29 December 2013

Resensi Buku-248: MEMBUKA TOPENG GERAKAN ZAMAN BARU (Prof. Douglas R. Groothuis, Ph.D.)


Gerakan Zaman Baru yang masuk ke dunia sekitar akhir abad XX menjadi suatu gerakan yang cukup besar yang berkembang ke segala aspek kehidupan manusia hingga abad XXI ini. Apa yang diajarkan oleh Gerakan Zaman Baru? Bagaimana orang Kristen menanggapi gerakan ini?

Temukan jawabannya dalam:
Buku 
MEMBUKA TOPENG GERAKAN ZAMAN BARU

oleh: Prof. Douglas R. Groothuis, Ph.D.

Kata Pengantar: Prof. Gordon R. Lewis, Ph.D.
(Profesor Senior bidang Filsafat dan Theologi Kristen di Denver Seminary, U.S.A. dan pendiri dari Evangelical Ministries to New Religions yang menyelesaikan studi Doctor of Philosophy—Ph.D. di Syracuse University)

Prakata (edisi terjemahan bahasa Indonesia): Pdt. Dr. Stephen Tong

Penerbit: Momentum Christian Literature, Surabaya, 2010

Penerjemah: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.



Prof. Douglas R. Groothuis, Ph.D. memaparkan semua hal berkaitan dengan Gerakan Zaman Baru (GZB) yang dimulai dengan dasar ajaran dan kelompok-kelompok yang terkait dengan GZB. Kemudian, dasar ajaran yang dipaparkan di Bab 1 dijelaskan secara rinci di 6 bab berikutnya, meliputi bangkitnya GZB yang dikaitkan dengan matinya humanisme sekuler dan munculnya humanisme kosmis. Kemudian di Bab 3, Dr. Groothuis menjelaskan tentang kesehatan holistik dengan 10 ide utama di baliknya dan pandangan Alkitab tentang hal tersebut. Dari kesehatan, beliau menjelaskan tentang psikologi ala GZB di Bab 4 yang menjabarkan akar-akar psikologi ala GZB mulai dari Sigmund Freud, B. F. Skinner, Abraham Maslow melalui teori aktualisasi diri. Lalu, di bagian akhir, beliau memberikan pandangan Kristen terhadap hal itu. GZB juga mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan melalui pengajaran fisika kuantum, dll, sehingga di Bab 5, Dr. Groothuis menjelaskan dasar sains dan perkembangan sains baru yang dipengaruhi GZB, kemudian seperti di bab-bab sebelumnya, beliau memberikan tinjauan kritis iman Kristen terhadap masalah ini. Selain sains, GZB juga mempengaruhi dunia politik dan pendidikan, sehingga Dr. Groothuis menjelaskan poin ini di Bab 6 di mana sesuai dengan paham GZB, mulai ada pembentukan Tatatan Dunia Baru kelak yang mempersatukan segala sesuatu. Dan terakhir, inti GZB berkaitan dengan spiritisme, sehingga di Bab 7, beliau menjelaskan dasar dan ajaran spiritualitas GZB yang didasarkan pada agama-agama mistik Timur dan Neo-Pagan yang mengajarkan konsep reinkarnasi, relativisme moral, dll, lalu beliau memberikan pandangan iman Kristen bahwa Allah Kristen adalah Allah yang eksklusif dan dapat dikenal tidak seperti konsep GZB. Setelah menguraikan poin-poin tentang pengaruh GZB, lalu pertanyaan selanjutnya, apa agenda utama GZB dan bagaimana iman Kristen menghadapinya. Hal ini dipaparkan Dr. Groothuis di Bab 8 (terakhir) di mana di bab ini, beliau menguraikan agenda utama GZB (mistisisme baru) yang mempengaruhi dunia bukan dengan cara mistisisme lama yang “menakutkan”, tetapi membungkusnya dengan mencampurkannya dengan filsafat Barat. Penipuan ala GZB ini harus ditantang oleh orang Kristen dengan cara bersaksi kepada mereka melalui: memperhatikan (orang Kristen sebagai pengawas budaya yang mengawasi gerak GZB di dalam aspek kehidupan), mengevaluasi (orang Kristen menunjukkan kesesatan GZB), dan bertindak (orang Kristen harus menjadi saksi Kristus di segala aspek kehidupan manusia untuk menanggulangi GZB). Biarlah melalui buku ini, orang Kristen diperlengkapi untuk waspada terhadap ajaran dan dampak GZB sambil tetap tidak paranoid, tetapi memberi dampak pengajaran Kristus dan Alkitab bagi dunia sekitar kita demi hormat dan kemuliaan nama-Nya.



Profil Dr. Douglas R. Groothuis:
Prof. Douglas R. Groothuis, B.S., M.A., Ph.D. adalah Profesor Filsafat di Denver Seminary, U.S.A. yang menyelesaikan studi Bachelor of Science (B.S.) di University of Oregon; Master of Arts (M.A.) dalam bidang Filsafat di University of Wisconsin–Madison; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di University of Oregon. Beliau menulis lebih dari 10 buku, yaitu: Christian Apologetics: A Comprehensive Case for Christian Faith, Unmasking the New Age, Confronting the New Age, Revealing the New Age Jesus, Christianity That Counts, Deceived by the Light, Jesus in an Age of Controversy, The Soul in Cyberspace, Truth Decay, On Pascal, and On Jesus. Bukunya yang berjudul, “Truth Decay: Defending Christianity Against the Challenges of Postmodernism” (InterVarsity Press, 2000) memenangkan 2001 Christianity Today Award of Merit. Selain itu, beliau juga menjadi editor kontribusi bagi the Dictionary of Contemporary Religion in the Western World (InterVarsity, 2002). Buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Jerman, Korea, Norwegia, dll. Ia juga menulis di beberapa jurnal ilmiah, seperti: Religious Studies, Sophia, Research in Philosophy and Technology, Journal of the Evangelical Theological Society, Philosophia Christi, Trinity Journal, and Asbury Theological Journal dan juga menulis di beberapa majalah populer Kristen lainnya, seperti: Christianity Today, Moody Magazine, The Christian Research Journal, Christian Counseling Today, Modern Reformation, dan Perspectives. Ia menikah dengan seorang penulis dan editor, Rebecca Merrill Groothuis.

22 December 2013

Buku ke-28: DOKTRIN DAN PENGALAMAN ROHANI: Kawan atau Lawan? (Denny Teguh Sutandio)


Di dalam Kekristenan abad ini, berbagai pengalaman supranatural bermunculan. Banyak orang Kristen meresponinya dengan menggandrungi pengalaman tersebut, namun ada juga yang menanggapinya dengan menolak semua pengalaman rohani. Bagaimana sikap orang Kristen yang tepat menyikapi pengalaman rohani? Apakah pengalaman rohani bertentangan dengan doktrin (ajaran) Kristen?

Temukan jawabannya dalam
Buku
DOKTRIN DAN PENGALAMAN ROHANI:
Kawan atau Lawan?

oleh: Denny Teguh Sutandio

Penerbit: Sola Scriptura

Harga: Rp 65.000, 00/buku
+ ongkos kirim (tergantung lokasi)


Berminat?
Segera dapatkan buku ini dengan membelinya di:
Denny Teguh Sutandio (0878-5187-3719)

NB: Buku akan dikirimkan ke alamat pemesan setelah pemesan melakukan transfer biaya pesanannya paling lambat satu minggu setelah pemesan mendapat SMS balasan dari saya.



Apa kata mereka tentang buku ini?
“… Pengalaman harus diukur dalam terang Firman Allah (Alkitab)  … Pelajarilah dengan cermat pengalaman-pengalaman rohani yang dikritisi oleh Denny Teguh Sutandio dalam buku ini dan saya yakin buku ini memberi banyak manfaat kepada pembaca yang rindu hidup dalam pengalaman Kristen yang Alkitabiah.
Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th.
Pendeta dan Gembala di Gereja Bethel Apostolik Profetik (GBAP) Bintang Fajar, Palangkaraya dan Dosen Filsafat dan Apologetika Karismatik di STT AIMI, Solo

“… Wawasan pembaca akan semakin dibukakan dengan membaca buku ini, sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Buku ini sangat diperlukan oleh jemaat Tuhan yang ingin bertumbuh.”
Pdt. Setia S. Widjaja, M.Th.
Gembala Sidang Gereja Kebangunan Kalam Allah Indonesia (GKKAI) jemaat Balikpapan

“… Buku “Doktrin dan Pengalaman Rohani: Kawan atau Lawan” perlu dibaca oleh orang percaya untuk melawan ajaran-ajaran sesat dan hanya mencari kehendak Tuhan dalam Alkitab saja serta bertanggung jawab menjadi pelaku firman Tuhan untuk menjadi orang Kristen yang dewasa dalam iman.”
Pdt. Juliman Harefa, Th.M.
Praeses Resort 45 Gereja Banua Niha Kriso Protestan (BNKP) wilayah Jawa dan Lampung

“Suatu buku dari Denny lagi yang patut dipertimbangkan dan cukup berani mengamati, mengkritisi, dan mengangkat topik pentingnya keseimbangan antara doktrin dan pengalaman rohani dalam dunia Kekristenan dan pelayanan dilihat dari kacamata latar belakang pandangan theologis dan gaya penulis pribadi. …”
Pdt. Jonathan Octavianus, D.Th.
Ketua Sekolah Tinggi Theologi Injili Indonesia Surabaya (2008-2016) dan gembala sidang Gereja Bethel Tabernakel (GBT) Kristus Hayat, Surabaya

Resensi Buku-247: MENGALAMI HADIRAT TUHAN: Pengajaran dari Kitab Ibrani (DR. A. W. TOZER)


Mengalami hadirat Tuhan sering kali menjadi permasalahan khusus di dalam Kekristenan. Bagi sebagian orang Kristen (mungkin mayoritas), mengalami hadirat Tuhan tidak ada bedanya dengan perasaan ekstase rohani, namun beberapa orang Kristen anti dengan mengalami hadirat Tuhan karena dipandang terlalu subjektif dan mistik. Lalu, apa sebenarnya mengalami hadirat Tuhan yang sesuai dengan Alkitab? 

Temukan jawabannya dalam:
Buku 
MENGALAMI HADIRAT TUHAN:
Pengajaran dari Kitab Ibrani

oleh: DR. A. W. TOZER

Penyusun dan editor: Rev. Dr. James L. Snyder
(Hamba Tuhan di Family of God Fellowship, Ocala, Florida yang menerima gelar kehormatan Doctor of Letters dari Trinity College di Florida)

Kata Pengantar: Rev. Dr. Randy T. Alcorn
(Pengarang buku laris Sorga)

Penerbit: Nafiri Gabriel, Jakarta, 2011

Penerjemah: Claudia Kristanti



Melalui buku ini, salah seorang hamba Tuhan dan theolog ternama abad XX, Dr. A. W. Tozer mengajar kita bagaimana mengalami hadirat Tuhan sesuai dengan Alkitab. Oleh karena itu, beliau mengajak kita untuk menelusuri beberapa bagian dalam Kitab Ibrani untuk mengerti prinsip mengalami hadirat Tuhan. Di dalam buku, Dr. Tozer menjelaskan pentingnya mengalami hadirat Tuhan sesuai dengan Alkitab sambil memaparkan hambatan-hambatan dalam mengalami hadirat Tuhan tersebut. Lalu, beliau menjelaskan bahwa kita dapat mengalami hadirat Tuhan karena Kristus telah menjadi Pengantara antara Allah yang Mahakudus dengan manusia berdosa, sehingga kita bukan hanya dapat menghampiri hadirat-Nya, bahkan kita dapat mengalami hadirat Allah itu langsung dalam hidup kita. Di dalam mengalami hadirat Tuhan itulah kita menemukan kemerdekaan sejati, sedangkan di luar hadirat-Nya, kita justru merasa terbelenggu. Konsep ini merupakan konsep yang bertentangan dengan konsep dunia yang mengajarkan bahwa mengikut Tuhan justru merupakan suatu keterikatan. Namun, patut disadari menikmati dan mengalami hadirat Tuhan juga perlu disiplin rohani, mulai dari membaca Alkitab, solitude/menyendiri, mengharapkan hadirat-Nya dalam hidup kita setiap hari, ketaatan, dll. Dengan menyadari sambil merenungkan hal ini, kita diarahkan Dr. Tozer untuk benar-benar mengalami hadirat Allah yang nyata di dalam hidup kita sehari-hari sesuai dengan firman-Nya.



Profil Dr. A. W. Tozer:
Aiden Wilson (A. W.) Tozer, Litt.D. (HC), LL.D. (HC) yang lahir tanggal 21 April 1897. adalah hamba Tuhan di Christian and Missionary Alliance (CMA) sejak 1919 s/d 1963 dan merupakan editor Alliance Witness (sekarang bernama Alliance Life) dari 1950 s/d 1963. Selama hidupnya, Dr. Tozer telah menulis banyak buku, termasuk The Pursuit of God dan The Knowledge of the Holy (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: “Mengenal Yang Mahakudus”) menjadi karyanya yang terbesar dan paling laris sampai sekarang. Pada tahun 1950, Tozer menerima gelar kehormatan Doctor of Letters (Litt.D.) dari Wheaton College dan pada tahun 1952, beliau mendapat gelar kehormatan Doctor of Laws (LL.D.) dari Houghton College. Beliau menikah dengan Ada Cecelia Pfautz dan dikaruniai 7 orang anak, yaitu: 6 anak laki-laki dan 1 anak wanita. Beliau meninggal pada tanggal 12 Mei 1963.

19 December 2013

EGOIS (Denny Teguh Sutandio)


