31 May 2009

Roma 15:17-19: KONSEP PELAYANAN SEJATI-2: Sukacita Pelayanan-1

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-2


Konsep Pelayanan Sejati-2: Sukacita Pelayanan-1

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:17-19



Konsep pelayanan yang kedua dari Paulus adalah pelayanan sejati adalah pelayanan yang berpusat kepada Kristus melalui kuasa Roh Kudus. Hal ini dipaparkan Paulus di ayat 17 s/d 19.


Di ayat 17, sebagai kesimpulan dari ayat 14 s/d 16, Paulus mengajarkan, “Jadi dalam Kristus aku boleh bermegah tentang pelayananku bagi Allah.” Sebagai penutup, Paulus kembali mengingatkan jemaat Roma dan kita juga tentang konsep pelayanan. Tidak sedikit kita menjumpai orang Kristen yang melayani tidak dengan jiwa hamba, tetapi dengan jiwa majikan. Akibatnya, ketika melayani, sebenarnya kita lah yang dilayani dan dipuaskan, karena kita ingin mencari pamor di lingkungan/gereja tempat kita melayani. Paulus menyadarkan jemaat Roma dan kita bahwa pelayanan bukan memegahkan diri, tetapi memegahkan Kristus. Pelayanan yang ia lakukan bagi Allah adalah pelayanan yang bermegah di dalam Kristus. Di dalam Filipi 3:3, ia juga menguraikan bahwa jemaat Filipi (dan kita) tidak hidup menurut hal-hal lahiriah, tetapi hal-hal spiritual, yaitu bermegah di dalam Kristus. Kata “bermegah” di dalam Roma 15:17 dan Filipi 3:3 memiliki akar kata Yunani yang sama, yaitu kauchaomai yang berarti bermegah (boast), bersukacita (rejoice), dll. Berarti hidup dan pelayanan kita ditujukan untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia. Rev. Dr. John S. Piper di dalam bukunya Desiring God mengganti kata “dan” pada pernyataan Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 tadi dengan kata “dengan.” Dengan kata lain, hidup dan pelayanan kita adalah untuk memuliakan Allah dengan menikmati-Nya. Ya, menikmati Dia adalah sukacita hidup dan pelayanan kita. Mengapa sering kali kita melayani Tuhan dengan bersungut-sungut? Karena kita kurang menikmati Dia sebagai sukacita terbesar, seperti Paulus. Ketika kita mulai menikmati Dia sebagai sukacita terbesar, di saat pula kita semakin bersemangat dan bersukacita di dalam melayani Tuhan (bdk. Rm. 12:11). Sukacita itu dapat kita nikmati karena kita telah ditebus oleh Kristus dan dilahirbarukan oleh Roh Kudus. Seorang yang telah mengalami kelahiran baru dari Roh Kudus dan penebusan dari Kristus adalah orang yang bersukacita, karena dia telah dilepaskan dari perbudakan dosa yang membelenggu hidupnya dahulu. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita bersukacita di dalam hidup dan pelayanan kita kepada Tuhan?

Prinsip sukacita di dalam pelayanan kita adalah karena kita sudah ditebus oleh Kristus, maka segenap hidup kita dipergunakan untuk melayani-Nya, oleh sebab itu, tidak ada kata “terpaksa” di dalam hidup dan pelayanan kita ketika kita harus menderita bagi-Nya. Paulus rela menderita tatkala ia harus memberitakan Injil (2Kor. 11:24-27). Semuanya itu dilakukan bagi Allah dan dia bermegah (bersukacita) di dalam Kristus. Kepada jemaat di Filipi, dia menulis surat yang penuh dengan sukacita, meskipun pada waktu itu dia ada di dalam penjara (Flp. 1:13). Meskipun harus menderita, Paulus tetap bisa bersukacita, mengapa? Apa dia hanya berhalusinasi? TIDAK. Paulus bisa bersukacita di dalam penderitaan karena ia berharap penuh kepada Allah (2Tim. 1:12). Bagaimana dengan kita yang mengalami penderitaan? Himpitan dan tekanan hidup terus-menerus mengganggu dan mencengkeram hidup kita waktu demi waktu, adakah kita tetap bersukacita dengan terus berharap dan beriman kepada-Nya? Jangan kuatir, serahkanlah hidup kita kepada-Nya, maka Ia akan memelihara hidup kita selama-lamanya. Amin?


Apa wujud sukacita Paulus di dalam Kristus melalui pelayanannya? Ia menunjukkan sukacita di dalam pelayanannya di dalam Kristus tatkala ia dengan taat mutlak memberitakan karya penebusan Kristus (dan bukan yang lain) kepada bangsa-bangsa lain melalui perkataan dan perbuatan serta melalui kuasa Roh Kudus (ay. 18-19a). Di ayat ini, ia menjabarkan tiga wujud sukacita pelayanannya di dalam Kristus:
Pertama, sukacita pelayanannya di dalam Kristus ditunjukkan melalui ketaatannya memberitakan Injil Kristus. Di ayat ini, ia berkata, “Sebab aku tidak akan berani berkata-kata tentang sesuatu yang lain, kecuali tentang apa yang telah dikerjakan Kristus olehku,” Berarti, sukacita pelayanannya diukur dari ketaatannya memberitakan Injil Kristus dan bukan yang lain. Ia dengan jujur mengatakan bahwa ia tidak akan berani berkata-kata tentang sesuatu yang lain. Berarti dia tidak akan pernah mau memberitakan hal-hal di luar Injil dan karya Kristus yang harus ia beritakan kepada bangsa-bangsa lain. Itu namanya TAAT. Mengapa sering kali pelayanan kita tidak dilakukan dengan sukacita? Karena kita berpikir bahwa kita melayani Tuhan itu adalah suatu tugas berat. Padahal, ketika kita yang adalah anak-anak Tuhan yang telah ditebus Kristus, diperkenan oleh Tuhan untuk melayani-Nya adalah suatu hak istimewa yang besar sekali yang tidak bisa didapatkan oleh orang-orang di luar umat pilihan. Kedua, kita tidak bersukacita ketika melayani karena kita tidak TAAT. Di dalam pelayanan, kita melayani bukan dengan jiwa hamba, tetapi dengan jiwa majikan yang suka memerintah orang-orang untuk melayani kita. Ketika kita melakukan hal itu, kita bukan melayani, tetapi dilayani. Pelayanan tanpa ketaatan adalah suatu kesia-siaan. Apakah cukup taat saja? TIDAK. Ketaatan harus disertai dengan kerelaan penuh dan berkaitan dengan kepada siapa kita taat dan rela. Ketika kita “taat” kepada Mamon (dewa uang), kita rela menyerahkan hidup kita kepadanya. Objek ketaatan mengakibatkan sikap hati kita. Umat pilihan adalah orang yang seharusnya taat dan rela hanya kepada kehendak Allah. Paulus adalah salah satu contoh yang harus kita teladani tentang taat kepada kehendak Allah. Apa itu kehendak Allah yang harus kita taati? Yaitu memberitakan Injil (Mat. 28:19-20). Kalau Paulus bisa taat kepada kehendak Allah, bagaimana dengan kita? Beranikah kita dengan sepenuh hati taat dan rela kepada kehendak-Nya?

Kedua, sukacita pelayanannya di dalam Kristus ditunjukkan melalui ketaatannya menjadi saksi Kristus melalui perkataan dan perbuatan. Berarti bukan penginjilan saja yang harus diperhatikan, tetapi sikap hidup kita. Penginjilan yang Paulus ajarkan meliputi dua hal: penginjilan verbal (perkataan) dan penginjilan non-verbal (perbuatan). Dengan kata lain, penginjilan bukan menjadi penginjilan yang timpang, tetapi penginjilan yang terintegrasi. Apa yang menyebabkan Paulus bisa mengintegrasikan dua konsep tersebut? Kuncinya adalah kerendahan hati. Paulus adalah seorang rasul Kristus yang luar biasa cerdas, namun kecerdasannya tidak mengakibatkan dia menjadi sombong, tetapi rendah hati. Ia rela menyamakan dirinya sebagai orang berdosa, bahkan lebih berdosa dari mereka (1Tim. 1:15-16). Kerendahan hatinya mengakibatkan ia mampu memadukan penginjilan melalui perkataan dan perbuatan. Bagaimana dengan kita? Beberapa orang Kristen dan hamba Tuhan yang sudah banyak belajar theologi melalui literatur mengakibatkan beberapa dari mereka menjadi sombong, karena merasa diri sudah pintar beradu argumen theologi. Mereka menjadi kebal terhadap kritikan, meskipun di atas mimbar berbicara tentang teachable (dapat diajar). Mereka memakai segudang argumentasi untuk menutupi kesalahannya, misalnya dengan mengatakan bahwa kalau mau mengkritik, si pengkritik harus melakukannya dahulu. Sudah saatnya orang Kristen bertobat dari kesombongan ini! Seberapa rendah hatikah kita sebagai anak-anak-Nya di dalam melayani-Nya? Ketika kita belajar rendah hati, di saat yang sama kita menjadi saksi Kristus yang mampu mengintegrasikan penginjilan perkataan dan perbuatan. Tuhan tidak mau kita terpecah di dalam penginjilan yang terlalu mementingkan salah satu aspek.

Ketiga, sukacita pelayanannya di dalam Kristus ditunjukkan melalui kuasa Roh Kudus. Kita bisa bersukacita di dalam pelayanan karena ada kuasa Roh Kudus. Kuasa Roh Kudus memampukan kita terus bersukacita di dalam pelayanan, meskipun harus mengalami penderitaan. Kuasa itu ditunjukkan melalui tanda-tanda mukjizat (ay. 19a) maupun pemberitaan Firman. Kuasa Roh Kudus jangan dibatasi oleh gejala-gejala supranatural. Kuasa Roh Kudus adalah kuasa yang dikerjakan Allah Roh Kudus seturut firman-Nya di dalam Alkitab, karena Roh Kudus diutus untuk memuliakan Kristus (Yoh. 15:26; 16:14). Roh Kudus bisa bekerja melalui mukjizat dan bisa juga bekerja tanpa melalui mukjizat yang dapat dilihat mata. Roh Kudus yang tidak bekerja melalui mukjizat nyata (kasat mata) adalah Roh Kudus yang memberikan kekuatan kepada setiap hamba-Nya di dalam melayani Tuhan. Kekuatan itu tidak bisa dilihat secara kasat mata seperti misalnya melihat orang buta melihat, orang tuli mendengar, dll, tetapi kekuatan itu sangat penting bagi seorang pelayan-Nya, karena tanpa kekuatan dari-Nya, mereka tidak akan mampu menunaikan tugas pelayanan-Nya. Hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong adalah salah satu saksi mata seorang hamba Tuhan yang dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus. Jika ada yang mengatakan Pdt. Stephen Tong tidak ada ‘roh kudus’ hanya karena beliau tidak dapat membuat orang tumbang, maka saya menantang si pemfitnah itu, dengan kuasa mana beliau bisa berkhotbah dan memberitakan Injil di dunia dengan jadwal yang begitu padat? Jika tanpa kuasa Roh Kudus yang terus memberi kekuatan dan kesehatan fisik maupun mental, maka beliau tidak bisa melayani Tuhan dengan begitu bersemangat meskipun jadwal pelayanannya yang begitu padat. Sudahkah kita mengalami kuasa Roh Kudus di dalam pelayanan yang kita kerjakan? Kita bisa mengalami kuasa Roh Kudus tersebut tatkala kita dengan taat dan rela menunaikan tugas pelayanan kita kepada-Nya. Percayalah, tatkala kita melayani Tuhan sungguh-sungguh, Roh-Nya yang kudus akan mendampingi kita dan memberi kita kekuatan.


Tiga wujud sukacita pelayanannya di dalam Kristus tersebut mengakibatkan Paulus tidak merasa capek walau harus pergi ke tempat yang jauh sekalipun. Ini dikatakannya di ayat 19b, “Demikianlah dalam perjalanan keliling dari Yerusalem sampai ke Ilirikum aku telah memberitakan sepenuhnya Injil Kristus.” Ia telah rela pergi dari Yerusalem ke tempat yang jauh, mengapa? Demi uang? TIDAK! Demi Injil. Dr. John Calvin yang terus berkhotbah setiap pagi kepada jemaatnya tanpa mengenal lelah, mengapa? Karena Injil. Pdt. Dr. Stephen Tong rela pergi meninggalkan Tiongkok sebagai negara kelahirannya, merantau ke Indonesia, berkhotbah dan memberitakan Injil ke Amerika, Meksiko, Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand, dll, mengapa? Karena uang? TIDAK! Karena Injil! Para misionaris dan hamba Tuhan sejati dengan ketaatan penuh dan melalui kuasa Roh Kudus mampu menunaikan tugas pelayanan-Nya, hanya karena satu: Injil Kristus. Karena Injil, mereka berani membayar harga, diri, dan uang. Karena Injil, mereka rela membayar harga ditinggal suami/istri/keluarganya dan dicap “kafir.” Karena Injil, mereka berani membayar harga dimusuhi oleh tetangga dan rekannya. Ya, karena Injil. Sungguh suatu kontradiksi dengan orang “Kristen” di zaman sekarang ini. Di zaman ini, kita sangat sulit menemukan seorang yang rela berkorban demi Injil. Yang ada justru sebaliknya, banyak orang “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” memanipulasi Injil demi kepentingannya sendiri. Karena uang, beberapa pemimpin gereja rela memberitakan “injil” kemakmuran untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya. Karena terlalu memerhatikan kondisi lingkungan sekitar, beberapa pemimpin gereja mulai menolak pemberitaan Injil secara verbal dan menggantinya dengan pelayanan sosial saja. Karena terlalu memerhatikan agama-agama lain, sang pemimpin gereja “berani” berkhotbah di atas mimbar bahwa di luar Kristus masih ada jalan keselamatan. Semua dilakukan untuk memuaskan keinginan pribadi, baik: uang, harga diri, dan lingkungan sekitar. Sungguh berbeda dengan para misionaris dan pelayan Tuhan yang setia yang rela mengorbankan diri sendiri agar Injil Kristus diberitakan. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita sebagai anak-anak-Nya selalu mengecewakan-Nya? Masihkah kita sebagai anak-anak-Nya memanipulasi Injil Kristus demi kepentingan kita sendiri? Sudah saatnya orang Kristen dan pemimpin gereja BERTOBAT dari dosa-dosa mereka yang menghina dan memanipulasi Injil!


Hari ini, jika Roh Kudus menegur Anda melalui perenungan kita saat ini, bukalah hati dan pikiran Anda, biarkan Ia mengoreksi dan memimpin jalan hidup dan pelayanan kita agar apa pun yang kita kerjakan sungguh-sungguh memuliakan Tuhan. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 15:12-14: CONTROVERSY OF THE TRUTH (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 23 September 2007

Controversy of the Truth
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 15:12-14


Perdebatan sengit antara Tuhan Yesus dan orang Farisi dicetuskan oleh orang Farisi terlebih dahulu; Tuhan Yesus dianggap telah melanggar Taurat, yakni tidak mencuci tangan saat makan. Tuhan Yesus menegur dengan keras mereka telah melawan Allah dan memakai Taurat sebagai alasan. Bukan yang masuk mulut yang enajiskan tetapi yang keluar dari mulut itulah yang menajiskan. Kotor yang esensial itu asalnya dari dalam hati maka yang semua yang keluar itu menjadi kotor. Sayang, dunia tidak pernah mengerti konsep ini, manusia hanya melihat fenomena luar yang kelihatan bagus. Puji Tuhan, Tuhan tidak melihat fenomena tetapi Dia melihat hati manusia. Ironis, ketika Kebenaran menegur dosa, dunia bereaksi sangat keras, mereka mengatai perbuatan Tuhan Yesus tersebut sebagai batu sandungan. Sebaliknya, ketika orang berdosa mengecam Kebenaran, dunia diam bahkan sepertinya dunia menyetujui dan sangat memahami tindakan mereka karena adanya suatu perasaan senasib sebagai sesama orang berdosa. Orang berdosa yang lain akan menjadi marah dan membela mati-matian ketika ada seorang benar yang berani menyatakan dosa menegur orang berdosa. Jumlah orang benar sangat minoritas sebaliknya orang berdosa mayoritas sehingga perasaan senasib sepenanggungan itu begitu mengikat.
Janganlah tergoda dengan fenomena yang nampak indah, seperti tawaran untuk investasi dalam bentuk saham. Orang tidak sadar permainan saham itu justru akan menghancurkan hidup manusia namun orang tidak sadar malahan bangga dan menaruhnya dalam berita utama di surat kabar. Investasi asing dengan jumlah besar, hampir 200 juta dollar masuk ke Indonesia dalam bentuk SUN (Surat Utang Negara) dan ORI (Obligasi Republik Indonesia). Hal ini akan menjadikan rakyat Indonesia semakin bertambah miskin dan sengsara. Para investor itu pastilah tidak ingin merugi tetapi ingin meraih keuntungan maka kalau mereka berani menanamkan modal sedemikian besar pastilah mereka telah memperhitungkan berapa besar keuntungan yang akan didapatkan. Perhatikan, semua investasi itu bukan dalam bentuk sektor riil yang akan menyejahterahkan penduduk Indonesia. Tidak! Tetapi semua investasi itu dalam bentuknya tidak riil, orang tidak bekerja apa-apa tetapi ingin menarik keuntungan sebesar-besarnya. Rakyatlah yang dirugikan; orang mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain. Inilah dunia berdosa.
Dosa ditutup sedemikian rupa dengan segala sesuatu yang indah sehingga orang tidak lagi dapat melihat kebusukan di dalamnya. Tuhan Yesus menegaskan bukan yang masuk yang menajiskan tetapi yang keluar itulah yang menajiskan. Namun dunia sulit menerima kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus. Ada beberapa aspek mengapa manusia melihat kebenaran sebagai batu sandungan:
Pertama, Anti Perubahan.. Dunia hanya suka pada apa yang ia suka maka segala sesuatu yang dianggap berlawanan atau mengusik kemapanan, status quo sentak, orang langsung membentengi dirinya bahkan langsung menolak. Tak terkecuali dengan orang Kristen karena kebenaran itu berlawanan dengan konsep pemikiran yang telah tertanam dalam dirinya. Inilah sifat manusia berdosa. Sesungguhnya, bukan karena IQ rendah atau otak yang bodoh sehingga orang tidak dapat mengerti. Tidak! Pengertian akan kebenaran itu barulah didapat setelah orang rela membuka dirinya untuk menerima kebenaran dan diubahkan. Hal ini tidaklah mudah, dibutuhkan waktu dan juga suatu kerelaan untuk dikoreksi oleh Tuhan. Kalau sejak titik pertama, manusia sudah menetapkan status quo maka itu berarti kehancuran dan kebinasaan bagi dirinya. Sayang, orang tidak mempunyai kerelaan hati untuk dibentuk oleh kebenaran dan mempunyai semangat untuk belajar, learning spirit. Sesungguhnya, orang telah mengerti prinsip-prinsip kebenaran, tetapi orang masih terus bertanya dengan kata lain, orang hanya butuh konfirmasi untuk membenarkan apa yang menjadi keinginannya. Maka tidaklah heran ketika Tuhan Yesus Sang Kebenaran menyatakan kebenaran yang sifatnya kontras dan diametris, dunia langsung menolak. Learning attitude harus dimulai dari kerelaan hati untuk dikoreksi. Alangkah indah hidup kita kalau kita hati yang siap untuk diubahkan, kita mempunyai learning spirit, maka kita akan bertumbuh dalam iman.
Kedua, Manusia tidak mengaku salah. Mengakui kebenaran berarti harus menanggalkan konsep lama. Hal itu tidaklah mudah sebab pada saat yang sama kita harus mengakui kesalahan diri dan mengakui di hadapan orang lain; di dunia timur, mengakui kesalahan berarti suatu penghinaan sebab menyangkut harga diri; ada suatu kesombongan pribadi, prideness dalam diri manusia. Inilah sifat manusia berdosa. Manusia merasa diri sebagai kebenaran, the truth. Semangat humanisme ini memuncak yang ditandai dengan pernyataan manusia adalah ”allah.” Manusia bukanlah makhluk sempurna, manusia penuh dengan kesalahan. Dalam hidup ini banyak keputusan yang kita ambil tersebut salah.
Apa dasarnya sehingga kita memutlakkan diri kita sebagai kebenaran? Ironis, orang berani memutlakkan diri sebagai kebenaran mutlak dan menuduh orang lain yang tidak sejalan dengan pemikirannya adalah salah. Manusia adalah makhluk relatif, kita harusnya kembali dan mau diajar oleh Sang Kebenaran sejati yang mutlak adanya. Kesombongan menjadikan kita tidak mau dibentuk oleh Tuhan dan memakai alasan batu sandungan untuk menolak kebenaran. Sesungguhnya, kesombongan itulah yang telah menjadi batu sandungan, kita tidak siap hati untuk menerima kenyataan bahwa kita bukanlah kebenaran, kita hanyalah manusia biasa yang dapat bersalah. Kesombongan membuat manusia tidak mau tunduk di bawah kebenaran-Nya. Inilah yang disebut sebagai true blindness. Biarlah sebagai anak Tuhan, kita menyadari dan mengakui bahwa kita adalah manusia berdosa, kita telah bersalah secara esensi, kita telah memberontak terhadap kebenaran. Kesempurnaan itu hanya milik Tuhan semata. Melawan kebenaran sejati berarti kebinasaan bagi kita. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya maka semuanya akan ditambahkan kepada-Mu. Alangkah indah hidup kita ketika kita berada di bawah kedaulatan Allah.
Ketiga, Manusia mau menjadi Tuhan. Konsep manusia yang menganggap diri adalah “allah” menempatkan manusia berada di posisi atas. Salah! Allah yang berada di posisi tertinggi dan manusia harus tunduk di bawah otoritas Allah. Awal abad 20, dunia mulai menyadari betapa jahatnya otorisasi tetapi ironisnya, orang justru masuk di dalamnya. Celakanya, semua orang ingin berkuasa dan menguasai dunia maka pecahlah perang dunia hingga dua kali. Orang mulai menindas dan menghancurkan orang lain. Orang tidak mau tunduk kepada orang lain tetapi ingin menjadikan orang lain yang tunduk kepadanya. Michael Foucault menyadari akan jahatnya suatu otoritas selalu memutlakkan diri dan memutlakkan diri berarti penindasan maka semua otoritas tersebut harus ditiadakan, no authority. Namun pada saat yang sama ia menegakkan kekuasaan diri. Postmodern system memuncakkan self authority dan berada di titik paling puncak yang membuat manusia anti otoritas termasuk otoritas agama dan otoritas Allah. Faith movement mencetuskan otoritas tertinggi berada di tangan manusia dan Allah harus tunduk pada manusia. Dengan kata lain, manusialah sebagai penentu segala sesuatu. Ketika Tuhan Yesus datang dan menyatakan diri “I'm the Lord” maka orang langsung melawan. Manusia modern anti dengan kebenaran. Hati-hati dengan pendidikan modern mengajarkan bahwa anak tidak pernah salah dan guru hanya fasilitator belaka. Ajaran ini dicetuskan Jean Jaques Rousseau yang diadopsi oleh Maria Montesorry. Alkitab menegaskan manusia dicipta, bukan pencipta maka manusia harus tunduk pada Sang Pencipta.
Keempat, Manusia anti doktrin (ajaran). Alkitab berulang kali menyatakan perlunya manusia kembali pada ajaran atau doktrin yang benar. Postmodern system mencoba merasuk pemikiran manusia dengan konsepnya yang anti dengan segala bentuk ajaran tetapi ironisnya, pada saat yang sama justru mereka getol mengajarkan ajaran posmodern. Posmodern menyatakan bahwa bahasa tidak lebih hanya sebuah permainan, language game sebab bahasa tidak menjadikan dunia mengerti apa yang diajarkan. Ironis, di satu sisi, orang menyatakan bahwa doktrin itu tidak penting, bahasa hanya sebuah permainan tetapi tanpa sadar, ia sedang menanamkan doktrin, yakni ajaran akan tidak pentingnya sebuah doktrin dengan bahasa. Tidak cukup sampai disitu, gerakan new age yang dicetuskan dari pemikiran dunia timur mulai merebak hari ini bahkan negara-negara Barat yang mementingkan rasio kini telah terpengaruh dengan ajaran new age. Pertengahan abad 20, dunia Barat menghancurkan diri sendiri dengan ajaran posmodern. Di tengah relativisme, manusia mulai kehilangan positioning, manusia tidak percaya akan kebenaran dan manusia tidak tahu harus berpegang pada siapa? Karena semua dianggap salah termasuk Allah pun dianggap salah; semua kebenaran absolut tidak ada. Seorang bernama Maha Resi Mahesh Yogi menyatakan diri sebagai ”allah” dan “kebenaran” maka dunia Barat yang butuh kebenaran datang ke India, tempat dimana orang-orang menyatakan diri sebagai ”allah dan kebenaran mutlak.” Di tengah-tengah relatifitas, orang butuh kemutlakkan celakanya, orang tidak balik kepada Kebenaran sejati. Orang butuh kemutlakan tetapi sekaligus anti kemutlakan. Inilah dampak dari posmodern yang kawin dengan filsafat timur yang sifatnya humanistik maka jadilah new age movement. Abad 21 menjadi abad new age terbesar. Filsafat timur mulai menguasai dunia barat. Dunia timur dengan permainan supranaturalnya dan emosi yang meledak menguasai rasio akibatnya manusia menjadi anti doktrin. Inilah wajah dunia berdosa.
Empat tahap penghancuran dunia dapat kita lihat dari: 1) konsep unisex, muncul sekitar 25 tahun lalu dimana pria dan wanita mempunyai seragam sama, yakni t-shirt, celana jean dan sepatu kets. Pria dengan rambut panjang dan wanita dengan rambut cepak ala pria, 2) pembalikan posisi, dimana pria memakai pakaian seperti layaknya wanita dengan motif dan model wanita sebaliknya si wanita berpakaian ala pria. Jangan pandang sepele atau remeh akan hal ini, ini bukan sekedar fashion belaka tetapi ada permainan iblis di balik semua ini, 3) homosexual, hari ini para homosexual menuntut hak-hak yang sama seperti layaknya kehidupan normal, yakni pernikahan dan mempunyai anak dan disahkan secara hukum, 4) feminint leadership, penguasaan kepimpinan berada di tangan wanita – saat itu emosi menjadi penentu segala keputusan maka ketika orang tidak memakai rasio lagi, semua peraturan menjadi tidak ada. Iblis yang licik masuk dalam dunia agama, dunia filsafat dan keluarga untuk menghancurkan manusia. Sayangkan, orang tidak menyadarinya, orang tidak kembali pada doktrin yang benar dan mutlak. Firman Tuhan telah memberikan prinsip-prinsip kebenaran pada manusia untuk menjadikan manusia hidup dengan benar dengan demikian orang tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa ajaran sesat. Back to the sound doctrine. Dunia tidak suka ketika kita bersikap tegas dan menyatakan kebenaran, dunia akan menganggap kita sebagai batu sandungan. Inilah tugas dan panggilan setiap anak Tuhan yang menjadi terang dan garam.
Tuhan Yesus memberikan suatu prinsip kebenaran sejati, yakni:
1. Adalah anugerah kalau orang dapat mengerti kebenaran.
Prinsip Alkitab berbeda dengan prinsip dunia. Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut sampai akar-akarnya. Bapak-bapak gereja sangat memahami akan hal ini, mereka mengeluarkan satu pernyataan credo ut intelligam dan ajaran reformed menyatakan sebagai predestinasi. Kalau orang dapat mengerti kebenaran titik permasalahan bukan pada batu sandungan atau bukan batu sandungan. Tidak! Tetapi karena anugerah Tuhan semata kalau kita dapat mengerti kebenaran. Tuhan Yesus telah menegaskan tentang hal tersebut, yakni ketika Tuhan Yesus mengajar denga perumpamaan – bukan supaya orang dapat mengerti ajaran dengan mudah. Tidak! Sebab terbukti, mereka tetap tidak mengerti ajaran Tuhan. Tuhan Yesus menegaskan kepada mereka diberikan anugerah untuk mengerti rahasia Kerajaan Sorga sedang kepada mereka, tidak sehingga mereka mendengar tetapi tidak mendengar, mereka melihat tetapi tidak melihat dan tidak mengerti (Mat. 13:10-13). Jadi, jelas disini kalau kita dapat mengerti Firman maka itu merupakan suatu anugerah bukan karena kehebatan atau kepandaian kita. Iman mendahului pengertian maka apologetika bukan upaya menjelaskan supaya orang percaya. Tidak! Percaya dulu barulah kita mengerti kebenaran sejati dan kalau seorang dapat percaya pada Tuhan maka itu semata-mata karena anugerah, Tuhanlah yang membukakan terlebih dahulu. Rasio harus tunduk di bawah iman. Kembalinya kita pada kebenaran itu karena anugerah melalui iman.
2. Manusia harus kembali pada Bapa Sang Sumber Hidup.
Untuk dapat mengerti kebenaran, kita harus kembali pada Bapa yang empunya tuaian. Hanya kembali pada Bapa Sang Sumber Hidup barulah orang itu hidup dan ia dapat mengerti kebenaran. Jangan pernah berpikir dengan penjelasan secara rasional orang dapat mengerti. Tidak! Layaknya orang buta menuntun orang buta maka dijelaskan apapun akan sulit mengerti kecuali ia dicelikkan dan dapat melihat sendiri barulah ia dapat mengerti. Jelaslah disini, titik permasalah bukan pada jadi batu sandungan atau bukan. Letak titik permasalahannya adalah karena orang tidak kembali pada Bapa. Ketika orang kembali pada Bapa, Sang Sumber Hidup barulah orang itu hidup dan ia mengerti akan kebenaran. Berbeda halnya dengan orang mati, sehebat dan sebanyak apapun kita memberikan penjelasan maka ia tidak pernah mengerti kebenaran sebab sesungguhnya, ia tidak lebih hanyalah orang mati. Hidup itu kembalinya kita pada Sang Sumber Hidup. Kalau kita tidak kembali pada sumber hidup berarti kita mati. Sama halnya sebuah alat eletronik maka ia tidak akan berfungsi kalau tidak dihubungkan dengan listrik sebagai sumber. Seluruh potensi, eksistensi dapat berfungsi dengan baik kalau kita kembali pada sumber hidup. Teologi Reformed dengan tegas menyatakan bahwa manusia itu rusak total, total depravity; manusia tidak berfungsi lagi maka satu-satunya jalan, kita hidup harus kembali pada Bapa. Ajaran teologi yang lain masih berkompromi dengan dunia dengan menyatakan donum supra ditum artinya di dunia yang berdosa masih ada secuil kapasitas kebajikan dan kemurnian yang memungkinkan manusia bisa menemukan Allah. Tidak! Manusia telah rusak total maka kita harus kembali pada Sang Sumber Hidup.
3. Manusia harus kembali pada Kebenaran mutlak.
Alkitab menegaskan tidak ada posisi tengah atau abu-abu bagi kebenaran. Tidak ada posisi setengah benar atau setengah salah. Hanya ada 2 posisi, yaitu benar atau salah. Setengah benar berarti salah. Dari empat epistemologi, yakni: 1) benar-benar benar, 2) benar-benar tidak benar, 3) tidak benar-benar benar, 4) tidak benar-benar tidak benar maka dari keempat kemungkinan di atas hanya satu, yakni: benar-benar benar. Kekristenan melihat kebenaran itu tidak bisa ditempatkan pada posisi abu-abu. Kebenaran itu harus mutlak, yakni benar-benar benar. Jangan pernah berpikir bahwa kita berada di posisi tengah, sebelah kaki di sorga dan sebelah kaki yang lain di neraka. Kalau kita hidup kita harusnya tahu dimana posisi kita. Sungguh merupakan suatu anugerah kalau kita masih bisa mendengarkan Firman Tuhan, membukakan kebenaran maka jangan sia-siakan anugerah Tuhan. Biarlah kita disadarkan dan kembali pada kebenaran. Janganlah kita seperti orang buta yang menuntun orang buta. Kebenaran harus tetap dinyatakan, tidak peduli apakah hal itu akan menjadi batu sandungan. Kalau kebenaran itu dibukakan pada kita dan kita mengerti kebenaran itu maka janganlah hal itu menjadikan kita sombong tetapi hendaklah dengan rendah hati kita senantiasa memohon pada Tuhan untuk membentuk kita di sepanjang hidup kita. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

24 May 2009

Matius 15:1-11: CHRIST AND RELIGION (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah : 19 Agustus 2007


CHRIST AND RELIGION

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.



Nats: Matius 15:1-11


 



Sebelumnya kita telah memahami bahwa Kristus adalah dasar atau obyek iman yang mempengaruhi budaya, membentuk budaya, mengajar dan menjadi arah dari seluruh budaya. Merupakan suatu kesalahan fatal kalau orang mensejajarkan Kristus dengan kebudayaan dan meletakkan agama sebagai salah satu sub budaya sama. Disini kita melihat kegagalan manusia memahami iman sejati. Iman atau agama merupakan suatu kepercayaan yang bersifat mutlak dan menjadi dasar tertinggi dari seluruh aspek hidup dan konsep berpikir kita. I do what I think and I think what I believe. Celakanya, banyak orang yang tidak memahami hal ini akibatnya orang menaruh budaya di tempat paling atas dan mempermainkan iman kepercayaan. Hal inilah yang terjadi pada orang Yahudi, mereka lebih mengutamakan adat istiadat daripada perintah Allah padahal adat istiadat dibuat manusia. Tuhan Yesus dengan keras menegur orang Yahudi yang tidak ubahnya seperti kuburan, tampak bagus di depan tetapi busuk di dalamnya. Mereka beribadah dan memuliakan Tuhan namun apa yang mereka lakukan tidak lebih hanyalah kemunafikan religiusitas belaka – apa yang tampak luar berlawanan dengan apa yang mereka pikir. Dengan bibirnya, mereka seolah-olah memuliakan Allah padahal hatinya jauh dari Allah, mereka juga sepertinya beribadah kepada Allah namun apa yang menjadi ajaran mereka tidak lebih adalah perintah manusia.

Kemunafikan ini telah menjadi pola hidup keagamaan manusia pada umumnya dan tak terkecuali Kekristenan. Ada empat macam gejala yang timbul dalam keagamaan, yakni:

1. Social Religion

Orang beragama karena ia berada dalam tekanan sosial masyarakat atau demi kepentingan sosial. Orang yang hidup di suatu tempat dimana mayoritas penduduknya beragama tertentu maka demi supaya orang tidak “menghakimi”  orang beribadah dan melakukan semua bentuk aktivitas keagamaan. Sangatlah mengenaskan, hal yang sama terjadi di tengah-tengah Kekristenan, orang beribadah ke gereja untuk menghindari tekanan atau “penghakiman” dari orang-orang di sekitar atau tekanan dari jemaat, pengurus atau majelis. Orang ke gereja bukan demi Tuhan, hatinya jauh dari Tuhan. Ibadah tidak lebih hanya sebuah kegiatan sosial yang kita lakukan demi memuaskan kepentingan sosial. Inilah orang munafik. Kemunafikan ini justru menjadi bukti i think what i do and i do what i believe. Kemunafikan ini justru bukti dari konsistensi kepercayaan kita, yaitu diri sendirilah yang menjadi pusat, yakni demi kenyamanan diri. Inilah agama humanistik yang munafik.

2. Psychological Religion

Pasca perang dunia kedua manusia menjadi atheis maka ketika orang tidak lagi percaya Tuhan, logika itulah  segala-galanya dan kehidupan rohani pun menjadi sangat kering. Namun setelah perang dunia, manusia mulai bergeser dari unsur rasional ke unsur emosional. Penderitaan dan kesulitan akibat perang itu menjadikan emosi orang meledak dan meluap-luap. Demikian pula halnya dengan Kekristenan, Friedrich Schleiermacher, bapak theologi modern menggeser konsep agama – agama itu tidak lebih hanyalah sebuah perasaan ingin bergantung mutlak pada sesuatu obyek dan tidak peduli apa atau siapa yang menjadi obyek iman, religion is the willing of absolute dependence. Perasaan bergantung itulah yang disebut sebagai agama. Maka janganlah heran kalau kita mendengar ada orang yang berkata bahwa ia merasa tidak mendapat apa-apa ketika membaca Firman Tuhan dan merasa Tuhan begitu jauh namun keesokan harinya, dengan sukacita, ia berkata bahwa ia merasa Tuhan begitu dekat dan tersentuh oleh Firman Tuhan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Alkitab itu dikatakan sebagai firman ketika kita merasa tersentuh? Sangatlah mengenaskan, gereja menjadi tempat dimana emosi dipermainkan. Orang tidak lagi mempedulikan firman tetapi agama tidak lebih sebagai pelampiasan dan pemuasan emosi untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kekosongan rohani. Agama menjadi subyektif. Hari ini kita masuk dalam abad 21 dan gerakan ini semakin besar,  gereja mencoba mengisi perasaan emosional orang dan pada saat itu, barulah orang merasa dekat dengan Tuhan. Semua itu tidak lebih hanya untuk memenuhi kepuasan diri, diri menjadi yang utama dan Tuhan dilupakan.Bagaimana dengan kehidupan beragama kita? Apakah kita mengutamakan Tuhan? Apakah hati dan pikiran kita melekat pada Tuhan?

3. Status Religion

Orang beragama hanya untuk mencari posisi atau status di tengah masyarakat supaya ia dihormati.

Di dunia modern sekarang ini, banyak tempat yang mempunyai citra buruk di tengah masyarakat melakukan hal yang sama, yakni melakukan berbagai kegiatan rohani seolah-olah tempat itu menjadi tempat yang spiritual demi mendapatkan posisi dan citra yang baik apalagi Kekristenan diakui di tengah-tengah masyarakat. Orang datang ke gereja untuk mendapatkan status sosial, status kesalehan atau status kerohanian. Maka tidaklah heran kalau hari ini banyak orang memakai segala cara dan usaha ingin berada dan menjadi bagian dalam kepengurusan atau kemajelisan dalam gereja namun kehidupan moralnya rusak. Agama tidak lebih hanya menjadi tempat dimana orang mencari status sosial, orang mencari kekuasaan dan orang ingin mencapai harkat tertentu demi mendapat kehormatan. Namun orang lupa kalau ada Allah yang Maha Tahu, Allah tahu apa yang menjadi motivasi kita beribadah, Allah tahu kalau sesungguhnya hati kita jauh dari-Nya, orang hanya sekedar melakukan apa yang menjadi perintah manusia. Orang Farisi begitu sombong karena status sosial keagamaan di tengah masyarakat. Tuhan Yesus mengecam keras orang Yahudi, mereka tidak ubahnya seperti kuburan yang nampak indah di luar tetapi di dalamnya penuh kebusukan. Hari ini, demi status sosial, orang melakukan segala cara dengan melakukan perjalanan spiritual dan pergi ke tempat rohani. Inilah kemunafikan dalam ibadah.

4. Egoistic Religion

Semangat humanisme ini semakin hari semakin meningkat. Dimulai dari jaman renaissance, abad 13 dengan slogannya yang berbunyi: kami bangkit, kami bangun kemudian berkembang pada masa pencerahan atau aufklarung, abad 17 yang mencetuskan bahwa manusia telah cukup dewasa untuk memutuskan segala sesuatu sendiri. Hingga abad 20 dimana new age movement dengan lambang piramidnya mencetuskan: we are on the top – orang humanis dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tidak lagi memerlukan orang lain apalagi Tuhan; orang new age percaya bahwa Tuhan itu ada di dalam diri dengan kata lain kitalah “allah“ maka janganlah kita berpikir tentang keterbatasan atau dosa sebab hal itu tidak membuat kita tidak menjadi “allah.“ Dalam hal ini, orang beragama karena ingin menjadi “allah“ yang bisa melakukan apa saja maka muncullah suatu slogan baru, yakni: what you think is what you get. Manusia memuncakkan diri sendiri dan beriman pada diri sendiri, iman pada keyakinan dan nafsu diri sendiri. Inilah kemunafikan orang beragama. Orang tidak pernah memikirkan apa yang menjadi kehendak Tuhan, apa yang menyenangkan hati Tuhan. Iman Kristen mengajarkan sebelum kita mengikut Kristus maka ia harus menyangkal diri berarti berkata  “tidak“ pada apa yang menjadi keinginan nafsu kita, memikul salib dan mengikut Aku. Seorang Kristen sejati haruslah mengikut teladan Kristus yang berkata, “Bapa, bukan kehendak-Ku yang jadi melainkan kehendak-Mulah yang jadi.“ Hari ini, kita melihat orang begitu rajin beribadah dan berdoa tetapi semua ibadah dan doa itu tidak lebih hanyalah pemuasan egoisme manusia. Orang pikir dengan doa panjang bahkan semalam suntuk akan membuat doa mereka dikabulkan. Tidak! Ini bukan agama yang Tuhan inginkan. Tuhan Yesus menegur keras orang Yahudi akan hal ini, bukan doa yang bertele-tele yang membuat doa mereka dikabulkan. Tidak! Semua itu semata-mata karena anugerah Tuhan. Hati mereka jauh dari Tuhan, sesungguhnya mereka tidak mengerti Firman, orang hanya melakukan apa yang menjadi ajaran manusia.

Beberapa aspek di bawah ini menjadi evaluasi bagi kita apakah kita seorang Kristen sejati?

1. Otoritas Allah vs otoritas diri

Iman Kristen sejati dimulai dengan pengakuan akan kedaulatan Allah. Otoritas tertinggi berada di tangan Allah dan kita harus taat mutlak pada-Nya bukan memaksakan apa yang menjadi kehendak kita. Konsep keagamaan yang paling berat adalah pertikaian atau persaingan antara otoritas Allah dengan otoritas diri. Orang selalu ingin otoritas diri itulah yang berada di atas; orang ingin diri inilah yang menjadi “allah“ dan berotoritas penuh. Tidak! Otoritas Allah itulah yang harus berada di posisi atas sedangkan adat istiadat harus diletakkan di bawah-Nya. Kristus haruslah menjadi yang terutama dalam segala aspek hidup kita bukan budaya atau adat istiadat yang dibuat oleh manusia. Celakalah hidup kita kalau kita lebih mengutamakan budaya daripada Kristus yang adalah Allah sejati yang hidup dan berotoritas mutlak atas segala budaya yang ada dan segala ilah-ilah palsu yang ada di dunia. Biarlah kita mengevaluasi diri, hari ini kita mengaku Kristen sudahkah kita taat pada kebenaran sejati dan tunduk mutlak di bawah otoritas Allah? Ingat, jangan permainkan iman dengan segala hal yang sifatnya relatif yang ada di dunia.

2. Perintah Allah vs perintah manusia

Dalam tatanan urutan perintah, perintah siapakah yang paling tertinggi? Apakah urutan itu berada dalam satu garis perintah, one line order? Allah haruslah berada di urutan teratas di antara semua perintah yang ada di dunia. Hal ini menjadi prinsip dalam kehidupan ketaatan kita namun di satu sisi bukan berarti kita harus melawan semua perintah yang ada di dunia dan menjadi anti nomian. Tidak! Ibadah sejati adalah ketika kita beribadah dalam kebenaran pada Tuhan. Ibadah dari kata to bow down berarti menyembah Allah dan taat mutlak pada perintah Allah. Alangkah indah hidup kita kalau kita berjalan dalam pimpinan Tuhan, kita akan dibuat takjub oleh-Nya. Jangan takut dengan segala rintangan dan tantangan yang menghadang sebab kalau Tuhan yang memimpin dan kita taat mutlak pada-Nya maka semua tantangan dan rintangan akan hancur. Lihatlah bagaimana Allah memimpin Musa keluar dari Mesir hingga sampailah ia dan bangsa Israel di tepi laut Merah. Musa dihadapkan pada tantangan yang sulit, di depan laut merah dan maju berarti resiko kematian sedangkan di belakangnya, prajurit Mesir kalaupun ia harus berbalik berarti ia dan bangsa Israel harus melawan banyaknya prajurit Mesir dan itu berarti resiko kematian. Allah memerintahkan Musa untuk maju. Secara logika, sangatlah mustahil beribu-ribu orang Israel termasuk perempuan dan anak-anak untuk menyeberangi laut Merah yang sangat luas dan selamat sampai di seberang. Saat itu, Musa tidak ada pengalaman apapun yang menunjukkan laut Merah itu akan terbelah. Hari itu, kalau kita dihadapkan dengan tantangan seperti Musa, apa yang akan kita lakukan? Taat pimpinan Tuhan ataukah menuruti kehendak kita? Puji Tuhan, Musa adalah seorang yang taat mutlak pada pimpinan Tuhan maka lihatlah bagaimana Tuhan bekerja dengan sangat luar biasa – laut Merah terbelah menjadi dua dan seluruh umat Israel selamat sampai di seberang. Pimpinan Tuhan sungguh sangatlah menakjubkan. Ironisnya, manusia berdosa berusaha menganulir peristiwa dahsyat ini dengan menyatakan bahwa kejadian itu tidak lebih hanya peristiwa alam. Mustahil! Bagaimana mungkin peristiwa alam bisa terjadi persis di detik Musa dalam keadaan terjepit dan persis setelah seluruh umat Israel menyeberang laut bisa tertutup kembali? Maka kalaupun hal itu terjadi lihatlah betapa dahsyat-Nya cara Tuhan bekerja. Sesungguhnya, peristiwa Musa ini membuktikan satu hal pada kita, yakni betapa indah hidup kita berada dalam pimpinan Tuhan dan taat mutlak pada-Nya. Celakanya, manusia berdosa merasa diri hebat merasa diri lebih pandai memakai rasio untuk melawan Allah yang adalah sumber bijaksana dan kepandaian. Maka tidaklah heran kalau hari ini banyak orang Kristen yang tidak pernah mengalami pimpinan Tuhan yang menakjubkan. Allah kita adalah Allah yang hidup, Allah menunjukkan cara-Nya dan Allah adalah Allah yang Maha bijaksana. Pertanyaannya adalah Allah seperti apakah yang kita percaya?

3. Altruistik vs egoistik

Kalau kita hidup untuk diri kita sendiri maka hidup kita menjadi najis. Agama menjadi tempat kita untuk mengeruk kepentingan pribadi maka ketika kita berelasi dalam kehidupan beragama pun adalah demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tuhan Yesus menegaskan bukan yang masuk mulut yang menajiskan tetapi apa yang keluar dari mulut itulah yang menajiskan. Tuhan ingin kita hidup menjadi berkat bagi orang lain, hidup untuk melayani. Kristus telah memberikan teladan sempurna bagi kita, Dia datang ke tengah dunia, rela menderita dan mati disalibkan demi menebus manusia berdosa. Sebagai anak Tuhan sejati hendaklah kita meneladani hidup Kristus, hidup menjadi berkat bagi orang lain. Bagaimana dengan kehidupan beragama kita? Kalau kita beribadah dan mendapat berkat dari Firman namun hanya untuk kepentingan diri dan tidak mau melayani Tuhan, tidak peduli pada apa yang menjadi kehendak Tuhan masih layakkah kita disebut Kristen atau Kristus kecil? Tuhan memberikan amanat Agung pada setiap anak-Nya; bukan kamu yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu untuk pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap. Percayalah, kalau kita taat mutlak pada pimpinan-Nya dan mengutamakan Tuhan dalam hidup kita dan hidup menjadi berkat bagi orang lain maka Tuhan pasti akan menyertai dan memelihara hidup kita. Seorang Kristen sejati bukanlah seorang yang egois tetapi hendaklah kita mempunyai hati altruis yang selalu memikirkan dan menjadi berkat bagi orang lain, selalu memikirkan apa yang menjadi kehendak Tuhan dan kita berbagian di dalamnya. Maukah kita dipakai Tuhan menjadi berkat?

4. Batiniah vs Lahiriah

Tuhan ingin seluruh hidup kita dimurnikan dari dalam. Kemunafikan terjadi karena apa yang ada di dalam dan di luar tidak sama. Agama seringkali hanya ribut dengan penampilan luar bukan apa yang ada di dalam batiniah kita. Perubahan Kristen adalah perubahan internal, suatu kesadaran diri sebagai manusia berdosa dan bertobat, memohon pengampunan dan mau hidup taat Tuhan. Inilah iman Kristen sejati. Kristen bukanlah segala aktivitas yang kita tunjukkan. Tuhan mengubah inner being, dilahirbarukan dan pada saat itu maka apa yang keluar dari dalam diri, yakni hati, motivasi dan jiwa kita itupun menjadi bersih. Kekristenan sejati bukan memoles perilaku luar tetapi merubah dari dalam dengan demikian kita tidak menjadi orang yang munafik dan apa yang keluar dari dalam kita itu tidak menajiskan. Marilah kita mengevaluasi kehidupan ibadah kita? Sudahkah kita percaya mutlak pada Kristus dan mengandalkan Dia dalam segala aspek hidup kita?  Amin.  ?

 

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)




Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070819.htm

Roma 15:14-16: KONSEP PELAYANAN SEJATI-1: Belajar dari Teladan Jemaat Roma dan Pelayanan Paulus

Seri Eksposisi Surat Roma:

Penutup-1

 

 

KONSEP PELAYANAN SEJATI-1: 

Belajar dari Teladan Jemaat Roma dan Pelayanan Paulus

 

oleh: Denny Teguh Sutandio

 

 

 

Nats: Roma 15:14-16

 

 

 

Setelah menjelaskan Kristus adalah teladan bagi kesatuan jemaat di ayat 8 s/d 13, Paulus menutup suratnya mulai pasal 15 ayat 14 dengan maksud agar jemaat Roma mengerti dasar tulisannya yang berisi dasar pelayanannya. Hal ini juga mencerahkan hati dan pikiran kita tentang konsep pelayanan yang beres yang berpusat kepada Kristus.

 

 

Di ayat 14, ia memulai penjelasan yang baru dengan mengatakan, “Saudara-saudaraku, aku sendiri memang yakin tentang kamu, bahwa kamu juga telah penuh dengan kebaikan dan dengan segala pengetahuan dan sanggup untuk saling menasihati.” Di ayat ini, Paulus memuji jemaat Roma. Pujian ini bukan sebagai pujian yang dibuat-buat, tetapi pujian yang keluar dari hati Paulus. Apa yang mengakibatkan Paulus memuji jemaat Roma? Di ayat ini, ia menjelaskan alasannya, yaitu ia yakin akan jemaat Roma (NIV: I myself am convinced {=Aku sendiri diyakinkan}; English Standard Version/ESV: I myself am satisfied about you {=Aku sendiri dipuaskan tentang kamu}). Ia diyakinkan oleh jemaat Roma bahwa jemaat Roma adalah jemaat yang: penuh dengan kebaikan, segala pengetahuan, dan sanggup untuk saling menasihati. Di sini, Paulus menjelaskan 3 kondisi jemaat Roma, yaitu:

Pertama, penuh dengan kebaikan. Kata “kebaikan” di sini di dalam terjemahan Yunaninya agathōsunē bisa diterjemahkan virtue (kebajikan). Bukan hanya sekadar baik, Paulus mengatakan jemaat Roma menunjukkan kepenuhan kebaikan/kebajikan mereka. Di sini, berarti, Paulus menilai jemaat Roma sudah berbuat baik dengan sungguh-sungguh dan penuh. Apa yang Paulus telah ajarkan melalui pemberitaan Injil telah membuahkan hasil bagi jemaat Roma yaitu mereka sudah berbuat segala kebaikan. Bagaimana dengan pelayanan yang kita lakukan? Apakah kita lebih mementingkan betapa sibuknya kita melayani tetapi kita melupakan unsur sosial? Tidak ada salahnya kita memerhatikan unsur sosial, tetapi kita tidak boleh terlalu mementingkan unsur sosial sebagai satu-satunya hal terpenting di dalam iman Kristen atau program gerejawi!

 

Kedua, dipenuhi dengan segala pengetahuan. KJV dan ESV menerjemahkan, “filled with all knowledge” (dipenuhi dengan segala pengetahuan), NIV menerjemahkan, “complete in knowledge” (=lengkap dalam pengetahuan). Bukan hanya berbuat baik, jemaat Roma pun telah dipenuhi dengan segala pengetahuan. Berarti secara kognitif, mereka telah menyerap banyak pengetahuan. Pengetahuan apa yang Paulus maksudkan di sini? Apakah pengetahuan sekuler? Tidak. Beberapa penafsir mengatakan bahwa pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan tentang Injil dan hubungannya dengan Allah. Dengan kata lain, pengetahuan rohani yang Paulus maksudkan. Mereka mendapatkan pengetahuan rohani tersebut setelah Paulus menjabarkan Injil kepada mereka. Pelayanan yang beres bukan hanya memperhatikan sisi sosial dan kuantitas jam kita melayani, tetapi yang terpenting adalah kita harus memerhatikan dan mementingkan konsep dan dasar pelayanan kita dengan pengertian firman Tuhan yang bertanggung jawab. Pelayanan tanpa mengerti siapa yang kita layani dan bagaimana seharusnya kita melayani akan mengakibatkan pelayanan itu sia-sia, karena pelayanan itu tidak didasari oleh pengertian yang beres. Bagaimana dengan kita? Sebagaimana Paulus telah mengajar Injil kepada jemaat Roma dan mereka sudah menyerap banyak pengetahuan darinya demi pelayanan mereka, sudah seharusnya kita yang mau melayani memperlengkapi diri dengan pengertian firman Tuhan yang bertanggung jawab, sehingga kita tahu siapa yang kita layani (yaitu Tuhan Allah sebagai Pencipta, Penebus, Pemelihara, dan Penyempurna hidup kita) dan bagaimana seharusnya kita melayani-Nya.

 

Ketiga, sanggup untuk saling menasihati. Bukan hanya penuh dengan kebajikan dan pengetahuan, Paulus menyebut jemaat Roma sebagai jemaat yang mampu untuk saling menasihati/menegur. Berarti jemaat Roma BUKAN orang yang egois yang merasa bahwa mereka telah mendapat semua pengetahuan rohani lalu menyimpannya untuk diri sendiri. Jemaat Roma mau membagikan apa yang mereka dapatkan untuk saling menasihati. Uniknya, Paulus mengatakan bahwa jemaat Roma sanggup/mampu saling menasihati. Kata “saling” berarti ada hubungan timbal balik. Berarti jemaat Roma yang sudah banyak belajar firman Tuhan adalah jemaat yang saling menasihati satu sama lain. Mereka melakukannya demi pertumbuhan kerohanian mereka. Teladan jemaat Roma adalah pelajaran yang perlu kita teladani di dalam konsep pelayanan kita di zaman sekarang. Sering kali semakin menguasai banyak theologi, kita semakin sombong dan egois, hanya mau mengkritik orang lain, tetapi tidak pernah mau mengkritik diri sendiri yang berdosa. Saya pribadi menjumpai ada orang Kristen yang sudah membaca banyak buku theologi bahkan menjadi editor buku theologi, lalu suka menjadi pengkritik tindakan orang lain di dalam lingkungan tempat ia bekerja, tetapi herannya (sekaligus aneh) teguran yang ia lontarkan TIDAK pernah berlaku untuk dirinya sendiri dan orang terdekatnya! Secara implisit, ia menerapkan konsep infallibility and inerrancy of the boss and me (ketidakbersalahan bos dan dirinya)! Inilah kengerian banyak orang yang belajar theologi, lalu kepalanya menjadi besar, namun hati dan karakternya NOL! Melalui teladan jemaat Roma, marilah kita belajar bahwa semakin belajar banyak theologi, semakin kita mau pertama-tama dikoreksi oleh firman Tuhan, lalu kita juga berbagi dengan saudara seiman kita dengan menegur, mendorong, dan menghibur mereka demi pertumbuhan kerohanian kita bersama.

 

 

Tetapi, apakah ketiga kondisi jemaat Roma sudah cukup? Paulus berkata, BELUM. Ia perlu mengingatkan tentang pelayanan Paulus kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Di ayat 15-16, ia mengatakan, “Namun, karena kasih karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadaku, aku di sana sini dengan agak berani telah menulis kepadamu untuk mengingatkan kamu, yaitu bahwa aku boleh menjadi pelayan Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi dalam pelayanan pemberitaan Injil Allah, supaya bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, yang disucikan oleh Roh Kudus.” Ada dua hal yang mau ditekankan Paulus tentang konsep pelayanan di dalam dua ayat ini, yaitu:

Pertama, pelayanan adalah respons terhadap anugerah Allah dan anugerah Allah itu sendiri. Di awal ayat 15, Paulus mengatakan bahwa karena kasih karunia yang telah dianugerahkan Allah, maka ... Berarti pelayanan dimulai dari anugerah Allah. Kita boleh melayani Allah karena kita telah mendapatkan anugerah Allah terlebih dahulu melalui keselamatan di dalam Kristus. Setelah kita diselamatkan di dalam Kristus, barulah kita bisa melayani Tuhan dengan bertanggung jawab karena kita mengetahui sapa yang kita layani. Pelayanan yang TIDAK pernah dikaitkan dengan anugerah Allah akan menjadi pelayanan yang egosentris dan antroposentris (berpusat kepada manusia). Pelayanan itu akan terus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian bagi si pelayan. Dan yang lebih parah lagi pelayanan itu akan bertujuan memuliakan si pelayan ketimbang Allah yang dilayani. Terlalu banyak konsep pelayanan yang antroposentris yang orang Kristen lakukan, tetapi tak pernah disadari. Mereka giat melayani “Tuhan” di gereja pada hari Minggu, tetapi 6 hari berikutnya, hidupnya tidak pernah berkait dengan Allah dan kehendak-Nya, melainkan lebih mengikuti setan dan kroni-kroninya. Lalu, untuk apa mereka melayani “Tuhan”? Ada banyak argumentasi yang mereka katakan. Ada yang mengatakan bahwa di gereja itu, siapa yang sudah dibaptis harus melayani. Yang lain mengatakan bahwa dia melayani karena alasan gengsi, soalnya teman-temannya satu gereja banyak yang sudah melayani di gereja. Semua argumentasi mereka didasarkan pada asumsi manusia berdosa yang berpusat pada diri dan kehebatan diri. Hari ini, biarlah pernyataan Paulus menyadarkan kita bahwa kita baru bisa melayani Tuhan dengan pengertian dan cara yang bertanggung jawab setelah kita mendapatkan anugerah Allah. Selain sebagai respons terhadap anugerah Allah, kita juga harus mengerti bahwa pelayanan kepada Allah itu pun adalah anugerah Allah, karena tidak setiap orang dilayakkan Allah untuk menjadi pelayan-Nya bagi Kerajaan-Nya. Ketika kita sebagai anak-anak-Nya dilayakkan untuk menjadi budak-Nya yang melayani-Nya, JANGAN pernah mengomel, tetapi bersyukur, karena kita dilayakkan untuk menjadi budak dari Pencipta dan Penebus kita, Raja alam semesta, dan Tuhan yang berdaulat. Bukankah suatu hak istimewa (privilege) dan anugerah yang sangat besar bagi kita yang dulu berdosa namun telah dilayakkan melalui penebusan di dalam Kristus menjadi anak-anak-Nya yang melayani Raja segala raja?

 

Kedua, pelayanan adalah pelayanan yang berjiwa murni dan universal. Di ayat 16, Paulus mengingatkan pelayanan pemberitaan Injil dilakukannya juga untuk bangsa-bangsa non-Yahudi. Apa tujuannya? Supaya mereka dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, setelah disucikan oleh Roh Kudus (teks Yunani menggunakan perfect tense untuk frasa, “yang disucikan oleh Roh Kudus”). Di sini, Paulus menjelaskan konsep pelayanan yang berjiwa murni dan universal. Ketika melayani dan memberitakan Injil, Paulus TIDAK memerhatikan diri sendiri, tetapi orang-orang yang ia layani agar mereka bertobat, percaya, dan mengikut Kristus (bukan mengikut Paulus). Hal ini ditandai dengan motivasi dan ruang lingkupnya melayani. Motivasinya melayani bukan untuk kehebatan diri, tetapi untuk orang-orang khususnya dari bangsa non-Yahudi agar mereka dapat diterima oleh Allah sebagai suatu persembahan yang berkenan kepada-Nya setelah disucikan oleh Roh Kudus. Ia mengaitkan objek pelayanannya dengan sumber/dasar pelayanannya yaitu ibadah sejati yang menyenangkan hati Allah (Rm. 12:1). Berarti, di dalam pelayanan, orang-orang yang ia layani lah yang menjadi perhatian Paulus. Ini menyadarkan banyak konsep pelayanan kita. Kita sering kali melayani tidak memerhatikan orang yang kita layani, tetapi diri kita, yaitu apakah diri kita merasa nyaman atau tidak melayani di bidang tertentu. Jika kita tidak nyaman, misalnya karena kita berselisih paham dengan orang Kristen lain, kita tidak mau lagi melayani di bidang itu, meskipun itu panggilan dan beban yang Allah berikan kepada kita. Kita lebih suka melayani di tempat-tempat yang nyaman yang cocok dengan keinginan kita daripada harus menuruti keinginan Allah. Di dalam kehidupan sehari-hari pun, kita juga lebih suka mengatur dan menjalani hidup TANPA melibatkan Allah dan kehendak-Nya, sehingga meskipun kita secara teori mengaku diri “Kristen” bahkan “Injili” yang memegang teguh otoritas Alkitab, secara praktik, kita tidak ada bedanya seperti seorang atheis praktis yang membuang Allah di dalam hidup kita! Biarlah Roh Kudus mengubah konsep pelayanan kita yang tidak beres ini dan memimpin kita kepada konsep pelayanan yang beres yang mementingkan objek yang kita layani bukan diri kita sendiri. Tetapi apakah cukup mementingkan objek yang kita layani di dalam pelayanan kita? TIDAK! Paulus melanjutkan bahwa objek yang dia layani itu sebagai hal yang menyenangkan-Nya, namun sebelumnya Roh Kudus telah menyucikan bangsa-bangsa non-Yahudi itu agar mereka diterima oleh Allah. Berarti, ia lebih mementingkan peran Kebenaran (Truth) yang Roh Kudus kerjakan di dalam hati umat pilihan dari bangsa-bangsa non-Yahudi. Beberapa “gereja” atau orang/pemimpin “Kristen” di zaman postmodern ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dari konsep Paulus ini. Mereka mengajar bahwa pelayanan “Kristen” adalah pelayanan yang berorientasi pada orang lain. Mereka membuang konsep penginjilan verbal dan menggantinya dengan “penginjilan” melalui perbuatan/aksi sosial. Di dalam khotbah dari gereja yang menganut paham ini, banyak pemimpin mereka mengajar bahwa kita harus memerhatikan orang miskin, karena Tuhan Yesus juga melayani orang miskin. Apakah itu salah? TIDAK! Meskipun tidak salah, ada dua kelemahan dari konsep ini yang jarang mereka pikirkan: Pertama, Alkitab memang mengajar bahwa kita harus memerhatikan orang miskin, tetapi di sisi lain, Alkitab yang sama (Im. 19:15) mengajar agar kita TIDAK membela orang miskin/kecil. Kedua, jika pelayanan Kristen terus memperhatikan orang lain (dalam hal ini: orang miskin), maka pelayanan “Kristen” tidak ada bedanya dengan pelayanan duniawi yang antroposentris. Alkitab mengajar bahwa pelayanan Kristen yang beres BUKAN pelayanan yang terus berorientasi pada orang lain saja, tetapi pelayanan yang beres adalah pelayanan yang memerhatikan objek yang kita layani dengan prinsip-prinsip Kebenaran agar mereka yang kita layani kembali kepada Kebenaran. Inti dari pelayanan Kristen yang beres adalah Kebenaran, bukan objek atau orang lain.

Bukan hanya motivasi pelayanan Paulus itu murni, ruang lingkup pelayanannya pun luas. Ia memberitakan Injil bukan hanya bagi orang Yahudi, tetapi juga untuk orang-orang non-Yahudi yang dianggap oleh orang Yahudi sebagai bangsa kafir (Gentiles). Paulus tidak memedulikan anggapan negatif orang Yahudi ketika ia memberitakan Injil kepada orang-orang non-Yahudi. Ia melakukan hal ini sesuai dengan teladan Tuhan Yesus Kristus yang melayani bukan hanya untuk orang Yahudi, tetapi juga untuk orang-orang non-Yahudi. Pelayanan Kristen yang beres adalah pelayanan yang universal yang tidak hanya menjangkau suku-suku tertentu, tetapi untuk semua suku dan bangsa. Apa dasarnya kita bisa melayani semua orang? Dasarnya adalah Pertama, Allah adalah Pencipta manusia dari berbagai bangsa. Kedua, di dalam Kristus, orang-orang yang tergabung di dalam umat pilihan-Nya yang telah ditebus adalah orang-orang yang terdiri dari berbagai bangsa dan bahasa (Gal. 3:28). Ketiga, kita semua dari berbagai bangsa yang telah ditebus Kristus, pada saat yang sama, dibaptis oleh Tuhan Yesus di dalam satu Roh (1Kor. 12:13). Sebagaimana Paulus melayani dengan prinsip universalitas di dalam pelayanan, sudahkah kita siap melayani Tuhan dengan jiwa universal tersebut? Allah yang menciptakan manusia, menebus beberapa manusia untuk menjadi umat-Nya, dan menyempurnakan mereka melalui karya Roh Kudus adalah Allah yang tidak membeda-bedakan manusia, bukankah kita juga seharusnya tidak perlu membeda-bedakan manusia? Manusia membutuhkan Injil, tidak peduli apakah itu orang Indonesia, Inggris, India, Amerika, RRT, Jepang, dll. Siapkah kita menyaksikan kasih dan kebenaran Kristus kepada mereka tanpa pandang bulu?

 

 

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita melayani Tuhan dengan konsep dan cara yang bertanggung jawab sesuai dengan firman Tuhan? Jika belum, biarlah Roh Kudus mencerahkan hati dan pikiran kita, lalu memimpin kita untuk terus melayani-Nya dengan hati yang tulus dan konsep yang benar. Kiranya Tuhan memberkati. Amin. Soli Deo Gloria.

 

 

 

17 May 2009

AJARAN TENTANG KEMAKMURAN: Mengelabui dan Mematikan (Rev. John S. Piper, D.Theol.)

AJARAN TENTANG KEMAKMURAN:
Mengelabui dan Mematikan


oleh: Rev. John S. Piper, D.Theol.




Ketika saya membaca tentang gereja yang mengajarkan tentang kemakmuran, respons saya adalah: Seandainya saya bukan orang Kristen, saya tidak akan ingin masuk Kristen. Dengan kata lain, seandainya ini adalah pesan Yesus, mohon maaf saya tidak mau.

Memikat orang untuk mengikut Kristus supaya kaya adalah bohong dan mematikan. Ini adalah bohong karena pada waktu Yesus sendiri memanggil kita, Ia mengatakan hal-hal seperti: “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk. 14:33). Dan ini mematikan karena hasrat untuk menjadi kaya menjerumuskan “orang ke dalam keruntuhan dan kebinasaan” (1Tim. 6:9). Jadi inilah permohonanku kepada para pemberita Injil.
1. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Membuat Manusia Lebih Sulit Lagi Untuk Masuk Sorga
Yesus berkata, “Betapa sulitnya bagi orang kaya untuk masuk ke dalam kerajaan Allah!” Murid-muridnya tercengang, sebagaimana banyak orang dalam gerakan “kemakmuran” seharusnya bereaksi. Yesus kemudian meneruskan yang membuat mereka bahkan lebih heran lagi dengan berkata, “lebih mudah seekor unta masuk ke lobang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam kerajaan Allah.” Mereka merespon dalam ketidak-percayaan: “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?” Yesus berkata, “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah” (Mrk. 10:23-27).

Pertanyaan saya bagi para pendeta yang mengajarkan tentang kemakmuran adalah: Mengapa Anda ingin mengembangkan fokus gereja yang membuat sulit bagi manusia untuk masuk Sorga?


2. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Mengobarkan Keinginan Manusia Untuk Bunuh Diri
Paulus berkata, “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar, sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia, dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa keluar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” Tetapi kemudian ia memperingatkan akan keinginan untuk menjadi kaya. Dan secara implisit, ia memperingatkan para pendeta yang menimbulkan keinginan untuk menjadi kaya ketimbang menolong manusia untuk menjauhkan diri darinya. Ia memperingatkan, “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat, dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:6-10).

Jadi pertanyaan saya kepada pendeta yang mengajarkan tentang kemakmuran adalah: mengapa Anda mau mengembangkan gereja yang mendorong manusia untuk menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka dan menenggelamkan dirinya ke dalam keruntuhan dan kebinasaan?


3. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Mendorong Kerentanan Terhadap Ngengat dan Karat
Yesus memberi peringatan terhadap upaya untuk mengumpulkan harta di dunia. Yaitu, ia menyuruh kita untuk menjadi pemberi, bukan penyimpan. “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya, tetapi kumpulkanlah bagimu harta di Sorga, di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya” (Mat. 6:19).

Memang, kita semua menyimpan sesuatu. Namun karena adanya kecenderungan untuk serakah dalam diri kita semua, mengapa kita menanggalkan fokus dari Yesus dan memutar-balikkannya?


4. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang menjadikan kerja keras sebagai jalan untuk mendapatkan kekayaan yang berlimpah
Paulus berkata kita tidak boleh mencuri. Pilihannya adalah kerja keras dengan tangan kita sendiri. Tetapi tujuan utamanya bukan semata-mata untuk menimbun atau bahkan untuk memiliki. Tujuannya adalah “memiliki untuk memberi.” “tetapi baiklah ia bekerja keras, dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan” (Ef. 4:28). Ini bukanlah suatu pembenaran untuk menjadi kaya supaya dapat memberi lebih banyak lagi. Tidak ada alasan mengapa seseorang yang berpenghasilan $ 200.000 harus hidup secara berbeda daripada cara hidup orang yang berpenghasilan $ 80.000. Carilah pola hidup seperti dalam masa perang; ketatkan pengeluaran Anda; dan bagikanlah sisanya kepada orang lain.

Mengapa Anda harus mendorong orang untuk berpikir bahwa mereka harus memiliki kekayaan supaya bisa menjadi pemberi yang boros? Mengapa tidak mendorong mereka untuk hidup lebih sederhana dan menjadi pemberi yang lebih boros lagi? Bukankah itu akan menambah kemurahan mereka menjadi suatu kesaksian yang baik bahwa Kristuslah harta mereka, bukan benda yang mereka miliki?


5. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Mengakibatkan Berkurangnya Iman Terhadap Janji-janji Tuhan Kepada Kita yang Tidak Dapat Dibeli Dengan Uang
Alasan penulis kepada bangsa Ibrani mengajarkan kepada kita untuk merasa cukup dengan apa yang ada pada kita adalah karena jika tidak maka iman kita terhadap janji Tuhan akan berkurang. Ia berkata, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu, karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata, “Tuhan adalah Penolongku, aku tidak akan takut, apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Ibr. 13:5-6).

Bila Alkitab mengajarkan kepada kita untuk merasa puas dengan apa yang ada pada kita meyakini akan janji-janji Tuhan yang tidak akan pernah meninggalkan kita, mengapa kita mau mengajarkan kepada manusia untuk ingin menjadi kaya?


6. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Mengakibatkan umat Anda merasa terhimpit
Yesus mengingatkan bahwa firman Tuhan, yang ditujukan untuk memberi kita kehidupan, dapat kehilangan efektifitasnya oleh kekayaan. FirmanNya berkata bahwa ini bagaikan benih yang tumbuh di antara semak duri yang menghimpitnya sampai mati: “Orang yang telah mendengarkan firman itu, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terhimput dengan ….kekayaan…hidup, sehingga mereka tidak menghasilkan buah yang matang” (Luk. 8:14).

Mangapa kita mau mendorong manusia untuk mengejar sesuatu yang Yesus katakan akan menghimpit kita?


7. Jangan Mengembangkan Filsafat Gereja yang Membuat Garam Menjadi Tawar dan Meletakkan Lampu Di Bawah Gantang
Hal apakah yang membuat orang Kristen menjadi garam dunia dan terang dunia? Bukanlah kekayaan. Hasrat akan kekayaan dan pengejaran akan kekayaan terasa dan kelihatan seperti dunia. Ini tidak memberi dunia sesuatu yang berbeda daripada apa yang telah diyakininya. Tragedi besar dari pengajaran tentang kemakmuran adalah bahwa seseorang tidak perlu dibangkitkan secara spiritual untuk memeluknya; cukuplah dengan serakah. Menjadi kaya dalam nama Yesus bukanlah garam dunia atau terang dunia. Dalam hal demikian, dunia hanya melihat suatu refleksi tentang dirinya sendiri. Dan kalau berhasil, orang akan mau.

Konteks dari perkataan Yesus menunjukkan kepada kita apa yang dimaksud dengan garam dan terang. Ini adalah kemauan secara sukacita untuk berkorban bagi Kristus. Beginilah sabda Yesus, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu. Kamu adalah garam dunia….Kamu adalah terang dunia” (Mat. 5:11-14).

Apa yang akan membuat dunia merasakan (garam) dan melihat (terang) Kristus dalam diri kita bukanlah bahwa kita mencintai kekayaan sama seperti mereka. Akan tetapi suatu kemauan dan kemampuan orang-orang Kristen untuk mengasihi sesama dalam penderitaan, sambil bersukacita karena upahnya adalah di Sorga bersama Yesus. Hal ini tidak dapat dimengerti oleh manusia. Ini adalah hal supernatural. Namun menarik manusia dengan janji-janji kemakmuran itu adalah hal yang natural. Ini bukanlah pesan Yesus, Ini bukan tujuan dari kematian-Nya.


Artikel ini:
Diterbitkan oleh : Desiring God Ministries (www.desiringGod.org)
Ditulis oleh : John Piper.
Seri : Taste and See
Topik : Church Leadership
Subtopik : Preaching and Teaching
Tanggal : 14 Februari 2007
Diterjemahkan oleh : Nelce Manoppo


Sumber:
http://gospeltranslations.org/wiki/Prosperity_Preaching:_Deceitful_and_Deadly/id



Profil Rev. Dr. John S. Piper:
Rev. John Stephen Piper, D.Theol. adalah Pendeta Senior di Bethlehem Baptist Church dan seorang penulis yang sangat produktif dari perpektif Calvinis. Beliau menyelesaikan gelar Bachelor of Divinity (B.D.) di Fuller Theological Seminary di Pasadena, California pada tahun 1968-1971. John melakukan studi Doctor of Theology (D.Theol.) di dalam bidang Perjanjian Baru di University of Munich, Munich, Jerman Barat pada tahun 1971-1974. Disertasinya, Love Your Enemies diterbitkan oleh Cambridge University Press dan Baker Book House.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

Resensi Buku-72: MENGAPA AKU MENDERITA? (Prof. John D. Currid, Ph.D.)

…Dapatkan segera…




Buku
MENGAPA AKU MENDERITA?
(Penderitaan dan Kedaulatan Allah)


oleh: Prof. John D. Currid, Ph.D.

Penerbit: Visi Press, 2009

Penerjemah: Aileen P. Mamahit, M.A.R.E., M.K.
(Dosen Konseling di Seminari Alkitab Asia Tenggara—SAAT Malang)





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Dunia kita adalah dunia yang penuh dosa dan dosa itu mengakibatkan berbagai penderitaan muncul silih berganti. Penderitaan itu menimpa semua orang. Apa sih arti penderitaan? Ada beragam opini mengenai penderitaan. Ada yang mengatakan bahwa penderitaan atau sesuatu yang jahat itu hanya merupakan akibat dari orang yang bertindak jahat, sedangkan orang baik tak mungkin mengalami penderitaan. Pendapat ini disebut oleh Dr. John D. Currid sebagai hikmat dogmatis, di mana contoh nyatanya adalah para sahabat Ayub (Ayb. 4:7-9). Konsep ini diterapkan di beberapa kalangan “Kristen” dengan ide bahwa yang mengikut Kristus pasti luput dari masalah, kaya, sukses, berkelimpahan, dll. Orang lain mengatakan bahwa penderitaan itu terjadi di luar kehendak Allah alias kebetulan saja. Benarkah pandangan-pandangan demikian?

Alkitab menyatakan bahwa penderitaan itu dialami baik oleh orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Kristus maupun oleh orang yang tidak percaya. Lalu, apa beda penderitaan yang dialami oleh orang Kristen Vs orang non-Kristen? Melalui bukunya Mengapa Aku Menderita?, Prof. John D. Currid, Ph.D. memaparkan arti penderitaan yang dikaitkan dengan kedaulatan dan karakter Allah. Lalu, beliau memaparkan perbedaan inti antara penderitaan yang dialami oleh umat pilihan Allah Vs penderitaan yang dialami oleh orang non-Kristen. Penderitaan yang dialami oleh umat pilihan Allah bermotivasi untuk mendidik mereka di dalam kedewasaan iman sehingga mereka makin mengenal Allah sekaligus menjadi berkat bagi orang Kristen lain maupun orang non-Kristen. Sedangkan penderitaan yang dialami oleh orang yang tidak percaya bermotivasi menghancurkan mereka kelak di kekekalan (dengan kata lain, penderitaan yang dialami oleh orang yang tidak percaya adalah cicipan hukuman kekal kelak). Kemudian, di 2 bab terakhir, Dr. Currid memberikan sikap orang Kristen di dalam penderitaan, yaitu sabar di dalam menanggung penderitaan sekaligus bersukacita di dalam menanggungnya, mengapa? Karena salib itu mengarahkan kepada mahkota kemenangan yang akan kita terima kelak. Di bab terakhir, beliau memaparkan dan menguji ketidakbertanggungjawaban ajaran kemakmuran (yang diimpor dari ajaran kafir) dengan merenungkan Mazmur 73; Pengkhotbah 6:1-7; dan Pengkhotbah 7 tentang kesalahan ajaran kemakmuran dan melihat ada sesuatu yang lebih berharga daripada kemakmuran versi duniawi, yaitu: integritas dan makna hidup di dalam kehendak Allah. Biarlah melalui buku kecil ini, Allah membukakan hati dan pikiran kita tentang makna penderitaan dan kekuatan yang dahsyat dari Allah di dalam menghadapi penderitaan yang kita alami. Amin. Soli Deo Gloria.






Profil Dr. John D. Currid:
Prof. John D. Currid, Ph.D. (jcurrid@rts.edu) adalah Carl W. McMurray Professor of Old Testament di Reformed Theological Seminary, Jackson, Mississippi, U.S.A. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Barrington College; Master of Arts (M.A.) dari Gordon-Conwell Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang Syro-Palestinian Archaeology dari the Oriental Institute of the University of Chicago, U.S.A. Beliau pernah menjadi Direktur dari the Agricultural Project di Tel Halif, Israel; Field Archaeologist dari the UNESCO Project di penggalian Carthage, Tunisia; dan staf arkeolog di Tell el-Hesi dan Bethsaida, di Israel. Beliau telah menulis beberapa tafsiran Alkitab di EP Study Commentary Series dan melayani sebagai editor bagi seri tersebut. Beliau juga telah menulis dua buku dalam bidang arkeologi dan baru-baru ini telah menerbitkan buku lain tentang penderitaan. Beliau menikah dengan Nancy dan dikaruniai dua orang anak: Elizabeth dan David.

Roma 15:8-13: KESATUAN JEMAAT ALLAH-2: Kristus Sebagai Teladan dan Janji Allah

Seri Eksposisi Surat Roma:
Menjadi Berkat Bagi Sesama-4


Kesatuan Jemaat-2: Kristus Sebagai Teladan dan Janji Allah

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:8-13



Setelah menjelaskan di ayat 4 s/d 7 bahwa sesama jemaat harus bersatu, maka Paulus menjelaskan di ayat berikutnya yaitu ayat 8 s/d 13 bahwa Kristus itulah teladan bagi kesatuan jemaat tersebut, sehingga kesatuan yang tidak meneladani Kristus bukanlah kesatuan yang Allah inginkan.


Di ayat 8, Paulus menjelaskan, “Yang aku maksudkan ialah, bahwa oleh karena kebenaran Allah Kristus telah menjadi pelayan orang-orang bersunat untuk mengokohkan janji yang telah diberikan-Nya kepada nenek moyang kita,” Di ayat ini, Paulus menegaskan di titik awal bahwa ketika kita ingin belajar arti kesatuan, maka kita harus belajar dari Kristus yang mempersatukan semua bangsa menjadi umat pilihan Allah yang menerima keselamatan. Keselamatan ini dimulai dari kaum Israel terlebih dahulu. Pernyataan “orang-orang bersunat” di dalam New International Version (NIV) diterjemahkan Jews (Yahudi). Keselamatan yang dimulai dari kaum Israel ini adalah janji Allah kepada umat-Nya melalui nenek moyang mereka. Keselamatan ini digenapi di dalam Pribadi dan karya Kristus sebagai Juruselamat mereka. Di ayat ini, Kristus dinyatakan sebagai Pelayan bagi kaum Israel. Kata “pelayan” dalam NIV diterjemahkan servant dan di dalam King James Version (KJV) diterjemahkan minister. Kata Yunani yang dipakai adalah diakonos, BUKAN doulos. Kata diakonos berarti pelayan, pembantu, atau diaken (Hasan Sutanto, 2003, hlm.197), sedangkan kata doulos berarti budak. Mengapa Kristus disebut sebagai pelayan (diakonos) bukan doulos? Karena Paulus hendak mengatakan bahwa Kristus diutus Allah untuk melayani dan menebus orang berdosa, tetapi tidak berarti Ia kehilangan natur-Nya sebagai Allah yang bisa diinjak.


Keselamatan ternyata bukan hanya untuk orang Israel, tetapi juga untuk bangsa-bangsa lain. Paulus mengajarkannya di dalam ayat 9 s/d 12 dengan mengutip Perjanjian Lama. Mari kita telusuri pengajaran-pengajaran ini.
Di ayat 9, ia mengajarkan, “dan untuk memungkinkan bangsa-bangsa, supaya mereka memuliakan Allah karena rahmat-Nya, seperti ada tertulis: "Sebab itu aku akan memuliakan Engkau di antara bangsa-bangsa dan menyanyikan mazmur bagi nama-Mu."” Ayat ini dikutip dari 2 Samuel 22:50 dan Mazmur 18:50. Mazmur 18:50, “Sebab itu aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu di antara bangsa-bangsa, ya TUHAN, dan aku mau menyanyikan mazmur bagi nama-Mu.” Mazmur 18 ini ditulis sebagai ucapan syukur Daud setelah Allah melepaskannya dari tangan musuh dan Saul (baca ayat 1). Khususnya di ayat ini, Tuhan melalui Daud hendak mengajar kita bahwa Allah adalah Allah yang berkuasa atas semua bangsa dan semua bangsa harus menyembah-Nya. Oleh Paulus, ayat ini dikutip dan diberi arti baru tentang sentralitas Kristus sebagai Allah Pembebas manusia dari (Juruselamat) dosa. Sebagai Juruselamat atas dosa, kuasa penebusan Kristus berlaku BUKAN hanya untuk orang-orang Israel yang bertobat, tetapi juga bagi orang-orang “kafir” (Gentiles) yang bertobat. Jika kita kembali ke Roma 9-11, kita diingatkan kembali akan pengajaran Paulus bahwa keselamatan memang dimulai dari Israel lalu diteruskan ke bangsa-bangsa lain, tetapi TIDAK untuk dimonopoli oleh orang Israel lalu menghina orang-orang non Israel. Berarti di sini, Kristus adalah teladan bagi kita yang mempersatukan kita dari berbagai bangsa, suku, dan budaya menjadi satu di dalam tubuh-Nya. Inilah yang dimaksud universalitas keselamatan di dalam Kristus. Universalitas keselamatan ini BUKAN berarti keselamatan bisa ada di luar Kristus, tetapi keselamatan yang hanya ada di dalam Kristus berlaku dan dinikmati oleh semua orang percaya/pilihan Allah dari berbagai suku, bangsa, dan bahasa. Bagaimana dengan kita? Kita sering kali masih membeda-bedakan suku di dalam persekutuan tubuh Kristus. Kita mungkin masih merendahkan suku tertentu, padahal seharusnya, di dalam Kristus, tidak ada perbedaan suku dan bangsa (1Kor. 12:13; Gal. 3:28). Mari kita bertobat dari dosa pendiskriminasian ini dan melihat karya Kristus sebagai pemersatu perbedaan bangsa dan suku ini.


Di ayat 10, ia mengajarkan, “Dan selanjutnya: "Bersukacitalah, hai bangsa-bangsa, dengan umat-Nya."” Terjemahan teks Yunani dari kata “bangsa-bangsa” di ayat ini adalah “bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 874) Setelah di ayat 9, Paulus mengajar tentang sentralitas Kristus yang menyelamatkan semua bangsa, maka di ayat 10 ini, Paulus mengajar bagaimana respons mereka yang telah diselamatkan, yaitu bersukacita. Uniknya, di ayat 10 ini, Paulus mengajak orang-orang dari bangsa non-Yahudi untuk bersukacita bersama dengan umat-Nya (Yahudi). Mengapa? Di sini, Paulus hendak menjelaskan bahwa keselamatan di dalam Kristus selain dinikmati oleh semua orang pilihan Allah dari berbagai bangsa juga harus disyukuri oleh mereka. Dengan kata lain, bangsa-bangsa non-Yahudi pun bisa bersyukur dan menyembah Allah yang menyelamatkan mereka di dalam Kristus, karena universalitas karya Kristus tersebut. Lebih tajam lagi, bangsa-bangsa non-Yahudi bisa bersukacita selain karena universalitas karya Kristus, juga karena karya Allah bagi umat-Nya. Jika kita memperhatikan kutipan ayat ini dari PL, yaitu Ulangan 32:43 yang berbunyi, “Bersorak-sorailah, hai bangsa-bangsa karena umat-Nya, sebab Ia membalaskan darah hamba-hamba-Nya, Ia membalas dendam kepada lawan-Nya, dan mengadakan pendamaian bagi tanah umat-Nya."” kita akan mendapatkan gambaran lebih jelas lagi bahwa karya Allah bagi umat-Nya juga menjadi berkat bagi bangsa-bangsa non-Yahudi. Di dalam sejarah PL, kita melihat gambaran jelas akan hal ini. Daniel adalah salah satu contoh hamba Tuhan yang dipakai Tuhan dengan dahsyat di zamannya, sehingga ia menjadi berkat bagi Raja Darius di mana Allah yang ia sembah yang berdaulat itu diakui oleh raja Darius (Dan. 6:1-28). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi saluran berkat yang menyatakan karya Allah di dalam pribadi dan hidup kita? Mungkin orang lain (non-Kristen) tidak bisa melihat Tuhan Yesus, tetapi mereka bisa melihat pribadi kita sebagai anak-anak-Nya yang mencerminkan kebenaran, kasih, keadilan, dan kekudusan Allah. Biarlah mereka melihat karya Allah yang Mahakudus, Mahakasih, dan Mahaadil itu di dalam pribadi anak-anak Tuhan. Di tengah zaman yang bengkok, gelap, dan rusak ini, biarlah kita sebagai anak-anak-Nya memiliki hati dan semangat mau melayani Tuhan dan menjadi saksi bagi-Nya, supaya nama Tuhan dipermuliakan.


Bukan hanya bersukacita, bangsa-bangsa non-Yahudi pun memuji kebesaran Allah kita. Di ayat 11, Paulus mengajarkan, “Dan lagi: "Pujilah Tuhan, hai kamu semua bangsa-bangsa, dan biarlah segala suku bangsa memuji Dia."” Kembali, “bangsa-bangsa” di dalam ayat ini diterjemahkan dari teks Yunani sebagai “bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (ibid., hlm. 874) Kita bisa belajar dua hal dari ayat ini.
Pertama, respons yang benar setelah diselamatkan selain bersyukur adalah memuji Allah sebagai Sumber Keselamatan. Hal ini dilakukan juga oleh orang-orang non-Yahudi. Berarti, Allah menerima pujian dan penyembahan dari orang-orang non-Yahudi melalui bahasa-bahasa mereka. Tuhan TIDAK menuntut Ia harus dipuji dengan bahasa tertentu seperti yang dilakukan oleh agama mayoritas di Indonesia (sungguhan kasihan “Tuhan” seperti itu, hehehe), tetapi Ia menghendaki semua bangsa dengan semua bahasa dan budaya memuji nama-Nya atas kebesaran-Nya. Itu baru disebut bersatu secara esensi. Inti persatuan tersebut adalah memuji Allah Trinitas dengan keragaman bahasa dan budaya dari bangsa-bangsa yang ada.

Kedua, bukan hanya bangsa-bangsa non-Yahudi yang memuji-Nya, tetapi juga semua rakyat/suku bangsa (terjemahan dari teks Yunani). Berarti pujian kepada Allah bukan hanya berada di tataran bangsa, tetapi juga sampai ke pelosok-pelosok, yaitu suku bangsa atau rakyat. Dengan demikian tidak ada satu inci suku bangsa yang seharusnya tidak memuji Tuhan, karena Ia adalah Allah yang berdaulat di dunia bahkan sampai suku bangsa. Itulah persatuan yang Tuhan inginkan. Umat Tuhan yang ingin melayani Tuhan harus bersiap diri terjun ke tempat-tempat terpencil dan kecil untuk memberitakan Injil. Selain itu, Alkitab juga dicetak dengan bahasa-bahasa daerah setempat membuktikan adanya persatuan di dalam tubuh Kristus. Semua hal yang dikerjakan ini hanya membuktikan satu hal: Kristus harus dimuliakan di semua bangsa bahkan suku bangsa yang terpencil sekalipun. Sudahkah kita siap menjangkau suku-suku terpencil bagi Kristus? Pdt. Michael Densmoor, seorang misionaris dari Amerika Serikat terpanggil untuk melayani Tuhan dan memberitakan Injil untuk suku Sunda, bagaimana dengan Anda? Suku Jawa, Aceh, Tionghoa, Madura, dll banyak yang belum mendengar Injil dengan bertanggungjawab, Andakah orangnya yang Tuhan utus?


Sentralitas Kristus sebagai teladan kesatuan jemaat ini diakhiri dengan pernyataan bahwa Kristus adalah Hakim dan Pemerintah atas bangsa-bangsa. Hal ini diajarkan Paulus di ayat 12, “Dan selanjutnya kata Yesaya: "Taruk dari pangkal Isai akan terbit, dan Ia akan bangkit untuk memerintah bangsa-bangsa, dan kepada-Nyalah bangsa-bangsa akan menaruh harapan."” Ayat ini dikutip dari Yesaya 11:10 yang selengkapnya berbunyi, “Maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa dan tempat kediamannya akan menjadi mulia.” Dari ayat ini, kita bisa belajar dua hal, yaitu:
Pertama, sentralitas Kristus sebagai Hakim dan Pemerintah. Selain sebagai Juruselamat dari dosa (bdk. ay. 9), Paulus menjabarkan sisi akhir dari Kristus yaitu sebagai Hakim dan Pemerintah. Ia memerintah atas bangsa-bangsa baik Yahudi maupun non-Yahudi. Berarti ada universalitas kekuasaan Kristus. Jika Kristus memerintah atas bangsa-bangsa, bukankah firman-Nya harus menjadi fondasi kebenaran bagi semua bangsa? Bukankah semua bangsa seharusnya tanpa kecuali harus taat mutlak kepada Kristus melalui hukum-hukum-Nya di Alkitab? Itu yang Ia inginkan. Ini bukan pemaksaan yang tanpa dasar, tetapi suatu kemutlakan yang berotoritas, berdasar, dan bertanggungjawab. Itulah yang menjadi tugas kita bersama sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus menjadi garam dan terang Kristus yang membawa Kebenaran Kristus ke dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya di bidang politik dan hukum. Ini saya sebut sebagai kesatuan di dalam menjalankan mandat budaya (unity in doing cultural mandate). Sudahkah kita siap melakukannya?

Kedua, otoritas Kristus yang agung dan penuh kasih. Tentunya sebagai Hakim dan Pemerintah, Ia berotoritas, tetapi sering kali otoritas menjadi hal yang mengerikan. Tetapi apakah ini berlaku bagi Kristus? TIDAK! Otoritas Kristus memang absolut, tetapi Ia menjalankan otoritas-Nya bukan dengan kekejaman militer, tetapi dengan Kasih. Itulah yang membuat Yesaya mengatakan bahwa Dia akan dicari oleh bangsa-bangsa dan tempat kediaman-Nya akan menjadi mulia. Berarti otoritas Kristus tidak membuat bangsa-bangsa terpaksa ketakutan, tetapi mereka sungguh-sungguh takut dan gemetar melihat otoritas Kristus yang penuh kasih. Agama di luar Kristen menjalankan “misi” mereka ada yang menggunakan pedang dan pemaksaan (meskipun di depan umum, mereka menyangkalinya), begitu juga dengan otoritas kerajaan duniawi, tetapi hanya Satu yang menjalankan otoritas pemerintahan kerajaan bukan dengan kekejaman, melainkan dengan Kasih dan Kebenaran, yaitu Tuhan Yesus Kristus dan Kerajaan-Nya. Puji Tuhan! Hal ini telah menjadi kekuatan bagi jemaat Roma yang pada waktu itu menghadapi bengisnya kekaisaran Romawi. Biarlah ini juga menjadi kekuatan bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Sudahkah kita bersama-sama menghadirkan Kerajaan Allah di dalam Kristus yang penuh kasih, kebenaran, keadilan, dan kesucian ini di tengah masyarakat kita yang berdosa?


Setelah menguraikan sentralitas Kristus sebagai Juruselamat dan Pemerintah, Paulus mengajar jemaat Roma (dan kita juga), “Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan.” (ay. 13) Dari ayat ini, kita belajar dua hal tentang janji Allah, yaitu:
Pertama, Ia akan memenuhi kita dengan segala sukacita dan damai karena kita percaya kepada-Nya (terjemahan dari NIV dan teks Yunani). Ketika kita percaya di dalam dan kepada Kristus dan bersama-sama menunaikan mandat yang Ia percayakan kepada kita, maka Ia akan memenuhi kita dengan sukacita dan damai. Akibatnya, meskipun di dalam menjalankan mandat-Nya, kita menemui banyak rintangan, percayalah, kita dimampukan-Nya mengatasi hal itu, bahkan kita diberi-Nya sukacita sejati dan damai yang melampaui segala akal. Ada jaminan kekuatan bagi umat-Nya yang sungguh-sungguh beriman dan bergantung total kepada-Nya. Hal ini bukan hanya menjadi teori saja, saya pun sudah mengalaminya. Ketika saya melayani Tuhan di dalam dunia perkuliahan dengan mengintegrasikan iman Kristen dengan ilmu, seperti pada umumnya, beberapa dosen “Kristen” menghalangi dan bahkan mengatakan bahwa antara iman dan ilmu tidak ada hubungannya, tetapi saya tidak memperdulikan omongan yang tidak bertanggungjawab itu. Saya tetap terus melayani Tuhan, bahkan dengan sukacita dan damai, karena saya tahu kepada siapa aku percaya (2Tim. 1:12b). Allah yang saya layani, Ia lah yang akan memampukan saya dan umat Tuhan untuk melayani-Nya lebih giat lagi dan lebih bersemangat lagi demi hormat dan kemuliaan nama-Nya di dunia ini.

Kedua, kita memiliki berlimpah-limpah pengharapan di dalam Dia melalui kuasa Roh Kudus. Ketika kita bersatu percaya dan melayani Tuhan dan Kerajaan-Nya, percayalah, Ia akan memberikan kepada kita tempat pengharapan sejati di dalam-Nya melalui kuasa Roh Kudus. Ketika kita terus percaya dan melayani, di saat itu pula, kita terus memiliki tempat pengharapan yang sejati melalui kuasa Roh Kudus. Mengapa? Karena tempat pengharapan sejati itulah yang menguatkan, menghibur, dan mendorong kita makin giat lagi melayani Tuhan. Ketika semangat kita kendor, kerohanian kita menurun, biarkan Roh Kudus bekerja membakar kembali semangat dan kerohanian kita di dalam melayani Tuhan, itulah pengharapan kita satu-satunya. Sudahkah api Roh Kudus memberikan pengharapan kepada kita yang mulai kendor di dalam melayani Tuhan? Paulus mengatakan di Roma 12:11, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.”


Biarlah perenungan kita kali ini menyadarkan kita akan sentralitas Kristus sebagai teladan kesatuan dan janji Allah bagi kita yang bersatu menggenapkan kehendak-Nya di bumi ini. Amin. Soli Deo Gloria.