24 May 2009

Matius 15:1-11: CHRIST AND RELIGION (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah : 19 Agustus 2007


CHRIST AND RELIGION

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.



Nats: Matius 15:1-11


 



Sebelumnya kita telah memahami bahwa Kristus adalah dasar atau obyek iman yang mempengaruhi budaya, membentuk budaya, mengajar dan menjadi arah dari seluruh budaya. Merupakan suatu kesalahan fatal kalau orang mensejajarkan Kristus dengan kebudayaan dan meletakkan agama sebagai salah satu sub budaya sama. Disini kita melihat kegagalan manusia memahami iman sejati. Iman atau agama merupakan suatu kepercayaan yang bersifat mutlak dan menjadi dasar tertinggi dari seluruh aspek hidup dan konsep berpikir kita. I do what I think and I think what I believe. Celakanya, banyak orang yang tidak memahami hal ini akibatnya orang menaruh budaya di tempat paling atas dan mempermainkan iman kepercayaan. Hal inilah yang terjadi pada orang Yahudi, mereka lebih mengutamakan adat istiadat daripada perintah Allah padahal adat istiadat dibuat manusia. Tuhan Yesus dengan keras menegur orang Yahudi yang tidak ubahnya seperti kuburan, tampak bagus di depan tetapi busuk di dalamnya. Mereka beribadah dan memuliakan Tuhan namun apa yang mereka lakukan tidak lebih hanyalah kemunafikan religiusitas belaka – apa yang tampak luar berlawanan dengan apa yang mereka pikir. Dengan bibirnya, mereka seolah-olah memuliakan Allah padahal hatinya jauh dari Allah, mereka juga sepertinya beribadah kepada Allah namun apa yang menjadi ajaran mereka tidak lebih adalah perintah manusia.

Kemunafikan ini telah menjadi pola hidup keagamaan manusia pada umumnya dan tak terkecuali Kekristenan. Ada empat macam gejala yang timbul dalam keagamaan, yakni:

1. Social Religion

Orang beragama karena ia berada dalam tekanan sosial masyarakat atau demi kepentingan sosial. Orang yang hidup di suatu tempat dimana mayoritas penduduknya beragama tertentu maka demi supaya orang tidak “menghakimi”  orang beribadah dan melakukan semua bentuk aktivitas keagamaan. Sangatlah mengenaskan, hal yang sama terjadi di tengah-tengah Kekristenan, orang beribadah ke gereja untuk menghindari tekanan atau “penghakiman” dari orang-orang di sekitar atau tekanan dari jemaat, pengurus atau majelis. Orang ke gereja bukan demi Tuhan, hatinya jauh dari Tuhan. Ibadah tidak lebih hanya sebuah kegiatan sosial yang kita lakukan demi memuaskan kepentingan sosial. Inilah orang munafik. Kemunafikan ini justru menjadi bukti i think what i do and i do what i believe. Kemunafikan ini justru bukti dari konsistensi kepercayaan kita, yaitu diri sendirilah yang menjadi pusat, yakni demi kenyamanan diri. Inilah agama humanistik yang munafik.

2. Psychological Religion

Pasca perang dunia kedua manusia menjadi atheis maka ketika orang tidak lagi percaya Tuhan, logika itulah  segala-galanya dan kehidupan rohani pun menjadi sangat kering. Namun setelah perang dunia, manusia mulai bergeser dari unsur rasional ke unsur emosional. Penderitaan dan kesulitan akibat perang itu menjadikan emosi orang meledak dan meluap-luap. Demikian pula halnya dengan Kekristenan, Friedrich Schleiermacher, bapak theologi modern menggeser konsep agama – agama itu tidak lebih hanyalah sebuah perasaan ingin bergantung mutlak pada sesuatu obyek dan tidak peduli apa atau siapa yang menjadi obyek iman, religion is the willing of absolute dependence. Perasaan bergantung itulah yang disebut sebagai agama. Maka janganlah heran kalau kita mendengar ada orang yang berkata bahwa ia merasa tidak mendapat apa-apa ketika membaca Firman Tuhan dan merasa Tuhan begitu jauh namun keesokan harinya, dengan sukacita, ia berkata bahwa ia merasa Tuhan begitu dekat dan tersentuh oleh Firman Tuhan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Alkitab itu dikatakan sebagai firman ketika kita merasa tersentuh? Sangatlah mengenaskan, gereja menjadi tempat dimana emosi dipermainkan. Orang tidak lagi mempedulikan firman tetapi agama tidak lebih sebagai pelampiasan dan pemuasan emosi untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kekosongan rohani. Agama menjadi subyektif. Hari ini kita masuk dalam abad 21 dan gerakan ini semakin besar,  gereja mencoba mengisi perasaan emosional orang dan pada saat itu, barulah orang merasa dekat dengan Tuhan. Semua itu tidak lebih hanya untuk memenuhi kepuasan diri, diri menjadi yang utama dan Tuhan dilupakan.Bagaimana dengan kehidupan beragama kita? Apakah kita mengutamakan Tuhan? Apakah hati dan pikiran kita melekat pada Tuhan?

3. Status Religion

Orang beragama hanya untuk mencari posisi atau status di tengah masyarakat supaya ia dihormati.

Di dunia modern sekarang ini, banyak tempat yang mempunyai citra buruk di tengah masyarakat melakukan hal yang sama, yakni melakukan berbagai kegiatan rohani seolah-olah tempat itu menjadi tempat yang spiritual demi mendapatkan posisi dan citra yang baik apalagi Kekristenan diakui di tengah-tengah masyarakat. Orang datang ke gereja untuk mendapatkan status sosial, status kesalehan atau status kerohanian. Maka tidaklah heran kalau hari ini banyak orang memakai segala cara dan usaha ingin berada dan menjadi bagian dalam kepengurusan atau kemajelisan dalam gereja namun kehidupan moralnya rusak. Agama tidak lebih hanya menjadi tempat dimana orang mencari status sosial, orang mencari kekuasaan dan orang ingin mencapai harkat tertentu demi mendapat kehormatan. Namun orang lupa kalau ada Allah yang Maha Tahu, Allah tahu apa yang menjadi motivasi kita beribadah, Allah tahu kalau sesungguhnya hati kita jauh dari-Nya, orang hanya sekedar melakukan apa yang menjadi perintah manusia. Orang Farisi begitu sombong karena status sosial keagamaan di tengah masyarakat. Tuhan Yesus mengecam keras orang Yahudi, mereka tidak ubahnya seperti kuburan yang nampak indah di luar tetapi di dalamnya penuh kebusukan. Hari ini, demi status sosial, orang melakukan segala cara dengan melakukan perjalanan spiritual dan pergi ke tempat rohani. Inilah kemunafikan dalam ibadah.

4. Egoistic Religion

Semangat humanisme ini semakin hari semakin meningkat. Dimulai dari jaman renaissance, abad 13 dengan slogannya yang berbunyi: kami bangkit, kami bangun kemudian berkembang pada masa pencerahan atau aufklarung, abad 17 yang mencetuskan bahwa manusia telah cukup dewasa untuk memutuskan segala sesuatu sendiri. Hingga abad 20 dimana new age movement dengan lambang piramidnya mencetuskan: we are on the top – orang humanis dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tidak lagi memerlukan orang lain apalagi Tuhan; orang new age percaya bahwa Tuhan itu ada di dalam diri dengan kata lain kitalah “allah“ maka janganlah kita berpikir tentang keterbatasan atau dosa sebab hal itu tidak membuat kita tidak menjadi “allah.“ Dalam hal ini, orang beragama karena ingin menjadi “allah“ yang bisa melakukan apa saja maka muncullah suatu slogan baru, yakni: what you think is what you get. Manusia memuncakkan diri sendiri dan beriman pada diri sendiri, iman pada keyakinan dan nafsu diri sendiri. Inilah kemunafikan orang beragama. Orang tidak pernah memikirkan apa yang menjadi kehendak Tuhan, apa yang menyenangkan hati Tuhan. Iman Kristen mengajarkan sebelum kita mengikut Kristus maka ia harus menyangkal diri berarti berkata  “tidak“ pada apa yang menjadi keinginan nafsu kita, memikul salib dan mengikut Aku. Seorang Kristen sejati haruslah mengikut teladan Kristus yang berkata, “Bapa, bukan kehendak-Ku yang jadi melainkan kehendak-Mulah yang jadi.“ Hari ini, kita melihat orang begitu rajin beribadah dan berdoa tetapi semua ibadah dan doa itu tidak lebih hanyalah pemuasan egoisme manusia. Orang pikir dengan doa panjang bahkan semalam suntuk akan membuat doa mereka dikabulkan. Tidak! Ini bukan agama yang Tuhan inginkan. Tuhan Yesus menegur keras orang Yahudi akan hal ini, bukan doa yang bertele-tele yang membuat doa mereka dikabulkan. Tidak! Semua itu semata-mata karena anugerah Tuhan. Hati mereka jauh dari Tuhan, sesungguhnya mereka tidak mengerti Firman, orang hanya melakukan apa yang menjadi ajaran manusia.

Beberapa aspek di bawah ini menjadi evaluasi bagi kita apakah kita seorang Kristen sejati?

1. Otoritas Allah vs otoritas diri

Iman Kristen sejati dimulai dengan pengakuan akan kedaulatan Allah. Otoritas tertinggi berada di tangan Allah dan kita harus taat mutlak pada-Nya bukan memaksakan apa yang menjadi kehendak kita. Konsep keagamaan yang paling berat adalah pertikaian atau persaingan antara otoritas Allah dengan otoritas diri. Orang selalu ingin otoritas diri itulah yang berada di atas; orang ingin diri inilah yang menjadi “allah“ dan berotoritas penuh. Tidak! Otoritas Allah itulah yang harus berada di posisi atas sedangkan adat istiadat harus diletakkan di bawah-Nya. Kristus haruslah menjadi yang terutama dalam segala aspek hidup kita bukan budaya atau adat istiadat yang dibuat oleh manusia. Celakalah hidup kita kalau kita lebih mengutamakan budaya daripada Kristus yang adalah Allah sejati yang hidup dan berotoritas mutlak atas segala budaya yang ada dan segala ilah-ilah palsu yang ada di dunia. Biarlah kita mengevaluasi diri, hari ini kita mengaku Kristen sudahkah kita taat pada kebenaran sejati dan tunduk mutlak di bawah otoritas Allah? Ingat, jangan permainkan iman dengan segala hal yang sifatnya relatif yang ada di dunia.

2. Perintah Allah vs perintah manusia

Dalam tatanan urutan perintah, perintah siapakah yang paling tertinggi? Apakah urutan itu berada dalam satu garis perintah, one line order? Allah haruslah berada di urutan teratas di antara semua perintah yang ada di dunia. Hal ini menjadi prinsip dalam kehidupan ketaatan kita namun di satu sisi bukan berarti kita harus melawan semua perintah yang ada di dunia dan menjadi anti nomian. Tidak! Ibadah sejati adalah ketika kita beribadah dalam kebenaran pada Tuhan. Ibadah dari kata to bow down berarti menyembah Allah dan taat mutlak pada perintah Allah. Alangkah indah hidup kita kalau kita berjalan dalam pimpinan Tuhan, kita akan dibuat takjub oleh-Nya. Jangan takut dengan segala rintangan dan tantangan yang menghadang sebab kalau Tuhan yang memimpin dan kita taat mutlak pada-Nya maka semua tantangan dan rintangan akan hancur. Lihatlah bagaimana Allah memimpin Musa keluar dari Mesir hingga sampailah ia dan bangsa Israel di tepi laut Merah. Musa dihadapkan pada tantangan yang sulit, di depan laut merah dan maju berarti resiko kematian sedangkan di belakangnya, prajurit Mesir kalaupun ia harus berbalik berarti ia dan bangsa Israel harus melawan banyaknya prajurit Mesir dan itu berarti resiko kematian. Allah memerintahkan Musa untuk maju. Secara logika, sangatlah mustahil beribu-ribu orang Israel termasuk perempuan dan anak-anak untuk menyeberangi laut Merah yang sangat luas dan selamat sampai di seberang. Saat itu, Musa tidak ada pengalaman apapun yang menunjukkan laut Merah itu akan terbelah. Hari itu, kalau kita dihadapkan dengan tantangan seperti Musa, apa yang akan kita lakukan? Taat pimpinan Tuhan ataukah menuruti kehendak kita? Puji Tuhan, Musa adalah seorang yang taat mutlak pada pimpinan Tuhan maka lihatlah bagaimana Tuhan bekerja dengan sangat luar biasa – laut Merah terbelah menjadi dua dan seluruh umat Israel selamat sampai di seberang. Pimpinan Tuhan sungguh sangatlah menakjubkan. Ironisnya, manusia berdosa berusaha menganulir peristiwa dahsyat ini dengan menyatakan bahwa kejadian itu tidak lebih hanya peristiwa alam. Mustahil! Bagaimana mungkin peristiwa alam bisa terjadi persis di detik Musa dalam keadaan terjepit dan persis setelah seluruh umat Israel menyeberang laut bisa tertutup kembali? Maka kalaupun hal itu terjadi lihatlah betapa dahsyat-Nya cara Tuhan bekerja. Sesungguhnya, peristiwa Musa ini membuktikan satu hal pada kita, yakni betapa indah hidup kita berada dalam pimpinan Tuhan dan taat mutlak pada-Nya. Celakanya, manusia berdosa merasa diri hebat merasa diri lebih pandai memakai rasio untuk melawan Allah yang adalah sumber bijaksana dan kepandaian. Maka tidaklah heran kalau hari ini banyak orang Kristen yang tidak pernah mengalami pimpinan Tuhan yang menakjubkan. Allah kita adalah Allah yang hidup, Allah menunjukkan cara-Nya dan Allah adalah Allah yang Maha bijaksana. Pertanyaannya adalah Allah seperti apakah yang kita percaya?

3. Altruistik vs egoistik

Kalau kita hidup untuk diri kita sendiri maka hidup kita menjadi najis. Agama menjadi tempat kita untuk mengeruk kepentingan pribadi maka ketika kita berelasi dalam kehidupan beragama pun adalah demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tuhan Yesus menegaskan bukan yang masuk mulut yang menajiskan tetapi apa yang keluar dari mulut itulah yang menajiskan. Tuhan ingin kita hidup menjadi berkat bagi orang lain, hidup untuk melayani. Kristus telah memberikan teladan sempurna bagi kita, Dia datang ke tengah dunia, rela menderita dan mati disalibkan demi menebus manusia berdosa. Sebagai anak Tuhan sejati hendaklah kita meneladani hidup Kristus, hidup menjadi berkat bagi orang lain. Bagaimana dengan kehidupan beragama kita? Kalau kita beribadah dan mendapat berkat dari Firman namun hanya untuk kepentingan diri dan tidak mau melayani Tuhan, tidak peduli pada apa yang menjadi kehendak Tuhan masih layakkah kita disebut Kristen atau Kristus kecil? Tuhan memberikan amanat Agung pada setiap anak-Nya; bukan kamu yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu untuk pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap. Percayalah, kalau kita taat mutlak pada pimpinan-Nya dan mengutamakan Tuhan dalam hidup kita dan hidup menjadi berkat bagi orang lain maka Tuhan pasti akan menyertai dan memelihara hidup kita. Seorang Kristen sejati bukanlah seorang yang egois tetapi hendaklah kita mempunyai hati altruis yang selalu memikirkan dan menjadi berkat bagi orang lain, selalu memikirkan apa yang menjadi kehendak Tuhan dan kita berbagian di dalamnya. Maukah kita dipakai Tuhan menjadi berkat?

4. Batiniah vs Lahiriah

Tuhan ingin seluruh hidup kita dimurnikan dari dalam. Kemunafikan terjadi karena apa yang ada di dalam dan di luar tidak sama. Agama seringkali hanya ribut dengan penampilan luar bukan apa yang ada di dalam batiniah kita. Perubahan Kristen adalah perubahan internal, suatu kesadaran diri sebagai manusia berdosa dan bertobat, memohon pengampunan dan mau hidup taat Tuhan. Inilah iman Kristen sejati. Kristen bukanlah segala aktivitas yang kita tunjukkan. Tuhan mengubah inner being, dilahirbarukan dan pada saat itu maka apa yang keluar dari dalam diri, yakni hati, motivasi dan jiwa kita itupun menjadi bersih. Kekristenan sejati bukan memoles perilaku luar tetapi merubah dari dalam dengan demikian kita tidak menjadi orang yang munafik dan apa yang keluar dari dalam kita itu tidak menajiskan. Marilah kita mengevaluasi kehidupan ibadah kita? Sudahkah kita percaya mutlak pada Kristus dan mengandalkan Dia dalam segala aspek hidup kita?  Amin.  ?

 

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)




Sumber:

http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070819.htm

No comments: