27 March 2011

Resensi Buku-116: MAKSUD ANDA ITU TIDAK ADA DI ALKITAB? (David A. Rich)

...Dapatkan segera...




Buku
MAKSUD ANDA ITU TIDAK ADA DI ALKITAB?:
10 Kepercayaan Populer yang Tidak Benar


oleh: David A. Rich



Penerbit: Immanuel, 2010



Penerjemah: Budijanto











Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Tradisi adalah sesuatu yang mendarahdaging atau turun-menurun dari nenek moyang dalam diri seseorang. Tradisi itu juga bisa berupa tradisi “Kristen” yang menyejarah (dari nenek moyang) kita yang mengajar sesuatu yang seolah-olah “masuk akal”, namun sayangnya banyak yang melawan Alkitab. Tradisi “Kristen” ini tentu tidak harus berarti berasal dari nenek moyang kita ratusan tahun lalu, mungkin dari pendeta atau orangtua atau rekan Kristen kita berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ketika sudah terbiasa dengan tradisi “Kristen”, kita pun terlena dengan “kebenaran” yang diajarkannya seolah-olah itulah yang diajarkan Alkitab. Tradisi itu mencakup pengajaran, seperti: Ada banyak jalan menujur sorga; Tuhan menolong mereka yang menolong diri sendiri (pengaruh psikologi); Tuhan ingin Anda menjadi kaya; berdoalah giat, maka Tuhan akan menjawab; semua orang mempunyai kehendak bebas, dll. Benarkah itu sesuai Alkitab? Ataukah itu sesuai dengan filsafat manusia berdosa? David A. Rich di dalam bukunya Maksud Anda Itu Tidak Ada di Alkitab membeberkan 10 kepercayaan populer yang sering kita dengar di kalangan Kekristenan, namun bertentangan dengan Alkitab. Kemudian Rich menjelaskan alasan mengapa kepercayaan itu muncul dan bagaimana kepercayaan itu bukan saja melawan Alkitab, namun juga menghina kemuliaan Allah. Di bab terakhir, Rich menyimpulkan dan menantang para pembaca untuk kembali kepada semangat Reformasi mula-mula yaitu kembali kepada Alkitab. Biarlah buku dengan pembahasan yang sederhana bagi para pembaca Kristen awam ini boleh menuntun kita untuk makin mengerti rusaknya kepercayaan populer yang seolah-olah Alkitabiah itu dan bagaimana kita kembali kepada Alkitab dengan pengertian yang konsisten, teliti, jujur, dan bertanggungjawab.











Profil David A. Rich:
David A. Rich adalah seorang penulis dan salah seorang dari 500 pembicara profesional yang diakui di seluruh dunia.. Suatu tantangan untuk melihat dengan cara yang baru pada Alkitab memperbarui kehidupan rohaninya dan menuntunnnya untuk menulis buku 7 Biblical Truths You Won’t Hear in Church. Melalui GraceCamp Ministries, David sekarang membagikan kebenaran ajaib firman Tuhan ini di retret dan forum Kristen di samping penyajian bersamanya.


ADA APA DI BALIK SALIB-3: Salib, Penderitaan, & Awal Kemenangan Di Balik Penderitaan (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Menjelang Jumat Agung 2011



ADA APA DI BALIK SALIB?-3:
Salib, Penderitaan, dan Awal Kemenangan Di Balik Penderitaan


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”
(Yes. 53:5)




Salib Kristus menghantarkan kita untuk merenungkan bagaimana sebagai pengikut-Nya, kita pun harus menderita bagi-Nya. Namun penderitaan yang harus kita tanggung demi mengikut-Nya bukanlah penderitaan biasa, namun penderitaan mulia. Saya menyebutnya penderitaan mulia, karena di dalam penderitaan itu terkandung tujuan mulia dan pengharapan adanya kemenangan mutlak bagi anak-anak Tuhan yang sungguh beriman di dalam-Nya. Dengan kata lain, kita mampu berkata seperti yang Paulus katakan, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rm. 8:18) Ada kemuliaan kekal yang pasti tersedia bagi anak-anak Tuhan meskipun harus didahului oleh penderitaan. Inilah jawaban iman Kristen terhadap problematika penderitaan. Ketika agama lain berputar terus tentang penderitaan dan solusinya, maka HANYA Kekristenan menyediakan satu-satunya jalan keluar yaitu beriman di dalam Kristus, maka penderitaan pasti berakhir dengan kemenangan total.


Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita bisa beriman demikian? Apakah ini sebuah ilusi semu seperti yang dikatakan oleh Karl Marx yaitu seperti candu? BUKAN! Mengapa? Karena pengharapan kemenangan atas penderitaan kita didasarkan pada pengharapan pasti di dalam Kristus yang telah mati (dan bangkit) yang telah dibuktikan di dalam sejarah (iman Kristen bisa dipertanggung jawabkan secara historis)! Kematian Kristus di salib bukanlah kekalahan-Nya, tetapi justru awal kemenangan-Nya, karena:
Pertama, Ia mati bukan karena dosa-Nya, tetapi demi dosa-dosa kita. Kebanyakan orang, bahkan para pemimpin agama, meninggal di dalam dosa-dosa mereka, namun HANYA Kristus saja yang mati disalib bukan karena dosa-dosa-Nya, tetapi demi dosa-dosa umat-Nya. Dengan kematian-Nya di kayu salib, itu membuktikan tugas-Nya menebus dosa umat-Nya telah selesai dan dengan demikian, itu berarti semua dosa umat-Nya telah ditanggungkan kepada Kristus. Dan itu juga membuktikan kuasa dosa, iblis, dan maut TIDAK ada daya apa pun dalam hidup umat-Nya. Kalau kita memperhatikan film The Passion of the Christ, di situ dipertontonkan, ketika Kristus selesai mengucapkan “Sudah selesai” dan menyerahkan nyawa-Nya, di dunia lain, yaitu iblis langsung berteriak kalah. Mel Gibson sangat cerdas menggambarkan hal ini: kematian-Nya merupakan kemenangan awal yang nantinya memimpin kepada kemenangan demi kemenangan.

Kedua, Ia mati bukan karena terpaksa, tetapi karena rela demi menebus dosa umat pilihan-Nya, meskipun iblis berusaha mencobai-Nya selama itu. Saya teringat akan khotbah MP3 Pdt. Bigman Sirait yang berjudul 7 Fakta Salib, di situ beliau memaparkan bahwa kematian-Nya bukan menunjukkan bahwa Allah kita lemah dan tak berdaya, tetapi kematian-Nya merupakan kematian-Nya yang rela. Jika kematian-Nya bukan kematian yang rela, maka tidak ada seorang pun yang sanggup menahan-Nya. Bagaimana tidak, kuasa-Nya begitu dahsyat. Perhatikan Yohanes 18:4-6, “Maka Yesus, yang tahu semua yang akan menimpa diri-Nya, maju ke depan dan berkata kepada mereka: "Siapakah yang kamu cari?" Jawab mereka: "Yesus dari Nazaret." Kata-Nya kepada mereka: "Akulah Dia." Yudas yang mengkhianati Dia berdiri juga di situ bersama-sama mereka. Ketika Ia berkata kepada mereka: "Akulah Dia," mundurlah mereka dan jatuh ke tanah.” Perkataan-Nya saja sanggup membuat orang banyak mundur dan jatuh ke tanah, apalagi kalau mereka berani menahan-Nya, apa yang bakal terjadi nantinya? Tetapi Ia rela menyerahkan nyawa-Nya demi menebus dosa manusia.

Ketiga, kematian-Nya menunjukkan ketaatan-Nya mutlak kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Kerelaan kematian-Nya disebabkan karena Ia taat mutlak kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Ia bisa saja melarikan diri ketika hendak disalib, namun itu tidak dilakukan-Nya, karena Ia taat kepada perintah Bapa.


Karena kematian-Nya di salib menjamin kemenangan kita atas penderitaan, maka apa yang harus kita lakukan tatkala kita menderita?
Pertama, memfokuskan iman dan pengharapan kita kepada Kristus. Penderitaan selalu mengalihkan fokus iman kita kepada penderitaan itu sendiri, sehingga makin kita menderita, makin kita jauh dari Allah. Kematian Kristus menyadarkan kita bahwa biarlah Kristus menjadi fokus iman dan pengharapan kita, karena kehadiran Kristus di dalam penderitaan bukan kehadiran pribadi yang tak pernah menderita, tetapi kehadiran Pribadi yang paling menderita di bumi ini. Hal ini seperti yang dikatakan penulis surat Ibrani, “Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.” (Ibr. 2:18) Terlalu banyak pemimpin agama yang berkoar-koar tentang penderitaan, tetapi mereka tidak pernah mengalami penderitaan berat, melainkan mereka malah hanya mencicipi sedikit penderitaan, langsung pergi ke dunia lain. Tetapi Kristus TIDAK demikian! Dari lahir sampai mati, Ia merasakan penderitaan dan bahkan penderitaan paling berat. Pada waktu lahir, Ia lahir di kandang binatang (bandingkan dengan kelahiran pendiri agama lainnya). Ia hidup sebagai anak tukang kayu (bandingkan dengan kehidupan pendiri agama lain yang berasal dari keluarga kerajaan). Kehadiran-Nya banyak dimusuhi bahkan anehnya oleh para pemimpin agama yang seharusnya menerima-Nya. Kematian-Nya begitu tragis yaitu disalib yang merupakan hukuman terberat pada zaman Romawi. Oleh karena Ia telah mengalami penderitaan dan bahkan terberat, maka Ia adalah satu-satunya yang layak kita imani tatkala kita menderita.

Kedua, melihat Kristus ada di dalam setiap penderitaan. Karena kita percaya bahwa Kristus yang pernah menderita akan menolong kita yang menderita, maka kita percaya bahwa Kristus pasti ada di dalam setiap penderitaan kita, meskipun seolah-olah Ia tidak mengulurkan tangan-Nya secara langsung untuk menolong kita. Kita percaya bahwa kehadiran-Nya memimpin dan menguatkan kita di dalam penderitaan, sehingga kita dimampukan-Nya untuk menderita bagi-Nya. Mengapa Paulus tetap tegar dan kuat di dalam memberitakan Injil? Apakah itu karena karakternya yang memang seorang tegas dan keras? Tentu tidak! Di Roma 7, ia memaparkan kepada kita tentang pergumulannya dengan dosa yang ada di dalam dirinya. Pergumulan itu bagi Paulus merupakan penderitaan berat yang bisa disamakan dengan penderitaan eksternal (bdk. renungan Ada Apa Di Balik Salib-2 tentang macam-macam penderitaan Kristen). Ketika menderita diri/internal itu, Paulus menyadari bahwa Kristus adalah jawaban final bagi pergumulan penderitaan internalnya (Rm. 7:25). Kristus jugalah yang menguatkan Paulus ketika ia sempat merasa berat dalam pelayanan (bdk. Kis. 23:11). Bahkan Ia sendiri menguatkan hati para murid, rasul, dan kita melalui Roh Kudus ketika mereka dan kita berada di dalam penderitaan. Di dalam Injil Lukas, hal ini dikatakan-Nya sebanyak 2x, yaitu di Lukas 12:11-12, “Apabila orang menghadapkan kamu kepada majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu kuatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan.” dan di Lukas 21:12-15, “Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku. Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi. Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu.” Kesemuanya ini sudah jelas bahwa Ia selalu ada bersama-sama dengan umat-Nya ketika umat-Nya menderita, bahkan Ia menjamin di Lukas 21:16-18, “Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku. Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang.” Penderitaan seberat apa pun yang harus ditanggung umat-Nya karena nama Kristus TIDAK akan melebihi kekuatan umat-Nya (bdk. 1Kor. 10:13). Inilah bukti jaminan bahwa Kristus pasti ada di dalam penderitaan umat-Nya. Masihkah kita kuatir ketika kita menderita?

