27 January 2014

Renungan: "DOKTRIN DAN APLIKASI" (Denny Teguh Sutandio)


DOKTRIN DAN APLIKASI

oleh: Denny Teguh Sutandio



I. PENDAHULUAN
Apa yang ada di benak Anda ketika Anda mendengar atau mengucapkan kata “Kristen”? Apakah “Kristen” hanya sekadar nama sebuah agama? Tentu tidak. Nama “Kristen” sejatinya berarti “pengikut Kristus” di mana nama ini pertama kali merupakan ejekan oleh orang-orang sekuler kepada para pengikut Kristus pada zaman gereja mula-mula. Nah, karena berarti “pengikut Kristus”, maka setiap orang yang menyebut diri Kristen seharusnya mengenal (Ef. 4:13) dan meneladani Kristus (Flp. 2:1-11). Di sini, saya menyebut dua kata “mengenal” dan “meneladani”. Hal ini berarti di dalam Kekristenan, unsur pengajaran/pengenalan akan Allah (doktrin = ajaran) dan aplikasi tak bisa dilepaskan satu sama lain.


II. KETERPECAHAN DALAM KEKRISTENAN
Namun sayangnya di dalam Kekristenan abad ini khususnya di Indonesia aspek pengajaran dan aplikasi terpisah.
A. Penekanan Pada Aplikasi Secara Berlebihan
Banyak pemimpin gereja yang terus menekankan aplikasi hidup yang ujung-ujungnya pada moralitas “Kristiani” yang hampir tidak bisa dibedakan dari moralitas non-Kristen. Hal ini terjadi baik pada banyak gereja arus utama maupun gereja kontemporer. Ada satu gereja di mana pendeta yang menonjol di gereja itu masih muda selalu menekankan aspek praktis, misalnya hubungan mertua-menantu, hubungan pribadi dengan Allah, dll, tetapi melupakan aspek pengajaran. Meskipun di dalam bukunya maupun di dalam Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang ia pimpin, sang pendeta muda ini mengatakan bahwa otoritas tertinggi adalah Alkitab, tetapi pada praktiknya, ia tak pernah sedikit pun menguji pengalaman yang ia terima berdasarkan Alkitab. Biasanya salah satu cirinya adalah baik pemimpin gereja maupun jemaatnya sering melontarkan perkataan, “Sudahlah, jangan doktrin tok. Yang penting perbuatannya.”

Lalu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi gejala di atas?
1. Kekristenan Bukanlah Agama, Tetapi Hubungan/Relasi
Bagi beberapa pemimpin gereja kontemporer dan banyak orang Kristen, Kekristenan dianggap sebuah relasi/hubungan, bukan sebuah agama. Karena merupakan relasi, maka bagi mereka, Kekristenan lebih menekankan hubungan subyektif umat Allah dengan Allah. Jangan heran, dari pola pikir ini, bagi mereka, doktrin tidaklah penting. Karena menganggap doktrin tidak penting, maka jangan heran, ada pemimpin gereja yang tidak konsisten di dalam pengajaran doktrinalnya, terkadang Calvinisme (Reformed), terkadang Arminianisme.1

2. Pragmatisme
Selain itu, penyebab konsep “doktrin tidak penting, yang penting perbuatannya” adalah gejala pragmatisme yang sedang merajalela di kalangan Kekristenan. Banyak orang Kristen yang notabene sibuk di dalam urusan pekerjaan baik sebagai usahawan maupun pekerja kantor merasa bahwa dari hari Senin s/d Sabtu (atau Jumat), mereka sudah letih bekerja dan hari Minggu dipergunakan oleh banyak orang Kristen untuk beribadah di gereja. Keletihan bekerja selama 5 ½ -6 hari ini mengakibatkan mereka mencari gereja-gereja di mana si pengkhotbah mengkhotbahkan hal-hal yang mudah dicerna ditambah dengan lelucon (kalau perlu dari awal hingga akhir khotbah penuh dengan lelucon). Kegemaran mereka mendengarkan khotbah yang mudah dicerna diwujudkan dengan sikap mereka yang suka sekali mendengarkan khotbah yang menyenangkan telinga mereka, misalnya mengajarkan bahwa percaya Yesus pasti kaya, tidak pernah sakit, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Jangan heran, kalau ada pengkhotbah yang menguraikan Alkitab dan doktrin Kristen dengan bertanggung jawab, mereka akan menganggapnya sebagai “teori saja” dan akan “menghakimi” si pengkhotbah bahwa khotbahnya tidak bagus. Jadi, bagus atau tidaknya khotbah diukur dari seberapa si pendengar tertarik dan merasa disenangkan oleh pengkhotbah melalui khotbahnya.

3. Kejenuhan Dengan Berbagai Perdebatan Theologis yang Tidak Penting
Penyebab terakhir penekanan berlebihan terhadap aspek praktika adalah karena beberapa pemimpin gereja dan banyak orang Kristen jenuh dengan berbagai perdebatan theologis yang tidak penting. Belajar doktrin tentu penting, tetapi terkadang beberapa orang Kristen dan pemimpin gereja yang menggemari theologi menjadi terlalu mengurusi perbedaan theologi untuk hal yang sangat minor, sehingga akibatnya timbullah perdebatan yang tidak perlu. Hal inilah yang mengakibatkan banyak orang Kristen merasa jenuh dan akhirnya mengeluarkan pernyataan, “Percuma doktrin tok, yang penting perbuatannya.”

B. Penekanan Pada Doktrin Secara Berlebihan
Beberapa pemimpin gereja dan beberapa orang Kristen sadar akan bahaya jika mengabaikan doktrin (ajaran) Kristen, maka mereka membentuk sebuah persekutuan dan gereja yang benar-benar mengajarkan doktrin secara bertanggung jawab. Mereka rajin mengadakan seminar, pembinaan, kuliah theologi awam, bahkan membuka toko buku rohani yang menjual buku-buku theologi bermutu yang terseleksi ketat. Tentu hal-hal tersebut tidaklah salah, tetapi yang menjadi permasalahannya, beberapa orang Kristen yang menggemari belajar doktrin Kristen ini akhirnya menjadi terlalu doktrinal dan hampir melupakan aspek lain dalam Kekristenan yaitu kerohanian dan aplikasi. Kebanyakan mereka akan sangat alergi ketika mendengar kata “pengalaman” bahkan jika kata itu diucapkan oleh temannya yang sealiran theologi dengannya. Akhirnya mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang ke mana-mana kerjaannya hanya satu, yaitu “menghakimi” orang lain untuk hal-hal yang tidak penting. Atau mungkin juga ada beberapa orang Kristen yang suka membaca buku-buku theologi bahkan aktif melayani di gereja atau persekutuan kampus, tetapi ia tetap merupakan orang yang membohongi orang lain.

Lalu, apa yang melatarbelakangi gejala ini? Penyebabnya hanya satu, yaitu bagi mereka, doktrin itu terpenting, bahkan dapat dikatakan “segala-galanya.” Bagi mereka, doktrin itu terpenting karena tanpa doktrin, bangunan iman Kristen akan runtuh. Dengan alasan inilah, para penggemar theologi yang melayani sebagai pendeta akan berusaha sungguh-sungguh mengadakan seminar atau pembinaan iman di berbagai tempat dengan tema-tema theologis. Lebih tajam lagi, bagi banyak penggemar theologi (istilah dari saya pribadi), orang Kristen yang tidak mengerti doktrin bukanlah orang Kristen. Jika ia bertemu dengan orang Kristen lain yang tidak mengerti Allah Tritunggal, ia bukannya dengan kasih menuntun mereka, malahan mungkin sekali ia akan mencibir orang tersebut dengan bergumam dalam hati (atau berkata langsung), “Sudah puluhan tahun menjadi orang Kristen, masa tidak mengerti Allah Tritunggal?” Jika ada saudara seimannya yang menegurnya karena terlalu ekstrem, beberapa penggemar theologi akan mengeluarkan jurus sakti untuk membela kelemahannya dengan jargon-jargon theologi dan Alkitab. Tidak ada spirit kerendahan hati dan mau diajar (teachable) di dalam diri banyak penggemar theologi.


III. MENGINTEGRASIKAN DOKTRIN DAN APLIKASI
Di tengah ketimpangan di dalam Kekristenan yang terlalu menekankan aplikasi atau/dan doktrin, maka Kekristenan yang sehat dan Alkitabiah adalah Kekristenan yang terintegrasi yang mengintegrasikan antara doktrin yang ketat dan bertanggung jawab dengan aplikasi praktis. Mari kita menyimak pengajaran Alkitab tentang hal ini dan aplikasi praktis integrasinya.
A. Pengajaran Alkitab
Jika kita membaca Alkitab khususnya Perjanjian Baru, kita mendapati bahwa doktrin dan aplikasi tidak terpisah. Di dalam Injil, khususnya Injil Matius 5-7, kita menjumpai catatan Matius tentang khotbah Yesus di atas bukit yang menyentuh baik aspek doktrinal yaitu pengenalan akan Allah yang Mahatahu (Mat. 6:6, 8) dan Pemelihara hidup umat-Nya (Mat. 6:25-26) sekaligus aplikasinya yaitu berdoa tanpa memaksa Allah dengan bertele-tele (Mat. 6:7-8) dan hidup tidak kuatir (Mat. 6:31-34). Selain itu, Kristus bukan hanya mengajar tentang pentingnya mengasihi musuh kita (Mat. 5:44), tetapi Ia sendiri mengaplikasikannya dengan mengampuni orang-orang yang telah menyalibkan-Nya (Luk. 23:34).

Di dalam surat-surat rasuli, kita mendapati hal serupa. Di dalam hampir setiap surat yang ditulis Paulus, Petrus, dll, selalu ada 2 bagian yaitu bagian doktrinal dan aplikatif/praktika. Misalnya, surat Paulus kepada jemaat di Roma mengandung dua bagian: bagian doktrinal (Rm. 1 s/d 11) dan praktika/aplikatif (Rm. 12 s/d 15). Hal yang sama juga terdapat di surat Paulus kepada jemaat di Galatia: Galatia 1 s/d 3 mengandung bagian doktrinal disusul dengan 3 pasal terakhir yang mengandung bagian aplikatif.

Format agak berbeda muncul di dalam surat-surat Paulus lainnya, yaitu bagian doktrinal langsung diikuti bagian praktika, kemudian doktrinal, lalu disusul praktika, dst. Misalnya, permasalahan perpecahan jemaat di dalam Korintus (masalah praktika) diatasi Paulus dengan mengajar tentang peran berbeda di dalam pengutusan Kristus (1Kor. 1:17a) yang berpusat pada salib Kristus yang merupakan hikmat Allah (ay. 17b-18) (aspek doktrinal). Bukan hanya itu saja, Paulus mengamati bahwa problematika di balik perpecahan jemaat Korintus adalah karena mereka masih termasuk manusia duniawi yang masih memerlukan susu dan bukan makanan keras (1Kor. 3:2-3) (aspek doktrinal) dan itu diselesaikannya dengan mengajar bahwa para pelayan Kristus itu saling melengkapi (Paulus menanam, Apolos menyiram) dan yang terpenting adalah Kristus yang memberi pertumbuhan di dalam jemaat (ay. 5-11) (aspek praktika). Hal serupa juga muncul di surat Filipi: nasihat praktis Paulus untuk merendahkan diri (Flp. 2:3) (aspek praktika) didasarkan pada teladan Kristus yang meskipun adalah Allah rela mengosongkan diri dan menjadi seorang hamba yang taat sampai mati disali (ay. 5-11) (aspek doktrinal). Surat 1 Petrus juga sama, di mana Petrus menasihati orang-orang Kristen untuk tunduk kepada atasan dan siap menderita yang tidak harus mereka tanggung (1Ptr. 2:18-19) (bagian praktika) didasarkan pada konsep Kristus yang rela menderita (ay. 21) (bagian doktrinal).

Semua ini mengajarkan bahwa Alkitab sendiri tidak pernah memisahkan aspek doktrinal dan praktika di dalam iman Kristen.

B. Aplikasi Praktis
Jika Alkitab sendiri tidak memisahkan antara doktrin dan aplikasi, bagaimana dengan orang Kristen? Seharusnya orang Kristen tidak memisahkannya, tetapi mengintegrasikannya. Problematikanya adalah tidak mudah mengintegrasikan doktrin dan aplikasi di dalam kehidupan Kristen sehari-hari. Saya cukup prihatin dengan beberapa orang Kristen maupun non-Kristen yang dengan mudahnya berkata, “Doktrin/agama tidak penting, yang penting perbuatannya.” Kebanyakan orang yang berkata demikian tidak pernah menunjukkan perbuatan baiknya kepada orang lain. Sungguh ironis. Ini menunjukkan bahwa mengaplikasikan doktrin Kristen tidaklah mudah.
1. Integrasi Doktrin dan Aplikasi: Proses (yang Lama)
Komitmen mengintegrasikan doktrin dan aplikasi bukanlah pekerjaan yang mudah. Mengapa? Karena kita harus memperhatikan pentingnya proses di dalamnya. Artinya, perubahan hati dan tingkah laku tidak bisa sekali jadi (instan), tetapi berlangsung terus-menerus. Dan itu berarti kita sebagai orang Kristen harus siap dibentuk oleh Roh Kudus untuk makin serupa dengan Kristus di dalam segala aspek kehidupan kita. Ketika kita berbicara tentang proses di dalam mengintegrasikan doktrin dan aplikasi, kita akan memikirkan dua aspek di dalamnya, yaitu:
a) Proses: berubah secara perlahan
Ketika kita berbicara tentang “proses” di dalam mengintegrasikan doktrin dan aplikasi, kita berbicara tentang adanya proses perubahan yang berlangsung secara perlahan. Artinya, proses itu tidak terjadi di dalam waktu 1 menit atau 1 hari, kemungkinan sekali proses itu berlangsung hingga kita meninggal. Yang jelas ada kemajuan perlahan di dalam proses perubahan tersebut. Misalnya, hari ini kita masih suka berdusta kepada orang lain, tetapi bulan depan, kita mencoba mengurangi dusta itu, dan di tahun depan, kita sudah menghilangkan kebiasaan berdusta dan gemar berkata jujur kepada orang lain. Proses dari gemar berdusta menjadi gemar berkata jujur memerlukan waktu yang tidak singkat. Saya mengambil contoh dari proses yang saya jalani sendiri: dahulu saya orangnya egois dan kurang bisa mengerti orang lain, tetapi secara proses, saat ini ketika berkomunikasi dengan orang lain, saya berusaha memahami orang lain dari perspektif orang lain, bukan dari perspektif saya sendiri. Tentu saja saya tidak sempurna menjalankan hal ini, tetapi setidaknya saya mau berproses.

b) Proses: jatuh bangun di dalam iman
Karena proses itu merupakan suatu hal yang terjadi secara perlahan, maka otomatis proses yang terjadi bukanlah suatu proses yang mulus. Artinya, di dalam proses mengintegrasikan doktrin dan aplikasi hidup, pasti terdapat unsur jatuh bangun di dalam iman. Mungkin di hari ini, kita disadarkan oleh firman Tuhan bahwa pentingnya rendah hati, tetapi besok, kita melupakannya, kemudian lusa, kita diingatkan oleh saudara seiman kita, lalu esok harinya kita melupakannya.

2. Kesulitan Mengintegrasikan Antara Doktrin dan Aplikasi
Di dalam proses jatuh bangun di dalam iman di dalam mengintegrasikan doktrin dan aplikasi, kita harus mengakui bahwa kita pasti menjumpai berbagai kesulitan menjalankannya. Mari kita memikirkan kesulitan apa saja yang kita hadapi di dalam mengintegrasikan antara doktrin dan aplikasi, lalu bagaimana solusinya.
a) Kesulitan internal: kedagingan/keinginan daging
Sebagai orang Kristen, kita sudah diajar tentang pentingnya rendah hati, mengasihi musuh, dll, namun ketika kita berusaha menjalankannya, kita menjumpai kesulitan di mana kesulitan itu diakibatkan oleh keinginan daging di dalam diri kita. Pergumulan yang tak pernah berhenti ini juga dialami Paulus ketika ia mengungkapkan bahwa apa yang ia kehendaki justru tidak ia kerjakan, tetapi sebaliknya: ia mengerjakan apa yang tidak ia kehendaki (Rm. 7:19-23). Hal yang sama juga terjadi pada Petrus yang berlaku munafik di mana ia ditegur Paulus (Gal. 2:11-14). Para rasul Kristus pun pernah jatuh ke dalam keinginan daging, maka kita pun tidak mungkin luput dari kesulitan ini.

Alkitab jelas mengajar bahwa keinginan daging bertentangan dengan Allah alias Allah membencinya (Gal. 5:17; Rm. 8:7). Selain itu, keinginan daging itu mengikat kita. Paulus mengajar hal ini di Galatia 4:3, “Demikian pula kita: selama kita belum akil balig, kita takluk juga kepada roh-roh dunia.” “Akil balig” dalam teks Yunaninya νήπιοι (nētioi) yang berasal dari kata νήπιος (nētios) yang dalam konteks ini berarti “kecil” atau “belum dewasa” (bdk. 1Tes. 2:7). Tentu “akil balig” yang Paulus maksudkan di Galatia 4:3 bukan secara harfiah, tetapi secara rohani di mana maksudnya ketika jemaat Galatia belum menerima Kristus (bdk. ay. 4), mereka takluk kepada roh-roh dunia, tetapi setelah Kristus menyelamatkan mereka, mereka menjadi anak-anak Allah yang seharusnya tidak lagi takluk kepada roh-roh dunia (ay. 5-9). Kata “takluk” dalam teks Yunaninya δεδουλωμένοι (dedoulōmenoi) berarti “diperbudak” di mana kata ini merupakan kata kerja bentuk pasif dari kata dasar δουλόω (douloō) yang berarti “budak.” Artinya, pada waktu kita belum menerima Kristus, kita diperbudak oleh roh-roh dunia. Penggunaan kata “diperbudak” lebih jelas ketimbang “takluk.” Mengapa? Karena ketika Paulus mengajar bahwa kita diperbudak oleh roh-roh dunia, itu berarti kita benar-benar terikat pada roh-roh dunia di mana kita menjadi budaknya dan kita tak akan bisa terlepas jika Allah tidak melepaskannya melalui penebusan Kristus. Terikatnya kita dengan keinginan daging mengakibatkan kita menjadi hamba dosa (Yoh. 8:34; Rm. 6:16) di mana kita terus memikirkan hal-hal daging (Rm. 8:5).

Lalu, apa saja yang termasuk keinginan daging ini? Paulus mendaftarkannya di dalam Galatia 5:19-21a,
19…percabulan, kecemaran, hawa nafsu,
20penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah,
21kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.
Keinginan daging di atas meliputi secara religius (penyembahan berhala, sihir), etika (perseteruan, perselisihan, amarah, dll), maupun moral (percabulan, kecemaran, hawa nafsu). Ini berarti keinginan daging mencakup segala sesuatu mulai dari hati, pikiran, hingga tindakan. Kita tidak akan menjelaskan semua yang didaftarkan Paulus di atas, tetapi kita akan merenungkan beberapa di antaranya.

Bagaimana mengaplikasikan konsep di atas? Pada hari Minggu di gereja, kita mendengar sang pendeta mengkhotbahkan bahwa orang Kristen harus hidup suci. Meskipun kita mendengarkan khotbah itu dengan seksama, tetapi keinginan daging terus memaksa kita untuk berbuat sesuatu yang tidak suci dengan cara merayu kita tentang nikmatnya percabulan, dll dan betapa tersiksanya hidup suci.

Begitu juga halnya dengan kemarahan. Kita tahu bahwa Alkitab mengajar kita bahwa jika kita marah, jangan berdosa dan jangan sampai matahari terbenam (Ef. 4:26), tetapi keinginan daging yang berpusat pada diri ini terus merayu kita untuk marah bahkan tentang hal-hal yang tidak penting. Misalnya, ketika ada seorang supir mikrolet/bemo atau pengendara sepeda motor menyerobot kita tatkala kita sedang mengemudikan mobil, apa yang akan kita lakukan? Marah? Hal-hal seperti itu sudah biasa terjadi di Indonesia dan itu seharusnya tidak membuat kita marah apalagi mengeluarkan kata-kata makian.

Hal yang sama juga dengan perselisihan. Kita tahu dari Alkitab bahwa sesama pelayan Tuhan harus tidak boleh bertengkar (2Tim. 2:24), tetapi kita menjumpai beberapa pendeta saling bertengkar bahkan untuk hal-hal yang tidak penting. Bahkan pertengkaran itu mengakibatkan salah satu pendeta menyebut pendeta lain yang berbeda doktrin sekunder dengannya sebagai “sesat”. Atas nama kemurnian doktrin sesuai dengan Alkitab, kita dengan mudahnya bertengkar dengan pendeta lain tanpa memperhatikan hal yang lebih penting lagi. Gereja-gereja pun tidak kalah bertengkar. Menurut pengakuan teman saya yang melayani di sebuah gereja Injili di Surabaya (sebut saja: gereja Y), ada jemaat gereja X yang pindah ke gereja Y yang secara theologis masih mirip sudah dicap oleh pendeta gereja X sebagai “jemaat yang tidak setia.” Saya heran, jemaat disuruh setia kepada siapa? Bukankah setia hanya kepada Kristus? Mengapa kok menjadi setia kepada gereja? Di mana dasar Alkitabnya?

Perselisihan yang paling parah dalam bentuk roh pemecah (Gal. 5:21). Kata Yunani yang dipakai adalah αἱρέσεις (haireseis) yang berasal dari kata αἵρεσις (hairesis) yang dalam konteks ini berarti “perpecahan” (bdk. 1Kor. 11:19). Kita tahu dari Alkitab bahwa kita harus bersatu di dalam Kristus (Yoh. 17:21), tetapi di dalam sejarah gereja, kita telah menyimak fakta perpecahan di mana gereja Timur pecah dengan gereja Barat pada abad XI. Kemudian hingga tahun ini, kita mengamati begitu banyak gereja terpecah-pecah. Perpecahan karena doktrin primer (Allah Tritunggal, Kristus sebagai Allah dan manusia, kelahiran Kristus dari anak dara Maria, Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat, dll) masih bisa dipahami, tetapi sering kali perpecahan gereja terjadi karena hal-hal yang tidak penting bahkan sangat remeh yaitu masalah uang. Di Indonesia, karena satu gereja di sebuah kota tidak menyetorkan uang hasil persembahan ke sinode pusat gereja tersebut, maka ketua sinode gereja mengeluarkan gereja tersebut. Perselisihan antar gereja yang satu theologi pun terkadang berakibat pada perpecahan dan tidak ada kesatuan di dalamnya. Gereja X tidak mau mendukung kegiatan gereja Y dan begitu pula sebaliknya. Ataupun gereja X ingin kegiatannya dipublikasikan di gereja Y, tetapi gereja X tidak mau kegiatan gereja Y dipublikasikan di gereja X. Bukan hanya perpecahan, tetapi keegoisan juga telah merajalela bahkan di dalam gereja dengan dalih “kemurnian doktrin”. Sungguh memprihatinkan.

b) Kesulitan eksternal: faktor lingkungan dan masyarakat yang menggoda
Biasanya keinginan daging bukan hanya berasal dari diri kita, tetapi juga dari pihak luar yaitu godaan lingkungan dan masyarakat. Godaan lingkungan dan masyarakat itu mencakup godaan berupa filsafat/gaya hidup manusia sekitar maupun barang-barang mati (media elektronik maupun cetak). Kita tahu bahwa kita tidak boleh marah sampai berdosa, tetapi keinginan daging merayu kita untuk melampiaskan kemarahan kita dan keinginan daging ini ditunjang dengan faktor lingkungan di sekitar kita, misalnya supir bemo atau pengendara sepeda motor yang tiba-tiba menyerobot kita (jika kita mengendarai mobil) atau karyawan kita di perusahaan yang sangat lambat bekerja (jika kita sebagai direktur). Kita tahu dari Alkitab bahwa kita harus hidup kudus, tetapi lingkungan kita mengindoktrinasi kita bahwa hidup tidak kudus itu adalah menyenangkan melalui berbagai media elektronik maupun cetak yang menampilkan gambar-gambar dan video porno.

Kita tahu dari Alkitab bahwa sesama saudara seiman harus saling bersatu (Yoh. 17:21), tetapi keinginan daging yang berwujud perpecahan ditunggangi dengan fakta menariknya gereja lain yang sama theologinya mengakibatkan suatu gereja bertengkar bahkan bermusuhan. Maksudnya mungkin sekali pendeta gereja Y mengadakan seminar atau pembinaan theologi dengan tema yang lebih bervariasi dari pendeta gereja X yang selalu mengadakan seminar dengan tema yang itu-itu saja, lalu pendeta gereja X merasa “disaingi” oleh pendeta gereja Y. Variasi tema seminar merupakan faktor eksternal yang memicu adanya perpecahan. Karena alasan ini, maka pendeta gereja X melarang secara implisit jemaatnya untuk mengikuti kegiatan gereja Y. Bahkan ada pendeta dari gereja X yang memblacklist jemaat yang mengikuti pembinaan yang diselenggarakan oleh gereja Y padahal secara theologis, gereja X dan Y sama theologinya. Sungguh memprihatinkan.

3. Berusaha Mengintegrasikan Antara Doktrin dan Aplikasi
Kesulitan mengintegrasikan antara doktrin dan aplikasi harus segera diatasi, tetapi kita perlu mengingat bahwa solusi atas kesulitan ini bukanlah solusi instan, melainkan solusi proses di mana kita terus-menerus dibentuk oleh Roh Kudus untuk memuliakan-Nya. Solusi proses seperti apa? Solusi prosesnya adalah mencoba menghidupi doktrin yang telah kita pelajari. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan:
a) Tanyakan kepada diri kita apakah kita sudah mengalami dan menjalankan firman Allah?
Mencoba menghidupi doktrin yang telah kita pelajari itu dengan cara menanyakan kepada diri kita apakah kita sudah mengalami dan menjalankan firman Allah. Sering kali bagi para penggemar theologi, kita mudah sekali mengisi otak kita dengan berbagai pengajaran doktrinal baik melalui buku, seminar, khotbah, dll, tetapi kita sering kali lupa menjadikan pengajaran itu refleksi bagi kita. Jika kita belajar bahwa Allah itu berdaulat mutlak atas segala sesuatu, mulai sekarang, tanyakan kepada diri kita, apakah kita sudah mengalami Allah yang berdaulat mutlak itu di dalam kehidupan kita, meskipun kita tidak melihat segala sesuatu di depan kita? Sudahkah kita taat pada Allah yang berdaulat itu? Jika kita belajar tentang penebusan Kristus, sudahkah kita mengalami anugerah itu di dalam hidup kita? Sudahkah itu mengubah hidup kita? Jika kita belajar doktrin bahwa kita harus memuliakan Allah, tanyakan kepada diri, sudah sejauh mana kita memuliakan-Nya?

b) Tanyakan kepada diri kita apa yang harus kita lakukan tatkala Allah berkata sesuatu?
Terakhir, bukan hanya tanyakan kepada diri kita tentang apakah kita sudah mengalami dan menjalankan firman, kita juga perlu bertanya kepada diri kita tentang apa yang harus kita kerjakan tatkala firman Allah berkata sesuatu. Hal ini berbicara tentang tujuan ke depan di dalam hidup kita. Ketika Alkitab berkata agar kita rendah hati, tanyakan kepada diri kita sendiri, sudah siapkah kita berkomitmen untuk merendahkan hati kita di hadapan-Nya.

Dengan berani bertanya kepada diri kita, di saat itu kita sedang membuka gerakan Roh Kudus yang melembutkan hati dan mendorong kita untuk taat kepada-Nya. Hal ini berarti proyek integrasi doktrin dan aplikasi dimulai oleh Roh Kudus secara aktif dan dikerjakan oleh umat-Nya juga secara aktif atas dorongan Roh Kudus.

4. Peran Saudara Seiman Di Dalam Mengintegrasikan Doktrin dan Aplikasi
Mengintegrasikan doktrin dan aplikasi sebenarnya bukan merupakan tugas masing-masing orang Kristen, tetapi tugas semua orang Kristen secara bersama. Oleh karena itu, saudara seiman berperang penting di dalam proses integrasi doktrin dan aplikasi. Saya sendiri banyak mengalami betapa pentingnya peran saudara seiman di dalam proses saya mengintegrasikan doktrin dan aplikasi. Saya banyak mendapat pengajaran dari Ev. Bedjo Lie, Th.M. yang menasihati saya untuk membaca buku-buku tentang hubungan pria dan wanita selain membaca buku-buku theologi, sehingga saya lebih mengerti aplikasi, selain doktrin. Kemudian saya juga banyak belajar dari beberapa teman Kristen saya di luar gereja saya tentang pentingnya mengintegrasikan doktrin dan aplikasi. Semuanya ini mengajar kita bahwa doktrin bukan segala-galanya. Saya percaya bahwa doktrin itu penting bagi orang Kristen, tetapi berhati-hatilah terhadap memberhalakan doktrin seolah-olah orang Kristen harus memiliki doktrin tingkat tinggi terlebih dahulu baru bisa masuk Sorga.


KESIMPULAN
Di tengah keterpecahan antara doktrin dan aplikasi, orang Kristen dipanggil untuk menjadi garam dan terang bagi dunia yang berusaha menjalankan firman Allah di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga orang luar dapat melihat tingkah laku kita dan memuliakan Allah. Doktrin itu memang penting, tetapi juga harus disertai dengan kerohanian yang mantap dan aplikasi yang mendarat. Hal ini sangat sulit, tetapi mulailah berkomitmen untuk mengintegrasikan antara doktrin dan aplikasi dengan pertolongan Roh Kudus. Amin. Soli Deo Gloria.


Catatan kaki:
1Theologi Reformed atau Calvinisme menekankan kedaulatan Allah mutlak atas segala sesuatu, termasuk di dalam keselamatan umat-Nya, sehingga Calvinisme mengajarkan bahwa dari antara semua manusia yang telah rusak total akibat dosa, Allah memilih beberapa manusia itu untuk menjadi umat pilihan-Nya tanpa melihat jasa baik manusia, di mana pemilihan itu direalisasikan oleh Kristus yang diutus untuk menebus dosa umat pilihan-Nya, kemudian karya penebusan Kristus ini diefektifkan oleh Roh Kudus ke dalam hati umat pilihan-Nya, di mana anugerah ini tidak dapat ditolak, dan terakhir Allah akan menyempurnakan keselamatan yang telah dimulai-Nya itu dengan menjaga keselamatan umat-Nya, sehingga mereka tidak akan binasa selama-lamanya. Berbeda dengan Calvinisme, Arminianisme mengajarkan kedaulatan Allah yang tidak mutlak, di mana berkaitan dengan keselamatan, dari antara manusia yang tidak sepenuhnya rusak total, Allah memilih beberapa manusia untuk menjadi umat-Nya setelah Allah terlebih dahulu melihat bahwa orang-orang ini berespons terhadap Allah, kemudian Bapa mengutus Kristus untuk menebus dosa semua manusia dan karya penebusan Kristus ini diefektifkan oleh Roh Kudus di dalam hati orang yang akan percaya, tetapi karya Allah ini dapat ditolak oleh manusia melalui kehendak bebasnya. Bagi mereka yang menerima anugerah keselamatan, mereka harus menjaga keselamatan mereka agar tidak binasa.