23 March 2011

IMAN KRISTEN DAN PERATURAN (Denny Teguh Sutandio)

IMAN KRISTEN DAN PERATURAN

oleh: Denny Teguh Sutandio




Di dunia ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kita pasti menemukan banyaknya peraturan, entah itu bersifat umum, maupun khusus. Yang bersifat umum: peraturan di lalu lintas, sekolah/kampus, mal/plaza, gereja, dll, sedangkan peraturan yang bersifat khusus: peraturan di rumah tangga, “peraturan” antar cowok dan cewek yang sedang berpacaran (atau “peraturan” suami istri). Apa itu peraturan? Apa signifikansinya? Bagaimana pandangan orang sekitar kita tentang peraturan? Bagaimana pandangan iman Kristen yang seimbang berkenaan dengan peraturan?




PERATURAN DAN SIGNIFIKANSINYA
Peraturan adalah sekumpulan pernyataan yang bersifat mengatur seseorang atau orang-orang di berbagai tempat, seperti: sekolah, rumah, gereja, dll. Karena bersifat mengatur, maka tentu si pembuat peraturan adalah otoritas yang lebih tinggi dari orang lain, entah itu: guru, kepala sekolah, orangtua, pendeta/pastur, dll. Mengapa ada peraturan? Tujuan aslinya adalah agar masyarakat menjadi tertib dan teratur. Dengan kata lain, menurut tujuan aslinya, suatu peraturan itu bersifat positif dan sosial. Namun, karena sifat dosa pada manusia, maka peraturan yang aslinya bersifat dan bertujuan positif dan sosial akhirnya dipergunakan secara tidak bertanggung jawab dengan menambahi serangkaian peraturan yang membelenggu, sehingga peraturan menjadi suatu momok yang memberatkan.




PANDANGAN ORANG SEKITAR (TERMASUK KRISTEN) TERHADAP PERATURAN
Karena dipandang memberatkan, maka banyak orang sekarang, bahkan tak terkecuali beberapa (atau banyak?) orang Kristen menjadi orang yang anti peraturan (disebut antinomianisme yang berasal dari kata Yunani: anti = melawan; nomos: peraturan). Memang sejujurnya mayoritas penganut paham ini adalah banyak generasi muda (meskipun juga bisa dianut oleh generasi tua) entah yang mengaku Kristen atau non-Kristen. Prinsip hidup mereka adalah EGP (emang gue pikirin) dengan kepercayaan bahwa saya adalah kebenaran dan penentu kebenaran. Beberapa ciri yang muncul:

Pertama, masa bodoh dengan iman. Karena berprinsip EGP, maka banyak orang (Kristen) yang anti peraturan sama sekali cuek dengan inti hidupnya yaitu iman. Baginya, iman bukan hal penting, sehingga dalam mencari pasangan hidup pun, banyak generasi muda tanpa pikir panjang mencari pasangan yang berbeda iman dengan segudang alasan, “dia lebih baik, meskipun tidak Kristen” atau “nanti kan bisa diinjili”, dll. Rupanya, orang Kristen yang gemar melayani Tuhan pun tidak luput dari gejala masa bodoh dengan iman. Tandanya adalah mereka enggan bahkan malas belajar theologi dan membaca Alkitab. Mereka tanpa berpikir kritis menerima mentah-mentah semua khotbah mimbar, sehingga ketika ada “pendeta” sesat yang tidak percaya Allah Tritunggal pun, mereka percayai dan idolakan, meskipun itu jelas-jelas melawan Alkitab! Dengan keluguan, mereka suatu saat pasti ditipu oleh ajaran sesat: Saksi Yehuwa, dll, karena mereka pun tidak mengerti apa itu Saksi Yehuwa. Benar-benar mengerikan Kekristenan zaman sekarang.

Kedua, membuang hampir semua tradisi. Karena sudah masa bodoh dengan iman, maka tidak heran, semua hal yang berbau kuno (alias jadul: jaman dulu) dibuang, termasuk tradisi. Di dalam Kekristenan, banyak generasi muda zaman sekarang membuang hampir semua tradisi gerejawi, seperti: pengakuan iman rasuli, lagu-lagu rohani berabad-abad lalu, dll dan menggantinya dengan banyak lagu rohani yang kurang bermutu. Mereka hanya mengetahui lagu-lagu Hillsong, Franky Sihombing, dll, tetapi tidak mengetahui lagu-lagu rohani gubahan Fanny J. Crosby, Charles Wesley, Horatius Bonar, dll. Dibuangnya tradisi ditandai dengan beberapa orang Kristen ekstrem yang menganggap bahwa tradisi itu semua produk setan, sehingga tidak boleh merayakan Imlek, dll. Memang harus diakui tradisi adalah produk manusia berdosa yang pasti mengandung bibit dosa (respons manusia berdosa terhadap penyataan umum Allah melalui hati nurani), namun tradisi tetap dihormati selama tradisi itu tidak melawan Alkitab.