Ketiga, melihat Kristus yang memberi kemenangan sebagai akhir penderitaan. Kita bukan hanya melihat Kristus hadir di dalam penderitaan kita, tetapi kita juga melihat Kristus yang menang dan memberi kemenangan mutlak kepada umat-Nya yang terus bertahan di dalam penderitaan. Kemenangan apa saja? Pertama, kemenangan di Sorga. Dalam ucapan bahagia, Kristus sendiri berfirman, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."” (Mat. 5:11-12) Ia berjanji akan memberikan kita upah di Sorga bagi kita yang sudah menderita bagi nama-Nya. Tidak hanya itu, Tuhan melalui Paulus mengajar kita, “Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.” (Rm. 8:36-37) Kita bukan hanya diberikan upah di Sorga, bahkan kita disebut sebagai lebih dari para pemenang, karena Kristus yang telah menang dan memberi kita kemenangan demi kemenangan. Cukupkah kemenangan di Sorga? TIDAK. Kemenangan kita juga bisa sedikit dicicipi dan dilihat dampaknya ketika di dunia. Perhatikanlah sejarah gereja. Ketika gereja makin dihambat perkembangannya, gereja bukan makin sedikit, tetapi makin meluas, sehingga ada istilah yang menggambarkan hal ini: makin dibabat, makin merambat. Penganiayaan terhadap Kristen baik di Roma dahulu maupun di negara-negara komunis sekarang misalnya di RRT bukan mengecilkan jumlah pengikut Kristus, tetapi justru membuat para pengikut Kristus bertambah banyak berlipat kali ganda. Ini semua membuktikan bahwa Kristus yang kita percayai adalah Allah yang hidup dan dahsyat yang memberi kemenangan bagi umat-Nya yang menderita.

Keempat, mengarahkan hati kita untuk taat. Kemenangan Kristus di salib yang juga memberi kemenangan kita hendaklah TIDAK membuat kita terbuai, lalu lupa apa yang harus kita kerjakan. Memang di dalam penderitaan, ada Kristus di sana dan Ia pasti memberi kemenangan bagi kita, tetapi jangan lupa satu hal, di dalam penderitaan itu, kita dituntut Tuhan untuk taat pada pimpinan-Nya. Sebagaimana Kristus taat kepada Bapa dan itu mengakibatkan kematian-Nya di kayu salib menjadi awal kemenangan-Nya, maka ketaatan kita kepada-Nya merupakan awal kemenangan kita di dalam penderitaan. Ketaatan berarti siap mengatakan YA kepada kehendak Tuhan dan TIDAK kepada kehendak diri. Dengan kata lain, di dalam ketaatan harus ada unsur menyangkal diri demi menggenapkan kehendak-Nya. Mengapa perlu ketaatan dan menyangkal diri? Karena ketika kita menderita, pasti ada godaan yang mengakibatkan kita nantinya mungkin berkompromi dan akhirnya meninggalkan-Nya. Hal itulah yang Kristus alami, namun puji Tuhan, Ia berhasil melewati semuanya karena Ia taat pada Bapa. Biarlah kemenangan Kristus atas segala macam godaan itu menjadi teladan bagi kita untuk juga menang terhadap godaan di dalam penderitaan.

Kelima, mengembalikan segala kemuliaan hanya bagi Allah. Ketaatan yang dibarengi menyangkal diri ditunjukkan salah satunya dengan tidak menonjolkan diri ketika sudah dan sedang mengalami penderitaan. Sering kali saya mengamati beberapa orang Kristen yang sudah (dan sedang) mengalami banyak penderitaan, lalu menyombongkan diri di depan orang lain bahwa ia sudah menderita, lalu menghina mereka yang belum menderita. Seharusnya anak Tuhan sejati yang diizinkan Tuhan menderita bukan malahan sombong, tetapi bersyukur dan kemudian mengembalikan segala kemuliaan hanya bagi Allah Tritunggal. Mengapa? Karena mereka mengetahui bahwa penderitaan diizinkan-Nya bukan demi kehebatan mereka, tetapi untuk menguji iman mereka dan pada akhirnya memuliakan-Nya. Jangan sekali-kali mengambil kemuliaan-Nya dan menggantikannya dengan kemuliaan diri, karena jika kita berbuat demikian, sambil kita menderita, kita semakin menghina Allah yang ingin menguji iman kita. Berwaspadalah. Makin kita menderita bagi Kristus, makin kita rendah hati di hadapan-Nya karena kita menyadari bahwa tanpa-Nya, kita tidak ada apa-apanya dan tidak bisa berbuat apa-apa.


Bagaimana dengan kita? Ketika kita menderita demi Kristus, masihkah kita memiliki pengharapan iman di dalam Kristus dan kemenangan yang Dia janjikan? Masihkah kita taat pada-Nya dan memuliakan-Nya di dalam penderitaan kita? Biarlah renungan singkat ini boleh menyadarkan kita untuk terus memuliakan-Nya di dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari. Amin. Soli Deo Gloria.

23 March 2011

IMAN KRISTEN DAN PERATURAN (Denny Teguh Sutandio)

IMAN KRISTEN DAN PERATURAN

oleh: Denny Teguh Sutandio




Di dunia ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kita pasti menemukan banyaknya peraturan, entah itu bersifat umum, maupun khusus. Yang bersifat umum: peraturan di lalu lintas, sekolah/kampus, mal/plaza, gereja, dll, sedangkan peraturan yang bersifat khusus: peraturan di rumah tangga, “peraturan” antar cowok dan cewek yang sedang berpacaran (atau “peraturan” suami istri). Apa itu peraturan? Apa signifikansinya? Bagaimana pandangan orang sekitar kita tentang peraturan? Bagaimana pandangan iman Kristen yang seimbang berkenaan dengan peraturan?




PERATURAN DAN SIGNIFIKANSINYA
Peraturan adalah sekumpulan pernyataan yang bersifat mengatur seseorang atau orang-orang di berbagai tempat, seperti: sekolah, rumah, gereja, dll. Karena bersifat mengatur, maka tentu si pembuat peraturan adalah otoritas yang lebih tinggi dari orang lain, entah itu: guru, kepala sekolah, orangtua, pendeta/pastur, dll. Mengapa ada peraturan? Tujuan aslinya adalah agar masyarakat menjadi tertib dan teratur. Dengan kata lain, menurut tujuan aslinya, suatu peraturan itu bersifat positif dan sosial. Namun, karena sifat dosa pada manusia, maka peraturan yang aslinya bersifat dan bertujuan positif dan sosial akhirnya dipergunakan secara tidak bertanggung jawab dengan menambahi serangkaian peraturan yang membelenggu, sehingga peraturan menjadi suatu momok yang memberatkan.




PANDANGAN ORANG SEKITAR (TERMASUK KRISTEN) TERHADAP PERATURAN
Karena dipandang memberatkan, maka banyak orang sekarang, bahkan tak terkecuali beberapa (atau banyak?) orang Kristen menjadi orang yang anti peraturan (disebut antinomianisme yang berasal dari kata Yunani: anti = melawan; nomos: peraturan). Memang sejujurnya mayoritas penganut paham ini adalah banyak generasi muda (meskipun juga bisa dianut oleh generasi tua) entah yang mengaku Kristen atau non-Kristen. Prinsip hidup mereka adalah EGP (emang gue pikirin) dengan kepercayaan bahwa saya adalah kebenaran dan penentu kebenaran. Beberapa ciri yang muncul:

Pertama, masa bodoh dengan iman. Karena berprinsip EGP, maka banyak orang (Kristen) yang anti peraturan sama sekali cuek dengan inti hidupnya yaitu iman. Baginya, iman bukan hal penting, sehingga dalam mencari pasangan hidup pun, banyak generasi muda tanpa pikir panjang mencari pasangan yang berbeda iman dengan segudang alasan, “dia lebih baik, meskipun tidak Kristen” atau “nanti kan bisa diinjili”, dll. Rupanya, orang Kristen yang gemar melayani Tuhan pun tidak luput dari gejala masa bodoh dengan iman. Tandanya adalah mereka enggan bahkan malas belajar theologi dan membaca Alkitab. Mereka tanpa berpikir kritis menerima mentah-mentah semua khotbah mimbar, sehingga ketika ada “pendeta” sesat yang tidak percaya Allah Tritunggal pun, mereka percayai dan idolakan, meskipun itu jelas-jelas melawan Alkitab! Dengan keluguan, mereka suatu saat pasti ditipu oleh ajaran sesat: Saksi Yehuwa, dll, karena mereka pun tidak mengerti apa itu Saksi Yehuwa. Benar-benar mengerikan Kekristenan zaman sekarang.

Kedua, membuang hampir semua tradisi. Karena sudah masa bodoh dengan iman, maka tidak heran, semua hal yang berbau kuno (alias jadul: jaman dulu) dibuang, termasuk tradisi. Di dalam Kekristenan, banyak generasi muda zaman sekarang membuang hampir semua tradisi gerejawi, seperti: pengakuan iman rasuli, lagu-lagu rohani berabad-abad lalu, dll dan menggantinya dengan banyak lagu rohani yang kurang bermutu. Mereka hanya mengetahui lagu-lagu Hillsong, Franky Sihombing, dll, tetapi tidak mengetahui lagu-lagu rohani gubahan Fanny J. Crosby, Charles Wesley, Horatius Bonar, dll. Dibuangnya tradisi ditandai dengan beberapa orang Kristen ekstrem yang menganggap bahwa tradisi itu semua produk setan, sehingga tidak boleh merayakan Imlek, dll. Memang harus diakui tradisi adalah produk manusia berdosa yang pasti mengandung bibit dosa (respons manusia berdosa terhadap penyataan umum Allah melalui hati nurani), namun tradisi tetap dihormati selama tradisi itu tidak melawan Alkitab.

Ketiga, membuang etika. Karena membuang tradisi, maka tentu, banyak generasi muda membuang etika, seperti sopan santun, dll. Contohnya, banyak generasi muda sekarang melakukan free-sex sebelum menikah. Bahkan ada yang memiliki pacar lebih dari 1, tanpa merasa bersalah. Ada yang mempermainkan lawan jenis dengan rayuan manis, lalu mempermainkannya dengan menjadikan lawan jenis itu supir, ATM, dll.

Paradigma anti peraturan ini tentu saja berdampak negatif, yaitu masyarakat makin kacau. Coba terapkan paradigma anti peraturan ini di lalu lintas, lalu setiap orang yang anti peraturan menafsirkan sendiri arti lampu merah (X bilang lampu merah itu artinya berhenti, Y bilang lampu merah itu artinya jalan terus), maka silahkan pikirkan sendiri apa akibatnya?

Selain itu, penganut anti peraturan juga tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Mau bukti? Biasanya penganut anti peraturan ini akan menyuarakan prinsipnya baik secara eksplisit maupun implisit, misalnya dengan perkataan, “Jangan atur-atur gue, gue ngelakuin apa yang gue suka. Suka-suka gue dunkz.” Logikanya, kalau dia mau konsisten sebagai penganut anti peraturan, ia tidak perlu mengeluarkan pernyataan itu, karena dengan mengeluarkan pernyataan itu, itu sudah membuktikan bahwa dia sedang “mengatur” orang lain agar orang lain tidak mengatur dirinya. Dan lagi biasanya, orang yang anti peraturan enggan dirinya diatur, tetapi gemar mengatur orang lain. Itu lebih aneh


Karena banyak generasi muda yang menganut paham anti peraturan, maka demi mendidik mereka, banyak generasi tua yang memberlakukan peraturan dengan ketat, bahkan yang ekstrem dapat disebut: legalisme. Motivasi dan tujuan mereka baik yaitu untuk mendidik generasi muda, namun sayangnya cara yang mereka terapkan pada generasi muda itu tidak benar yaitu dengan memberlakukan peraturan yang ketat dan membelenggu. Beberapa ciri yang muncul:

Pertama, peraturan = iman. Jika para penganut konsep anti peraturan masa bodoh dengan iman, maka para penganut legalisme kebanyakan bahkan mengidentikkan iman mereka dengan peraturan. Artinya, mereka sangat peduli dengan iman, namun iman mereka bukan iman yang hidup, tetapi iman yang mati. Mengapa? Karena mereka menganggap iman identik dengan peraturan atau tata cara religius yang harus diikuti, seperti: kebaktian rutin setiap hari Minggu, saat teduh, berdoa, menyanyi, dll. Atau mungkin juga, mereka mengidentikkan iman dengan peraturan theologi yang baku dan kaku yang seolah-olah diambil dari Alkitab (mungkin ada yang benar-benar dari Alkitab, ada juga bagian Alkitab yang ditafsirkan secara subjektif). Hal ini mirip seperti kelakuan orang Farisi yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sebagai orang munafik di Matius 23. Mereka adalah orang yang mempelajari dan menghafal Taurat sebagai peraturan agamawi yang menancap di pikiran mereka, tetapi hati dan perbuatan mereka kosong.

Kedua, tradisi dan hal-hal kuno = kebenaran. Jika para penganut konsep anti peraturan sangat anti dengan tradisi, maka para penganut legalisme ini sangat memberhalakan tradisi. Di dalam Kekristenan, hal ini ditandai dengan beberapa aliran/gereja Kristen yang terlalu menekankan lagu-lagu rohani himne dan membuang hampir semua lagu rohani kontemporer dengan alasan lagu-lagu rohani himne itu bersejarah. Meskipun harus diakui hal ini ada benarnya bahwa banyak lagu rohani himne lebih bermutu ketimbang banyak lagu rohani kontemporer, tetapi hal ini hendaklah tidak menjadi suatu kesombongan tersendiri, lalu menutup cara kerja Allah menginspirasi beberapa penyanyi rohani kontemporer, apalagi menganggapnya sebagai “sampah”. Mungkin ada gereja pengagum lagu rohani himne yang mengizinkan lagu-lagu rohani kontemporer, namun lagu yang dinyanyikan hanya itu-itu saja, seperti kekurangan bahan lagu! Ada juga tipe gereja Kristen yang karena terlalu memberhalakan tradisi gerejawi, semua kebaktian gerejanya harus menggunakan liturgi, hampir tidak ada ekspresi dalam ibadahnya. Mereka menjadikan jemaatnya seperti robot hidup yang hanya tinggal menyanyi, mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli, duduk mendengarkan khotbah, lalu pulang. Diberhalakannya tradisi juga ditandai dengan beberapa (atau banyak?) generasi tua (bahkan yang mengaku “Kristen”) mendidik anaknya untuk menaati orangtuanya 100% tanpa kompromi. Mereka masa bodoh dengan Allah dan panggilan-Nya yang unik bagi setiap anak, yang terpenting bagi mereka adalah kehendak dan keinginan orangtua yang harus dipenuhi oleh si anak, jika tidak, si anak pasti dicap bu hao (tidak patuh). Beberapa orangtua mewajibkan anaknya ikut sembahyang di depan foto kakek dan neneknya yang meninggal, meskipun si anak sudah menjadi Kristen.

Para penganut legalisme meskipun secara motivasi itu baik, namun secara tidak sadar mereka memberhalakan peraturan dengan mengidentikkannya sebagai kebenaran dan Allah yang harus disembah. Selain itu, saya jamin beberapa dari mereka yang memberlakukan peraturan secara ketat tidak akan pernah bisa konsisten dengan peraturan yang dibuatnya. Dimulai dari perilaku orang Farisi dan ahli Taurat yang suka menuding orang lain berbuat dosa, seperti membunuh, namun mereka tidak sadar bahwa mereka sendiri telah membunuh Anak Allah yang Mahatinggi, yaitu Tuhan Yesus dan berusaha melenyapkan para pengikut Kristus, mulai dari Paulus, dll. Lalu, ada beberapa orangtua yang ketat memberlakukan peraturan kepada anaknya, namun dia sendiri tidak menjadi teladan bagi anaknya. Contoh, di dalam acara reality show Uya Memang Kuya tanggal 16 Maret 2011, seorang ibu melarang anak perempuannya menggunakan rok mini, namun ibunya sendiri pernah menggunakan rok mini meskipun jarang. Saya mengerti maksud ibu ini tentu saja baik, namun peraturan itu seharusnya menjadi peraturan bagi dirinya sendiri terlebih dahulu.




IMAN KRISTEN YANG SEIMBANG TERHADAP PERATURAN
Jika dunia kita dan beberapa orang Kristen terjebak ke dalam 2 titik ekstrem: antinomianisme dan legalisme, maka bagaimana pandangan iman Kristen yang seimbang terhadap peraturan? Mari kita kembali ke Ulangan 6:4-7.

Di Ulangan 6:4, Allah mengajar umat-Nya, Israel tentang iman kepercayaan mereka yang benar, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Ayat ini sering disebut sebagai shema, karena bahasa Ibrani dari kata “dengarlah” dalam ayat ini adalah shâma‛. Pernyataan/pengakuan iman (=kredo) ini dilanjutkan dengan firman Allah, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (ay. 5) Kredo mengakibatkan seorang percaya bukan hanya menghafal kredo, namun juga mengerti artinya yaitu dengan mengasihi Allah yang membuat dan menjadi inti dari kredo itu. Inilah yang membedakan Kekristenan berbeda dari semua agama. Jika semua agama percaya adanya Tuhan, mereka akan mengajar umatnya untuk takut akan Dia, tanpa ada perintah untuk mengasihi-Nya. Kekristenan mengajar: kepercayaan mengakibatkan tindakan mengasihi yang dipercaya. Cukupkah sampai di sini? TIDAK. Di ayat 6-7, Allah berfirman, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Berarti Allah ingin mereka yang mengasihi-Nya juga adalah mereka yang menerapkan peraturan agar keturunannya mengasihi Allah juga.

Dari Ulangan 6:4-7, kita belajar beberapa poin penting:
Pertama, peraturan sejati berasal dari Allah. Ketika kita membaca ulang Ulangan 6:4-7, maka urutannya menjadi jelas: kredo mengakibatkan kasih dan kasih mengakibatkan peraturan. Dengan kata lain, peraturan sejati dan benar hanya berasal dari otoritas tertinggi alam semesta, yaitu Allah. Lebih tajam lagi, Allah berada di atas peraturan! Peraturan mana pun dan dari siapa pun harus diuji oleh Allah dan firman-Nya. Peraturan yang tidak melawan firman-Nya sajalah yang patut dijalankan, sedangkan peraturan yang melawan firman-Nya TIDAK patut dijalankan, meskipun pembuat peraturan itu mengklaim memiliki otoritas tinggi! Selain itu, orang Kristen, kita harus sanggup memisahkan mana peraturan yang mutlak vs peraturan yang relatif. Peraturan yang mutlak yang sesuai dengan Alkitab tentu harus kita ikuti, misalnya sopan santun, etika: jangan melakukan free-sex sebelum menikah, dll, sedangkan peraturan relatif yang bersifat subjektif, misalnya perbedaan selera musik atau perbedaan prinsip sepele jangan dibesar-besarkan, lalu dijadikan baku dan kaku! Bersikaplah tegas dalam hal-hal mutlak, namun hargailah orang lain dalam hal-hal relatif. Itulah salah satu ciri orang yang bijaksana.

Kedua, peraturan sejati timbul dari kasih. Sebelum berfirman kepada Israel agar Israel mengajar anak-anak mereka, maka di ayat 5, Allah berfirman kepada Israel agar mereka mengasihi Allah. Dengan kata lain, peraturan timbul dari kasih. Jika seorang tidak memiliki hati yang mengasihi Allah, maka ia juga tidak rindu ingin menyenangkan-Nya dengan mematuhi apa yang diperintahkan-Nya. Inilah bedanya Kekristenan dengan agama lain. Jika agama lain mengajarkan perintah-perintah agama harus dijalani tanpa adanya kasih, maka Kekristenan mengajarkan kasih terlebih dahulu baru ada perintah. Hal ini pertama kali berlaku pada Allah sendiri. Allah yang memberi perintah adalah Allah yang terlebih dahulu telah mengasihi umat-Nya. Allah yang memberi sepuluh perintah (Dasa Titah) kepada Israel adalah Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi Israel dengan melepaskan mereka dari perbudakan di Mesir (Kel. 20:2). Allah yang menuntut kita untuk mengasihi-Nya adalah Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi kita dengan mengutus Kristus untuk disalib demi menebus dosa-dosa kita. Hal yang sama Ia tuntut dari kita bahwa kita pun harus menaati firman-Nya setelah kita benar-benar mengasihi-Nya dengan tulus. Allah ingin agar ketika kita menaati firman-Nya, kita tidak melakukannya dengan terpaksa, tetapi dengan kerelaan hati karena hati kita benar-benar mengasihi-Nya. Hal yang sama seharusnya kita terapkan tatkala orangtua ingin memberi perintah kepada anaknya. Ketika orangtua memberi perintah kepada anaknya hendaknya tidak dengan membentak atau mengomeli atau mengindoktrinasi, namun dengan motivasi tulus ingin mengasihi anak dan menginginkan anak juga mengasihi orangtuanya. Orangtua yang terlalu banyak memberikan peraturan kepada anaknya bahkan sampai detail sejujurnya bukan mengakibatkan anaknya makin taat dengan tulus, tetapi justru mengakibatkan anaknya taat dengan terpaksa. Apa gunanya seorang anak yang taat kepada orangtuanya namun dengan terpaksa? Jika Anda sebagai orangtua ingin anak Anda menaati Anda karena benar-benar mengasihi Anda, ajarlah anak Anda dengan peraturan, namun juga beri kelonggaran kepada mereka dan berkomunikasilah dengan mereka untuk mengerti dunia mereka. Jangan menuntut anak-anak Anda untuk HANYA mengerti kondisi Anda! Teladanilah pola Allah mendidik anak-anak-Nya. Allah menggembleng mereka, namun juga mengasihi mereka sambil mengerti kondisi umat-Nya, sehingga Ia mengutus Roh Kudus untuk memimpin hidup mereka, karena Allah mengetahui bahwa tanpa bantuan Roh Kudus, umat-Nya tak akan sanggup dengan sendirinya menaati firman-Nya.




KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih terjebak ke dalam dualisme ekstrem yang anti peraturan dan memberhalakan peraturan? Kekristenan yang Alkitabiah tampil memberikan satu-satunya jalan keluar yang jitu yaitu menempatkan Allah di atas peraturan dan kasih di atas peraturan! Biarlah kita bukan hanya berteori mengerti hal ini, tetapi kita juga berkomitmen menjalankannya dengan pertolongan Roh Kudus. Amin. Soli DEO Gloria.

12 March 2011

ADA APA DI BALIK SEMANGAT EMANG GUE PIKIRIN (EGP)? (Denny Teguh Sutandio)

ADA APA DI BALIK SEMANGAT EGP?

oleh: Denny Teguh Sutandio




Selamat datang ke dalam zaman EGP (emang gue pikirin), sebuah zaman yang diracuni oleh semangat pragmatisme yang berpengaruh pada cuek-isme. Jika diperhatikan, maka semangat EGP sebenarnya mayoritas dianut oleh generasi muda, meskipun juga bisa dianut oleh generasi tua (tidak peduli “Kristen” atau non-Kristen). Beberapa semboyan zaman EGP yang kerap kali muncul adalah: “muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk sorga”, “suka-suka gue dunkz, gak usah ngatur-ngatur gue…”, dll. Semangat EGP identik dengan semangat cuek. Mengapa ada orang EGP? Karena:
Pertama, kompleksitas zaman. Harus disadari, zaman kita makin lama makin kompleks dengan berbagai macam masalah yang tak kunjung selesai. Makin kompleksnya zaman mengakibatkan banyak orang makin stres dan akhirnya masa bodoh dengan zaman yang dihidupinya. Namun apakah dengan kompleksitas zaman harus mengakibatkan semangat cuek-isme?? Apakah dengan cuek, masalah dunia makin beres atau makin tidak beres?
Kedua, karakter cuek. Secara khusus, penyebab orang EGP alias cuek adalah memang orang itu berkarakter cuek. Ia cuek dengan siapa dan apa pun bahkan pasangannya sendiri. Jangan heran, banyak orang berkarakter cuek HAMPIR TIDAK bisa membedakan mana yang mutlak vs relatif, mana yang sopan vs tidak sopan, mana yang penting vs tidak penting. Yang banyak orang cuek kerjakan adalah apa yang menurut kemauannya itu “baik”, tanpa mempedulikan perasaan orang lain.


Lalu, apa yang menjadi ciri orang EGP alias cuek?
Pertama, “saya adalah kebenaran.” Tesis dasar (presuposisi) banyak orang cuek adalah dirinya adalah kebenaran. Karena menganggap bahwa dirinya adalah kebenaran, maka semua konsepnya adalah (standar) kebenaran. Semua konsep dari orang lain yang bertentangan dengan dirinya kebanyakan tidak akan dia terima. Jika ditegur, orang ini akan mengeluarkan modal dasarnya, “pokoknya…” atau “aq sudah biasa gitu.” Beberapa (atau mungkin banyak?) orang ini (misalnya: A) akan marah jika orang lain (misalnya: B) membandingkan A dengan orang lain (misalnya: C, D, E, F, dll), lalu mengatakan kepada B bahwa B itu tidak percaya dengan A. Sejujurnya, saya akan mengatakan kepada A bahwa A dan konsepnya itu bukan kebenaran, sehingga saya TIDAK perlu percaya pada (konsep) si A siapa pun A itu! Di dalam iman Kristen yang beres, kebenaran sejati (Truth) HANYA ada pada diri Allah dan firman-Nya, Alkitab.

Kedua, egoisme. Karena ber“iman” pada konsep “saya adalah kebenaran”, maka tidak heran, seorang EGP/cuek juga adalah seorang yang egois (meskipun seorang egois TIDAK harus identik dengan orang EGP/cuek)! Ia mau semua orang mengerti dirinya, bahkan pasangannya pun dia paksa untuk mengerti dirinya dan harus sabar menghadapi dirinya. Ia mau agar orang lain atau pasangannya memenuhi semua keinginannya tanpa memperhatikan kondisi/keadaan pasangannya (meskipun secara perkataan, ia katanya peduli dengan kondisi pasangannya), namun sebaliknya, kebanyakan ia enggan memenuhi keinginan pasangannya (selama itu tidak melawan Alkitab) dengan berbagai macam alasan.

Ketiga, tidak pernah introspeksi diri. Karena berjiwa egois, maka tidak heran, seorang EGP juga adalah orang yang selalu menuntut orang lain agar orang lain tidak berbuat X/Y, namun secara (tidak) sadar, ia tidak pernah mengintrospeksi diri apa yang dia tuduhkan kepada orang lain. Contoh, apabila dia mengkritik orang lain sebagai orang kaku/aneh, dia TIDAK pernah menyadari bahwa ada kelakuannya sendiri yang kaku/aneh.

Keempat, kebebasan. Karena berjiwa egois, maka tidak heran, yang selalu didengungkan oleh seorang EGP adalah KEBEBASAN. Ia ingin bebas dan tidak mau seorang pun yang boleh mengatur atau menegur dirinya. Ketika orang lain menegur dirinya, ia akan langsung menganggapnya sebagai peraturan yang membelenggu dan mencap orang lain itu cerewet. Ia hanya mau ditegur/dikritik orang lain, jika ia meminta pertimbangan dari orang lain, namun jika ia tidak meminta pertimbangan dari orang lain, orang lain disuruhnya DIAM. Dengan kata lain, bagi seorang EGP, orang lain, apalagi pasangannya, dianggap eksis hanya jika ia menganggapnya eksis, namun jika ia tidak menganggap orang lain eksis, maka orang lain itu tidak eksis. Sebuah kekonyolan cara berpikir! Selain itu, seorang EGP (tidak semua) juga tidak memiliki etika. Contoh, karena egois, atas nama “hak asasi”, maka seorang EGP akan menggunakan pakaian sesuka hatinya ketika pergi ke gereja (perkataan yang sering muncul: “suka-suka gue kan, ini baju, baju gue, bukan baju lu”). Ia tidak bisa membedakan mana yang harus sopan menghadap Tuhan di gereja vs mana yang tidak sopan. Tanpa merasa bersalah, ia akan jalan mondar-mandir selama khotbah di gereja diberitakan.

Kelima, argumentasinya lemah. Karena mendewakan kebebasan, maka dapat ditebak ketika seorang EGP mengeluarkan suatu perkataan atau argumentasi, mayoritas argumentasinya lemah atau tidak bisa dipertanggungjawabkan keobjektifannya, karena argumentasinya keluar dari standar subjektif yang tidak jelas.

Keenam, tidak konsisten (berkontradiksi dengan dirinya sendiri). Karena standar seorang EGP tidak jelas dan subjektif, maka tidak heran, seorang EGP tidak konsisten antara dirinya dengan konsepnya sendiri (satu-satunya yang “konsisten” dalam konsep seorang EGP adalah fakta bahwa dirinya tidak pernah bisa konsisten, hahaha). Ya, itulah kekontradiksian seorang EGP. Contoh, standar gurauan vs serius di dalam seorang EGP pun tidak jelas dan tidak konsisten. Kalau orang lain bertanya dan memberi nasihat serius kepada seorang EGP, seorang EGP pernah menjawabnya dengan gurauan, namun sebaliknya jika seorang EGP bertanya serius kepada orang lain dan orang lain menjawabnya dengan gurauan, orang lain itu akan dicap oleh orang EGP sebagai orang aneh.


Jika dilihat dari 6 ciri orang EGP di atas, maka sejujurnya susah berdiskusi dengan orang EGP, karena yang di“iman”i oleh seorang EGP adalah dirinya sendiri, meskipun seorang EGP itu mengaku diri seorang “Kristen.” Karena beriman pada diri, maka orang Kristen yang lebih bijak akan menganggap seorang EGP adalah orang yang memiliki konsep yang berkontradiksi dengan dirinya dan itu perlu dikasihani. Yang paling mengasihankan adalah jika seorang EGP itu adalah seorang “Kristen” yang seolah-olah terlihat religius, seperti: rajin mengikuti kebaktian, memberi persepuluhan, mengikuti acara/seminar rohani, saat teduh, dll, namun ketika ditegur oleh orang lain untuk hal-hal penting, selalu dalihnya, “aq sudah biasa gitu” atau “itu hal sepele” (terkadang memang ada yang sepele, terkadang ada yang penting dianggap sepele). Bagaimana orang Kristen berhadapan dengan orang (“Kristen”) EGP?

Pertama, tentukan standar kebenaran bagi diri kita sendiri. Presuposisi dasar kita untuk menghadapi/berdiskusi atau memberitakan Injil kepada orang EGP adalah kita TIDAK boleh menganggap standar seorang EGP adalah standar kebenaran! Mengapa? Karena sekali kita menganggap standar seorang EGP sebagai standar kebenaran, kita akan dibuatnya bingung, karena standar seorang EGP tidak pernah bisa konsisten! Ingatlah, standar kebenaran sejati bagi orang Kristen adalah Alkitab! Hal-hal yang tidak dibicarakan oleh Alkitab, kita bisa menimbanya dari bijaksana orang Kristen yang berhikmat dan sungguh-sungguh berIMAN Kristen.

Kedua, tunjukkan standar kebenaran. Jika orang EGP itu adalah orang “Kristen”, maka tunjukkanlah kepadanya bahwa iman yang sejati adalah iman yang berpaut pada kebenaran mutlak yaitu Alkitab. Segala sesuatu harus diuji berdasarkan Alkitab. Di luar itu, tidak ada yang benar. Sedangkan jika orang EGP itu bukan orang “Kristen”, maka tugas orang Kristen menyadarkan orang EGP itu bahwa jika semua orang memiliki standar masing-masing, maka dunia pasti kacau. Berikan ilustrasi atau contoh praktis kepada mereka, jika semua orang memiliki standar masing-masing, maka lalu lintas pasti kacau, karena bagi X, lampu hijau berarti berhenti, sedangkan bagi Y, lampu hijau berarti jalan.

Ketiga, tunjukkan kekontradiksian mereka. Karena seorang EGP adalah seorang yang mayoritas berargumentasi lemah dan berkontradiksi dengan dirinya sendiri, maka tunjukkan kelemahan dan kekontradiksian konsep mereka dengan memakai konsep mereka untuk menilai perbuatan mereka sendiri. Misalnya, jika ada orang EGP yang mengatakan kita aneh/kaku, perhatikan sikap orang EGP tersebut, pasti ada yang kaku/aneh, dan sadarkan dia bahwa apa yang dia katakan kepada orang lain sebenarnya merefleksikan kelemahannya dia sendiri! Contoh kedua, jika ada orang EGP yang berkata: “suka-suka gue dunkz mau berbuat apa”, jawablah dia, “suka-suka gue juga dunkz untuk tidak setuju dengan lu.” Kalau hasilnya, seorang EGP marah, maka itu membuktikan dia bukan penganut EGP sejati! Seorang EGP sejati adalah seorang yang juga CUEK jika ada orang yang tidak setuju dengan konsepnya.


Bagaimana dengan kita? Masihkah kita yang mengaku diri “Kristen” bahkan tampak religius masih berpegang pada semboyan EGP? Apakah kita berhadapan dengan orang EGP bahkan yang mengaku diri “Kristen”? Apa pun situasi kita, biarlah fokus iman kita hanya pada Kristus dan bukan pada diri. Amin. Soli DEO Gloria.

10 March 2011

Book Description-115: THE CHRISTIAN ATHEIST (Rev. Craig Groeschel, M.Div.)

...Get it now...





Book
THE CHRISTIAN ATHEIST:
Believing in God but Living as If He Doesn’t Exist


oleh: Rev. Craig Groeschel, M.Div.

Publisher: Zondervan, 2010





Simple description from Denny Teguh Sutandio:
What is Christianity? Christianity is the followers of Jesus Christ who obey what Christ commands to them in Holy Bible. But, unfortunately, we often look some Christians’ life is not according to Christ’s commands. Rev. Craig Groeschel, M.Div. names those Christians: the Christian Atheist, who is a Christian who believes in God in his/her belief, but in daily life, he/she rejects Him as God. So, what are the characteristics of Christian Atheist? Rev. Craig Groeschel, M.Div. explains 12 characteristics:
1. When You Believe in God, but Don’t Really Know Him
2. When You Believe in God, but Are Ashamed of Your Past
3. When You Believe in God, but Aren’t Sure He Loves You
4. When You Believe in God, but Not in Prayer
5. When You Believe in God, but Don’t Think He’s Fair
6. When You Believe in God, but Won’t Forgive
7. When You Believe in God, but Don’t Think You Can Change
8. When You Believe in God, but Still Worry All the Time
9. When You Believe in God, but Pursue Happiness at Any Cost
10. When You Believe in God, but Trust More in Money
11. When You Believe in God, but Don’t Share Your Faith
12. When You Believe in God, but Not in His Church
In each characteristic, he gave his previous experience as a model so that we can learn from him honestly. Then, he repents from those sins and returns to God. Those characteristics lead us to final conclusion of Rev. Groschel’s book, that is: Third Line Faith step by step: I believe in God and the gospel of Christ enough to benefit from it; I believe in God and Christ’s gospel enough to contribute comfortably; and I believe in God and Christ’s gospel enough to give my life to it. The earlier/first step is the lowest step and the last/final step is the “highest” step. So, in which step are we now in? Rev. Groeschel leads us to come to the true Christianity which believe God in faith and life, so that we can glorify God in our life.





Endorsement:
“The thing I’ve always appreciated about Craig is his willingness to be honest when his life doesn’t match up with the Scripture. Too many people are quick to make excuses for themselves and others who call themselves “Christian.” Craig challenges us to think deeply, honestly, and fearfully about how our lives may be contradicting our message.”
Rev. Francis Chan, M.Div.
(Pastor of Cornerstone Community Church in Simi Valley, CA and author “Crazy Love”; Bachelor of Arts—B.A. from Master’s College and Master of Divinity—M.Div. from Master’s Seminary)

“In The Christian Atheist, Craig leverages transparency to force the rest of us to take an honest look at the contrast between how we live and what we claim to believe. Craig’s vulnerability, coupled with his fresh insights, will move you to begin realigning behavior with beliefs.”
Rev. Charles Andrew (Andy) Stanley
(Senior pastor of North Point Community Church, Buckhead Church, Browns Bridge Community Church and a son of Rev. Dr. Charles F. Stanley; bachelor’s degree of journalism from Georgia State University and a master’s degree from Dallas Theological Seminary)

“Craig Groeschel is a brilliant communicator and a gift to the church worldwide. He has a way of saying the things we are all thinking with an approachable authority that resonates with the ups and downs of our daily walk with God. Craig’s genuine heart to see your life’s journey flourish, and his honest perspective on personal experiences, will quietly convict your heart and encourage your soul.”
Rev. Brian Houston
(Senior Pastor of Hillsong Church)

“There are too many Christian atheists in the church today, and through this book, Craig challenges the genuineness of faith in the life of the self-proclaimed ‘believer.’ The Christian Atheist will cause you to move from head knowledge to heart knowledge. This is a must-read for every Christian.”
Pastor Jentezen Franklin
(Senior Pastor of Free Chapel in Gainesville, Georgia and Free Chapel OC (Orange County) in Irvine, California.; New York Times bestselling author of Fasting)

“Church people always talk about ‘Christians’ and ‘non-Christians,’ but nobody ever talks about the people in-between. Most of the men and women I talk to every day fall into that middle ground, the group that believes in God but lives like he’s not there, doesn’t care, or doesn’t matter. In The Christian Atheist, Pastor Craig Groeschel hits this audience head-on, opening up about his own doubts and fears, while setting the table for hundreds of life-changing discussions about who God is and how he operates.”
Dave Ramsey

“Craig’s insights and candor combine to make this book a true gift to ‘atheists’ of all kinds!”
Rev. William (Bill) Hybels, D.D. (HC)
(Senior Pastor of Willow Creek Community Church, and chairman of board, Willow Creek Association; Bachelor in Biblical Studies from Trinity International University (TIU), near Chicago and honorary Doctor of Divinity—D.D. from TIU’s Trinity Evangelical Divinity School, U.S.A.)

“The Christian Atheist will challenge you, push you, and disturb you. It will redefine our sense of purpose and focus as Christians. Every Christian today needs to read this book. Craig’s gut-level honesty is refreshing and will help move you towards a life that is fully devoted to Christ. Too many of us live lives that don’t truly reflect who we are as followers of Christ. But the good news is we can change. True Christianity awaits us. And Craig provides a practical prescription on how to get there.”
Brad Lomenick
(President of Catalyst)






Biography of Rev. Craig Groeschel, M.Div.:
Rev. Craig Groeschel, M.Div. is the founding and senior pastor of Life Church, a pace-setting multi-campus church, with over eighty weekly worship experiences in fourteen locations, including an online campus. He pursued Master of Divinity (M.Div.) from Phillips Theological Seminary, U.S.A. Craig, his wife, Amy, and their six children live in the Edmond, Oklahoma, area where Life Church began in 1996. Craig is author of It, Chazown, Going All the Way, and Confessions of a Pastor.

09 March 2011

TUHAN MELIHAT HATI (Denny Teguh Sutandio)

TUHAN MELIHAT HATI

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
(1Sam. 16:7b)




Kitab 1 Samuel 16 sedang berbicara tentang pengangkatan Daud sebagai raja. Di ayat 1 diawali dengan Tuhan yang tidak menghendaki Saul menjadi raja atas Israel (Saul dibiarkan Tuhan memimpin Israel karena Israel memberontak dipimpin oleh Allah—bdk. 1Sam. 8:1-22). Sebenarnya penyesalan Tuhan atas diangkatnya Saul sudah dapat dilihat ketika Saul tidak menaati firman Tuhan (bdk. 1Sam. 15:1-10). Sebagai ganti Saul, maka Tuhan menyuruh Samuel untuk pergi kepada Isai, orang Betlehem untuk mengurapi salah satu dari anak Isai (1Sam. 16:1b) dan supaya Saul tidak marah dan membunuh Samuel, maka Tuhan menyuruh Samuel untuk mengadakan upacara pengorbanan (ay. 2-3). Di saat itulah, Samuel mengundang Isai dan semua anaknya. Ketika anak sulung Isai, Eliab muncul di hadapan Samuel, Samuel dengan cepat menganggap bahwa inilah yang dipilih Tuhan. Mengapa? Karena Samuel melihat Eliab itu tampan dan tinggi. Namun, apa jawab Tuhan? Di ayat 7, Ia berfirman kepada Samuel, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” Kemudian dilanjutkan dengan anak kedua, ketiga, dst, dan ketika anak ketujuh Isai yang bernama Daud (bdk. 1Taw. 2:15) muncul di hadapan Samuel (setelah dipanggil pulang oleh Isai), maka Tuhan menjatuhkan pilihan kepadanya (ay. 12). Dari ayat 7 ini (dan juga nantinya alasan Tuhan memilih Daud menjadi raja Israel menggantikan Saul), kita belajar 2 prinsip penting:
Pertama, Tuhan menolak hal-hal lahiriah (ay. 7a). Hal-hal lahiriah adalah apa yang dipandang baik dan menawan di mata manusia, misalnya: kaya, tampan/cantik, pandai, dermawan, bahkan tampak religius, dll. Dan uniknya, Tuhan menolaknya. Prinsip ini secara konsisten diterapkan oleh Allah sendiri di seluruh Alkitab. Di dalam Perjanjian Lama, Tuhan berfirman kepada umat Israel melalui nabi Amos, “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Am. 5:21-24) Di dalam Perjanjian Baru, ketika hendak memilih para murid, Kristus sendiri TIDAK memilih murid dari kalangan Farisi, tetapi justru dari nelayan (Mat. 4:18-22). Bahkan di dalam 1 Korintus 1:19 yang mengutip Yesaya 29:14, Tuhan melalui Paulus mengajar, “Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.” Bahkan lebih tajam lagi di 1 Korintus 1:25, Paulus mengatakan, “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” Dari sini, kita belajar perspektif Allah jauh lebih tinggi dari perspektif manusia, meskipun seolah-olah perspektif Allah itu terlihat “bodoh.”
Jika Tuhan menolak hal-hal lahiriah, mengapa di ayat 12, Tuhan sendiri akhirnya memilih Daud yang parasnya elok? Apakah Allah tidak konsisten? TIDAK. Tuhan menolak hal-hal lahiriah, karena:

Kedua, Tuhan melihat hati, sedangkan manusia melihat apa yang di depan mata (ay. 7b). Dengan kata lain, alasan Tuhan menolak hal-hal lahiriah bukan karena Dia tidak menyukai sama sekali hal-hal lahiriah, tetapi Tuhan lebih melihat hati. Meskipun Daud secara paras elok, namun hati Daud itu tulus.


Sekarang, yang menjadi pertanyaannya, mengapa Tuhan melihat hati? Saya menemukan dua alasan:
Pertama, hati adalah inti dan totalitas hidup Kristen. Ketika Tuhan melihat hati, itu berarti Tuhan melihat inti hidup Kristen di mana dari hati keluar pikiran, perkataan, dan tindakan. Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengajar hal ini sebanyak 2x. Menjawab fitnahan orang-orang Farisi, Kristus berfirman, “…yang diucapkan mulut meluap dari hati.” (Mat. 12:34b) Di Matius 15:19, menjawab pertanyaan Petrus, Kristus berfirman, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.” Berarti, ketika hati kita beres dan murni di hadapan-Nya, maka pikiran, perkataan, dan tindakan kita (secara proses) pasti beres. Selain itu, hati berbicara tentang totalitas hidup Kristen di mana kehidupan Kristen dilihat dari hati. Di Amsal 4:23, Tuhan melalui Salomo mengajar, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Dengan kata lain, ketika kita sebagai orang Kristen kurang menampakkan karakter Kristiani, terlebih dahulu, periksalah hati kita, sudahkah hati kita murni di hadapan-Nya? Setelah itu, kita baru melihat kehidupan orang lain yang juga Kristen, lalu menilai mereka. Dengan melihat hati sebagai totalitas hidup Kristen, kita TIDAK akan terkecoh dengan performa. Mengutip perkataan Pdt. Yohan Candawasa, S.Th., jika agama-agama di luar Kristen bisa dikategorikan sebagai agama performa yang menampilkan tampilan-tampilan religius (seperti: berpuasa, meditasi, dll; bahkan ada agama yang sengaja menampilkannya di depan umum supaya agamanya dihormati oleh orang beragama lain, hehehe), maka Kekristenan tampil sebagai satu-satunya AGAMA HATI. Performa memang perlu, tetapi bukan hal penting! Alangkah bahayanya jika kita sibuk mengurusi hal-hal lahiriah (bahkan secara rohani): sibuk belajar Alkitab, mengikuti pembinaan, dll, tetapi hati kita kering bahkan busuk!

Kedua, hati berbicara tentang ketulusan. Apa arti tulus?
1. Murni (tidak bercabang).
Murni berarti hidup bersih berdasarkan hati yang telah, sedang, dan akan dikuduskan Roh Kudus. Dengan kata lain, di dalam kemurnian, tidak ada maksud lain ketika berkata dan bertindak sesuatu (tidak ada tedeng aling-aling). Seorang yang hatinya murni mengatakan dan bertindak apa pun sesuai kebenaran. Namun perlu diperhatikan, mengatakan dan bertindak apa pun sesuai kebenaran TIDAK berarti harus kasar. Perhatikanlah ketika Tuhan Yesus mengkritik keras para pemimpin agama di Matius 23. Hal yang sama dilakukan Paulus ketika mengkritik Petrus di Galatia 2:11-14. Kristus dan Paulus sama-sama keras menegur dosa, namun mereka TIDAK mengeluarkan sumpah serapah yang tidak sopan.

2. Konsisten.
Seorang yang hatinya murni ditandai dengan kekonsistenan hidupnya antara hati dan pikiran, hati dan perkataan, pikiran dan tindakan, dan perkataan dan tindakan. Tidak ada kemunafikan dan sungkan-isme dalam diri seorang yang konsisten. Apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukannya sesuai dengan hatinya. Hal ini berbeda dengan orang yang munafik (orang Israel) yang Tuhan Allah jelaskan sendiri, “… bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,” (Yes. 29:13) Bangsa Israel dihakimi Tuhan sebagai bangsa yang munafik dan ini juga menjadi pelajaran berharga bagi kita sebagai orang Kristen. Acapkali banyak orang Kristen terlihat beribadah di gereja, mengikuti acara rohani, memberikan persepuluhan, dll, tetapi maafkan, semua aktivitas rohani banyak yang dilakukan BUKAN keluar dari hati yang benar-benar mencintai Tuhan dan firman-Nya, tetapi itu semua hanya rutinitas belaka untuk membuktikan bahwa mereka bertobat dan Kristen. Apakah seorang Kristen yang secara mulut berkata bahwa ia bertobat adalah sungguh-sungguh seorang petobat sejati? Belum tentu. Pertobatan sejati TIDAK dilihat dari perkataannya, tetapi dari hati: apakah sungguh-sungguh ia menomersatukan Tuhan di atas apa dan siapa pun di dunia ini? Jika seorang yang mengaku bertobat, tetapi masih menomerduakan Tuhan (dengan menomersatukan BlackBerry atau lainnya) atau bahkan menganggap Tuhan hanya sebagai ban serep yang bisa dipergunakan seenaknya sendiri, saya terus terang meragukan pertobatan orang ini. Seorang yang konsisten juga adalah seorang yang tidak sungkan. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh sungkan sama sekali, karena dalam beberapa hal, sungkan ada baiknya, namun harus disadari, juga ada buruknya. Seorang yang sungkan biasanya seorang yang kurang bisa tegas dalam bersikap, karena didasari oleh motivasi yang seolah-olah “baik” yaitu tidak ingin menyakiti perasaan orang lain! Hal ini sangat nampak pada diri banyak cewek (tidak menutup kemungkinan cowok juga) muda zaman sekarang yang karena sungkan lalu kurang bisa tegas dalam bersikap berkenaan dengan hubungan lawan jenis: sudah punya pacar, eh, masih jalan berdua dengan lawan jenis lain dengan alasan si lawan jenis tidak bertanya apakah si cewek sudah punya pacar atau belum. Bukankah seharusnya cewek beres yang sudah punya pacar bisa menyangkal diri untuk tidak jalan berdua dengan cowok lain dengan alasan apa pun? Benar-benar mengerikan generasi muda zaman sekarang!


