28 July 2010

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-3: Eden dan Dosa-2: Ingin Menyamai Allah

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-3:
Eden dan Dosa-2: Ingin Menyamai Allah


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Kejadian 3:4-5



Setelah menyelidiki dosa pertama di taman Eden yaitu penyimpangan kebenaran, maka dosa kedua yang akan kita renungkan bersama adalah dosa menyamai Allah yang ingin mengetahui segala sesuatu. Setelah Hawa menjawab pertanyaan iblis di ayat 2-3, maka iblis melancarkan serangan pamungkasnya di ayat 4-5, “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Dari dua ayat ini, kita akan merenungkan dua poin penting, yaitu:
1. Iblis Menyangkal Seluruh Kebenaran Allah dan Menggantinya Dengan Kebenaran Tandingan
Pada ayat 4, kita membaca pernyataan iblis yang mengatakan bahwa ketika makan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat, iblis berjanji bahwa Hawa tidak akan mati, padahal Allah sendiri berfirman bahwa manusia pasti mati ketika makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Di sini, kita melihat cara iblis menyangkal seluruh kebenaran Allah dan kemudian menggantinya dengan kebenaran tandingan versinya sendiri. Iblis bukan hanya menyangkal kebenaran Allah, tetapi ia juga menawarkan “solusi”, yaitu “kebenaran” yang ia ciptakan sendiri. Mengapa iblis tidak cukup hanya menyangkal seluruh kebenaran Allah? Mengapa iblis pun akhirnya mengeluarkan “kebenaran” versinya sendiri? Iblis melakukannya agar manusia lebih memilih untuk taat kepada iblis ketimbang Allah. Dengan kata lain, kita mendapati fakta adanya antitesis antara kebenaran Allah vs “kebenaran” setan di dunia ini. Antitesis ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Taman Eden saja, namun juga berlanjut sampai kita yang hidup di zaman sekarang. Antitesis ini akan berhenti total dan kebenaran Allah pasti menang tatkala Kristus datang kedua kalinya sebagai Raja dan Hakim yang akan memusnahkan semua musuh-Nya (dan musuh anak-anak-Nya). Namun ketika di dunia kita, mau tidak mau, kita diperhadapkan dengan antitesis ini. Manakah yang kita pilih? Kebenaran Allah ataukah “kebenaran” setan?


2. Iblis Menawarkan “Kebenaran” Versinya Sendiri Dengan Mengiming-imingi Manusia Untuk Menjadi Seperti Allah
Iblis menginginkan manusia untuk lebih taat kepada iblis daripada kepada Allah. Sekarang pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya? Iblis adalah bapa pendusta dan secara otomatis dia itu licik, oleh karena itu, ia pasti memiliki segudang cara untuk menjerat kita untuk lebih taat kepada dirinya ketimbang kepada Allah. Cara licik iblis tersebut meliputi:
Pertama, meragukan Allah. Cara iblis paling licik adalah meragukan Allah. Iblis tentu tidak akan mengatakan secara gamblang kepada manusia pertama itu bahwa Allah itu salah, karena jika iblis menggunakan cara itu, manusia pertama pasti mengetahui akal bulusnya. Namun iblis menggunakan cara liciknya yang cukup ampuh yaitu mulai meracuni manusia untuk meragukan Allah. Iblis berusaha untuk meracuni manusia dengan pengajaran bahwa Allah bukan satu-satunya yang Mahatahu dan Benar mutlak. Iblis juga meracuni manusia bahwa dirinya (iblis) juga termasuk mahatahu. Maka tidak heran, iblis berjanji kepada Hawa bahwa ketika ia makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, matanya akan terbuka. Di zaman sekarang pun, siasat iblis tetap sama. Iblis juga akan meracuni manusia untuk mulai meragukan Allah dengan mengajarkan bahwa bukan Allah saja yang Mahatahu dan Benar, masih ada sosok lain yang juga bisa mahatahu. Tidak heran, di dunia kita hari-hari ini, khususnya di dunia Timur, para peramal laris dicari orang, dari Mama Loren sampai Mama Lemon (hehehe) Banyak orang dunia, bahkan tidak sedikit orang “Kristen” yang juga ikut-ikutan pergi ke tukang ramal entah itu dengan alasan supaya enteng jodoh atau ingin coba-coba. Saya sendiri melihat ada seorang tante yang melayani di sebuah gereja Injili di Surabaya pergi ke tukang ramal. Mereka berpikir bahwa peramal pun juga bisa mengetahui masa depan manusia, jadi tidak perlu Tuhan. Atau mungkin ada juga pandangan yang mengatakan bahwa memang Tuhan yang menentukan, namun manusia juga perlu mencari cara untuk mengerti kehendak Tuhan. Wah, yang terakhir ini seolah-olah kelihatan “rohani”, namun rusaknya amit-amit. Mencari kehendak Tuhan diidentikkan dengan pergi ke dukun atau peramal? Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung jek! HahahaJ So, bolehkah orang Kristen pergi ke dukun? Jawaban saya bukan BOLEH atau TIDAK BOLEH, tetapi apa motivasi di balik pergi ke dukun? Jika Anda menjawab, supaya enteng jodoh dan bisnis lancar. Saya bertanya kepada Anda, apakah dukun itu Tuhan yang Mahatahu dan menciptakan manusia? Kedua, apakah ramalan dukun/peramal 100% akurat? Ketiga, dasar apakah yang bisa membuktikan validitas ramalan si dukun/peramal tersebut? Jika misalnya, si peramal meramalkan nasib seseorang 10 tahun kemudian dan misalnya hasil ramalan tersebut tidak cocok dengan ramalan si peramal, kemudian Anda mendatangi untuk meminta pertanggungjawaban, apa kira-kira reaksi si peramal? Keempat, apakah si peramal/dukun tersebut dapat meramal nasibnya SENDIRI di masa depan? Saya pernah mendengar cerita dari seorang rekan bahwa salah seorang peramal top di Indonesia yang sering masuk di TV mengatakan bahwa dirinya tidak mampu meramal setelah tahun 2012. Saya jadi bingung dan bertanya-tanya, kenapa gak bisa meramal setelah tahun 2012? Apa si peramal ini juga ketakutan setelah menonton film 2012? Please dech ya…

Kedua, manusia = “mahatahu”. Iblis tidak cukup hanya meracuni manusia untuk meragukan Allah dan lebih mempercayai si iblis, ia melancarkan serangan puncaknya yaitu meracuni manusia dengan cara mengiming-imingi manusia untuk menjadi seperti Allah. Dengan presuposisi bahwa bukan Allah saja yang Mahatahu, maka iblis mengiming-imingi manusia untuk menjadi seperti Allah dengan slogan-slogan (yang saya dramatisir), “Ah, jangan gitu, Allah tahu koq bahwa ketika kamu makan buah pohon itu, matamu pasti terbuka, bisa membedakan mana yang baik dan jahat.” Gara-gara slogan “motivasi” ini, akhirnya Hawa tergiur dan akhirnya makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Bukankah taktik licik iblis di Taman Eden juga bisa kita lihat aplikasinya di dunia postmodern ini? Jangan kaget, jika di zaman postmodern ini, kita menjumpai maraknya pelatihan motivasi yang ditunggangi oleh pemikiran Gerakan Zaman Baru yang mengajarkan bahwa karena segala sesuatu adalah “allah” (manusia = “allah; ide Monisme digabungkan Pantheisme), maka di dalam diri manusia, ada suatu kekuatan besar yang sedang tidur yang harus dibangunkan. Tidak usah heran, dari presuposisi ini, kita sering mendengar slogan-slogan dari para motivator, “Sukses adalah hak saya”, “Miskin itu dosa”, “Dahsyat”, dll. Meskipun tidak bisa menghakimi semua motivator itu seorang New Age (penganut Gerakan Zaman Baru), namun secara mayoritas, mereka bisa dikategorikan seorang New Age, karena mereka TIDAK pernah sekalipun menyebut nama Allah dan melibatkan Allah di dalam pelatihan motivasinya. Kalaupun ada yang menyebut nama Allah di dalam pelatihan motivasinya maupun di dalam bukunya, biasanya mereka hanya memperalat nama Allah untuk mendukung teorinya sendiri yang melawan Alkitab. Ini fakta dan saya sudah membuktikannya dengan membaca sekilas buku dari salah seorang motivator “Kristen” terkenal dengan slogannya “Miskin itu dosa.” Dan fakta lain membuktikan bahwa pelatihan motivasi baik melalui buku, CD, dan VCD/DVD ini berkait erat dengan bisnis MLM. Saya sendiri melihat dengan mata saya sendiri ketika saya ditawari oleh teman sekolah saya sebuah produk MLM yang mengikutsertakan sebuah buku panduan dari Dale Carnegie untuk memompa semangat para pebisnis MLM untuk bersemangat menjual produk-produknya. Saya sendiri sampai geleng-geleng kepala, untuk bisnis MLM, para pebisnis (tidak terkecuali yang “Kristen” di dalamnya) bisa bersemangat menjualnya, mengapa untuk memberitakan Injil kepada rekan, teman, saudara, mereka tidak ada semangat sama sekali?


Banyak orang dengan mudahnya tanpa berpikir panjang begitu termakan oleh pelatihan motivasi. Yang aneh, orang yang sama jika diundang untuk percaya Tuhan Yesus, saya bisa memastikan bahwa banyak dari mereka akan berkata, “Pikir-pikir dulu dech.” Perkataan ini sebenarnya tidak bermaksud bahwa orang ini akan sungguh-sungguh memikirkannya siang dan malam, namun perkataan ini maksud aslinya adalah “Jangan menginjili saya. Saya ini sudah beragama.” (biasa, banyak orang dari dunia Timur kalau mengatakan sesuatu selalu tidak pernah terus terang—peribahasa: memang lidah tak bertulang) Atau mungkin orang itu akan mengatakan, “Lain kali aja ya.” Yang bernilai kekekalan, dicuekkan, sedangkan yang bernilai kesementaraan dan bahkan menipu bisa dengan mudahnya diterima tanpa pikir panjang. Saya jadi inget nich ama anjing. Coba sodorkan kepada anjing, sebuah Alkitab dengan sepotong tulang, apa reaksi si anjing? Apakah si anjing akan meraih Alkitab itu dan membacanya? Mimpi kaleeee… Yang pasti si anjing akan meraih sepotong tulang untuk dimakannya. Koq rasanya gak ada bedanya dengan banyak manusia yang tergila-gila ama “tulang” ketimbang Alkitab.


Kalau mau ditelusuri lebih dalam, apa yang menyebabkan manusia ingin menjadi seperti Allah lalu dengan mudahnya tertipu oleh pelatihan motivasi? Saya menemukan ada dua penyebab:
Pertama, manusia menginginkan kebebasan. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk ciptaan atau pribadi yang dicipta. Dengan cerdas sekali, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (2003) mengajarkan bahwa selain sebagai makhluk yang dicipta, manusia juga sebagai pribadi yang berarti adanya suatu kemandirian yang bukan bersifat mutlak, namun relatif (hlm. 8) Dengan demikian, Dr. Hoekema menyarikan dari Alkitab bahwa manusia itu pribadi yang dicipta. Namun, dosa mengakibatkan manusia membuang bagian “yang dicipta” dan mengagungkan sosok “pribadi”, karena manusia ingin lepas dari Allah. Di Abad Pencerahan, kita telah melihat gejala ini di mana manusia ingin bebas dari Allah dan berpegang pada otoritas rasio, meskipun masih tetap mempercayai wahyu Allah. Kemudian, di abad postmodern, gejala ini makin menggila dengan ide-ide postmodernisme dan Gerakan Zaman Baru yang mengarahkan manusia makin terlepas dari Allah dan akhirnya mempercayai alam gaib. Makin melepaskan diri dari Allah, manusia bukan tambah beres, melainkan makin hancur tidak karuan. Ketika kita membaca surat kabar, berita apakah yang kita baca? Bukankah lebih sering berita: korupsi, kejahatan, bencana alam, hamil di luar nikah, dll? Itulah wajah dunia kita. Nah, anehnya manusia yang setiap hari begitu familiar dengan berita-berita seperti itu tidak pernah sadar akan dosanya, malah menjadi rusak? Membaca berita kriminal bukannya malah menyadarkan manusia, malah manusia makin meniru aksinya.

Kedua, manusia yang tidak puas. Manusia yang menginginkan kebebasan pasti juga seorang yang tidak puas. Ia ingin kebebasan yang dimilikinya itu terus-menerus, oleh karena itu, kebebasan tanpa batas biasanya mengakibatkan ketidakpuasan. Seorang yang katanya “bebas” untuk merokok, namun ia makin terikat dengan kebebasannya, sehingga ia makin tidak puas dan minta lagi, lagi, dan lagi. Perhatikanlah cara kerja MLM yang berkait erat dengan pelatihan motivasi dan Anda akan mulai menganggukkan kepala tanda setuju dengan pernyataan saya. Para pebisnis MLM TIDAK pernah merasa puas, karena mereka selalu diiming-imingi dengan hadiah yang menggiurkan. Saya pernah ditawari oleh teman sekolah saya dahulu sebuah produk MLM dan di setiap jenjangnya, ada tawaran hadiah mobil mewah dan paling tinggi sebuah kapal pesiar (dan bisa diuangkan). Setelah mendapatkan semuanya, manusia nanti pasti menjadi sombong dan merasa diri hebat lalu melupakan Tuhan, sehingga jangan heran, banyak pebisnis MLM meskipun dirinya “Kristen” akan lebih bersemangat berada di dalam lingkungan bisnis MLM ketimbang melayani Tuhan di gereja. Kalaupun ia sedang melayani di gereja, ia dengan beraninya menawarkan produk MLM kepada teman gerejanya. Lihatlah, cara kerja iblis dari sejak di Taman Eden sampai di zaman sekarang tidak jauh berbeda bukan?


Apa akibat dari dosa yang ingin menjadi sama seperti Allah?
Pertama, jatuh ke dalam dosa. Setelah iblis menawarkan “solusi” yang enak kepada Hawa di ayat 4-5 ini, apakah perkataan iblis tersebut terjadi? Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) 2010: Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Seks Menuju Pernikahan pernah menafsirkan bahwa perkataan Allah seolah-olah tidak terjadi, sedangkan perkataan iblis seolah-olah terjadi, buktinya setelah manusia pertama makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, mata mereka seolah-olah terbuka (Kej. 3:7). Namun Pdt. Stephen Tong melanjutkan, lalu ketika mata mereka terbuka, apa yang mereka lihat? Si ular/iblis? TIDAK. Alkitab menyatakan bahwa yang mereka lihat justru ketelanjangan mereka (Kej. 3:7). Ketelanjangan mereka membukakan suatu fakta bahwa mereka lebih memilih untuk mendengarkan setan ketimbang Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong menafsirkan bahwa dari sinilah (dosa), budaya berpakaian muncul. Iblis yang kelihatan menawarkan “kebenaran” yang seolah-olah sesuai dengan fakta sebenarnya hendak menjerumuskan kita ke dalam dosa. Dan herannya manusia sejak zaman Adam dan Hawa sampai sekarang, banyak yang tidak sadar akan hal ini, malah bukan hanya tidak sadar, tetapi sudah tergila-gila di dalam bujuk rayu iblis.

Kedua, terikat di bawah kuasa dosa. Bukan hanya jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi terikat di bawah kuasa dosa. Setelah kasus Adam dan Hawa, kita membaca cerita anaknya sendiri, yaitu Kain yang membunuh Habil. Kemudian cerita berlanjut sampai Menara Babel, dll. Makin menginginkan kebebasan, manusia makin terikat di bawah kuasa dosa, karena kebebasan yang dibangunnya terlepas dari Allah. Dalam istilah bapa gereja Augustinus, kondisi ini disebut: non posse non peccare (tidak bisa tidak berdosa). Artinya, manusia yang telah terikat di bawah kuasa dosa tidak memiliki keinginan lain kecuali berdosa. Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan ilustrasi mengenai kebebasan yang tidak bebas. Orang yang menginginkan kebebasan murni selalu tidak pernah bebas 100%. Orang yang bebas untuk makan apa pun pada saat pesta pernikahan atau acara makan-makan, apakah setelah pulang dari acara tersebut, ia akan bebas berjalan? TIDAK, ia pasti kekenyangan. Orang yang bebas untuk merokok, apakah ia akan memiliki kebebasan untuk TIDAK merokok? TIDAK mungkin! Menjadi orang Kristen bukan berarti kita tidak boleh bebas. Orang Kristen perlu dan bahkan harus dan pasti bebas, karena kebebasannya adalah benar-benar bebas di dalam Kristus: bebas untuk TIDAK berbuat dosa, bebas dari kutuk dosa, bebas untuk taat kepada Kristus, dll. Mengutip Ev. Ivan Kristiono, M.Div., bapa gereja Augustinus mengatakan, “Cintailah Tuhan dan lakukan segala sesuatu.” Pernyataan “lakukan segala sesuatu” ini tentu harus dikaitkan sebelumnya dengan “cintailah Tuhan” dan itu jelas menunjukkan adanya unsur kebebasan di dalam takut akan Tuhan. Diperlukan sebuah kedewasaan iman untuk mengerti pernyataan Augustinus ini.


Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih terlibat dalam dosa yang ingin menyamai Allah? Apakah kita ingin mengetahui segala sesuatu tanpa Allah? Apakah kita terus-menerus dengan mudahnya menyetujui semua filsafat dunia tanpa mengujinya berdasarkan Alkitab? Periksalah hati, iman, pikiran, perkataan, dan tindakan kita, benarkah itu memuliakan Tuhan? Jika belum, biarlah Roh Kudus membuka hati dan pikiran kita untuk menyadari dosa Anda, bertobat, dan kembali kepada Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:29-31 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:29-31

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:29-31



Bagian ini lebih terfokus pada ide tentang akhir zaman, sehingga beberapa orang menganggap bagian ini sebagai sisipan tambahan yang tidak berhubungan dengan pembahasan di seluruh pasal 7. Anggapan ini tidak dapat dibenarkan. Rujukan eksplisit tentang perkawinan masih bisa ditemukan di ayat 29b. Selain itu, pembahasan dalam bagian ini masih terkait dengan pembahasan sebelumnya, karena sama-sama mengaitkan perkawinan dengan akhir zaman (7:26 “waktu darurat”; 7:29 “waktu telah singkat”). Dengan kata lain, ayat 29-31 merupakan penjelasan tentang apa yang harus dilakukan selama waktu darurat di ayat 26.

Dalam bagian ini Paulus mula-mula menyatakan dasar pemikirannya, yaitu waktu yang telah singkat (ay. 29a). Selanjutnya ia menjelaskan konsekuensi dari pemikiran itu (ay. 29b-31a). Pemikiran itu ternyata memiliki kaitan dengan begitu banyak hal dalam hidup kita, mulai dari perkawinan, perasaan (kesedihan dan kegembiraan), kepemilikan sampai penggunaan barang-barang duniawi. Di akhir pembahasan Paulus memaparkan alasan mengapa waktu telah singkat (ay. 31b).


Dasar Pemikiran: Waktu Telah Singkat (ay. 29a)
Sapaan “saudara-saudara” di ayat ini berfungsi untuk menyiratkan adanya perubahan topik dan memperluas kelompok jemaat yang dimaksud Paulus. Kalau di ayat 25-28 target nasehat Paulus adalah mereka yang belum kawin (sedang bertunangan), di ayat 29-31 Paulus memaksudkan nasehatnya untuk semua jemaat (bdk. “saudara-saudara” di ayat 24). Apa yang ia sampaikan dalam bagian ini memang mencakup juga mereka yang sudah kawin (ay. 29b).

Di ayat 29a kata Yunani yang dipakai untuk “waktu” adalah kairos. Kata ini sering kali dibedakan dengan kata kronos yang hanya menyiratkan urutan waktu (bdk. kata “kronologi”). Kairos merujuk pada waktu yang spesifik di dalam rangkaian kronos. Terjemahan RSV “appointed time” menunjukkan usaha penerjemah RSV untuk memperjelas makna kairos, walaupun dalam teks Yunani tidak ada kata “appointed”. Jadi, kairos selalu menjadi bagian dari kronos, tetapi tidak semua kronos adalah kairos.

Waktu spesifik seperti apa yang dipikirkan Paulus melalui penggunaan kata kairos di ayat ini? Walaupun sebagian penafsir berbeda pendapat dalam hal-hal detil, namun secara umum mereka setuju bahwa kairos di sini merujuk pada masa antara kedatangan Kristus ke-1 dan ke-2. Paulus memang sering membandingkan rentang waktu ini dengan kekekalan kelak (Rm. 8:18; 13:11; 1Kor. 4:5; 2Kor. 6:2; 1Tes. 5:1) untuk mengingatkan bahwa orang-orang percaya berada dalam dua ketegangan waktu ini: kita masih hidup dalam kesementaraan, namun sekaligus mempersiapkan diri untuk kekekalan). Rentang waktu ini bersifat soteriologis (terkait dengan karya keselamatan dalam Kristus) dan eskatologis (antisipasi terhadap kedatangan Kristus di akhir zaman). Waktu ini tidak akan terus-menerus ada, karena itu ini merupakan waktu yang spesifik yang harus dimanfaatkan sepenuhnya oleh orang-orang percaya.

Paulus mengajarkan bahwa kairos telah singkat. Frase sunestalmenos estin (LAI:TB “telah singkat”) dapat dipahami dalam dua cara: sebagai kata kerja pasif partisipel (NASB “the time has been shortened”) atau kata sifat (KJV/NIV “the time is short”). Jika alternatif pertama benar, maka Paulus kemungkinan besar sedang memikirkan ajaran Yesus telah pemercepatan kedatangan-Nya karena situasi khusus dari orang-orang percaya (Mrk. 13:20).

Di antara dua alternatif ini sulit ditentukan mana yang ada dalam pikiran Paulus. Walaupun alternatif pertama dari sisi tata bahasa lebih memungkinkan, namun tidak ada indikasi apa pun dalam 1 Korintus 7 yang mengarah pada kedatangan Kristus yang dipercepat. Memang ada kemungkinan konsep pemercepatan kedatangan ini sudah begitu populer waktu itu (bdk. 2Ptr. 3:21), sehingga Paulus merasa tidak perlu menyinggung hal itu secara eksplisit. Rujukan tentang kesusahan eskatologis di ayat 26 dan 28 mungkin dianggap cukup untuk mengasumsikan hal itu. Bagaimanapun, kita tidak dapat mencapai kepastian dalam hal ini.

Jika dilihat dari perspektif kekekalan (sesuai konteks ayat 25-31), maka waktu kita di dunia ini hanyalah waktu yang sangat singkat. Semakin hidup kita bergerak menuju kekekalan, maka waktu ini menjadi semakin dipersingkat, entah jarak kita dengan kematian semakin dekat maupun dengan kedatangan Kristus kedua kali. Yang jelas, waktu yang kita miliki sekarang hanyalah sisa-sisa kesempatan (ay. 29 “waktu yang masih sisa ini”). Kita tidak punya banyak waktu! Kekekalan menjadi semakin dekat dan jelas bagi kita. Kita berada dalam penantian itu (1:7).


Konsekuensi (ay. 29b-31a)
Kata sambung “karena itu” (LAI:TB; NIV “so that”) menyiratkan bahwa Paulus sedang berpindah pada aplikasi. Ia sedang mengajarkan bahwa suatu konsep theologis seharusnya membawa konsekuensi praktis. Cara hidup kita sekarang harus dibentuk sesuai dengan konsep kita tentang kekekalan. Satu kaki kita ada dalam kesementaraan, tetapi kaki yang lain berada dalam kekekalan. Dengan kata lain, kita harus melihat kesementaraan waktu kita dari perspektif kekekalan. Dengan perspektif yang eskatologis ini kita akan mampu menilai semua hal di sekitar kita: mana yang bernilai kekal dan mana yang tidak.

Paulus lalu memberikan 5 contoh aplikasi dari konsep di atas (ay. 29b-31a). Apa yang dia tuliskan tidak boleh dipahami secara hurufiah. Ini hanyalah sebuah gaya retorik. Jika dipahami secara hurufiah, maka ayat 29b akan berkontradiksi dengan ayat 2-5. Di samping itu, ayat 30 akan tampak aneh karena menyiratkan bahwa orang Kristen adalah orang yang tidak boleh mengekspresikan perasaan mereka.

Kita harus lebih memperhatikan inti dalam keseluruhan gaya retorik ini. Inti yang ingin ditampilkan adalah perubahan perspektif [dari kekekalan]. Paulus ingin menegaskan bahwa sekalipun kita masih hidup dalam dunia yang sementara dan bergelut dengan semua elemen di dalamnya yang juga sementara, namun kita harus tetap memiliki fokus hidup pada kekekalan. Berbeda dengan golongan apokaliptis Yahudi dan sebagian jemaat Korintus yang memiliki pandangan terlalu negatif terhadap kehidupan normal di dunia ini, Paulus memandang kehidupan ini sebagai sesuatu yang netral; tergantung pada cara kita menyikapinya. Uang bukanlah dosa, tetapi cinta uanglah yang menjadi sumber dosa (1Tim. 6:10). Seks bukanlah dosa, tetapi perzinahanlah yang merupakan dosa. Berbeda dengan para filsuf Stoa yang mengajarkan penyangkalan realita, Paulus tetap mengakui dan menerima semua realita yang ada, namun semua itu harus dilihat dari perspektif eskatologis.

Contoh praktis ke-1 yang disinggung adalah perkawinan (ay. 29b). Topik ini menduduki urutan pertama dalam daftar karena inti pembahasan memang terletak di sini. Ayat 29a tidak boleh ditafsirkan sebagai dukungan bagi praktik hidup selibat. Paulus tidak anti perkawinan (ay. 2-5). Dia pun mengajarkan bahwa selibat merupakan anugerah khusus untuk orang-orang tertentu (ay. 7). Ia bahkan menyadari bahwa tugas orang yang sudah menikah adalah menyenangkan pasangannya (ay. 33).

Apa yang ingin Paulus ajarkan adalah sederhana: perkawinan merupakan hal yang sementara, karena itu jangan sampai hal itu menganggu fokus kita pada hal-hal yang kekal. Perkawinan hanya mengikat selama seseorang hidup (ay. 39; Rm. 7:2). Setelah orang itu mati, ikatan perkawinan maupun seks akan menjadi tidak relevan lagi (Mrk. 12:25). Paulus tetap setuju bahwa perkawinan dan seks adalah hal yang bisa dinikmati oleh sebagian orang yang mendapat karunia untuk menikah, tetapi jangan sampai merusak fokus hidup yang sebenarnya. Hal ini berbeda dengan konsep jemaat Korintus yang menganggap seks sebagai dosa dan pasti merusak kerohanian.

Contoh praktis yang ke-2 dan ke-3 dapat digabungkan karena sama-sama membahas tentang perasaan (ay. 30a). Nasehat Paulus di ayat ini tidak berarti bahwa orang Kristen harus bersikap munafik dengan cara menutupi apa yang ada dalam perasaannya. Nasehat ini juga bukan mendorong orang Kristen menjadi orang yang tanpa perasaan atau ekspresi. Di tempat lain Paulus justru memberi nasehat untuk bersukacita dengan orang yang bersukacita dan menangis dengan orang yang menangis (Rm. 12:15). Ia pun mengungkapkan kesedihan melalui tangisan (Rm. 9:2; 2Kor. 2:4; Flp. 2:25–30; 3:18) maupun meluapkan kegembiraan (1Kor. 16:17; 2Kor. 7:4–10; Flp. 1:12–19; 4:10).

Poin yang ingin disampaikan Paulus adalah jangan sampai orang Kristen terlalu terikat dengan kesedihan maupun kegembiraan dalam dunia ini. Apa yang membuat kita bergembira atau bersedih selama ini biasanya adalah hal-hal yang bersifat sementara. Kita bersukacita ketika memiliki kekayaan, kesehatan dan kesuksesan. Kita bersedih ketika semua itu hilang. Paulus ingin mengajarkan bahwa perspektif eskatologis seharusnya mengubah cara pandang kita terhadap kesedihan dan kegembiraan. Yang bersedih sekarang akan mendapat sukacita, begitu pula sebaliknya (Luk. 6:21, 25; Yoh. 16:20). Selama kita menanti pembalikan keadaan ini, kita pun perlu memandang hidup kita sebagai sebuah paradoks yang indah, sebagaimana dinyatakan dengan luar biasa di 2 Korintus 6:9-10 “sebagai orang yang tidak dikenal, namun terkenal; sebagai orang yang nyaris mati, dan sungguh kami hidup; sebagai orang yang dihajar, namun tidak mati; sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu”.

Contoh praktis ke-3 berhubungan dengan kepemilikan (ay. 30b). Orang membeli biasanya karena ia ingin memiliki barang itu atau ingin agar barang itu dimiliki orang lain. Jadi, pembelian dan kepemilikan memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam bagian ini Paulus justru menasehatkan agar orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli. Apa maksud perkataan ini?

Paulus jelas tidak anti terhadap segala bentuk transaksi ekonomi. Orang Kristen tidak diminta untuk meninggalkan dunia ini (bdk. 1Kor. 5:10). Paulus pun memperingatkan jemaat Tesalonika untuk bekerja sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka (2Tes. 3:10, 12). Yang disorot Paulus adalah kata “memiliki” (katecein). Kata ini biasanya mengandung makna “memegang sesuatu dengan kuat”, baik itu firman Tuhan (Luk. 8:15; 1Kor. 15:2; 1Tes. 5:21) maupun barang (Mat. 21:38). Ide yang ada bukan hanya “memiliki”, tetapi “memiliki dengan kuat”.

Melalui nasehat ini Paulus ingin menekankan konsep Kristiani yang benar tentang kepemilikan. Hak yang dimiliki oleh orang Kristen adalah hak untuk menggunakan, bukan untuk memiliki. Semua yang bisa kita beli bersifat sementara dan kita harus menggunakan itu untuk menghasilkan hal-hal yang kekal. Kita tidak boleh memegangi apa yang kita beli seolah-olah hal itu tidak boleh lepas dari tangan kita. Ketika kita mati atau Kristus datang kedua kali, kita akan kehilangan semuanya itu (Ayb. 1:21). Sebaliknya, orang Kristen harus memiiki konsep bahwa ia sebenarnya memiliki segala sesuatu (1Kor. 3:22; 2Kor. 6:10).

Alkitab memberi banyak peringatan tentang bahaya materialisme. Orang yang terlalu memikirkan materi sebenarnya sudah menjadi hamba dari materi. Di mana harta kita berada, di situ hati kita berada (Mat. 6:21). Kita tidak boleh menjadi seperti orang kaya yang bodoh dalam perumpamaan Yesus yang akhirnya mati tanpa bisa membawa hartanya dalam kematiannya (Luk. 12:16-21). Jangan pula seperti orang-orang dalam perumpamaan Yesus yang tidak menghiraukan ajakan ke pesta karena sibuk dengan urusan lain yang tidak penting (Luk. 14:15-24). Jika ini yang terjadi, maka ketika Kristus datang situasinya seperti orang-orang pada zaman Nuh yang sibuk dengan hal-hal duniawi (Luk. 17:26-27).

Contoh praktis terakhir (ke-5) berhubungan dengan isu tentang penggunaan (ay. 30a). Penerjemah LAI:TB memahami bagian ini sebagai kesimpulan dari 4 poin sebelumnya, sehingga bagian ini diberi tambahan “pendeknya”. Dari sisi tata bahasa bagian ini tidak seharusnya dijadikan konklusi. Dalam teks Yunani tidak ada kata “pendeknya”. Jadi, bagian ini merupakan kelanjutan dari poin-poin sebelumnya. Poin yang disampaikan Paulus dalam bagian ini akan menjadi jelas apabila kita mengetahui bahwa kata “mempergunakan” yang muncul dua kali dalam bagian ini memakai kata Yunani yang berbeda. Yang pertama adalah craomai (“menggunakan”), yang kedua adalah katacraomai (“menggunakan sepenuhnya”). Dengan pembedaan ini Paulus ingin mengajarkan bahwa semua yang diciptakan Allah di dunia ini memang baik dan boleh digunakan (bdk. 1Tim. 4:4), tetapi tidak boleh digunakan sepenuhnya. Artinya, orang Kristen tidak boleh terpaku pada barang-barang tersebut, sehingga kalau barang itu tidak ada maka kita merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidup kita.

Paulus sendiri memberi teladan yang baik dalam hal ini. Sebagai seorang rasul ia memiliki hak untuk diberi upah dan menggunakan tunjangan hidup itu (1Kor. 9:1-14). Walaupun ia berhak menggunakan hak itu, namun ia memilih untuk tidak menggunakannya (9:15-18). Ini merupakan contoh bagaimana seseorang mampu tidak menggunakan apa yang sebenarnya bisa ia gunakan. Ia bisa melakkan ini karena ia menyadari bahwa fokus hidup orang Kristen bukanlah menikmati keindahan dunia semau kita. Semua yang kita miliki adalah dari, oleh dan untuk Allah (Rm. 11:36).


Alasan (ay. 31b)
Kata sambung “sebab” di ayat ini menyiratkan alasan. Lebih spesifik, alasan bagi pemikiran Paulus di ayat 29a. Mengapa waktunya singkat (ay. 29a)? Karena dunia akan berlalu. Ajaran ini merupakan doktrin yang umum di kalangan orang Kristen abad pertama (1Yoh. 2:17; 2Ptr. 3:10). Bentuk present tense “berlalu” (paragei, kontra LAI:TB “akan berlalu”) menunjukkan bahwa proses yang dimaksud Paulus sudah berlangsung pada jamannya.

Frase “dunia yang kita kenal sekarang” (LAI:TB/NIV) dalam teks Yunani adalah to schēma tou kosmou. Versi Inggris menerjemahkan kata schma di sini dengan “form” (NIV/NASB/RSV) atau “fashion” (KJV/YLT). Kata Yunani schēma memang sering mengandung makna sesuatu yang tampak dari luar. Dalam literatur di luar Alkitab kata ini juga sering kali dipakai dalam konteks teater ketika pemain memakai pakaian, topeng dan kostum tertentu untuk memerankan suatu tokoh yang berbeda dengan dirinya yang sebenarnya. Melalui pemilihan kata ini Paulus mengingatkan bahwa apa pun yang kita lihat dari dunia ini – betapa pun indahnya hal itu – tidak akan memiliki karakter atau sifat yang permanen. Sama seperti para pemain teater yang harus segera menanggalkan kostum dan topeng mereka serta masuk dalam kehidupan sehari-hari, demikian pula dunia ini akan berlalu. Yang tetap bertahan adalah nilai-nilai kekal yang muncul dari penggunaan hal-hal yang sementara. Soli Deo Gloria. #





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 26 Juli 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2029-31.pdf