28 July 2010

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-3: Eden dan Dosa-2: Ingin Menyamai Allah

WHAT’S WRONG IN THE GARDEN OF EDEN?-3:
Eden dan Dosa-2: Ingin Menyamai Allah


oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Kejadian 3:4-5



Setelah menyelidiki dosa pertama di taman Eden yaitu penyimpangan kebenaran, maka dosa kedua yang akan kita renungkan bersama adalah dosa menyamai Allah yang ingin mengetahui segala sesuatu. Setelah Hawa menjawab pertanyaan iblis di ayat 2-3, maka iblis melancarkan serangan pamungkasnya di ayat 4-5, “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Dari dua ayat ini, kita akan merenungkan dua poin penting, yaitu:
1. Iblis Menyangkal Seluruh Kebenaran Allah dan Menggantinya Dengan Kebenaran Tandingan
Pada ayat 4, kita membaca pernyataan iblis yang mengatakan bahwa ketika makan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat, iblis berjanji bahwa Hawa tidak akan mati, padahal Allah sendiri berfirman bahwa manusia pasti mati ketika makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Di sini, kita melihat cara iblis menyangkal seluruh kebenaran Allah dan kemudian menggantinya dengan kebenaran tandingan versinya sendiri. Iblis bukan hanya menyangkal kebenaran Allah, tetapi ia juga menawarkan “solusi”, yaitu “kebenaran” yang ia ciptakan sendiri. Mengapa iblis tidak cukup hanya menyangkal seluruh kebenaran Allah? Mengapa iblis pun akhirnya mengeluarkan “kebenaran” versinya sendiri? Iblis melakukannya agar manusia lebih memilih untuk taat kepada iblis ketimbang Allah. Dengan kata lain, kita mendapati fakta adanya antitesis antara kebenaran Allah vs “kebenaran” setan di dunia ini. Antitesis ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Taman Eden saja, namun juga berlanjut sampai kita yang hidup di zaman sekarang. Antitesis ini akan berhenti total dan kebenaran Allah pasti menang tatkala Kristus datang kedua kalinya sebagai Raja dan Hakim yang akan memusnahkan semua musuh-Nya (dan musuh anak-anak-Nya). Namun ketika di dunia kita, mau tidak mau, kita diperhadapkan dengan antitesis ini. Manakah yang kita pilih? Kebenaran Allah ataukah “kebenaran” setan?


2. Iblis Menawarkan “Kebenaran” Versinya Sendiri Dengan Mengiming-imingi Manusia Untuk Menjadi Seperti Allah
Iblis menginginkan manusia untuk lebih taat kepada iblis daripada kepada Allah. Sekarang pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya? Iblis adalah bapa pendusta dan secara otomatis dia itu licik, oleh karena itu, ia pasti memiliki segudang cara untuk menjerat kita untuk lebih taat kepada dirinya ketimbang kepada Allah. Cara licik iblis tersebut meliputi:
Pertama, meragukan Allah. Cara iblis paling licik adalah meragukan Allah. Iblis tentu tidak akan mengatakan secara gamblang kepada manusia pertama itu bahwa Allah itu salah, karena jika iblis menggunakan cara itu, manusia pertama pasti mengetahui akal bulusnya. Namun iblis menggunakan cara liciknya yang cukup ampuh yaitu mulai meracuni manusia untuk meragukan Allah. Iblis berusaha untuk meracuni manusia dengan pengajaran bahwa Allah bukan satu-satunya yang Mahatahu dan Benar mutlak. Iblis juga meracuni manusia bahwa dirinya (iblis) juga termasuk mahatahu. Maka tidak heran, iblis berjanji kepada Hawa bahwa ketika ia makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, matanya akan terbuka. Di zaman sekarang pun, siasat iblis tetap sama. Iblis juga akan meracuni manusia untuk mulai meragukan Allah dengan mengajarkan bahwa bukan Allah saja yang Mahatahu dan Benar, masih ada sosok lain yang juga bisa mahatahu. Tidak heran, di dunia kita hari-hari ini, khususnya di dunia Timur, para peramal laris dicari orang, dari Mama Loren sampai Mama Lemon (hehehe) Banyak orang dunia, bahkan tidak sedikit orang “Kristen” yang juga ikut-ikutan pergi ke tukang ramal entah itu dengan alasan supaya enteng jodoh atau ingin coba-coba. Saya sendiri melihat ada seorang tante yang melayani di sebuah gereja Injili di Surabaya pergi ke tukang ramal. Mereka berpikir bahwa peramal pun juga bisa mengetahui masa depan manusia, jadi tidak perlu Tuhan. Atau mungkin ada juga pandangan yang mengatakan bahwa memang Tuhan yang menentukan, namun manusia juga perlu mencari cara untuk mengerti kehendak Tuhan. Wah, yang terakhir ini seolah-olah kelihatan “rohani”, namun rusaknya amit-amit. Mencari kehendak Tuhan diidentikkan dengan pergi ke dukun atau peramal? Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung jek! HahahaJ So, bolehkah orang Kristen pergi ke dukun? Jawaban saya bukan BOLEH atau TIDAK BOLEH, tetapi apa motivasi di balik pergi ke dukun? Jika Anda menjawab, supaya enteng jodoh dan bisnis lancar. Saya bertanya kepada Anda, apakah dukun itu Tuhan yang Mahatahu dan menciptakan manusia? Kedua, apakah ramalan dukun/peramal 100% akurat? Ketiga, dasar apakah yang bisa membuktikan validitas ramalan si dukun/peramal tersebut? Jika misalnya, si peramal meramalkan nasib seseorang 10 tahun kemudian dan misalnya hasil ramalan tersebut tidak cocok dengan ramalan si peramal, kemudian Anda mendatangi untuk meminta pertanggungjawaban, apa kira-kira reaksi si peramal? Keempat, apakah si peramal/dukun tersebut dapat meramal nasibnya SENDIRI di masa depan? Saya pernah mendengar cerita dari seorang rekan bahwa salah seorang peramal top di Indonesia yang sering masuk di TV mengatakan bahwa dirinya tidak mampu meramal setelah tahun 2012. Saya jadi bingung dan bertanya-tanya, kenapa gak bisa meramal setelah tahun 2012? Apa si peramal ini juga ketakutan setelah menonton film 2012? Please dech ya…

