10 November 2008

Matius 11:28-30: MARILAH KEPADA-KU-3

Ringkasan Khotbah : 27 Agustus 2006
Marilah Kepada-Ku (3)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 11:28-30



Pendahuluan
Kita telah memahami bahwa orang yang hidupnya tidak berpusat pada Kristus maka ia akan masuk pada kondisi fatigue, letih dan over burden, berbeban berat. Abad 17 merupakan puncak kejayaan manusia, jaman itu disebut sebagai jaman pencerahan, enlightment dimana filsafat humanisme pertama kali diteriakkan: we are now come to the age, kami telah sampai pada usia dewasa, kami tidak memerlukan Tuhan lagi karena mampu mengerjakan segala sesuatunya seorang sendiri. August Comte dengan tegas menyatakan bahwa hanya orang bodoh atau orang primitiflah yang masih mempunyai banyak Tuhan. Kegilaan manusia semakin menjadi-jadi, di abad 20, seorang bernama Nietzsche dengan tegas menyatakan bahwa ia telah membunuh Tuhan, membunuh dengan pikirannya sehingga orang tidak perlu lagi memikirkan Tuhan. Pertanyaannya adalah apakah pada puncak kejayaan itu tujuan manusia, yaitu untuk mencapai kesejahteraan tercapai? Tidak! Dunia semakin hancur, hal ini ditandai dengan meletusnya perang dunia I dan II, berjuta-juta manusia mati terbunuh. Orang mulai sadar dan mulai mempertanyakan akan arti hidup. Dunia tidak menjadi semakin baik, orang mulai menyingkirkan spiritualitas dan orang mengikuti ajaran dunia, seperti: rasionalisme, humanisme, eksistensialime dan lain-lain maka jaman itu disebut sebagai post christian era. Hari itu orang Kristen sangat malu mengakui dirinya percaya Tuhan dan pergi ke gereja. Orang sangat memandang hina dan sinis dan mengatakan orang Kristen adalah manusia primitif. Mereka tidak sadar kalau sesungguhnya merekalah yang patut dikasihani.

Kerusakan dunia tidak berhenti sampai disitu tetapi di abad yang sama, yakni abad 20 muncul tiga gerakan besar yang menjadikan dunia menjadi semakin rusak, yakni:
1. Psikologi
Psikologi adalah usaha manusia menyelesaikan problema manusia dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan dunia, tanpa tahu hakekat manusia sejati. Dapatlah dibayangkan apa jadinya kalau manusia yang sedang bermasalah itu menyelesaikan masalah dengan cara dunia yang berdosa pastilah masalah itu tidak terselesaikan tapi justru malah menambah masalah. Hal ini disebabkan karena orang tidak mempedulikan hakekat manusia yang sejati. Psikologi juga tidak memahami hakekat manusia yang sejati, yaitu manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Empat aliran psikologi yang ada, seperti: psikoanalisa, behaviourisme, humanisme, transpersonal psikologi tidak akan pernah memahami hakekat manusia sejati kecuali manusia kembali pada Allah barulah orang dapat mengerti hakekat manusia sejati. Psikologi juga tidak pernah menyelesaikan problema manusia sebab psikologi tidak mengerti bahwa akar dari permasalahan adalah akibat relasi manusia dengan Allah yang rusak. Hubungan manusia dengan Allah yang telah rusak itu menjadikan hubungan antar manusia – manusia rusak, manusia – diri rusak, dan manusia – alam pun rusak. Adalah mustahil manusia menyelesaikan masalah dengan pendekatan psikologi tetapi di satu sisi, manusia membuang Tuhan.

2. Ekonomi
Manusia yang sombong tidak mau taat pimpinan Tuhan; manusia merasa diri mampu mengerjakan segala sesuatunya seorang diri maka manusia mulai mengembangkan suatu ideologi humanisme materialisme. Pada abad 20, manusia mulai berorientasi pada dunia materi, yakni uang maka segala sesuatu dipikirkan dan dikerjakan, hasil akhirnya adalah untuk mendapatkan uang. Ajaran komunisme dan materialisme dialektik berkembang pesat di seluruh dunia, hal ini ditandai dengan munculnya sekolah-sekolah ekonomi dan sejenisnya yang merupakan pengembangan dari ekonomi bahkan seluruh bidang studi yang ada sekarang untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan berorientasi pada uang. Manusia pikir, uang adalah segala-galanya, uang adalah sumber kebahagiaan. Salah! Uang adalah sumber kejahatan. Orang yang mengejar kekayaan, seumur hidup ia menjadi budak materi. Bahagia itu kita rasakan kalau kita kembali pada Tuhan. Perhatikan, semakin kaya seseorang, masalah yang dihadapi semakin banyak. Sebagai contoh, Ayub dan Abraham. Kekayaan kalau tidak ditopang dengan spiritualitas maka kekayaan itu menjadi bumerang yang mematikan.

3. Gerakan Karismatik
Di tengah dunia yang semakin kacau, Kekristenan yang seharusnya meneriakkan kebenaran sejati malahan mengikut arus dunia. Gereja pun terpengaruh dengan paham humanis materialis – gereja memakai hukum ekonomi supply and demand, yakni apa yang menjadi kebutuhan jemaat maka gereja akan memenuhinya. Maka muncullah suatu gerakan teologi baru yang dikenal dengan charismatic movement. Gerakan ini muncul di azuza street, Amerika yakni gerakan spiritual yang bersifat spiritisme. Gerakan ini memakai nama Allah tetapi mempermainkan Allah untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Gerakan spiritisme ini aspek psikologi dan aspek humanisme materialisme sangat kental didalamnya; kalau Tuhan ada maka adanya Tuhan tersebut adalah
demi kepentingan manusia, yakni untuk menyelesaikan problema manusia dan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Perhatikan, orang yang ada dalam gerakan ini biasanya akan langsung meninggalkan Tuhan dan gereja ketika ia mengalami kekecewaan, ia akan mencari “allah“ lain yang dianggap menguntungkan. Manusia merasa diri berkuasa bahkan lebih berkuasa dari Tuhan sehingga manusia berani meminta supaya Tuhan yang Maha Kuasa itu memenuhi semua keinginannya. Dengan kata lain, Tuhan tidak ubahnya seperti budak.
Namun toh ketiga arus besar, third wave ini tidak dapat menyelesaikan problema manusia, manusia semakin terbelit dengan masalah akibatnya manusia jatuh dalam suatu kondisi letih lesu dan berbeban berat akhirnya orang menjadi kecewa dan mulai meninggalkan Kekristenan. Hal ini terjadi karena tidak ada iman yang sejati dalam dirinya. Dalam keadaan demikian ini Tuhan Yesus berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu“ (Mat. 11:28). Pertanyaannya apakah yang kelegaan seperti apakah yang ditawarkan Kristus? Apakah kelegaan humanisme, yakni kelegaan karena kita kaya? Ataukah kelegaan seperti yang ditawarkan Robert Tiyosaki, yakni kelegaan karena kita tidak bekerja? Ataukah kelegaan dengan melupakan masalah dan lari pada obat-obatan seperti ecstasi atau gerakan mistik lain seperti bunuh diri sama-sama? Perhatikan, semua kelegaan yang diberikan Kristus berbeda dengan kelegaan dunia yang bersifat semu dan justru membawa manusia pada masalah baru yang lain. Dunia semakin bergejolak dan membawa kita pada kehancuran. Kalau dulu, beban berat hanya dirasakan oleh mereka yang bekerja, kini secara pelan dan pasti beban itu dirasakan oleh mereka yang berada di usia sekolah bahkan anak-anak. Itulah sebabnya, kita seringkali menjumpai ada anak-anak yang bunuh diri karena mereka tidak kuat menahan beban yang sangat berat.