Jika Tuhan melihat hati, lalu apa respons kita sebagai orang Kristen? Mengutip perkataan terkenal dari Dr. John Calvin, salah satu reformator besar, “cor meum tibi offero domine prompte et sincere” (my heart I offer to you Lord promptly and sincerely). Biarlah kerinduan Calvin yang mempersembahkan hatinya kepada Tuhan dengan tulus dan sungguh juga menjadi kerinduan setiap orang Kristen. Bagaimana mempersembahkan hati kita kepada Tuhan dengan tulus dan sungguh? Caranya dengan mengasihi-Nya dengan seluruh hidup kita seperti yang diajarkan baik dalam Perjanjian Lama maupun di Perjanjian Baru: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul. 6:5) dan “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat. 22:37) Dari dua ayat ini, Tuhan mengatakan hal yang sama yaitu mengasihi Tuhan Allah dimulai dari hati, berarti ketika kita hendak mempersembahkan hati kita kepada Tuhan sama dengan mulai mengasihi-Nya dengan hati kita. Bagaimana mengasihi Allah dengan hati kita?
Pertama, memiliki hati sebagai hamba. Di dalam 1 Petrus 3:15a, Tuhan melalui Rasul Petrus mengajar kita, “kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!” Memang secara konteks, Petrus mengatakan hal ini sebagai dasar agar orang Kristen nantinya dapat memberi pertanggungjawaban kepada orang lain yang meminta tanggung jawab dari kita, namun ayat ini juga dapat menjadi pelajaran berharga bagi orang Kristen agar biarlah hati kita men-Tuhan-kan Kristus. Ketika hati kita men-Tuhan-kan Kristus, berarti secara otomatis di dalam hati kita, kita menghambakan diri di bawah takhta pemerintahan Kristus. Itulah artinya memiliki hati sebagai hamba. Memiliki hati sebagai hamba berarti: Pertama, secara aktif, dengan inisiatif sendiri mempelajari firman Allah dan mengizinkan Allah dan firman-Nya memimpin dan mengoreksi hidup kita (entah itu motivasi hati, pikiran, perkataan, dan tindakan) seperti kerinduan pemazmur, “Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu. Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau… Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba.” (Mzm. 119:10-11, 36) Kedua, secara pasif, siap dikoreksi oleh orang lain ketika kita bersalah. Ketika kita bersalah dalam motivasi hati, pikiran, perkataan, dan tindakan, tentu ada orang lain (yang dekat dengan kita) yang mengoreksi kita, dan itulah saatnya bagi kita menerima teguran itu dengan bijaksana, lalu memikirkannya ulang, dan berkomitmen untuk tidak melakukan kesalahan yang sama (jika memang teguran itu benar-benar objektif). Saya tahu, secara teori, hal ini mudah dikatakan, namun biarlah Roh Kudus terus-menerus memimpin kita untuk siap ditegur dan siap berubah.

Kedua, hati memimpin pikiran, pikiran memimpin perkataan, dan perkataan memimpin tindakan. Ketika hati kita telah dimurnikan oleh Allah dan firman-Nya, maka kita tidak boleh berhenti hanya di tataran hati, sebaliknya hati kita harus memimpin seluruh hidup kita di mana:
1. Hati memimpin pikiran.
Hati yang tulus dan murni yang telah dipersembahkan kepada Allah memimpin pikiran, sehingga pikiran menjadi semakin tulus dan murni bagi Allah (bdk. Ams. 14:33). Pikiran yang tulus dan murni bukan hanya pikiran yang bersih, tetapi juga pikiran yang tajam. Semakin seseorang memiliki hati yang murni di hadapan-Nya, (secara proses) ia semakin memiliki pikiran yang tajam. Pikiran yang tajam meliputi pikiran kritis yang memikirkan hal-hal yang tak dipikirkan oleh orang dunia. Pikiran kritis tidak hanya berbicara tentang kepandaian, tetapi juga kebijaksanaan. Contoh, di dalam Perjanjian Baru, Paulus adalah seorang rasul Kristus yang memiliki hati yang murni sekaligus pikiran yang tajam yang mengerti filsafat, sehingga ia diutus Tuhan memberitakan Injil di daerah Eropa (Roma, dll). Salah satu reformator gereja dari Prancis, Dr. John Calvin yang berkomitmen menyerahkan hatinya kepada Tuhan dengan tulus dan sungguh juga merupakan sosok theolog agung yang memiliki hati yang murni sekaligus pikiran yang tajam. Biarlah kita meneladani doa dari hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong: agar kita semakin pandai (dan juga semakin bijaksana) dan semakin murni demi kemuliaan-Nya.

2. Pikiran memimpin perkataan.
Pikiran yang murni dari seorang Kristen akan memimpinnya untuk dapat berkata sesuatu yang tulus sekaligus membangun dan bermanfaat bagi orang lain khususnya untuk memuliakan-Nya. Berkata sesuatu yang tulus berarti apa pun yang dikatakannya benar-benar tulus dari hatinya, bukan berpura-pura demi menyenangkan pihak lain. Alangkah menyedihkan jika ada beberapa orang Kristen yang aktif mengikuti kebaktian dan seminar rohani ternyata seorang yang juga gemar bermulut manis demi merayu orang lain (bahasa Jawa: mbasahi lambe). Bagi saya, selain tidak tulus, orang ini juga berdusta dengan dirinya sendiri dan mendustai orang lain. Berkata hal yang membangun dan bermanfaat bagi orang lain TIDAK berarti selalu mengatakan hal-hal positif tentang dan kepada orang lain. Ketika kita perlu menegur orang lain dengan kasih (bukan dengan ancaman/tuntutan yang membelenggu), di saat itulah, kita juga membangun orang lain. Saya terus terang sedih dengan beberapa orang Kristen yang gemar belajar theologi dan hal-hal lain semata-mata hanya untuk mengisi akalnya saja, tetapi akalnya tidak pernah mengontrol perkataannya, sehingga makin belajar theologi, makin sering berdebat dengan orang lain ditambah mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan, seperti: goblok, dll.

3. Perkataan memimpin tindakan.
Sesudah perkataan kita dikuduskan oleh Roh Kudus, maka perkataan kita memimpin tindakan kita. Seorang anak Tuhan yang hatinya murni di hadapan Tuhan akan konsisten antara apa yang dikatakannya dengan apa yang dilakukannya. Ketika ia memuji Tuhan melalui pujian bahwa ia mencintai Yesus, maka secara aplikasi, ia juga berkomitmen untuk menjalankan apa yang dikatakannya melalui pujian tersebut dengan menaati apa yang Kristus ajarkan di dalam Alkitab. Ketika seseorang berkata sayang dan cinta kepada orang lain, maka hendaklah ia membuktikan apa yang dikatakannya dengan berusaha menunjukkan rasa sayang dan cinta itu, misalnya: dengan berkorban seperlunya (berkorban paling tinggi HANYA kepada Allah yang telah menyelamatkan kita), memprioritaskan seseorang yang kita sayang/cintai lebih daripada teman lain, dll. Jika kita belum berani menjalankan apa yang kita katakan, lebih baik berhentilah mengatakan sesuatu, karena, “Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.” (Mat. 12:36) Biarlah kita yang makin mencintai Tuhan, makin bertanggung jawab dalam berkata-kata dengan komitmen menjalankan apa yang kita katakan, sehingga kita bisa dipercaya oleh orang lain dan nama Tuhan dipermuliakan.


Bagaimana dengan kita? Biarlah renungan ini menyadarkan kita bahwa tatkala Tuhan melihat hati, maka biarlah Roh Kudus memampukan kita untuk meresponinya dengan mempersembahkan hati kita untuk terus-menerus dimurnikan Roh Kudus. Amin. Soli DEO Gloria.

06 March 2011

IMAN KRISTEN DAN PENGGUNAAN BLACKBERRY (Denny Teguh Sutandio)

IMAN KRISTEN DAN PENGGUNAAN BLACKBERRY:
Bagaimana Menggunakan BlackBerry dengan Tepat dan Bijaksana?


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”
(Kol. 3:23)




Kita hidup di zaman teknologi di mana banyak teknologi canggih bermunculan, salah satunya: smartphone (ponsel pintar). Mengapa disebut smartphone? Karena smartphone merupakan ponsel yang memiliki spesifikasi beraneka ragam, misalnya: chatting, menerima dan mengirim e-mail (sering disebut: push e-mail), kamera, berinternet, dll. Salah satu produk smartphone yang lagi laris di Indonesia adalah BlackBerry (BB). Menurut sejarahnya, BB diperkembangkan dan didesain oleh perusahaan Kanada yang bernama Research In Motion (RIM) sejak tahun 1999 (http://en.wikipedia.org/wiki/BlackBerry). Pada waktu itu, BB masih berbentuk seperti pager, namun sekarang model dan penyebaran BB begitu bervariasi. Di Indonesia, menurut salah satu website tentang ponsel, “Percaya atau tidak, dalam waktu dekat RI akan menjadi negara dengan pengguna ponsel pintar BlackBerry terbesar di dunia. Hingga pertengahan 2009 saja, jumlah pengguna ponsel Research in Motion (RIM) itu sudah mencapai angka 300-400 ribu pelanggan.” (http://www.mallponsel.com/blog/berita/indonesia-akan-jadi-negara-pengguna-blackberry-terbesar.html) Para pengguna BB pun bervariasi motivasi, ada yang benar-benar untuk bisnis, namun ada pula yang benar-benar untuk gengsi.

Ada apa saja di dalam BB? Karena termasuk smartphone, maka BB menawarkan beragam spesifikasi dasar, yaitu: push e-mail (menerima dan mengirim e-mail), chatting (mengobrol secara online dengan teman-teman melalui: BlackBerry Messenger—BBM, Yahoo Messenger—YM, Windows Live Messenger, AOL Instant Messenger, Google Talk, dan ICQ), social network (berinteraksi dengan teman-teman, misalnya melihat dan mengomentari status teman, dll melalui Facebook, Twitter), browsing (berselancar di dunia internet), kamera, Wi-Fi, Media Player (MP3, picture, video, dll), dll. Beberapa tipe BB terkini bahkan dilengkapi dengan GPS (seperti BB Curve 9300 3G, BB Torch 9800, dll). Keunikan lain BB adalah adanya pin BB yang merupakan kombinasi 8 digit angka dan huruf sebagai kode sebuah BB. Jika dibandingkan ponsel lain (bahkan dengan i-Phone), penggunaan internet untuk BB lebih murah. Misalnya, jika Anda menggunakan kartu Axis untuk BB Anda dan Anda berlangganan internet untuk BB selama 1 bulan tanpa batas (unlimited; artinya Anda bisa chatting, Facebook, Twitter, push e-mail, browsing, dll), Anda hanya perlu membayar Rp 79.000, 00. Tipe BB terkini yang muncul adalah: BB Bold 9780 (Onyx 2), BB Torch 9800, BB Curve 9300 3G (Gemini 3G). Namun harus disadari bahwa BB juga memiliki kekurangan jika dibandingkan ponsel lain, yaitu resolusi kamera yang paling tinggi untuk BB hanya 5 MegaPixel, sedangkan ponsel dengan merk lain bisa memiliki resolusi kamera paling tinggi: 8 MegaPixel bahkan mungkin ada yang lebih tinggi dari itu.

Namun harus disadari, sebuah teknologi, termasuk BB, pasti menuai reaksi, entah itu positif atau negatif. Reaksi negatif datang dari pemerintah Arab Saudi dan Bahrain yang menganggap BB sebagai ponsel yang mengancam keamanan negara mungkin melalui BBM, dll. Bahkan 17 Januari 2011, Menkominfo Indonesia, Tiffatul Sembiring berdialog dengan pihak RIM dan meminta RIM membuka kantornya di Indonesia dan memblokir situs porno di BB dan permintaan itu disetujui RIM. Reaksi negatif ini harus disadari oleh para pengguna BB karena BB khususnya BBM bisa berisi hal-hal positif maupun negatif (khususnya hoax alias berita-berita bohong dan konyol, misalnya: jika tidak menyebarkan BBM tertentu, RIM akan memblokir BB kita). Namun hal ini TIDAK berarti BB dipandang negatif. Logikanya, jika Menkominfo Indonesia meminta RIM memblokir situs porno di BB, apakah orang yang sama juga memblokir situs porno di ponsel lain dan di laptop/komputer? Kedua, sebelum Tiffatul mengeluarkan himbauan (atau sebenarnya pemaksaan/perintah?) untuk memblokir situs porno di BB, secara otomatis dia (atau mungkin anak buahnya) SUDAH membuka dan tentu saja melihat situs porno itu terlebih dahulu bukan untuk nantinya diblokir? Ketiga, kalau mau konsisten, jangan hanya situs porno yang diblokir, namun semua gambar, DVD, dll yang berbau porno harus diblokir, dan itu artinya masyarakat Indonesia tidak boleh menggunakan HP, telepon, BB, menonton DVD, membaca majalah, buletin, dll, karena semua itu bisa diselipi gambar/cerita porno. Akibatnya, kita menjadi masyarakat terbelakang yang kalau mau komunikasi ke orang lain menggunakan telepati saja. Ups, jangan, telepati juga bisa memuat content porno dan itu “haram” (pemblokir situs/gambar porno yang tentunya SUDAH melihat terlebih dahulu situs porno tersebut itu TIDAK haram, yang haram itu penonton sesudahnya), bukan? HeheheJ

Lalu, apa dampak penggunaan BB? Dampak positifnya yaitu membantu orang dalam berbisnis khususnya melalui push e-mail dan BBM. Kita pun bisa mendapatkan informasi lebih cepat dari teman melalui BBM tentang berita terkini, seperti banjir di Singapore, dll. Namun dampak negatifnya bahkan lebih banyak daripada dampak positifnya. Bahkan sebuah website mengemukakan 19 dampak negatif BB atau lebih dikenal dengan: AUTIS BB yang menjadikan BB sebagai ilah lain (http://gugling.com/dampak-negatif-bagi-pengguna-blackberry.html):
1. Rela disuruh antri, semakin panjang semakin tenang, gak menunjukkan gejala kekesalan sama sekali.
2. Yang tadinya ngedumel saat macet, sekarang tenaaaaang.
3. Berharap kena lampu merah berulang-ulang. Kalo lampu berubah jadi ijo malah kesel. Tetep nekad jawabin email/chatting.
4. Sering diklaksonin orang lain, sampe disaranin pasang stiker di belakang mobil “harap sabar, BlackBerry user”.
5. Waktu BAB jadi tambah lama. Padahal isinya udah kosong tapi tetep aja nongkrong.
6. Tidur miring nungguin pasangan sambil BB di tangan. Kejar target ngabisin baca email.
7. Suka senyum-senyum sendiri.
8. Gak konsen kerja.
9. Bangun pagi yang pertama dicari BB dulu bukan yang lain.
10. Waktu diajak ngobrol orang tetep maksa jawab email/chatting. Cuek. Padahal yang ngajak ngobrol itu kadang bosnya sendiri.
11. Lebih senang disupirin daripada nyetir sendiri. Rela naik busway biar gak usah nyetir.
12. Jadi jarang marah tapi jadi sering dimarahin orang karena diajak ngobrol gak nyambung.
13. Kalo di tempat umum suka panik nyari stop kontak. Batere sekarat.
14. Kalo anaknya rewel langsung nunjukkin BBnya buat menghibur.
15. Sering lupa mencet tombol lift. Harusnya naik malah turun. Belum lagi kebablasan lantainya.
16. Kalo ngantri di bank pake nomor antrian, pas dipanggil di speaker gak denger. Pas kepala liat monitor kaget. Waks! Harus ambil antrian ulang. Tapi tetep tenaaaaang.
17. Langganan koran dan majalah masih tertumpuk rapi tak terbaca.
18. Sering kejedug karena kalo jalan mata tertuju ke layar BB.
19. Bikin tangan ga pernah kosong. Walaupun ga chatting, tetep aja BB di tangan! Gak bisa taruh di kantong, tas.. uda settingannya gitu. BB kejait di tangan.

Saya menambahkan dampak negatif lainnya dari BB:
1. Waktu khotbah di gereja disampaikan, bukan asyik mendengarkan khotbah, malahan asyik BBMan dengan teman atau alasan lain: urusan bisnis. Bisnis lebih penting daripada mendengarkan khotbah!
2. Waktu ngedate dengan gebetan atau pacar, bukan asyik ngobrol berdua, malah sibuk membalas BBM dari teman/saudara yang hanya bertanya, “lagi ngapain?” atau BBM untuk urusan bisnis lagi, cape dechJ Bisnis lebih penting daripada cewek/cowoknya!
3. Waktu ada teman berkunjung ke rumah, bukan fokus ngobrol, eh, malah asyik BBMan sambil mata tertuju pada temannya, tetapi pas diajak ngobrol, apa yang dikatakan teman selalu gak didengerin dan selalu minta diulang, hehehe (lemot mikir)J.

Jika BB memiliki lebih banyak dampak negatif, lalu bagaimana sikap orang Kristen? Beberapa orang termasuk orang Kristen bersikap ekstrem dengan melarang penggunaan BB sama sekali. Sikap ini TIDAK bijaksana, melainkan sikap paranoid dan kaku, bahkan mungkin tidak konsisten. Ambil contoh, saya pernah membaca kisah seorang selebritis berkaitan dengan penggunaan BB di halaman Deteksi di surat kabar Jawa Pos. Selebritis itu mengaku ketika membuka BB dan asyik BBMan, dia sering gak konsentrasi waktu diajak ngobrol dan sering menabrak orang lain dari arah yang berlawanan di mal yang juga asyik BBMan, hehehe. Nah, waktu itu, ayahnya marah-marah karena sikapnya itu. Namun anehnya, setelah ayahnya membeli BB, ternyata ayahnya yang tadi ngomel-ngomel sekarang sama autisnya dengan anaknya! HahahaJ Sehingga dia dan ayahnya sama-sama saling mengingatkan untuk tidak autis BB.

Sebagai sikap orang Kristen yang bijaksana, maka saya menyarankan BB boleh dipakai oleh orang Kristen, namun harus diwaspadai penggunaannya. Penggunaan BB oleh orang Kristen harus didahului oleh sikap hati yang ingin menyenangkan hati Tuhan dengan bertindak apa pun seperti untuk Tuhan (Kol. 3:23). Seorang Kristen yang hatinya takut dan cinta akan Tuhan dan firman-Nya, maka ia secara proses akan menggunakan BB dengan bijaksana:
1. Dahulukan Tuhan lebih daripada BB! Caranya: Pertama, biasakan awali setiap pagi kita dengan berdoa, bukan untuk membuka BB! Kedua, ketika mendengarkan khotbah di gereja/seminar rohani, sebisa mungkin, sangkal diri untuk TIDAK membuka BB sama sekali! Saya bukan hanya berteori, saya menjalankannya. Kemarin (5 Maret 2011), ketika Pdt. Dr. Stephen Tong berkhotbah di setiap sesi di Relay Surabaya Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) Keluarga 2011, saya TIDAK membuka BB saya sama sekali, baru pada waktu break, lunch, tanya jawab, dan pulang, saya baru membukanya (pada waktu acara tanya jawab pun, saya hanya 1x membuka BB). Hal ini sangat kontras dengan orang (“Kristen”) yang autis BB dan menganggap BB adalah ilah lain dalam hidupnya yang ditandai dengan sikap: Pertama, setiap pagi dia lupa berdoa, tetapi selalu ingat untuk membuka BB. Kedua, waktu mendengarkan khotbah penting, beberapa kali diselingi dengan kebiasaan buruknya membuka BB, seakan-akan kalau tidak membuka BB, tangannya GATAL! Jadi, misalnya, dalam durasi 1 jam khotbah, setiap 10 atau 15 menit, orang ini akan mengecek BBnya. Ingatlah, iblis bisa memakai BB (bukan berarti BB = produk iblis lho ya; jangan salah tafsir!) untuk mengalihkan fokus kita untuk mendengarkan teguran Tuhan di dalam khotbah. Berhati-hatilah!
2. Pergunakanlah BB untuk memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama, misalnya dengan mengirim kata-kata bijak rohani dari Alkitab maupun dari theolog/hamba Tuhan yang bertanggung jawab atau acara-acara rohani atau informasi penting lainnya (misalnya kesehatan, keamanan, dll) kepada semua teman kita TANPA memandang jenis kelamin tertentu! Tentu hal ini TIDAK berarti setiap hari kita hanya mengirim BBM rohani saja. Kita juga perlu mengirim jokes kepada teman-teman kita sebagai refreshing. Saya bukan hanya berteori, saya sendiri menjalankannya!
3. Kurangi penggunaan BB pada saat penting, misalnya: berkencan, bekerja, ngobrol dengan orangtua dan saudara, dll. Saya mengatakan “kurangi” bukan tidak boleh menggunakan BB sama sekali. Artinya “mengurangi” adalah kita boleh membuka dan menggunakan BB kita namun dengan intensitas yang jarang (misalnya hanya 2-3x saja). Bagaimana cara mengurangi penggunaan BB pada saat penting tersebut? Dengan memilah BBM/YM yang penting vs tidak penting. Jika ada BBM/YM yang sangat penting, seperti: kabar tentang salah satu anggota keluarga atau saudara seiman meninggal, maka penggunaan BB diizinkan! Namun jika ada BBM/YM dari seorang teman/saudara yang hanya bertanya hal yang gak penting, seperti: “lagi ngapain?”, tentu kita TIDAK perlu menjawabnya. Jika kita terus membalas BBM/YM yang gak penting, maka pasti terjadi komunikasi selanjutnya, dan itu akan mengalihkan fokus kita di saat penting tersebut. Coba praktikkan apa yang saya katakan, dan percayalah ketika teman kencan/pacar, orangtua, saudara yang ngobrol dengan kita, kita pasti tidak mendengarkan perkataan mereka dan kita meminta mereka mengulanginya lagi. Jangan hanya berteori saja, lakukanlah!
4. Silahkan berBB ria ketika waktu senggang, namun tentu waktu senggang TIDAK perlu dihabiskan seluruhnya hanya dengan berBB ria. Di waktu senggang, kita boleh berBB ria, namun kita juga perlu mengisinya dengan menonton TV, membaca buku, dll. Dan ketika Anda membaca buku khususnya Alkitab, taruhlah BB jauh dari tangan kita, sehingga kita dapat berkonsentrasi membaca Alkitab!
5. Ketika kita mengendarai mobil dan lama menunggu traffic light yang berwarna merah (khususnya traffic light yang menggunakan hitungan detik), tidak menjadi masalah jika kita membuka BB kita, mungkin saja ada info penting BBM dari teman kita tentang jalan yang akan kita lewati, namun sambil membaca BBM, usahakanlah mata kita juga melihat hitungan detik traffic light tersebut sambil berwaspada dengan orang di sekitar mobil kita agar kita jangan menjadi korban perampasan BB di traffic light. Jika ada orang yang melarang menggunakan BB sama sekali ketika di traffic light, saya bertanya, bagaimana jika ada teman kita yang menginformasikan BBM penting, misalnya jalan X yang akan kita lalui sebentar lagi macet/ditutup atau salah satu anggota keluarga tiba-tiba sakit keras dan meninggal di rumah sakit Y yang dekat dengan jalan yang kita lalui saat itu? Orang ini mungkin akan menjawab, kalau urusan jalan macet/ditutup, kan bisa mendengarkan radio Suara Surabaya (SS)? Pertanyaannya, apakah radio SS itu pasti memuat informasi akurat? Belum tentu, mungkin saja info SS tentang jalan X itu sepi itu dilaporkan oleh salah seorang pengemudi 15 menit yang lalu, namun sekarang sudah macet total atau mungkin saja waktu kita hendak melewati jalan X, radio SS tidak menyuarakan informasi lalu lintas, melainkan lagi memutarkan lagu atau mengadakan talkshow dengan topik lain.
6. Ketika kita diajak ngobrol oleh gebetan atau pacar atau orangtua atau saudara atau teman kita, sebisa mungkin, simpan BB kita terlebih dahulu untuk menyimak apa yang mereka bicarakan! Jika kita bersikap demikian, maka kita menghargai orang yang ngobrol dengan kita, namun jika kita malah asyik BBMan ketika kita lagi diajak ngobrol baik oleh gebetan, pacar, orangtua, atau saudara, kita sebenarnya tidak menghargai keberadaan mereka, seolah-olah mereka boleh eksis/ada atau tidak.

Seorang Kristen yang sungguh-sungguh menyerahkan hatinya untuk Tuhan pasti TIDAK menganggap keenam poin di atas merupakan hal berat atau kaku yang membelenggu, karena itu konsekuensi wajar dari seorang yang hatinya untuk Tuhan (bukan untuk BB). Namun seorang yang mengaku “Kristen”, tetapi autis BB, patut diragukan, hatinya diserahkan kepada siapa: Tuhan atau hantu?

Bagaimana dengan kita khususnya kita yang berani mengaku diri Kristen apalagi yang mengaku sudah bertobat? Benarkah kita sudah benar-benar bertobat dari autis BB? Menggunakan BB tidak menjadi masalah asalkan digunakan secara tepat pada saat yang tepat! Dan yang terpenting: biarlah kita menomersatukan Tuhan lebih daripada BB dan pergunakanlah BB untuk memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi orang lain! Maukah kita berkomitmen demikian? Meskipun itu sulit bagi kita yang masih autis BB, namun biarlah Roh Kudus memampukan kita untuk menempatkan BB berada di bawah Allah yang seharusnya kita puji dan permuliakan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.

01 March 2011

ADA APA DI BALIK SALIB?-2: Salib, Penderitaan, dan Perintah Untuk Menderita bagi Kristus (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Menjelang Jumat Agung 2011



ADA APA DI BALIK SALIB?-2:
Salib, Penderitaan, dan Perintah Untuk Menderita bagi Kristus


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”
(Mat. 16:24)




Di awal renungan Ada Apa Di Balik Salib?-1, kita telah merenungkan bahwa salib Kristus adalah bukti nyata bahwa Allah bukan hanya peduli pada penderitaan manusia, tetapi juga mengalami sendiri penderitaan terberat sepanjang zaman. Kristus disalib selain karena kehendak Allah Bapa juga karena kebebalan hati manusia yang melawan Allah. Oleh karena itulah, Ia menyadari bahwa manusia yang menyalibkan Kristus adalah manusia yang sama juga akan menyalibkan mereka yang mengikut Kristus, sehingga Ia mempersiapkan hati para murid dan mereka yang mengikut-Nya dengan berfirman, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mat. 16:24-25) Dengan kata lain, barangsiapa yang hendak mengikut Kristus, ia harus sadar bahwa karena Kristus disalib demi menebus dosa manusia, maka pengikut Kristus pun harus meneladani apa yang Kristus kerjakan, yaitu rela menderita demi nama-Nya. Penderitaan apa yang harus dialami oleh umat-Nya?


Pertama, penderitaan diri. Di dalam Matius 16:24, Tuhan Yesus mengajar kita bahwa setiap orang yang mau mengikut-Nya harus menyangkal diri. Menyangkal diri adalah penderitaan pertama kita yang harus kita tanggung. Artinya, pada saat kita memutuskan untuk mengikut Kristus, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menyerahkan hati dan seluruh kehidupan kita kepada Kristus dengan mempersilahkan Kristus bertahta sebagai Raja dan Pemilik mutlak dan tunggal hidup kita. Ketika hati kita diserahkan kepada Kristus, berarti konsekuensi logisnya adalah bukan kehendak kita yang terutama, tetapi kehendak-Nya. Itulah arti menyangkal diri! Jujur, secara teori, kita mudah mengucapkan dan mengajarkan bahwa kehendak Allah itu yang terutama, namun secara praktik hidup, kita sering kali susah menjalankannya. Mengapa? Karena sejujurnya, hati kita belum 100% diserahkan kepada Kristus. Marilah kita periksa kembali hati kita, benarkah hati kita sudah diserahkan kepada Kristus? Atau mungkin juga, keinginan duniawi dan pencobaan setan sering kali membawa kita jauh dari menghambakan diri di bawah kaki Kristus. Kita memang tidak boleh selalu menyalahkan orang lain dan pihak luar sebagai penyebab kita tidak mengikuti kehendak-Nya, tetapi tentu hal ini tidak berarti kita mengabaikan godaan luar. Kita harus peka terhadap godaan luar dengan cara TIDAK menganggap sepele setiap pencobaan. Saya teringat pada perkataan bijak dari Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. bahwa pencobaan perzinahan itu terjadi tidak langsung, tetapi pelan, namun ketika sudah terjadi, kita baru menyadarinya dan tidak bisa lepas darinya. Setelah peka akan pencobaan, maka kita memerlukan solusi terhadap pencobaan tersebut yaitu melawan pencobaan dengan iman kepada Kristus! Kristus yang mati disalib demi menebus dosa-dosa umat-Nya dan setelah itu bangkit memberikan jaminan kepastian kepada kita bahwa dengan kuasa-Nya, kita mampu mengalahkan setiap pencobaan setan!


Kedua, penderitaan hidup. Setelah menyangkal diri, Ia memerintahkan kita untuk memikul salib. Di dalam Lukas 9:23, dr. Lukas menambahkan kata “setiap hari.” Berarti, ada harga yang harus dibayar oleh pengikut Kristus setiap harinya. Ini berarti pengikut-Nya harus menderita hidup setiap hari demi mengikut-Nya. Penderitaan hidup itu bisa berupa fitnahan, penganiayaan, dll. Di dalam Perjanjian Lama, para nabi yang diutus Tuhan sudah mengalami penderitaan ini dengan tidak didengarkan perkataan Tuhan melalui mereka, bahkan mereka ada yang dibunuh. Sampai di Perjanjian Baru, Kristus yang diutus Bapa juga disalibkan, demikian juga para rasul: Paulus, Petrus, dll. Pada masa gereja mula-mula, Kekristenan dianiaya habis-habisan: dibakar hidup-hidup, diumpankan ke singa yang kelaparan, dll. Puncak penganiayaan waktu itu adalah pada zaman pemerintahan Kaisar Nero (tidak heran, Nero sekarang menjadi nama anjing, hehehe:)). Setelah itu, Kekristenan mendapat angin segar dengan diakuinya Kekristenan sebagai agama negara oleh Kaisar Konstantinus bahkan kaisar Konstantinus sendiri menjelang akhir hidupnya sungguh-sungguh menerima Kristus. Saat itulah, orang Kristen sejati (anak-anak Tuhan) kembali menderita hidup, bukan karena penderitaan fisik, tetapi karena melihat makin hari banyak orang Kristen makin hidup tidak beres dan tidak menurut Kristus. Oleh karena itulah, beberapa orang Kristen baik di Barat (Athanasius dan Benedict of Nursia) maupun Timur (Anthony) mencoba mempraktikkan hidup menderita bagi Kristus dengan mendirikan biara-biara di luar daerah perkotaan. Meskipun ada dampak positifnya, namun mereka tidak menyadari bahwa semakin sedikit orang Kristen sejati dan orang pandai di daerah perkotaan, karena mereka yang pintar dan rohani mengungsi ke biara-biara. Dari konsep biara inilah, muncullah konsep pemerintahan gereja yang terpusat yang melahirkan konsep Bishop yang dimulai di Roma. Di abad Modern, ketika Kekristenan sudah dicemari oleh filsafat Yunani dan praktik-praktik tidak beres (korupsi, dll), maka Dr. Martin Luther dibangkitkan oleh Tuhan untuk mereformasi gereja. Saat itulah, Dr. Luther harus menderita demi kebenaran dengan mengungsi ke berbagai tempat untuk menerjemahkan Alkitab dan memberitakan kebenaran firman Tuhan. Semangat Dr. Luther diteruskan oleh Ulrich Zwingli dan Dr. John Calvin.

Penderitaan orang Kristen sejati berlanjut kembali kira-kira di abad XVII-XVIII, ketika abad Pencerahan yang beridekan Rasionalisme, Empirisme, Deisme, dll sampai munculnya “theologi” liberal dari Friedrich Schleiermacher, Albert Ritschl, dll menyerang Kekristenan dari aspek rasio. Namun puji Tuhan, Ia membangkitkan para intelektual Kristen menyerang pemikiran mereka, salah satunya Dr. John Gresham Machen, dll. Dan di abad postmodern ini, kita juga melihat penderitaan hidup serupa, di mana iman Kristen mendapat perlakuan tidak baik, namun atheisme dibiarkan berkembang begitu rupa (diskriminasi iman). Di Indonesia, pembangunan gedung gereja begitu sulit dengan birokrasi yang berbelit-belit dan lama, namun pembangunan tempat ibadah agama mayoritas tidak perlu semuanya itu. Di zaman ini, ketika kita hendak menyebutkan iman Kristen di dunia perkuliahan, maka kita akan dicap aneh, sok religius, dll, bahkan tidak menutup kemungkinan dosen atau teman kita akan menceramahi kita, “agama dan sains tidak ada hubungannya.”


Ketiga, penderitaan progresif dan gabungan. Setelah memerintahkan kita untuk memikul salib, Ia memerintahkan kita untuk mengikut-Nya. Apa arti mengikut Kristus? Artinya adalah mengikut-Nya kapan dan di mana pun Dia berada sambil meneladani dan menaati apa yang difirmankan-Nya. Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. mendefinisikan mengikut Kristus dengan kata: ngintil (bahasa Jawa; artinya: seperti anak kecil yang selalu mengikut ke mana mamanya pergi). Ketika kita ngintil Kristus, kita harus menderita secara progresif dan gabungan, di mana kita harus siap menderita secara terus-menerus dengan menghadapi tantangan dan pencobaan dari luar sambil menderita secara diri yaitu dengan mengatakan TIDAK kepada kehendak kita dan selalu mengatakan YA kepada kehendak-Nya. Dengan selalu mengingat bahwa kita harus menderita terus-menerus demi Kristus, kita sadar bahwa yang sedang kita ikuti dan teladani adalah Tuhan Yesus Kristus yang adalah Raja, Allah, Pemilik, dan Juruselamat dunia. Tidak ada pendiri agama mana pun seperti Tuhan Yesus yang berhak menuntut pengikutnya menderita bagi namanya. Inilah yang membedakan Kristus dengan pendiri agama dan filsafat apa pun sekaligus menunjukkan keagungan dan kemuliaan Kristus.


Bagaimana dengan kita? Biarlah menjelang Jumat Agung, kita diingatkan kembali betapa pentingnya penderitaan Kristus di salib dan betapa harusnya kita sebagai pengikut-Nya meneladani-Nya dengan ikut menderita bagi nama-Nya demi kemuliaan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.