Kedua, manusia = “mahatahu”. Iblis tidak cukup hanya meracuni manusia untuk meragukan Allah dan lebih mempercayai si iblis, ia melancarkan serangan puncaknya yaitu meracuni manusia dengan cara mengiming-imingi manusia untuk menjadi seperti Allah. Dengan presuposisi bahwa bukan Allah saja yang Mahatahu, maka iblis mengiming-imingi manusia untuk menjadi seperti Allah dengan slogan-slogan (yang saya dramatisir), “Ah, jangan gitu, Allah tahu koq bahwa ketika kamu makan buah pohon itu, matamu pasti terbuka, bisa membedakan mana yang baik dan jahat.” Gara-gara slogan “motivasi” ini, akhirnya Hawa tergiur dan akhirnya makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Bukankah taktik licik iblis di Taman Eden juga bisa kita lihat aplikasinya di dunia postmodern ini? Jangan kaget, jika di zaman postmodern ini, kita menjumpai maraknya pelatihan motivasi yang ditunggangi oleh pemikiran Gerakan Zaman Baru yang mengajarkan bahwa karena segala sesuatu adalah “allah” (manusia = “allah; ide Monisme digabungkan Pantheisme), maka di dalam diri manusia, ada suatu kekuatan besar yang sedang tidur yang harus dibangunkan. Tidak usah heran, dari presuposisi ini, kita sering mendengar slogan-slogan dari para motivator, “Sukses adalah hak saya”, “Miskin itu dosa”, “Dahsyat”, dll. Meskipun tidak bisa menghakimi semua motivator itu seorang New Age (penganut Gerakan Zaman Baru), namun secara mayoritas, mereka bisa dikategorikan seorang New Age, karena mereka TIDAK pernah sekalipun menyebut nama Allah dan melibatkan Allah di dalam pelatihan motivasinya. Kalaupun ada yang menyebut nama Allah di dalam pelatihan motivasinya maupun di dalam bukunya, biasanya mereka hanya memperalat nama Allah untuk mendukung teorinya sendiri yang melawan Alkitab. Ini fakta dan saya sudah membuktikannya dengan membaca sekilas buku dari salah seorang motivator “Kristen” terkenal dengan slogannya “Miskin itu dosa.” Dan fakta lain membuktikan bahwa pelatihan motivasi baik melalui buku, CD, dan VCD/DVD ini berkait erat dengan bisnis MLM. Saya sendiri melihat dengan mata saya sendiri ketika saya ditawari oleh teman sekolah saya sebuah produk MLM yang mengikutsertakan sebuah buku panduan dari Dale Carnegie untuk memompa semangat para pebisnis MLM untuk bersemangat menjual produk-produknya. Saya sendiri sampai geleng-geleng kepala, untuk bisnis MLM, para pebisnis (tidak terkecuali yang “Kristen” di dalamnya) bisa bersemangat menjualnya, mengapa untuk memberitakan Injil kepada rekan, teman, saudara, mereka tidak ada semangat sama sekali?


Banyak orang dengan mudahnya tanpa berpikir panjang begitu termakan oleh pelatihan motivasi. Yang aneh, orang yang sama jika diundang untuk percaya Tuhan Yesus, saya bisa memastikan bahwa banyak dari mereka akan berkata, “Pikir-pikir dulu dech.” Perkataan ini sebenarnya tidak bermaksud bahwa orang ini akan sungguh-sungguh memikirkannya siang dan malam, namun perkataan ini maksud aslinya adalah “Jangan menginjili saya. Saya ini sudah beragama.” (biasa, banyak orang dari dunia Timur kalau mengatakan sesuatu selalu tidak pernah terus terang—peribahasa: memang lidah tak bertulang) Atau mungkin orang itu akan mengatakan, “Lain kali aja ya.” Yang bernilai kekekalan, dicuekkan, sedangkan yang bernilai kesementaraan dan bahkan menipu bisa dengan mudahnya diterima tanpa pikir panjang. Saya jadi inget nich ama anjing. Coba sodorkan kepada anjing, sebuah Alkitab dengan sepotong tulang, apa reaksi si anjing? Apakah si anjing akan meraih Alkitab itu dan membacanya? Mimpi kaleeee… Yang pasti si anjing akan meraih sepotong tulang untuk dimakannya. Koq rasanya gak ada bedanya dengan banyak manusia yang tergila-gila ama “tulang” ketimbang Alkitab.


Kalau mau ditelusuri lebih dalam, apa yang menyebabkan manusia ingin menjadi seperti Allah lalu dengan mudahnya tertipu oleh pelatihan motivasi? Saya menemukan ada dua penyebab:
Pertama, manusia menginginkan kebebasan. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk ciptaan atau pribadi yang dicipta. Dengan cerdas sekali, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah (2003) mengajarkan bahwa selain sebagai makhluk yang dicipta, manusia juga sebagai pribadi yang berarti adanya suatu kemandirian yang bukan bersifat mutlak, namun relatif (hlm. 8) Dengan demikian, Dr. Hoekema menyarikan dari Alkitab bahwa manusia itu pribadi yang dicipta. Namun, dosa mengakibatkan manusia membuang bagian “yang dicipta” dan mengagungkan sosok “pribadi”, karena manusia ingin lepas dari Allah. Di Abad Pencerahan, kita telah melihat gejala ini di mana manusia ingin bebas dari Allah dan berpegang pada otoritas rasio, meskipun masih tetap mempercayai wahyu Allah. Kemudian, di abad postmodern, gejala ini makin menggila dengan ide-ide postmodernisme dan Gerakan Zaman Baru yang mengarahkan manusia makin terlepas dari Allah dan akhirnya mempercayai alam gaib. Makin melepaskan diri dari Allah, manusia bukan tambah beres, melainkan makin hancur tidak karuan. Ketika kita membaca surat kabar, berita apakah yang kita baca? Bukankah lebih sering berita: korupsi, kejahatan, bencana alam, hamil di luar nikah, dll? Itulah wajah dunia kita. Nah, anehnya manusia yang setiap hari begitu familiar dengan berita-berita seperti itu tidak pernah sadar akan dosanya, malah menjadi rusak? Membaca berita kriminal bukannya malah menyadarkan manusia, malah manusia makin meniru aksinya.

Kedua, manusia yang tidak puas. Manusia yang menginginkan kebebasan pasti juga seorang yang tidak puas. Ia ingin kebebasan yang dimilikinya itu terus-menerus, oleh karena itu, kebebasan tanpa batas biasanya mengakibatkan ketidakpuasan. Seorang yang katanya “bebas” untuk merokok, namun ia makin terikat dengan kebebasannya, sehingga ia makin tidak puas dan minta lagi, lagi, dan lagi. Perhatikanlah cara kerja MLM yang berkait erat dengan pelatihan motivasi dan Anda akan mulai menganggukkan kepala tanda setuju dengan pernyataan saya. Para pebisnis MLM TIDAK pernah merasa puas, karena mereka selalu diiming-imingi dengan hadiah yang menggiurkan. Saya pernah ditawari oleh teman sekolah saya dahulu sebuah produk MLM dan di setiap jenjangnya, ada tawaran hadiah mobil mewah dan paling tinggi sebuah kapal pesiar (dan bisa diuangkan). Setelah mendapatkan semuanya, manusia nanti pasti menjadi sombong dan merasa diri hebat lalu melupakan Tuhan, sehingga jangan heran, banyak pebisnis MLM meskipun dirinya “Kristen” akan lebih bersemangat berada di dalam lingkungan bisnis MLM ketimbang melayani Tuhan di gereja. Kalaupun ia sedang melayani di gereja, ia dengan beraninya menawarkan produk MLM kepada teman gerejanya. Lihatlah, cara kerja iblis dari sejak di Taman Eden sampai di zaman sekarang tidak jauh berbeda bukan?