Beberapa aspek yang harus kita lakukan supaya kita mendapat kelegaan sejati adalah:
1. Perombakan Paradigma
“Marilah kepada-Ku...“ kalimat ini berbentuk imperatif aktif, suatu perintah yang mengandung otoritas. Kepada mereka yang letih lesu dan berbeban berat, Tuhan ingin supaya mereka datang pada-Nya. Datang kepada Yesus itu menuntut suatu kerendahan hati dan ketaatan mutlak. Dan biasanya setelah orang mengalami jalan buntu dan keputusasaan barulah orang datang kepada Yesus. Tuhan suka pada orang yang hancur dan remuk hatinya tapi itu bukan berarti Tuhan suka melihat anak-anak-Nya sengsara. Tidak! Tuhan ingin supaya manusia itu realistis dan menyadari kenyataan hidup barulah Tuhan membentuk kita menjadi ciptaan baru. Kelegaan sejati barulah kita dapatkan kalau kita mengubah konsep cara berpikir, konsep worldview kita yang salah. Orang sakit yang merasa dirinya sehat tidak akan pernah mendapat kesembuhan secara tuntas. Satu-satunya cara supaya ia dapat disembuhkan adalah ia harus realistis bahwa dirinya sakit dan memerlukan dokter. Ia harus mengubah konsep berpikirnya barulah ia dapat disembuhkan.
Kelegaan sejati harus dimulai dengan perubahan paradigma, bagaimana mengerti kebenaran sejati dengan cara menyangkal diri, membongkar semua apa yang menjadi kesombongan kita, membongkar semua presuposisi duniawi yang selama ini kita agungkan dan membiarkan Tuhan bekerja, barulah orang mendapat kelegaan. Perhatikan, Tuhan tidak pernah memaksa orang untuk datang pada-Nya bahkan teologi Reformed yang percaya predestinasi pun tidak pernah percaya bahwa orang masuk ke sorga karena dipaksa bahkan sampai “diseret“ (bahasa Jawa) oleh Tuhan. Kesombongan manusia yang tidak mau diatur itulah yang membuat manusia sulit datang kepada Tuhan. Orang tidak mau bertobat malah menganggap bahwa beban yang mereka alami sekarang sebagai suatu kewajaran maka kalau orang bisa datang kepada Tuhan dan mengaku bahwa diri adalah manusia berdosa itu merupakan suatu anugerah; Roh Kudus bekerja melembutkan hati seseorang dan melahirbarukan seseorang.
Pemerintah Cina begitu ketakutan ketika John Sung berkhotbah, mereka takut kalau John Sung dan para pengikutnya yang banyak itu melakukan pemberontakan maka pemerintah menempatkan mata-mata dan para tentara untuk mengawasi gerak gerik mereka. Para tentara ini justru dikagetkan dengan kejadian yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya, tanpa dipaksa, banyak orang yang menangis dan mengakui semua perbuatan dosanya tak terkecuali para tentara itu pun menjadi bertobat. Kalau Tuhan bekerja melembutkan dan menyadarkan bahwa kita manusia berdosa maka itu merupakan suatu anugerah maka janganlah keraskan hatimu. Sadarlah, kita adalah orang berdosa dan dosa itulah yang menyebabkan orang menjadi fatigue dan berbeban berat dan hanya datang pada Kristus barulah kita mendapat kelegaan sejati.

2. Proposional Burden
Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa orang Kristen tidak akan mengalami masalah. Tidak! Tuhan justru tidak mau membuat hidup anak-anak-Nya jatuh dalam kehidupan yang tidak natural, Tuhan tidak ingin kita hidup seperti binatang. Perhatikan, ketika Tuhan selesai mencipta manusia dan menaruhnya di taman Eden maka Tuhan memerintahkan manusia bekerja, menanggung beban. Memang, kondisi manusia sebelum dan sesudah kejatuhan sangat berbeda. Setelah kejatuhan, kerja menjadi sangat melelahkan, orang harus berpeluh untuk mendapat nafkah maka muncul pendapat yang mengatakan bahwa seandainya manusia tidak berdosa maka orang tidak perlu bekerja keras. Pendapat yang salah! Tuhan memerintahkan manusia untuk mengusahakan dan memelihara taman (Kej. 2:15), itu artinya manusia harus bekerja. Tuhan ingin kita menjadi manusia seutuhnya, manusia yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Kalau Allah Bapa bekerja dan Tuhan Yesus pun juga bekerja maka pertanyaannya adalah apakah kita sudah bekerja? Banyak orang yang berpikir dengan menjadi Kristen maka ia akan mendapat kenikmatan, tidak perlu bekerja keras dan yang lebih celaka lagi, ada orang yang berpikir selama di dunia bekerjalah segiat-giatnya, mati masuk sorga dan di sorga nanti kita akan memperoleh kenikmatan. Inilah jiwa manusia berdosa yang hedonis. Tuhan mencipta manusia untuk bekerja maka orang yang tidak mau bekerja berarti melanggar naturnya, orang menjadi non human. Kelegaan sejati itu akan kita dapatkan kalau kita kembali pada proporsional position yang tepat dan pas.
Salah satu faktor penyebab orang berbeban berat adalah ketidakseimbangan. Ketika kita mengangkat sebuah pikulan di titik yang salah maka kita akan terasa berat. Demikian juga orang yang bekerja terlalu berlebihan, bekerja melebihi kapasitas dan kemampuannya maka itu akan menjadikan ia berbeban berat karena ia mengerjakan sesuatu yang bukan pekerjaannya. Tapi kemudian orang jatuh ke ekstrim yang lain, yaitu orang tidak mau bekerja. Bayangkan, manusia mana yang dapat bertahan hidup kalau ia hanya tidur seharian tanpa melakukan apapun? Hal ini justru membuatnya semakin cepat mati. Memang, setelah seharian bekerja, orang butuh istirahat tapi kalau istirahat sepanjang hidup maka justru menjadikan orang lelah. Celakanya, orang tidak tahu dimana letak titik proporsionalnya, manusia ingin hidup nikmat dan bahagia namun tidak tahu caranya maka pada saat demikian Tuhan berkata: “Marilah kepada-Ku yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang ... sebab kuk yang kupasang itu enak dan bebanKu pun ringan.“
Hanya Tuhan yang tahu titik proporsional setiap kita, sampai batas mana kita dapat mengangkat beban sehingga kita tidak merasa berbeban berat. Biarlah kita kembali pada Tuhan, menyerahkan seluruh aspek hidup kita ke dalam tangan-Nya dan membiarkan Tuhan memasang kuk di pundak kita maka beban yang kita rasakan itu akan terasa ringan. Kerjakanlah seluruh pekerjaan yang Tuhan berikan pada kita dengan bertanggung jawab dan dengan sebaik-baiknya dan percayalah, beban itu akan terasa ringan. Kenapa kita membuat hidup itu menjadi berat padahal Tuhan menawarkan suatu posisi beban yang pas untuk kita. Satu hal yang Tuhan ingin kita lakukan adalah menyangkal diri dan taat pada-Nya; Tuhan akan memberikan beban yang pas untuk kita kerjakan dan kerjakanlah itu sebaik-baiknya seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

3. Revitalisasi
Hanya kembali pada Tuhan barulah kita peroleh kelegaan sejati sebab kalau tidak, hasil akhirnya adalah kesia-siaan. Salah satu kecelakaan manusia adalah ketika ia menjadi humanis, manusia mau menegakkan kebenarannya sendiri maka muncullah gejala yang disebut sebagai trial and error. Manusia mencoba dan gagal, mencoba lagi dan gagal lagi maka pada saat itu kita telah membuang waktu, tenaga, uang dan semangat. Kita merasa tenang dan tidak berbeban ketika kita tahu, apa yang kita lakukan itu bermakna dan bernilai kekal. Orang akan bekerja dengan semangat kalau ia tahu Tuhan yang tempatkan ia untuk menggenapkan rencana-Nya dan bernilai kekal. Berbeda halnya kalau orang bekerja untuk sekedar mencari uang guna memenuhi nafkah maka ia akan merasa sangat lelah, tidak ada semangat kerja. Kelegaan yang Kristus tawarkan membawa kita pada suatu rest, annapauses, ketenangan yang sifatnya esensi. Berbeda dengan dunia yang memberikan ketenangan dengan cara lari dari masalah. Rest yang Tuhan tawarkan adalah merevitalisasi, mengkoreksi seluruh aspek dan masuk pada kondisi yang lebih baik.
Tuhan mencipta manusia dan alam semesta selama 6 hari dan pada hari ke-7, Tuhan menguduskannya. Hari ke-7 merupakan hari peristirahatan tetapi di hari itu, Tuhan tidak beristirahat. Dunia salah mengartikan rest sebagai rekreasi. Rekreasi berasal dari kata repeat yang artinya: ulang dan creation yang artinya dicipta. Setelah rekreasi, orang justru menjadi malas bekerja karena kecapekan. Marilah kita kembali pada istilah yang benar, rest itu tidak menjadikan kita meaningless, rest tidak menjadikan semangat kita hancur tetapi rest seharusnya membangun kembali seluruh aspek hidup yang rusak, rest membangun semangat baru dan pemikiran baru. Tuhan memberikan kelegaan bukan untuk menjadikan kita menjadi loyo dan dekreasi tetapi justru menjadikan kita bervitalitas. Pekerjaan kita memang banyak tetapi kita tidak terasa terbeban karena kuk yang Tuhan pasang itu enak. Kelegaan yang Tuhan tawarkan itu sifatnya esensial, kelegaan yang membawa kita pada true rest dan menyegarkan kita kembali. Dunia semakin menjepit kita masuk dalam kehancuran, kehidupan makin menjepit kita untuk masuk dalam kondisi hidup yang tertekan. Hal ini sangat dirasakan khususnya oleh mereka yang bergolongan ekonomi lemah, orang menjadi lelah, fatigue. Kondisi demikian sangat memancing terjadinya kejahatan dan anarkis. Orang malah bereaksi negatif, orang memberontak dengan harapan untuk memperbaiki keadaan dan akibatnya justru beban itu semakin membelit. Orang seharusnya sadar bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari beban adalah bertobat dan kembali pada Kristus, taat sepenuhnya untuk dipimpin oleh Dia.
Sebagai anak Tuhan, janganlah kita ikut dalam arus dunia yang semakin menjepit tetapi hendaklah kita kembali pada Tuhan, berubahlah dalam paradigma, hidup bersama Dia maka Tuhan akan memberikan beban yang pas sehingga kita mencapai efisiensi tertinggi karena kita tahu semua yang kita kerjakan itu bernilai kekekalan dan saat kita bekerja itu pun akan terasa ringan sebab Dia memberi kelegaan sejati untuk kemudian direvitalisasi ulang dengan semangat baru. Dan di tengah dunia yang rusak moral ini biarlah kita memancarkan terang Kristus dan menjadi saksi bagi-Nya. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 11:25-27: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-19: Konsep Keselamatan dan Anugerah-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-17


“Israel” Sejati atau Palsu-19 (Penutup) :
Konsep Keselamatan dan Anugerah-1


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:25-27


Setelah menjelaskan tentang anugerah Allah bagi orang non-Yahudi dan nasihat Paulus agar mereka tidak berbangga diri di ayat 19 s/d 24, maka ia membukakan pengajaran tentang rahasia mengapa mereka tidak boleh berbangga diri mulai ayat 25. Alasan pertama terletak pada ayat 25-27.

Di ayat 25, Paulus mengatakan, “Sebab, saudara-saudara, supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai, aku mau agar kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk.” Sekali lagi, Paulus menasihatkan orang-orang non-Yahudi agar tidak berbangga diri atau menganggap diri pandai atau dari bahasa Yunani dapat diterjemahkan jangan mengandalkan dirimu/mereka (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear, 2003, hlm. 860). Lalu, apa yang harus mereka lakukan? LAI hanya memberi penjelasan bahwa mereka tidak boleh menganggap diri pandai, lalu disambung dengan nasihat Paulus agar mereka mengetahui rahasia ini. King James Version menerjemahkan, “For I would not, brethren, that ye should be ignorant of this mystery,” (=Karena aku tidak ingin, saudara-saudara, bahwa kamu mengabaikan misteri ini,). International Standard Version (ISV) memberi terjemahan hampir sama, “For I do not want you to be ignorant of this secret, brothers,” (=Karena aku tidak ingin kamu mengabaikan rahasia ini, saudara-saudara,). Di sini, kita mendapatkan gambaran lebih jelas maksud Paulus bahwa ia tidak ingin orang-orang non-Yahudi mengabaikan rahasia. Rahasia apa? Rahasia Allah. Rahasia tentang apa? Rahasia tentang predestinasi. Hal ini dijelaskan bahwa sebagian dari Israel telah menjadi tegar (=dikeraskan) sampai jumlah orang-orang non-Yahudi telah masuk. Jika kita memerhatikan struktur bahasa Indonesia, kedua hal ini tampak sama, sama-sama menggunakan kata “telah”, tetapi jika kita memerhatikan struktur bahasa Inggris, apalagi Yunani, maka kita dapat menemukan perbedaan waktu di antara dua hal. Literal Translation of the Holy Bible (LITV) menerjemahkan, “that hardness in part has happened to Israel until the fullness of the nations comes in;” Dalam struktur bahasa Yunani, has happened menggunakan bentuk perfect, sedangkan comes in menggunakan bentuk Aorist. Hal ini bisa dimengerti artinya dalam terjemahan LITV ini, yaitu Allah pertama kali mengeraskan hati sebagian Israel secara jasmani terlebih dahulu sampai Ia memasukkan orang-orang non-Yahudi dalam jumlah yang lengkap. Apa yang kita bisa pelajari dari ayat ini?
Pertama, predestinasi dan reprobasi. Hal pertama yang bisa kita pelajari adalah sentralitas Allah di dalam hal keselamatan. Di sini Paulus mengatakan bahwa pengerasan terhadap sebagian Israel terjadi terlebih dahulu. Jika kita memerhatikan struktur bahasa Yunani, maka “terjadi” di sini menggunakan bentuk aktif. Dengan kata lain, Allah lah yang mengeraskan hati sebagian orang Yahudi secara fisik. Hal ini dilakukan dalam konteks keselamatan. Allah berdaulat mengeraskan hati orang-orang yang bukan merupakan umat pilihan-Nya, sedangkan Ia juga berdaulat menarik umat pilihan-Nya TANPA paksaaan kepada-Nya. Dengan kata lain, predestinasi mencakup pemilihan dan penolakan (reprobasi). Kepada orang pilihan-Nya, Ia memimpin hidup mereka, sedangkan kepada orang-orang sisanya (tentu merupakan orang yang ditolak-Nya), Ia mengeraskan hati mereka dan membiarkan mereka. Ia mengeraskan hati orang yang ditolak-Nya dengan cara Ia sengaja membiarkan orang-orang tersebut tidak meresponi apa-apa ketika Injil diberitakan atau bahkan terang-terangan menolak dan menghina Injil dan Kristus. Realita yang terjadi adalah hal ini banyak (tidak semua) terjadi pada orang Yahudi. Bagaimana dengan kita? Perhatikan: tidak semua orang Kristen adalah anak Allah! Dengan kata lain, ada orang Kristen yang bukan umat pilihan Allah, mungkin sekali umat yang tertolak tetapi masih indekos di dalam Kekristenan. Apa ciri-ciri yang membedakan dua orang ini? Memang sangat sulit membedakannya, tetapi kunci pembedanya hanya satu yaitu masalah hati. Itu mungkin tidak bisa diuji oleh orang lain, tetapi merupakan masalah pribadi. Mari kita menguji masing-masing hati dan motivasi kita. Sungguhkah kita memiliki hati dan motivasi yang murni ketika melayani Tuhan? Ataukah kita terpaksa melayani Tuhan? Jika kita melayani Tuhan dengan hati dan motivasi ingin mencari kepentingan diri, merasa diri layak, dll, waspadalah, kita mungkin tidak sedang melayani Tuhan, tetapi ambisi diri. Jangan-jangan, kita mungkin termasuk golongan yang tidak dipilih Allah tetapi masih mengklaim diri “melayani Tuhan” bahkan naik mimbar berkhotbah. Orang yang jelas-jelas ditolak Allah adalah orang yang tidak menghargai kedaulatan Allah di dalam seluruh kehidupannya (bukan hanya masalah di dalam konsep/teori saja). Seperti sebagian Israel yang dikeraskan hatinya oleh Tuhan, orang yang ditolak Allah juga adalah mereka yang dikeraskan hatinya agar tidak taat kepada Allah yang berdaulat, tetapi memenuhi keegoisan diri (utilitarian). Waspadalah!

Kedua, adanya kaum sisa (remnant). Kalau di poin pertama, kita belajar aspek negatif, yaitu Allah mengeraskan hati orang-orang sisa yang tidak dipilih-Nya, maka di poin ini, kita belajar aspek positif yaitu apa yang Allah kerjakan di dalam umat pilihan-Nya. Poin kedua yang bisa kita pelajari adalah tentang pemilihan Allah yang melampaui pemikiran kita dan apa yang dilakukan-Nya bagi umat pilihan-Nya. Tuhan membalikkan semua paradigma dan penafsiran Israel pada zaman dahulu. Dulu Israel berpikir bahwa merekalah bangsa/umat pilihan Allah. Tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Allah justru membalikkan pemikiran mereka dengan mengeraskan hati sebagian Israel yang tidak taat dan tetap membiarkan sisanya menjadi umat-Nya yang sejati yang nantinya digabungkan dengan orang-orang non-Yahudi. Di sini, Allah memilah sendiri mana yang menjadi umat-Nya yang sejati dengan mengeraskan hati orang Yahudi, sedangkan sisa dari orang yang tidak setia dipelihara-Nya sampai akhir. Poin pertama dan kedua sama-sama berbicara mengenai “sisa”. Di poin pertama, sisa berbicara mengenai sisa secara otomatis dari orang-orang yang tidak dipilih-Nya. Sisa di sini berbicara bukan dalam arti harfiah secara kuantitas, tetapi sisa di poin kedua berkaitan dengan kuantitas dan esensial. Sisa di poin pertama adalah sisa yang berkuantitas banyak dan menjadi mayoritas di mata manusia (tetapi tidak di mata Allah), sedangkan sisa di poin kedua adalah sisa yang benar-benar sisa/minoritas di mata dunia (tetapi mulia di mata Allah). Di poin kedua ini, sisa yang minoritas itulah umat pilihan-Nya di dalam Kristus yang setia dan taat mutlak kepada Kristus. Hal ini akan membedakan mereka dari orang “Kristen” yang ternyata bukan umat-Nya yang mengklaim diri “Kristen” bahkan “melayani Tuhan”, tetapi hidup mereka lebih menuruti kehendak diri ketimbang kehendak-Nya. Di sini, Tuhan TIDAK pernah menuntut kuantitas banyak, tetapi kualitas (dengan kuantitas yang tidak banyak). Perhatikan apa yang Alkitab ajarkan. Dari Perjanjian Lama, Allah sudah mengajarkan bahwa Ia lebih melihat hati ketimbang hal-hal luar. Sampai Perjanjian Baru, Kristus sendiri mengajar bahwa ada dua jalan, yaitu: jalan yang lebar permulaannya, namun sempit pada akhirnya dan menuju pada kebinasaan, sedangkan jalan yang sisanya adalah jalan yang sempit pada mulanya, namun lebar pada akhirnya dan menuju kepada kekekalan. Jalan yang pertama banyak dilalui oleh orang (=mayoritas), karena jalan ini tampak menyenangkan. Tetapi mereka tidak menyadari akhir dari jalan itu. Sedangkan jalan yang kedua sedikit dilalui oleh orang (=minoritas), tetapi mereka akan menemui kekekalan yang penuh sukacita. Termasuk jenis orang Kristen manakah kita? Apakah kita termasuk orang yang mengikuti jalan pertama yang ikut arus dunia (=mayoritas) ataukah kita termasuk orang yang mengikuti jalan yang kedua yang tidak mau ikut arus dunia, tetapi ikut Tuhan saja (=minoritas)? Jika kita pilih jalan yang kedua, kita pasti dihina oleh banyak orang dengan segudang alasan yaitu kurang gaul, sok suci, dll, tetapi percayalah, tujuan akhir yang kita dapatkan lebih mulia daripada mereka semua. Itulah harga dan salib yang harus kita terima sebagai orang minoritas. Maukah kita berkomitmen melakukannya?


Dari Perjanjian Lama, Paulus melanjutkan pengajarannya di ayat 26 dan 27 tentang dua poin tentang keselamatan yaitu sentralitas Kristus dan peran aktif Roh Kudus.
Di ayat 26, Paulus mengatakan, “Dengan jalan demikian seluruh Israel akan diselamatkan, seperti ada tertulis: "Dari Sion akan datang Penebus, Ia akan menyingkirkan segala kefasikan dari pada Yakub.” Ayat ini harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena jika tidak, ayat ini akan mengakibatkan pengajaran dispensasionalisme yang mengajarkan bahwa nantinya Israel secara bangsa akan diselamatkan kelak di zaman Kerajaan 1000 tahun, akibatnya kaum Zionis “Kristen” saat ini menanti-nantikan kedatangan Kristus kedua kali di Yerusalem. Padahal ayat ini tidak menuju ke arah situ. Seluruh Israel akan diselamatkan tidak berarti seluruh Israel secara jasmani, tetapi menunjuk kepada Israel rohani yaitu semua umat pilihan-Nya dari semua bangsa. Hal ini ditekankan Paulus dengan mengutip Yesaya 59:20, “Dan Ia akan datang sebagai Penebus untuk Sion dan untuk orang-orang Yakub yang bertobat dari pemberontakannya, demikianlah firman TUHAN.” Konteks Yesaya 59 sedang membicarakan kebebalan Israel (baca mulai ayat 2), tetapi ada janji Allah bagi umat-Nya mulai ayat 19 yang disusul dengan ayat 20 bahwa Allah akan datang sebagai Penebus untuk Sion dan bagi orang-orang Yakub (Israel) yang bertobat dari pemberontakannya. Ayat ini jelas merujuk kepada Kristus sebagai Penebus Israel yang menyelamatkan umat-Nya dari pemberontakan dosa. Di dalam Kristus inilah, semua Israel (rohani) akan diselamatkan. Itu artinya. Jadi, yang ditekankan Paulus bukan Israel dan Kerajaan Allah secara harfiah dan jasmaniah, tetapi Israel dan Kerajaan Allah secara rohani di dalam Kristus. Di tengah pemberontakan dosa, Allah itu setia, Ia memberi jalan keselamatan dari setiap pemberontakan. Hal ini membuktikan kasih setia-Nya sekaligus keadilan-Nya. Sebagai bukti kasih setia-Nya, Ia berdaulat memilih beberapa manusia yang berdosa untuk menjadi umat-Nya, dan membuang/menolak sisanya. Sebagai bukti keadilan-Nya, Ia menuntut pertanggungjawaban dari setiap dosa yang diperbuat oleh orang yang tidak dipilih-Nya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita bersyukur atas anugerah-Nya yang telah menarik kita dari dunia kegelapan menuju kepada terang Allah yang ajaib?


Bukan hanya di dalam Kristus, keselamatan bagi umat-Nya juga meliputi karya Roh Kudus. Paulus menjelaskan di ayat 27, “Dan inilah perjanjian-Ku dengan mereka, apabila Aku menghapuskan dosa mereka.” Ayat ini dikutip dari Yeremia 31:33-34 yang berbicara mengenai perjanjian baru bagi Israel, “Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka."” Apakah yang Paulus maksudkan di Roma 11:27 tadi yang dikutip dari Yeremia 31:33-34?
Pertama, kovenan baru di dalam Firman melalui Roh Kudus. Bangsa Israel adalah bangsa yang menerima wahyu Allah di dalam Taurat dan Perjanjian Lama. Mereka mempelajari Taurat sejak kecil, tetapi sayang tidak mengerti esensinya, sehingga mereka berdosa ketika mereka mencoba mempraktikkannya dengan pengertian yang salah. Oleh karena itulah, Ia berjanji akan menaruh Taurat-Nya di dalam batin umat-Nya dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Ia akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Nya, sehingga mereka tidak perlu diajar tentang Tuhan, karena Taurat-Nya sudah ada di dalam umat-Nya. Di sini, kita belajar tentang wahyu Allah secara khusus di dalam Kristus dan Alkitab. Melalui Kristus, kita bisa mengenal Allah. Melalui Roh Kudus, kita bisa mengenal Kristus dan Kristus bertakhta di dalam hati kita sebagai Raja, Tuhan, dan Pemilik hidup kita. Melalui Alkitab, kita dicelikkan hati dan pikiran kita oleh Roh Kudus tentang betapa agungnya keselamatan kita dan apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Di sini, fungsi Roh Kudus ada dua, yaitu melahirbarukan kita sehingga kita bisa bertobat kepada Kristus, dan mencerahkan hati dan pikiran kita melalui Alkitab yang Ia wahyukan sendiri.

Kedua, pemeliharaan kovenan Allah. Allah yang telah memberikan janji bagi umat-Nya, Ia jugalah yang akan memeliharanya. Sehingga Tuhan sendiri di Yer. 31:34 berjanji bahwa Ia akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka. Berarti, kovenan yang telah Ia berikan bagi umat-Nya, akan Ia pelihara sampai akhir, sehingga kovenan Allah itu kekal. Providensia kovenan Allah membuktikan bahwa Allah itu setia pada janji-Nya dan inilah pengharapan keselamatan kita. Kalau Allah tidak setia, apa gunanya kita berharap kepada “Allah” yang plin-plan dan ambigu? Puji Tuhan! Di dalam Alkitab, kita beriman di dalam Allah yang setia. Setia dalam terjemahan Yunani bisa diterjemahkan beriman atau dapat diandalkan (trustworthy). Lalu, bagaimana Allah memelihara kovenan-Nya? Melalui Roh Kudus, Allah memelihara kovenan keselamatan bagi umat-Nya dengan memimpin setiap langkah hidup kita agar kita hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan kata lain, Roh Kudus memimpin kita terus menyangkal diri dan memikul salib serta mengikut-Nya setiap hari. Atas anugerah pimpinan Roh Kudus lah, kita bisa hidup memuliakan-Nya. Hal ini yang memungkinkan dan mendorong kita semakin hidup mencintai-Nya dan firman-Nya dengan bersaksi bagi-Nya di dalam kehidupan kita sehari-hari.


Kita sudah belajar tentang kedahsyatan pikiran Allah dan 2 hal tentang keselamatan, sudahkah hati kita bersyukur dan semakin digentarkan untuk bersaksi bagi-Nya? Biarlah perenungan tiga ayat ini membukakan pikiran kita tentang betapa agungnya pemikiran Allah dan keselamatan yang telah Ia buat bagi kita serta mendorong kita mewartakan Injil Kristus kepada mereka yang belum percaya. Amin. Soli Deo Gloria.