25 January 2009

Resensi Buku-64: AJARLAH KAMI BERGUMUL: Refleksi Atas Kitab Mazmur (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D.--Cand.)

...Dapatkan segera...
Buku
AJARLAH KAMI BERGUMUL
(Refleksi Atas Kitab Mazmur)


oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.)

Penerbit: Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2008





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Hidup sebagai orang percaya adalah hidup yang terus-menerus dikuduskan oleh Roh Kudus agar taat kepada Kristus. Salah satu tanda hidup orang percaya yang dikuduskan adalah hidup yang bergumul. Hidup Kristen yang tak pernah bergumul adalah hidup Kristen yang sia-sia. Mengapa? Karena bergumul adalah tanda kita memiliki hubungan pribadi dengan Allah, bukan hanya mengenal Allah secara kognitif/theologi. Makin kita bergumul di hadapan Allah, kerohanian kita makin ditumbuhkan, karena kita semakin mengenal Allah kita secara eksistensial. Pergumulan itu ditandai dengan penyesalan dan kekaguman, keyakinan dan keraguan, jawaban dan pertanyaan, sorak-sorai dan ratapan, bahkan berdiam diri. Semua itu bukan bertujuan ingin mempertanyakan kedaulatan Allah lalu meninggalkan-Nya, tetapi semuanya bertujuan agar orang percaya makin mengenal Allah secara pribadi di dalam setiap jalan-jalan-Nya yang sering kali tidak kita pahami. Dengan bahasa yang sederhana dan mendalam, hamba-Nya, Pdt. Billy Kristanto menuntun kita untuk terus bergumul melalui refleksi singkat atas Kitab Mazmur yang penuh dengan pergumulan para penulisnya (termasuk Raja Daud) di hadapan Tuhan. Beberapa konsep dari buku ini telah mencerahkan dan mengoreksi hati dan pikiran saya yang sering kali lemah. Bukan hanya buku, secara pribadi, Pdt. Billy Kristanto adalah sosok hamba Tuhan yang cerdas, bijaksana, namun memiliki kerendahan hati dan tingkat spiritualitas yang matang. Mendengarkan banyak khotbah dan pengajaran dari beliau membuka wawasan iman saya dan mengoreksi spiritualitas saya. Biarlah Tuhan boleh memakai buku ini dan penulisnya menjadi berkat bagi pertumbuhan kerohanian kita agar makin memuliakan Tuhan. Soli Deo Gloria.





Profil Pdt. Billy Kristanto:
Pdt. Billy Kristanto, Dip.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.) lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah menamatkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin pada tahun 1996 Pdt. Billy Kristanto melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory). Beliau melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Jakarta sejak Februari 1999 dan pada tahun yang sama memulai studi theologi di Institut Reformed dan lulus pada tahun 2002 dengan mendapatkan gelar Master of Christian Studies (M.C.S.) beliau menjabat sebagai Dekan School of Church Music di Institut Reformed Jakarta. Ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII di tahun 2005 beliau saat ini menggembalakan jemaat MRII Berlin, MRII Hamburg, PRII Munich, dan Persekutuan Reformed Stockholm. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang musikologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianty Herawati dan dikaruniai dua orang anak, Pristine Gottlob Kristanto dan Fidelle Gottlieb Kristanto.

Matius 12:38-42: TRUE RELIGIOUSITY (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 18 Februari 2007

True Religiousity
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:38-42


Hari ini kita masuk dalam suatu bagian pelik, yaitu pergunjingan antara Ketuhanan Kristus dan kereligiusitasan manusia. Khususnya setiap orang Kristen yang telah bertahun-tahun menjadi Kristen hendaklah berhati-hati jangan sampai terjebak dalam suatu bentuk keagamaan dan kita menjadi kehilangan makna. Betapa sia-sia seluruh ibadah dan pelayanan yang kita kerjakan selama bertahun-tahun kalau kita tidak kembali pada iman sejati sebab semua perjuangan kita akan berakhir dengan kebinasaan.
Peristiwa dimulai ketika orang-orang Farisi menuntut legitimasi Kristus. Para ahli Taurat dan golongan Farisi – orang yang katanya “beragama“ ini sekarang berjumpa dengan Kristus Yesus yang menjadi esensi iman. Seberapa jauhkah orang-orang yang mengaku “mengerti agama“ ini dapat beriman pada Kristus? Perdebatan antara orang Farisi dengan Kristus ini tidak berakhir memuaskan, yaitu pertobatan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Tidak! Adalah wajar kalau orang meminta legitimasi. Legitimasi ini juga yang diminta oleh Musa pada Allah. Tentang diri-Nya, Allah menyatakan: “I am that I am.“ Pertanyaannya bagaimana membangun legitimasi? Religiusitas tanpa legitimasi adalah religiusitas palsu. Religiusitas yang dibangun di atas iman yang fanatik itu membinasakan. Kalau kita tidak pernah memahami obyek yang kita percaya berarti kita telah masuk dalam suatu penipuan diri dan akibatnya adalah kehancuran. Karena itu, sebelum kita mempercayakan hidup kita maka kita harus mengujinya terlebih dahulu. Siapakah dia? Layakkah dia untuk dipercaya? Apakah setiap perkataannya merupakan kebenaran? Sesuaikah hidupnya dengan perkataannya? Ini menjadi pertanyaan legitimasi sebelum akhirnya kita memutuskan untuk mempercayakan hidup kita padanya. Iman sejati haruslah mempunyai obyek sejati.
Meminta legitimasi iman bukanlah hal yang salah, itulah sebabnya ketika orang Farisi meminta legitimasi pada Kristus, Tuhan Yesus tidak menolaknya. Yang menjadi pertanyaan adalah untuk apa mereka membutuhkan legitimasi? Kenapa legitimasi diberikan pada orang Farisi? Orang-orang Farisi adalah orang-orang terpandang tetapi mereka mempunyai sifat jahat. Perkataan keras dan tajam dikatakan Kristus pada mereka, yakni ular beludak dan mereka juga dikatakan sebagai angkatan yang jahat dan tidak setia (Mat. 12:39). Kata “tidak setia“ ini dalam bahasa aslinya mempunyai arti penzinah. Namun pada angkatan yang jahat ini, Tuhan Yesus tetap memberikan tanda yang mereka minta, yaitu tanda nabi Yunus. Tanda nabi Yunus ini bukanlah tanda yang sederhana.
1. Lordship of Christ or Humanistic Religiousity
Kalau kita tidak dapat memilah antara religiusitas humanistik dan the Lordship of Christ maka kita akan jatuh dalam kegagalan hidup beriman seperti yang terjadi pada orang Farisi. Tanda yang diminta oleh orang Farisi dari Kristus sesungguhnya adalah tanda yang sesuai dengan keinginannya. Orang Farisi mengasumsikan Kristus sama seperti guru yang lain yang perlu meminta legitimasi. Pertanyaannya adalah apakah Kristus menyetujui posisi itu? Tidak! Ketika orang Farisi mempunyai konsep berpikir maka konsep berpikir mereka langsung dikoreksi oleh Kristus dengan cara berpikir Kristus. Inilah iman sejati. Iman di dalam Kristus adalah iman yang kembali pada legitimasi Kristus bukan legitimasi manusia. Ini titik pertama dalam perdebatan antara legitimasi antara religiusitas humanistik dengan legitimasi Kristus sebagai Tuhan. Kristus memberikan legitimasi dan legitimasi yang diberikan oleh Kristus ini sangat dahsyat dan kuat tetapi legitimasi yang diminta oleh orang Farisi dan ahli Taurat tidak sama dengan yang diberikan oleh Kristus.
Kalau kita mau mencoba berandai-andai, seandainya tanda yang diberikan oleh Kristus sama persis seperti yang diminta oleh orang Farisi dan ahli Taurat maka pertanyaannya apakah hal ini akan menjadikan mereka bertobat? Seharusnya mereka bertobat tetapi Alkitab mencatat tidak. Pertanyaannya apakah Allah harus menyesuaikan tanda-Nya dengan tanda yang diinginkan oleh manusia? Tidak! Tanda yang Kristus berikan berbeda dengan yang diharapkan oleh golongan Farisi dan para ahli Taurat. Disinilah letak perbedaan religiusitas duniawi dengan Ketuhanan Kristus. Ironisnya, hari ini banyak orang yang mempunyai pemikiran sama persis dengan orang Farisi dan ahli Taurat. Orang berpendapat bahwa untuk menginjili maka kita harus menyesuaikan dengan keinginannya. Sebagai contoh, orang ingin musik rohani seperti layaknya musik dunia maka gereja menyediakannya dan kalau orang sudah bertobat barulah kita bawa ke musik yang benar. Mungkinkah hal itu terjadi? Alkitab menegaskan orang yang lahir baru berarti segala sesuatu yang lama harus dibuang dan diganti dengan hal yang baru maka kalau yang baru itu justru menuju ke yang lama, itu tidak akan menjadikan orang bertobat. Tanda membawa seseorang kembali pada legitimasi asli. Sebaliknya kalau tanda itu tidak kembali pada legitimasi asli tetapi mencocokkan dengan apa yang diinginkan oleh manusia pada umumnya maka itu bukan tanda asli tetapi pemalsuan tanda. Saya adalah saya dengan tanda-tanda yang ada pada saya tetapi ketika tanda saya bertemu dengan orang lain, saya tidak memberikan tanda saya, saya mengikuti apa yang menjadi keinginan orang lain berarti saya sedang mengorbankan identitas diri saya, dengan kata lain saya tidak menjadi diri saya sendiri. Pertanyaannya saya membuat orang lain mengenal saya ataukah saya sedang menipu orang lain tentang saya. Namun dunia tidak suka kebenaran, dunia hanya suka apa yang dia suka. Ia tidak peduli meski yang kita katakan atau berikan itu kebohongan sebab yang terpenting adalah dia suka. Inilah dunia berdosa. Apakah Kristus membuang identitas-Nya dan mencocokkan identitas-Nya seperti yang diharapkan oleh golongan Farisi dan para ahli Taurat? Tidak! Kristus menuntut setiap manusia untuk mengikut pada tanda-Nya sebab tanda Kristus itulah tanda sejati. Inilah bedanya tanda dengan mujizat. Mujizat tidak bisa menjadi tanda; setiap orang dapat membuat hal yang spektakuler. Tanda itu menunjukkan siapakah Kristus; tanda menunjukkan identitas murni.
Dunia hanya ingin keagamaan yang cocok dengan pemikiran mereka, yaitu: 1) keagamaan yang selalu menolong setiap mereka berada dalam kesulitan sebab dunia tahu bahwa hidup di dunia tidaklah mudah, banyak faktor X yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia maka kalau ada agama yang dapat menolong mereka lepas dari kesulitan, manusia akan sangat suka. Orang tidak suka dengan tanda Yunus sebab tiga hari di perut ikan merupakan gambaran kelemahan. Demikian juga dengan tanda Anak Manusia tiga hari berada dalam rahim bumi, 2) keagamaan yang dapat memberikan rasa aman dari aspek tuntutan dosa. Sesungguhnya, manusia sadar kalau dirinya berdosa dan dosa itu harus dihukum maka manusia ingin agama yang membuatnya tidak terikat dan ia masih bisa berbuat dosa dan kalaupun ia telah berdosa maka masih ada jalan untuk menyelesaikannya. Inilah yang dunia suka.
Manusia tidak suka disadarkan akan dosa. Tanda yang mereka harapkan adalah tanda yang menyenangkan seperti tanda 5 roti 2 ikan yang dapat memberi makan 5000 orang. Namun tanda yang diberikan oleh Kristus justru tanda pertobatan. Orang Farisi dan ahli Taurat sangat memahami mengapa Yunus harus masuk dalam perut ikan, yakni karena ia melawan Tuhan. Tiga hari Yunus di perut ikan implikasinya pada Tuhan Yesus harus mati menanggung dosa manusia. Mereka tidak dapat menerima tanda Kristus sebab tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh manusia. Disinilah letak perbedaan the Lorship of Christ; kalau benar kita men-Tuhankan Kristus maka kita harus kembali pada tanda sejati dan kita akan men-Tuhankan Kristus dalam seluruh hidup kita.
Biarlah dalam seluruh aspek hidup kita, kita memohon pada Tuhan kalau kita meminta tanda, hendaklah tanda yang kita minta itu sesuai dengan apa yang Tuhan pikir bukan sebaliknya, Tuhan yang harus mencocokkan dengan kita. Mentuhankan Kristus berarti kita taat pada tanda Kristus. Sangatlah disayangkan, orang justru dibawa pada Kristus palsu seperti yang dunia berdosa inginkan. Cobalah tengok cara atau konsep beragama termasuk Kekristenan yang ada hari ini; semua keputusan dibuat berdasar keinginan dan tuntutan manusia. Maka tidaklah heran kalau hari ini menjumpai banyak orang Kristen yang berpindah ke agama lain yang sifatnya humanistik sebab “iman Kristennya“ juga berbasis pada religius humanistik. Biarlah kita mengevaluasi diri sudahkan kita mengenal “siapakah Kristus sejati“? Sudahkah kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita? Kita yang harus mengubah seluruh konsep berpikir kita untuk menjadi serupa dengan Kristus. Ingat, Allah bukan budak kita yang harus menuruti semua keinginan kita. Tidak! Manusia yang harus taat pada perintah Allah maka itu menjadikan seluruh hidup kita indah.
2. Lordship of Christ or Supremacy of Culture
Manusia mudah sekali dibawa ke dalam konsep yang salah, hal ini tidak aneh sebab sebelumnya telah mempunyai konsep iman yang palsu, yakni iman yang berpijak pada “allah-alah idol.“ Allah yang menjadi obyek iman itu tidak lebih merupakan pencerminan dari egoisme dan humanisme manusia seperti yang diungkapkan oleh Feurbach. Dunia berpendapat bahwa agama itu tidak lebih sebagai hasil pemikiran budaya. Jauh sebelumnya, golongan Farisi dan para ahli Taurat juga mempunyai konsep yang sama. Richard Niebuhr dalam bukunya Christ and Culture mengemukakan orang Yahudi sangat membenci Kristus sebab tanda Kristus membentur keagamaan Yahudi dan menghantam budaya Yahudi. Orang Yahudi telah menempatkan budaya di posisi paling atas dan hasil budaya antara lain, seni, arsitektur, tradisi termasuk keagamaan. Salah! Budaya telah bercampur dengan tradisi dan agama. Merupakan suatu kesalahan fatal kalau kita menyembah agama sebagai produk budaya; orang tidak akan pernah bertemu dengan Allah sejati karena “allah“ yang kita sembah itu tidak lebih hasil pemikiran kita secara budaya. Inilah keagamaan humanistik yang hari ini dijalankan oleh hampir seluruh manusia di setiap tatanan hidup dan semua kultur manusia. Alkitab menegaskan Allah harus berada di atas budaya dan Allah yang harus membentuk budaya; budaya harus tunduk di bawah agama. Kristus adalah the Lord of Culture dan orang Yahudi tidak suka hal ini, itulah sebabnya mereka bersepakat untuk membunuh Yesus Kristus. Orang Yahudi tidak ingin iman sejati itu berada di atas budaya. Teologi Reformed menyadari bahwa culture mandate harus tunduk di bawah iman; budaya harus kembali pada Kristus, the Lordship of Culture sebab Dia satu-satunya sandaran mutlak bagi manusia.
3. Lordship of Christ or Humanistic Sign
Tuhan Yesus adalah absolute standar namun dunia berdosa tidak mau kembali pada standar mutlak. Dunia menetapkan agama itulah yang harus menjadi standar akibatnya agama menjadi pluralistik dan bersifat relatifistik. Maka tidaklah heran kalau orang mencari agama yang cocok dengan keinginan kita begitu pula di Kekristenan, orang mencari gereja yang sesuai dengan keinginannya. Esensi iman telah rusak. Perhatikan, iman bukan cocok dengan kita; iman bukan apa yang kita suka; iman tidak bersifat relatifistik. Iman mengandung unsur kemutlakan dan Allah yang dipercaya sebagai dasar iman harus bersifat mutlak. Orang tidak pernah mau mengakui bahwa iman itu bersifat mutlak tetapi di sisi lain, orang harus mempunyai iman yang mutlak. Jadi kalau ada orang yang mengaku beriman Kristen tetapi tidak mengakuinya kebenaran Alkitab maka dapatlah dipastikan ia bukan Kristen. Pertanyaan lebih lanjut, ia beriman pada apa? Banyak kemungkinan, bisa saja ia beriman pada materialisme, kalau Kristen dapat membuatnya menjadi kaya barulah ia menjadi Kristen; iman harus cocok dengan apa yang menjadi keinginannya. Adapula orang yang beriman pada segala sesuatu yang menurutnya baik – iman subyektif sebab sesungguhnya yang menjadi “allah“ dalam dirinya tidak lebih adalah dirinya sendiri. Di satu sisi mungkin ia anggota dari salah satu gereja Kristen tetapi ia bukan Kristen; antara identitas sorga dan identitas dunia tidak sama.
Iman sejati harus kembali pada Kristus karena iman sejati harus mengandung kemutlakkan. Pertanyaannnya sekarang adalah kenapa harus Kristus? Tanda Yunus 3 hari dalam perut ikan menjadi gambaran Kristus. Peristiwa Yunus tentulah tidak asing bagi golongan Farisi dan para ahli Taurat apalagi pekerjaan mereka sehari-hari adalah menyalin kitab Perjanjian Lama. Mereka sangat memahami bahwa kalau Niniwe bertobat itu karena Injil Pertobatan yang diberitakan oleh Yunus – utusan Allah. Alkitab mencatat tidak hanya seluruh penduduk Niniwe yang bertobat bahkan seluruh binatang pun ikut berkabung. Kedatangan Yunus sangat simple tetapi dengan tanda yang luar biasa - Allah Jehovah bukanlah allah yang dapat dipermainkan. Allah sangat marah pada Yunus karena Yunus memberontak maka hal ini membuat orang-orang Niniwe menjadi gentar dan takut pada Allah Jehovah. Dengan kata lain Tuhan Yesus mau menanyakan pada orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, kalau orang-orang Niniwe bertemu dengan tanda Yunus langsung bertobat lalu bagaimana dengan sikap orang-orang Farisi dan para ahlit Taurat yang setiap hari bergelut dengan kitab Perjanjian Lama sekian lama, sudah bertobatkah mereka? Tidak!
Keagamaan humanisme selalu menuntut Tuhan yang mesti cocok dengan diri kita. Inilah sikap manusia berdosa dan gejala ini telah masuk dalam semua manusia bahkan hampir seluruh agama. Termasuk orang Kristen hanya mau ikut pada “Tuhan“ yang sesuai dengan keinginannya. Tuhan Yesus telah memberikan tanda seperti yang diminta oleh orang Farisi dan para ahli Taurat. Kota Niniwe didiami oleh orang-orang jahat itulah sebabnya, Yunus melarikan diri ketika ia diutus Allah untuk pergi memberitakan Injil Pertobatan, ia tidak rela kalau kota yang kejam dan jahat ini mendapat pengampunan dari Tuhan. Apalagi Kristus, Ia rela datang dan mengampuni setiap manusia berdosa yang tidak layak mendapat pengampunan dari Tuhan. Kalau Yunus saja tidak rela terlebih lagi Anak Allah seharusnya lebih tidak rela menyelamatkan manusia berdosa namun kalau Tuhan masih berkenan menyelamatkan kita maka itu merupakan suatu anugerah besar. Inilah tanda sejati yang Kristus berikan dan tunjukkan namun sangatlah disayangkan, dunia tidak dapat mengerti dan melihat tanda sejati. Mereka sangat bebal. Kalau Allah sudah sangat mencintai Niniwe, kota yang seharusnya dihukum apalagi pada kita, manusia berdosa, Tuhan sangat mencintai kita; Dia mengirim anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan manusia berdosa. Kristus ingin membawa kita kembali pada kebenaran sejati.
Tanda yang Kristus berikan mempunyai makna dan nilai yang jauh lebih besar daripada sekedar tanda yang diharapkan oleh orang Farisi dan ahli Taurat. Kristus juga memberikan tanda lain dengan menggunakan gambaran hikmat yang dimiliki oleh Salomo. Dengan kata lain, Tuhan Yesus mau menegaskan bahwa hikmat yang Ia berikan jauh lebih besar dari hikmat Salomo. Problematika yang sama masih terjadi di abad 21, manusia sulit menerima kebenaran sejati; manusia lebih suka diberikan sesuatu benda yang cocok dengan nafsunya. Biarlah kita melihat dan mengerti tanda Kristus yang sejati dan tanda itu semakin menguatkan iman kita; kita tidak mudah diguncangkan oleh berbagai-bagai ajaran sesat yang berkembang hari ini. Dunia tidak membutuhkan orang pandai, dunia membutuhkan orang bijaksana – orang yang dapat mempertim-bangkan semua aspek dengan matang lalu mengambil keputusan tepat seperti kehendak Allah. Bijaksana sejati itu bisa kita dapatkan dalam Kristus Yesus; Dia adalah satu-satunya sumber bijaksana sejati. Hendaklah kita menjadi bijaksana, kita dapat melihat tanda sejati yang Kristus berikan. Tidak ada apapun di dunia yang dapat melawan Ketuhanan Kristus. Biarlah kita mengevaluasi diri, apa yang telah kita perbuat bagi-Nya, sudahkah engkau giat bekerja bagi-Nya? Memohonlah pada Allah supaya kita diberikan kekuatan dan kebijaksanaan supaya kita dapat men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 12:17-21: KASIH SEJATI-5: Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-8


Kasih Sejati-5:
Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-2


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 12:17-21.


Setelah kita merenungkan prinsip utama di dalam kasih di antara tubuh Kristus di ayat 16, Paulus memaparkan beberapa konsep tentang kasih persekutuan itu mulai ayat 17 s/d 21, sebagai berikut:
Pertama, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (ay. 17a, 19). Sebagai reaksi dari konsep sehati sepikir di dalam persekutuan tubuh Kristus (ay. 16), maka Paulus menasihatkan jemaat Roma untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Seorang yang memiliki hati dan pikiran yang terarah kepada Kristus tentu tidak akan memiliki satu detik pun untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Mengapa? Karena Allah adalah Kasih, maka Ia menginginkan umat-Nya untuk mengasihi sesama umat-Nya, sehingga wujud kasih umat-Nya adalah tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Jadi, kasih Allah adalah teladan dan sumber dari kasih umat-Nya yang nantinya dinyatakan kepada orang luar. Jika kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, lalu apa yang kita lakukan? NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan referensi ayat ini dengan Amsal 20:22, “Janganlah engkau berkata: “Aku akan membalas kejahatan,” nantikanlah TUHAN, Ia akan menyelamatkan engkau.” Ketika kita diperintahkan Tuhan untuk tidak membalas kejahatan, kita diperintahkan selanjutnya untuk mengarahkan dan menyerahkannya kepada Tuhan yang akan menyelamatkan kita. Penulis Ibrani menyatakan hal yang sama juga, “Sebab kita mengenal Dia yang berkata: “Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan.” Dan lagi: “Tuhan akan menghakimi umat-Nya.”” (Ibr. 10:30; bdk. Rm. 12:19) Lalu, mengapa kita disuruh menyerahkan hak pembalasan kepada Tuhan? Karena “Hak-Kulah dendam dan pembalasan, pada waktu kaki mereka goyang, sebab hari bencana bagi mereka telah dekat, akan segera datang apa yang telah disediakan bagi mereka. Sebab TUHAN akan memberi keadilan kepada umat-Nya, dan akan merasa sayang kepada hamba-hamba-Nya; apabila dilihat-Nya, bahwa kekuatan mereka sudah lenyap, dan baik hamba maupun orang merdeka sudah tiada.” (Ul. 32:35-36) Di sini, Allah sendiri menyatakan kepada kita bahwa hanya Dia saja yang menyatakan hak pembalasan kepada orang-orang yang berani mengganggu umat-Nya. Ketika di dalam persekutuan tubuh Kristus, ada orang Kristen yang berani menganggu kita, kita tidak perlu membalas mereka dan kita menyerahkannya kepada Tuhan. Lihatlah, Ia akan bertindak menghajar dan menghukum mereka yang berani mengganggu umat-Nya. Hal ini juga membukakan kepada kita bahwa di dalam gereja Tuhan pun, ada antek-antek iblis yang menyamar sebagai malaikat terang. Bagaimana dengan kita? Ketika seorang Kristen menyakiti kita dengan menipu atau memfitnah kita, apakah kita membalas orang itu atau tidak membalasnya dan menyerahkannya kepada Tuhan? Ingatlah satu hal, Allah kita bukan Allah yang buta yang tidak peduli dengan kesengsaraan umat-Nya, tetapi Ia adalah Allah yang hidup yang peduli dengan kesengsaraan umat-Nya. Meskipun Ia mengizinkan umat-Nya melalui banyak penderitaan, Ia tidak membiarkan umat-Nya mengalaminya sendiri tanpa bantuan-Nya, melainkan Ia memberi kekuatan bahkan termasuk membalas semua kekejian yang dilakukan oleh orang-orang di luar Kristus kepada umat-Nya. Itulah providensi Allah bagi umat-Nya. Percayakah kita pada providensi Allah yang memelihara umat-Nya?


