08 September 2008

Roma 10:12-15: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-11: Percaya Kepada Kristus-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-10


“Israel” Sejati atau Palsu-11: Percaya Kepada Kristus-2

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 10:12-15


Setelah mempelajari pengajaran Paulus tentang percaya kepada Kristus pada bagian 1 di ayat 9 s/d 11, saat ini kita akan mempelajari arti percaya kepada Kristus di bagian 2 di ayat 12 s/d 15.

Setelah menjelaskan tentang percaya di dalam Kristus mencakup masalah pengakuan iman di mulut dan juga berkenaan dengan masalah hati, lalu juga berpusatkan pada kebangkitan Kristus (ayat 9) sehingga mereka diselamatkan dan mendapatkan pengharapan yang pasti (ayat 10-11), maka Paulus menjelaskan tentang universalitas iman. Universalitas iman TIDAK seperti yang diajarkan sekarang di banyak gereja arus utama, tetapi universalitas iman yang dimaksud adalah iman yang universal, yang tidak terbatas hanya pada suatu suku atau bangsa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, “Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya. ” Paulus memunculkan dua bangsa, yaitu Yahudi dan Yunani, karena itulah konteks Surat Roma ditulis di mana penduduk kota Roma terdiri dari orang-orang dari dua bangsa ini. Lalu, apa tujuan Paulus menuliskan bangsa Yunani (non-Yahudi) selain Yahudi? Hal ini dimaksudkan agar bangsa Israel sadar bahwa bukan hanya mereka saja yang merasa diri umat pilihan Allah. Allah juga memanggil dan memilih orang-orang di luar Israel sebagai umat-Nya di dalam Kristus. Hal ini sudah ditegaskannya sejak pasal 1 ayat 16, dan di dalam bagian ini ditegaskan kembali untuk menyatakan bahwa di dalam predestinasi Allah, tidak ada perbedaan bangsa lagi. Mengapa? Paulus menjelaskan alasannya yaitu karena Allah yang satu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya. Di sini, Paulus mengemukakan dua pokok penting tentang universalitas iman umat pilihan Allah di dalam Kristus oleh:

Pertama, universalitas eksistensi Allah di dalam Kristus. Di sini, Paulus menggunakan kata “Tuhan” pada pernyataan “dari semua orang”, berarti ini menunjuk kepada universalitas Kristus (lihat ayat 9; bdk tafsiran Jamieson, Fausset dan Brown). Artinya, di dalam Kristus, tidak ada perbedaan suku, bangsa, status ekonomi, sosial, dll (bdk Roma 3:22). Di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus juga mengajar hal serupa, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Galatia 3:28) Di dalam surat Galatia ini, Paulus lebih jelas lagi mengatakan bahwa sebenarnya di dalam Kristus, bukan hanya tidak ada perbedaan suku/bangsa, tetapi juga tidak ada perbedaan jenis kelamin, bahkan status sosial, semua sama di dalam Kristus. Apa artinya? Apakah ini sedang menekankan hak asasi? TIDAK. Ini menekankan bahwa di dalam Kristus, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama yang saling melengkapi untuk pembangunan tubuh Kristus. Mengapa? Karena mereka semua telah dibaptis di dalam satu Roh (baca 1 Korintus 12:13, “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.”) Roh Kudus lah yang membaptis umat pilihan-Nya yang berbeda-beda di dalam satu tubuh Kristus untuk saling membangun. Dengan kata lain, universalitas iman di dalam Kristus tidak bisa dilepaskan dari karya Allah Trinitas, di mana Allah memilih mereka di dalam Kristus, dan Roh Kudus menyempurnakannya dengan membaptis mereka tanpa kecuali (tidak melihat keperbedaan suku, bangsa, jenis kelamin, status, dll) ke dalam tubuh Kristus. Konsep pertama ini membuka pikiran orang Yahudi tentang kefanatikan mereka di era Perjanjian Lama yang mengikrarkan bahwa di luar Israel itu bangsa kafir. Konsep ini mengajarkan bahwa Allah juga memilih orang-orang dari bangsa lain untuk diselamatkan di dalam Kristus. Hal ini juga menjadi pelajaran bagi kita. Tetapi ingat, jangan salah menafsir bagian ini. Di dalam kedaulatan-Nya, Allah berhak memilih beberapa orang dari manapun untuk menjadi umat-Nya. Perhatikan. Bahkan Allah juga telah memilih beberapa dari orang-orang non-Kristen untuk nantinya pada waktu-Nya dibawa kepada Kristus melalui pencerahan Roh Kudus. Hal ini membukakan dua hal bagi kita sebagai orang Kristen: pertama, kita jangan merasa sombong dengan keselamatan yang kita miliki (bdk Roma 11) dan akibatnya, hal ini mendorong kita untuk semakin rajin memberitakan Injil. Kedaulatan Allah tanpa disertai tanggung jawab manusia di dalam penginjilan itu sia-sia adanya.

