03 December 2009

Eksposisi 1 Korintus 1:4-6 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:4-6

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:4-6



Seperti pola surat Hellenis pada umumnya, setelah memberikan salam pembukaan, Paulus meneruskan dengan ucapan syukur (ay. 4-6) dan harapan bagi penerima surat (ay. 7-9). Ucapan syukur Paulus difokuskan pada aspek kekinian (apa yang sekarang ini telah dilakukan Allah melalui Kristus Yesus), sedangkan harapan Paulus bersifat eskatologis (apa yang akan dilakukan Allah terus-menerus sampai akhir zaman).

Kalau di surat Hellenis umum ucapan syukur dan harapan ditujukan pada dewa-dewa atau dewa tertentu, dalam surat-surat Paulus dua hal ini ditujukan kepada Allah dengan jaminan apa yang telah dilakukan Yesus. Dari pembacaan sekilas terlihat bahwa pendahuluan surat Paulus sangat theosentris (berpusat pada Allah) dan kristosentris (berpusat pada Kristus). Kata “Allah” secara eksplisit muncul 6 kali, tidak termasuk dalam beberapa kata kerja yang secara jelas menunjukkan bahwa subjeknya adalah Allah. Kata “Kristus” atau “Kristus Yesus” muncul 4 kali dalam bagian salam pembukaan dan 6 kali dalam bagian ucapan syukur dan harapan.


Sikap Dalam Mengucap Syukur
Apa yang disampaikan Paulus dalam ucapan syukurnya tidak sekadar sebuah formalitas dalam sebuah surat. Dari cara Paulus mengungkapkan syukur, kita dapat belajar tentang sikap yang benar dalam mengucap syukur. Pertama, mengucap syukur harus terus-menerus. Di ayat 4 Paulus memakai bentuk present tense untuk kata “mengucap syukur” (eucaristw), yang menunjukkan tindakan terus-menerus. Untuk mempertegas makna ini, Paulus menambahkan kata “senantiasa” (pantote), walaupun dari sisi tata bahasa penambahan ini tidak terlalu diperlukan. Bagaimanapun, penambahan ini berfungsi untuk memberikan penekanan. Paulus ingin menunjukkan bahwa ucapan syukur harus menjadi gaya hidup orang Kristen (bdk. 1Tes. 5:18).

Kedua, mengucap syukur tidak dihalangi oleh respons negatif dari orang lain. Di ayat 4 Paulus mengatakan bahwa dia mengucap syukur “karena kalian” (lit. “tentang kalian” atau “untuk kalian”). Sekilas tidak ada yang istimewa dari hal ini, namun jika kita memahami sikap negatif jemaat Korintus terhadap Paulus, kita dapat melihat ucapan syukur ini sebagai sesuatu yang luar biasa. Di tengah jemaat yang tidak berpihak (1:12), bahkan menyerang dirinya (ps. 4), Paulus masih bisa mengucap syukur untuk keberadaan mereka. Dia tidak hanya mengucap syukur untuk mereka yang masih loyal terhadap dirinya. Dia mengucap syukur untuk mereka semua!

Terakhir, mengucap syukur tidak dibatasi oleh kelemahan orang lain. Di surat-suratnya yang lain Paulus biasanya mengucap syukur untuk iman, kasih atau ketekunan yang dimiliki penerima surat (bdk. Rm. 1:8). Dalam surat 1 Korintus dia mengucap syukur untuk karunia-karunia rohani yang dimiliki jemaat. Fokus ucapan syukur ini sedikit mengejutkan, karena jemaat Korintus justru menyalahgunakan karunia-karunia rohani yang mereka miliki. Paulus tidak setuju dengan penyalahgunaan ini (ps. 12-14), namun dia tidak kehilangan alasan untuk tetap bersyukur atas pemberian ilahi tersebut.


Isi Ucapan Syukur
Isi ucapan syukur Paulus di surat 1 Korintus adalah “kasih karunia Allah yang dianugerahkan kepada kamu dalam Kristus Yesus” (ay. 4). Apa yang dimaksud dengan “kasih karunia” (caris) di sini? Dalam theologi Paulus, kata caris bisa memiliki beragam arti: keselamatan (Rm. 3:24; Ef. 2:8-9), panggilan (Rm. 1:5) maupun pemberian tertentu (2Kor. 8:1, 4). Dalam 1Korintus 1:4, kata caris tampaknya merujuk pada pemberian/karunia rohani. Arti ini didukung oleh konteks, khususnya ayat 5 yang menyebutkan karunia berkata-kata dan pengetahuan (bdk. 1Kor. 12:8-10). Dari sini terlihat bahwa karunia-karunia rohani (carisma/carismata) merupakan salah satu bentuk kasih karunia (caris) Allah. Hubungan seperti ini terlihat jelas dari Roma 12:6a “demikianlah kita mempunyai karunia (carismata) yang berlain-lainan menurut kasih karunia (caris) yang dianugerahkan kepada kita”.

Sebagai salah satu bentuk kasih karunia, karunia rohani merupakan pemberian Allah kepada mereka yang tidak layak menerima dan tidak mengupayakan hal itu. Jika mereka layak, maka hal itu bukan kasih karunia, tetapi “hak”. Jika mereka mengupayakan, maka hal itu bukan kasih karunia, tetapi “upah” (bdk. Rm. 4:4-5). Penyebutan “karunia rohani” sebagai “kasih karunia” memiliki maksud tertentu. Penyebutan ini dimaksudkan sebagai teguran halus kepada jemaat Korintus yang memegahkan diri atas karunia rohani yang mereka miliki (ps. 12-14). Jika mereka menyadari bahwa semua itu adalah karih karunia, maka mereka tidak akan menyombongkan hal itu (bdk. 4:7 “Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?”).

Karunia rohani yang melimpah (ay. 5)
Paulus tidak hanya mensyukuri karunia rohani bagi jemaat Korintus, tetapi dia secara khusus mensyukuri kuantitas karunia yang diberikan. Jemaat Korintus bukan hanya diberi karunia rohani, tetapi juga diperkaya (bentuk aktif “menjadi kaya” dalam LAI:TB sebenarnya tidak terlalu tepat). Bentuk pasif di sini jelas merujuk pada Allah sebagai subjek. Penggunaan kata “diperkaya” menyiratkan bahwa mereka memiliki banyak karunia rohani. Di ayat 7 Paulus bahkan secara eksplisit mengatakan bahwa mereka tidak kekurangan suatu karunia pun.

Karunia rohani yang paling disalahgunakan (ay. 5)
Walaupun ada banyak macam karunai rohani (bdk. ps. 12), Paulus dalam ucapan syukurnya hanya menyebutkan dua di antaranya, yaitu “perkataan” (logos) dan “pengetahuan” (gnosis). Dua kata ini merupakan kosa kata yang unik dalam konteks Korintus. Kata logos muncul 64 kali dalam tulisan Paulus, 26 di antaranya ditemukan di surat 1 dan 2 Korintus, sedangkan gnosis muncul 23 kali dengan 16 di antaranya ada di surat 1 dan 2 Korintus. Dalam daftar karunia rohani di pasal 12, logos dan gnosis bahkan muncul bersamaan (12:8). Dari pemunculan dua kata ini kita dapat menyimpulkan bahwa karunia logos merujuk pada segala macam karunia rohani yang berkaitan dengan berkata-kata (misalnya bahasa rohani, penafsiran bahasa roh, perkataan hikmat), sedangkan gnosis berkaitan dengan segala jenis pengetahuan rohani yang diberikan Roh Kudus (misalnya hikmat, nubuat, dsb.).

Penyebutan logos dan gnwsis sebagai fokus ucapan syukur Paulus merupakan hal yang menarik. Mengapa? Karena dua jenis karunia inilah yang paling sering disalahgunakan oleh jemaat Korintus! Mereka merasa diri berhikmat dan menganggap inji sebagai kebodohan (bdk. 1:17-18, 25-29; 2:1-4). Mereka yang menganggap diri “berpengetahuan” justru menggunakan hal itu untuk menimbulkan syak di hati orang lain yang masih lemah (8:1, 7). Begitu pula dengan mereka yang diberi karunia bahasa roh telah menganggap diri mereka lebih rohani dan penting daripada orang lain (ps. 14).

Karunia rohani sebagai konfirmasi Injil (ay. 6)
Ucapan syukur Paulus tidak berhenti pada keberadaan karunia-karunia rohani dalam jemaat Korintus. Dia melihat hal ini sebagai bentuk peneguhan bagi pemberitaan Injil yang dia lakukan (ay. 6). Kata “diteguhkan” di ayat ini merpakan kosa kata perdagangan legal. Suatu transaksi yang besar pada zaman kuno perlu diteguhkan, misalnya dengan dokumen-dokumen penting, uang muka atau meterai. Fakta bahwa jemaat Korintus diberi karunia rohani yang berlimpah menunjukkan bahwa usaha pekabaran Injil Paulus tidak sia-sia.

Kita harus memahami bahwa memiliki kemampuan supranatural bukanlah jaminan bahwa seseorang sudah diselamatkan. Saul (1Sam. 19:23-24), nabi-nabi palsu (Mat. 7:21-23) dan pengikut iblis (Why. 13:13-14; 19:20) juga memiliki hal-hal yang supranatural. Beberapa orang yang dari luar termasuk bagian dari orang Kristen dan menikmati karunia-karunia rohani tertentu ternyata adalah orang-orang yang tidak pernah bertobat sungguh-sungguh (Ibr. 6:4-9).

Kita harus memahami pernyataan Paulus di 1 Korintus 1:6 tersebut dalam terang 1 Korintus 12. Sebelum membahas tentang karunia rohani (ay. 4-11), Paulus lebih dahulu menegaskan peranan Roh Kudus dalam keselamatan (ay. 1-3). Dia ingin menegaskan bahwa setiap orang yang sudah diselamatkan pasti memiliki karunia rohani tertentu (bdk. kata “semua orang” atau “tiap-tiap orang” di ayat 6, 7, 11). Setiap orang percaya adalah anggota tubuh Kristus yang memiliki fungsi tertentu. Jadi, pemberian karunia kepada seseorang menunjukkan bahwa orang itu sudah menerima Injil. Dalam kalimat yang sederhana, orang yang memiliki karunia rohani belum tentu diselamatkan, tetapi orang yang sudah diselamatkan pasti memiliki karunia rohani tertentu.



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 23 September 2007

No comments: