harus mencari wanita Kerajaan, bukan karena kecantikan, keseksian, dll (hal-hal lahiriah), tetapi lebih ke arah hati. Begitu juga dengan wanita Kerajaan harus mencari seorang Pria Kerajaan yang bertanggungjawab memimpin kehidupan si wanita. Meskipun ada beberapa hal yang kurang saya setujui (berkenaan dengan doktrin), namun secara menyeluruh, buku ini cukup baik untuk dibaca, karena mengajar kita tentang pria dan wanita kerajaan dan bagaimana menjadi pria dan wanita kerajaan sesuai kehendak Allah.





Profil Dr. Eddie L. Long:
Bishop Dr. Eddie L. Long adalah gembala di New Birth Missionary Baptist Church di Lithonia, Georgia, U.S.A. sejak Juli 1987. Beliau juga menjabat sebagai: Vice Chair dari Martin Luther King Jr. Board of Preachers di Morehouse College, Traditional Values Coalition, Washington, DC, dan moderator di American Baptist Churches of the South. Beliau memiliki program radio harian di Atlanta, Los Angeles, Miami, dan London, Inggris. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Science in Business Administration (B.S.B.A.) dari North Carolina Central University dan Master of Divinity (M.Div.) dari Interdenominational Theological Center. Beliau menerima gelar doktor kehormatan dari North Carolina Central University, Beulah Heights Bible College of Atlanta, dan the Morehouse School of Religion. Dr. Long juga mendapatkan gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) in Pastoral Ministry dari the International College of Excellence. Beliau ditahbiskan menjadi Bishop pada tahun 1994 oleh Full Gospel Baptist Church Fellowship. Beliau menikah dengan Vanessa Griffin Long dan dikaruniai 4 orang anak: Eric, Edward, Jared, dan Taylor.

Eksposisi 1 Korintus 1:7-9 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:7-9

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:7-9



Sesuai dengan pola surat umum waktu itu, ucapan syukur biasanya dikuti oleh harapan atau doa kepada dewa untuk kebaikan penerima surat. Walaupun doa Paulus di 1 Korintus 1:7-9 tidak terlalu eksplisit seperti di beberapa suratnya yang lain (bdk. Rm. 1:10; Ef. 1:16; Flp. 1:9), namun nuansa yang tersirat secara jelas menyatakan harapan Paulus yang positif terhadap jemaat Korintus. Bentuk doa yang tidak eksplisit seperti ini dapat kita temui di beberapa surat Paulus lainnya (misalnya 2 Korintus dan Efesus).

Untuk memudahkan pemahaman, alur pemikiran Paulus dalam bagian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ayat 7 Fokus hidup yang eskatologis
Ayat 8 Jaminan: Allah akan meneguhkan sampai akhir
Ayat 9 Alasan di balik jaminan: Allah adalah setia


Fokus Hidup yang Eskatologis (ay. 7)
Ayat 7 merupakan konklusi dari ucapan syukur Paulus terkait dengan karunia-karunia rohani yang diterima jemaat Korintus. Apa yang dilakukan Allah di ayat 5-6 membuat jemaat Korintus tidak kekurangan suatu karunia pun. Apakah arti ungkapan “tidak kekurangan suatu karunia pun” di ayat ini? Ungkapan ini bisa memiliki beragam makna. Ungkapan ini dapat berarti bahwa: (1) jemaat Korintus memiliki semua jenis karunia rohani yang ada (penekanan terletak pada ketidakadaan satu jenis karunia pun yang tidak ditemui di jemaat Korintus); (2) jemaat Korintus tidak kekurangan karunia rohani jika dibandingkan dengan jemaat yang lain; (3) jemaat Korintus tidak kekurangan karunia rohani jika dibandingkan dengan harapan rata-rata orang Kristen sehubungan dengan karunia rohani.

Berdasarkan pertimbangan tata bahasa, pilihan kedua dan ketiga tampaknya lebih dapat diterima, sebab kata husterew jika diikuti oleh kata depan – seperti dalam kasus di ayat 7 – biasanya (tidak selalu) berarti “tidak terbelakang/kalah dengan”. Bagaimanapun, pertimbangan dari sisi tata bahasa dalam kasus ini tidak bersifat konklusif. Kita harus lebih tunduk kepada analisa konteks untuk hal-hal yang masih ambigu seperti ini. Sesuai dengan ayat 5 – terutama frase “dalam segala hal” – kita sebaiknya memilih makna yang pertama. Dengan kata lain, di ayat 7 Paulus menegaskan bahwa jemaat Korintus tidak kekurangan suatu jenis karunia rohani apa pun. Makna ini tampaknya juga sesuai dengan keberagaman jenis karunia rohani yang dibahas di pasal 12.

Walaupun jemaat Korintus sangat kaya dalam karunia rohani, mereka tidak boleh hanya memfokuskan hidup pada masa sekarang. Mereka perlu menujukan mata mereka pada pengharapan eskatologis ketika Tuhan Yesus menyatakan diri kembali kelak. Kata apekdecomai (LAI:TB “menanti”) di ayat 7 muncul enam kali dalam tulisan Paulus (Rm. 8:19, 23, 25; 1Kor. 1:7; Gal. 5:5; Flp. 3:20) dan makna yang tersirat di dalamnya bukan sekadar penantian yang biasa, melainkan penantian dengan penuh semangat (bdk. terutama Roma 8:19, 2, 25). NIV, NASB dan NKJV secara tepat menambahkan kata “eagerly” (dengan penuh semangat/sungguh-sungguh) ketika menerjemahkan apekdecomai di 1 Korintus 1:7.

Penantian yang dilakukan oleh orang percaya bukanlah penantian yang sia-sia atau tidak pasti. Kristus sekarang sudah menjadi Raja dan mengalahkan semua kuasa yang ada, tetapi kekuasaan yang sempurna baru akan dinyatakan kelak (bdk. 15:24-26). Dalam dunia militer dua aspek ini dapat dijelaskan dengan menggunakan istilah “Hari D” (hari kemenangan pada pertempuran yang krusial) dan “Hari V” (hari berakhirnya semua peperangan”). Orang Kristen berada di antara dua aspek ini, karena itu mereka harus terus berdoa “maranatha” (1Kor. 16:22, dari ungkapan Aram marana tha yang berarti “Tuhan kami, datanglah”)

Mengapa Paulus menghubungkan karunia rohani yang dimiliki jemaat Korintus dengan pengharapan eskatologis? Apa kaitan antara keduanya? Jawaban bagi pertanyaan ini berkaitan dengan situasi konkrit di Korintus. Jemaat Korintus tidak terlalu menekankan harapan eskatologis yang berkaitan dengan pemerintahan Tuhan Yesus secara sempurna di akhir zaman. Mereka lupa bahwa mereka pada akhir zaman akan menghakimi malaikat dan dunia (6:2-3). Mereka bahkan terpengaruh dengan filosofi dunia yang menolak kebangkitan orang mati (15:12). Mereka sangat mungkin berpikir bahwa situasi mereka yang dipenuhi dengan berbagai karunia rohani – terutama bahasa roh – sudah dianggap sebagai berkat eskatologis yang terpenting (bdk. Kis 2:17-21), padahal semua karunia rohani itu akan berlalu (13:8-12).


Jaminan: Allah Akan Meneguhkan Sampai Akhir (ay. 8)
Penantian eskatologis di ayat 7 memiliki tujuan agar jemaat Korintus tidak bercacat pada saat kedatangan Tuhan (ay. 8). Kata Yunani anenklhtos yang dipakai di sini muncul lima kali dalam seluruh Perjanjian Baru, semuanya ditemukan di surat Paulus (1Kor. 1:8; Kol. 1:22; 1Tim. 3:10; Tit. 1:6, 7). Makna yang tersirat dari kata ini bukan merujuk pada kesucian moral yang sempurna, melainkan status yang bebas dari tuduhan. Dalam konteks penghakiman terakhir, hal ini menunjuk pada status legal orang percaya yang tidak mungkin digugat oleh iblis (bdk. Rm. 8:33).

Mengapa Paulus begitu yakin bahwa mereka akan menghadap Tuhan dalam keadaan bebas dari tuduhan? Bukankah kehidupan rohani mereka sangat menyedihkan: mereka bertingkah laku duniawi (3:1) atau bahkan lebih buruk dari itu (5:1)? Jawabannya terletak pada diri Allah. Ayat 8 menyatakan “Ia akan meneguhkan kamu sampai pada akhirnya”. Subjek dalam kalimat ini (“Ia”) dapat merujuk pada Allah atau Kristus Yesus. Dalam hal ini, kita sebaiknya memilih alternatif yang pertama: (1) Allah adalah subjek dari semua kata kerja pasif di ayat 4-7. Sangat mungkin Allah juga tetap menjadi subjek dari kata kerja di ayat 8; (2) Allah adalah subjek yang meneguhkan berita Injil di ayat 6, sehingga Dia juga yang menjadi subjek yang meneguhkan orang percaya di ayat 8; (3) Allah [theos] disebut secara eksplisit di ayat 9 sebagai Pribadi yang setia. Hal ini sejalan dengan apa yang Dia lakukan di ayat 8.

Kunci dari kepastian status eskatologis orang percaya terletak pada tindakan Allah yang meneguhkan (bebaiow) kita. Pemakaian bebaiow di ayat 6 dan 8 mengindikasikan karya Allah yang konsisten. Dia yang telah meneguhkan (bebaiow) berita Injil, Dia juga yang akan meneguhkan (bebaiow) orang percaya terus-menerus. Proses peneguhan ini tidak hanya dilakukan dulu sampai sekarang, tetapi akan tetap dilakukan Allah sampai pada akhirnya (hews telous). Frase hews telous di ayat ini pasti sejajar dengan “hari Tuhan kita Yesus Kristus”, yaitu saat ketika Tuhan menghakimi semua orang (3:13-15; 5:5).

Walaupun status eskatologis orang percaya sudah dijamin oleh Allah, namun tidak berarti bahwa orang percaya boleh sembarangan dengan hidupnya. Kita harus memahami bahwa dalam theologi Paulus apa yang Allah lakukan untuk orang percaya menuntut respon tertentu dari orang percaya dalam bentuk kekudusan hidup, misalnya karya penebusan menuntut mereka menguduskan tubuh mereka dari percabulan (6:19-20). Dengan mengingatkan status hukum orang percaya di akhir zaman Paulus justru ingin memotivasi mereka supaya menjauhi segala hal yang dapat menodai kekudusan hidup mereka.


Alasan Di Balik Jaminan: Allah Adalah Setia (ay. 9)
Ayat 8 telah menjelaskan bagaimana status legal orang percaya di hari penghakiman akan dijamin oleh Allah. Bagaimanapun, kita tetap bertanya-tanya mengapa Allah mau melakukan hal itu. Jawabannya disediakan Paulus di ayat 9, yaitu karena Allah adalah setia. Konsep tentang kesetiaan Allah sangat berhubungan dengan sifat Allah yang tetap memegang janji-janji-Nya (bdk. Ul 7:9). Untuk menekankan konsep ini, Paulus sengaja meletakkan kata pistos (“setia”) di awal ayat 9. Ide ini diulang Paulus di pasal 10:13 ketika berbicara tentang pencobaan yang dialami oleh orang-orang percaya.

Lebih jauh Paulus menjelaskan bahwa Allah yang setia ini adalah yang telah memanggil (kalew) jemaat Korintus kepada persekutuan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus. Kata kalew ini mengingatkan kembali pada apa yang dilakukan Allah di ayat 1 dan 2 ketika Ia memanggil Paulus sebagai rasul dan memanggil jemaat Korintus untuk menjadi orang-orang kudus. Dari sini terlihat bahwa Allah sangat terlibat dalam kehidupan orang percaya mulai dari awal. Kalau Allah sudah memulai pekerjaan-Nya, maka Dia akan meneruskannya sampai selesai (Flp. 1:6).

Orang percaya tidak hanya dipanggil di dalam Kristus (secara status/legal/posisi), tetapi juga di dalam persekutuan (koinonia) dengan Kristus. Kata koinonia muncul lagi di pasal 10-16-17. Hal ini menunjukkan bahwa panggilan ini bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dinamis; bukan hanya positional, tetapi juga relational.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 14 Oktober 2007

Eksposisi 1 Korintus 1:4-6 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:4-6

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:4-6



Seperti pola surat Hellenis pada umumnya, setelah memberikan salam pembukaan, Paulus meneruskan dengan ucapan syukur (ay. 4-6) dan harapan bagi penerima surat (ay. 7-9). Ucapan syukur Paulus difokuskan pada aspek kekinian (apa yang sekarang ini telah dilakukan Allah melalui Kristus Yesus), sedangkan harapan Paulus bersifat eskatologis (apa yang akan dilakukan Allah terus-menerus sampai akhir zaman).

Kalau di surat Hellenis umum ucapan syukur dan harapan ditujukan pada dewa-dewa atau dewa tertentu, dalam surat-surat Paulus dua hal ini ditujukan kepada Allah dengan jaminan apa yang telah dilakukan Yesus. Dari pembacaan sekilas terlihat bahwa pendahuluan surat Paulus sangat theosentris (berpusat pada Allah) dan kristosentris (berpusat pada Kristus). Kata “Allah” secara eksplisit muncul 6 kali, tidak termasuk dalam beberapa kata kerja yang secara jelas menunjukkan bahwa subjeknya adalah Allah. Kata “Kristus” atau “Kristus Yesus” muncul 4 kali dalam bagian salam pembukaan dan 6 kali dalam bagian ucapan syukur dan harapan.


Sikap Dalam Mengucap Syukur
Apa yang disampaikan Paulus dalam ucapan syukurnya tidak sekadar sebuah formalitas dalam sebuah surat. Dari cara Paulus mengungkapkan syukur, kita dapat belajar tentang sikap yang benar dalam mengucap syukur. Pertama, mengucap syukur harus terus-menerus. Di ayat 4 Paulus memakai bentuk present tense untuk kata “mengucap syukur” (eucaristw), yang menunjukkan tindakan terus-menerus. Untuk mempertegas makna ini, Paulus menambahkan kata “senantiasa” (pantote), walaupun dari sisi tata bahasa penambahan ini tidak terlalu diperlukan. Bagaimanapun, penambahan ini berfungsi untuk memberikan penekanan. Paulus ingin menunjukkan bahwa ucapan syukur harus menjadi gaya hidup orang Kristen (bdk. 1Tes. 5:18).

Kedua, mengucap syukur tidak dihalangi oleh respons negatif dari orang lain. Di ayat 4 Paulus mengatakan bahwa dia mengucap syukur “karena kalian” (lit. “tentang kalian” atau “untuk kalian”). Sekilas tidak ada yang istimewa dari hal ini, namun jika kita memahami sikap negatif jemaat Korintus terhadap Paulus, kita dapat melihat ucapan syukur ini sebagai sesuatu yang luar biasa. Di tengah jemaat yang tidak berpihak (1:12), bahkan menyerang dirinya (ps. 4), Paulus masih bisa mengucap syukur untuk keberadaan mereka. Dia tidak hanya mengucap syukur untuk mereka yang masih loyal terhadap dirinya. Dia mengucap syukur untuk mereka semua!

Terakhir, mengucap syukur tidak dibatasi oleh kelemahan orang lain. Di surat-suratnya yang lain Paulus biasanya mengucap syukur untuk iman, kasih atau ketekunan yang dimiliki penerima surat (bdk. Rm. 1:8). Dalam surat 1 Korintus dia mengucap syukur untuk karunia-karunia rohani yang dimiliki jemaat. Fokus ucapan syukur ini sedikit mengejutkan, karena jemaat Korintus justru menyalahgunakan karunia-karunia rohani yang mereka miliki. Paulus tidak setuju dengan penyalahgunaan ini (ps. 12-14), namun dia tidak kehilangan alasan untuk tetap bersyukur atas pemberian ilahi tersebut.


Isi Ucapan Syukur
Isi ucapan syukur Paulus di surat 1 Korintus adalah “kasih karunia Allah yang dianugerahkan kepada kamu dalam Kristus Yesus” (ay. 4). Apa yang dimaksud dengan “kasih karunia” (caris) di sini? Dalam theologi Paulus, kata caris bisa memiliki beragam arti: keselamatan (Rm. 3:24; Ef. 2:8-9), panggilan (Rm. 1:5) maupun pemberian tertentu (2Kor. 8:1, 4). Dalam 1Korintus 1:4, kata caris tampaknya merujuk pada pemberian/karunia rohani. Arti ini didukung oleh konteks, khususnya ayat 5 yang menyebutkan karunia berkata-kata dan pengetahuan (bdk. 1Kor. 12:8-10). Dari sini terlihat bahwa karunia-karunia rohani (carisma/carismata) merupakan salah satu bentuk kasih karunia (caris) Allah. Hubungan seperti ini terlihat jelas dari Roma 12:6a “demikianlah kita mempunyai karunia (carismata) yang berlain-lainan menurut kasih karunia (caris) yang dianugerahkan kepada kita”.

Sebagai salah satu bentuk kasih karunia, karunia rohani merupakan pemberian Allah kepada mereka yang tidak layak menerima dan tidak mengupayakan hal itu. Jika mereka layak, maka hal itu bukan kasih karunia, tetapi “hak”. Jika mereka mengupayakan, maka hal itu bukan kasih karunia, tetapi “upah” (bdk. Rm. 4:4-5). Penyebutan “karunia rohani” sebagai “kasih karunia” memiliki maksud tertentu. Penyebutan ini dimaksudkan sebagai teguran halus kepada jemaat Korintus yang memegahkan diri atas karunia rohani yang mereka miliki (ps. 12-14). Jika mereka menyadari bahwa semua itu adalah karih karunia, maka mereka tidak akan menyombongkan hal itu (bdk. 4:7 “Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?”).

Karunia rohani yang melimpah (ay. 5)
Paulus tidak hanya mensyukuri karunia rohani bagi jemaat Korintus, tetapi dia secara khusus mensyukuri kuantitas karunia yang diberikan. Jemaat Korintus bukan hanya diberi karunia rohani, tetapi juga diperkaya (bentuk aktif “menjadi kaya” dalam LAI:TB sebenarnya tidak terlalu tepat). Bentuk pasif di sini jelas merujuk pada Allah sebagai subjek. Penggunaan kata “diperkaya” menyiratkan bahwa mereka memiliki banyak karunia rohani. Di ayat 7 Paulus bahkan secara eksplisit mengatakan bahwa mereka tidak kekurangan suatu karunia pun.

Karunia rohani yang paling disalahgunakan (ay. 5)
Walaupun ada banyak macam karunai rohani (bdk. ps. 12), Paulus dalam ucapan syukurnya hanya menyebutkan dua di antaranya, yaitu “perkataan” (logos) dan “pengetahuan” (gnosis). Dua kata ini merupakan kosa kata yang unik dalam konteks Korintus. Kata logos muncul 64 kali dalam tulisan Paulus, 26 di antaranya ditemukan di surat 1 dan 2 Korintus, sedangkan gnosis muncul 23 kali dengan 16 di antaranya ada di surat 1 dan 2 Korintus. Dalam daftar karunia rohani di pasal 12, logos dan gnosis bahkan muncul bersamaan (12:8). Dari pemunculan dua kata ini kita dapat menyimpulkan bahwa karunia logos merujuk pada segala macam karunia rohani yang berkaitan dengan berkata-kata (misalnya bahasa rohani, penafsiran bahasa roh, perkataan hikmat), sedangkan gnosis berkaitan dengan segala jenis pengetahuan rohani yang diberikan Roh Kudus (misalnya hikmat, nubuat, dsb.).

Penyebutan logos dan gnwsis sebagai fokus ucapan syukur Paulus merupakan hal yang menarik. Mengapa? Karena dua jenis karunia inilah yang paling sering disalahgunakan oleh jemaat Korintus! Mereka merasa diri berhikmat dan menganggap inji sebagai kebodohan (bdk. 1:17-18, 25-29; 2:1-4). Mereka yang menganggap diri “berpengetahuan” justru menggunakan hal itu untuk menimbulkan syak di hati orang lain yang masih lemah (8:1, 7). Begitu pula dengan mereka yang diberi karunia bahasa roh telah menganggap diri mereka lebih rohani dan penting daripada orang lain (ps. 14).

Karunia rohani sebagai konfirmasi Injil (ay. 6)
Ucapan syukur Paulus tidak berhenti pada keberadaan karunia-karunia rohani dalam jemaat Korintus. Dia melihat hal ini sebagai bentuk peneguhan bagi pemberitaan Injil yang dia lakukan (ay. 6). Kata “diteguhkan” di ayat ini merpakan kosa kata perdagangan legal. Suatu transaksi yang besar pada zaman kuno perlu diteguhkan, misalnya dengan dokumen-dokumen penting, uang muka atau meterai. Fakta bahwa jemaat Korintus diberi karunia rohani yang berlimpah menunjukkan bahwa usaha pekabaran Injil Paulus tidak sia-sia.

Kita harus memahami bahwa memiliki kemampuan supranatural bukanlah jaminan bahwa seseorang sudah diselamatkan. Saul (1Sam. 19:23-24), nabi-nabi palsu (Mat. 7:21-23) dan pengikut iblis (Why. 13:13-14; 19:20) juga memiliki hal-hal yang supranatural. Beberapa orang yang dari luar termasuk bagian dari orang Kristen dan menikmati karunia-karunia rohani tertentu ternyata adalah orang-orang yang tidak pernah bertobat sungguh-sungguh (Ibr. 6:4-9).

Kita harus memahami pernyataan Paulus di 1 Korintus 1:6 tersebut dalam terang 1 Korintus 12. Sebelum membahas tentang karunia rohani (ay. 4-11), Paulus lebih dahulu menegaskan peranan Roh Kudus dalam keselamatan (ay. 1-3). Dia ingin menegaskan bahwa setiap orang yang sudah diselamatkan pasti memiliki karunia rohani tertentu (bdk. kata “semua orang” atau “tiap-tiap orang” di ayat 6, 7, 11). Setiap orang percaya adalah anggota tubuh Kristus yang memiliki fungsi tertentu. Jadi, pemberian karunia kepada seseorang menunjukkan bahwa orang itu sudah menerima Injil. Dalam kalimat yang sederhana, orang yang memiliki karunia rohani belum tentu diselamatkan, tetapi orang yang sudah diselamatkan pasti memiliki karunia rohani tertentu.



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 23 September 2007