Kedua, berhati-hatilah melakukan apa yang baik di depan semua orang (ay. 17b). Sepintas jika kita membaca terjemahan LAI dalam ayat 17b, kita membaca seolah-olah kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, lalu kita dituntut untuk melakukan apa yang baik di depan semua orang. Tetapi jika kita benar-benar memerhatikan dari terjemahan Inggris dan Yunani, kita mendapatkan gambaran berbeda di mana ayat 17a dan 17b tidak berkaitan (dalam arti bersambungan). Teks Yunani untuk ayat ini diterjemahkan, “perhatikanlah (hal-hal) yang baik menurut pandangan semua orang-orang;” (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 865) New International Version (NIV) menerjemahkan, “Be careful to do what is right in the eyes of everybody.” (=berhati-hatilah melakukan apa yang baik di depan semua orang). Artinya kita dituntut untuk berhati-hati melakukan apa yang baik di depan semua/setiap orang. Mengapa kita dituntut demikian? Karena apa yang kita lakukan di depan semua orang harus bersumber dari iman dan kasih kita kepada Allah. Seorang yang mengasihi Allah adalah orang yang mengasihi manusia/saudaranya (bdk. 1Yoh. 4:21). NIV Spirit of the Reformation Study Bible dan Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible mereferensikan 2Kor. 8:21 sebagai ayat yang mengajar bahwa kita harus menjalankan kasih baik di hadapan Allah dan manusia. Mari kita menyelidiki ayat ini. Di dalam 2Kor. 8:21, Paulus mengajar, “Karena kami memikirkan yang baik, bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan manusia.” Konteks ayat ini adalah tentang pelayanan kasih dan tentang Titus yang diutus. Berarti, di dalam persekutuan tubuh Kristus, kasih diwujudnyatakan dengan melakukan apa yang baik di hadapan Allah dan manusia. Bagaimana dengan kondisi Kekristenan saat ini? Banyak orang Kristen hanya menunjukkan sikap mengasihi Allah, tetapi tidak menunjukkan kasih kepada sesama manusia terutama saudara seiman. Mereka gemar membaca buku-buku theologi dan ikut pembinaan iman, tetapi sayangnya mereka kurang bisa bersosialisasi dengan sesama jemaat dan memerhatikan mereka. Mereka hanya bisa mengisi otak mereka dengan pengetahuan theologi, sedangkan hati mereka kering dan semangat mereka loyo. Mengapa mereka bisa demikian? Karena mereka tidak mengasihi manusia sebagaimana mereka mengasihi Allah. Seorang yang mengasihi Allah adalah orang yang memerhatikan isi hati Allah dan menjalankannya, begitu pula dengan orang yang mengasihi manusia adalah orang yang memerhatikan sesama saudara seiman dan berusaha membantu mereka. Adakah semangat ini di dalam tubuh Kristus?


Ketiga, hidup berdamai (ay. 18). Seorang yang memiliki kasih Kristus di dalam persekutuan tubuh Kristus adalah mereka yang hidup berdamai dengan semua orang. King James Version (KJV) menerjemahkannya, “If it be possible, as much as lieth in you, live peaceably with all men.” (=Jika mungkin, sejauh itu bergantung padamu, hiduplah berdamai dengan semua orang.) Kata “berdamai” dalam ayat ini dalam bahasa Yunani menggunakan struktur kalimat aktif. Berarti, kita harus aktif berdamai dengan semua orang. Selain itu, kata ini juga menggunakan keterangan waktu present. Berarti, kata kerja ini (=hidup berdamai) dilakukan terus-menerus. Apa itu hidup berdamai? Dr. John Gill kembali di dalam tafsirannya memperluas makna ini menjadi: jadilah, carilah, kejarlah, dan peliharalah damai itu.
Bagaimana kita bisa menjadi damai? NIV Spirit of the Reformation Study Bible merujuk ke Markus 9:50, “Garam memang baik, tetapi jika garam menjadi hambar, dengan apakah kamu mengasinkannya? Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.”” Di sini, Tuhan Yesus mengaitkan bagaimana umat-Nya bisa menjadi damai ketika umat-Nya menggarami (memengaruhi) dunia. Tuhan tidak mau kita yang digarami/dipengaruhi, tetapi kita yang memengaruhi dunia. Kita bisa memengaruhi dunia ini tatkala kita kembali kepada Firman Tuhan. Berarti Firman Tuhan memengaruhi kita menjadi garam dan ketika kita menggarami dunia, di saat itu kita sedang menjadi agen damai Allah bagi dunia. Lalu, pertanyaan selanjutnya, apa yang perlu diperdamaikan? Pdt. Dr. Stephen Tong mengemukakan 5 relasi damai ini, yaitu damai antara Allah dan manusia, damai antara manusia dengan diri, damai antara manusia dengan sesama, mendamaikan manusia lain dengan Allah, dan mendamaikan sesama manusia. Pertama, menjadi agen damai harus dimulai dengan diperdamaikannya kita sebagai manusia berdosa dengan Allah yang Mahakudus di dalam penebusan Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan. Setelah kita diperdamaikan, kita dituntut untuk memperdamaikan kita dengan diri kita sendiri. Orang yang terus tidak bisa mendamaikan diri dengan diri sendiri adalah orang yang lama-kelamaan stres, karena sering terjadinya konflik pribadi. Kemudian, kita juga dituntut untuk mendamaikan diri kita dengan sesama. Artinya, kita tidak perlu mencari konflik yang tidak perlu dan tidak penting. Setelah itu, kita dituntut untuk mendamaikan manusia lain dengan Allah. Inilah tugas penginjilan. Kita bukan hanya berdamai dengan semua orang saja, tetapi kita juga dituntut untuk mendamaikan orang lain dengan Allah melalui penginjilan. Mengapa ini perlu? Ini diperlukan supaya kita tidak berkompromi ketika kita mendamaikan diri dengan orang lain. Bukan menjadi rahasia umum, atas nama “damai”, manusia postmodern merelatifkan dan mengompromikan kebenaran, sehingga mereka terus mencari persamaan semua agama dan bukan mencari mana yang benar. Oleh karena itu, di dalam zaman postmodern, kita perlu memberitakan Injil untuk memperdamaikan orang lain dengan Allah. Kemudian, terakhir, kita juga menjadi agen yang mendamaikan manusia lain dengan sahabatnya yang bertengkar/berkelahi. Di sini, kita lebih dalam lagi, kita menjadi alat yang membawa damai bagi sesama kita sehingga sesama kita yang saling bertengkar lama-lama melihat perdamaian yang kita lakukan dan memuliakan Bapa di Surga. Setelah menjadi agen perdamaian, kita dituntut untuk terus mengejar kedamaian itu dan akhirnya, jangan lupa mempertahankan/memelihara kedamaian itu. Bagaimana dengan kita? Ketika kita atau sesama kita bertengkar, sudahkah kita menjadi agen perdamaian Allah bagi dunia ini, sehingga nama-Nya dipermuliakan? Atau malahan kita yang menyulut pertengkaran itu? Mari introspeksi diri kita masing-masing.


Keempat, berbuat baik bagi musuh kita yang membutuhkan (ay. 20). Kasih Kristus juga diwujudnyatakan dengan berbuat baik bagi mereka yang membutuhkan, yaitu memberi makan kepada musuh kita yang lapar dan memberi minum kepada mereka yang haus. Yang lebih unik lagi, di ayat ini, Paulus menambahkan kata “seteru” yang menandakan bahwa kasih Kristus adalah kasih yang diwujudnyatakan juga kepada musuh kita. Ketika musuh kita lapar, haus, dll, apa yang kita lakukan? Membiarkannya? Atau menolongnya? Kasih dari Kristus seharusnya memampukan kita mengampuni musuh kita dan menolongnya ketika mereka kesusahan. Bagaimana dengan kita? Ada orang Kristen yang ketika dirinya disakiti dan difitnah oleh sesama/saudaranya yang Kristen atau orang lain (bahkan hamba Tuhan), dia tidak mau lagi ke gereja, tidak mau menyapa sesama/saudaranya itu, dan tragisnya, cuek habis dengan kondisi mereka. Mengapa bisa demikian? Karena mereka sebagai orang Kristen hanya mau orang lain memerhatikan dia dan bukan sebaliknya. Di ayat ini, Paulus mencerahkan dan menegur kita bahwa meskipun kita harus dihina, difitnah, dll, sudahkah kita menunjukkan kasih kita kepadanya bukan hanya mengampuninya saja, tetapi juga menolongnya ketika ada masalah? Paulus yang mengajar ini adalah Paulus yang sudah mempraktikkannya. Paulus mengasihi orang dan kaisar Romawi dengan memberitakan Injil kepada Kaisar Romawi, yaitu Raja Agripa (baca: Kis. 26) meskipun negara ini telah menjajah negaranya, Israel. Itulah yang diteladankan Paulus bagi kita bagaimana mengasihi jiwa bahkan musuh kita sendiri. Sudahkah kita melakukannya?


Kelima, mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (ay. 21). Ayat ini menyambung penjelasan Paulus di ayat 17a dan 19. Tadi kita sudah diperintahkan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, maka di ayat ini, Paulus menambahkan bahwa kita harus membalas dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Bukan hanya menyerahkan pembalasan itu kepada Tuhan, kita pun dituntut mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Berarti bukan hanya Allah yang bertindak, kita pun harus bertindak. Bedanya, Allah bertindak membalas mereka yang berbuat jahat kepada kita, sementara kita melakukan apa yang baik bagi mereka yang berbuat jahat pada kita. Dunia tidak bisa melakukan hal ini, karena mereka tidak mengerti dan mengalami penebusan Kristus yang telah mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Hanya Kekristenan yang sanggup mengerti dan menjalankannya. Bagaimana dengan kita pribadi? Memang sulit mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, tetapi tidak ada yang mustahil jika Roh Kudus yang memimpin kita melakukannya. Sudah siapkah kita dipakai menjadi agen pelaksana kebaikan yang mengalahkan kejahatan?


Setelah kita merenungkan kelima ayat ini, sudah siapkah kita dipakai Roh Kudus menjadi agen pewarta kasih, kedamaian, dan kebaikan dari Allah di tengah dunia berdosa ini? Biarlah kita dipakai Tuhan sehingga nama-Nya sajalah dipermuliakan dari dahulu, sekarang, dan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.