EGOIS

oleh: Denny Teguh Sutandio


Sebagai manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, tak bisa dipungkiri, kita pasti egois yang berarti mementingkan diri sendiri. Orang egois selalu didahului oleh “iman” dan pemikiran bahwa saya adalah pusat/sumber segala sesuatu dan semua orang termasuk Allah pun harus taat padanya. Paulus mengajar bahwa salah satu ciri manusia akhir zaman adalah mencintai diri sendiri (2Tim. 3:2). Ada begitu banyak ragam dalam keegoisan itu, baik eksplisit maupun implisit. Keegoisan eksplisit ditandai dengan menuntut orang lain memenuhi kepentingan dirinya dan keegoisan implisit ditandai dengan berpura-pura melawan keegoisan, tetapi mereka sendiri di dalam praktiknya sama egoisnya bahkan mungkin lebih egois dari orang-orang egois yang mereka lawan. Contoh, hampir semua orang ketika ditanya, maukah mereka bekerja sama atau berhubungan dengan orang lain yang egois, mereka biasanya menjawab, “TIDAK.” Jawaban mereka ini sesungguhnya menunjukkan keegoisan mereka, karena sejujurnya mereka mengharapkan orang lain tidak egois, tetapi herannya, tanpa mereka sadari, kebanyakan mereka sendiri egois bahkan mungkin lebih egois di dalam kerja sama atau hubungan dengan orang lain.
Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan, setiap manusia yang sudah berdosa pasti egois. Justru jika ada satu orang yang menganggap diri tidak egois sama sekali, di saat yang sama itu membuktikan ia adalah orang yang egois, mengapa? Karena jika ada satu orang yang menganggap diri tidak egois, ia sudah menganggap diri sebagai “Tuhan” yang sempurna. Lalu, bagaimana solusi terhadap egois?
Manusia mencoba berbagai sarana untuk “menyembuhkan” penyakit keegoisan misalnya dengan menahan diri dari berbagai cobaan hidup, berpikir benar, bertindak benar, dll. Namun bagaimana hasilnya? Bisakah dengan berbagai sarana itu, manusia bisa benar-benar tidak egois? Justru faktanya beberapa orang makin berusaha “menyembuhkan” keegoisan malah menjadi egois, lalu memaksa orang lain yang tidak seiman dengannya untuk menghormatinya. Ironis.
Lalu, bagaimana dong? GalauJ Puji Tuhan, di dalam anugerah dan kasih-Nya yang agung, Allah mengutus Tuhan Yesus, Putra-Nya yang Tunggal untuk menebus dosa manusia termasuk keegoisan dengan cara rela mati disalib menggantikan dosa umat pilihan-Nya untuk menebus dosa mereka, sehingga mereka yang seharusnya mati akibat dosa mereka (termasuk keegoisan) dan menerima penghukuman tidak jadi dihukum karena Kristus telah menebus mereka (Rm. 8:1). Selain itu, teladan hidup Kristus yang rela mengorbankan segala-galanya demi taat pada kehendak Bapa dan mengasihi umat-Nya menginspirasi banyak orang baik orang Kristen maupun non-Kristen. Sejak Kristus lahir, Ia tidak egois, tidak menuntut lahir di istana raja, tetapi Ia lahir di kandang binatang di Betlehem (Luk. 2:1-7), padahal Ia adalah Allah Putra yang juga Pemilik dan Pencipta alam semesta ini. Ia pun tidak memilih lahir di dalam keluarga kerajaan, tetapi rela bekerja dengan Yusuf, ayahnya di dunia sebagai tukang kayu. Di dalam masa remaja-Nya, Ia belajar Taurat dan menjadi murid Taurat, tanpa ingin dikhususkan. Di dalam pelayanan-Nya, Ia berulang kali mengajar para murid-Nya tentang pentingnya melayani dan bukan menjadi tuan. Bahkan Ia mengajar, “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Mat. 23:12; Luk. 14:11) Tatkala Ia mati disalib, Ia tidak meminta pengkhususan pada saat perjalanan menuju salib. Di dalam perjalanan menuju Golgota itu, Ia dilihat dan diejek oleh banyak orang sama seperti orang-orang lain yang akan disalib (Luk. 23:27, 35-36). Bahkan sebelum itu, Ia telah menerima pecutan yang sangat mengerikan dari beberapa tentara Romawi. Di dalam segala sesuatu, Kristus telah menyerahkan diri-Nya bagi umat-Nya (Tit. 3:13-14).
Dengan dasar ajaran dan teladan hidup Kristus inilah, para murid Kristus di zaman dahulu hingga orang-orang Kristen belajar pentingnya tidak egois. Di dalam Alkitab, para rasul Kristus mengajar pentingnya tidak egois. Paulus mengajar salah satu ciri kasih adalah “tidak mencari keuntungan diri sendiri.” (1Kor. 13:5) New English Translation (NET) dengan jelas menerjemahkannya, “It is not self-serving” (“Ia tidak melayani diri sendiri”). Bahkan Paulus mengatakan bahwa ia dan Timotius memberitakan Injil yang murni dengan motivasi murni dan bukan untuk mencari keuntungan pribadi (2Kor. 2:17). Menariknya dalam ayat ini, teks Yunani dari menggunakan kata καπηλεύοντες (kapēleuontes) yang berasal dari kata καπηλεύω (kapēleuō) yang berarti “menjajakan” atau “memperdagangkan”. Dengan kata lain, Paulus mengajar pentingnya hidup tidak mementingkan diri sendiri dan tidak mengeruk keuntungan demi diri sendiri dengan cara memperdagangkan atau menjual murah Injil. Banyak pengkhotbah Kristen sekarang yang menjual murah Injil sebenarnya sedang egois “rohani” karena mereka sedang memutar balik Injil demi mengeruk keuntungan pribadi.
Lalu, bagaimana cara kita mengikis keegoisan kita? Perlu diperhatikan, keegoisan tak mungkin bisa dilenyapkan oleh manusia tatkala ia hidup di dunia, karena bibit dosa ini sudah melekat di dalam diri manusia dan hanya bisa dilenyapkan tatkala umat pilihan-Nya disempurnakan oleh-Nya di Sorga. Meskipun tidak bisa dilenyapkan, tentu saja keegoisan bisa dikikis secara perlahan melalui proses pengudusan Roh Kudus. Roh Kudus akan memimpin kita melalui berbagai cara, yaitu:
Pertama, kasih. Di dalam 1 Korintus 13:5, Paulus menyebutkan salah satu ciri kasih yaitu tidak mencari keuntungan diri sendiri. Dengan kata lain, ketika kita ingin mengikis keegoisan kita, maka kita perlu memiliki kasih. Jika kita memperhatikan ciri-ciri kasih yang Paulus paparkan di 1 Korintus 13:1-7, kita akan melihat bahwa kasih itu dasar segala sesuatu dan sama sekali tidak ada keegoisan di dalamnya, karena di dalam kasih, selalu ada pengorbanan. Yang lebih menarik lagi, kasih diajarkan Paulus di 1 Korintus 13 sebagai pasal pengantara antara pasal 12 dan 14 yang membahas karunia-karunia Roh Kudus. Paulus sadar bahwa berbagai macam karunia Roh dapat membuat umat Allah bertengkar satu sama lain (egois “rohani”) karena mementingkan karunia tertentu dan mengabaikan karunia lain. Oleh karena itu, karunia Roh Kudus harus diimbangi oleh hal yang lebih penting lagi yaitu kasih (1Kor. 12:31). Umat-Nya dapat mengasihi sesama manusia karena umat-Nya belajar dari Allah yang adalah Pribadi Kasih itu sendiri (1Yoh. 4:16b) dan dari Allah Anak yaitu Tuhan Yesus yang mengasihi umat-Nya dengan menebus mereka dari dosa.
Kedua, saling memberi hormat. Di dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menasihati jemaat Roma dan kita, “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” (Rm. 12:10) Wujud dari kasih yang Paulus jelaskan adalah saling mendahului dalam menghormati orang lain. Artinya, kita harus terlebih dahulu menghormati orang lain. Hal ini tentu saja tidak berarti kita cepat-cepatan dalam memberi hormat, lalu kita menganggap bahwa jika kita kalah cepat menghormati orang lain, maka kita tidak mengasihi orang itu. Fokusnya bukan pada frekuensi kecepatannya, tetapi pada sikap “memberi hormat”. Mengapa? Karena kata Yunani untuk “mendahului” dalam teks Yunaninya προηγούμενοι (proēgoumenoi) yang berasal dari kata προηγέομαι (proēgeomai) bisa berarti “mendahului” atau “menganggap lebih baik.” Exegetical Dictionary of the New Testament mengaitkan kata ini dengan Filipi 2:3.[1] Ketika kita menghormati orang lain, kita sedang menganggap orang yang kita hormati itu lebih penting dari kita. Tatkala kita menganggap orang lain lebih penting dari kita, di saat itu pula, kita menyadari bahwa kita bukanlah orang terpenting di dunia ini dan saat itulah, kita dapat perlahan mengikis keegoisan kita.
Ketiga, menganggap orang lain lebih baik dari kita. Menghormati orang lain berkaitan dengan menganggap orang lain lebih baik dari kita. Paulus mengajar di Filipi 2:3 bahwa cara kita menghormati orang lain adalah “dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;” Kata “lebih utama” dalam teks Yunaninya περέχοντας (hyperechontas) yang berasal dari kata περέχω (hyperechō) yang dalam konteks ini berarti “lebih baik” atau “melebihi”. Ini berarti dengan rendah hati, kita menganggap orang lain lebih baik dari kita. Dengan menganggap orang lain lebih baik dari kita, kita sedang berpikir bahwa kita bukan satu-satunya orang baik atau hebat di dunia ini. Dengan berpikir seperti inilah, kita diajar untuk perlahan mengikis keegoisan kita.
Kita menganggap orang lain lebih baik dari kita dengan cara memuji dia. Di tengah zaman yang mengagungkan kehebatan diri, budaya memuji orang lain adalah budaya yang langka. Beberapa orang minta dipuji oleh orang lain sebagai orang tampan atau cantik, tetapi mereka jarang sekali memuji orang lain. Ini adalah salah satu contoh praktis budaya egois di zaman ini. Kalaupun ada orang yang memuji orang lain, biasanya mereka memuji hanya untuk basa-basi (lip service) dan tentunya ada tujuan di baliknya yaitu merayu orang yang dipuji; pujian ini bukan keluar dari hati yang tulus. Nah, ketika kita belajar memuji orang lain, kita sadar bahwa ada orang lain lebih baik, pandai, tampan atau cantik, berbakat, dll dari kita dan di saat itu, kita belajar untuk tidak mengukur segala sesuatu dari perspektif kita sendiri. Mulai sekarang berhentilah untuk terus-menerus mengkritik orang lain bahkan untuk hal-hal remeh (meskipun tentu saja mengkritik tidaklah salah), lalu belajarlah memuji orang lain dengan tulus sambil mengintrospeksi diri kita melalui pujian itu.
Keempat, simpati. Cara terakhir yang Paulus ajarkan untuk mengikis keegoisan kita adalah dengan mengajar jemaat Korintus tentang pentingnya kesatuan dalam satu tubuh Kristus (1Kor. 12:12-30). Di dalam kesatuan tubuh Kristus, kita diingatkan Paulus bahwa masing-masing anggota tubuh Kristus saling membutuhkan di mana kaki membutuhkan tangan, dll (ay. 14-26) dan berakhir dengan kesimpulan bahwa adanya rasa simpati bersama di dalam satu tubuh Kristus di mana jika ada satu anggota yang menderita, semua ikut menderita (ay. 26). Hal ini merupakan pengajaran penting Paulus kepada jemaat di Korintus yang mengalami problematika perpecahan dalam jemaat (1Kor. 1:10-17) dan kita semua tahu bahwa perpecahan di dalam jemaat diakibatkan oleh adanya keegoisan antar jemaat yang mengagungkan pemimpin tertentu dan mengabaikan pemimpin lain (problematika jemaat Korintus—baca 1Kor. 1:12) atau masing-masing jemaat yang ingin pendapatnya didengarkan oleh majelis atau pendeta setempat. Problematika jemaat Korintus juga merupakan problematika orang Kristen zaman sekarang. Banyak jemaat masa bodoh dengan jemaat lain, bahkan ada yang egois, lalu memaksakan pendapatnya untuk menjadi standar kebenaran bagi gerejanya atau gembala sidang gereja yang berlagak seperti bos di perusahaan yang memerintah para pengerja gereja lain untuk mematuhi perintahnya. Semua bentuk keegoisan baik yang berkedok “rohani” sekalipun telah menjadi “penyakit” orang Kristen di zaman sekarang. Solusi terakhir yang Paulus ajarkan untuk mengikis “penyakit” ini adalah dengan berusaha menunjukkan rasa kebersamaan dan simpati antar jemaat. Jemaat yang sakit hendaknya didoakan oleh jemaat-jemaat lain, begitu pula jika ada jemaat yang bersukacita seharusnya menjadi sukacita bagi jemaat-jemaat lain.
Terus terang, hal ini tidaklah mudah. Jangankan dengan orang-orang Kristen di luar gereja kita, kita saja jarang bersosialisasi dengan orang-orang Kristen di dalam gereja kita. Tetapi meskipun sulit, kita bisa memulainya dari sekarang. Tunjukkan rasa simpati kepada sesama jemaat lain dan tentunya dengan sesama orang Kristen yang berbeda gereja dari kita. Jika kita mengenal sesama Kristen kita sedang mengalami kesusahan entah itu saudara atau keluarganya meninggal, belajarlah peka dan simpati kepadanya. Caranya adalah dengan tidak memberikan kata-kata mutiara “rohani” klise seperti “Tuhan punya rencana”, dll, tetapi cukup menunjukkan simpati kepadanya dan memberikan kata-kata penguatan seperlunya, seperti “Saya tidak bisa memahami sepenuhnya permasalahanmu, tetapi Allah sangat mengertinya karena Ia pernah mengalami ditinggalkan oleh Anak-Nya yang Terkasih demi menebus dosa manusia.” (mengutip perkataan Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M.) Saya pribadi berusaha menghindari mengatakan kata-kata rohani klise, tetapi menunjukkan rasa simpati kepada orang Kristen yang sedang mengalami kesusahan dengan cara mendengarkan keluh kesah, memandang, dan berkata kepadanya bahwa saya tidak banyak bicara dan hati saya ikut bersedih. Dengan berusaha simpati kepada sesama saudara seiman, kita belajar untuk memahami permasalahan orang lain dari perspektif orang lain, bukan dari perspektif kita sendiri dan di saat itulah, kita berusaha mengikis keegoisan kita.


Bagaimana dengan kita? Beranikah kita berkomitmen untuk mengikis keegoisan kita dan hidup bagi Allah? Tentu tidak mudah, tetapi melalui dorongan Roh Kudus, kita dimampukan-Nya hidup bagi Allah dan berusaha tidak egois. Amin. Soli Deo Gloria.




[1] Horst Balz dan Gerhard Schneider, ed., Exegetical Dictionary of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1990), software PC Study Bible 5.

15 December 2013

Resensi Buku-246: MISI UMAT ALLAH (Rev. Christopher J. H. Wright, Ph.D.)


Setiap kita yang termasuk umat pilihan Allah memiliki misi bagi dunia. Apakah misi umat Allah tersebut? Apa yang Alkitab ajarkan? Bagaimana menjalankan misi itu?

Temukan jawabannya dalam:
Buku Seri Teologi Biblika Bagi Kehidupan
MISI UMAT ALLAH:
Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja

oleh: Rev. Christopher J. H. Wright, Ph.D.

Penerbit: Literatur Perkantas, Jakarta, 2011

Penerjemah: James Pantou, Lily E. Joeliani, dan Perdian K. M. Tumanan, M.Div.



Melalui buku ini, Rev. Christopher J. H. Wright, Ph.D. mengajar kita bahwa misi umat Allah adalah misi yang integral yang meliputi misi pemberitaan Injil dan misi sosial (tanggung jawab sosial) di mana kita terpanggil untuk menjadi garam dan terang bagi dunia sekitar kita melalui berbagai bidang kehidupan, seperti: pendidikan, ekonomi, hukum, politik, dll. Untuk mengawali pembahasannya, Dr. Wright menjelaskan siapa kita dan tujuan kita diciptakan dengan mengaitkannya dengan 4 kisah yang telah, sedang, dan akan dialami umat Allah, yaitu: penciptaan, kejatuhan dalam dosa, penebusan, dan ciptaan baru (konsumasi). Setiap kisah dibahas oleh Dr. Wright di beberapa bab yaitu pertama, mulai dari penjelasan tentang umat Allah diciptakan untuk peduli dengan ciptaan Allah, kemudian umat ini juga harus menjadi berkat bagi bangsa-bangsa sebagaimana dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, keselamatan umat Allah selalu diperuntukkan bukan hanya bagi umat Israel/pilihan-Nya, tetapi terbuka juga bagi umat non-Israel. Agar dapat menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, umat Allah harus berjalan di jalan Allah. Supaya dapat berjalan di jalan Allah, umat-Nya harus ditebus untuk menjalani hidup penebusan. Dengan menjalani hidup penebusan, kita dapat mewakili Allah di dunia dan akhirnya menarik orang lain kepada Allah.
Setelah membahas tentang misi sosial, maka mulai bab 9, Dr. Wright beralih dengan membahas tentang misi penginjilan yang dimulai dengan misi kita untuk memberitakan Kabar Baik bagi semua orang tentang satu-satunya Allah yang Hidup dan Juruselamat, kemudian disusul dengan menjadi saksi Allah yang hidup bagi dunia. Di dalam kesaksian itu, kita memproklamasikan Injil Kristus bagi semua bangsa.
Mengerti misi entah itu misi sosial maupun penginjilan didasarkan pada konsep kita tentang apa itu diutus dan mengutus. Karena kita diutus dan nantinya mengutus orang lain, maka kita seharusnya hidup dan berkarya di arena publik khususnya aspek sosial (termasuk penginjilan) dan tidak lupa untuk menyertakan doa dan pujian kepada Allah sebagai pusat misi kita. Di bagian akhir, Dr. Wright menantang kita untuk mengambil sikap menjalankan misi di dalam setiap area hidup kita. Biarlah melalui buku yang membahas theologi biblika yang komprehensif (PL dan PB) tentang misi umat Allah, kita disadarkan pentingnya misi umat Allah bagi dunia sekitar kita demi hormat dan kemuliaan nama-Nya.



Rekomendasi:
“Chris Wright memang penulis luar biasa! Dalam buku ini kita memperoleh wawasan berkualitas dari seorang yang menguasai topik misi dan juga isi Kitab Suci – dan karena ia ahli Perjanjian Lama, ia memberikan bagian terbesar Kitab Suci ini porsi yang layak diterimanya, bahkan (khususnya?) ketika subjeknya adalah tentang misi yang kelihatannya adalah bagian dari Perjanjian Baru. Ia tak membatasi diri pada tema-tema Alkitabiah, tetapi memampukan kita menyelami banyak nas Kitab Suci yang khusus, semua dalam porsi yang mudah dicerna. Apa kaitan theologi dengan misi? Buku ini menjawab pertanyaan tersebut secara dahsyat.”
Prof. John Goldingay, Ph.D., D.D.
David Allan Hubbard Professor of Old Testament di Fuller Theological Seminary, U.S.A. yang menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di University of Oxford; Doctor of Philosophy (Ph.D.) di University of Nottingham; dan dianugerahi gelar Doctor of Divinity (D.D.) dari Archbishop of Canterbury at Lambeth.

“Inilah volume pertama sebuah seri baru tentnag theologi Biblika. Buku ini sangat mudah dibaca, ditulis oleh seorang pengkhotbah yang tahu cara berkomunikasi secara sederhana, jelas, dan memikat. Menghadirkan petualangan sangat menyegarkan karena menggali tema misi pada nas-nas Alkitab yang tidak Anda sangkakan. Menarik karena kontroversial dalam mendiskusikan berbagai topik seperti relasi antara kepedulian dengan bumi dengan Penginjilan, tetapi selalu dengan cara yang tak mengundang polemik. Sangat praktis karena berpusat pada dasar-dasar theologis bagi aksi gereja di dunia. Sangat relevan karena mengutamakan kisah misi Allah kepada dunia sebagai yang inti untuk menjadi contoh yang membentuk karya nyata gereja. Sangat membumi dalam menunjukkan bagaimana kehidupan sehari-hari kita sepatutnya menjadi jabaran akan panggilan misioner kita. Karenanya, buku ini sangat direkomendasikan, baik karena isi maupun karena standar tinggi yang ditetapkannya bagi volume-volume berikutnya dalam seri ini.”
Prof. I. Howard Marshall, Ph.D., D.D.
Profesor Emeritus dan Profesor Riset Kehormatan bidang Perjanjian Baru di University of Aberdeen, U.K. yang menyelesaikan studi B.A. di University of Cambrige; Master of Arts (M.A.), Bachelor of Divinity (B.D.), dan Ph.D. di University of Aberdeen; dan dianugerahi gelar Doctor of Divinity (D.D.) dari Asbury Theological Seminary, U.S.A.

“Misi Umat Allah lebih dari sekadar theologi Biblika. Ini adalah perjalanan menyusuri panggilan yang Allah berikan kepada umat-Nya untuk berdampak di dunia di dalam cara yang dikehendaki Allah. Lausanne telah memopulerkan diktum ini, Seluruh gereja mesti membawa seluruh Injil ke seluruh dunia. Wright memberikan kepada kita Alkitab yang utuh bersama theologi yang utuh bagi tugas misi yang utuh, yang terkait dengan penciptaan, penebusan, dan ciptaan baru. Poinnya: kita mesti tahu ke mana kita pergi dan mengapa demikian. Buku ini membawa kita ke sana dengan sangat apik, sepenuhnya menggunakan Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, bahkan memberikan kita rangkaian pertanyaan untuk direnungkan demi mendorong kita bertindak. Bagus!”
Prof. Darrell L. Bock, Ph.D.
Profesor Riset bidang Studi Perjanjian Baru dan Profesor Spiritual Development and Culture (CCL)
 di Dallas Theological Seminary, U.S.A. yang menyelesaikan studi B.A. di University of Texas; Master of Theology (Th.M.) di Dallas Theological Seminary, U.S.A.; Ph.D. di University of Aberdeen; dan menjalani studi post-doktoral di Tübingen University.



Profil Dr. Christopher J. H. Wright:
Rev. Christopher J. H. Wright, Ph.D. yang lahir di Belfast, Irlandia Utara pada tahun 1947 adalah Direktur Internasional dari Langham Partnership International, induk organisasi dari John Stott Ministries, sebuah lembaga yang menyediakan literatur, beasiswa, dan pelatihan khotbah untuk para pendeta dan seminari di negara berkembang. Beliau juga menjabat sebagai anggota kehormatan di All Souls Church, Langham Place, London, Inggris dan ketua dari: Lausanne Movement’s Theology Working Group dan the Theological Resource Panel of TEAR Fund. Beliau menyelesaikan studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) bidang Old Testament economic ethics di Cambridge University. Beliau ditahbiskan di Anglican Church of England pada tahun 1977. Beliau menikah dengan Liz dan dikaruniai: 4 orang anak dan 6 orang cucu. Beliau juga menulis banyak buku:
User’s Guide to the Bible (Lion Manuals), Chariot Victor, 1984
God’s People in God’s Land: Family, Land and Property in the Old Testament. Grand Rapids: Eerdmans; Exeter, U.K.: Paternoster, 1990
Knowing Jesus through the Old Testament, Harpercollins, 1990
Walking in the Ways of the Lord: The Ethical Authority of the Old Testament, Intervarsity Press, 1995
Deuteronomy (New International Biblical Commentary), Hendrickson, 1996
The Uniqueness of Jesus. Thinking Clearly Series. Mill Hill, London and Grand Rapids: Monarch. Reprint 2001. Available in the United States through Kregel Publications, P.O. Box 2607, Grand Rapids, MI 49501), 1997
The Message of Ezekiel (The Bible Speaks Today), Intervarsity Press, 2001
Old Testament Ethics for the People of God. Leicester, England, and Downers Grove, Ill.: Inter-Varsity Press. Revised, updated and expanded version of Living as the People of God and An Eye for an Eye, 2004
The Mission of God: Unlocking the Bible's Grand Narrative, IVP Academic, 2006
Life Through God’s Word: Psalm 119, Milton Keynes, Authentic and Keswick Ministries, 2006
Knowing the Holy Spirit through the Old Testament, Oxford: Monarch Press; Downers Grove: IVP, 2006
Knowing God the Father Through the Old Testament, IVP Academic, 2007
Salvation Belongs to Our God: Celebrating the Bible’s Central Story, Global Christian Library, Nottingham: IVP; Christian Doctrine in Global Perspective, Downers Grove: IVP, 2008
The God I Don’t Understand: Reflections on Tough Questions of Faith, Grand Rapids: Zondervan, 2009
Mission of God’s People The (Biblical Theology for Life), Grand Rapids: Zondervan, 2010

08 December 2013

Resensi Buku-245: Mendengar dan Mengerti, Memandang dan Menanggap UCAPAN YESUS YANG SULIT (Prof. F. F. Bruce, D.D., F.B.A.)


Ketika kita membaca keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes), kita sering kali kesulitan memahami banyak perkataan Kristus. Kesulitan itu dikarenakan adanya gap kebudayaan antara kebudayaan kita dengan kebudayaan di mana Kristus hidup pada waktu itu. Lalu, bagaimana kita dapat mengerti perkataan-perkataan Kristus?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
Mendengar dan Mengerti, Memandang dan Menanggap
UCAPAN YESUS YANG SULIT

oleh: Prof. F. F. Bruce, D.D., F.B.A.

Penerjemah: Indrawati G. Tambayong dan Sonya S. K. Wijaya

Penerbit: Literatur SAAT, Malang, 2007 (cetakan kesembilan)



Di dalam buku ini, Dr. F. F. Bruce menjawab 70 ucapan Yesus yang sering kali sulit dimengerti oleh banyak orang Kristen dikarenakan perbedaan budaya. Untuk menjawab kesulitan tersebut, Dr. Bruce pertama kali membandingkan keempat Injil yang memuat ucapan Yesus yang sulit itu, kemudian menganalisa konteks dekatnya, mengaitkannya dengan konsep Perjanjian Lama dan kitab-kitab dan surat-surat lain dalam Perjanjian Baru, sehingga kita diarahkan untuk memahami ucapan Yesus secara terintegrasi. Biarlah melalui buku ini, kita belajar makna ucapan Yesus yang sulit dimengerti dan tidak lupa untuk diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.



Profil Penulis:
Prof. Frederick Fyvie (F. F.) Bruce, D.D., F.B.A. dilahirkan tanggal 12 October 1910 di Elgin, Skotlandia, Inggris. Beliau menempuh studi dalam bidang Classics di University of Aberdeen dan Cambridge University, kemudian pindah ke University of Vienna untuk menempuh studi Doctor of Philosophy (Ph.D.). Namun di tengah studinya, beliau dipanggil menjadi asisten pengajar di Edinburgh University (1935-1938). Beliau menikah dengan Betty Davidson. Kemudian, beliau mengajar bahasa Yunani di Leeds University (1938-1947). Setelah itu, beliau dipilih menjadi ketua dalam bidang studi Biblika di Sheffield University (1947-1959) dan kemudian Rylands Professor of Biblical Criticism and Exegesis di Manchester (1959-1978). Pada tahun 1957, beliau menerima gelar Doctor of Divinity (D.D.) dari the University of Aberdeen. Beliau menulis beberapa buku, antara lain: Paul: Apostle of the Heart Set Free (terbitan Amerika), The Books and the Parchments, Biblical Exegesis in the Qumran Texts, Israel and the Nations, Paul and his Converts, Biblical Exegesis in the Qumran Texts, dll. Beliau juga melayani sebagai editor pada The Evangelical Quarterly dan the Palestine Exploration Quarterly. Beliau terpilih sebagai: Fellow of the British Academy (F.B.A.) dan juga menjabat Presiden dari the Society for Old Testament Study dan juga Presiden dari the Society for New Testament Study. Beliau juga menulis beberapa buku tafsiran atas surat: Roma, Kisah Para Rasul, 1 & 2 Korintus, Galatia, Injil dan Surat Yohanes, dan Surat Ibrani. Beliau meninggal tanggal 11 September 1990.

01 December 2013

Book Description-244: LISTENING TO THE SPIRIT IN THE TEXT (Rev. Prof. Gordon D. Fee, Ph.D., D.D.)


Many Christians think that Biblical study (exegesis) is separated from spirituality and church’s life. A seminary student who is interested in Biblical exegesis often ignore spirituality and lay Christians who interested in spirituality ignore Biblical exegesis. Is it right?

Get the answer in the:
Book
LISTENING TO THE SPIRIT IN THE TEXT

by: Rev. Prof. Gordon D. Fee, Ph.D., D.D.

Publisher: William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 2000



In this book, a New Testament scholar in textual criticism, Prof. Gordon D. Fee, Ph.D., D.D. explains that biblical exegesis is not separated from spirituality and church’s life. In the first part, he explains about the relationship between the biblical text and the life in the Spirit (spirituality). In the first chapter, he explains what the spirituality means, i.e.: life in the Spirit. It affects on his experience in writing commentaries. To shape that biblical spirituality, he explains about how to be a Trinitarian Christian who understand and experience the Trinity and what God has done in the salvation for His people. Christians who want to study biblical spirituality should study and understand Pauline spirituality, not only Pauline doctrine/theology. After that, he explains about New Testament perspective on wealth and possession and gender issues. Then, in the second part, he relates the biblical text with the life of the church (ecclesiology). In this part, he explains what New Testament texts teach us about the relationship between the Holy Spirit and worship, speaking in tongues, church’s leadership, church’s order, and the Kingdom of God and church’s global mission. The uniqueness of this book is Dr. Fee explains 12 chapters with the clarity and simplicity. Let this book is useful for us to study and integrate biblical exegesis/study with spirituality and ecclesiology.



Endorsement:
“These essays show Gordon Fee at his characteristic work, fusing exegetical accuracy and evangelical passion. Words are never mere words for this master exegete. I think of him as our 'resurrection scholar,' calling the words out of the text and setting them before us pulsing with life.”
Rev. Prof. Eugene H. Peterson, D.H.L.
(Professor Emeritus of Spiritual Theology at Regent College, Canada, founding pastor of Christ Our King Presbyterian Church in Bel Air, Maryland, and the author of “The Message: The Bible in Contemporary Language”; Bachelor of Arts—B.A. in Philosophy from Seattle Pacific University; Bachelor of Sacred Theology—S.T.B. from New York Theological Seminary; Master of Arts—M.A. from Johns Hopkins University; and honorary Doctor of Humane Letters—D.H.L. {Hons} from Seattle Pacific)

“This set of biblical explorations—mostly Pauline, as we would expect—demonstrates Gordon Fee’s strength in exegesis, biblical theology, and hermeneutics as he pursues his trinitarian, churchly, life-centered concerns. Fee is a Pentecostal pneumatologist without peer. In his largehearted service of the biblical text he is in every way a model. Brilliant and simple, these chapters will enrich all who take the Bible seriously.”
Rev. Prof. James Innell Packer, D.Phil.
(the Board of Governors' Professor of Theology at Regent College in Vancouver, British Columbia; B.A., M.A., and Doctor of Philosophy—D.Phil. from Corpus Christi College, Oxford University, U.K.)



Biography of Dr. Gordon Fee:
Rev. Prof. Gordon Donald Fee, Ph.D., D.D. who was born in 1934 in Ashland, Oregon, to Donald Horace Fee (1907–1999) and Gracy Irene Jacobson (1906–1973) is an American-Canadian Christian theologian and an ordained minister of the Assemblies of God (USA). He currently serves as Professor Emeritus of New Testament Studies at Regent College in Vancouver, Canada. Fee received his Bachelor of Arts (B.A.) and Master of Arts (M.A.) degrees from Seattle Pacific University and his Doctor of Philosophy (Ph.D.) from the University of Southern California. On April 21, 2010, Fee was awarded an honorary Doctor of Divinity (D.D.) degree from Northwest University in Kirkland, Washington, where Fee has taught in the past and where a building is named for his father, Donald Fee. Fee is considered a leading expert in pneumatology and textual criticism of the New Testament. Fee is a member of the CBT (Committee on Bible Translation) that translated the New International Version (NIV) and its revision, the Today's New International Version (TNIV). He also serves on the advisory board of the International Institute for Christian Studies.

24 November 2013

Buku ke-27: "KESOMBONGAN: Problematika dan Solusinya" (Denny Teguh Sutandio)

Kesombongan adalah dosa utama yang mempengaruhi dosa-dosa lain. Semua orang termasuk orang Kristen pun tidak bisa luput dari dosa kesombongan ini. Dosa ini mengakibatkan manusia khususnya umat-Nya mengalami kehancuran. Lalu, bagaimana solusinya? 

Temukan jawabannya dalam
Buku
KESOMBONGAN:
Problematika dan Solusinya

oleh: Denny Teguh Sutandio

Penerbit: Sola Scriptura

Harga: Rp 45.000, 00/buku 
+ ongkos kirim (tergantung lokasi)


Berminat?
S
egera dapatkan buku ini dengan membelinya di:
Denny Teguh Sutandio (0878-5187-3719)

NB: Buku akan dikirimkan ke alamat pemesan setelah pemesan melakukan transfer biaya pesanannya paling lambat satu minggu setelah pemesan mendapat SMS balasan dari saya.



Apa kata mereka tentang buku ini?
“Bagi saya, Denny Teguh Sutandio adalah penulis muda yang berbakat! … tulisannya selalu bersifat profetis. Artinya, tulisannya merupakan upaya untuk menyoroti aneka femonena zaman ini dan menghadirkan suara Firman yang akan menolong kita dalam menyikapi fenomena itu!”
Ev. Jimmy Setiawan, S.Psi., M.T.S.
Gembala Ibadah di Gereja Kristen Baptist Jakarta (GKBJ) Taman Kencana dan Direktur Mentoring Center for Worship Renewal (MCWR)

“…  nampak adanya reward yang diberikan kepada mereka yang menunjukkan sebuah prestasi, baik dalam dunia pekerjaan maupun dalam dunia pendidikan. Di satu sisi nampaknya hal ini baik, namun di sisi lain, reward dapat membawa seseorang untuk membanggakan prestasi yang telah diraihnya. … Apakah membanggakan prestasi adalah salah satu bentuk kesombongan? ... Dengan bahasa yang mudah dimengerti, buku ini dapat menjadi partner bagi setiap anak Tuhan yang rindu untuk menjadi serupa dengan Kristus, secara khusus, yaitu: menjadi pribadi yang tidak sombong.”
Ev. Chandra Udayana, S.T., M.Div.
Rohaniwan Gereja Kristen Kalam Kudus jemaat Kupang Jaya dan Bright Community Service di Surabaya

“Orang yang rendah hati akan senang menyambut buku ini. Demikian juga orang yang sombong, karena buku ini memberikan pemahaman dan sekaligus peringatan akan bahaya dosa kesombongan yang sering tidak kita sadari. Dan berita sukacitanya, buku ini juga memberikan solusi untuk mengatasi dosa kesombongan itu.”
Ev. Willi Oscar, S.Th.
Pembimbing Rohani Komisi Pemuda GKA Elyon Pregolan, Surabaya

Resensi Buku-243: 7 LANGKAH MENYUSUN KHOTBAH YANG MENGUBAH KEHIDUPAN: Khotbah Ekspositori (Pdt. Benny Solihin, M.Th.)


Pendeta, penginjil, maupun kaum awam  memiliki salah satu tugas pelayanan yaitu berkhotbah di mimbar. Namun sayangnya beberapa pengkhotbah menyepelekan tugas ini, sehingga banyak pendengar/jemaatnya tidak mendengarkan khotbah yang bermutu atau khotbah yang sanggup mengubah kehidupan mereka. Lalu, bagaimana berkhotbah yang tepat yang dapat mengubah kehidupan pendengarnya?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
7 LANGKAH MENYUSUN KHOTBAH YANG MENGUBAH KEHIDUPAN:
Khotbah Ekspositori

oleh: Pdt. Benny Solihin, M.Th.

Penerbit: Literatur SAAT, Malang, 2010 (cetakan kedua)



Di bagian awal bukunya, Pdt. Benny Solihin memaparkan 5 persoalan yang terjadi pada khotbah-khotbah masa kini di mana banyak pengkhotbah, yaitu: kurang bergantung pada Roh Kudus, isi khotbah, aplikasi khotbah, penyajian khotbah, dan diri pengkhotbah, kemudian disusul dengan tantangan Pdt. Benny Solihin untuk menyusun khotbah yang mengubah kehidupan. Khotbah yang mengubah kehidupan bisa memiliki beragam jenis, yaitu: khotbah ekspositori, tekstual, maupun topikal. Nah, yang akan dijelaskan Pdt. Benny Solihin adalah khotbah ekspositori, maka di bab selanjutnya, beliau menjelaskan definisi, unsur-unsur penting, dan manfaat khotbah ekspositori. Di bab-bab selanjutnya, beliau menjelaskan 7 langkah menyusun khotbah ekspositori, yaitu: bergantung pada Roh Kudus; memilih teks; menemukan amanat teks (disingkat: AT; diperlukan eksegese Alkitab yang ketat); membuat amanat khotbah (disingkat: AK; yaitu “membumikan” AT untuk jemaat/pendengar); menyusun struktur khotbah, lalu mengembangkan struktur khotbah yang telah disusun dengan menggunakan penjelasan, ilustrasi, dan aplikasi; dan membuat pendahuluan dan penutup khotbah yang relevan dengan isi khotbah/AT. Ketujuh langkah tersebut diuraikan dengan sederhana dan detail disertai contoh-contoh bagi masing-masing poin di setiap langkah. Aplikasi praktis atau contoh-contoh khotbah ekspositori yang memuat ketujuh langkah tersebut diberikan di bab selanjutnya yang berisi 10 contoh khotbah ekspositori yang diambil dari nats PL dan PB. Di bagian apendiks, beliau menjelaskan pentingnya khotbah yang Kristosentris (berpusat pada Kristus), namun tetap memperhatikan konteks Alkitab yang dibahas dan memperhatikan kerangka khotbah yang tepat. Buku ini juga disertai dengan CD khotbah Pdt. Benny Solihin sebagai sarana studi bagi kita tentang khotbah ekspositori yang setia pada teks Alkitab namun tetap relevan bagi pendengarnya.



Endorsement:
“Setelah mengajar ilmu berkhotbah selama bertahun-tahun, rekan saya, Pdt. Benny Solihin, adalah seorang yang ahli dan yang pantas menuliskan buku yang berbobot ini. Konten buku ini yang intinya mengarahkan pembaca pada penggalian Alkitab melalui khotbah ekspositori akan menjadi sebuah buku yang signifikan dan cocok bagi dosen, pendeta, mahasiswa theologi, pengkhotbah awam, dan peminat serius. Satu hal lagi: Pdt. Benny bukan cuman cermat mengajar; selama bertahun-tahun ia telah menjadi pengkhotbah kebangunan rohani dan pengkhotbah biblikal yang menonjol  di gereja-gereja dan dalam berbagai kesempatan. Karena itu, setiap hamba Tuhan yang rindu dibangkitkan kemampuan khotbahnya, harus menjadikan buku ini sebagai patokan dalam pengajaran dan pelayanan mimbarnya.”
Pdt. Daniel Lucas Lukito, Th.D.
Rektor sekaligus Dosen Theologi Sistematik dan Kontemporer di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang yang menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di SAAT Malang; Master of Theology (M.Th.) di Calvin Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Theology (Th.D.) di Southeast Asia Graduate School of Theology, Filipina.

“Buku ini secara komprehensif menjelaskan prinsip-prinsip menyusun khotbah yang mengubahkan. Penulis tidak hanya berfokus pada teknik penyusunan khotbah yang berbobot, tetapi melihat betapa pentingnya bergantung kepada Roh Kudus. Buku ini menjawab kehausan gembala, pendeta, pemimpin gereja, dan mahasiswa akan kajian penyusunan khotbah yang menyeluruh termasuk dimensi spiritualnya. Buku ini wajib dibaca bagi kita semua yang terlibat dalam pelayanan mimbar baik pemula maupun yang berpengalaman.”
Pdt. Daniel Ronda, D.Min.
Dosen Theologi Sistematika dan Praktika di Sekolah Tinggi Theologi Jaffray yang menyelesaikan studi S.Th. di STT Jaffray Makassar; Master of Divinity (M.Div.) bidang Pastoral Studies di Alliance Graduate School Manila (dulu ABS); Master of Theology (Th.M.) bidang Theologi Sistematika di Asia Graduate School of Theology (AGST), Manila; dan Doctor of Ministry (D.Min.) dalam bidang Kepemimpinan (konsentrasi Preaching) di Asbury Theological Seminary, Wilmore-Kentucky-U.S.A.

“Buku ini sangat kaya dengan informasi mengenai berkhotbah. Bahasanya pun lancar dan mudah dimengerti. Langkah-langkah yang diajarkan cukup praktis tanpa meninggalkan pertanggungjawaban akademis. Cocok untuk para praktisi maupun akademis.”
Pdt. Robert Setio, Ph.D.
Dosen di Sekolah Tinggi Theologi Duta Wacana dan Ketua Umum BPMS GKI yang menyelesaikan studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Glasgow University.

“Buku ini adalah hasil penggabungan antara pengalaman berkhotbah dan mengajar homiletik selama bertahun-tahun. Disusun secara sistematis dan mudah diikuti oleh siapa saja yang ingin belajar sehingga meningkatkan kemampuan berkhotbah. Buku ini wajib dibaca oleh para pemberita firman Allah.”
Pdt. Buby N. Ticoalu, D.Min.
Dosen di SAAT Malang dan Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA) – Jakarta sekaligus Pendiri dan Ketua Pembina dari Rumah dan Sekolah Betzata yang menyelesaikan studi S.Th. di SAAT; Master of Arts in Religion (M.A.) dan Doctor of Ministry (D.Min.) di Westminster Theological Seminary, U.S.A.

“Khotbah yang baik tidak dapat dilepaskan dari persiapan yang membutuhkan usaha keras untuk mempelajari dan menggali kebenaran yang diajarkan dalam teks Alkitab, serta tahu bagaimana mengaplikasikan dan menyajikannya dengan benar, menarik, dan relevan. Inilah yang merupakan poin penting dari pembahasan buku ini. Buku ini perlu dibaca dan dipelajari bukan hanya oleh para mahasiswa theologi atau pengkhotbah pemula, melainkan juga olh para pengkhotbah berpengalaman, agar tetap ingat tentang keagungan dan keseriusan pelayanan berkhotbah dengan segala konsekuensi yang harus dibayarnya.”
Pdt. Yohanes Adrie Hartopo, Ph.D.
Dosen Hermeneutika dan Biblika di Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA), Jakarta yang menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Akademi Bahasa Asing, Surabaya; S.Th. di SAAT Malang; M.Div. dan Ph.D. di Westminster Theological Seminary, Philadelphia, Pennsylvania, U.S.A.

“Banyak warga jemaat masa kini yang merasa gelisah dengan khotbah para pelayan yang dirasakan kurang membangun iman mereka untuk mampu merespon tantangan hidup. Tujuh Langkah Menyusun Khotbah yang Mengubah Kehidupan yang diulas dalam buku ini mengajak para pengkhotbah untuk setia menggali pesan Alkitab dan mengembangkan pesan khotbah yang menyentuh kebutuhan warga jemaat dalam konteksnya yang nyata. Dengan menggunakan bahan ini, Pdt. Benny Solihin telah menjadi saluran berkat dalam pelatihan khotbah, khususnya bagi pengkhotbah dalam lingkup Gereja Toraja.”
Pdt. Henriette Hutabarat Lebang, Ed.D.
Pendeta Gereja Toraja di Indonesia dan General Secretary dari Christian Conference of Asia yang menyelesaikan studi Master of Divinity (M.Div.) di STT Jakarta; Master of Arts (M.A.) dan Doctor of Education (Ed.D.) di the Presbyterian School of Christian Education, Richmond Virginia

“Saya menyambut dengan sukacita buku tentang khotbah ekspositori yang ditulis oleh Pdt. Benny Solihin. Buku ini sangat sistematik, memaparkan tujuh langkah dalam menyusun khotbah ekspositori yang Tuhan bisa pakai untuk mengubah kehidupan. Saya sangat diberkati mendengarkan khotbah Pdt. Benny Solihin yang pasti dipersiapkan mengikuti sistematika yang diuraikan dalam buku ini. Buku ini menurut saya harus menjadi pegangan para pendeta dan para pengkhotbah lainnya.”
Dr. (HC) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc.
Rektor Universitas Pelita Harapan (UPH) yang adalah alumni dari the University of Tasmania, Australia dan dianugerahi gelar doktor dari Ouachita Baptist University.



Profil Pdt. Benny Solihin:
Pdt. Benny Solihin, S.E., S.Th., M.Th., D.Min. (Cand.) adalah dosen Hermeneutika (ilmu penafsiran Alkitab) dan Homiletika (ilmu berkhotbah) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di Universitas Indonesia pada tahun 1987; Sarjana Theologi (S.Th.) di SAAT Malang pada tahun 1992; Master of Theology (M.Th.) in preaching di Calvin Theological Seminary, U.S.A.; dan sejak tahun 2008 hingga sekarang sedang menyelesaikan studi Doctor of Ministry (D.Min.) in preaching di Gordon-Conwell Theological Seminary, U.S.A. Tuhan menganugerahinya seorang istri, Megawati Rusli dan dua orang putra: Niko Solihin dan Samuel Solihin.