Ketiga, membuang etika. Karena membuang tradisi, maka tentu, banyak generasi muda membuang etika, seperti sopan santun, dll. Contohnya, banyak generasi muda sekarang melakukan free-sex sebelum menikah. Bahkan ada yang memiliki pacar lebih dari 1, tanpa merasa bersalah. Ada yang mempermainkan lawan jenis dengan rayuan manis, lalu mempermainkannya dengan menjadikan lawan jenis itu supir, ATM, dll.

Paradigma anti peraturan ini tentu saja berdampak negatif, yaitu masyarakat makin kacau. Coba terapkan paradigma anti peraturan ini di lalu lintas, lalu setiap orang yang anti peraturan menafsirkan sendiri arti lampu merah (X bilang lampu merah itu artinya berhenti, Y bilang lampu merah itu artinya jalan terus), maka silahkan pikirkan sendiri apa akibatnya?

Selain itu, penganut anti peraturan juga tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Mau bukti? Biasanya penganut anti peraturan ini akan menyuarakan prinsipnya baik secara eksplisit maupun implisit, misalnya dengan perkataan, “Jangan atur-atur gue, gue ngelakuin apa yang gue suka. Suka-suka gue dunkz.” Logikanya, kalau dia mau konsisten sebagai penganut anti peraturan, ia tidak perlu mengeluarkan pernyataan itu, karena dengan mengeluarkan pernyataan itu, itu sudah membuktikan bahwa dia sedang “mengatur” orang lain agar orang lain tidak mengatur dirinya. Dan lagi biasanya, orang yang anti peraturan enggan dirinya diatur, tetapi gemar mengatur orang lain. Itu lebih aneh


Karena banyak generasi muda yang menganut paham anti peraturan, maka demi mendidik mereka, banyak generasi tua yang memberlakukan peraturan dengan ketat, bahkan yang ekstrem dapat disebut: legalisme. Motivasi dan tujuan mereka baik yaitu untuk mendidik generasi muda, namun sayangnya cara yang mereka terapkan pada generasi muda itu tidak benar yaitu dengan memberlakukan peraturan yang ketat dan membelenggu. Beberapa ciri yang muncul:

Pertama, peraturan = iman. Jika para penganut konsep anti peraturan masa bodoh dengan iman, maka para penganut legalisme kebanyakan bahkan mengidentikkan iman mereka dengan peraturan. Artinya, mereka sangat peduli dengan iman, namun iman mereka bukan iman yang hidup, tetapi iman yang mati. Mengapa? Karena mereka menganggap iman identik dengan peraturan atau tata cara religius yang harus diikuti, seperti: kebaktian rutin setiap hari Minggu, saat teduh, berdoa, menyanyi, dll. Atau mungkin juga, mereka mengidentikkan iman dengan peraturan theologi yang baku dan kaku yang seolah-olah diambil dari Alkitab (mungkin ada yang benar-benar dari Alkitab, ada juga bagian Alkitab yang ditafsirkan secara subjektif). Hal ini mirip seperti kelakuan orang Farisi yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sebagai orang munafik di Matius 23. Mereka adalah orang yang mempelajari dan menghafal Taurat sebagai peraturan agamawi yang menancap di pikiran mereka, tetapi hati dan perbuatan mereka kosong.

Kedua, tradisi dan hal-hal kuno = kebenaran. Jika para penganut konsep anti peraturan sangat anti dengan tradisi, maka para penganut legalisme ini sangat memberhalakan tradisi. Di dalam Kekristenan, hal ini ditandai dengan beberapa aliran/gereja Kristen yang terlalu menekankan lagu-lagu rohani himne dan membuang hampir semua lagu rohani kontemporer dengan alasan lagu-lagu rohani himne itu bersejarah. Meskipun harus diakui hal ini ada benarnya bahwa banyak lagu rohani himne lebih bermutu ketimbang banyak lagu rohani kontemporer, tetapi hal ini hendaklah tidak menjadi suatu kesombongan tersendiri, lalu menutup cara kerja Allah menginspirasi beberapa penyanyi rohani kontemporer, apalagi menganggapnya sebagai “sampah”. Mungkin ada gereja pengagum lagu rohani himne yang mengizinkan lagu-lagu rohani kontemporer, namun lagu yang dinyanyikan hanya itu-itu saja, seperti kekurangan bahan lagu! Ada juga tipe gereja Kristen yang karena terlalu memberhalakan tradisi gerejawi, semua kebaktian gerejanya harus menggunakan liturgi, hampir tidak ada ekspresi dalam ibadahnya. Mereka menjadikan jemaatnya seperti robot hidup yang hanya tinggal menyanyi, mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli, duduk mendengarkan khotbah, lalu pulang. Diberhalakannya tradisi juga ditandai dengan beberapa (atau banyak?) generasi tua (bahkan yang mengaku “Kristen”) mendidik anaknya untuk menaati orangtuanya 100% tanpa kompromi. Mereka masa bodoh dengan Allah dan panggilan-Nya yang unik bagi setiap anak, yang terpenting bagi mereka adalah kehendak dan keinginan orangtua yang harus dipenuhi oleh si anak, jika tidak, si anak pasti dicap bu hao (tidak patuh). Beberapa orangtua mewajibkan anaknya ikut sembahyang di depan foto kakek dan neneknya yang meninggal, meskipun si anak sudah menjadi Kristen.

Para penganut legalisme meskipun secara motivasi itu baik, namun secara tidak sadar mereka memberhalakan peraturan dengan mengidentikkannya sebagai kebenaran dan Allah yang harus disembah. Selain itu, saya jamin beberapa dari mereka yang memberlakukan peraturan secara ketat tidak akan pernah bisa konsisten dengan peraturan yang dibuatnya. Dimulai dari perilaku orang Farisi dan ahli Taurat yang suka menuding orang lain berbuat dosa, seperti membunuh, namun mereka tidak sadar bahwa mereka sendiri telah membunuh Anak Allah yang Mahatinggi, yaitu Tuhan Yesus dan berusaha melenyapkan para pengikut Kristus, mulai dari Paulus, dll. Lalu, ada beberapa orangtua yang ketat memberlakukan peraturan kepada anaknya, namun dia sendiri tidak menjadi teladan bagi anaknya. Contoh, di dalam acara reality show Uya Memang Kuya tanggal 16 Maret 2011, seorang ibu melarang anak perempuannya menggunakan rok mini, namun ibunya sendiri pernah menggunakan rok mini meskipun jarang. Saya mengerti maksud ibu ini tentu saja baik, namun peraturan itu seharusnya menjadi peraturan bagi dirinya sendiri terlebih dahulu.




IMAN KRISTEN YANG SEIMBANG TERHADAP PERATURAN
Jika dunia kita dan beberapa orang Kristen terjebak ke dalam 2 titik ekstrem: antinomianisme dan legalisme, maka bagaimana pandangan iman Kristen yang seimbang terhadap peraturan? Mari kita kembali ke Ulangan 6:4-7.

Di Ulangan 6:4, Allah mengajar umat-Nya, Israel tentang iman kepercayaan mereka yang benar, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Ayat ini sering disebut sebagai shema, karena bahasa Ibrani dari kata “dengarlah” dalam ayat ini adalah shâma‛. Pernyataan/pengakuan iman (=kredo) ini dilanjutkan dengan firman Allah, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (ay. 5) Kredo mengakibatkan seorang percaya bukan hanya menghafal kredo, namun juga mengerti artinya yaitu dengan mengasihi Allah yang membuat dan menjadi inti dari kredo itu. Inilah yang membedakan Kekristenan berbeda dari semua agama. Jika semua agama percaya adanya Tuhan, mereka akan mengajar umatnya untuk takut akan Dia, tanpa ada perintah untuk mengasihi-Nya. Kekristenan mengajar: kepercayaan mengakibatkan tindakan mengasihi yang dipercaya. Cukupkah sampai di sini? TIDAK. Di ayat 6-7, Allah berfirman, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Berarti Allah ingin mereka yang mengasihi-Nya juga adalah mereka yang menerapkan peraturan agar keturunannya mengasihi Allah juga.

Dari Ulangan 6:4-7, kita belajar beberapa poin penting:
Pertama, peraturan sejati berasal dari Allah. Ketika kita membaca ulang Ulangan 6:4-7, maka urutannya menjadi jelas: kredo mengakibatkan kasih dan kasih mengakibatkan peraturan. Dengan kata lain, peraturan sejati dan benar hanya berasal dari otoritas tertinggi alam semesta, yaitu Allah. Lebih tajam lagi, Allah berada di atas peraturan! Peraturan mana pun dan dari siapa pun harus diuji oleh Allah dan firman-Nya. Peraturan yang tidak melawan firman-Nya sajalah yang patut dijalankan, sedangkan peraturan yang melawan firman-Nya TIDAK patut dijalankan, meskipun pembuat peraturan itu mengklaim memiliki otoritas tinggi! Selain itu, orang Kristen, kita harus sanggup memisahkan mana peraturan yang mutlak vs peraturan yang relatif. Peraturan yang mutlak yang sesuai dengan Alkitab tentu harus kita ikuti, misalnya sopan santun, etika: jangan melakukan free-sex sebelum menikah, dll, sedangkan peraturan relatif yang bersifat subjektif, misalnya perbedaan selera musik atau perbedaan prinsip sepele jangan dibesar-besarkan, lalu dijadikan baku dan kaku! Bersikaplah tegas dalam hal-hal mutlak, namun hargailah orang lain dalam hal-hal relatif. Itulah salah satu ciri orang yang bijaksana.

Kedua, peraturan sejati timbul dari kasih. Sebelum berfirman kepada Israel agar Israel mengajar anak-anak mereka, maka di ayat 5, Allah berfirman kepada Israel agar mereka mengasihi Allah. Dengan kata lain, peraturan timbul dari kasih. Jika seorang tidak memiliki hati yang mengasihi Allah, maka ia juga tidak rindu ingin menyenangkan-Nya dengan mematuhi apa yang diperintahkan-Nya. Inilah bedanya Kekristenan dengan agama lain. Jika agama lain mengajarkan perintah-perintah agama harus dijalani tanpa adanya kasih, maka Kekristenan mengajarkan kasih terlebih dahulu baru ada perintah. Hal ini pertama kali berlaku pada Allah sendiri. Allah yang memberi perintah adalah Allah yang terlebih dahulu telah mengasihi umat-Nya. Allah yang memberi sepuluh perintah (Dasa Titah) kepada Israel adalah Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi Israel dengan melepaskan mereka dari perbudakan di Mesir (Kel. 20:2). Allah yang menuntut kita untuk mengasihi-Nya adalah Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi kita dengan mengutus Kristus untuk disalib demi menebus dosa-dosa kita. Hal yang sama Ia tuntut dari kita bahwa kita pun harus menaati firman-Nya setelah kita benar-benar mengasihi-Nya dengan tulus. Allah ingin agar ketika kita menaati firman-Nya, kita tidak melakukannya dengan terpaksa, tetapi dengan kerelaan hati karena hati kita benar-benar mengasihi-Nya. Hal yang sama seharusnya kita terapkan tatkala orangtua ingin memberi perintah kepada anaknya. Ketika orangtua memberi perintah kepada anaknya hendaknya tidak dengan membentak atau mengomeli atau mengindoktrinasi, namun dengan motivasi tulus ingin mengasihi anak dan menginginkan anak juga mengasihi orangtuanya. Orangtua yang terlalu banyak memberikan peraturan kepada anaknya bahkan sampai detail sejujurnya bukan mengakibatkan anaknya makin taat dengan tulus, tetapi justru mengakibatkan anaknya taat dengan terpaksa. Apa gunanya seorang anak yang taat kepada orangtuanya namun dengan terpaksa? Jika Anda sebagai orangtua ingin anak Anda menaati Anda karena benar-benar mengasihi Anda, ajarlah anak Anda dengan peraturan, namun juga beri kelonggaran kepada mereka dan berkomunikasilah dengan mereka untuk mengerti dunia mereka. Jangan menuntut anak-anak Anda untuk HANYA mengerti kondisi Anda! Teladanilah pola Allah mendidik anak-anak-Nya. Allah menggembleng mereka, namun juga mengasihi mereka sambil mengerti kondisi umat-Nya, sehingga Ia mengutus Roh Kudus untuk memimpin hidup mereka, karena Allah mengetahui bahwa tanpa bantuan Roh Kudus, umat-Nya tak akan sanggup dengan sendirinya menaati firman-Nya.




KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih terjebak ke dalam dualisme ekstrem yang anti peraturan dan memberhalakan peraturan? Kekristenan yang Alkitabiah tampil memberikan satu-satunya jalan keluar yang jitu yaitu menempatkan Allah di atas peraturan dan kasih di atas peraturan! Biarlah kita bukan hanya berteori mengerti hal ini, tetapi kita juga berkomitmen menjalankannya dengan pertolongan Roh Kudus. Amin. Soli DEO Gloria.

No comments: