31 December 2009

Resensi Buku-87: A PRIMER ON POSTMODERNISM (Prof. Stanley J. Grenz, D.Theol.)

...Dapatkan segera...
Buku
A PRIMER ON POSTMODERNISM:
Pengantar Untuk Memahami Postmodernisme dan Peluang Penginjilan Atasnya


oleh: Prof. Stanley J. Grenz, D.Theol.

Penerbit: Yayasan ANDI, 2001

Penerjemah: Ev. Wilson Suwanto, S.Th., M.A.





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Setiap zaman memiliki semangat zaman (spirit of the age). Semangat zaman ini adalah presuposisi dasar yang membentuk kehidupan di zaman tersebut. Jika di zaman modern, semangat zamannya mementingkan rasio, maka di zaman postmodern, semangat zaman yang dibangunnya hendak meruntuhkan semangat zaman modern. Apa yang dimaksud dengan postmodern, postmodernisme, dan postmodernitas? Apa latar belakang munculnya postmodernisme? Bagaimana ide postmodernisme mempengaruhi gaya hidup orang-orang postmodern? Bagaimana pula kita sebagai orang Kristen menjadi saksi Kristus di abad postmodern ini? Prof. Stanley J. Grenz, Th.D. di dalam bukunya A Primer on Postmodernism memaparkan dengan jelas dan cukup mudah dimengerti tentang postmodern, filsafat postmodernisme, postmodernitas, dan panggilan Kekristenan di abad postmodern ini. Di awal bukunya, Dr. Grenz telah mengungkapkan bahwa bukunya ini hanya sebagai sebuah pengantar (tidak bisa mencakup semua pandangan postmodernisme) dan beliau menyarankan para pembaca untuk mencari buku-buku para tokoh postmodernisme sendiri. Dr. Grenz di dalam bukunya ini memaparkan tentang ide postmodernisme dan etos postmodernitas yang berpengaruh ke dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: arsitektur, musik, sastra, gaya hidup, dll. Kemudian, beliau menganalisa filsafat modernisme (yang dilawan oleh postmodernisme), filsafat postmodernisme, dan tokoh-tokoh postmodernisme (Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Richard Rorty). Pada bab terakhir, Dr. Grenz memaparkan pandangan iman Kristen terhadap postmodernisme dan tantangan Kekristenan memberitakan Injil kepada orang-orang di abad postmodern ini. Biarlah melalui buku ini, Kekristenan diperlengkapi dengan sedikit filsafat postmodernisme dan bagaimana memberitakan Injil kepada orang-orang di zaman postmodern ini tanpa harus mengkompromikan berita Injil.




Apresiasi:
“Ditulis secara anggun dengan penelitian yang cermat, Pengantar ini memberikan sebuah tinjauan pengantar yang sangat menolong dari beragam ekspresi kultural yang membentuk postmodernisme. Walaupun penafsirannya atas beberapa pemikir seperti Foucault, Derrida, dan Rorty masih bisa diperdebatkan (lagipula, pendapat siapa yang tidak bisa diperdebatkan?), karya Grenz ini adalah sebuah pedoman yang bisa diandalkan baik dalam masalah-masalah filosofis yang penting maupun terhadap konteks historis dan kontemporer yang melingkupinya.”
Prof. Merold Westphal, Ph.D.
(Philosophy Department, Fordham University, Bronx, New York, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. summa cum laude dari Wheaton College, Illinois, U.S.A.; Master of Arts—M.A. dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari Yale University, U.S.A.)


“Buku Grenz ini memberikan suatu pengantar yang baik mengenai arus intelektual yang penting bagi orang Kristen. Meskipun pemikiran postmodernisme tentunya beragam, Grenz mensurvei sebagian dari apa yang lebih dikenal sebagai para claimant atau penuntut terhadap istilah itu. Buku ini ditulis dengan jelas, bisa dipahami oleh semua kalangan pembaca buku, dan cukup menarik.”
Prof. Nancey Murphey, Ph.D., Th.D.
(Professor of Christian Philosophy di Fuller Theological Seminary, Pasadena, California, U.S.A.; B.A. dalam bidang Filsafat dan Psikologi dari Creighton University; Ph.D. dari the University of California at Berkeley; dan Doctor of Theology—Th.D. dari the Graduate Theological Union)


“Ketika banyak pengamat budaya melihat ancaman terhadap Injil dalam postmodernisme, Grenz justru melihat peluang… Bagi mereka yang serius memahami etos yang baru ini dan terhadap pentingnya memperlengkapi gereja untuk menghadapi praanggapan dari budaya kita, buku ini akan merupakan suatu pedoman yang berguna sekaligus sebuah sumber harapan.”
Prof. Steve Hayner, Ph.D.
(Peachtree Associate Professor of Evangelism and Church Growth di Columbia Seminary, U.S.A.; Master of Theological Studies—M.T.S. dari Harvard Divinity School; Master of Theology—Th.M. dari Gordon-Conwell Theological Seminary; dan Ph.D. dalam Perjanjian Lama dari the University of St. Andrews, Scotland)






Profil Dr. Stanley J. Grenz:
Prof. Stanley J. Grenz, D.Theol. lahir di Alpena, Michigan pada tanggal 7 Januari 1950. Pada Desember 1971, beliau menikah dengan Edna Sturhahn (dari Vancouver, BC). Mereka menyelesaikan undergraduate studies di University of Colorado. Dr. Stanley menamatkan studi Master of Divinity (M.Div.) dari Denver Seminary pada tahun 1976. Kemudian, Dr. Stanley dan istri pindah ke Munich, Jerman di mana Dr. Stanley menamatkan studi Doctor of Theology (D.Theol.) di University of Munich di bawah bimbingan Wolfhart Pannenberg. Dr. Stanley dan Edna dikaruniai 2 orang anak: Joel dan Corina serta dikaruniai seorang cucu: Anika. Sejak musim gugur tahun 2004, beliau menjabat sebagai Professor of Theological Studies di Mars Hill Graduate School, Seattle WA, U.S.A.

Eksposisi 1 Korintus 1:26-31 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:26-31

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:26-31



Kalau di ayat 18-25 Paulus lebih menyoroti “Injil” yang dianggap kebodohan menurut pemikiran duniawi, di ayat 26-31 ia memfokuskan pembahasan pada jemaat Korintus. Perubahan fokus ini dapat dilihat dari penggunaan sapaan “saudara-saudara” di awal ayat 26. Paulus memang masih membahas tentang isu “hikmat”, namun kini dia sudah berpindah ke argumen lain.

Paulus ingin membuktikan bahwa kepercayaan mereka yang dahulu terhadap Injil merupakan bukti karya Allah yang luar biasa melalui kekuatan Injil. Mengapa? Karena mereka dulu adalah orang-orang yang rendah menurut ukuran dunia. Kesombongan mereka sekarang merupakan kontradiksi dengan keadaan mereka yang dahulu.


Mayoritas Jemaat Korintus Dahulu Adalah Orang yang Hina Menurut Dunia (ay. 26)
Terjemahan LAI:TB “ingatlah” kurang mengekspresikan kata Yunani yang dipakai. Katablepete di ayat ini seharusnya diterjemahkan “terus-menerus mempertimbangkan”. “Mempertimbangkan” (NASB/RSV) jelas melibatkan pemikiran yang lebih serius dibandingkan sekadar “mengingat”. Tense present yang dipakai turut mempertegas maksud Paulus bahwa tindakan “mempertimbangkan” ini harus dilakukan berulang-ulang. Kita perlu terus melihat diri kita dahulu, supaya kita dapat menghargai keadaan kita yang sekarang.

Apa yang harus dipertimbangkan oleh jemaat Korintus? Penerjemah LAI:TB tampaknya mengadopsi terjemahan NIV ketika mereka memilih terjemahan “keadaan kamu ketika kamu dipanggil” (NIV “think of what you were when you were called”). Berbagai versi lain memilih terjemahan yang lebih hurufiah, yaitu “panggilanmu” (KJV/NASB/RSV). Terjemahan ini lebih sesuai dengan teks asli (klhsin humwn), walaupun maksud dari “panggilanmu” di sini sama dengan “keadaan kamu ketika dipanggil”.

Terjemahan “menurut ukuran manusia” (LAI:TB/NIV “by human standards”) tidak terlalu tegas. Ungkapan Yunani kata sarka dalam ayat ini seharusnya berarti “menurut daging” (KJV/NASB). Pemakaian kata sarx menyiratkan pandangan Paulus bahwa semua hal yang dianggap hebat oleh jemaat Korintus hanyalah hebat secara kedagingan. Ukuran yang dipakai untuk menilai sangat tidak Alkitabiah. Penerjemah RSV mengungkapkan hal ini dengan ungkapan “menurut ukuran duniawi” (according to wordly standards).

Kata “tidak banyak” (ou polloi) menunjukkan bahwa ada sebagian kecil dari jemaat Korintus yang dapat dikategorikan sebagai orang yang mulia menurut dunia. Hal ini sesuai dengan petunjuk yang ada di bagian lain dari surat 1 Korintus. Pasal 11:17-22 menyinggung tentang orang-orang kaya yang menghina jemaat lain yang miskin. Krispus, Gaius dan Stefanas (lih. eksposisi pasal 1:14-16) merupakan beberapa nama orang penting di kalangan jemaat Korintus yang juga sukses menurut ukuran dunia. Penyebutan tiga nama ini dan ucapan Paulus di ayat 26 mungkin menyiratkan sebuah sindiran: Krispus, Gaius, dan Stefanas yang menurut ukuran dunia hebat ternyata tidak memandang rendah Injil, sedangkan mayoritas jemaat lain yang menurut dunia tidak hebat justru memandang rendah Injil.

Kehebatan duniawi yang dimaksud Paulus diungkapkan melalui tiga kata: “bijak” (sofos), “berpengaruh” (dunatos) dan “terpandang” (eugenhs). Kata pertama merujuk pada para pemikir, terutama para filsuf. Kata kedua bisa berarti “kuat” (KJV/NASB), “berpengaruh” (NIV) atau “berkuasa” (RSV), namun kata ini jika diterapkan pada manusia sering kali memiliki arti “punya pengaruh, wewenang atau posisi” (Kis. 25:5 “orang yang berwewenang”). Kata terakhir secara hurufiah berarti “memiliki kelahiran yang baik”. Makna yang tersirat dalam kata ini adalah terpandang dari sisi keluarga atau keturunan (NIV/RSV “not many were of noble birth”).

Mengapa Paulus memilih tiga kriteria ini? Ia sangat mungkin sedang memikirkan Yeremia 9:23 yang berisi kecaman terhadap tiga golongan manusia yang sombong, yaitu orang yang bijaksana, orang yang kuat dan orang yang kaya. Walaupun istilah yang dipakai tidak semuanya identik, tetapi jumlah yang sama memberi petunjuk ke arah itu. Paulus juga sangat mungkin mengubah beberapa istilah di Yeremia 9:23 untuk menyesuaikan dengan situasi sosiologis jemaat Korintus. Dalam konteks budaya kuno waktu itu, sofos, dunamosdan eugenhs memang saling berkaitan secara erat. Orang yang berasal dari keluarga terpandang memiliki kesempatan yang besar untuk belajar (menjadi berhikmat dari sisi keilmuan), sehingga orang itu juga memiliki pengaruh/jabatan di masyarakat. Di samping itu, dengan menyebut tiga golongan ini Paulus telah mencakup orang-orang yang dianggap hebat di bidang filsafat, politik dan sosial.


Tujuan Allah Memilih Orang-orang yang Dianggap Rendah Oleh Dunia (ay. 27-31)
Dengan memaparkan status mayoritas jemaat Korintus yang rendah menurut ukuran dunia, Paulus sekaligus ingin menonjolkan anugerah Allah dalam memilih mereka. Status mereka yang rendah menunjukkan bahwa pilihan atas hidup mereka tidak didasarkan pada kebaikan atau kelebihan mereka. Mereka sebenarnya tidak layak untuk dipilih, tetapi Allah berkenan memilih mereka (bdk. ay. 21b). Pola pilihan seperti ini konsisten dengan cara kerja Allah di seluruh Alkitab (bdk. Yak. 2:5).

Di samping itu, pemunculan kata “dipilih” yang berulang-ulang di ayat 27-28 memberi penekanan pada keaktifan dan inisiatif Allah dalam proses pemilihan ini. Bukan mereka yang memilih Allah, tetapi Allah yang memilih mereka (Yoh. 15:16). Allah telah memanggil mereka (1Kor. 1:9) untuk menjadi orang-orang kudus (1Kor. 1:2). Allah telah memanggil mereka sehingga mereka dulu dapat melihat Kristus sebagai hikmat dan kekuatan Allah (1Kor. 1:24).


Apa tujuan Allah memberi anugerah kepada orang-orang yang sebetulnya tidak layak untuk menerima hal itu? Dalam ayat 27-31 Paulus menjelaskan dua tujuan utama pemilihan berdasarkan anugerah. Dua tujuan ini dapat dideteksi melalui penggunaan kata “untuk” di ayat 27 dan “supaya” di ayat 29.

Supaya Allah merendahkan orang-orang yang hebat menurut dunia (ay. 27-28)
Di ayat 19-20 Paulus sudah menyatakan bahwa Allah membinasakan hikmat dunia, bahkan menjadikannya sebagai kebodohan. Kali ini Paulus tidak lagi menyoroti hikmat, tetapi orangnya. Pemilihan Allah atas orang yang rendah menurut ukuran dunia bertujuan untuk memalukan (ay. 27) dan meniadakan (ay. 28) orang-orang yang hebat.

Ungkapan “mempermalukan” tidak sekadar berhubungan dengan perasaan malu. Ungkapan ini merupakan ungkapan umum orang Yahudi yang menunjuk pada kemenangan yang diberikan Allah kepada orang benar atau tindakan Allah yang mengalahkan orang fasik. Dalam Alkitab ungkapan ini sering kali dipakai dalam konteks perselisihan atau pertengkaran antara orang fasik dan orang benar (Mzm. 6:11; 31:18; 35:4, 26-27). Dengan menggunakan ungkapan ini Paulus ingin mengingatkan jemaat Korintus bahwa Allah telah dan akan mengalahkan orang-orang yang fasik dan merasa diri hebat.

Bagaimana cara Allah mempermalukan orang-orang hebat tersebut? Di ayat 21a Paulus menerangkan bahwa hikmat dunia justru tidak dapat mengenal Allah. Di ayat 27-28 dia lebih menyoroti kelebihan-kelebihan duniawi yang justru menghalangi orang untuk percaya kepada Tuhan. Sama seperti orang-orang pada zaman Yeremia yang menganggap diri hebat dan tidak memerlukan Tuhan, demikian pula orang-orang yang “hebat” pada zaman Paulus cenderung tidak mau mengandalkan Tuhan. Sebagai akibat dari tindakan ini, mereka akan mengalami kekalahan. Mereka tidak mampu mengenal dan bersandar pada Allah, padahal pengakuan terhadap ketidakmampuan diri merupakan kekuatan yang besar.

Ungkapan lain yang dipakai Paulus untuk menyatakan perendahan orang-orang duniawi yang hebat adalah “meniadakan”. Kata Yunani katargew sering dipakai dalam konteks eskatologis (futuris). Kata ini dipakai beberapa kali dalam surat 1 Korintus untuk menunjuk pada hal-hal yang sifatnya sementara dan suatu ketika akan lenyap (2:6; 6:13; 13:8, 10; 15:24, 26). Melalui penggunaan katargew Paulus bermaksud menegaskan bahwa hal-hal yang dikagumi oleh dunia dan sebagian jemaat Korintus merupakan hal-hal yang tidak kekal. Semua itu pasti akan lenyap.

Supaya tidak ada yang sombong di hadapan Allah (ay. 29-31)
Allah memilih orang yang rendah menurut dunia supaya tidak ada satu manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah (ay. 29, lit. “tidak ada satu daging pun”). Kata “memegahkan diri” (kaucaomai) merupakan salah satu kata favorit Paulus. Dari total pemunculan kata ini sebanyak 59 kali di dalam Alkitab, 55 di antaranya muncul dalam tulisan Paulus. Dari 55 kali pemunculan ini, 39 di antaranya ditemukan di surat 1 dan 2 Korintus. Statistik ini mengindikasikan bahwa kesombongan merupakan salah satu masalah utama jemaat Korintus, sehingga Paulus merasa perlu menyinggung hal ini berkali-kali. Penggunaan kata kaucaomai di ayat 29-31 mungkin didasarkan pada konteks Yeremia 9:23-24 yang sudah disinggung di ayat 27-28 dan akan dikutip lagi di ayat 29-31. Selain itu, penggunaan kaucaomai cocok dengan situasi jemaat Korintus yang sedang membanggakan diri.

Kesombongan di atas merupakan sebuah kontradiksi dengan anugerah Allah. Jemaat Korintus dipilih oleh Allah bukan karena mereka baik (ay. 27-28). Oleh karena Allah, mereka berada di dalam Kristus oleh karena Allah (ay. 30a). Oleh karena Allah, Kristus telah menjadi hikmat yang membenarkan, menguduskan dan menebus mereka (ay. 30b). Perubahan kata ganti dari “kamu” menjadi “kita” menyirakan bahwa Paulus pun berada dalam posisi yang sama dengan jemaat Korintus. Semua orang percaya – baik yang terpandang menurut dunia maupun tidak – dapat datang kepada Kristus karena karya Allah. Jika memang keselamatan kita adalah semata-mata anugerah, maka kita tidak memiliki tempat untuk memegahkan diri (Rm. 4:2). Roma 3:27 “jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman!”.

Paulus selanjutnya mengajarkan bahwa kemegahan kita seharusnya di dalam Tuhan (ay. 31), bukan di hadapan Tuhan (ay. 29). Untuk mempertegas poin ini, Paulus mengutip firman Allah dari Yeremia 9:24 dalam bentuknya yang lebih ringkas. Tidak semua tindakan memegahkan sesuatu (kaucaomai) adalah negatif. Paulus pun dalam bagian suratnya yang lain juga memegahkan diri (Rm. 5:2; 15:17; Flp. 2:16; 2Tes. 1:4). Yang paling penting adalah dasar yang kita pakai untuk bermegah. Ketika Paulus bermegah, dia bermegah di dalam Allah (Rm. 5:11) atau di dalam Kristus (Rm. 15:17; Gal. 6:14; Flp. 3:3).

Dengan memahami dasar kemegahan yang benar – yaitu Allah yang telah memberi anugerah keselamatan – orang percaya tidak akan menaruh kesombongan pada hal-hal yang dianggap hebat oleh dunia. Sebaliknya, kita bahkan mampu bermegah atas hal-hal yang oleh dunia dipandang sebelah mata. Kita bermegah dalam penderitaan (Rm. 5:3) dan kelemahan (2Kor. 11:30; 12:9) kita. Inilah kemegahan yang sejati, bukan seperti kemegahan jemaat Korintus yang didasarkan pada hikmat dunia, pengaruh di bidang politik maupun kehormatan dari sisi sosial.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 23 Desember 2007