Kedua, universalitas karya Allah. Setelah kita mempelajari bahwa Kristus itu adalah Tuhan bagi semua orang (umat pilihan-Nya) tanpa pandang bulu, saat ini kita juga belajar bahwa karya Allah juga bersifat universal. Karya Allah itu ditunjukkan melalui kasih setia-Nya dan kemurahan hati-Nya bagi semua umat pilihan-Nya tanpa memandang bulu. Dalam hal ini, Paulus mengatakan, “...kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya.” Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia menerjemahkan kata “kaya” sebagai “yang kaya dan murah hati” dan uniknya, kata ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif dan keterangan waktu sekarang (Present) (Sutanto, 2003, hlm. 854). Signifikansi dari hal ini adalah Allah yang bermurah hati bukan Allah yang dahulu bermurah hati, tetapi Allah yang dari dahulu, sekarang dan sampai selama-lamanya tetap bermurah hati. Ada unsur kekekalan di dalam kemurahan hati-Nya. Bukan hanya itu saja, kemurahan hati Allah juga bersifat aktif, bukan pasif. Allah itu murah hati BUKAN setelah kita mengasihi dan percaya kepada-Nya, tetapi IA terlebih dahulu menunjukkan kemurahan hati-Nya kepada kita sehingga kita dimungkinkan percaya, bertobat kepada-Nya dan memiliki kemurahan hati seperti Dia. Hal ini juga mencerahkan pikiran orang Yahudi yang dahulu berpikir bahwa Allah hanya memelihara hidup mereka saja dan tidak mempedulikan orang-orang di luar Yahudi karena mereka kafir. Melalui hal ini, Tuhan melalui Paulus menegur mereka agar mereka tidak sombong dan melihat realita bahwa Allah memelihara hidup umat-Nya yang tidak terbatas pada Israel saja, karena Allah itu Mahakuasa. Ia memelihara hidup umat-Nya dengan kemurahan hati-Nya. Bagi kita, ini juga merupakan suatu pelajaran bagaimana hidup menTuhankan Kristus. Ketika seseorang mengaku percaya kepada Kristus, apakah ia sungguh-sungguh hidup menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup mereka ataukah ia sebenarnya sedang menempatkan dirinya sebagai “tuan” ? Ketika seseorang percaya kepada Kristus, ia seharusnya berharap total pada kemurahan hati-Nya yang tidak pernah habis dan ketika kita berharap kepada kemurahan hati-Nya, Ia akan melakukan sesuatu menurut kehendak-Nya yang berbeda dari apa yang telah bahkan sempat kita pikirkan. Ketika kita percaya kepada Kristus, akan ada suatu hal-hal yang di luar dugaan kita akan terjadi, dan percayalah hal-hal demikian pasti memuliakan Allah, karena Allah melakukan segala sesuatu demi kemuliaan-Nya sendiri (Roma 11:36).

Kepada siapakah dua hal ini ditujukan? Kepada mereka yang berseru kepada-Nya. Apa arti “berseru”? Beberapa terjemahan Alkitab dari Indonesia, Inggris dan bahasa asli memberikan kepada kita beragam definisi yang saling memperkaya. Di dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dipakai kata “meminta tolong”, King James Version, dipakai kata call upon (bisa berarti datang kepada), di dalam terjemahan 1965 Bible in Basic English (BBE) dipakai kata hope in (berharap di dalam), di dalam terjemahan Contemporary English Version (CEV) dipergunakan kata ask for his help (meminta pertolongan-Nya) dan di dalam terjemahan Good News Bible (GNB) dipergunakan kata call to (=memanggil). Bagaimana dengan bahasa aslinya? Kata ini di dalam bahasa Yunani epikaleomai yang berasal dari dua kata yaitu epi yang berarti “kepada” dan kata kaleō yang berarti memanggil, jadi artinya “memanggil kepada”. Dengan kata lain, universalitas nama Allah di dalam Kristus dan karya-Nya berlaku hanya bagi mereka (umat pilihan-Nya) yang memanggil atau datang kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Mungkin kita sudah bertahun-tahun menjadi orang Kristen, rajin ke gereja, sudahkah kita berseru atau memanggil atau datang kepada-Nya sebagai wujud rasa hormat dan kasih kita kepada-Nya? Kata “berseru” bukan hanya secara mulut, tetapi keluar dari hati. Seorang yang berseru kepada-Nya adalah seorang yang berharap dan terus bergantung pada kedaulatan-Nya. Adakah sikap ini menjadi kerinduan kita? Ataukah kita lebih mementingkan kehendak kita ketimbang kehendak Allah sehingga kadangkala kita jarang atau bahkan lupa berseru/memanggil atau datang kepada-Nya?

Apa akibat kita berseru kepada-Nya? Di ayat 13, Paulus mengatakan, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.” Ketika kita datang dan berseru kepada-Nya, kita akan diselamatkan. Apa maksudnya “akan diselamatkan”? Apakah kita hanya cukup berseru kepada-Nya dengan sembarangan lalu kita akan diselamatkan? Apakah semudah itu? TIDAK. Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan penjelasan tentang konteks penulisan Surat Roma yaitu pada waktu itu orang-orang Kristen dianiaya dengan ancaman bahwa jika mereka menyebut nama Allah selain Kaisar sebagai “tuhan”, mereka akan mati. Dengan kata lain, melalui ayat ini, Paulus ingin menguatkan iman orang Kristen di Roma bahwa meskipun mereka harus mati karena menyebut dan berseru kepada-Nya, mereka akan tetap diselamatkan. Berarti, ada suatu kuasa di dalam nama Kristus yang kepada-Nya kita harus datang dan memanggil. Di sisi lain, konteks ayat ini menjelaskan dengan gamblang. Orang yang “berseru kepada nama Tuhan” sebenarnya berkaitan dengan ayat 9, yaitu mereka yang mengaku dengan mulut dan percaya dalam hati di dalam kebangkitan Kristus. Jadi, ketika seseorang “berseru kepada nama Tuhan” berarti orang tersebut tidak berseru dengan seruan yang kosong, tetapi dengan seruan yang berisi iman dan pengharapan kepada janji-janji Allah di dalam keselamatan di dalam Kristus. Hal ini akan dipaparkan pada ayat-ayat selanjutnya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita berseru hanya sebagai luapan emosional saja ? Ataukah kita benar-benar berseru kepada-Nya karena kita benar-benar mengerti isi dari apa yang kita serukan kepada-Nya? Mari kita mengintrospeksi diri. Seruan kita kepada-Nya dipengaruhi oleh seberapa dalam dan luasnya kita mengenal Pribadi Allah dan Kebenaran-Nya.

Tetapi apakah cukup hanya berseru saja? TIDAK. Di ayat 14 dan 15, Paulus menyampaikan suatu urutan yang jelas dari belakang (berseru kepada-Nya) sampai ke depan/inti, yaitu pengutusan pemberitaan Injil (“diutus”—ayat 15). Mari kita simak satu per satu.
Di ayat 14a, Paulus mengatakan bahwa seseorang bisa berseru kepada-Nya, asalkan ia percaya kepada-Nya (“Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia?”). Di sini, Paulus memaparkan bahwa untuk dapat berseru/datang kepada-Nya, seseorang harus percaya kepada Dia. Kata “percaya kepada” lebih tepat diterjemahkan mempercayakan diri kepada. Dengan kata lain, ketika seseorang dengan sungguh-sungguh dan rela mempercayakan diri sepenuhnya kepada Kristus, maka ia dapat berseru/datang kepada-Nya. Tanpa seseorang percaya, tak mungkin ada kerinduan hati untuk datang kepada-Nya dan berseru. Masalah yang terjadi pada orang-orang Yahudi adalah mereka terlalu banyak “berseru” kepada-Nya bukan merupakan luapan dari iman mereka, tetapi karena mereka bersungut-sungut. Di dalam Perjanjian Lama, kita juga belajar dari Ayub. Ayub adalah seorang yang saleh yang tiap hari dekat dengan Allah. Ketika pencobaan dari setan datang menyerbu dia, sebagai manusia, dia tetap bergumul di dalam penderitaan, tetapi puji Tuhan, ia tidak larut di dalam penderitaan, melainkan berharap pada Allah. Ia datang dan berseru kepada Tuhan, karena teman-temannya tidak mampu menolong dirinya. Ayub 4-31 dipenuhi dengan beragam argumentasi teman-temannya (Elifas, Bildad dan Zofar) tentang penderitaan Ayub, dilanjutkan dengan pasal 32-37 tentang “nasehat” Elihu, temannya. Apakah yang dibutuhkan Ayub adalah sebuah “nasehat”? TIDAK. Ayub membutuhkan penghiburan, bukan nasehat. Meskipun dia difitnah oleh keempat teman Ayub, ia tetap berharap dan berseru kepada-Nya, mengapa? Karena ia sudah percaya kepada-Nya. Seorang yang setiap harinya terus percaya dan bergumul dengan Allah, maka ketika ada penderitaan, ia tidak berfokus kepada penderitaan, tetapi berharap dan berseru kepada-Nya sebagai satu-satunya sumber Pengharapan. Di dalam Perjanjian Baru, kita juga belajar dari Paulus yang setiap harinya terus hidup beriman dan berharap kepada-Nya, sehingga ketika ada penderitaan mengancam, mengalami karam kapal, dll, ia tidak goyah, tetapi ia terus berharap dan berseru kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Ketika kita berseru, apakah seruan kita keluar dari luapan iman kita yang bersandar dan berharap total kepada Allah ataukah seruan kita menjadi seruan yang bombastis dan emosional atau yang lebih parah lagi, seruan kita adalah seruan bersungut-sungut seperti bangsa Israel dahulu?

Di ayat 14b, Paulus melanjutkan urutannya, yaitu bagaimana seseorang bisa percaya kepada-Nya jika ia tidak mendengar tentang Dia. Di sini, ada kaitan antara mendengar Kristus dan percaya kepada-Nya. Ketika seseorang mendengar Firman Kristus, dari situlah timbullah iman sejati (Roma 10:17). Mengapa Paulus menggunakan kata “mendengar” bukan melihat atau merasakan atau meraba? Karena “melihat” dan “merasakan”/“meraba” lebih bersifat menyesatkan karena itu bersifat fenomenal, sedangkan mendengar meskipun bisa menyesatkan, tetapi intensitasnya kecil, mengapa? Karena ketika kita mendengar, kita mengolah di dalam pikiran terlebih dahulu, sedangkan ketika kita melihat atau merasakan sesuatu, kita hampir tidak pernah memasukkannya ke dalam pikiran. Kita bisa terpukau karena kita melihat atau merasakan, tetapi ketika kita mendengar, kita dituntut untuk aktif. Dan yang unik, kata “mendengar” dalam ayat ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif (BUKAN pasif). Berarti, kita aktif mendengar Firman Tuhan, dan pada saat itu Roh Kudus bekerja mencerahkan hati dan pikiran kita sehingga kita percaya dan bertobat. Bagaimana dengan kita? Seberapa sering dan rindunya kita terus mendengar kebenaran Firman Tuhan? Apakah kita sudah cukup puas jika kita sudah belajar theologi sampai tingkat doktoral? Belajarlah terus dengan mendengarkan pendalaman kebenaran Firman Tuhan.

Di ayat 14c, Paulus melanjutkan bahwa bagaimana seseorang bisa mendengar tentang Kristus jika tidak ada orang yang memberitakan-Nya. Di sini, satu langkah lebih dalam lagi, yaitu orang bisa mendengar Injil jika ada orang yang memberitakan Injil Kristus. “Orang yang memberitakan-Nya” di dalam terjemahan King James Version (KJV) adalah preacher (pengkhotbah/orang yang berkhotbah). Jemaat dan umat Tuhan baru bisa mendengar Injil, jika ada ratusan pemberita Injil yang berapi-api mewartakan Injil. Tetapi sayang, di zaman postmodern, Injil tidak lagi diberitakan dengan murni dan bertanggungjawab. Di banyak gereja kontemporer, Injil ditambah dengan hal-hal sekunder, seperti jadi anak Tuhan pasti kaya, sukses, berhasil, dll, sedangkan di banyak gereja arus utama, Injil sudah dikurangi esensinya, sehingga “Injil” dimengerti hanya sebagai aksi sosial saja (tidak lagi mau memberitakan Injil dengan berbagai macam dalih argumentasi “theologis” atas nama “kontekstualisasi”). Mau ke mana arah zaman? KeKristenan sedang diterpa oleh arus zaman. Oleh karena itu, Paulus mengingatkan kita sekali tentang banyaknya orang yang belum mendengar Injil Kristus, dan tugas kita saat ini juga untuk pergi memberitakan Injil. Khotbah dan pemberitaan Injil harus menjadi satu kesatuan untuk membawa orang-orang yang tersesat kembali kepada Kebenaran Allah di dalam Kristus. Khotbah yang beres TIDAK berisi hal-hal sosial SAJA, tetapi juga memberitakan Injil. Khotbah yang berisi pemberitaan Injil itu lebih penting ketimbang khotbah-khotbah yang bertemakan hal-hal sosial, karena pemberitaan Injil berkaitan dengan hidup seseorang di kekekalan, sedangkan hal-hal sosial hanya berkaitan dengan hidup seseorang di dunia sementara ini.

Lalu, di ayat 15, Paulus memberikan inti permasalahannya yaitu bagaimana mereka bisa memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus. Kata “diutus” dalam KJV diterjemahkan sent dan dalam bahasa Yunaninya adalah apostellō berarti set apart (=dipisahkan). Di dalam Injil Matius 10:16, Tuhan Yesus menjelaskan sisi lain dari pengutusan, yaitu, “"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, …” Kata “mengutus” di dalam ayat ini juga menggunakan bahasa Yunani yang sama dengan ayat 15 di atas. Pemberitaan Injil memang penting, tetapi esensi sebenarnya terletak pada pengutusan dengan dipisahkan. Kristus mengutus kita untuk menjadi saksi-Nya dengan cara memisahkan kita terlebih dahulu dari dunia dan segala konsepnya yang berdosa. Menjadi saksi Kristus berarti menjadi terpisah dari semua konsep dunia berdosa (Roma 12:2). Tuhan tidak mau kita terkontaminasi oleh pikiran setanik dari dunia, karena kita diutus untuk menebus dunia dan kebudayaannya untuk dikembalikan kepada Allah. Dengan kata lain, kita menjalankan fungsi sebagai imam di dalam dunia ini. Ketika kita menjadi imam, kita bukan tak bertugas apapun, tetapi justru kita sangat giat bertugas sebagai imam, baik di dalam menggarap penebusan budaya, maupun yang lebih penting, “penebusan” jiwa kembali kepada Kristus. Dengan kata lain, kita sebagai imam juga menjadi saksi yang mewartakan kasih Kristus dan pengorbanan-Nya di kayu salib serta kebangkitan-Nya sehingga banyak orang yang termasuk umat pilihan-Nya dibawa kembali kepada Kristus. Oleh karena itu, tidak salah Paulus mengatakan, “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (bnd. Yesaya 52:7) Tuhan menghargai dan menganggap indah dan tepat pada waktunya (Sutanto, 2003, hlm. 855) ketika seseorang memberitakan Kabar Baik (Injil). Bagaimana dengan kita? Sudahkah siap menjadi laskar-laskar pewarta Injil Kristus kepada mereka yang terhilang? Bersiapkah kita diutus-Nya? Ingatlah, Tuhan Yesus tadi berfirman bahwa Ia mengutus kita seperti domba ke tengah-tengah serigala. Kita harus berhadapan dengan “serigala-serigala” yang buas yang siap membantai dan membunuh kita, tetapi kita tidak usah kuatir, karena Roh Kudus akan menyertai dan menaungi kita di dalam pemberitaan Injil.

Melalui perenungan keempat ayat ini, kita disadarkan bahwa percaya kepada Kristus bukan hal yang mudah, karena percaya kepada Kristus berkaitan erat dengan kita datang setiap hari kepada-Nya untuk berseru dan berharap kepada-Nya, juga berkaitan erat dengan mendengar Firman Tuhan, memberitakan Injil dan pengutusan pekabaran Injil. Hal-hal ini tidak bisa dipisahkan. Dan ketika hal-hal ini dikaitkan dan disatukan, maka Tuhan akan semakin dipermuliakan di dalam hidup umat-Nya. Sudahkah kita melakukan hal-hal tersebut? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 11:5-6: KRISTUS SEBAGAI PUSAT HIDUP-3

Ringkasan Khotbah: 28 Mei 2006
Kristus sebagai Pusat Hidup (3)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 11:5-6


Pendahuluan
Sebelumnya kita telah memahami apa yang menjadi alasan Tuhan Yesus sehingga Dia tidak langsung memberikan jawab atas pertanyaan para murid Yohanes Pembaptis yang mempertanyakan tentang Kemesiasan Kristus. Sesungguhnya bukanlah hal yang sulit bagi Tuhan Yesus untuk memberikan jawaban langsung: Ya, Aku Mesias. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Tuhan Yesus sebab Tuhan ingin supaya para murid Yohanes ini mengambil kesimpulan sendiri dari apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar, yaitu orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Tuhan Yesus ingin supaya mereka mampu merelasikan sesuatu yang menyangkut hakekat/esensi sejati. Tuhan Yesus ingin mereka beriman secara hakekat dan bukan karena jawaban praktis.

Ironisnya, dunia modern lebih suka hal-hal yang sifatnya praktis dan cepat. Postmodern telah berhasil menghantam dunia dengan konsep pragmatisnya. Orang tidak suka kalau ia diberikan suatu konsep untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Sebagai contoh, orang lebih suka soal ujian yang sifatnya multiple choice dibandingkan dengan soal yang sifatnya esai dimana orang harus menurunkan rumus dasar sedemikan rupa sampai akhirnya ia mendapat jawaban yang tepat. Perhatikan, mujizat yang Tuhan kerjakan ini bukanlah sekedar mujizat biasa seperti yang dilakukan oleh dunia. Tidak! Tuhan menata secara struktur dimana enam urutan kejadian tidak boleh dibolak balik supaya orang dapat melihat hal-hal yang esensi dibalik yang fenomena.
Sakit kusta yang dimaksud dalam Alkitab bukanlah sekedar penyakit fisik tetapi sakit kusta berkorelasi langsung dengan sakit rohani. Kusta dianggap sebagai kutukan akibat dosa yang dilakukan oleh seseorang. Itulah sebabnya orang sakit kusta yang disembuhkan tidak memakai istilah “sembuh“ tetapi “tahir.“ Selain secara fisik ia disembuhkan tapi ada hal lain yang lebih penting, yaitu secara spiritual ia dibersihkan. Perjanjian Lama (PL) berbicara tentang kusta sebanyak 48 kali namun seluruhnya bukan membicarakan sakit fisik. Para Rasul dalam Perjanjian Baru (PB) tidak pernah berbicara tentang kusta. Orang kusta yang ditahirkan hanya terdapat 9 kali dimana 5 kali diantaranya membicarakan kejadian yang sama, masing-masing di Injil Matius sebanyak 4 kali; injil Markus sebanyak 2 kali, dan injil Lukas sebanyak 3 kali dan ketiganya itu menyatakan Kristus Yesuslah yang mentahirkan kusta. Hanya injil Yohanes yang tidak pernah menyinggung sedikitpun hal-hal tentang kusta maupun tuli karena Injil Yohanes ini melihat Kristus secara theologis.

Sebelumnya kita telah merenungkan esensi dibalik mujizat orang buta melihat dan orang lumpuh berjalan maka hari ini kita melihat esensi dibalik mujizat: orang kusta menjadi tahir dan orang tuli mendengar, yaitu:
1. Tekanan Dosa
Setelah mata kita dicelikkan dan kaki yang lumpuh dapat berjalan kembali, kita telah direvitalisasi secara spiritual maka hal kedua yang harus diselesaikan adalah bagaimana menghancurkan problematika terbesar, yaitu keluar dari belenggu dosa. Esensi dari mujizat orang kusta menjadi tahir dan orang tuli mendengar ini adalah dosa yang membelenggu. Orang kusta menjadi tahir berarti penyelesaian terhadap dosa; orang tuli mendengar berarti terlepasnya manusia dari belenggu ikatan dosa. Kristus Yesus yang mentahirkan dan menyembuhkan merupakan lambang dari penebusan dosa – manusia dikeluarkan dari belenggu kematian kembali pada kehidupan kekal. Perhatikan, hanya Kristus yang dapat menebus dosa itulah sebabnya para Rasul tidak pernah menyinggung tentang kusta menjadi tahir. Kata “tuli“ berasal dari bahasa Yunani, kophos. Istilah “tuli“ terdapat dalam PB sebanyak 5 kali dan semuanya berbicara tentang Tuhan Yesus yang menyelesaikan dosa sedang dalam PL sebanyak 11 kali. Namun kalau kita cari dalam bahasa aslinya, maka istilah “kophos“ dalam PB ini, yakni Injil Matius, Markus dan Lukas muncul sebanyak 14 kali, yaitu 5 kali diterjemahkan sebagai tuli sedang yang 9 kali diterjemahkan sebagai bisu. Ketiga disini adalah tuli bisu, yakni tuli yang berakibat pada kebisuan. Sedang untuk orang yang bisu saja ada istilah tersendiri, yakni alalos (bahasa Yunani) dan dalam PB terdapat satu kali. Berarti secara keseluruhan dapat disimpulkan dalam ketiga Injil: istilah kophos yang berarti tuli muncul sebanyak 5 kali, kophos yang berarti bisu sebanyak 8 kali sedang 1 kali diterjemahkan sebagai orang yang bisu saja, yakni alalos.
Orang yang tuli bisu hidupnya pasti tertekan karena ia tidak dapat berkomunikasi dan mengkomunikasikan; ia tidak dapat menangkap pikiran orang lain dan ia sendiri tidak dapat mengungkapkan pikirannya. Inilah gambaran dari esensi dosa; orang tidak mendengar maupun memberikan informasi, orang hanya berkutat di dirinya sendiri. Kedua mujizat ini merupakan mujizat Kristus yang dikerjakan secara eksklusif dalam PB sebab mujizat ini direlasikan secara langsung dengan dosa. Tindakan Kristus sebagai tindakan Kristologis, yakni Mesias yang menebus dosa manusia.

Sama halnya seperti kondisi orang yang berdosa ketika orang menyadarkan akan dosa dan kebenaran sejati, ia seperti orang tuli yang tidak nyambung antara apa yang disampaikan dengan apa yang ia terima. Sebagai contoh, orang menyadari kalau sesungguhnya konsep harus melandasi pratika sehingga orang harus mengerti konsep terlebih dahulu baru ia dapat menyelesaikan setiap permasalahan ketika tekanan itu datang namun toh orang masih tetap bersikeras ingin hal yang praktika. Dalam hal ini terjadi ketidak sinambungan, logikanya tidak berjalan, ia berkutat dengan dirinya sendiri. Itulah sebabnya Tuhan Yesus banyak mengajar dengan perumpamaan. Perumpamaan bukan dimaksudkan supaya orang mudah memahami ajaran Tuhan Yesus. Tidak! Tuhan Yesus menegaskan: kepada kamu diberikan anugerah untuk mengerti rahasia Kerajaan Sorga dan kepada mereka tidak karena mereka melihat tapi tidak melihat, mendengar tetapi tidak mendengar dan tidak mengerti (Mat. 13:10-13). Inilah ketulian yang hakiki akibat dosa. Orang tuli tidak mendapat pengertian kebenaran, orang tidak dapat mengelola kebenaran karena ia sengaja menutup dirinya akan kebenaran. Adalah suatu anugerah kalau kita dapat mendengar kebenaran dan kita diubahkan. Sama halnya orang tuli, orang kusta ini hidupnya pasti tertekan; ia hanya menunggu mati; ia melihat tubuhnya yang makin hancur tetapi ia tidak berkuasa melawannya. Inilah gambaran dosa. Sulit bagi manusia untuk lepas dari cengkeraman dosa, orang tahu kalau ia pasti mati.

Seluruh kebenaran Alkitab, apa yang tersirat dibalik yang tersurat ini diungkapkan dalam theologi Reformed. Salah satu warisan yang diwariskan dari studi yang mendalam dari para theolog Reformed ada empat hal, yaitu: 1) Creation, penciptaan; 2) Fall, kejatuhan manusia; 3) Redemption, penebusan; 4) Consummation, penyempurnaan. Beda halnya dengan dunia, dunia hanya memulai dan berakhir pada satu titik, yaitu: fall, kejatuhan. Orang berdosa melihat masalah, memikirkan masalah dan mencari penyelesaian masalah dari permasalahan itu berdasarkan masalah maka hasil akhirnya adalah masalah. Sebagai contoh, bawalah sebuah mobil ringsek ke suku primitif dan katakanlah pada mereka bahwa mobil ringsek itu adalah mobil. Dan suatu kali, kita bawa mobil yang dicipta sempurna di tengah-tengah mereka maka orang tetap bersikeras kalau itu bukan mobil. Orang yang mau menyelesaikan mobil ringsek supaya mobil ringsek itu selesai dari masalah ringseknya tapi tanpa orang tahu bentuk mobil yang asli. Bukan hal yang mudah menjelaskan pada mereka bahwa realita yang mereka lihat sekarang itu adalah realita setelah kejatuhan. Maka dapatlah dibayangkan kesulitan yang harus kita hadapi ketika kita menjelaskan tentang kebenaran sejati pada mereka yang tuli. Dosa telah membelenggu manusia, orang tidak dapat melihat kaitan antara realita dan esensi.

Suatu masalah haruslah dilihat dari creation barulah dapat diselesaikan dan satu hal lagi, orang harus berani menebus, redeem. Tidak ada penyelesaian yang dapat diselesaikan dengan murah dan mudah. Kristus harus datang ke dunia dan menebus dosa. Manusia harus kembali pada Kristus; tanpa Kristologi tidak ada penebusan, tanpa Kristologi tidak ada penyelesaian masalah, seluruh hidup manusia hanya berakhir di titik kejatuhan. Namun tidak berhenti sampai titik Redemptation. Redemptation harus diselesaikan dengan consummation, proses yang terus berjalan sampai pada kekekalan. Orang yang hidup dalam dosa, berkubang dalam masalah dan mencari masalah. Keluar dari masalah untuk masuk dalam masalah baru sebab orang tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah. Inilah kondisi manusia berdosa yang digambarkan seperti orang kusta dan tuli. Untuk keluar dari cengkeraman dosa maka orang harus kembali pada Kristus yang adalah Mesias.

2. Pencemaran Diri
Apalah gunanya orang tuli disembuhkan kalau yang didengar hal-hal yang berdosa dan ia mencemari orang lain dengan dosa. Adalah lebih baik kalau ia tidak sembuh dengan demikian ia hanya mencemari dirinya sendiri dengan dosa sehingga orang lain tidak menjadi hancur. Kusta merupakan gambaran yang cocok untuk orang yang berada dalam belenggu dosa dimana kerusakan tubuh itu berasal dari dalam, orang tidak dapat melawan proses kerusakan tersebut, orang hanya menunggu mati. Orang kusta harus berteriak, “Najis, najis“ ketika ia bertemu orang lain supaya orang tidak tercemar dosanya. Orang kusta ini akan merasa tidak nyaman ketika ia berada di lingkungan orang-orang yang sehat maka orang kusta ini membentuk suatu komunitas tersendiri. Komunitas ini merupakan komunitas berdosa, komunitas pencemaran. Hanya kuasa penebusan yang dapat menjadikan orang cemar menjadi tahir. Orang yang mengaku dirinya Kristen maka ia harus berjuang dan berusaha keras untuk melawan segala bentuk pencemaran. Biarlah kita mengevaluasi diri, hari ini kita hidup dalam dunia yang tercemar dosa lalu bagaimana dengan diri kita apakah kita turut larut didalamnya ataukah kita melawan keras segala bentuk pencemaran? Apakah kita sudah dilahirbarukan dalam Kristus?

Setiap orang Kristen bukanlah orang suci, kita adalah orang cemar karena itu perlu adanya pentahiran. Kristus melakukan mujizat untuk menyelesaikan problema manusia yang paling besar, yaitu dosa. Hukum tidak akan dapat menyelesaikan masalah etika. Hukum hanya dapat menyelesaikan efek dari etika. Etika hanya dapat diselesaikan dengan pertobatan kemudian orang dididik dengan kualitas kesucian seperti yang Kristus teladankan. Perhatikan, tempat dimana hukum dijalankan dengan keras justru disana banyak terjadi pelanggaran hukum. Adalah tugas setiap anak Tuhan yang telah ditahirkan untuk menjadi saksi bagi dunia yang cemar, menyadarkan orang berdosa kembali ke dalam Sang Kebenaran sejati. Sungguh sangatlah mengenaskan, hari ini gereja tidak lagi memikirkan kerohanian jemaat, tidak lagi memberitakan Injil, membawa orang kembali pada kebenaran. Segala cara dipikirkan demi untuk meraup keuntungan sendiri.

Gereja telah tuli, gereja berkubang dalam kecemaran. Gereja tidak lagi menjalankan peranannya di tengah dunia berdosa. Misi gereja telah bergeser; gereja hanya memikirkan hal-hal yang sifatnya fenomena. Gereja hanya memikirkan cara untuk mendapatkan berkat dan hidup berkelimpahan. Gereja tidak lagi berorientasi pada hal-hal yang rohani, memusatkan hidup pada Kristus. Tidak! Sebaliknya gereja justru memusatkan hidup pada dosa. Ini pencemaran dosa. Kalau kita tidak disembuhkan maka kita tetap berada dalam kondisi kophos dan kita tetapi berkubang dalam dosa. Bertobat, kita harus kembali memusatkan hidup kita pada Kristus Sang Mesias. Gereja harus mewartakan kebenaran, mendidik jemaat semakin bertumbuh dalam iman dan berakar kuat, taat menjalankan apa yang menjadi kehendak Bapa.

3. Hidup Terpisah dari Allah
Hidup seorang kusta dan seorang tuli pastilah sangat tertekan selain karena hidup tersendiri, mereka juga dipisahkan/aleniasi dari lingkungannya. Bayangkan kalau kita berada di suatu tempat dimana kita tidak memahami sama sekali bahasa mereka. Sungguh tersiksa, bukan? Kita merasa tersendiri dan asing. Memang benar, kita berada di tengah-tengah mereka tapi kita bukanlah bagian dari mereka. Orang yang tuli bisu sejak lahir adalah orang yang terpisah dari sosial lingkungannya. Demikian juga dengan orang kusta, dia menempati tempat tersendiri dan dia harus berteriak: najis, najis supaya orang tidak mendekatinya. Orang berdosa adalah orang yang dipisahkan dari kehidupan. Gambaran kusta dan tuli ini bukan sekedar gambaran fisik. Dosa berarti kita dipisahkan dari Allah dan akibatnya adalah kematian kekal. Hukuman yang paling menakutkan adalah ketika kita dilepaskan dari relasi hidup. Tuhan ingin ketika kita hidup maka itu bukan sekedar berelasi secara horisontal belaka tetapi ada relasi yang lebih penting yaitu relasi yang bersifat vertikal. Kalau relasi kita dengan Tuhan baik pastilah hubungan kita dengan sesama akan baik.
Celakalah, hidup kita kalau kita tidak dapat mendengar suara Tuhan yang memimpin setiap langkah hidup kita. Hari ini kalau Tuhan masih mau berbicara pada kita, Tuhan masih menegur kita maka jangan sia-siakan anugerah ini tetapi hendaklah kita bertobat dan memohon ampunan-Nya, dan kita hidup taat pada-Nya. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan Yudas. Itulah saat kematian Yudas, ia terpisah dari Allah. Dosa adalah keterpisahan dari sumber hidup. Hendaklah kita memfokuskan hidup kita pada Kristus adalah Mesias; Dia adalah Sumber Hidup yang sejati. dengan demikian kita tidak sekedar direvitalisasi tetapi revitalisasi itu disertai dengan keluarnya kita dari ikatan dosa. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: