11 September 2008

A SEARCH FOR SPIRITUALITY (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

A SEARCH FOR SPIRITUALITY

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
National Reformed Conference 1999 - Wisma Kinasih, Sukabumi



“Latihlah dirimu beribadah (Train yourself to be godly)”
– 1Tim 4:7b –



Pendahuluan
John Naisbitt dalam bukunya, Megatrends 2000, meng­utarakan bahwa salah satu trend menjelang akhir abad XX ini adalah satu ledakan spiritual. Dan ledakan spi­ritual ini sepertinya memang merupakan kenyataan. Ma­nusia berbondong-bondong kembali ke berbagai praktik agamawi. Akibatnya, tepat seperti dikatakan oleh Albin,1 bahwa istilah “spiritualitas” merupakan istilah yang sangat membingungkan tetapi begitu terkenal saat ini.




A. LATAR BELAKANG SEJARAH
Pemikiran tentang “spiritualitas” tidak pernah secara serius dibicarakan di dalam Kekristenan sebagai satu bidang tersendiri, sampai Giovanni Sacramelli (1687-1752), seorang paderi Serikat Jesus, mulai mengkaitkan theologi asketisme dan mistis sebagai suatu ilmu pengetahuan (sains) kehidupan spiritual. Hal ini kemudian semakin berkembang di akhir abad XIX dan awal XX. Tren ini menjadi meluas pada paruhan kedua abad XX, setelah perang dunia II selesai. Tentu bukan tanpa alasan jika kini kita begitu banyak dikitari oleh istilah ini.
1. Mandulnya Modernisme dan Rasionalisme
Ledakan spiritualitas manusia merupakan suatu imbas-balik dari kekeringan spiritual yang manusia alami ketika manusia terjebak di alam rasionalisme. Sejak berkembangnya rasionalisme di abad XVII, manusia berusaha untuk membuang semua yang berbau supranatural. August Comte mengajarkan evolusi agama dengan menekankan bahwa manusia yang masih percaya kepada Allah adalah manusia yang terbelakang atau belum modern. Semakin pri­mitif, semakin banyak Allah yang perlu disembah. Konsep ini menjadikan manusia yang merasa modern dan maju, terpaksa dan harus meninggalkan semua sifat kerohaniannya. Manusia hanya terorientasi kepada hal-hal yang bersifat materi dan duniawi.

Namun, situasi ini justru menyebabkan manusia semakin hari semakin kering. Pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang berdaging dan berroh. Ia adalah makhluk jasmaniah dan rohaniah. Ketika manusia hanya mendapat pemuasan jasmaniah, tetapi tidak diberi “makanan” rohaniah, maka perlahan tetapi pasti ia akan kelaparan. Puncak kekecewaan terjadi ketika semua upaya jasmaniah hanya menyebabkan pecahnya perang dunia I dan II. Manusia mulai berhenti untuk mengagungkan semua nuansa jasmaniah, dan mulai mencari hal-hal yang rohaniah, seperti yang dulu pernah mereka alami.

Oleh karena itu, janganlah heran, apabila kita sekarang seolah-olah mendapatkan respon yang begitu manis jika berbicara tentang hal-hal rohani, tidak seperti beberapa puluh tahun yang lalu, ketika manusia masih menganggap alangkah primitifnya orang yang masih bisa percaya kepada Allah. Namun, apakah ini suatu perkembangan spiritualitas yang sejati?


2. Globalisasi dan New Age Movement
Ada hal kedua yang melatarbelakangi gejala ledakan spiritualitas modern saat ini, yaitu globalisasi. Perkembangan komunikasi yang sedemikian hebat di paruhan kedua abad ini, menyebabkan dunia menjadi sedemikian sempit dan seolah-olah tak berbatas lagi. Seseorang bisa pagi hari di Jakarta, sore hari ada di Hongkong, esok sorenya sudah di Honolulu, dan esoknya lagi sudah di New York. Dunia seakan sedemikian sempit. Bukan itu saja, apa yang terjadi di Jerman saat ini, dalam hitungan detik sudah bisa tersiar dan dilihat di seluruh dunia melalui televisi, internet, dan berbagai sarana lainnya. Globalisasi menyebabkan manusia harus dalam waktu yang sangat singkat melihat keberbagaian budaya dari negara dan kultur yang lain. Manusia menjadi terbuka melihat begitu banyak hal yang tak pernah mereka lihat sebelumnya.

Pada situasi yang pertama, yaitu manusia di Barat yang sedang kehausan akan spiritualitas yang kering, tiba-tiba kini ditayangkan nuansa Timur yang penuh dengan suasana mistis. Agama-agama Timur yang didominasi oleh aspek mistik begitu menakjubkan mereka-mereka yang selama ini membuang semua hal-hal yang bersifat supranatural. Mereka harus terkejut dan terheran-heran melihat orang yang memotong lidahnya dengan begitu mudah, lalu menempelkannya kembali tanpa ada bekas luka. Atau orang yang mengkaitkan berpuluh-puluh kaitan ke kulit dan dagingnya lalu dengan rantai yang terkait pada kail-kail yang menempel di kulitnya itu, ia menarik sebuah lokomotif. Atau seorang kuda lumping yang dengan lahap memakan pecahan botol dan gelas tanpa terjadi luka sedikitpun.

Maka ada keinginan untuk mengkombinasikan semua bentuk-bentuk praktik mistis ini dengan format rasionalisme Barat yang selama ini mereka pegang. Muncullah apa yang disebut sebagai New Age Movement (Gerakan Zaman Baru).

New Age Movement berusaha untuk mengemas format mistik Timur di dalam pola rasionalisme Barat. Itu alasan format ini kini dengan mudah diterima di tengah kultur Barat yang sebenarnya masih diwarnai oleh format rasionalisme.


3. Spiritualisme Indonesia Modern
Mengapa kita yang di Timur harus berbicara dengan mengacu pada format Barat? Pada hakekatnya, kita tidak bisa memungkiri bahwa iman Kristen kita saat ini masih sangat dangkal pemahamannya. Pada saat kita sebagai orang Kristen harus berhadapan dengan dukun-dukun dan para paranormal yang tradisional, maka lebih mudah kita menolaknya, dengan alasan tidak sesuai atau bertentangan dengan iman Kristen.

Ditambah, situasi pendidikan dan kehidupan praktis masyarakat penentu kebijaksanaan kita sangatlah dipengaruhi oleh budaya Barat. Satu mitos bahwa hal-hal yg berbau Barat sangatlah tinggi, sangat baik, dan perlu diikuti merupakan format yang sangat dominan, baik dalam pendidikan, dalam ekonomi, politik, bahkan kehidupan keseharian.

Namun, dengan masuknya New Age Movement, timbul arus balik, yang mengajak melihat dunia Timur. Ajakan ini juga dari Barat, sehingga kita mau kembali melihat ke kebudayaan kita di Timur. Akibatnya, maka perdukunan, penyembuhan alternatif, paranormal, ramalan nasib, dll. menjadi marak di dunia supra-modern ini. Bersamaan dengan itu, masuk pula berbagai ajaran spiritualisme (baca: spiritisme) yang mengajak orang untuk bermeditasi, out-of-the-body-experience (pengalaman keluar dari tubuh), meditasi transendental dan berbagai format lainnya, yang dikatakan bisa membuat manusia lebih tenang, lebih damai, kurang stress dll.




B. Polaritas Spiritualitas
1. Kerancuan Gagasan Spiritualitas
Ketika manusia membicarakan masalah spiritualitas, maka iman Kristen langsung manyambarnya. Hal ini memang bukan kebetulan, karena iman Kristen yang dipengaruhi oleh Liberalisme abad XVII telah menyebabkan Kekristenan menjadi kering. Namun, terkadang, ide spiritualitas ini tidak dituntaskan, sehingga kehilangan arah. Banyak orang Kristen ketika ditanya tentang apa itu spiritualitas, ternyata tidak mampu menjawab secara unik dari iman Kristen. Jawaban spiritualitas yang diberikan lebih menurut kepada gagasan duniawi atau agama-agama Timur lainnya.

Beberapa gagasan spiritualitas yang ditemukan antara lain: (a) Ide bahwa sebagai orang Kristen kita harus lebih banyak bermeditasi, merenung dan menenangkan diri. Semakin kita menjadi orang yang merasakan damai, tidak mudah marah, itulah orang-orang rohani. Itulah tanda kerohanian kita sedang menapak naik ke tempat yang tinggi. Jika memang itulah ide spiritualitas Kristen, apa bedanya dari iman yang lain, atau bahkan orang Ateis pun bisa melakukan dan sudah/sedang melakukannya. (b) Ide lain seorang berohani baik, adalah ketika ia melakukan berbagai ritual rohani secara kuantitatif. Gagasan ini dijalankan dengan memperbanyak waktu untuk berdoa, berpuasa, kalau perlu retreat pribadi secara berkala, dan berbagai sarana yang dianggap bernuansa spiritual. Mereka yang berdoa dua jam secara nonstop dianggap lebih rohani dari mereka yang berdoa 15 menit. Atau mereka yang berpuasa tiga kali seminggu dianggap lebih rohani dari dari orang yang tidak pernah berpuasa atau berpuasa satu kali satu tahun. Demikian juga, jika ia setiap tahun memakai waktu satu bulan meninggalkan kesibukan kerja atau kuliahnya dengan menyendiri di gunung atau di bukit-bukit doa, dianggap lebih rohani dari mereka yang tidak seperti itu. Maka dalam hal ini praktik atau ritual keagamaan dianggap menjadi ukuran spiritualitas. Format seperti ini disodorkan oleh beberapa tokoh Kristen, seperti Kenneth Hagin dll.

Hal di atas tidak sepenuhnya salah, tetapi jika spiritualitas diukur dari tindakan seperti itu, maka kita akan lebih mirip seperti orang Hindu atau Islam ketimbang Kristen. Di dalam Alkitab, mungkin kita lebih mirip dengan para orang Farisi ketimbang menjadi murid Kristus.

Situasi dan kerancuan pengertian tentang konsep spiritualitas Kristen telah menyebabkan banyak orang Kristen yang tidak tahu lagi bagaimana harus menjadi manusia rohani (The Spiritual Man).


2. Infiltrasi Spiritisme dalam Spiritualitas Kristen
Problematik kedua yang dihadapi oleh orang Kristen adalah tersisipnya filosofi Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) masuk ke dalam Kekristenan.

Seperti telah diungkap di atas, New Age Movement memberikan nuansa mistik kepada dunia modern yang sudah terlalu rasional ini. Akibatnya, Kekristenan mencampur-adukkan antara spiritualitas dengan mistik atau spiritisme.

Mistiksisme atau spiritisme adalah upaya-upaya manusia untuk mendapatkan hubungan dengan dunia roh, agar ia mendapatkan manfaat tertentu bagi hidupnya. Di dalam dunia Timur, praktik mistik merupakan pemandangan sehari-hari. Dengan mudah kita melihat praktik-praktik di mana kita "bermain-main" dengan dunia supranatural. Dari mulai di sekolah kita mengenal jailangkung, lalu kita melihat praktik kuda lumping. Belum lagi kita mengenal debus. Kitapun sering mendengar praktik semedi untuk mendapatkan kekuatan gaib, kekayaan atau bahkan daya penarik seksual untuk menarik lawan jenis yang kita inginkan. Semua praktik ini jika disarikan, rumusnya hanya satu: bagaimana saya berelasi dengan dunia roh agar saya mendapatkan keinginan saya atau hal-hal yang menguntungkan saya. Inilah esensi praktik mistisisme.

Iman Kristen mengajarkan prinsip yang sama sekali berbeda, terbalik 180%. Namun, ternyata praktik Kristen sering kali justru mirip dengan format mistik ini. Ada ajaran Kristen yang mengatakan bahwa kita harus melakukan tindakan-tindakan spiritual tertentu (baca: spiritisme), seperti meditasi, latihan-latihan tertentu agar kita bisa semakin memiliki kuasa ilahi. Kita bisa memiliki kuasa untuk menyembuhkan, untuk meramal (bernubuat), menjadi kaya, bahkan mem­bang­kit­kan orang mati. Itu berarti, spiritualisme sudah disejajarkan atau diidentikkan dengan spiritisme. Tidak heran jika ada orang yang mengatakan: “Saat ini saya melihat banyak sekali praktik dukun Kristen.”

Itu berarti, Kekristenan telah terinfiltrasi dengan praktik mistik. Akibatnya, bagi orang luar yang tidak mengerti perbedaan di dalam Kekristenan, akan melihat bahwa praktik Kristen adalah juga praktik mistik, yang menggunakan berbagai tenaga satanik, seperti tenaga prana, tenaga kundalini dan berbagai tenaga kuasa kegelapan lainnya.


3. Dualisme Spiritualitas
Gejala di atas, telah dengan tanpa disadari mengakibatkan dualisme dalam format Kekristenan modern ini. Disatu pihak, manusia ingin kelihatan rohani dan sepertinya mengejar hal-hal rohani. Mau menjadi manusia rohani. Tetapi dibalik itu, sebenarnya semua praktik kerohaniannya bermuara pada keinginan-keinginan duniawi. Mereka menghendaki keuntungan, manfaat dan kenikmatan duniawi. Jadilah mereka manusia yang sangat duniawi. Jadi inilah dualisme kehidupan spiritualisme modern. Tak terkecuali terjadi juga di banyak orang Kristen. Banyak orang Kristen yang melakukan praktik Kristen, bahkan kelihatan sedemikian bersemangat, begitu saleh, karena dibelakang itu semua ada keinginan untuk mendapatkan manfaat-manfaat duniawi yang sedang dikejarnya. Ada yang ingin sembuh dari sakit, ada yang ingin kaya, ada yang ingin mendapatkan gadis atau pria pujaannya, dan berbagai upaya lain, termasuk ingin masuk UMPTN atau kerja di kantor tertentu. Maka disini, terlihat, disatu pihak ia ingin dilihat sebagai orang yang rohani, tetapi dilain pihak sebenarnya ia sedang sangat duniawi. Jika Kekristenan tidak mampu memilah permasalahan spiritualitas Kristen ini dengan baik, maka Kekristenan akan mengalami distorsi pengertian dan akan berdampak besar dalam kehidupan dan pelayanan Kristen itu sendiri.




C. SPIRITUALITAS SEJATI (REFORMED SPIRITUALITY)
Lingkup “Spiritualitas Kristen” memang tidak kecil. Kehidupan spiritual itu sendiri merupakan sesuatu yang sangat kompleks.2 Namun, harus jelas bahwa spiritualitas Kristen adalah “keterlibatan hubungan yang utuh dari suatu pribadi yang utuh kepada Allah Tritunggal yang kudus, yang menyatakan diri-Nya melalui Alkitab. Relasi ini perlu dilihat dari berbagai aspek.
1. Roma 12:1-2
Roma 12:1-2 memberikan kepada kita gagasan tentang salah satu prinsip utama spiritualitas yang sejati. Roma 12 merupakan awal bagian praktis dari kehidupan iman Kristen di dalam pasal 12-16. Paulus memulainya dengan suatu “tuntutan” untuk kita mempunyai “ibadah yang sejati” (true worship).

Jika kita menelusurinya, jelas yang dimaksud oleh Paulus dengan ibadah yang sejati, adalah “mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah.” Di dalamnya ada unsur kehidupan yang praktis, yang beratribut kudus dan yang berelasi penuh dengan ketaatan kepada Allah. Inilah Spiritualitas yang sejati.


2. Kedaulatan Allah dan Spiritualitas
Karena spirtualitas Kristen merupakan relasi yang utuh dan menyeluruh dengan Allah Tritunggal, maka spiritualitas sejati tidak bisa dilepaskan dari kedaulatan Allah. Spiritualitas harus dimulai dari Allah yang adalah Roh. Dialah Sumber dan Titik Final dari seluruh spiritualitas. Allah adalah sumber disiplin, salah satu dari empat hal yang mengkaitkan spiritualitas.3 Berbicara tentang spiritualitas tanpa kembali mengakui akan Allah yang berdaulat atas hidup kita, bukanlah spiritualitas sejati. Justru spiritualitas adalah kembalinya manusia secara utuh berhadapan dengan Allah yang Roh adanya. Dialah Pencipta dan Pemilik hidup kita. Kerohanian yang bertumbuh adalah perjuangan untuk tidak mau berlawanan arah dengan Sang Pencipta. Itulah spiritualitas sejati.


3. Spiritualitas dan Budaya
Salah satu ide spiritualitas yang banyak dipasarkan adalah spiritualitas haruslah lepas dari dunia ini. Semakin rohani seseorang, semakin ia harus menjauh dari dunia, semakin harus jauh dari budaya. Tetapi itu bukanlah spiritualitas sejati.
Alkitab menegaskan bahwa spiritualitas sejati adalah panggilan seseorang hidup bagi Tuhan untuk diutus ke tengah dunia. Ide spiritualitas sejati adalah ide menjadi garam dan terang dunia (Mat. 5:13-16).

Seorang yang rohani adalah seorang yang mampu menyatakan kemuliaan dan kesucian Allah di tengah dunia. Inilah doa Tuhan Yesus di Yoh. 17. Biarlah kita menjadi duta di tengah budaya. Kristus berdoa: “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran” (Yoh. 17:18-19). Bersifat rohani tidak sama dengan asketis atau hidup melarikan diri dari dunia. Bersifat rohani justru menyatakan kehidupan iman yang taat dan saleh di tengah dunia berdosa. Hidup secara riil di tengah dunia, karena Tuhan mengutus kita masuk kembali ke dalam dunia. Justru kerohanian kita nyata di dalam kuliah kita, di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga kita. Hidup saleh dan hidup rohani adalah hidup praktis di tengah dunia yang riil. Inilah spiritualitas di dalam budaya. Panggilan ini yang menjadikan orang Kristen yang rohani adalah orang Kristen yang semakin mengerti akan panggilan (mandat) budayanya.

Konsep ini merupakan penerobosan yang dilakukan oleh para Reformator ketika menanggapi sikap para imam Katolik yang cenderung untuk hidup mengasingkan diri.


4. Spiritualitas dan Penginjilan
Berbicara tentang spiritualitas bukan berbicara tentang kesombongan akan kesalehan pribadi kita. Spiritualitas, hidup ibadah yang sejati, adalah hidup menjadi saksi bagi dunia. Kesalehan tanpa missi kesaksian dan membawa orang mengenal Allah adalah dosa. Itu berarti kita akan memuarakan semua kesalehan kita pada diri kita sendiri. Maka seluruh spiritualitas tanpa panggilan missi merupakan suatu kejijikan di hadapan Allah.

Tuhan menginginkan seluruh kesalehan hidup kita pada akhirnya boleh membawa kita semakin menjadi saksinya. Hal ini merupakan titik penting di dalam penginjilan.

Pada saat kita memberitakan Injil, jarang sekali orang akan bertanya akan teori keselamatan yang kita sodorkan atau sejauh mana kita mengerti prinsip dan theologi penginjilan kita. Tetapi yang sering terjadi justru orang akan bertanya sejauh mana apa yang kita katakan sudah terbukti di dalam kehidupan kita. Orang ingin melihat kesaksian hidup kita secara nyata. Dan mereka justru ingin melihat sejauh mana kita sungguh taat kepada Tuhan dan sungguh-sungguh menjalankan kebenaran-Nya. Inilah spiritualitas yang sejati.




D. PRACTICAL SPIRITUALITY
1. Worship: The Obedience of the Spirit
Kerohanian sejati adalah kesadaran bahwa roh kita harus taat kembali kepada Roh Allah, sebagai Sumber, Pencipta, Penopang, dan Penghakim dari roh kita. Inilah ibadah yang sejati. Ibadah rohani bukanlah suatu perjuangan untuk mencari kesenangan diri atau kenikmatan duniawi. Ibadah rohani juga bukan suatu gejala katarsis dalam psikologi. Ibadah sejati adalah kembalinya roh kita, taat kepada Roh Allah (Rm. 12:1).
Panggilan ibadah kita adalah panggilan untuk kita semakin taat kepada Tuhan. Semakin rohani, kita bukan semakin mendikte atau memerintah Tuhan. Semakin rohani, semakin kita akan mentaati Allah dan semakin rela dibentuk dan diarahkan oleh Tuhan.


2. Holiness: The Attribute of the Spirit
Spiritualitas praktis yang kedua adalah perjuangan untuk memiliki kualitas rohani seperti yang Allah ke­hen­daki. Firman Tuhan dengan tegas menyatakan: “kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (Im. 11:44-45; 19:2; 1Ptr. 1:16).

Bersifat rohani bukanlah dinyatakan dengan sekadar berapa lama berdoa atau berapa banyak berpuasa (sekalipun itu tidak salah jika dilakukan), tetapi dari seberapa jauh, terjadinya transformasi dalam kehidupan, sehingga kita “lebih pas” menjadi anak-anak Allah yang tidak mempermalukan Dia sebagai Bapa kita. Inilah yang Allah kehendaki dalam spiritualitas Kristen. Allah ingin agar setiap anak-anak-Nya bisa menyatakan sifat-sifat-Nya (yang komunikatif). Seorang bapa sangat sedih apabila anaknya menjadi penjahat atau pezinah yang mempermalukan orang tuanya. Ia akan menghendaki anaknya membawa nama harum bagi keluarga melalui tindakan kehidupannya. Apalagi Bapa di sorga, Sumber segala kebajikan dan kesucian.


3. Meditation: The Relation of the Spirit
Aksi praktis yang ketiga adalah meditasi. Meditasi Kristen haruslah di dasarkan pada keinginan pembangunan relasi ketaatan dari roh kita terhadap Roh Allah. Inilah relasi roh ke Roh. Tuhan Yesus mengatakan bahwa barangsiapa mau menyembah Allah, hendaklah ia menyembah Dia dalam roh dan kebenaran (Yoh. 4:23-24). Inilah ide utama meditasi. Meditasi bukan usaha menenangkan diri, atau bahkan dalam ide New Age adalah “menyatu dengan Allah dan menjadi Allah.” Meditasi bukan sarana agar kita lebih sakti dan mempunyai berbagai kuasa supranatural. Itu bukanlah ajaran firman Tuhan. Firman mengajar agar melalui meditasi, kita semakin taat kepada Allah, semakin tidak menjadi serupa dengan dunia, semakin memikirkan pikiran Allah, dan semakin hidup dalam kebenaran (Mzm. 119; Mat. 16:21-24).

Meditasi dalam Kekristenan bukanlah mengosongkan diri dan mencari ketenangan diri, lepas dari semua problema. Meditasi dalam Kekristenan adalah membangun relasi dengan Allah dan firman-Nya. Alkitab mengajar kita untuk merenungkan firman Allah siang dan malam. Inilah meditasi Kristen. Inilah pembangunan relasi yang aktif dengan Allah. Itu alasan Tuhan Yesus mengajarkan: “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka sekaliannya akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33).




Penutup
Iman Kristen adalah iman yang spiritual, bukan sekuler. Sangat perlu memang untuk memelihara keseimbangan antara pengertian rasional, pengajaran doktrin, kehidupan jasmaniah, tetapi perlu juga relasi yang hidup dengan Allah, berdoa, saat teduh atau meditasi Kristen, serta waktu untuk secara pribadi merenungkan firman Tuhan. Diperlukan keseimbangan untuk makanan jasmani kita dan juga makanan rohani kita. Tidak cukup kita memberi makan jasmani kita, sementara kerohanian kita menjadi kering.

Spiritualitas Kristen merupakan bentuk spiritual yang diminta oleh Alkitab. Motivasi dan formatnya berbeda sama sekali dari yang dunia tawarkan dan ajarkan. Adalah kesalahan besar jika kita mencampur-adukkan format spiritualitas Kristen dengan spiritualitas dunia yang berbau mistik dan spiritisme.

Memang perlu disadari bahwa menurut Alkitab relasi spiritual bisa dibangun dengan Allah, tetapi juga dengan setan. Jika kita tidak mampu memilah dengan baik, kita akan mudah terkecoh dan jatuh kepada spiritualitas palsu yang disodorkan oleh setan.

Maka pencarian spiritualitas Kristen perlu dikerjakan dengan kecermatan yang tinggi, khususnya kembali kepada kebenaran firman Tuhan sebagai basis epistemologis bagi iman kita. Tanpa kembali kepada basis Kitab Suci maka pencarian spiritualitas Kristen bagaikan upaya mencari seekor kelinci di tengah rimba raya yang luas. Kemanapun melangkah bisa dianggap sebagai langkah yang benar, tanpa tahu persis di mana kelinci itu sedang berada. Amin.



Bibliografi
Albin, T. R. “Spirituality” dalam New Dictionary of Theology, Sinclair B. Ferguson (ed.). Downers Grove, Illinois: IVP, 1988.
Calvin, John. Calvin: Institute of the Christian Religion., terj. John T. McNeill. Philadelphia: Westminster Press, 1960.
Hulse, Erroll. “Spiritual Disciplines for the Christian Life” dalam Reformation Today, July/August 1999.
Peterson, Eugene H. The Contemplative Pastor. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1989.




Catatan kaki:
1. T. R. Albin. “Spirituality” in New Dictionaryof Theology, hlm. 656.
2. Albin, hlm. 657.
3. Beberapa buku, termasuk Albin, mengungkapkan bahwa spiritualitas merupakan paduan dari empat unsur, yaitu: doktrin, disiplin, liturgi, dan kehidupan.




Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.