08 September 2008

Roma 10:12-15: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-11: Percaya Kepada Kristus-2

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-10


“Israel” Sejati atau Palsu-11: Percaya Kepada Kristus-2

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 10:12-15


Setelah mempelajari pengajaran Paulus tentang percaya kepada Kristus pada bagian 1 di ayat 9 s/d 11, saat ini kita akan mempelajari arti percaya kepada Kristus di bagian 2 di ayat 12 s/d 15.

Setelah menjelaskan tentang percaya di dalam Kristus mencakup masalah pengakuan iman di mulut dan juga berkenaan dengan masalah hati, lalu juga berpusatkan pada kebangkitan Kristus (ayat 9) sehingga mereka diselamatkan dan mendapatkan pengharapan yang pasti (ayat 10-11), maka Paulus menjelaskan tentang universalitas iman. Universalitas iman TIDAK seperti yang diajarkan sekarang di banyak gereja arus utama, tetapi universalitas iman yang dimaksud adalah iman yang universal, yang tidak terbatas hanya pada suatu suku atau bangsa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, “Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya. ” Paulus memunculkan dua bangsa, yaitu Yahudi dan Yunani, karena itulah konteks Surat Roma ditulis di mana penduduk kota Roma terdiri dari orang-orang dari dua bangsa ini. Lalu, apa tujuan Paulus menuliskan bangsa Yunani (non-Yahudi) selain Yahudi? Hal ini dimaksudkan agar bangsa Israel sadar bahwa bukan hanya mereka saja yang merasa diri umat pilihan Allah. Allah juga memanggil dan memilih orang-orang di luar Israel sebagai umat-Nya di dalam Kristus. Hal ini sudah ditegaskannya sejak pasal 1 ayat 16, dan di dalam bagian ini ditegaskan kembali untuk menyatakan bahwa di dalam predestinasi Allah, tidak ada perbedaan bangsa lagi. Mengapa? Paulus menjelaskan alasannya yaitu karena Allah yang satu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya. Di sini, Paulus mengemukakan dua pokok penting tentang universalitas iman umat pilihan Allah di dalam Kristus oleh:

Pertama, universalitas eksistensi Allah di dalam Kristus. Di sini, Paulus menggunakan kata “Tuhan” pada pernyataan “dari semua orang”, berarti ini menunjuk kepada universalitas Kristus (lihat ayat 9; bdk tafsiran Jamieson, Fausset dan Brown). Artinya, di dalam Kristus, tidak ada perbedaan suku, bangsa, status ekonomi, sosial, dll (bdk Roma 3:22). Di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus juga mengajar hal serupa, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Galatia 3:28) Di dalam surat Galatia ini, Paulus lebih jelas lagi mengatakan bahwa sebenarnya di dalam Kristus, bukan hanya tidak ada perbedaan suku/bangsa, tetapi juga tidak ada perbedaan jenis kelamin, bahkan status sosial, semua sama di dalam Kristus. Apa artinya? Apakah ini sedang menekankan hak asasi? TIDAK. Ini menekankan bahwa di dalam Kristus, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama yang saling melengkapi untuk pembangunan tubuh Kristus. Mengapa? Karena mereka semua telah dibaptis di dalam satu Roh (baca 1 Korintus 12:13, “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.”) Roh Kudus lah yang membaptis umat pilihan-Nya yang berbeda-beda di dalam satu tubuh Kristus untuk saling membangun. Dengan kata lain, universalitas iman di dalam Kristus tidak bisa dilepaskan dari karya Allah Trinitas, di mana Allah memilih mereka di dalam Kristus, dan Roh Kudus menyempurnakannya dengan membaptis mereka tanpa kecuali (tidak melihat keperbedaan suku, bangsa, jenis kelamin, status, dll) ke dalam tubuh Kristus. Konsep pertama ini membuka pikiran orang Yahudi tentang kefanatikan mereka di era Perjanjian Lama yang mengikrarkan bahwa di luar Israel itu bangsa kafir. Konsep ini mengajarkan bahwa Allah juga memilih orang-orang dari bangsa lain untuk diselamatkan di dalam Kristus. Hal ini juga menjadi pelajaran bagi kita. Tetapi ingat, jangan salah menafsir bagian ini. Di dalam kedaulatan-Nya, Allah berhak memilih beberapa orang dari manapun untuk menjadi umat-Nya. Perhatikan. Bahkan Allah juga telah memilih beberapa dari orang-orang non-Kristen untuk nantinya pada waktu-Nya dibawa kepada Kristus melalui pencerahan Roh Kudus. Hal ini membukakan dua hal bagi kita sebagai orang Kristen: pertama, kita jangan merasa sombong dengan keselamatan yang kita miliki (bdk Roma 11) dan akibatnya, hal ini mendorong kita untuk semakin rajin memberitakan Injil. Kedaulatan Allah tanpa disertai tanggung jawab manusia di dalam penginjilan itu sia-sia adanya.

Kedua, universalitas karya Allah. Setelah kita mempelajari bahwa Kristus itu adalah Tuhan bagi semua orang (umat pilihan-Nya) tanpa pandang bulu, saat ini kita juga belajar bahwa karya Allah juga bersifat universal. Karya Allah itu ditunjukkan melalui kasih setia-Nya dan kemurahan hati-Nya bagi semua umat pilihan-Nya tanpa memandang bulu. Dalam hal ini, Paulus mengatakan, “...kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya.” Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia menerjemahkan kata “kaya” sebagai “yang kaya dan murah hati” dan uniknya, kata ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif dan keterangan waktu sekarang (Present) (Sutanto, 2003, hlm. 854). Signifikansi dari hal ini adalah Allah yang bermurah hati bukan Allah yang dahulu bermurah hati, tetapi Allah yang dari dahulu, sekarang dan sampai selama-lamanya tetap bermurah hati. Ada unsur kekekalan di dalam kemurahan hati-Nya. Bukan hanya itu saja, kemurahan hati Allah juga bersifat aktif, bukan pasif. Allah itu murah hati BUKAN setelah kita mengasihi dan percaya kepada-Nya, tetapi IA terlebih dahulu menunjukkan kemurahan hati-Nya kepada kita sehingga kita dimungkinkan percaya, bertobat kepada-Nya dan memiliki kemurahan hati seperti Dia. Hal ini juga mencerahkan pikiran orang Yahudi yang dahulu berpikir bahwa Allah hanya memelihara hidup mereka saja dan tidak mempedulikan orang-orang di luar Yahudi karena mereka kafir. Melalui hal ini, Tuhan melalui Paulus menegur mereka agar mereka tidak sombong dan melihat realita bahwa Allah memelihara hidup umat-Nya yang tidak terbatas pada Israel saja, karena Allah itu Mahakuasa. Ia memelihara hidup umat-Nya dengan kemurahan hati-Nya. Bagi kita, ini juga merupakan suatu pelajaran bagaimana hidup menTuhankan Kristus. Ketika seseorang mengaku percaya kepada Kristus, apakah ia sungguh-sungguh hidup menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup mereka ataukah ia sebenarnya sedang menempatkan dirinya sebagai “tuan” ? Ketika seseorang percaya kepada Kristus, ia seharusnya berharap total pada kemurahan hati-Nya yang tidak pernah habis dan ketika kita berharap kepada kemurahan hati-Nya, Ia akan melakukan sesuatu menurut kehendak-Nya yang berbeda dari apa yang telah bahkan sempat kita pikirkan. Ketika kita percaya kepada Kristus, akan ada suatu hal-hal yang di luar dugaan kita akan terjadi, dan percayalah hal-hal demikian pasti memuliakan Allah, karena Allah melakukan segala sesuatu demi kemuliaan-Nya sendiri (Roma 11:36).

Kepada siapakah dua hal ini ditujukan? Kepada mereka yang berseru kepada-Nya. Apa arti “berseru”? Beberapa terjemahan Alkitab dari Indonesia, Inggris dan bahasa asli memberikan kepada kita beragam definisi yang saling memperkaya. Di dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dipakai kata “meminta tolong”, King James Version, dipakai kata call upon (bisa berarti datang kepada), di dalam terjemahan 1965 Bible in Basic English (BBE) dipakai kata hope in (berharap di dalam), di dalam terjemahan Contemporary English Version (CEV) dipergunakan kata ask for his help (meminta pertolongan-Nya) dan di dalam terjemahan Good News Bible (GNB) dipergunakan kata call to (=memanggil). Bagaimana dengan bahasa aslinya? Kata ini di dalam bahasa Yunani epikaleomai yang berasal dari dua kata yaitu epi yang berarti “kepada” dan kata kaleō yang berarti memanggil, jadi artinya “memanggil kepada”. Dengan kata lain, universalitas nama Allah di dalam Kristus dan karya-Nya berlaku hanya bagi mereka (umat pilihan-Nya) yang memanggil atau datang kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Mungkin kita sudah bertahun-tahun menjadi orang Kristen, rajin ke gereja, sudahkah kita berseru atau memanggil atau datang kepada-Nya sebagai wujud rasa hormat dan kasih kita kepada-Nya? Kata “berseru” bukan hanya secara mulut, tetapi keluar dari hati. Seorang yang berseru kepada-Nya adalah seorang yang berharap dan terus bergantung pada kedaulatan-Nya. Adakah sikap ini menjadi kerinduan kita? Ataukah kita lebih mementingkan kehendak kita ketimbang kehendak Allah sehingga kadangkala kita jarang atau bahkan lupa berseru/memanggil atau datang kepada-Nya?

Apa akibat kita berseru kepada-Nya? Di ayat 13, Paulus mengatakan, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.” Ketika kita datang dan berseru kepada-Nya, kita akan diselamatkan. Apa maksudnya “akan diselamatkan”? Apakah kita hanya cukup berseru kepada-Nya dengan sembarangan lalu kita akan diselamatkan? Apakah semudah itu? TIDAK. Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan penjelasan tentang konteks penulisan Surat Roma yaitu pada waktu itu orang-orang Kristen dianiaya dengan ancaman bahwa jika mereka menyebut nama Allah selain Kaisar sebagai “tuhan”, mereka akan mati. Dengan kata lain, melalui ayat ini, Paulus ingin menguatkan iman orang Kristen di Roma bahwa meskipun mereka harus mati karena menyebut dan berseru kepada-Nya, mereka akan tetap diselamatkan. Berarti, ada suatu kuasa di dalam nama Kristus yang kepada-Nya kita harus datang dan memanggil. Di sisi lain, konteks ayat ini menjelaskan dengan gamblang. Orang yang “berseru kepada nama Tuhan” sebenarnya berkaitan dengan ayat 9, yaitu mereka yang mengaku dengan mulut dan percaya dalam hati di dalam kebangkitan Kristus. Jadi, ketika seseorang “berseru kepada nama Tuhan” berarti orang tersebut tidak berseru dengan seruan yang kosong, tetapi dengan seruan yang berisi iman dan pengharapan kepada janji-janji Allah di dalam keselamatan di dalam Kristus. Hal ini akan dipaparkan pada ayat-ayat selanjutnya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita berseru hanya sebagai luapan emosional saja ? Ataukah kita benar-benar berseru kepada-Nya karena kita benar-benar mengerti isi dari apa yang kita serukan kepada-Nya? Mari kita mengintrospeksi diri. Seruan kita kepada-Nya dipengaruhi oleh seberapa dalam dan luasnya kita mengenal Pribadi Allah dan Kebenaran-Nya.

Tetapi apakah cukup hanya berseru saja? TIDAK. Di ayat 14 dan 15, Paulus menyampaikan suatu urutan yang jelas dari belakang (berseru kepada-Nya) sampai ke depan/inti, yaitu pengutusan pemberitaan Injil (“diutus”—ayat 15). Mari kita simak satu per satu.
Di ayat 14a, Paulus mengatakan bahwa seseorang bisa berseru kepada-Nya, asalkan ia percaya kepada-Nya (“Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia?”). Di sini, Paulus memaparkan bahwa untuk dapat berseru/datang kepada-Nya, seseorang harus percaya kepada Dia. Kata “percaya kepada” lebih tepat diterjemahkan mempercayakan diri kepada. Dengan kata lain, ketika seseorang dengan sungguh-sungguh dan rela mempercayakan diri sepenuhnya kepada Kristus, maka ia dapat berseru/datang kepada-Nya. Tanpa seseorang percaya, tak mungkin ada kerinduan hati untuk datang kepada-Nya dan berseru. Masalah yang terjadi pada orang-orang Yahudi adalah mereka terlalu banyak “berseru” kepada-Nya bukan merupakan luapan dari iman mereka, tetapi karena mereka bersungut-sungut. Di dalam Perjanjian Lama, kita juga belajar dari Ayub. Ayub adalah seorang yang saleh yang tiap hari dekat dengan Allah. Ketika pencobaan dari setan datang menyerbu dia, sebagai manusia, dia tetap bergumul di dalam penderitaan, tetapi puji Tuhan, ia tidak larut di dalam penderitaan, melainkan berharap pada Allah. Ia datang dan berseru kepada Tuhan, karena teman-temannya tidak mampu menolong dirinya. Ayub 4-31 dipenuhi dengan beragam argumentasi teman-temannya (Elifas, Bildad dan Zofar) tentang penderitaan Ayub, dilanjutkan dengan pasal 32-37 tentang “nasehat” Elihu, temannya. Apakah yang dibutuhkan Ayub adalah sebuah “nasehat”? TIDAK. Ayub membutuhkan penghiburan, bukan nasehat. Meskipun dia difitnah oleh keempat teman Ayub, ia tetap berharap dan berseru kepada-Nya, mengapa? Karena ia sudah percaya kepada-Nya. Seorang yang setiap harinya terus percaya dan bergumul dengan Allah, maka ketika ada penderitaan, ia tidak berfokus kepada penderitaan, tetapi berharap dan berseru kepada-Nya sebagai satu-satunya sumber Pengharapan. Di dalam Perjanjian Baru, kita juga belajar dari Paulus yang setiap harinya terus hidup beriman dan berharap kepada-Nya, sehingga ketika ada penderitaan mengancam, mengalami karam kapal, dll, ia tidak goyah, tetapi ia terus berharap dan berseru kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Ketika kita berseru, apakah seruan kita keluar dari luapan iman kita yang bersandar dan berharap total kepada Allah ataukah seruan kita menjadi seruan yang bombastis dan emosional atau yang lebih parah lagi, seruan kita adalah seruan bersungut-sungut seperti bangsa Israel dahulu?

Di ayat 14b, Paulus melanjutkan urutannya, yaitu bagaimana seseorang bisa percaya kepada-Nya jika ia tidak mendengar tentang Dia. Di sini, ada kaitan antara mendengar Kristus dan percaya kepada-Nya. Ketika seseorang mendengar Firman Kristus, dari situlah timbullah iman sejati (Roma 10:17). Mengapa Paulus menggunakan kata “mendengar” bukan melihat atau merasakan atau meraba? Karena “melihat” dan “merasakan”/“meraba” lebih bersifat menyesatkan karena itu bersifat fenomenal, sedangkan mendengar meskipun bisa menyesatkan, tetapi intensitasnya kecil, mengapa? Karena ketika kita mendengar, kita mengolah di dalam pikiran terlebih dahulu, sedangkan ketika kita melihat atau merasakan sesuatu, kita hampir tidak pernah memasukkannya ke dalam pikiran. Kita bisa terpukau karena kita melihat atau merasakan, tetapi ketika kita mendengar, kita dituntut untuk aktif. Dan yang unik, kata “mendengar” dalam ayat ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif (BUKAN pasif). Berarti, kita aktif mendengar Firman Tuhan, dan pada saat itu Roh Kudus bekerja mencerahkan hati dan pikiran kita sehingga kita percaya dan bertobat. Bagaimana dengan kita? Seberapa sering dan rindunya kita terus mendengar kebenaran Firman Tuhan? Apakah kita sudah cukup puas jika kita sudah belajar theologi sampai tingkat doktoral? Belajarlah terus dengan mendengarkan pendalaman kebenaran Firman Tuhan.

Di ayat 14c, Paulus melanjutkan bahwa bagaimana seseorang bisa mendengar tentang Kristus jika tidak ada orang yang memberitakan-Nya. Di sini, satu langkah lebih dalam lagi, yaitu orang bisa mendengar Injil jika ada orang yang memberitakan Injil Kristus. “Orang yang memberitakan-Nya” di dalam terjemahan King James Version (KJV) adalah preacher (pengkhotbah/orang yang berkhotbah). Jemaat dan umat Tuhan baru bisa mendengar Injil, jika ada ratusan pemberita Injil yang berapi-api mewartakan Injil. Tetapi sayang, di zaman postmodern, Injil tidak lagi diberitakan dengan murni dan bertanggungjawab. Di banyak gereja kontemporer, Injil ditambah dengan hal-hal sekunder, seperti jadi anak Tuhan pasti kaya, sukses, berhasil, dll, sedangkan di banyak gereja arus utama, Injil sudah dikurangi esensinya, sehingga “Injil” dimengerti hanya sebagai aksi sosial saja (tidak lagi mau memberitakan Injil dengan berbagai macam dalih argumentasi “theologis” atas nama “kontekstualisasi”). Mau ke mana arah zaman? KeKristenan sedang diterpa oleh arus zaman. Oleh karena itu, Paulus mengingatkan kita sekali tentang banyaknya orang yang belum mendengar Injil Kristus, dan tugas kita saat ini juga untuk pergi memberitakan Injil. Khotbah dan pemberitaan Injil harus menjadi satu kesatuan untuk membawa orang-orang yang tersesat kembali kepada Kebenaran Allah di dalam Kristus. Khotbah yang beres TIDAK berisi hal-hal sosial SAJA, tetapi juga memberitakan Injil. Khotbah yang berisi pemberitaan Injil itu lebih penting ketimbang khotbah-khotbah yang bertemakan hal-hal sosial, karena pemberitaan Injil berkaitan dengan hidup seseorang di kekekalan, sedangkan hal-hal sosial hanya berkaitan dengan hidup seseorang di dunia sementara ini.

Lalu, di ayat 15, Paulus memberikan inti permasalahannya yaitu bagaimana mereka bisa memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus. Kata “diutus” dalam KJV diterjemahkan sent dan dalam bahasa Yunaninya adalah apostellō berarti set apart (=dipisahkan). Di dalam Injil Matius 10:16, Tuhan Yesus menjelaskan sisi lain dari pengutusan, yaitu, “"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, …” Kata “mengutus” di dalam ayat ini juga menggunakan bahasa Yunani yang sama dengan ayat 15 di atas. Pemberitaan Injil memang penting, tetapi esensi sebenarnya terletak pada pengutusan dengan dipisahkan. Kristus mengutus kita untuk menjadi saksi-Nya dengan cara memisahkan kita terlebih dahulu dari dunia dan segala konsepnya yang berdosa. Menjadi saksi Kristus berarti menjadi terpisah dari semua konsep dunia berdosa (Roma 12:2). Tuhan tidak mau kita terkontaminasi oleh pikiran setanik dari dunia, karena kita diutus untuk menebus dunia dan kebudayaannya untuk dikembalikan kepada Allah. Dengan kata lain, kita menjalankan fungsi sebagai imam di dalam dunia ini. Ketika kita menjadi imam, kita bukan tak bertugas apapun, tetapi justru kita sangat giat bertugas sebagai imam, baik di dalam menggarap penebusan budaya, maupun yang lebih penting, “penebusan” jiwa kembali kepada Kristus. Dengan kata lain, kita sebagai imam juga menjadi saksi yang mewartakan kasih Kristus dan pengorbanan-Nya di kayu salib serta kebangkitan-Nya sehingga banyak orang yang termasuk umat pilihan-Nya dibawa kembali kepada Kristus. Oleh karena itu, tidak salah Paulus mengatakan, “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (bnd. Yesaya 52:7) Tuhan menghargai dan menganggap indah dan tepat pada waktunya (Sutanto, 2003, hlm. 855) ketika seseorang memberitakan Kabar Baik (Injil). Bagaimana dengan kita? Sudahkah siap menjadi laskar-laskar pewarta Injil Kristus kepada mereka yang terhilang? Bersiapkah kita diutus-Nya? Ingatlah, Tuhan Yesus tadi berfirman bahwa Ia mengutus kita seperti domba ke tengah-tengah serigala. Kita harus berhadapan dengan “serigala-serigala” yang buas yang siap membantai dan membunuh kita, tetapi kita tidak usah kuatir, karena Roh Kudus akan menyertai dan menaungi kita di dalam pemberitaan Injil.

Melalui perenungan keempat ayat ini, kita disadarkan bahwa percaya kepada Kristus bukan hal yang mudah, karena percaya kepada Kristus berkaitan erat dengan kita datang setiap hari kepada-Nya untuk berseru dan berharap kepada-Nya, juga berkaitan erat dengan mendengar Firman Tuhan, memberitakan Injil dan pengutusan pekabaran Injil. Hal-hal ini tidak bisa dipisahkan. Dan ketika hal-hal ini dikaitkan dan disatukan, maka Tuhan akan semakin dipermuliakan di dalam hidup umat-Nya. Sudahkah kita melakukan hal-hal tersebut? Amin. Soli Deo Gloria.

1 comment:

Anonymous said...

Tuhan memberkati...