08 September 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:4-6 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:4-6

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 8:4-6



Kata “tentang” yang muncul di bagian awal pasal 8:4 mengindikasikan bahwa Paulus sedang membahas topik yang baru, walaupun hal itu masih sangat berkaitan dengan 8:1 (“sekarang tentang...”). Menggabungkan dua topik yang saling berkaitan seperti ini sudah dilakukan Paulus sebelumnya di pasal 7:1, 25. Di sana ia menggabungkan topik tentang pernikahan (7:1-24) dan pertunangan (7:25-38) secara bersamaan. Dalam kasus 8:1, 4 perbedaan terletak pada kata “makan” di 8:4. Kalau di 8:1 yang disorot adalah keberadaan dari makanan persembahan berhala, di 8:4 yang dibahas adalah tindakan memakannya. Jemaat Korintus tidak hanya bergumul secara teoritis tentang hakekat makanan berhala, namun mereka secara praktis langsung bersentuhan dengan isu itu.

Alur berpikir Paulus di 8:4-6 tidak terlalu sulit untuk ditelusuri. Seperti kebiasaannya di surat ini, Paulus mengutip kalimat atau pandangan dari jemaat Korintus. Ia mengakui separuh kebenaran dari pandangan itu, setelah itu ia memberikan koreksi terhadap pandangan itu. Pendekatan seperti ini biasanya disebut “Yes.-but approach”. Di ayat 4 ia menyetujui pandangan jemaat Korintus, lalu di ayat 5-6 ia memberikan tanggapan terhadap pandangan tersebut. Tanggapan ini merupakan koreksi atau kritikan terhadap pandangan yang dipegang oleh jemaat.


Pandangan Jemaat Korintus (ay. 4)
Penggunaan “kita tahu” di ayat ini menyiratkan sebuah pemahaman bersama yang umum. Baik Paulus maupun jemaat Korintus sama-sama menerima kebenaran dari apa yang akan disampaikan. Kedua pihak sama-sama setuju bahwa tidak ada berhala di dunia dan hanya ada Allah yang esa. Konsep tentang ketidakadaan berhala (8:4a) merupakan ajaran yang sudah tidak asing dalam Alkitab. Banyak teks mengajarkan bahwa berhala-berhala tidak lain hanyalah buatan atau hasil kreasi manusia (Ul. 4:28; Yes. 44:7-11). Mereka seperti angin yang sia-sia (Yes. 41:29; Yer. 10:3-11). Allah yang dibuat manusia jelas bukanlah Allah (Yer 16:20). Konsep seperti ini pula yang diajarkan Paulus kepada orang-orang yang hidup dalam konteks politeisme (paham yang mempercayai banyak allah/dewa). Sebagai contoh konrkit, dalam suratnya kepada jemaat di Galatia Paulus menyebut berhala-berhala sebagai “allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah” (Gal. 4:8). Ajaran inilah yang juga diajarkan di Korintus. Para penafsir bahkan meyakini kalau pandangan jemaat Korintus di 8:4 memang didasarkan pada ajaran Paulus. Dengan kata lain, mereka sedang memanfaatkan ajaran Paulus untuk membenarkan tindakan mereka.

Bagian terakhir dari ayat 8 “tidak ada Allah lain selain Allah yang esa” merupakan ajaran yang sangat umum pula bagi orang-orang Kristen yang secara historis berangkat dari agama Yudaisme yang sangat menekankan keesaan Allah. Setiap hari setiap orang Yahudi wajib mengumandangkan “TUHAN, Allah kita, adalah esa” (Ul. 6:4). Larangan untuk menyembah Allah lain maupun membuat patung berhala sengaja diletakkan di bagian paling awal dari 10 perintah Allah (Kel. 20:1-17; Ul. 5:6-21). Konsep tentang keesaan Allah (dikenal dengan istilah monoteisme) merupakan ajaran yang sangat aneh menurut ukuran waktu itu. Banyak orang mempraktikkan politeisme. Kalaupun ada yang mempercayai keberadaan suatu allah yang tertinggi, keyakinan ini hanya sebatas henoteisme. Henoteisme mengajarkan bahwa ada satu Allah yang tertinggi, tetapi masih mengakui keberadaan dari allah-allah lain yang lebih rendah. Alkitab tidak hanya mengajarkan TUHAN sebagai Allah yang tertinggi (Ul. 10:17; bandingkan gambaran persidangan ilahi di Mzm. 82:1), tetapi Ia adalah satu-satunya Allah (Yes. 44:8). Keesaan Allah tidak hanya menuntut orang percaya untuk meletakkan Allah di tempat tertinggi, tetapi sekaligus menyediakan tempat satu-satunya kepada Dia. Politeisme memandang TUHAN sebagai salah satu pilihan, henoteisme meletakkan TUHAN sebagai yang nomer satu, tetapi monoteisme menghormati TUHAN sebagai satu-satunya.


Jawaban Paulus (ay. 5-6)
Kata sambung “sebab” di ayat 5 menunjukkan bahwa di bagian ini Paulus sedang memberikan penjelasan terhadap apa yang dia sudah sampaikan di ayat 4. Dalam taraf tertentu ia memang menyetujui pandangan jemaat Korintus, namun ada beberapa aspek lain yang ia ingin ajarkan. Penjelasan ini mencakup dua hal.

Berhala: tidak ada namun ada (ay. 5)
Penyebutan “allah/tuhan di surga dan di bumi” di ayat ini sudah mewakili semua bentuk keagamaan lain yang dapat dikategorikan sebagai penyembahan berhala. Ungkapan ini mencakup ibadah tradisional yang menyembah para dewa yang tidak bermateri maupun kultus terhadap kaisar yang sering menganggap diri sebagai allah. Orang-orang kuno percaya bahwa para dewa tinggal di suatu “tempat” rohani yang berada di atas. Ini adalah konsep ibadah tradisional yang metafisik. Sebagian yang lain menjadi pemuja kaisar, baik secara terpaksa maupun sukarela.

Di ayat ini Paulus menyebut berhala-berhala sebagai “apa yang disebut allah”. Apakah ungkapan “yang disebut” (legomenos) menunjukkan bahwa mereka tidak ada? Apakah mereka murni hasil imajinasi manusia yang tidak memiliki eksistensi sama sekali? Penyelidikan yang teliti memberitahu kita bahwa apa yang disebut memang benar-benar ada. Dalam tulisan Paulus ungkapan “yang disebut” sering kali menunjukkan bahwa yang disebut itu sungguh-sungguh eksis atau benar adanya (Ef. 2:11). Contoh yang paling jelas dan berkaitan dengan pembahasan kita adalah 2 Tesalonika 2:4. Dalam ayat ini disebutkan bahwa manusia durhaka yang akan datang sebelum akhir jaman berusaha meninggikan diri “di atas segala yang disebut (legomenos) atau yang disembah sebagai Allah”. Dari sisi konteks terlihat jelas bahwa manusia durhaka ini juga akan meninggikan diri atas TUHAN Allah kita.

Dengan demikian “apa yang disebut Allah” di ayat ini merujuk pada suatu keberadaan yang nyata. Begitu pula dengan makna dari ungkapan yang sama di 1 Korintus 8:5. “Apa yang disebut allah” bukannya tidak ada. Paulus sendiri di bagian akhir ayat 6 menegaskan “dan memang benar ada...”. Jika berhala-berhala itu memang eksis, lalu bagaimana kita mengharmonisasikan ayat ini dengan ayat 4 yang mengatakan bahwa berhala itu tidak ada? Dalam bagian ini Paulus sengaja tidak memberikan jawaban secara langsung. Di pembahasan selanjutnya ia akan menerangkan bahwa berhala-berhala itu eksis dalam arti sebagai roh-roh jahat (10:19-20). Sebagai allah berhala memang tidak ada (mereka bukanlah allah sama sekali), tetapi sebagai roh-roh jahat mereka memang eksis. Di balik penyembahan berhala ada aktivitas roh-roh jahat. Roh-roh itulah yang eksis. Jadi, penyembahan berhala bukan hanya menyangkut manusia dan sebuah patung, namun manusia dan roh-roh jahat. Kebenaran di atas merupakan ajaran yang sudah lama diajarkan dalam Perjanjian Lama.

Dalam kapasitas sebagai allah, para dewa/berhala memang tidak eksis. Secara hakekat mereka bukan Allah. Bagaimanapun, kita tidak boleh melupakan bahwa penyembahan kepada para dewa/berhala pada dasarnya merupakan penyembahan kepada roh-roh jahat (Ul. 32:17; Mzm. 106:37; Yes. 19:3).

Dari penjelasan ini kita dapat melihat bahwa pandangan jemaat Korintus di ayat 4 tidak sepenuhnya benar. Apa yang mereka percayai adalah benar, tetapi itu bukan kebenaran yang utuh. Mereka tidak mampu membedakan ketidakadaan berhala secara hakekat dan eksistensi. Nanti di pasal 10 Paulus akan menguraikan topik ini secara lebih detil.

Monoteisme menuntut loyalitas hidup (ay. 6)
Dalam bagian ini penekanan Paulus sebenarnya tidak terletak pada keesaan Bapa dan Yesus. Semua orang Kristen pasti sudah memahami hal tersebut. Orang Kristen sejak awal tidak mengajarkan dua Allah atau dua Tuhan. Bapa dan Yesus dipercayai dalam keesaan yang sempurna. Jemaat Korintus pun bahwa sudah mengetahui bahwa Allah adalah esa (8:4). Pertanyaan yang ingin dibahas Paulus di bagian ini bukan “apakah ada satu Allah atau banyak allah?”. Paulus tidak sedang memberikan bukti bagi monoteisme. Pertanyaannya juga bukan “bagaimana menjelaskan keesaan Bapa dan Yesus?” Paulus tidak sedang mengajarkan doktrin Tritunggal (walaupun konsep ini diungkapkan secara eksplisit dalam teks ini). Yang lebih menjadi perhatian Paulus adalah pertanyaan “bagaimana mengaplikasikan konsep tentang keesaan Allah dalam hidup kita?”

Penggunaan kata “kita” di ayat 6 sebanyak 3 kali menyiratkan bahwa hal ini sangat penting. Pemunculan kata ini di awal ayat 6 turut mempertegas pentingnya kata ini. Paulus tidak sedang memberikan paparan teoritis-filosofis tentang eksistensi Allah. Fokus pembahasan bukan secara ontologis, tetapi eksistensial. Monoteisme tidak hanya sebagai hasil pergumulan intelektual, tetapi gaya hidup. Kekristenan bukan hanya terdiri dari doktrin, tetapi kehidupan praktis yang sesuai dengan doktrin tersebut.

Di bagian awal ayat 6 Paulus menjelaskan keesaan Bapa terlebih dahulu. Bagi orang Kristen hanya ada satu Allah, yaitu Bapa. Konsep ini muncul beberapa kali dalam tulisan Paulus (Rm. 3:29-30; Gal. 3:20; 1Tim. 2:5). Konsep tentang “Bapa” mengandung dua makna sekaligus: Ia adalah sumber dari segala sesuatu (Yak. 1:17; bdk. 1Kor. 11:12; Rm. 11:36) dan Ia sangat dekat dengan anak-anak-Nya (Mat. 7:11). Dengan demikian ungkapan “Bapa” menggambarkan transendensi Allah (Ia terpisah dari ciptaan) maupun imanensi Allah (Ia berinteraksi dengan ciptaan). Keseimbangan ini merupakan keunikan kekristenan. Agama-agama lain hanya menekankan salah satu aspek, entah itu transedensi atau imanensi Allah.

Dalam kekristenan dua aspek ini mendapat penekanan yang seimbang. Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus merupakan sebuah contoh sempurna. Dalam doa ini kita memanggil Allah sebagai Bapa (dekat) yang ada di sorga (jauh). Sebagai Bapa yang dari-Nya segala sesuatu berasal, Allah berhak menuntut segala sesuatu untuk kemuliaan-Nya. Segala sesuatu dari Dia dan untuk Dia (Rm. 11:36). Ini konsekuensi yang sangat logis. Bagaimanapun, di 1 Korintus 8:6a Paulus justru tidak mengarah pada konsekuensi ini sepenuhnya. Segala sesuatu adalah dari Allah; iya. Segala sesuatu untuk Dia; iya. Namun, bukan itu yang ditekankan Paulus. Sebaliknya, Paulus mengatakan hidup kita (bukan segala sesuatu) untuk Dia (1Kor. 8:6a).

Penekanan ini sangat relevan dengan situasi jemaat. Mereka sedang terjebak pada satu kesalahan: konsep keesaan Allah digunakan untuk kenyamanan hidup mereka sendiri! Dengan keyakinan terhadap keesaan Allah mereka lalu memandang berhala tidak ada dan secara sembarangan makan di kuil berhala tanpa menghiraukan hati nurani orang percaya yang lain. Sikap ini tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Jika mereka meyakini Bapa adalah satu-satunya Allah yang menciptakan segala sesuatu, maka mereka seharusnya memberikan hidup mereka kepada-Nya. Hidup adalah untuk Bapa, bukan untuk diri kita sendiri.

Bagian terakhir dari ayat 6 difokuskan pada keesaan Yesus Kristus. Bagi orang Kristen hanya ada satu Tuhan, yaitu Yesus Kristus. Penganut ajaran sesat Saksi Yehuwah dan Unitarian sering kali menggunakan ayat ini untuk menolak ke-Allahan Yesus. Bagi mereka Allah hanya ada satu (Bapa); Yesus hanyalah sekadar Tuhan, tetapi bukan Allah.

Asumsi seperti ini jelas tidak dapat dibenarkan. Jika “satu Allah = Bapa” berarti Yesus Kristus bukan Allah, apakah mereka akan setuju bahwa “satu Tuhan = Yesus Kristus” berarti Bapa bukan Tuhan? Tentu saja mereka tidak setuju! Bagi mereka Bapa adalah Allah sekaligus Tuhan, namun Yesus Kristus hanyalah Tuhan, tetapi bukan Allah. Jelas, penafsiran mereka terlihat sangat tidak konsisten. Mereka sangat dipengaruhi oleh presuposisi mereka bahwa Yesus bukan Allah, lalu berusaha menafsirkan semua ayat sesuai presuposisi ini. Jika dibaca secara objektif, 1 Korintus 8:6 justru menjadi salah satu teks penting untuk mendukung doktrin Tritunggal. Bapa dan Yesus Kristus memang berbeda, tetapi keduanya esa. Inilah isi doktrin Tritunggal yang agung.

Di 8:6b Yesus ditampikan sebagai instrumen penciptaan (terjemahan LAI:TB “oleh” secara hurufiah dapat diterjemahkan “melalui”). Konsep ini dapat ditemukan di berbagai bagian Alkitab yang lain (Kol. 1:15-20; 1Tim. 2:4-5; Ibr. 1:1-3). Keberadaan sebagai instrumen ini tidak berarti bahwa peranan Yesus adalah sekunder dibandingkan Bapa. Tanpa Yesus tidak ada satu pun yang jadi dari segala yang diciptakan (Yoh. 1:3). Keduanya terlibat dalam penciptaan sebagai sebuah kesatuan hakekat yang sempurna. Keesaan ini akan terlihat secara lebih jelas apabila dikaitkan dengan Yesaya 44:24. Di teks ini TUHAN menyatakan bahwa Ia menciptakan segala sesuatu seorang diri. Tidak ada yang menemani Dia selama penciptaan. Satu-satunya cara untuk menjelaskan kesendirian TUHAN dalam penciptaan (Yes. 44:24) dan keterlibatan Yesus dalam proses ini (Kol. 1:15-20; 1Tim. 2:4-5; Ibr. 1:1-3) adalah dengan melihat keduanya dalam keesaan ilahi yang sempurna. TUHAN (Yahweh) dalam Perjanjian Lama menyatakan diri sebagai Bapa dan Yesus (juga Roh Kudus). TUHAN adalah Tritunggal yang kudus.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, fokus Paulus tidak terletak pada hal-hal teoritis. Yang penting bukan hanya pengetahuan tentang keterlibatan Yesus dalam penciptaan segala sesuatu, melainkan aplikasi dari pengetahuan itu ke dalam kehidupan sehari-hari. Karena melalui Yesus segala sesuatu telah dijadikan, maka konsekuensinya adalah melalui Dia kita hidup (8:6b). Hidup kita tidak bergantung pada diri kita sendiri tetapi pada Kristus (Flp. 1:21). Apa yang dilakukan jemaat Korintus menunjukkan bahwa mereka tidak hidup bagi Kristus. Sebaliknya, aplikasi yang keliru dari pengetahuan mereka telah menyebabkan mereka melukai orang-orang yang ditebus Kristus (8:11) dan dengan demikian berdosa kepada Kristus sendiri (8:12).

Seluruh pembahasan di atas menunjukkan kepada kita bahwa kesalahan jemaat Korintus terletak pada dua hal. Mereka memiliki konsep teologis yang tidak utuh. Mereka pun mengaplikasikan konsep itu secara sembarangan. Berdasarka hal ini kita diingatkan tentang betapa pentingnya pengetahuan theologi yang komprehensif dan mendalam serta mengintegrasikan pengetahuan itu secara hati-hati dalam kehidupan praktis kita sehari-hari. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 25 Oktober 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2008%20ayat%2004-06.pdf