03 December 2009

Eksposisi 1 Korintus 1:7-9 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:7-9

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:7-9



Sesuai dengan pola surat umum waktu itu, ucapan syukur biasanya dikuti oleh harapan atau doa kepada dewa untuk kebaikan penerima surat. Walaupun doa Paulus di 1 Korintus 1:7-9 tidak terlalu eksplisit seperti di beberapa suratnya yang lain (bdk. Rm. 1:10; Ef. 1:16; Flp. 1:9), namun nuansa yang tersirat secara jelas menyatakan harapan Paulus yang positif terhadap jemaat Korintus. Bentuk doa yang tidak eksplisit seperti ini dapat kita temui di beberapa surat Paulus lainnya (misalnya 2 Korintus dan Efesus).

Untuk memudahkan pemahaman, alur pemikiran Paulus dalam bagian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ayat 7 Fokus hidup yang eskatologis
Ayat 8 Jaminan: Allah akan meneguhkan sampai akhir
Ayat 9 Alasan di balik jaminan: Allah adalah setia


Fokus Hidup yang Eskatologis (ay. 7)
Ayat 7 merupakan konklusi dari ucapan syukur Paulus terkait dengan karunia-karunia rohani yang diterima jemaat Korintus. Apa yang dilakukan Allah di ayat 5-6 membuat jemaat Korintus tidak kekurangan suatu karunia pun. Apakah arti ungkapan “tidak kekurangan suatu karunia pun” di ayat ini? Ungkapan ini bisa memiliki beragam makna. Ungkapan ini dapat berarti bahwa: (1) jemaat Korintus memiliki semua jenis karunia rohani yang ada (penekanan terletak pada ketidakadaan satu jenis karunia pun yang tidak ditemui di jemaat Korintus); (2) jemaat Korintus tidak kekurangan karunia rohani jika dibandingkan dengan jemaat yang lain; (3) jemaat Korintus tidak kekurangan karunia rohani jika dibandingkan dengan harapan rata-rata orang Kristen sehubungan dengan karunia rohani.

Berdasarkan pertimbangan tata bahasa, pilihan kedua dan ketiga tampaknya lebih dapat diterima, sebab kata husterew jika diikuti oleh kata depan – seperti dalam kasus di ayat 7 – biasanya (tidak selalu) berarti “tidak terbelakang/kalah dengan”. Bagaimanapun, pertimbangan dari sisi tata bahasa dalam kasus ini tidak bersifat konklusif. Kita harus lebih tunduk kepada analisa konteks untuk hal-hal yang masih ambigu seperti ini. Sesuai dengan ayat 5 – terutama frase “dalam segala hal” – kita sebaiknya memilih makna yang pertama. Dengan kata lain, di ayat 7 Paulus menegaskan bahwa jemaat Korintus tidak kekurangan suatu jenis karunia rohani apa pun. Makna ini tampaknya juga sesuai dengan keberagaman jenis karunia rohani yang dibahas di pasal 12.

Walaupun jemaat Korintus sangat kaya dalam karunia rohani, mereka tidak boleh hanya memfokuskan hidup pada masa sekarang. Mereka perlu menujukan mata mereka pada pengharapan eskatologis ketika Tuhan Yesus menyatakan diri kembali kelak. Kata apekdecomai (LAI:TB “menanti”) di ayat 7 muncul enam kali dalam tulisan Paulus (Rm. 8:19, 23, 25; 1Kor. 1:7; Gal. 5:5; Flp. 3:20) dan makna yang tersirat di dalamnya bukan sekadar penantian yang biasa, melainkan penantian dengan penuh semangat (bdk. terutama Roma 8:19, 2, 25). NIV, NASB dan NKJV secara tepat menambahkan kata “eagerly” (dengan penuh semangat/sungguh-sungguh) ketika menerjemahkan apekdecomai di 1 Korintus 1:7.

Penantian yang dilakukan oleh orang percaya bukanlah penantian yang sia-sia atau tidak pasti. Kristus sekarang sudah menjadi Raja dan mengalahkan semua kuasa yang ada, tetapi kekuasaan yang sempurna baru akan dinyatakan kelak (bdk. 15:24-26). Dalam dunia militer dua aspek ini dapat dijelaskan dengan menggunakan istilah “Hari D” (hari kemenangan pada pertempuran yang krusial) dan “Hari V” (hari berakhirnya semua peperangan”). Orang Kristen berada di antara dua aspek ini, karena itu mereka harus terus berdoa “maranatha” (1Kor. 16:22, dari ungkapan Aram marana tha yang berarti “Tuhan kami, datanglah”)

Mengapa Paulus menghubungkan karunia rohani yang dimiliki jemaat Korintus dengan pengharapan eskatologis? Apa kaitan antara keduanya? Jawaban bagi pertanyaan ini berkaitan dengan situasi konkrit di Korintus. Jemaat Korintus tidak terlalu menekankan harapan eskatologis yang berkaitan dengan pemerintahan Tuhan Yesus secara sempurna di akhir zaman. Mereka lupa bahwa mereka pada akhir zaman akan menghakimi malaikat dan dunia (6:2-3). Mereka bahkan terpengaruh dengan filosofi dunia yang menolak kebangkitan orang mati (15:12). Mereka sangat mungkin berpikir bahwa situasi mereka yang dipenuhi dengan berbagai karunia rohani – terutama bahasa roh – sudah dianggap sebagai berkat eskatologis yang terpenting (bdk. Kis 2:17-21), padahal semua karunia rohani itu akan berlalu (13:8-12).


Jaminan: Allah Akan Meneguhkan Sampai Akhir (ay. 8)
Penantian eskatologis di ayat 7 memiliki tujuan agar jemaat Korintus tidak bercacat pada saat kedatangan Tuhan (ay. 8). Kata Yunani anenklhtos yang dipakai di sini muncul lima kali dalam seluruh Perjanjian Baru, semuanya ditemukan di surat Paulus (1Kor. 1:8; Kol. 1:22; 1Tim. 3:10; Tit. 1:6, 7). Makna yang tersirat dari kata ini bukan merujuk pada kesucian moral yang sempurna, melainkan status yang bebas dari tuduhan. Dalam konteks penghakiman terakhir, hal ini menunjuk pada status legal orang percaya yang tidak mungkin digugat oleh iblis (bdk. Rm. 8:33).

Mengapa Paulus begitu yakin bahwa mereka akan menghadap Tuhan dalam keadaan bebas dari tuduhan? Bukankah kehidupan rohani mereka sangat menyedihkan: mereka bertingkah laku duniawi (3:1) atau bahkan lebih buruk dari itu (5:1)? Jawabannya terletak pada diri Allah. Ayat 8 menyatakan “Ia akan meneguhkan kamu sampai pada akhirnya”. Subjek dalam kalimat ini (“Ia”) dapat merujuk pada Allah atau Kristus Yesus. Dalam hal ini, kita sebaiknya memilih alternatif yang pertama: (1) Allah adalah subjek dari semua kata kerja pasif di ayat 4-7. Sangat mungkin Allah juga tetap menjadi subjek dari kata kerja di ayat 8; (2) Allah adalah subjek yang meneguhkan berita Injil di ayat 6, sehingga Dia juga yang menjadi subjek yang meneguhkan orang percaya di ayat 8; (3) Allah [theos] disebut secara eksplisit di ayat 9 sebagai Pribadi yang setia. Hal ini sejalan dengan apa yang Dia lakukan di ayat 8.

Kunci dari kepastian status eskatologis orang percaya terletak pada tindakan Allah yang meneguhkan (bebaiow) kita. Pemakaian bebaiow di ayat 6 dan 8 mengindikasikan karya Allah yang konsisten. Dia yang telah meneguhkan (bebaiow) berita Injil, Dia juga yang akan meneguhkan (bebaiow) orang percaya terus-menerus. Proses peneguhan ini tidak hanya dilakukan dulu sampai sekarang, tetapi akan tetap dilakukan Allah sampai pada akhirnya (hews telous). Frase hews telous di ayat ini pasti sejajar dengan “hari Tuhan kita Yesus Kristus”, yaitu saat ketika Tuhan menghakimi semua orang (3:13-15; 5:5).

Walaupun status eskatologis orang percaya sudah dijamin oleh Allah, namun tidak berarti bahwa orang percaya boleh sembarangan dengan hidupnya. Kita harus memahami bahwa dalam theologi Paulus apa yang Allah lakukan untuk orang percaya menuntut respon tertentu dari orang percaya dalam bentuk kekudusan hidup, misalnya karya penebusan menuntut mereka menguduskan tubuh mereka dari percabulan (6:19-20). Dengan mengingatkan status hukum orang percaya di akhir zaman Paulus justru ingin memotivasi mereka supaya menjauhi segala hal yang dapat menodai kekudusan hidup mereka.


Alasan Di Balik Jaminan: Allah Adalah Setia (ay. 9)
Ayat 8 telah menjelaskan bagaimana status legal orang percaya di hari penghakiman akan dijamin oleh Allah. Bagaimanapun, kita tetap bertanya-tanya mengapa Allah mau melakukan hal itu. Jawabannya disediakan Paulus di ayat 9, yaitu karena Allah adalah setia. Konsep tentang kesetiaan Allah sangat berhubungan dengan sifat Allah yang tetap memegang janji-janji-Nya (bdk. Ul 7:9). Untuk menekankan konsep ini, Paulus sengaja meletakkan kata pistos (“setia”) di awal ayat 9. Ide ini diulang Paulus di pasal 10:13 ketika berbicara tentang pencobaan yang dialami oleh orang-orang percaya.

Lebih jauh Paulus menjelaskan bahwa Allah yang setia ini adalah yang telah memanggil (kalew) jemaat Korintus kepada persekutuan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus. Kata kalew ini mengingatkan kembali pada apa yang dilakukan Allah di ayat 1 dan 2 ketika Ia memanggil Paulus sebagai rasul dan memanggil jemaat Korintus untuk menjadi orang-orang kudus. Dari sini terlihat bahwa Allah sangat terlibat dalam kehidupan orang percaya mulai dari awal. Kalau Allah sudah memulai pekerjaan-Nya, maka Dia akan meneruskannya sampai selesai (Flp. 1:6).

Orang percaya tidak hanya dipanggil di dalam Kristus (secara status/legal/posisi), tetapi juga di dalam persekutuan (koinonia) dengan Kristus. Kata koinonia muncul lagi di pasal 10-16-17. Hal ini menunjukkan bahwa panggilan ini bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dinamis; bukan hanya positional, tetapi juga relational.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 14 Oktober 2007

No comments: