02 February 2012

Bagian 8: Karunia Nubuat (1Kor. 12:10; 14:22; Rm. 12:6)

MENGENAL KARUNIA-KARUNIA ROH KUDUS

Bagian 8: Karunia Nubuat (1Kor. 12:10; 14:22; Rm. 12:6)

oleh: Denny Teguh Sutandio

Karunia keenam yang disebut Paulus di Surat Korintus atau karunia pertama yang disebut Paulus di Roma 12:6 adalah karunia bernubuat. Bernubuat (LAI) dalam teks Yunaninya adalah προφητεαν (prophēteian) yang merupakan kata benda, berfungsi sebagai akusatif (objek langsung), feminin, dan tunggal dari kata προφητεα (prophēteia).[1] Kata ini berasal dari kata Yunani prophētēs yang berarti nabi (prophet). Dengan kata lain, ada kaitan erat antara nubuat dengan nabi.

Di dalam bahasa Ibrani, nubuat/bernubuat adalah: nibba (1Raj. 22:12)[2] dan kehinnave’i (Yeh. 37:4, 7, 9, 10).[3] Kata dasar dari dua teks Ibrani tadi adalah navi (artinya nabi) (Kej. 20:7).[4]

Apa kata Alkitab tentang nubuat? Mari kita menyelidikinya.

a) Nubuat sejati berasal dari Allah

Ketika kita membaca kitab Yehezkiel 37, kita mendapatkan penjelasan bahwa Allah menyuruh nabi Yehezkiel untuk bernubuat (ay. 4-6, 9) dan si nabi menyampaikan apa yang difirmankan-Nya (ay. 7, 10).

Bahkan di Amos 3:7, Alkitab mencatat, “Sungguh, Tuhan ALLAH tidak berbuat sesuatu tanpa menyatakan keputusan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, para nabi.” Berikut pengakuan seorang Amos ketika hendak diusir imam Amazia,

Aku ini bukan nabi dan aku ini tidak termasuk golongan nabi, melainkan aku ini seorang peternak dan pemungut buah ara hutan. Tetapi TUHAN mengambil aku dari pekerjaan menggiring kambing domba, dan TUHAN berfirman kepadaku: Pergilah, bernubuatlah terhadap umat-Ku Israel. Maka sekarang, dengarlah firman TUHAN! Engkau berkata: Janganlah bernubuat menentang Israel, dan janganlah ucapkan perkataan menentang keturunan Ishak. (Am. 7:14-16)

Di kitab Amos ini, kita mendapatkan penjelasan yang lebih detail bahwa Allah yang memerintahkan seorang abdi-Nya untuk bernubuat.

b) Nubuat diasosiasikan dengan nabi yang bertugas menyampaikan pesan Allah kepada umat atau keturunan tertentu dalam situasi tertentu

Nubuat dikaitkan dengan nabi Hagai dan Zakharia bin Ido yang bernubuat terhadap orang-orang Yahudi yang tinggal di Yehuda dan di Yerusalem di Ezra 5:1. Konteks penulisan kitab ini adalah meneruskan narasi di dalam 2 Tawarikh yang sudah selesai dan menelusuri sejarah kepulangan umat Yahudi dari pembuangan di Babel dan pembangunan kembali Bait Suci.[5] Dalam Vulgata (terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin), kitab Ezra dan Nehemia diberi judul: “1 dan 2 Esdras.”[6]

Selain itu, di dalam 2 Tawarikh 15:8, nubuat dikaitkan dengan nabi Azarya bin Oded. Secara susunan dalam LAI, memang kitab 1 dan 2 Tawarikh diletakkan sebelum kitab Ezra, namun menurut Prof. Andrew E. Hill, Ph.D. dan Prof. John H. Walton, Ph.D. dalam bukunya Survei Perjanjian Lama, kitab 1 dan 2 Tawarikh dibagi menjadi dua kitab ketika teks Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta) dan uniknya, di dalam Alkitab Ibrani sendiri, kitab ini terletak setelah kitab Ezra dan Nehemia yang menunjukkan mungkin kitab ini diterima dalam kanon Perjanjian Lama di kemudian hari sebagai tambahan pada tulisan sejarah dalam 1 dan 2 Samuel serta 1 dan 2 Raja-raja. Sejarah dalam kitab ini dimulai dari akhir pemerintahan Saul hingga masa pembuangan Yehuda ke Babel (sekitar 1020-586 SM). Kitab ini bertujuan menekankan jabatan raja Daud dan Salomo untuk menunjukkan kesinambungan sejarah Ibrani pada masa pra-pembuangan dan pasca-pembuangan. Selain itu, kitab ini juga sebagai kitab pengharapan di Yerusalem pada masa pasca-pembuangan dengan meyakinkan mereka bahwa Tuhan Allah yang berdaulat yang telah memimpin pemerintahan Daud dan Salomo juga akan memimpin umat-Nya.[7]

Di dalam Perjanjian Baru, di Injil Matius, Tuhan Yesus mengutip nubuat nabi Yesaya sebanyak 2x, yaitu di Matius 13:14-15[8] dan 15:7-9[9] dan uniknya, kedua teks tadi ditujukan kepada orang Israel yang tegar tengkuk. Dari sini, kita belajar bahwa Kristus pun mengaitkan nubuat dengan pekerjaan seorang nabi yang bertugas menyampaikan pesan Allah kepada umat/keturunan tertentu dalam konteks tertentu.

c) Nubuat bersifat masa lalu, masa kini, dan masa depan

Selain berasal dari Allah dan disampaikan melalui para nabi, maka nubuat juga harus dimengerti bukan hanya menyangkut hal-hal yang bersifat masa depan, tetapi juga bisa bersifat masa kini. J. A. Motyer, M.A., B.D. dalam penjelasannya tentang nubuat mengatakan,

Pada diri Musa juga ditemukan kombinasi pemberitaan dan nubuat yang terdapat pada semua nabi. Ini mencolok terperinci sebagai satu corak kenabian pada umumnya. Di sini kita hanya mencatat bahwa Musa juga menetapkan norma, yaitu bahwa bila seorang membicarakan kejadian masa kini, dalam pembicaraannya itu sang nabi juga sering membicarakan kejadian akan datang.[10]

Dari sini, kita mendapatkan penjelasan bahwa nubuat selalu bersifat rangkap dua: masa kini dan masa depan. Nubuat di masa depan berfungsi sebagai peringatan bagi umat Israel di masa kini agar mereka bertobat (Yes. 30:6-9) dan hidup kudus (Yes. 2:5).[11]

Prof. David E. Garland, Ph.D. di dalam tafsirannya tentang kata nubuat di dalam 1 Korintus 12:10 mengatakan dwi sifat nubuat ini di dalam Perjanjian Baru yaitu untuk masa depan (Agabus di Kis. 11:28) dan untuk situasi masa kini yaitu untuk membangun dan menghibur (1Kor. 14:3) sekaligus membuat orang lain sadar bahwa Allah hadir (1Kor. 14:25) dan memanggil seseorang bertobat (Why. 11:3).[12]

Selain itu, nubuat juga bersifat masa lalu. Bagaimana mungkin? Rasul Petrus mengungkapkan hal ini di dalam 2Ptr. 1:20-21 berikut ini,

Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.

Uniknya, semua kata nubuat di kedua ayat ini dalam bahasa Yunaninya berbentuk tunggal, yaitu προφητεα (prophēteia). Kalau kita melihat konteksnya, tentu nubuat dalam Kitab Suci (Yunani: γραφςgraphēs) merujuk pada nubuat dalam Perjanjian Lama dan tentu saja Petrus mengaitkan nubuat dengan apa yang sudah terjadi di zaman sebelum Tuhan Yesus.

d) Allah membenci nubuat-nubuat palsu

Pada poin a) dan b) di atas, kita belajar bahwa nubuat sejati berasal dari Allah dan diasosiasikan dengan nabi, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah dari mana kita mengetahui bahwa nubuat dari seorang nabi itu berasal dari Allah atau tidak. Ada beberapa kriteria yang Allah sendiri ajarkan kepada kita:[13]

(1) Nubuat palsu tidak terjadi

Allah sendiri memberikan penegasan,

Jika sekiranya kamu berkata dalam hatimu: Bagaimanakah kami mengetahui perkataan yang tidak difirmankan TUHAN? -- apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN; dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya, maka janganlah gentar kepadanya.” (Ul. 18:21-22)

Memang secara konteks, kitab Ulangan ini ditulis sebagai persiapan bangsa Israel masuk ke Kanaan setelah 40 tahun mengembara di padang gurun.[14] Dengan kata lain, kriteria nubuat palsu adalah ketika nubuat yang disampaikan oleh si nabi tidak terjadi dan Tuhan memerintahkan umat-Nya untuk tidak gentar menghadapi para nabi palsu tersebut.

(2) Hasil akhir dari nubuat palsu: menuntun si pendengar menyembah ilah lain di luar Allah

Selain itu, palsu atau tidaknya suatu nubuat diukur dari tujuan/hasil akhirnya. Jika tujuan/hasil akhir dari nubuat tersebut justru mengarahkan seorang yang mendengarkan nubuat tersebut untuk menyembah ilah lain di luar Allah, maka Allah memerintahkan umat-Nya untuk tidak mendengarkan nubuat palsu tersebut. Tuhan sendiri menegaskan hal ini di Ulangan 13:1-3,

Apabila di tengah-tengahmu muncul seorang nabi atau seorang pemimpi, dan ia memberitahukan kepadamu suatu tanda atau mujizat, dan apabila tanda atau mujizat yang dikatakannya kepadamu itu terjadi, dan ia membujuk: Mari kita mengikuti allah lain, yang tidak kaukenal, dan mari kita berbakti kepadanya, maka janganlah engkau mendengarkan perkataan nabi atau pemimpi itu; sebab TUHAN, Allahmu, mencoba kamu untuk mengetahui, apakah kamu sungguh-sungguh mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.

Bahkan yang lebih mengerikan, Allah sendiri memerintahkan, “Nabi atau pemimpi itu haruslah dihukum mati, karena ia telah mengajak murtad terhadap TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir dan yang menebus engkau dari rumah perbudakan--dengan maksud untuk menyesatkan engkau dari jalan yang diperintahkan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dijalani. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.” (Ul. 13:5; bdk. 18:20)

(3) Nubuat palsu selalu berisi hal yang menyenangkan telinga.

Kriteria terakhir untuk menilai apakah nubuat itu asli atau palsu adalah isi dari nubuat itu. Alkitab mencatat hampir semua nubuat dalam Perjanjian Lama selalu berisi berita pertobatan, peringatan hidup kudus, dan hukuman. Dengan kata lain, setiap nubuat yang tidak berisi hal-hal tadi pasti adalah nubuat palsu. Sejarah Perjanjian Lama mencatat bahwa nubuat-nubuat palsu selalu berisi hal-hal yang menyenangkan dikontraskan dengan nubuat sejati dari para nabi Allah sejati. Mari kita menyelidikinya.

Mari kita membuka nats 1 Raja-raja 22:1-40. Konteksnya adalah waktu itu Aram dan Israel tidak berperang. Kemudian Yosafat, raja Yehuda mendatangi besannya, Ahab, raja Israel (bdk. 2Taw. 18:1). Lalu, Ahab bertanya kepada para pegawainya tentang Ramod-Gileat dan ia berikhtiar ingin merebutnya dari tangan orang Aram. Ia bertanya kepada Yosafat, apakah ia juga mau ikut? Yosafat setuju, tetapi ia ingin mendapatkan firman Tuhan terlebih dahulu sebelum berangkat merebut Ramod-Gileat (ay. 5). Kemudian Ahab mengumpulkan 400 nabi dan bertanya apakah ia boleh pergi berperang melawan Ramod-Gileat, lalu para nabi memberi jawaban positif yaitu “Majulah! Tuhan akan menyerahkannya ke dalam tangan raja.” (ay. 6) Namun, Yosafat tidak puas dengan jawaban itu, maka ia bertanya apakah ada nabi Tuhan lain (ay. 7). Perhatikan jawaban Ahab di ayat 8, “Masih ada seorang lagi yang dengan perantaraannya dapat diminta petunjuk TUHAN. Tetapi aku membenci dia, sebab tidak pernah ia menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan malapetaka. Orang itu ialah Mikha bin Yimla.” (bdk. ay. 17) Karena Ahab tidak menyukai nubuat Mikha yang bernada negatif, maka Mikha dipenjarakan (ay. 26-27). Namun, apa yang terjadi? Nubuat mana yang terjadi: 400 “nabi” dengan “nubuat” palsunya ataukah dari Mikha? Jelas, nubuat nabi Mikha yang terjadi dan kisah ini berakhir tragis dengan dibunuhnya Ahab, raja Israel (ay. 34-40).

Dari kisah ini, kita belajar dua sosok raja: Ahab, raja Israel adalah seorang raja yang jahat di mata Tuhan, sehingga ia hanya mau mendengarkan apa yang menyenangkan baginya, sedangkan Yosafat, raja Yehuda adalah sosok raja yang cinta Tuhan (1Raj. 22:43), sehingga ia peka jika ada nubuat palsu. Akibatnya, Tuhan memberkati kerajaannya (2Taw. 17:3). Apa relevansinya bagi kita yang hidup di zaman sekarang? Di zaman ini, kata “nubuat” begitu laris di dalam Kekristenan, namun sayangnya semua “nubuat” tersebut berisi hal-hal positif, misalnya: “Indonesia masuk tahun keemasan”, “Indonesia masuk tahun penuaian”, “pemulihan terjadi”, dll? Hal ini sangat kontras dengan isi nubuat di dalam Perjanjian Lama.

Kisah lain adalah firman Tuhan kepada Yeremia di Yeremia 14. Waktu itu, Tuhan berfirman kepada Yeremia agar Yeremia tidak mendoakan kebaikan bangsa Israel, karena Ia akan menghukum mereka dengan perang, kelaparan, dan penyakit sampar (ay. 11-12). Lalu, Yeremia bertanya kepada Tuhan, bukankah para nabi telah berkata kepada orang-orang Israel bahwa tidak ada lagi perang dan kelaparan, tetapi damai sejahtera? (ay. 13) Perhatikan apa jawab Tuhan kepada Yeremia di ayat 14-16,

Para nabi itu bernubuat palsu demi nama-Ku! Aku tidak mengutus mereka, tidak memerintahkan mereka dan tidak berfirman kepada mereka. Mereka menubuatkan kepadamu penglihatan bohong, ramalan kosong dan tipu rekaan hatinya sendiri. Sebab itu beginilah firman TUHAN mengenai para nabi yang bernubuat demi nama-Ku, padahal Aku tidak mengutus mereka, dan yang berkata: Perang dan kelaparan tidak akan menimpa negeri ini--: Para nabi itu sendiri akan habis mati oleh perang dan kelaparan! Dan bangsa yang kepadanya mereka bernubuat akan tercampak mati di jalan-jalan Yerusalem, disebabkan oleh kelaparan dan perang, dan tidak ada orang yang akan menguburkan mereka: mereka sendiri, isteri-isteri mereka, anak-anak mereka yang laki-laki dan yang perempuan. Demikianlah akan Kutumpahkan kejahatan mereka ke atas mereka.

Di ayat-ayat di atas, Tuhan Allah dengan jelas berkata bahwa mereka yang menubuatkan hal-hal yang seolah-olah dari Allah (bernada positif) ternyata adalah para “nabi” palsu dan Allah menghukum mereka dengan perang dan kelaparan. Lagi-lagi, nubuat sejati tidak pernah menjanjikan kesuksesan, kelancaran, dll tanpa bayar harga! Jadi, jika di zaman sekarang, muncul “nubuat” yang berisi hal-hal positif, patut dipertanyakan, apakah itu nubuat asli atau palsu?

Setelah mempelajari pengertian nubuat di dalam Alkitab khususnya Perjanjian Lama, lalu apa arti karunia bernubuat? Apakah itu berarti karunia meramal? TIDAK. Ketika kita memperhatikan penjelasan makna nubuat di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, maka kita mendapatkan penjelasan bahwa nubuat adalah pemberitaan kehendak Allah kepada umat-Nya melalui para nabi-Nya. Jadi, nubuat tidak harus berarti ramalan masa depan. Oleh karena itu, mengutip Prof. David E. Garland, Ph.D., karunia bernubuat adalah karunia menyatakan kehendak Allah kepada umat-Nya.[15] Dan karunia bernubuat ini bisa bersifat masa lalu, masa kini, dan masa depan, seperti apa yang telah dijelaskan Alkitab di atas.

Namun, patut diperhatikan karunia bernubuat sebagaimana halnya dengan nubuat yang telah dijelaskan Alkitab di atas juga bisa mengandung kesalahan. Kesalahan terletak tentu bukan pada diri Allah, tetapi pada orang yang menerima nubuat dari Allah tersebut. Oleh karena itu, setelah karunia bernubuat, Paulus menyebutkan pentingnya karunia membedakan bermacam-macam roh di bawah ini (akan dibahas minggu depan).



[1] Lebih tepat diterjemahkan: nubuat, karena menggunakan kata ini berbentuk kata benda.

[2] Seharusnya berbentuk jamak: nibbü’îm. Dalam Septuaginta, kata ini juga berbentuk jamak (προφτευον; eprophēteuon)

[3] D. L. Baker dan A. A. Sitompul, Kamus Singkat Ibrani Indonesia, hlm. 40.

[4] Ibid., hlm. 41.

[5] Jeane Ch. Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama (Surabaya: Momentum, 2004), hlm. 67.

[6] Ibid., hlm. 65.

[7] Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2008), hlm. 347, 357.

[8] Dikutip dari Yes. 6:9-10.

[9] Dikutip dari Yes. 29:13.

[10] J. A. Motyer, “Nubuat, nabi-nabi,” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, ed. J. D. Douglas, terj. R. Soedarmo, dkk (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995), hlm. 163.

[11] Ibid., hlm. 164.

[12] David E. Garland, 1 Corinthians, hlm. 583.

[13] Perlu diingat, ketiga kriteria di bawah saling berkaitan erat. Misalnya, jika ada nubuat yang terjadi di masa depan, namun hasil akhirnya menuntun orang kepada ilah lain di luar Allah, maka tetap itu dikategorikan sebagai nubuat palsu. Ketika saya share hal ini kepada teman Kristen saya di sebuah grup di BlackBerry Messenger, seorang rekan Kristen bertanya, bagaimana dengan nubuat keselamatan atau datangnya Mesias, apakah itu bisa dikategorikan nubuat palsu? Tidak. Mengapa? Karena meskipun nubuat keselamatan atau datangnya Mesias bersifat positif, namun hasil akhirnya tetap menuntun umat-Nya kepada Allah yang sejati dan toh nubuat itu sudah terjadi, jadi itu jelas bukan nubuat palsu.

[14] Jeane Ch. Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama (Surabaya: Momentum, 2004), hlm. 20.

[15] David E. Garland, 1 Corinthians, hlm. 582.