Apa akibat dari dosa yang ingin menjadi sama seperti Allah?
Pertama, jatuh ke dalam dosa. Setelah iblis menawarkan “solusi” yang enak kepada Hawa di ayat 4-5 ini, apakah perkataan iblis tersebut terjadi? Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) 2010: Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Seks Menuju Pernikahan pernah menafsirkan bahwa perkataan Allah seolah-olah tidak terjadi, sedangkan perkataan iblis seolah-olah terjadi, buktinya setelah manusia pertama makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, mata mereka seolah-olah terbuka (Kej. 3:7). Namun Pdt. Stephen Tong melanjutkan, lalu ketika mata mereka terbuka, apa yang mereka lihat? Si ular/iblis? TIDAK. Alkitab menyatakan bahwa yang mereka lihat justru ketelanjangan mereka (Kej. 3:7). Ketelanjangan mereka membukakan suatu fakta bahwa mereka lebih memilih untuk mendengarkan setan ketimbang Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong menafsirkan bahwa dari sinilah (dosa), budaya berpakaian muncul. Iblis yang kelihatan menawarkan “kebenaran” yang seolah-olah sesuai dengan fakta sebenarnya hendak menjerumuskan kita ke dalam dosa. Dan herannya manusia sejak zaman Adam dan Hawa sampai sekarang, banyak yang tidak sadar akan hal ini, malah bukan hanya tidak sadar, tetapi sudah tergila-gila di dalam bujuk rayu iblis.

Kedua, terikat di bawah kuasa dosa. Bukan hanya jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi terikat di bawah kuasa dosa. Setelah kasus Adam dan Hawa, kita membaca cerita anaknya sendiri, yaitu Kain yang membunuh Habil. Kemudian cerita berlanjut sampai Menara Babel, dll. Makin menginginkan kebebasan, manusia makin terikat di bawah kuasa dosa, karena kebebasan yang dibangunnya terlepas dari Allah. Dalam istilah bapa gereja Augustinus, kondisi ini disebut: non posse non peccare (tidak bisa tidak berdosa). Artinya, manusia yang telah terikat di bawah kuasa dosa tidak memiliki keinginan lain kecuali berdosa. Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan ilustrasi mengenai kebebasan yang tidak bebas. Orang yang menginginkan kebebasan murni selalu tidak pernah bebas 100%. Orang yang bebas untuk makan apa pun pada saat pesta pernikahan atau acara makan-makan, apakah setelah pulang dari acara tersebut, ia akan bebas berjalan? TIDAK, ia pasti kekenyangan. Orang yang bebas untuk merokok, apakah ia akan memiliki kebebasan untuk TIDAK merokok? TIDAK mungkin! Menjadi orang Kristen bukan berarti kita tidak boleh bebas. Orang Kristen perlu dan bahkan harus dan pasti bebas, karena kebebasannya adalah benar-benar bebas di dalam Kristus: bebas untuk TIDAK berbuat dosa, bebas dari kutuk dosa, bebas untuk taat kepada Kristus, dll. Mengutip Ev. Ivan Kristiono, M.Div., bapa gereja Augustinus mengatakan, “Cintailah Tuhan dan lakukan segala sesuatu.” Pernyataan “lakukan segala sesuatu” ini tentu harus dikaitkan sebelumnya dengan “cintailah Tuhan” dan itu jelas menunjukkan adanya unsur kebebasan di dalam takut akan Tuhan. Diperlukan sebuah kedewasaan iman untuk mengerti pernyataan Augustinus ini.


Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih terlibat dalam dosa yang ingin menyamai Allah? Apakah kita ingin mengetahui segala sesuatu tanpa Allah? Apakah kita terus-menerus dengan mudahnya menyetujui semua filsafat dunia tanpa mengujinya berdasarkan Alkitab? Periksalah hati, iman, pikiran, perkataan, dan tindakan kita, benarkah itu memuliakan Tuhan? Jika belum, biarlah Roh Kudus membuka hati dan pikiran kita untuk menyadari dosa Anda, bertobat, dan kembali kepada Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: